Anda di halaman 1dari 11

PERTANGGUNG JAWABAN NOTARIS KEPADA KONSUMEN YANG

LALAI DALAM PENGESAHAN AKTA


PENDAHULUAN

Pertanggungjawaban notaris terhadap konsumen yang lalai dalam


pengesahan akta merupakan isu yang penting dalam praktik hukum. Notaris
memiliki peran yang krusial dalam memastikan keabsahan dan kekuatan hukum
suatu akta, sehingga konsumen dapat mengandalkan notaris untuk memberikan
jaminan keamanan hukum. Namun, dalam beberapa kasus, terdapat kejadian di
mana notaris melakukan kelalaian atau lalai dalam proses pengesahan akta, yang
dapat berdampak buruk bagi konsumen yang terlibat. Oleh karena itu, penting untuk
memahami latar belakang pertanggungjawaban notaris dalam kasus-kasus
semacam ini.

Salah satu alasan utama mengapa pertanggungjawaban notaris terhadap


konsumen yang lalai dalam pengesahan akta menjadi penting adalah karena notaris
memiliki peran sebagai pejabat publik yang ditugaskan oleh negara. Notaris
bertindak sebagai agen pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi hukum,
terutama dalam hal pembuatan dan pengesahan akta. Sebagai agen pemerintah,
notaris memiliki tanggung jawab moral dan etika yang tinggi dalam melindungi
kepentingan konsumen serta menjaga kepercayaan publik terhadap profesi notaris.
Oleh karena itu, ketika terjadi kelalaian dalam pengesahan akta yang
mengakibatkan kerugian bagi konsumen, notaris diharapkan bertanggung jawab
untuk mengatasi dan memperbaiki situasi tersebut.

Selain itu, perkembangan regulasi dan hukum yang mengatur profesi notaris
juga menjadi faktor penting dalam konteks pertanggungjawaban notaris terhadap
konsumen yang lalai dalam pengesahan akta. Setiap negara memiliki peraturan dan
standar yang mengatur praktik notaris, termasuk tugas, kewajiban, dan tanggung
jawab notaris terhadap konsumen. Regulasi ini bertujuan untuk melindungi
kepentingan konsumen dan memastikan praktik notaris berjalan sesuai dengan etika
dan standar profesional. Dalam banyak yurisdiksi, pelanggaran terhadap peraturan
dan standar ini dapat menyebabkan sanksi disiplin, baik berupa teguran, denda, atau
bahkan pencabutan lisensi notaris. Oleh karena itu, notaris memiliki kepentingan
sendiri dalam memastikan mereka bertindak dengan cermat dan mematuhi aturan
yang ditetapkan untuk melindungi konsumen dan menjaga reputasi mereka sebagai
pemegang kepercayaan publik.

Jabatan Notaris adalah jabatan publik karena notaris diangkat dan


diberhentikan oleh pemerintah. Notaris menjalankan tugas negara dan akta yang
dibuatnya, yaitu minuta (asli akta), merupakan dokumen negara. Di Indonesia,
notaris disebut sebagai Pejabat Umum karena diangkat dan diberhentikan oleh
kekuasaan umum (pemerintah) dan diberi wewenang serta kewajiban untuk
melayani publik dalam hal-hal tertentu, dan oleh karena itu ia ikut melaksanakan
kewibawaan pemerintah. Notaris sebagai Pejabat Umum diberikan kewenangan
oleh negara untuk menyatakan terjadinya hubungan hukum antara para pihak dalam
suatu akta yang merekam secara langsung klausul kesepakatan para pihak yang
berjanji. Janji yang telah dinyatakan dalam akta merupakan cerminan kehendak
yang tulus dari para pihak

