Anda di halaman 1dari 121

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Notaris merupakan salah satu profesi hukum yang tertua di dunia. Jabatan

Notaris ini tidak ditempatkan di lembaga yudikatif, eksekutif, ataupun legislatif.

Notaris diharapkan memiliki posisi netral, karena apabila ditempatkan di salah

satu dari ketiga badan negara tersebut maka Notaris tidak lagi dapat dianggap

netral. Notaris diharapkan untuk memberikan penyuluhan hukum untuk dan atas

tindakan hukum yang dilakukan Notaris atas permintaan kliennya.1

Kewenangan seorang notaris untuk dapat membuat Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dapat dilakukan dengan membuat

akta notaris sendiri atau dengan menggunakan Blanko akta yang dikeluarkan oleh

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI). Namun demikian,

dalam hal pengisian Blanko Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tersebut

ada hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN).

Sehingga menyebabkan akta tersebut kehilangan keotentitasannya apabila yang

mengisi blanko SKMHT tersebut adalah seorang notaris.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang

Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah

atau yang dikenal dengan Undang-Undang Hak Tangungan (UUHT), maka Hak

1
Ima Erlie Yuana. Tanggung Jawab Notaris Setelah Berakhir Masa Jabatannya
Terhadap Akta Yang Dibuatnya Ditinjau Dari Undang-Undang N0m0r 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris. (Semarang, Universitas Diponegoro, 2010). hlm. 1.

1
Tanggungan merupakan satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah dalam

hukum tanah nasional yang tertulis, dimana sebelumnya masih dikenal dua

macam jaminan atas tanah yaitu lembaga jaminan Hipotik dan Credietverband.

Dengan adanya unifikasi jaminan atas tanah ini, maka dapat lebih menjamin

kepastian hukum bagi para kreditur pemegang jaminan atas tanah.

Pemberian Hak Tanggungan sendiri dilakukan dengan membuat Akta

Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT). Pembuatan APHT tersebut wajib dihadiri oleh pemberi Hak

Tanggungan, Kreditur sebagai penerima Hak Tanggungan dan dua orang saksi.

Pada asasnya pemberian Hak Tanggungan ini wajib dihadiri dan dilakukan sendiri

oleh pemberi Hak Tanggungan sebagai pihak yang berwenang melakukan

perbuatan hukum untuk membebankan Hak Tanggungan atas obyek yang

dijadikan jaminan. Namun apabila pemberi Hak Tanggungan berhalangan untuk

hadir sendiri dihadapan PPAT untuk membuat APHT, maka pemberi Hak

Tanggungan tersebut dapat memberikan kuasa kepada pihak lain untuk

menandatangani APHT. Pemberian Kuasa tersebut dilakukan dengan membuat

SKMHT.

Berdasarkan Pasal 15 (1) Undang-Undang Hak Tanggungan: “Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta

PPAT…” Berdasarkan Pasal 15 (1) Undang-Undang Hak Tanggungan: “Surat

Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta

PPAT…”Dengan adanya ketentuan ini maka seorang notaris diberi wewenang

oleh undang-undang untuk membuat SKMHT. Sesuai dengan bunyi dari Pasal 15

(1) UUHT tersebut maka kewenangan notaris untuk membuat SKMHT ini dapat

2
dilakukan dengan membuat akta notaris ataupun dengan menggunakan blanko

akta sebagaimana telah diterbitkan oleh BPN-RI.

Menurut pengertian Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 dalam Pasal

1 angka 1 (satu) disebutkan definisi notaris, yaitu notaris adalah pejabat umum

yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya

sebagaimana maksud dalam undang-undang ini. Pejabat umum adalah orang

yang menjalankan sebagian fungsi publik dari negara, khususnya dibidang

hukum perdata. Definisi yang diberikan oleh UUJN ini merujuk pada

tugas dan wewenang yang dijalankan oleh notaris. Artinya notaris memiliki

tugas sebagai pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta

otentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN.2

Terkait hal ini Pasal 65 UUJN menilai bahwa :3

1. Mereka yang diangkat sebagai notaris, notaris pengganti, notaris


pengganti khusus, dan pejabat sementara notaris dianggap sebagai
menjalankan tugas pribadi dan seumur hidup sehingga tanpa batas
waktu pertanggungjawaban.
2. Pertanggungjawaban notaris, notaris pengganti, notaris pengganti
khusus, dan pejabat sementara notaris dianggap melekat,
kemana pun dan dimana pun mantan notaris, mantan notaris
pengganti, mantan notaris pengganti khusus, dan mantan pejabat
sementara notaris berada.

Pejabat atau Instansi yang berwenang pun berbeda untuk mengangkat

Notaris, Notaris Pengganti sebagaimana yang telah dijelaskan didalam pasal 2

UUJN. Maka dari itu dengan adanya perbedaan pengangkatan ataupun syarat-

syarat untuk menjadi Notaris atau Notaris Pengganti seharusnya ada perbedaan

dan pembatasan terkait kewenangan dan tanggung jawab Notaris pengganti,

2
Abdhul Ghofur, Lembaga Kenotariatan Indonesia, (Yogyakarta : UUI Press Yogyakarta,
2009), hlm. 13
3
Habieb Adjie, Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT Indonesia, (Bandung,PT. Citra
Aditya Bakti, 2009), hlm. 43

3
karena dari syarat dan kriteria dalam hal pengangkatan yang di atur UUJN,

terdapat perbedaan yang mendasar, atas dasar peraturan perundang-undangan

pula kewenangan dan tanggung jawab Notaris Pengganti harus memiliki aturan

khusus terkait mandat atau kewenangan yang diterima olehnya.

Berdasarkan pasal 33 ayat (2) UUJN, kewenangan Notaris pengganti

sama dengan kewenangan Notaris karena pasal 15 UUJN tentang

kewenangan Notaris, berlaku pula terhadap Notaris pengganti. Adanya

Notaris pengganti bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam

pembuatan akta, Notaris pengganti hanya bersifat sementara, karena

menggantikan Notaris yang sedang cuti, sakit ataupun berhalangan atau tidak

dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Sehingga pelayanan

masyarakat untuk membuat akta otentik tidak terganggu dan berjalan

sebagaimana mestinya4.

Pejabat atau Instansi yang berwenang pun berbeda untuk mengangkat

Notaris, Notaris Pengganti sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam pasal 2

UUJN. Maka dari itu dengan adanya perbedaan pengangkatan ataupun syarat-

syarat untuk menjadi Notaris atau Notaris Pengganti seharusnya ada perbedaan

dan pembatasan terkait kewenangan dan tanggung jawab Notaris pengganti,

karena dari syarat dan kriteria dalam hal pengangkatan yang di atur UUJN,

terdapat perbedaan yang mendasar, atas dasar peraturarn perundang-undangan

pula kewenangan dan tanggung jawab Notaris Pengganti harus memiliki aturan

khusus terkait mandat atau kewenangan yang diterima olehnya5.

4
Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang- undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
5
Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, ( Malang, Bayu Media Publishing,
2003), hlm. 77-78.

4
Tanggung jawab Notaris pengganti sebagai profesi lahir dari

adanya kewajiban dan kewenangan yang diberikan kepadanya, kewajiban dan

kewenangan tersebut secara sah dan terikat mulai berlaku sejak Notaris

mengucapkan sumpah jabatannya sebagai notaris. Sumpah yang telah

diucapkan tersebutlah yang seharusnya mengontrol segala tindakan Notaris

dalam menjalankan jabatannya. Raden Soegondo Notodisoerjo6 menyatakan

tentang apa yang dapat dipertanggung jawabkan oleh Notaris pengganti

yaitu apabila penipuan atau tipu muslihat itu bersumber dari notaris sendiri.

Salah satu kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1545 K/PDT/2011 yang

menjelaskan tentang akta-akta Surat Kuasa Tentang Membebankan Hak

Tanggungan dimana dianggap cacat yuridis, tidak sah dan batal hukum. Contoh

kasus notaris pengganti dalam kasus Budiyanto yang menggunakan notaris pengganti

dalam pembuatan akta Surat Kuasa tentang Membebankan Hak Tanggungan

dimana dianggap cacat yuridis, tidak sah dan batal hukum yang dilakukan

penghadap dalam pembuatan akta Hak Tanggungan Nomor 116/2004 tanggal 24

September 2004 di hadapan Notaris MERISA HERAWATI, SH., selaku Notaris

pengganti dari Notaris HARUN KAMIL, SH.tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat7

Budiyanto dalam gugatannya telah menyatakan bahwa tanda tangan

Budiyanto dalam SKMHT Nomor 114 tanggal 6 Agustus 2004 telah dipalsukan

sebagaimana dimuat dalam butir gugatan. Dengan demikian jelas bahwa gugatan

Budiyanto yang diajukan terhadap Merisa Herawati, SH sebelum adanya putusan

peradilan adalah prematur atau belum waktunya untuk diajukan peristiwa dan
6
Raden Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia suatu Penjelasan, (Jakarta,
Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 229.
7
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1545 KPDT/2011

5
fakta hukum lain yang juga tidak dicermati dengan hati-hati, teliti dan seksama,

baik oleh Notaris.

Bukti tersebut diperkuat oleh Badan Pertanahan Nasional dan PT. Bank

Mandiri, bahwa seseorang yang menghadap ke Notaris, ke Badan Pertanahan

Nasional dan juga ke PT. Bank Mandiri saat itu bila diteliti dan dilihat secara

seksama, maka foto orang yang tercantum dalam KTP BUDIYANTO (palsu)

dengan foto pada KTP BUDIYANTO (asli) sangat berbeda sekali, artinya tidak

identik.

Adanya kasus yang mengakibatkan batalnya akta yang dibuat Notaris

pengganti karena cacat yuridis akta yang dibuat Notaris pengganti serta

pertanggungjawaban pertanggungjawaban notaris pengganti terhadap akta yang

dibuatnya karena penghadap memiliki surat kuasa membebakan hak tanggungan

yang cacat hukum.

Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas penulis tertarik untuk

mengangkat permasalahan mengenai SKMHT dan membahasnya dalam bentuk

tesis yang berjudul : “Pertanggungjawaban Notaris Pengganti Terhadap

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang Cacat Hukum”

1.2. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan masalah dalam penulisan ini

adalah:

1. Apa yang menjadi prinsip dalam Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan?

2. Apa yang menjadi karakteristik notaris pengganti dalam Undang-undang

6
Jabatan Notaris?

3. Apa Ratio decidendi dari yurisprudensi Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 1545 K/PDT/2011 tentang Surat Kuasa Membebankan

Hak Tanggungan yang cacat hukum?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang dicapai dalam penulisan tesis ini terbagi menjadi dua yaitu

tujuan umum dan tujuan khusus.

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini merupakan tujuan yang bersifat akademis, yaitu:

a. Memenuhi tugas dan melengkapi sebagaian syarat-syarat untuk mencapai

gelar Magister Notariat pada Fakultas Hukum Universitas Jember.

b. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis dalam Ilmu Hukum

Khususnya masalah hukum berkaitan dengan notariat.

c. Menerapkan ilmu pengetahuan hukum yang diperoleh selama masa studi

serta mengembangkan dan membuat analisis secara yuridis praktis.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam tesis ini adalah:

a. Menemukan prinsip dalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

b. Mengkaji karakteristik notaris pengganti dalam peraturan Undang-undang

Jabatan Notaris

c. Menemukan Ratio Decidentie majelis hakim dalam putusan Mahkamah

Agung Nomor 1545 K/PDT/2011 dan putusan Mahkamah Agung

Republik Indonesia nomor 3049 K/Pdt/2013 tentang surat kuasa

7
membebankan hak tanggungan yang cacat hukum.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diharapkan dari penulisan tesis ini adalah:

a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

bagi perkembangan ilmu hukum khususnya di bidang hukum kenotariatan

yang akan bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi para

akademisi serta praktisi hukum, khususnya kalangan Notaris mengenai

tanggung jawab notaris pengganti secara perdata terhadap akta yang dibuat.

b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi lembaga

yang terkait di dalamnya serta masyarakat di dalam mengambil keputusan

selanjutnya. Terkait hal ini untuk mengetahui bentuk-bentuk tanggung jawab

notaris pengganti secara perdata terhadap akta yang dibuat.

c. Bagi para akademisi semoga penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk

melakukan penelitian lebih lanjut terhadap akta yang dibuat notaris sehingga

keabsahan dan tanggung jawab notaris menjadi lebih jelas dan tegas.

1.5. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan salah satu faktor penting yang menunjang

suatu proses penelitian yang berupa penyelesaian suatu permasalahan yang akan

diteliti terhadap aturan-aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-

doktrin hukum, dimana metode penelitian merupakan cara yang bertujuan untuk

mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang akan dihadapi. Metode

8
penelitian hukum merupakan prosedur atau langkah-langkah yang dianggap

efektif dan efisien.8

Berdasarkan hal tersebut, metode yang harus digunakan dalam penelitian

harus tepat agar dapat menjadi acuan yang sistematis dan terarah dalam

menghasilkan suatu argumentasi, teori atau konsep baru sebagai pretesis dalam

penyelesaian suatu masalah. Metode penelitian hukum normatif memiliki

beberapa muatan yaitu tipe penelitian, pendekatan masalah, bahan hukum,

prosedur pengumpulan bahan hukum dan pengolahan serta analisis bahan hukum9.

Sejalan dengan uraian di atas, maka sebagai pedoman dalam penulisan tesis

ini digunakan metode penelitian sebagaimana tertulis dalam uraian di bawah ini.

1.5.1. Tipe Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan Hukum,

prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin Hukum guna menjawab isu

Hukum yang dihadapi.10 Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini

adalah yuridis normatif (Legal Research), yakni penelitian yang difokuskan untuk

mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam Hukum positif yang

berlaku. Tipe penelitian yuridis normatif dilakukan dengan dilakukan dengan

mengkaji berbagai macam aturan Hukum yang bersifat formil seperti Undang-

Undang, literatur-literatur yang bersifat konsep teoritis yang kemudian

dihubungkan dangan permasalahan yang menjadi pokok pembahasan dalam tesis

ini.
8
Soerjono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 2003).
hlm.. 45
9
Herowati Poesoko, Diktat Mata Kuliah Metode Penulisan dan Penelitian Hukum, (Fakultas
Hukum Universitas Jember, 2010), hlm. 34-35
10
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2010) hlm. 35

9
1.5.2. Pendekatan Penelitian

Ada beberapa pendekatan dalam penelitian hukum terdapat beberapa

pendekatan. Berdasarkan pendekatan tersebut penelitian akan mendapatkan

informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari

jawabnya.11 Pendekatan yang dilakukan oleh penulis dalam tesis ini adalah

sebagai berikut :

1. Pendekatan undang-undang (statute approach) yaitu suatu pendekatan yang

dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang

tersangkut paut dengan isu hukum yang sedang dihadapi. Dasar dari penelitian

ini adalah untuk kegiatan akademis, maka peneliti perlu mencari ratio legis dan

dasar ontologis suatu undang-undang. Memahami suatu kandungan filosofis

dibelakang undang-undang itu akan disimpulkan makna yang ada di dalam

suatu undang-undang dengan isu yang dihadapi tanpa mengesampingkan

doktrin-doktrin hukum yang selama ini sudah berkembang di masyarakat. 12

2. Pendekatan konseptual (conceptual approach) adalah suatu pendekatan yang

beranjak pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dari

ilmu hukum, sehingga dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin

yang berkembang dalam ilmu hukum, penulis dapat menemukan ide-ide yang

melahirkan pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum

yang relevan dengan isu yang dihadapi.13 Terkait dengan tesis ini merujuk pada

hubungan hukum dalam hukum perdata dan doktrin-doktrin yang berkembang

dalam hukum perdata.


11
Ibid. hlm. 93.
12
Ibid, hlm 134
13
Ibid, hlm 135-136

10
3. Pendekatan kasus (case approach) adalah suatu pendekatan yang mengkaji

beberapa kasus dikaji untuk referensi bagi suatu isu hukum. Berbeda dengan

penelitian sosial, pendekatan kasus dalam penelitian normatif bertujuan untuk

mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukumyang dilakukan dalam

praktek hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputuskan

sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurispendensi terhadap perkara-perkara

yang menjadi fokus penelitian14.

Berdasarkan pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi

penelitian dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu

hukum yang dihadapi.15

1.5.3. Sumber Bahan Hukum

Sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber penelitian

berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum.

Bahan hukum tersebut merupakan sarana bagi suatu penulisan yang digunakan

untuk memecahkan masalah sekaligus memberikan pemikiran mengenai apa yang

seharusnya. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan tesis ini

adalah :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum primer merupakan bahan Hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas. Bahan Hukum primer terdiri dari perundang-

undangan catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-

Herowati Poesoko, Diktat Metode Penulisan dan Penelitian Hukum (Jember Fakultas
14

Hukum Universitas Jember, 2012). Hlm 38-39


15
Ibid. hlm. 136.

11
undangan dan putusan-putusan hakim.16 Bahan Hukum primer yang digunakan

penulis dalam penulisan tesis ini yang meliputi:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

d. Putusan Mahkamah Agung Nomor1545K/PDT2001

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum sekunder berupa semua publiasi tentang Hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang Hukum meliputi

buku-buku teks, kamus-kamus Hukum dan jurnal-jurnal Hukum, dan komentar-

komentar atas putusan pengadilan.17 Bahan Hukum sekunder yang di gunakan

dalam penulisan tesis ini diantaranya menggunakan buku-buku teks hukum dan

tulisan-tulisan tentang hukum yang relevan dengan isi hukum yang dihadapi.

3. Bahan Non Hukum

Bahan hukum tersier merupakan penunjang dari bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder. Bahan-bahan hukum tersier dapat berupa buku-buku

mengenai ilmu politik, ekonomi, sosiologi, filsafat, kebudayaan ataupun laporan-

laporan penelitian non hukum dan jurnal-jurnal non hukum sepanjang mempunyai

relevansi dengan topik penelitian.18

Bahan non hukum dapat berupa buku-buku di luar ilmu hukum, akan

tetapi masih ada kaitannya isu hukum yang dibahas. Selain itu sumber bahan non
16
Peter Mahmud Marzuki. Op.Cit. hlm. 141.
17
Ibid. hlm. 180
18
Peter Mahmud Marzuki. Loc cit. hlm. 35

12
hukum juga dapat di peroleh melalui internet, kamus, atau pun buku pedoman

penulisan karya ilmiah. Bahan non Hukum dimaksudkan untuk memperkaya

wawasan penulis.

1.5.4. Analisa Bahan Hukum

Analisa bahan Hukum merupakan suatu metode yang digunakan oeh

penulis dalam menentukan jawaban atas permasalahan yang dibahas. Untuk dapat

menganalisis bahan yang telah diperoleh, maka penulis harus menggunakan

beberapa langkah dalam penelitian Hukum agar menentukan hasil yang tepat

untuk menjawab masalah yang ada. Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa

langkah-langkah yang harus dilakukan penulis dalam penelitian hukum, yaitu: 19

1. Mengidentifikasi fakta Hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan

untuk menetapkan isu Hukum yang hendak dipecahkan;

2. Pengumpulan bahan-bahan Hukum dan sekiranya dipandang mempunyai

relevansi juga bahan-bahan non Hukum;

3. Melakukan telaah atas isu Hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan

yang telah dikumpulkan;

4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu Hukum;

dan

5. Memberikan pretesis berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di

dalam kesimpulan.

Berdasarkan langkah-langkah tersebut penulis akan melakukan telaah

atas isu Hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah untuk menarik

19
Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media
Group,, hlm. 171.

13
kesimpulan berdasarkan bahan-bahan hukum yang sudah terkumpul

menggunakan metode analisa bahan hukum deduktif yaitu berpangkal dari suatu

permasalahan yang secara umum sampai dengan hal-hal yang bersifat khusus. 20

Terkait demikian, maka dapat dicapai tujuan yang diinginkan dalam penulisan

tesis, yaitu untuk menjawab isu hukum yang ada. sehingga pada akhirnya penulis

dapat memberikan pretesis mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan dapat

diterapkan.

1.6. Orisinalitas

Penelitian ini didasari beberapa penelitian tentang notaris pengganti seperti

Tabel 1.1 berikut.

Tabel 1.1 Penelitian Tentang Pertangungjawaban Notaris Pengganti

Peneliti Jenis Karya Asal Perguruan Isi


(Tahun) Ilmiah Tinggi
Ariy Tesis Universitas Tanggung Jawab Notaris
Yandillah Brawijaya Pengganti Terkait
(2014) Malang Pembuatan Akta Notaris
Yang Merugikan Para
Pihak Akibat Kelalaianya
20
Ibid hlm. 171

14
Nida'ul Tesis Universitas Kedudukan Hukum Dan
Khairiyah Hassanudin Tanggung Jawab Notaris
(2011) Banjarmasin Pengganti Dalam
Pembuatan Akta Di Kota
Banjarmasin.

Selly Tesis Universitas Tanggung Jawab Notaris


Masdalia Udayana Bali Terhadap Akta Otentik
Pertiwi Yang Berakibat Batal Demi
(2014) Hukum Pada Saat Berakhir
Masa Jabatannya

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya persamaan penelitian ini dengan

penelitian sebelumnya terletak pada tanggung jawab pembuatan akta yang dibuat

oleh notaris. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya antara lain

kasus yang diangkat dalam tesis ini berdasarkan putusan Mahkamah Agung

Nomor 1545 K/PDT/2011. Pertanggung jawaban notaris dalam penelitian ini

adalah notaris pengganti dan batalnya akta otentik dikarenakan surat kuasa

membebankan hak tanggungan yang cacat hukum.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Tanggung Jawab Hukum

15
Tanggung jawab secara etimologi adalah kewajiban terhadap segala

sesuatunya atau fungsi menerima pembebanan sebagai akibat tindakan sendiri

atau pihk lain. Sedangkan pengertian tanggung jawab menurut kamus besar

Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya

(jika terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya)21

Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum

menyatakan bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu

perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subjek berarti

bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang

bertentanga. Hans Kelsen menyatakan bahwa untuk melakukan kehati-hatian yang

diharuskan oleh hukum disebut kekhilafan (negligence); dan kekhilafan biasanya

dipandang sebagai satu jenis lain dari kesalahan (culpa) walaupun tidak sekeras

kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau

tanpa maksud jahat, serta akibat yang membahayakan.22

Teori tanggung jawab dalam perbuatan melanggar hukum (tort liability)

dibagi menjadi beberapa teori, yaitu :23

a. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan

dengan sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan

perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui

bahwa apa yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.

21
Departemen pendidikan nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai
Pustaka, 2002) hlm 1139
22
Somardi, General Teori Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara. Dasar-
Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik (Jakarta: BEE Media
Indonesia, 2007). Hlm 81
23
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Jakarta: Citra Aditya Bakti,
2010). Hlm.530

16
b. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan

karena kelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep

kesalahan (concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang

sudah bercampur baur (interminglend).

c. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa

mempersoalkan kesalahan (stirck liability), didasarkan pada perbuatannya

baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan

kesalahannya tetap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat

perbuatannya

Hans Kelsen dalam Raisul Mutaqien selanjutnya membagi mengenai

tanggung jawab terdiri dari 24:

a. Pertanggung jawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab

terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;

b. Pertanggung jawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung

jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain;

c. Pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang

individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannnya karena

sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;

d. Pertanggung jawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu

bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja

dan tidak diperkirankan.