Jabatan notaris diciptakan oleh negara sebagai implementasi dari kewajiban


negara dalam memberikan pelayanan kepada rakyatnya, khususnya dalam
pembuatan alat bukti otentik yang diakui oleh negara. Pembuatan akta otentik oleh
notaris ini ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka
menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum untuk mencegah
terjadinya konflik di masyarakat. Lahirnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris (UUJN), yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 6
Oktober 2004, semakin mempertegas posisi penting notaris sebagai Pejabat Umum
yang berkewajiban memberikan kepastian hukum melalui akta otentik yang
dibuatnya. Keberadaan UUJN yang merupakan “rule of law” untuk dunia notaris di
Indonesia.6 Landasan filosofis lahirnya UUJN adalah demi terwujudnya jaminan
kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan
keadilan. Dalam menjalankan tugas jabatannya, notaris mempunyai dan
menggunakan cap/stempel jabatan dengan Lambang Negara, yaitu Burung Garuda,
dan ini adalah suatu kewajiban bagi notaris yang penggunaannya telah ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan kenotariatan. Penggunaan Lambang Negara
oleh notaris adalah sebagai bentuk menjalankan sebagian kekuasaan negara dan
membawa kewibawaan negara serta mendukung dan menguatkan keotentikan suatu
akta notaris.

Dalam menjalankan jabatannya notaris harus dapat bersikap profesional


dengan dilandasi kepribadian yang luhur dengan senantiasa melaksanakan tugasnya
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku sekaligus menjunjung tinggi
kode etik profesi notaris sebagai rambu yang harus ditaati. Notaris perlu
memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki
unsurunsur sebagai berikut: (1) memiliki integritas moral yang mantap; (2) harus
jujur terhadap klien maupun diri sendiri (kejujuran intelektual); (3) sadar akan
batas-batas kewenangannya; dan (4) tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan
uang.

Pasal 16 huruf a UUJN menentukan bahwa notaris wajib bertindak jujur,


seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan para pihak yang terkait
dalam perbuatan hukum. Di samping itu, notaris sebagai pejabat umum harus peka,
tanggap, mempunyai ketajaman berpikir dan mampu memberikan analisis yang
tepat terhadap setiap fenomena hukum yang fenomena sosial yang muncul sehingga
dengan begitu akan menumbuhkan sikap keberanian dalam mengambil tindakan
yang tepat. Keberanian yang dimaksud di sini adalah keberanian untuk melakukan
perbuatan hukum yang benar sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku
melalui akta yang dibuatnya dan menolak dengan tegas pembuatan akta yang
bertentangan dengan hukum, moral dan etika.

Akta notaris adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh notaris. Menurut
KUHPdt pasal 1870 dan HIR pasal 165 (Rbg 285) yang mempunyai kekuatan
pembuktian mutlak dan mengikat. Salah satu fungsi akta yang penting adalah
sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna
bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak
darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta otentik merupakan bukti
yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut
harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama
kebenarannya itu tidak ada pihak ain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut
Pasal 1857 KUHPdt, jika akta dibawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang
terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat
pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli
warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya. Akta notaris sebagai
sebuah akta otentik memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Kebutuhan akan pembuktian tertulis, berupa akta otentik makin meningkat sejalan
dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum yang merupakan salah satu
prinsip dari negara hukum. Akta notaris merupakan alat pembuktian yang
sempurna, terkuat dan terpenuh sehingga selain dapat menjamin kepastian hukum,
akta notaris juga dapat menghindari terjadinya sengketa. Menuangkan suatu
perbuatan, perjanjian, ketetapan dalam bentuk akta notaris dianggap lebih baik
dibandingkan dengan menuangkannya dalam surat di bawah tangan, walaupun
ditandatangani di atas materai, yang juga diperkuat oleh tanda tangan para saksi.
Untuk dapat membuktikan adanya suatu perbuatan hukum, maka diperlukan alat
bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian. Dalam hal ini agar akta sebagai alat
bukti tulisan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, maka akta tersebut
harus memenuhi syarat otentisitas yang ditentukan oleh undangundang, salah
satunya harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang, yang antara lain
adalah Camat, Kantor Catatan Sipil, dan Notaris. Dalam hal harus dibuat oleh atau
dihadapan pejabat yang berwenang profesi Notaris memegang peranan yang sangat
penting dalam rangka pemenuhan syarat otentisitas suatu surat atau akta agar
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena berdasarkan pasal 1
UndangUndang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJNP),
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik.