24
Raisul Mutaqien, Teori Hukum Murni, (Nuansa dan Nusa Media, Bandung, 2006)
hlm 140

17
Prinsip-prinsip tanggung jawab hukum dibedakan menjadi 2 macam yaitu

(1) Liability based on fault; dan (2) strict Liabiliti.25 Prinsip dasar pertanggung

jawaban atas dasar kesalahan mengandung arti bahwa seseorang harus

bertanggung jawab karena ia melakukan kesalahan karena merugikan orang lain.

Sebaliknya prinsip tanggung jawab risiko adalah bahwa konsumen penggugat

tidak diwajibkan lagi melainkan produsen tergugat langsung bertanggung jawab

sebagai risiko usahanya.

2.2 Notaris dan Notaris Pengganti

Pasal 1 angka 1 UUJN, notaris didefinisikan sebagai pejabat umum yang

berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana

dimaksud dalam UUJN. Definisi yang diberikan oleh UUJN ini merujuk pada

tugas dan wewenang yang dijalankan oleh notaris. Artinya notaris memiliki

tugas sebagai pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta

otentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN. Pembuatan akta

otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka

kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum.

Berdasarkan bunyi Pasal 1 angka (1) Undang-undang Jabatan Notaris

bahwa, yang dimaksud dengan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang

untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud

dalam undang-undang ini

Pasal 1 angka (2) UUJN menyatakan :

“ Pejabat sementara notaris adalah seorang yang untuk sementara

25
Koesnadi Hardja Soemantri, Hukum Tata Lingkungan (Yojakarta; Gadjah Mada University
Press, 1988) hlm 334-335

18
menjabat sebagai notaris untuk menjalankan jabatan notaris yang

meninggal dunia, diberhentikan, atau diberhentikan sementara”

Pasal 1 angka (3) UUJN :

“ Notaris pengganti adalah seorang yang untuk sementara diangkat


sebagai notaris untuk menggantikan notaris yang sedang cuti, sakit.
Atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai
notaris”

Pasal 1 angka (4) UUJN :

“ Notaris pengganti khusus adalah seorang yang diangkat sebagai


notaris khusus untuk membuat akta tertentu sebagaimana disebutkan
dalam surat penetapannya sebagai notaris karena di dalam satu daerah
kabupaten atau kota terdapat hanya seorang notaris, sedangkan notaris
yang bersangkutan menurut ketentuan undang-undang ini tidak boleh
membuat akta dimaksud”.

Artinya notaris adalah satu-satunya pejabat yang berwenang untuk

membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang

diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan

dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, semuanya sepanjang

pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau

dikecualikan kepada pejabat atau orang lain26.

Menurut Pasal 1 UUJN, Notaris Pengganti adalah seorang yang untuk

sementara diangkat sebagai Notaris untuk menggantikan Notaris yang sedang cuti,

sakit, atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai Notaris.

Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah (Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia) dan diberikan wewenang serta kewajiban untuk melayani publik

(kepentingan umum) dalam hal-hal tertentu, oleh karena itu Notaris ikut

melaksanakan kewibawaan pemerintah. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UUJN,


26
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Notaris, (Jakarta, PT. Ikhtiar Baru, 2000)
hlm. 451

19
Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena hal-hal

sebagai berikut :

a. Meninggal dunia;
b. Telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun;
Ketentuan ini dapat diperpanjang sampai berumur 67 (enam puluh tujuh)
tahun dengan mempertimbangkan kesehatan Notaris yang bersangkutan;
c. Permintaan sendiri;
d. Tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas
jabatan Notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; atau
e. Merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g (sebagai
pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau jabatan lain yang dilarang
oleh undang-undang).

Terkait hal Notaris berhenti dengan hormat karena telah berumur 65

tahun (atau diperpanjang sampai umur 67 tahun) maka Notaris tersebut wajib

menyerahkan Protokol Notaris kepada Notaris lain yang ditunjuk oleh Menteri

atas usul Majelis Pengawas Daerah. Ketentuan Pasal 65 UUJN Perubahan

menyatakan bahwa “ Notaris, Notaris Pengganti, dan Pejabat Sementara Notaris

bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun Protokol Notaris

telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan Protokol Notaris ”

Terkait hal ini Pasal 65 UUJN menilai bahwa :27

a. Mereka yang diangkat sebagai Notaris, Notaris Pengganti,


dan Pejabat Sementara Notaris dianggap menjalankan tugas
pribadi dan seumur hidup sehingga tanpa batas waktu
pertanggungjawaban.
b. Pertanggungjawaban Notaris, Notaris Pengganti, dan Pejabat
Sementara Notaris dianggap melekat, kemanapun dan
dimanapun mantan Notaris, mantan Notaris Pengganti, dan
mantan Pejabat Sementara Notaris berada.
Ketentuan tersebut di atas menyatakan bahwa tanggung jawab seorang

Notaris tidak serta merta berakhir begitu saja pada saat Notaris tersebut telah

berakhir masa jabatannya. Notaris merupakan manusia biasa yang dalam

menjalankan tugas jabatannya harus mengutamakan prinsip kehati-hatian, tetapi

27
Habieb Adjie, Op.Cit. hlm. 43

20
Notaris juga tidak luput dari kesalahan dan kelalaian. Kesalahan dan kelalaian

yang dimaksud yaitu Notaris yang bersangkutan tidak melaksanakan ketentuan

UUJN dalam membuat akta baik secara lahiriah, formil, maupun materiil serta

adanya itikad yang tidak baik dari pengguna jasanya.

Seperti dinyatakan dalam Pasal 65 UUJN:

“Notaris, Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat


Sementara Notaris bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya
meskipun Protokol Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada
pihak penyimpanan Protokol Notaris ”

28
Terkait hal ini Pasal 65 UUJN menilai bahwa

a. Mereka yang diangkat sebagai notaris, notaris pengganti, notaris


pengganti khusus, dan pejabat sementara notaris dianggap sebagai
menjalankan tugas pribadi dan seumur hidup sehingga tanpa batas
waktu pertanggungjawaban.
b. Pertanggungjawaban notaris, notaris pengganti, notaris pengganti
khusus, dan pejabat sementara notaris dianggap melekat, kemana
pun dan dimana pun mantan notaris, mantan notaris pengganti,
mantan notaris pengganti khusus, dan mantan pejabat sementara
notaris berada.

Guna menentukan sampai kapankah notaris, notaris pengganti, notaris

pengganti khusus, dan pejabat sementara notaris harus bertanggung jawab atas

akta yang dibuat dihadapan atau dibuat olehnya, maka harus dikaitkan dengan

konsep notaris sebagai jabatan (ambt).29

Setiap orang yang mengemban atau memangku jabatan tertentu dalam

bidang apapun sebagai pelaksanaan dari suatu struktur Negara, pemerintah atau

organisasi mempunyai batasan. Ada batasan dari segi wewenang dan ada juga

batasan dari segi waktu, artinya sampai kapan jabatan yang diemban atau

dipangku oleh seseorang harus berakhir. Khusus untuk notaris, notaris pengganti,
28
Ibid. hlm..24
29
Ibid, hlm. 44

21
notaris pengganti khusus, dan pejabat sementara notaris pertanggung jawabannya

mempunyai batas sesuai dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan dan juga

dari segi wewenangnya.

2.3 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan adalah kuasa yang

diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan sebagai pemberi kuasa kepada

penerima kuasa khusus untuk membebankan suatu benda dengan Hak

Tanggungan.30

Penjelasan Umum angka 7 dan Penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-

undang Hak Tanggungan dinyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan

wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan dengan cara hadir di

hadapan PPAT. Hanya apabila sesuatu sebab tidak dapat hadir sendiri di hadapan

PPAT, ia wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya, dengan Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (disingkat SKMHT) yang berbentuk akta

otentik.

Notaris berwenang membuat SKMHT untuk tanah-tanah di seluruh wilayah

Indonesia, maka PPAT hanya boleh membuat SKMHT untuk tanah-tanah yang

berada di dalam wilayah jabatannya terutama di tempat-tempat di mana tidak ada

Notaris yang bertugas. Sepertinya tidak logis, kalau untuk SKMHT, kewenangan

PPAT harus dibatasi sampai seluas wilayah kerjanya, karena kuasa itu pada

umumnya nantinya tidak akan dilaksanakan untuk menandatangani APHT di

hadapan PPAT lain yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah. Pemberian kuasa

30
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Jaminan, ( Mandar Maju, Bandung,
2009). hlm. 76

22
tidak ada kaitannya dengan letak tanah, karena bukan merupakan transaksi tanah.

Suatu kuasa justru sangat dibutuhkan kalau letak tanah berjauhan dengan tempat

tinggal si pemilik. Kalau dekat, mungkin adanya kuasa tidak dibutuhkan atau

pada umumnya kebutuhan itu tidak terlalu besar.31

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan pada dasarnya tidak memuat

perbuatan hukum yang lain baik berupa menjual, menyewakan obyek Hak

Tanggungan atau memperpanjang hak atas tanah yang di atur dalam Pasal 15

ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, sehingga dapat dikatakan bahwa

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan bukan merupakan jaminan, akan

tetapi sebagai upaya awal bagi debitur untuk memberikan kepercayaan kepada

pihak bank bahwa debitur mempunyai itikad baik dalam perjanjian kredit dengan

memberikan kuasa kepada pihak bank untuk meningkatkan kedudukan tanah

yang digunakan untuk agunan ke Akta Pemberian Hak Tanggungan. Perubahan

dari Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan menjadi Akta Pemberian Hak

Tanggungan, maka posisi agunan berubah menjadi jaminan, sehingga kreditur

mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atas tanah yang dijaminkan karena

adanya sertifikat Hak Tanggungan yang mempunyai kekuatan eksekutorial.

2.4 Hak Tanggungan

2.4.1 Pengertian Hak Tanggungan

Seperti yang kita ketahui bahwa untuk masalah penjaminan tanah terhadap

utang-utang, dalam KUH Perdata yang berlaku adalah hipotek. Pada tahun 1960

31
Satrio, hlm. 308-309, Dalam Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan,
(Jakarta, Sinar Grafika, 2009). hlm. 441

23
berdasarkan perintah pasal 57 Undang-Undang no 5 tahun 1960 sebelum adanya

undang-undang baru yang khusus mengatur tentang hak tanggungan, hipotek atas

tanah masih berlaku.Tentu saja dlm pemikiran kita berlakunya hipotek atas tanah

hanya sementara saja, yakni sebelum adanya undang-undang baru yang khusus

mengatur tentang hak tanggungan. ternyata berlakunya hipotek terhadap tanah

(perintah pasal 57 UU no 5 tahun 1960) berlaku cukup lama menunggu hampir 36

tahun sampai diundangkannya UU no 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggunan Atas

Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah. Sejak diundangkannya

UUHT hipotek dan credit verband tidak berlaku lagi.

Adapun yang dimaksud dengan hak tanggungan menurut Pasal 1 Undang-

Undang Hak Tanggungan adalah Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda

yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah

hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu

kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur

lain.

Berdasarkam pengertian tersebut, maka unsur-unsur yang terkandung

dalam pengertian Hak Tanggungan meliputi antara lain:

a. Hak jaminan jaminan yang dibebankan atas tanah.

b. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan

satu kesatuan dengan tanah itu.

c. Untuk pelunasan utang tertentu.

24
d. Memberikan kedudukan yang utama kepada kreditur tertentu terhadap

kreditur-kreditur lainnya.32

Hak tanggungan merupakan perjanjian yang accesoir atau tambahan, maka

tergantung adanya tergantung pada perjanjian pokok, dan akan hapus dengan

hapusnya perjanjian pokok, dengan ciri-ciri dan sifat antara lain:

a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada

pemegangnya (droit de preference)

b. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda itu berada

(droit de suit)

c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas

d. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya33

2.4.2 Objek dan Subjek Hak Tanggungan

Objek hak tanggungan disebutkan dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang menyatakan :

a. Hak Milik, Hak Guna Usaha. Hak Guna Bangunan (pasal 25, 33, dan 39

UUPA)

b. Hak Pakai atas tanah Negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib

didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan.

c. Bangunan rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun yang berdiri

diatas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai yang diberikan

oleh negara (pasal 27 jo.UU 16/1985

32
Salim H.S, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika, hlm 112.
Dalam buku DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Hukum Perdata dalam Sistem Hukum
Nasional, Jakarta: Kencana Prenad Media Group, 2008, hlm.182
33
Ibid. hlm 115.

25
d. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan

satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan, asalkan dinyatakan jelas

dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Adapun yang menjadi subjek hukum dalam pemasangan hak tanggungan

antara lain:

a. Pemberi hak tanggungan

b. Penerima hak tanggungan

Pada praktek pemberi hak tanggungan disebut debitur yaitu yang meminjam

uang dilembaga perbankan, sedangkan penerima hak tanggungan disebut dengan

kreditur, yaitu orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak

berpiutang.34

2.5 Cacat Hukum

Kesepakatan adalah syarat pertama dalam perjanjian, kata sepakat adalah

point penting dalam lahirnya suatu perjanjian, kata sepakat harus lahir dari para

pihak yang membuat perjanjian dalam keadaan sadar dan bebas dari suatu apapun,

sehingga para pihak dapat memenuhi hak dan kewajibanya dan bertanggung

jawab atas perjanjian yang lahir dari kesepakatan tersebut.

Kata sepakat menghendaki kedua pihak mempunyai kebebasan kehendak.

Para pihak bebas dari tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi

perwujudan kehendak tersebut35. Kata sepakat harus lahir dalam keadaan bebas

dari para pihak, dalam perjanjian seringkali di temukan kehendak yang dapat

mempengaruhi kata sepakat, hal tersebut sering disebut dengan cacat kehendak.

34
Ibid,hlm. 186
35
Mariam Darius Baruszman, Op.Cit. hlm. 87

26
Cacat kehendak (wilsgebreken atau defect of consent) adalah kecacatan

dalam pembentukan kata sepakat dalam suatu kontrak atau perjanjian. Cacat

kehendak ini adalah tidak sempurnanya kata sepakat. 36 Dalam Pasal 1321 KUH

Perdata menjelaskan bahwa “ Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan

karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.Ketiga hal

tersebut dalam ilmu hukum dikenal dengan cacat kehendak klasik karena selalu

berhubungan dengan pembentukan kehendak atau kesepakatan.

Mariam Darus Badruzaman menjelaskan tentang Pasal 1321 KUH Perdata

sebagai berikut :

a. Kedua syarat pertama yang ditentukan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata

adalah syarat subjektif, karena berkaitan dengan subjek perjanjian, yaitu

kesepakatan dan cakap membuat perjanjian. Kedua syarat terakhir adalah

syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan kausa, yakni tujuan

mengadakan perjanjian. Kata sepakat menghendaki kedua pihak mempunyai

kebebasan kehendak. Para pihak bebas dari tekanan yang mengakibatkan

adanya “ cacat “ bagi perwujudan kehendak tersebut.

b. Pihak yang dapat mengajukan pembatalan adalah pihak yang belum

memenuhi syarat untuk menyatakan kehendaknya untuk mengadakan

kesepakatan, yaitu seseorang yang belum dewasa dan sesorang yang berada di

bawah pengampunan, mereka ini tidak cakap untuk membuat suatu perikatan.

c. Undang- Undang menentukan bahwa mereka berhak untuk mengajukan

kebatalan perikatan itu dalam waktu lima tahun. Untuk mereka yang belum

dewasa, berlaku sejak hari kedewasaan; dalam hal pengampuan sejak, hari

pencabutan pengampuan; dalam hal paksaan, sejak hari paksaan berhenti;


36
Ibid. Hlm.88

27
dalam kekhilafan atau penipuan , sejak hari diketahui penipuan atau

kekhilafan.

d. Pembatalan itu tidak dapat diajukan jika orang tua wali, atau pengampu dari

mereka yang tidak cakap menguatan perikatan yang diadakan mereka (Pasal

1456 KUH Perdata).

e. Jika perjanjian itu diadakan oleh seorang yang tidak cakap, maka yang dapat

mengajukan tidaknya pembatalan adalah orang tua atau walinya ataupun ia

sendiri, apabila ia sudah cakap. Perjanjian ini tetap sah sampai pembatalanya

di ajukan.

2.6 Kewenangan

2.5.1. Pengertian Kewenangan

Menurut kamus besar bahasa indonesia, kata wewenang disamakan dengan

kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak,

kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab

kepada orang/badan lain.37 Menurut H.D Stout wewenang adalah pengertian yang

berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai

seluruh aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan

wewenang-wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hubungan

hukum publik.38

Menurut Bagir Manan wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan

kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak

37
Kamal Hidjaz. Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan
Daerah Di Indonesia, (Makasar, Pustaka Refleksi, 2010). hlm. 35.
38
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. 2013),
hlm. 71.

28
berbuat.Wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban.39 Kewenangan adalah

merupakan hak menggunakan wewenang yang dimiliki seorang pejabat atau

institusi menurut ketentuan yang berlaku, dengan demikiankewenangan juga

menyangkut kompetensi tindakan hukum yang dapat dilakukan menurut kaedah-

kaedah formal, jadi kewenangan merupakan kekuasaan formal yang dimiliki oleh

pejabat atau institusi.Kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam kajian

hukum tata negara dan hkum administrasi negara.

Begitu pentingnya kedudukan kewenangan ini, sehingga F.A.M. Stroink

dan J.G. Steenbeek menyebut sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan

hukum administrasi negara.40 Berdasarkan definisi kewenangan menurut para ahli

diatas, penulis berpendapat bahwa kewenangan merupakan suatu hak yang

dimiliki oleh seorang pejabat atau institusi yang beritindak menjalankan

kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.6.2. Sumber Kewenangan

Indroharto, mengemukakan bahwa wewenang diperoleh secara

atribusi,delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut :

Wewenang yang diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian wewenang

pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-

undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang

baru. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh

Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan

secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi
39
Nurmayani S.H.,M.H. Hukum Administrasi Daerah (Lampung, Universitas Lampung
Bandar 2009). hlm. 26.
40
Ridwan HR. Op.Cit. hlm. 99.

29
selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak

terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari

Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.41

Philipus M. Hadjon, mengatakan bahwa setiap tindakan pemerintahan

disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh

melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi

lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang

dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang

berasal dari pelimpahan.Kemudian Philipus M Hadjon pada dasarnya membuat

perbedaan antara delegasi dan mandat. Dalam hal delegasi mengenai prosedur

pelimpahannya berasal dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan

yang lainnya dengan peraturan perundang-undangan, dengan tanggung jawab dan

tanggung gugat beralih ke delegataris. Pemberi delegasi tidak dapat menggunakan

wewenang itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang dengan asas

”contrarius actus”. Artinya, setiap perubahan, pencabutan suatu peraturan

pelaksanaan perundang-undangan, dilakukan oleh pejabat yang menetapkan

peraturan dimaksud, dan dilakukan dengan peraturan yang setaraf atau yang lebih

tinggi. Dalam hal mandat, prosedur pelimpahan dalam rangka hubungan atasan

bawahan yang bersifat rutin. Adapun tanggung jawab dan tanggung gugat tetap

pada pemberi mandat. Setiap saat pemberi mandat dapat menggunakan sendiri

wewenang yang dilimpahkan itu.42

Bagir Manan, menyatakan dalam Hukum Tata Negara, kekuasaan

menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Wewenang


41
Indroharto. Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
(Jakarta: Pustaka Harapan. 1993). hlm. 68.
42
Ridwan HR. Op.Cit. hlm.108-109.

30
mengandungarti hak dan kewajiban. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau

tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan

tindakan tertentu. Kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak

melakukan tindakan tertentu Dalam hukum administrasi negara wewenang

pemerintahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh

melalui cara-cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat.43

Atribusi terjadinya pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh

suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Atribusi kewenangan

dalam peraturan perundang-undangan adalah pemberian kewenangan membentuk

peraturan perundang-undangan yang pada puncaknya diberikan oleh UUD 1945

atau UU kepada suatu lembaga negara atau pemerintah. Kewenangan tersebut

melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap

diperlukan. Disini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Legislator

yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan dibedakan :

a. Original legislator, dalam hal ini di tingkat pusat adalah MPR sebagai

pembentuk Undang-undang Dasar dan DPR bersama Pemerintah sebagai

yang melahirkan suatu undangundang. Dalam kaitannya dengan

kepentingan daerah, oleh konstitusi diatur dengan melibatkan DPD. Di

tingkat daerah yaitu DPRD dan pemerintah daerah yang menghasilkan

Peraturan Daerah. Dalam Pasal 22 ayat (1), UUD 1945 memberikan

kewenangan kepada Presiden untuk membentuk Peraturan Pemerintah

Pengganti UU jika terjadi kepentingan yang memaksa.

43
Bagir Manan. Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi
Daerah. (Bandung, Fakultas Hukum Unpad. 2000). hlm. 1-2.

31
b. Delegated legislator, dalam hal ini seperti presiden yang berdasarkan suatu

undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah, yaitu diciptakan

wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha

Negara tertentu. Pada delegasi, terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang

telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh

wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata

usaha negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu

atribusi wewenang.44 Misal, dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun

2009 Tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara Pasal 93

(1) Pejabat struktural eselon I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas

usul Menteri yang bersangkutan (2) Pejabat struktural eselon II ke bawah

diangkat dan diberhentikan oleh Menteri yang bersangkutan. (3) Pejabat

struktural eselon III ke bawah dapat diangkat dan diberhentikan oleh Pejabat

yang diberi pelimpahan wewenang oleh Menteri yang bersangkutan.45

Pengertian mandat dalam asas-asas Hukum Administrasi Negara, berbeda

dengan pengertian mandataris dalam konstruksi mandataris menurut penjelasan

UUD 1945 sebelum perubahan. Dalam Hukum Administrasi Negara mandat

diartikan sebagai perintah untuk melaksanakan atasan, kewenangan dapat

sewaktu-waktu dilaksanakan oleh pemberi mandat, dan tidak terjadi peralihan

tanggung jawab.

Berdasarkan uraian tersebut, apabila wewenang yang diperoleh organ

pemerintahan secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan

perundang-undangan, yaitu dari redaksi pasal-pasal tertentu dalam peraturan

44
Ibid. hlm. 104-105
45
Ibid

32
perundang-undangan. Penerima dapat menciptakan wewenang baru atau

memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern

pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima

wewenang (atributaris).46

2.7. Teori Tanggung Jawab

Pada hukum perdata istilah tanggung jawab lebih sering disebut dengan

tanggung gugat. Tanggung jawab lebih sering digunakan dalam hukum pidana.47

Tanggung gugat merupakan terjemahan dari bahasa Belanda aansprakelijkheid

yang sepadan dengan accountable atau accountability dalam bahasa Inggris.48

Aansprakelijkheid dan liability digunakan untuk membedakan makna dari istilah

berbahasa Belanda verantwoordlijkheid dan responsibility dalam bahasa Inggris

yang istilah dalam bahasa Indonesia adalah tanggung jawab49.

Tanggungjawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa – apa boleh dituntut,

dipersalahkan, dan di perkarakan50. Pada kamus hukum, tanggung jawab adalah

suatu keharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan

kepadanya.51 Accountable atau accountability dalam Black’s Law Dictionary,

Seventh Edition, 1999, berarti responsible atau answerable. Sedangkan

accountable atau accountability menurut The Contemporary English-Indonesia

Dictionary adalah tanggung jawab. Definisi tanggung jawab dalam Kamus Besar
46
Ibid. hlm. 109.
47
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Erlangga, 1976),
hlm. 1014

48
Ibid. hlm. 1015
49
Ibid. hlm. 1015
50
Ibid. hlm. 1015
51
Andi Hamzah, Kamus Hukum, (jakarta, Ghalia Indonesia, 2005). hlm.75

33
Bahasa Indonesia berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya ( bila

terjadi sesuatu boleh dituntut, diperkarakan dan lain sebagainya).52 Menurut pakar

hukum Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman J. Satrio berpendapat

bahwa istilah tanggung gugat tidak dikenal dalam hukum.

Saat yang dimaksud dengan tanggung gugat adalah vjijwaring maka itu

berarti jaminan, akan tetapi istilah vjijwaring tidak ditemui padan katanya dalam

bahasa Indonesia.53 Dalam penjelasan di atas dapat diartikan bahwa sebenarnya

antara tanggung jawab dan tanggung gugat memiliki arti yang sama tetapai hanya

penggunaan istilah saja yang berbeda diantara hukum pidana dan hukum perdata.

Tanggung gugat didahului dengan perbuatan melanggar hukum, dan

karena perbuatan tersebut seseorang harus bertanggung jawab dalam gugatan yang

diajukan dihadapan Pengadilan. Menurut Rosa Agustina pengertian perbuatan

melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau

perbuatan/tidak berbuat yang bertentangan dengan Undang-Undang atau

bertentangan dengan hukum tidak tertulis yang seharusnya dijalankan oleh

seseorang dengan sesama masyarakat.54 Kelalaian maupun kurang hati-hati

termasuk dalam perbuatan melanggar hukum, sehingga seseorang diwajibkan

untuk tanggung gugat atas kerugian yang muncul.

Kerugian yang muncul karena kelalaian diatur dalam Pasal 1366 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata “ setiap orang bertanggung jawab tidak saja

untuk kerugian yang disebabkan perbuatanya, tetapi juga untuk kerugian yang

disebabkan kelalaian dan kurang kehati-hatian”. Tanggung gugat dalam Pasal

52
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/cl5934/apa-arti-tanggung-gugat, diakses pada
pukul 22.30 WIB, 19 Januari 2018
53
Ibid
54
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta, Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2013), hlm 37

34
1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat diketahui terdapat 4 (empat)

jenis pertanggung gugat, yakni :

a. Pertanggung-gugat untuk perbuatan orang lain. Pertanggung-


gugat yang disebabkan karena barang-barang yang berada dalam
pengawasanya
b. Pertanggung gugat pemilik atau pemegang kendaraan bermotor.
c. Pertanggung gugat untuk kerugian yang timbul karena kematian,
menderita, luka dan penhinaan.
d. Pertanggung gugat dari badan hukum dan organisasinya.

Pada kamus hukum terdapat 2 (dua) istilah mengenahi tanggung jawab

hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang

luas yang menunjukan resiko atau tanggung jawab. Meliputi hak dan kewajiban

secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, dan penipuan Liability.

Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu

kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan

meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang

dilaksanakan55.

Istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu

tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan

istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik. Secara umum,

prinsip – prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:56

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault)

Prinsip berdasarkan unsur kesalahan adalah prinsip yang cukup umum

berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUHPerdata, khususnya Pasal

1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan,

55
Ibid, hlm. 38
56
Kelik Wardiono, Hukum Perlindungan Konsumen, (Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2014),
hlm.77-83

35
seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawaban secara hukum jika ada

unsur kesalahan yang dilakukannya. Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, yang

dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum, mengharuskan terpenuhinya

empat unsur pokok agar orang dapat dimintai pertanggungjawaban, yaitu:

1. Adanya perbuatan melawan hukum

2. Adanya unsur kesalahan

3. Adanya kerugian yang diderita

4. Adanya hubungan kualitas antara kesalahan dan kerugian

b. Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga selalu bertanggung jawab

(Presumption of Liability)

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai

dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada si

tergugat. Dalam prinsip ini tampak beban pembuktian terbalik, dimana dasar

pemikiran dari teori pembalikan beban pembuktian adalah seseorang dianggap

bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Tergugat

dianggap bertanggung jawab sampai ia membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

Bersadarkan asas ini, beban pembuktian ada pada tergugat. Berkaitan dengan

prinsip ini pelaku usaha dapat membebaskan diri dari tanggung jawab, kalau ia

dapat membuktikan diri bahwa:

1. Kerugian ditimbulkan oleh hal-hal diluar kekuasaannya

2. Pelaku usaha sudah mengambil tindakan yang diperlukan untuk

menghindari timbulnya kerugian.

3. Kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya.

36
c. Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga selalu tidak bertanggung jawab

(presumption of nonliability)

Prinsip ini kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduka untuk tidak selalu

bertanggungjawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat

terbatas, dalam pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat

dibenarkan. Misalnya dalam hukum pengangkutan. Apabila kehilangan atau

kerusakan kabin/bagasi tangan, yang biasa dibawa dan diawasi penumpang yang

bertanggung jawab adalah penumpang.

d. Prinsip tanggung jawab berdasarkan tanggung jawab mutlak (strict liability)

Prinsip tanggung jawab mutlak sering diidentikan dengan prinsip tanggung

jawab absolut. Kendati demikan ada pula para ahli yang membedakannya. Ada

pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang

menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada

pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab,

misalnya force majure. Sabaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung

jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualinya. Selain itu, ada pandangan

yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidak

adanya hubungan kausalitas antar subyek yang bertanggung jawab dan

kesalahannya. Pada strict liability hubungan itu harus ada, sementara pada

absolute liability, hubungan itu tidak selalu ada. Maksudnya, pada

pertanggungjawaban itu bukan pelaku langsung kesalahan tersebut.

37
e. Prinsip tanggung jawab berdasarkan pembatasan tanggung jawab (limitation

liability)

Prinsip ini sangat disukai oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai

klausula eksonerasi dalam perjanjian standart yang dibuatnya. Dalam prinsip ini

dianut system pembuktian terbalik, maka setiap terjadi sengketa perdata antara

konsumen dengan pelaku usaha, atau apabila terjadi pelanggaran atau kejahatan

yang dilakukan pelaku usaha, maka pelaku usaha dianggap bertanggung jawab

sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

Pada dasarnya dalam hukum perdata bentuk sanksi hukumnya dapat

berupa kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban) serta hilangnya suatu

keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru.

Pertanggungjawaban hukum dibidang perdata merupakan pertanggungjawaban

hukum yang didasari oleh adanya hubungan keperdataan antar subyek hukum.

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL

Penulis memberikan konsep untuk menjawab isu hukum yang ada dalam

penelitian tesis ini sebagaimana telah dijabarkan dalam rumusan masalah serta

untuk mempermudah alur pikir. Adanya perbedaan pandangan dari bergabai pihak

terhadap suatu objek akan melahirkan teori-teori yang berbeda, oleh karena itu

38
dalam suatu penelitian termasuk penelitian hukum pembatasan-pembatasan atau

kerangka baik teori maupun konsepsi merupakan hal yang penting agar tidak

terjebak dalam polemik yang tidak terarah. Pentingnya kerangka konseptual dan

landasan atau kerangka teoritis dalam penelitian hukum, dikemukakan oleh

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, bahwa kedua kerangka tersebut merupakan

unsur yang sangat penting.57 Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain

bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat

ditentukan oleh teori.58

SKMHT yang merupakan surat kuasa yang diberikan oleh pemberi

Hak Tanggungan sebagai pemberi kuasa kepada penerima kuasa khusus untuk

membebankan suatu benda dengan Hak Tanggungan, bukan merupakan suatu

lembaga jaminan, sehingga mempunyai konsekwensi hukum bila SKMHT

dilanjutkan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dan

didaftarkan di kantor pertanahan, maka kreditur akan merasa aman karena

sebagai kreditur preferen (kreditur yang pelunasan hutangnya didahulukan dari

kreditur-kreditur lainnya dari hasil penjualan jaminan), lain halnya jika SKMHT

tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dan

didaftarkan di kantor pertanahan, maka jaminannya bukan lagi jaminan khusus

tetapi masuk dalam jaminan umum seperti yang diatur dalam Pasal 1131 KUH

Perdata dan kreditur mempunyai kedudukan yang sama dengan kreditur-kreditur

lainnya (konkuren).

Pada ketentuan Pasal 65 UUJN menyatakan bahwa Notaris, Notaris

Pengganti, dan Pejabat Sementara Notaris bertanggung jawab atas setiap akta
57
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta RajaGrafindo Persada, 2003) Hlm. 7.
58
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI press, 1986) hlm.6

39
yang dibuatnya meskipun Protokol Notaris telah diserahkan atau dipindahkan

kepada pihak penyimpan Protokol Notaris. Dalam hal ini termasuk juga

SKMHT, seperti yang terdapat dalam putusan MA Nomor 1545 K/PDT/2011,

Maka sesuai dengan judul yang penulis ambil yaitu “Pertanggungjawaban

Notaris Pengganti Terhadap Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang

Cacat Hukum” penulis memberikan konsep dan teori-teori hukum untuk

menjawab permasalahan yang menjadi isu hukum dalam penelitian tesis ini.

Permasalahan atau isu hukum dalam penelitian tesis ini adalah :

1. Prinsip dalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

2. Karakteristik notaris pengganti dalam Undang-undang Jabatan Notaris?

3. Ratio decidendi dari yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 1545 K/PDT/2011 tentang Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan yang cacat hukum?

Untuk permasalahan yang pertama penulis menggunakan konsep SKMHT

sebagai batu uji atau pisau analisisnya, Kemudian untuk permasalahan yang kedua

penulis menggunakan teori tanggung jawab hukum sebagai batu uji atau pisau

analisisnya dan untuk permasalahan yang ketiga penulis menggunakan Ratio

Decidentie Judex factie dan judex juris Putusan MA Nomor 1545 K/PDT/2011

sebagai batu uji atau pisau analisisnya. Baru kemudian diambil kesimpulan dan

saran atas apa yang sudah dianalisis.