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, notaris harus mendapatkan


perlindungan hukum (Budify, Manurung, & Hariandja, 2020). Dengan
pertimbangan tersebut, maka dibentuklah UndangUndang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UU No. 2 Tahun 2014).
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2014, menjelaskan bahwa:
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
UndangUndang ini atau berdasarkan undangundang lainnya.”

Adapun kewenangan Notaris, sebagaimana berdasarkan Pasal 15 ayat (1)


UU No. 2 Tahun 2014, mengatur bahwa:

Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan,


perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta
autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan
Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain
yang ditetapkan oleh undangundang.”

Dari ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa Notaris dalam membuat akta
autentik dituntut memiliki keterampilan yang mumpuni serta berkepribadian jujur
guna menegakkan kepastian hukum bagi masyarakat. Namun tidak menutup
kemungkinan adanya kesalahan dalam pembuatan akta tersebut.

Misalnya, kesalahan prosedural yang terjadi di pihak Notaris itu sendiri.


Selain itu, kesalahan juga dapat terjadi pada pihak berkepentingan yang tidak jujur
dalam memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu. Apapun
kesalahan dalam membuat akta autentik, kondisi tersebut dapat menimbulkan
kerugian bagi Notaris itu sendiri. Bahkan mengharuskan Notaris
mempertanggungjawabkan perbuatannya, berupa sanksi administrasi, sanksi
perdata, maupun sanksi pidana.

Lebih lanjut, suatu kewenangan dalam konsep kewajiban hukum berkaitan


erat dengan tanggung jawab hukum (liability) (Suhyana, Suseno, & Ramli, 2021).
Menurut pandangan Hans Kelsen, seseorang yang bertanggung jawab secara
hukum atas perbuatan tertentu dapat dikenakan sanksi jika perbuatannya
bertentangan/berlawanan hukum (Asshiddiqie & Safa’at, 2006). Di sisi lain, untuk
menjamin terselenggaranya kewenangan Notaris juga telah dibentuk Dewan
Pengawas Notaris yang pada pokoknya bertugas dalam mengawasi kinerja Notaris
agar tetap dalam lingkup kode etik Notaris (Mido, Nurjaya, & Safa’at, 2018).

Adapun penelitian terdahulu yang satu tema pembahasan dengan penelitian


ini, di antaranya sebagai berikut. Odessa Hammerfest dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa (Hammerfest, 2018):

“Notaris dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terkait dengan


pembuatan akta pihak yang didasarkan pada keterangan palsu, dan tidak dapat
memenuhi rumusan unsur tindak pidana pemalsuan dalam pasal 263, 264, dan 266
KUHP. Lebih lanjut, Notaris dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika ada
unsur masalah terhadap akta yang dibuatnya, jika secara sengaja atau lalai Notaris
membuat akta palsu, sehingga merugikan orang lain. Adapun bentuk perlindungan
hukum terhadap Notaris dalam melakukan tugas jabatannya dapat dilakukan secara
preventif dan represif. Perlindungan hukum secara preventif dapat melalui
Peraturan PerundangUndangan, di antaranya melalui kewajiban/hak ingkar Notaris.
Sedangkan, perlindungan hukum secara represif didapatkan melalui putusan hakim
dalam menjatuhkan putusan atas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.”