40
SKEMA KERANGKA KONSEPTUAL

Pertanggungjawaban Notaris Pengganti


Terhadap SKMHT yang Cacat Hukum

Latar Belakang

Rumusan Masalah

(1) (2) (3)


Apa yang menjadi prinsip Apa yang menjadi Apa Ratio Decidendi
dalam SKMHT? karakteristik notaris Yurisprudensi MARI
pengganti dalam tentang SKMHT yang41
cacat hukum?
UUJN?
Pendekatan

Pisau Analisa Pisau Analisa Pisau Analisa

Penafsiran Hukum
Asas Kehendak Para Teori Kewenangan Konstitusi Hukum
Pihak Teori Tanggung Logika Hukum
Asas Kepastian Hukum Jawab Hukum
Prinsip Pemberian
Kewenangan

Analisis

Kesimpulan

Saran

BAB 4

PEMBAHASAN

4.1. Prinsip Dalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), penulis terlebih

dahulu membahas mengenai tinjauan umum mengenai kuasa, termasuk tentang

kuasa yang terkandung di dalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

(SKMHT). Pemberian kuasa atau dalam bahasa Belanda disebut Latsgeving,

42
merupakan suatu persetujuan (overenkoms) dengan mana seseorang memberi

kuasa atau kekuasaan (macht) kepada orang lain, yang menerimanya untuk dan

atas nama pemberi kuasa (latsgever). Cara pemberian dan penerimaan kuasa dapat

dilakukan dengan akta otentik (Notarieel), dengan tulisan dibawah tangan

(Onderhands geschrift), dengan surat biasa dan atau dengan lisan.59

4.1.1. Prinsip Kehendak Para Pihak

Menurut Mahadi60 kata prinsip atau asas identik dengan principle dalam

bahasa Inggris yang erat kaitannya dengan istilah principium (kata latin).

Principium permulaan, awal, mula, sumber, asal, pangkal, pokok, dasar, sebab.

Adapun prinsip atau asas adalah sesuatu yang dapat kita jadikan alas, sebagai

dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk

mengembalikan sesuatu hal, yang hendak kita jelaskan. Dalam arti tersebut, kata

principle difahamkan sebagai sumber yang abadi dan tetap dari banyak hal, aturan

atau dasar bagi tindakan seseorang, suatu pernyataan (hukum, aturan, kebenaran)

yang dipergunakan sebagai dasar untuk menjelaskan sesuatu peristiwa.

Pada umumnya asas hukum berubah mengikuti kaedah hukumnya,

sedangkan kaedah hukum akan berubah mengikuti perkembangan masyarakat,

sehingga terpengaruh oleh waktu dan tempat. Pembentuk hukum praktis perlu

berorientasi pada asas-asas hukum tersebut, sebab asas hukum sebagai dasar-dasar

atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.

Pengertian “kehendak” dalam istilah “tindakan hukum” tidak hanya

menunjukkan bahwa akibat hukumnya dikehendaki atau dianggap dikehendaki,


59
Komar Andarsasmita, Notaris II, (Bandung, Sumur Bandung, 1982), hlm. 453
60
Mahadi, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, (Bandung, Citra Aditya Bhakti, 1989), hlm.
119

43
tetapi di dalamnya juga sudah tersimpul adanya “sepakat”, yang merupakan ciri

daripada perjanjian (dalam Pasal 1320 KUHPerdata), yang tidak mungkin ada

pada onrechtmatigedaad dan zaakwaarneming.

Prinsip kehendak para pihak dalam hal ini kreditor dan debitor yang

mendasari pembuatan surat kuasa sangat penting untuk mencapai kesepakatan

keduanya. Surat Kuasa merupakan surat yang berisi tentang pemberian kuasa

kepada seseorang untuk mengurus sesuatu. Definisi tentang surat kuasa pada

dasarnya tidak ada aturan hukum apapun yang memberikan definisi tentang surat

kuasa, sehingga untuk lebih memahaminya perlu diketahui dahulu apa itu

pemberian kuasa. Berdasarkan KUH Perdata pada Pasal 1792, pemberian kuasa

adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada

seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas nama menyelenggarakan suatu

urusan. Dalam prakteknya banyak menterjemahkan surat kuasa sebagai pemberian

kuasa. Menurut Nieuw Burgerlik Wetboek Nederland (NBW), sebuah kitab revisi

BW, telah diatur pengertian kuasa (volmacht) dan pemberian kuasa (lastgeving).

Kuasa (volmacht) merupakan tindakan hukum sepihak yang memberi wewenang

kepada penerima kuasa untuk mewakili pemberi kuasa dalam melakukan suatu

tindakan hukum tertentu. Tindakan hukum sepihak adalah tindakan hukum yang

timbul sebagai akibatari perbuatan satu pihak saja, misalnya pengakuan anak dan

pembuatan wasiat.

Pemberian kuasa (lastgeving) merupakan suatu persetujuan sepihak, dimana

kewajiban untuk melaksanakan prestasi hanya terdapat pada satu pihak. Pada

pasal 1792 KUH Perdata tersebut di atas merupakan lastgeving perjanjian

pembebanan perintah yang menimbulkan kewajiban bagi si penerima kuasa untuk

44
melaksanakan kuasa, sedangkan volmacht merupakan kewenangan mewakili.

Suatu lastgeving tidak selalu memberikan wewenang untuk mewakili pemberi

kuasa (volmacht) namun dimungkinkan ada. Volmacht tidak selalu merupakan

bagian dari lastgeving.

Menurut Pasal 1792 KUHPerdata ada beberapa hal yang menjadi unsur dari

pemberian kuasa, yaitu :

a. Pemberian kuasa merupakan suatu perjanjian.

Pemberian kuasa terdiri dari pemberi kuasa dan penerima kuasa, hubungan

itu dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa, berkekuatan mengikat

sebagai persetujuan (1338 KUHPerdata), oleh karena itu pemberian kuasa

harus dilakukan berdasarkan pernyataan pesetujuan yang tegas dari kedua

belah pihak. Unsur persetujuan ini harus memenuhi syarat-syarat

persetujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu

sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu

perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Pemberian kuasa

tidak bisa dilakukan jika bertentangan dengan hukum. Pemberian kuasa

tersebut dapat juga dituangkan dalam akta otentik atau dibawah tangan

maupun dengan lisan. Dalam Pasal 1793 ayat (2) KUHPerdata, penerimaan

kuasa dapat terjadi secara diam-diam dan hal itu dapat disimpulkan dari

pelaksanaan kuasa itu oleh pemberi kuasa. Akan tetapi, cara diam-diam ini

tidak dapat diterapkan dalam pemberian kuasa khusus.

b. Pemberian kuasa untuk menyelenggarakan suatu urusan.

45
Kekuasaan yang dilimpahkan oleh pemberi kuasa mutlak dari dirinya.

Pemberi kuasa mustahil atau tidak dapat melimpahkan kekuasaan yang

merupakan milik orang lain atau tidak berasal dari dirinya.

c. Pemberian kuasa atas nama pemberi kuasa.

Unsur atas nama pemberi kuasa berarti bahwa penerima kuasa diberi

wewenang untuk mewakili pemberi kuasa. Akibatnya tindakan hukum yang

dilakukan oleh penerima kuasa merupakan tindakan hukum dari pemberi

kuasa. Ukuran untuk menentukan tindakan hukum kepada pemberi kuasa

hanya terbatas sepanjang kewenangan atau mandat yang diberikan oleh

pemberi kuasa dan apabila kuasa bertindak melampaui batas mandat maka

tanggung jawab pemberi kuasa hanya sebatas tindakan yang sesuai dengan

mandat yang diberikan. Sedangkan melampaui batas mandat itu menjadi

tanggung jawab penerima kuasa (Pasal 1806 KUHPerdata).

Adapun penerimaannya selain dari secara tegas dapat pula secara diam-

diam dan dapat disimpulkan dari pelaksanannya. Pemberian kuasa tidak

dijanjikan terjadi secara cuma-cuma. Berdasarkan pasal 1795 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata berbunyi sebagai berikut :

“Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya


satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi
segala kepentingan si pemberi kuasa”.

Surat kuasa khusus hanya berisi tugas tertentu, pemberi kuasa hanya

menyuruh penerima kuasa untuk melaksanakan suatu atau beberapa hal tertentu

saja, misalnya kuasa untuk menjual rumah atau kuasa untuk menggugat seseorang

tertentu saja sesuai dengan pasal 1795 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

46
Sedangkan surat kuasa umum mengandung isi dan tujuan untuk melakukan

tindakan-tindakan pengurusan barang-barang harta kekayaan si pemberi kuasa,

penerima kuasa mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan harta

kekayaan pemberi kuasa.61

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pemberian kuasa yakni

menyangkut adanya ketegasan kata-kata dalam hal mengalihkan hak atas benda,

menjaminkan suatu benda atau tanah, membuat suatu perdamaian atau suatu

perbuatan lain yang hanya dapat dilakukan oleh pemilik benda yang

bersangkutan. Penerima kuasa menjalankan kekuasaan yang diberikan oleh

penerima kuasa tidak boleh bertindak melampaui batas yang diberikan kepadanya

oleh penerima kuasa. Oleh karena tindakan dari pemegang kuasa itu sebenarnya

mewakili, demikian untuk dan atas nama pemberi kuasa, maka pemberi kuasa

dapat dalam arti kata. Oleh karena tindakan dari pemegang kuasa itu sebenarnya

mewakili, demikian untuk dan atas nama pemberi kuasa, maka pemberi kuasa

dapat dalam arti kata berhak untuk menggugat secara langsung dan menuntut

orang ketiga, dengan siapa pemegang kuasa telah bertindak dalam

kedudukannya, agar perjanjian yang bersangkutan dipenuhinya.

Pemberi kuasa berkewajiban untuk memenuhi semua perikatan

(verbintenissen) yang telah diberikan oleh pemegang kuasa. Kewajiban tersebut

sesuai dengan kekuasaan yang telah diberikan olehnya kepada pemegang kuasa

itu. Penerima kuasa berkewajiban untuk antara lain terus melaksanakan tugasnya

sebagai pemegang kuasa sampai selesai. Selama penerima kuasa belum

dibebaskan untuk itu (kuasanya belum dicabut/terpenuhi/berakhir), maka

61
M.Yahya Harahap, Segi-Segi Ilmu Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, Hlm.308-
309

47
penerima kuasa bertanggung jawab atas kelalaian dalam menjalankan kuasanya

itu. Penerima kuasa juga diwajibkan untuk melaporkan serta memberikan

perhitungan kepada pemberi kuasa atas apa yang telah dikerjakannya sebagai

penerima kuasa. Penerima kuasa bertanggung jawab terhadap orang lain/atau

orang ketiga yang telah ditunjuknya untuk melaksanakan kekuasaan yang telah

diberikan oleh pemberi kuasa akan tetapi orang yang ditunjuknya itu ternyata

tidak cakap melaksanakan kekuasaan tersebut.

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan atau yang sering disebut

SKMHT merupakan pemberian kuasa dari satu subjek hukum (orang/badan

hukum) kepada subjek hukum (orang/badan hukum) lainnya (penerima kuasa)

untuk melakukan satu urusan tertentu. Urusan tertentu (kuasa khusus) ini sudah

tentu yaitu melakukan atau menyelenggarakan membebankan Hak Tanggungan.

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dapat dilakukan

dengan prinsi-prinsip yang diterapkan dalam pembuatan Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) . Sahnya suatu SKMHT selain dari

harus dibuat dengan akta notariil, menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT No. 4 Tahun

1996 harus pula memenuhi persyaratan SKMHT yang dibuat itu :

a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan lain daripada membebankan


Hak Tanggungan.
b. Sepakat oleh kehendak para pihak
c. Tidak memuat kuasa substitusi.
d. Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama
serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan
pemberi Hak Tanggungan

SKMHT seringkali digunakan oleh kreditor (bank) dalam pengikatan Hak

Tanggungan, jadi tidak langsung membebankan objek Hak Tanggungan yang

menjadi agunan kredit. Pihak kreditor hanya meminta (menguasai) SKMHT saja

48
untuk mengikat objek jaminan berupa tanah untuk memenuhi piutang kreditor

apabiladebitor wanprestasi maupun pailit62. Pihak kreditor tidak langsung

membebankan Hak Tanggungan pada tanahyang menjadi agunan kredit, hanya

saja meminta SKMHT dari pemberi Hak Tanggungan dengan alasan biaya

pembebanan Hak Tanggungan dirasakan sangat mahal oleh debitor, sedangkan

kredit (pinjaman) yang diberikan tidak terlalu besar dan jangka waktunya juga

tidak lama. Alasan lain yaitu tanah yang dijadikan agunan masih belum terdaftar

dan belum bersertipikat, sehingga pengurusan dan penerbitan sertipikatnya

memakan waktu yang lama sementara kredit (pinjaman) sudah segera diperlukan.

Sertifikat masih dalam proses pemohonan haknya, kreditor mengikat debitor

dengan SKMHT.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUHT No. 4 Tahun 1996, SKMHT

merupakan akta yang dibuat oleh pejabat umum yaitu Notaris atau PPAT,

sehingga secara formal bahwa SKMHT mempunyai kekuatan mengikat dan

sebagai alat bukti yang kuat.63 SKMHT didasarkan atas prinsip pemberian

perlindungan kepada pemberi Hak Tanggungan terhadap tindakan yang gegabah,

karena tindakan memberikan kuasa membebankan Hak Tanggungan bisa

membawa konsekuensi yang besar sekali, yaitu bisa kehilangan hak atas tanah

yang dijaminkan, karena setelah dibebani Hak Tanggungan, maka sipemberi Hak

Tanggungan (pemilik hak atas tanah/debitor) tidak memiliki hak mutlaknya

terhadap tanah tersebut, dimana pihak penerima Hak Tanggungan (kreditor)

memiliki hak juga atas tanah tersebut.

62
Sutan Remy Sjahdeini, Hak tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan
Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak
tanggungan) ,(Bandung : Alumni, 1999), hal. 11
63
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1998), hal. 169

49
Pada pasal 15 ayat (1) UUHT No. 4 Tahun 1996 menentukan persyaratan

SKMHT wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT. Dengan kata lain,

kedua pejabat ini berhak membuat SKMHT.

Pada Pasal 15 ayat (1) huruf a UUHT No. 4 Tahun 1996 juga diatur bahwa

SKMHT tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada

membebankan Hak Tanggungan. SKMHT dikhususkan kepada satu kepentingan

yaitu untuk membebankan Hak Tanggungan, tidak memuat kuasa untuk menjual,

menyewakan objek Hak Tanggungan, memperpanjang hak atas tanah. Hal ini juga

menjadikan SKMHT juga tidak dapat disatukan dengan perjanjian kredit. Pada

dasarnya SKMHT ini merupakan perjanjian accessoir dari perjanjian pokoknya

namun harus tetap terpisah.

Pada Pasal 15 ayat (1) huruf b UUHT No. 4 Tahun 1996 juga diatur bahwa

SKMHT tidak memuat kuasa subsitusi. Subsitusi mempunyai makna bahwa

adanya penggantian figur penerima kuasa kepada orang lain atas dasar

perlimpahan kuasa yang diterima oleh penerima kuasa dari pemberi kuasa atau

inisiatif penerima kuasa sendiri. Pasal 1803 KUH Perdata disimpulkan bahwa

pada asasnya seorang kuasa berhak mensubsitusikan kuasanya kepada orang lain,

kecuali pemberi kuasa secara tegas menyatakan atau penerima kuasa tidak boleh

mensubsitusikan kuasa itu kepada orang lain. Selanjutnya pada Pasal 1803 ayat

(2) dijelaskan bahwa untuk peristiwa-peristiwa tertentu justru secara tegas

mempersangkakan adanya kewenangan si kuasa untuk melimpahkan kuasanya

kepada orang lain. Adanya kewenangan subsitusi ini merupakan ketentuan umum,

sedangkan larangan subsitusi merupakan pengecualian. Ketentuan ini

50
dikesampingakan pada Pasal 15 ayat (1) huruf b UUHT No. 4 Tahun 1996,

subsitusi tidak diperbolehkan dalam membebankan Hak Tanggungan.

Pada pasal 15 ayat (1) huruf c UUHT No. 4 Tahun 1996 dijelaskan pula

bahwa dalam SKMHT mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan,

jumlah hutang, dan nama serta identitas kreditornya, nama identitas debitor

apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan. Objek Hak Tanggungan adalah

tanah, bangunan beserta segala sesuatu yang telah ada dan/atau akan ada dan

tertanam diatas tanah tersebut yang menurut sifat, guna, tujuan dan peruntukannya

atau menurut undang-undang dapat dianggap sebagai harta tetap yang diberikan

sebagai jaminan.

4.1.2. Prinsip Kepastian Hukum Dalam Substansi Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) diatur dalam

Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT). Dalam

pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak

Tanggungan, hanya apabila benar-benar diperlukan dan apabila tidak dapat hadir

dihadapan Notaris/ PPAT dapat menggunakan Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan (SKMHT) dan surat kuasa tersebut harus diberikan langsung oleh

pemberi Hak Tanggungan dan harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

Pasal 15 ayat 1 UU No. 4 tahun 1996 (UUHT) menentukan bahwa " Surat Kuasa

Untuk Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta

PPAT...". Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat 1 UUHT tersebut, jelas bahwa

51
pemberian kuasa dalam rangka pemberian Hak Tanggungan (SKMHT) harus

dibuat dengan akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris atau PPAT. Sudah tentu

Notaris atau PPAT yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat 1 UUHT tersebut adalah

Notaris atau PPAT yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku di Indonesia yaitu Notaris atau PPAT di Indonesia.

Pembuatan SKMHT harus memenuhi ketentuan atau syarat yang

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan harus dipatuhi

oleh setiap Notaris atau PPAT yang akan membuat SKMHT tersebut atau harus

dipatuhi oleh PPAT yang dibuat berdasarkan SKMHT. Jika Notaris atau PPAT

yang akan membuat SKMHT atau PPAT yang akan membuat APHT menemukan

pembuatan SKMHT yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku maka Notaris atau PPAT tersebut harus menolak

pembuatan akta yang bersangkutan, karena adanya penyimpangan dalam

pembuatan SKMHT yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku dapat berakibat SKMHT tersebut batal demi hukum dan

karenanya dapat membawa akibat hukum tertentu kepada Notaris atau PPAT yang

membuat akta tersebut.

SKMHT tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab

apapun, kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena habis jangka

waktunya.

Pedoman yang digunakan ada pada Peraturan Menteri Negara Agraria atau

Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996, dimana ditetapkan

pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dan menetapkan mulai

kapan wajib digunaakan blanko-blanko sesuai bentuk yang ditetapkan oleh

52
Peraturan Menteri tersebut. Kalau pemberi kuasa adalah debitor sendiri, biasanya

penandatangan perjanjian kredit/hutang-piutang dilakukan sekaligus dengan

penandatanganan perjanjian pemberian jaminannya. Namun kalau pemberi

jaminan bukan debitor sendiri, tetapi seorang pihak ketiga atau pihak ketiga

bersama-sama dengan debitor, seperti pada pemilikan bersama, mungkin sekali

pihak ketiga tidak bisa/dapat hadir sendiri, karena kesibukannya, ataupun karena

berhalangan atau tempat tinggalnya berada di luar kota, sehingga ia memilih

sarana kuasa untuk memberikan jaminan. Pemberian kuasa demikian itu sifatnya

wajib ataupun imperatif jika calon pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir

sendiri dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).64

Sesorang memberikan kuasa kepada seseorang tertentu untuk dan atas

nama pemberi kuasa, memberikan jaminan, menandatangani perjanjian

penjaminan kepada kreditor. Pada asasnya suatu kuasa tidak terikat kepada suatu

bentuk tertentu, bisa dalam bentuk lisan, bisa tertulis, di bawah tangan maupun

otentik, tetapi berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Hak Tanggungan, Surat

Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) wajib dibuat dalam bentuk

akta notaril atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Kata “wajib” disini harus

ditafsirkan tidak boleh dikesampingkan, bilamana dikesampingkan maka surat

kuasa tersebut menjadi batal demi hukum.

Diberlakukannya Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah Beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah

(UUHT) amat berarti dalam menciptakan unifikasi hukum Tanah Nasional,

khususnya di bidang hak jaminan atas tanah. Kenyataan menunjukan bahwa

64
Habib Adjie, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah, Mandar Maju,
Bandung, 2000. Hlm. 10

53
dalam praktek pelaksanaan penjaminan atas tanah selama ini telah terjadi hal-hal

yang tidak mendukung keberadaan suatu lembaga hak jaminan yang kuat dengan

segala dampaknya, seperti yang terjadi dalam praktek yang seolah-olah

melembagakan Surat Kuasa Memasang Hipotik (SKMH).

Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

bertujuan memberikan landasan untuk dapat berlakunya lembaga Hak

Tanggungan yang kuat yang didalamnya antara lain menegaskan atau meluruskan

persepsi yang isinya serta syarat berlakunya berbeda dengan Surat Kuasa

Memasang Hipotik (SKMH) yang lalu.

Sebelum berlakunya Undang undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak

Tanggungan atau UUHT, jarang sekali atau bahkan tidak terjadi pihak-pihak

menempuh langsung pembebanan hipotik, yang selalu terjadi adalah pembuatan

kuasa memasang hipotik (SKMH) dengan beberapa alasan, antara lain:

a. Proses penandatanganan akta hipotik sampai keluarnya sertifikat hipotik

memerlukan waktu yang lama.

b. Biaya mahal.

c. Pihak Kreditur yang sudah mengenal debitur dengan baik merasa tidak

perlu menempuh pembebanan secara langsung karena merasa cukup aman.

Lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (2) Undang Undang Hak

Tanggungan bahwa: “Kuasa untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat

ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena

kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya….”

Pembuatan SKMHT hanya diperkenankan dalam keadaan khusus,yaitu:

a. Apabila pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir sendiri


dihadapan PPAT untuk membuat Akta Pemberian Hak

54
Tanggungan (APHT).
b. SKMHT harus dalam bentuk akta otentik yang dibuat oleh
notaris atau PPAT Substansi SKMHT dibatasi, yaitu hanya
memuat perbuatan hukum

Membebankan Hak Tanggungan tidak memuat hak untuk menggantikan

penerima kuasa melalui pengalihan dan memuat nama serta identitas kreditur,

debitur, jumlah utang, juga obyek Hak Tanggungan. Untuk mencegah berlarut-

larutnya pemberian kuasa dan demi tercapainya kepastian hukum SKMHT

dibatasi jangka waktu berlakunya. Ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal

SKMHT yang diberikan untuk menjamin kredit tertentu, seperti kredit program,

kredit usaha kecil dan kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit yang sejenis.

Penentuan batas waktu berlakunya SKMHT untuk jenis kredit tertentu tersebut

diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.4 tahun 1996

tentang Penetapan Batas waktu berlakunya SKMHT untuk menjamin jenis-

jenis kredit tertentu. Pasal 1 ayat (20) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala

BPN Nomor 4 tahun 1996 tersebut menentukan bahwa : ” SKMHT untuk

menjamin Perjanjian pokok yang bersangkutan”.

Ada 2 (dua) alasan pembuatan dan penggunaan Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), adalah : 65

1. Syarat subjektif yaitu :

a. Pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan

Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk membuat akta

Hak Tanggungan.

b. Prosedur pembebanan Hak Tanggunan panjang/lama.

65
H. Salim HS. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. PT Raja Grafindo Persada.
2007. Hlm. 187

55
c. Biaya pembuatan Hak Tanggungan cukup tinggi.

d. Kredit yang diberikan jangka pendek.

e. Kredit yang diberikan tidak besar/kecil. f. Debitur sangat

dipercaya/bonafid.