I. G. N. Wisnu Herbi M., dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa:


(Arlingga, 2018) “Pembuatan Akta Notaris yang didasarkan atas surat-surat yang
tidak benar yang diajukan oleh para penghadap kepada Notaris, dimana Notaris
tidak memeriksa kebenaran materiil, tidak membuat Notaris yang bersangkutan
dikualifikasikan sebagai pelaku yang ikut serta dalam tindak pidana pemalsuan akta
autentik, karena Notaris mempunyai kewajiban hukum untuk melayani masyarakat
dalam pembuatan akta autentik menurut kewenangannya.

Akan tetapi, Notaris sebagai pelaku turut serta dalam tindak pidana
pemalsuan surat apabila pada Notaris secara subjektif terdapat kesalahan dalam
bentuk kesengajaan untuk menyuruh menempatkan keterangan yang tidak benar
dalam akta yang dibuat. Eksistensi akta notaris apabila surat yang diajukan oleh
para penghadap terdapat cacat hukum yang nyata maka sepanjang tidak ada
masalah, sepanjang tidak ada yang mempersoalkannya. Namun, apabila ada pihak
yang mempersoalkan dan menggugat di pengadilan, maka pengadilan dapat
menjadikan dasar untuk membatalkannya atau setidaknya akta tersebut terdegradasi
menjadi akta di bawah tangan.”

Namun demikian, penelitian sebelumnya sebagaimana telah dideskripsikan


di atas lebih menitikberatkan pada pertanggungjawaban Notaris atas isi akta
autentik yang tidak sesuai dengan fakta. Adapun perbedaan mendasar antara
penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah terletak pada fokus kajian
terkait indikator serta bentuk pertanggungjawaban terhadap Notaris.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan dapat dirumuskan


masalah berikut ini

1. Bagaimana pertanggungjawaban notaris terhadap konsumen jika notaris


lalai atau melakukan kelalaian dalam proses pengesahan akta? Faktor-faktor
apa saja yang dapat mempengaruhi tingkat pertanggungjawaban notaris
dalam hal ini?
2. Apa konsekuensi hukum yang dapat dihadapi notaris jika terbukti
melakukan kelalaian dalam pengesahan akta dan merugikan konsumen?
Bagaimana proses penyelesaian sengketa antara notaris dan konsumen
dalam hal ini?

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dapat digunakan untuk mempelajari


pertanggungjawaban notaris kepada konsumen yang lalai dalam pengesahan akta
dapat mencakup pendekatan kualitatif melalui studi kasus. Peneliti dapat
mengumpulkan data dengan mewawancarai notaris dan konsumen yang terlibat
dalam kasus pengesahan akta yang lalai. Selain itu, peneliti dapat mengkaji
dokumen-dokumen terkait, seperti akta, kontrak, atau bukti-bukti lainnya yang
mendukung analisis kasus tersebut. Penelitian juga dapat melibatkan studi literatur
dan tinjauan terhadap peraturan hukum yang mengatur tanggung jawab notaris
dalam pengesahan akta. Analisis data yang diperoleh dapat dilakukan melalui
pendekatan induktif untuk mengidentifikasi pola, tema, dan implikasi yang terkait
dengan pertanggungjawaban notaris dalam kasus lalai pengesahan akta.

HASIL YANG DIHARAPKAN

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah pemahaman yang lebih baik
tentang pertanggungjawaban notaris terhadap isi akta otentik yang tidak sesuai
dengan fakta. Penelitian ini akan memberikan gambaran yang jelas tentang
kewajiban notaris dalam memastikan bahwa isi akta otentik sesuai dengan fakta
yang sebenarnya. Dengan demikian, penelitian ini dapat memberikan kontribusi
dalam meningkatkan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam
transaksi yang melibatkan akta otentik.

Peningkatan Pertanggungjawaban Notaris: Salah satu hasil yang diharapkan


dari penelitian ini adalah meningkatnya pertanggungjawaban notaris terhadap isi
akta otentik yang tidak sesuai dengan fakta. Dengan pemahaman yang lebih baik
tentang tanggung jawab notaris dalam menyusun akta otentik, diharapkan notaris
akan lebih berhati-hati dan teliti dalam melakukan verifikasi fakta sebelum
menyusun akta. Hal ini akan mengurangi risiko kesalahan atau ketidaksesuaian
antara isi akta dan fakta yang sebenarnya, serta memberikan perlindungan hukum
yang lebih baik bagi pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut.

Perbaikan Sistem Pengawasan: Penelitian ini juga diharapkan dapat memicu


perbaikan sistem pengawasan terhadap notaris. Dengan mengidentifikasi
kelemahan dalam pertanggungjawaban notaris terhadap isi akta otentik, hasil
penelitian ini dapat menjadi landasan untuk memperkuat dan meningkatkan
mekanisme pengawasan terhadap notaris. Sistem pengawasan yang efektif dan
transparan akan memberikan jaminan bahwa notaris menjalankan tugas mereka
dengan integritas dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip hukum.

Penguatan Profesi Notaris: Dengan adanya penelitian ini, diharapkan juga


akan terjadi penguatan dalam profesi notaris secara keseluruhan. Hasil penelitian
yang menunjukkan tanggung jawab notaris terhadap isi akta otentik yang tidak
sesuai dengan fakta dapat digunakan sebagai landasan untuk mengembangkan
program pendidikan dan pelatihan yang lebih baik bagi calon notaris. Selain itu,
hasil penelitian ini juga dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran etika dan
integritas dalam praktik notaris.

Perlindungan Konsumen: Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah


perlindungan yang lebih baik bagi konsumen atau pihak yang terlibat dalam
transaksi notaris. Dengan menegaskan pertanggungjawaban notaris terhadap isi
akta otentik yang tidak sesuai dengan fakta, diharapkan konsumen dapat lebih
percaya dan yakin bahwa transaksi yang melibatkan notaris dilakukan dengan
integritas dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip hukum. Hal ini akan
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi notaris secara keseluruhan
dan mendorong transaksi yang lebih adil dan aman di dalam masyarakat.

Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi
perbaikan kebijakan dan regulasi terkait tanggung jawab notaris. Jika ditemukan
kelemahan dalam peraturan yang ada, hasil penelitian ini dapat menjadi pijakan
untuk merevisi atau mengembangkan regulasi yang lebih tepat guna. Hal ini akan
membantu meningkatkan kualitas layanan notaris dan menjaga kepercayaan
masyarakat terhadap profesi notaris. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pengembangan hukum dan praktek
notaris yang lebih baik di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA

Karsono, R. (2016). Tanggung Jawab Notaris dalam Pembuatan Akta Otentik yang
Merugikan Pihak Ketiga. Jurnal Lex Privatum, 4(2), 198-209.

Saraswati, I. A. S. (2017). Pertanggungjawaban Notaris dalam Membuat Akta yang


Tidak Sesuai dengan Fakta. Lex Privatum, 5(1), 1-12.

Mahdi, R. (2019). Pertanggungjawaban Notaris atas Kekeliruan dalam Pembuatan


Akta Otentik. Jurnal Dinamika Hukum, 19(3), 414-422.

Puspita, E. K. (2018). Penyalahgunaan Akta Otentik oleh Notaris dan


Pertanggungjawabannya. Jurnal Hukum Novelty, 9(1), 73-84.

Abrianto, A. (2020). Tanggung Jawab Notaris terhadap Kesalahan dalam


Pembuatan Akta Otentik. Jurnal Rechts Vinding, 9(2), 214-226.

Agustin, D. (2015). Pertanggungjawaban Notaris dalam Membuat Akta yang


Merugikan Pihak Ketiga. Jurnal Padjadjaran Ilmu Hukum, 2(2), 90-102.

Rosita, L. S. (2017). Pertanggungjawaban Notaris dalam Membuat Akta yang Tidak


Sesuai dengan Fakta. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 47(3), 417-429.

Anda mungkin juga menyukai