2. Syarat objektif yaitu :

a. Sertipikat belum diterbitkan.

b. Balik nama atas tanah pemberi Hak Tanggungan belum dilakukan.

c. Pemecahan/penggabungan tanah belum selesai dilakukan atas

nama pemberi Hak Tanggungan.

d. Roya/pencoretan belum dilakukan.

Pada Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) memuat 5

(lima) hal prinsip di dalamnya yaitu :66

a. Tanggal ditandatanganinya surat kuasa;

b. Para pihak, yaitu pemberi kuasa dan penerima kuasa;

c. Objek kuasa, yaitu berupa hak atas tanah, yang akan dibebankan Hak

Tanggungan. Di samping itu, dicantumkan juga luas tanah, letaknya dan

batas-batasnya. Objek kuasa ini meliputi kuasa untuk menghadap di

mana perlu, memberikan keterangan-keterangan serta memperlihatkan

dan menyerahkan surat-surat yang diminta, membuat/meminta dibuatkan

serta menandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) serta

surat-surat lain yang diperlukan, memilih domisili, memberikan

pernyataan bahwa objek Hak Tanggungan betul milik pemberi kuasa,

tidak tersangkut dalam sengketa, bebas dari sitaan dan beban-beban apa

pun, mendaftarkan Hak Tanggungan tersebut, memberikan dan


66
Ibid. Hlm. 138

56
menyetujui syarat-syarat aturan-aturan serta janji- janji yang disetujui

oleh pemberi kuasa dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)

tersebut;

d. Memuat janji-janji, baik dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa, atau

janji dari penerima kuasa kepada pemegang Hak Tanggungan;

e. Saksi-saksi, serta

f. Tanda tangan para pihak.

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT)/Notaris dalam pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

(SKMHT) adalah :67

a. Tempat atau bagian formulir akta yang sudah disediakan yang tidak

dipergunakan harus ditutup dengan garis penuh.

b. Setiap pencoretan dan penggantiankata, angka, dan huruf dilakukan di

bagian pinggir akta dan disahkan dengan paraf para penandatangan akta.

c. Penambahan halaman dapat dilakukan apabila formulir akta tidak

mencukupi dengan mencantumkan nomor akta di setiap halaman

tambahan.

Mengenai pendapat yang mendukung bahwa Surat Kuasa membebankan

Hak Tanggungan (SKMHT) seharusnya dibuat hanya oleh Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT), diberikan alasan :68

“Sesuai dengan asas konsistensi dan sistem, maka perlu


diperbandingkan peraturan dalam Pasal 4 ayat (5) Undang-Undang
Hak Tanggungan yang berisi tentang pemberian kuasa menandatangani
Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dibuat dengan akta otentik,
yang dimaksud dengan akta otentik disini sudah barang tentu adalah
akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), beda dengan apa yang
67
Op.Cit. H. Salim HS. Hm. 187
68
Ibid. Hlm.188

57
dituangkan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan,
yang menentukan bahwa Surat Membebankan Hak Tanggungan
(SKMHT) dapat dibuat dalam bentuk akta Notaris atau akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT). Seharusnya bentuk yang ditentukan
didalam kedua pasal itu sama, yaitu berbentuk akta Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT), karena keduanya berkaitan dengan hak atas tanah
yang dijaminkan sebagai Hak Tanggungan. Dikemukanan lebih lanjut
bahwa mengingat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
(SKMHT) berkaitan dengan Hak Tanggungan, yang objeknya berupa
hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda yang ada
diatasnya, maka bentuknya lebih tepat bila memakai akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah”.

Terkait dengan pendapat di atas maka di dalam rangka pembuatan Surat

Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang dapat dilakukan oleh

Notaris yang merangkap Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), seharusnya

Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus mengambil sikap yaitu

harus fokus pada objek (Hak Atas Tanah), objek Hak Tanggungan ada dimana,

jadi di dalam pembuatan

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) tergantung letak

objek Hak Tanggungan, kalau Objek Hak Tanggungan ada di dalam wilayah kerja

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) maka dibuat Surat Kuasa Membebankan

Hak Tanggungan (SKMHT) dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),

akan tetapi objek Hak Tanggungan berada diluar wilayah kerja Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) maka dibuat secara notaril sehingga fungsi Surat

Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) adalah sebagai alat untuk

mengatasi apabila pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir di hadapan

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Ada 2 (dua) unsur yang menonjol di sini, yaitu harus tertulis dari kata surat

kuasa dan di hadapan pejabat umum yaitu Notaris atau Pejabat Pembuat Akta

58
Tanah (PPAT). Pemberian kewenangan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) untuk menuangkan kuasa membebankan Hak Tanggungan dalam

perjanjian yang dibuat di hadapannya berkaitan dengan penetapan Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai pejabat umum (Pasal 1 ayat (4) Undang-

Undang Hak Tanggungan).69

Pelaksanaan tindakan memberikan Hak Tanggungan dilakukan oleh

penerima kuasa berdasarkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

(SKMHT) yang diberikan oleh pemberi kuasa, sehingga keabsahan pelaksanaan

pemberian Hak Tanggungan tergantung dari keabsahan Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungannya.70

Sejalan dengan hal tersebut, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

(SKMHT) harus diberikan langsung oleh pemberi Hak Tanggungan dan harus

memenuhi persyaratan tersebut mengenai muatannya sebagaimana yang tetapkan

pada Pasal 15 Undang-Undang Hak Tanggungan. Tidak terpenuhinya persyaratan

mengenai muatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) ini

mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan akan batal demi hukum, yang

berarti pula surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar

pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

Berdasarkan ulasan diatas, maka prosedur pembebanan Hak Tanggungan

yang menggunakan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)

sebagaimana yang dimaksud Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan, harus memenuhi persyaratan-persyaratan dibawah ini :

69
Op.Cit. Habib Adjie, Hlm. 17

70
Ibid, Hlm.18

59
a. Wajib dibuat dengan akta Notaris dan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) dan memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain
daripada membebankan hak tanggungan.
2. tidak memuat kuasa substitusi.
3. Mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah
hutang, dan nama serta identitas kreditornya, nama identitas
debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
b. Tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun
kscuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis
jangka waktunya.
c. Mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) selambat-
lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan berkas-berkas yang
diperlukan.
d. Mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) selambat-
lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan berkas-berkas yang
diperlukan.
e. Prosedur pada angka 3 (tiga) dan 4 (empat) diatas tidak berlaku dalam
hal Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) diberikan
untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan
perundang- undangan yang berlaku.
f. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang tidak
diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
dalam waktu yan ditentukan pada angka 3 (tiga), 4 (empat) dan 5 (lima)
adalah batal demi hukum.

Berkaitan dengan permasalahan pertama tesis ini pembuatan Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dan bentuk Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), kita juga perlu mengetahui lebih

lanjut mengenai isi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang

merupakan persyaratan yang harus dipenuhi, untuk itu kita harus memperhatikan

antara lain, persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a

Undang-Undang Hak Tanggungan, disyaratkan bahwa Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) tidak memuat kuasa untuk melakukan

perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan. Jadi yang

dilarang adalah memasukkan kewenangan-kewenangan lain yang tidak ada

60
kaitannya langsung dengan tindakan membebankan Hak Tanggungan. Didalam

penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf a diberikan contoh bahwa kewenangan-

kewenangan yang dilarang untuk dimasukan adalah memuat kuasa untuk menjual,

kuasa untuk menyewakan, dan kuasa memperpanjang hak atas tanah.

Penjelasan lainnya terdapat dalam blangko akta Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) berdasarkan Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 yang

memuat pula kewenangan untuk memberikan dan menyetujui janji-janji tertentu,

tetapi kesemuanya adalah janji-janji yang berkaitan dengan pembebanan Hak

Tanggungan.

Berdasarkan ketentuan ini kita mengetahui bahwa pembuat Undang-

Undang menghendaki agar kuasa membebankan Hak Tanggungan dibuat dalam

suatu akta yang khusus hanya memuat kewenangan membebankan Hak

Tanggungan. Pada penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf a Undang- Undang Hak

Tanggungan, menuntut agar Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

(SKMHT) dibuat secara khusus hanya memuat pemberian kuasa untuk

membebankan Hak Tanggungan saja, sehingga demikian pula harus dibuat

terpisah dari akta-akta yang lain.

Dahulu pemberian kuasa memasang hipotik seringkali diberikan dalam

satu akta dengan perjanjian kredit, sepanjang perjanjian kredit dibuat dengan akta

Notaris. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan atas tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah

terutama Pasal 15 ayat (1), maka kuasa membebankan Hak Tanggungan tidak lagi

disatukan dengan perjanjian kredit, tetapi wajib dibuat terpisah secara khusus.

61
Apabila syarat ini tidak dipenuhi mengakibatkan surat kuasa yang

bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian

Hak Tanggungan (APHT), sehingga konsekuensi hukum yang ditetapkan

berupa “batal demi hukum”.

Pembuatan SKMHT ini wajib dilakukan dengan akta notaris atau akta

PPAT sebagaimana diatur dalam Pasal 15 (1) UUHT. Dari bunyi ketentuan

Pasal 15 (1) tersebut maka yang berwenang membuat suatu SKMHT adalah

notaris dan PPAT yang dilakukan dengan membuat akta notaris atau dengan akta

PPAT, namun dalam praktek hal ini belum dapat dilaksanakan, karena akta

notaris yang dimaksud dalam Pasal 15 (1) UUHT tersebut hanya dapat dilakukan

dengan cara mengisi blanko SKMHT yang telah diterbitkan oleh BPN RI.

Seorang notaris tidak dapat membuat SKMHT lain, selain dengan mengisi blanko

SKMHT yang telah tersedia.

Bagi sahnya suatu SKMHT selain wajib dibuat dengan akta notaris

atau akta PPAT, menurut pasal 15 (1) UUHT harus pula dipenuhi persyaratan

SKMHT yang dibuat yaitu:71

a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain


daripada membebankan Hak Tanggungan.
b. Tidak memuat kuasa substitusi
c. Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah
utang dan nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas
debitur apabila debitur bukan pemberi Hak Tanggungan.

Yang dimaksud dengan “tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan

hukum lain dalam ketentuan ini, misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual,

menyewakan obyek Hak Tanggungan atau memperpanjang hak atas tanah.

Sjahdeini, Sutan Remy. Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok


71

dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan. Jakarta: Alumni, 1999. Hlm.104

62
Ketentuan Pasal 15 (1) ini menuntut agar SKMHT dibuat secara khusus hanya

memuat pemberian kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan saja, sehingga

dengan demikian juga terpisah dari akta-akta lain.72 Apabila syarat ini tidak

dipenuhi atau dilanggar maka SKMHT yang bersangkutan batal demi hukum,

sehingga SKMHT yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar

pembuatan APHT.

Yang dimaksud dengan pengertian “memuat kuasa substitusi” menurut

UUHT adalah pemberian kuasa untuk penggantian penerima kuasa melalui

pengalihan. Demikian ditentukan dalam Penjelasan Pasal 15 (1) huruf b UUHT.

Lebih lanjut dijelaskan “bukan merupakan substitusi, jika penerima kuasa

memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak

mewakilinya, misalnya direksi Bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang

diterimanya kepada kepala cabangnya atau pihak lain.73

Menurut penjelasan Pasal 15 (1) c UUHT, “jumlah utang yang dimaksud

pada huruf ini adalah jumlah utang sesuai dengan yang diperjanjikan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (1) UUHT.”

“SKMHT yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali atau tidak
dapat berakhir oleh sebab apapun juga, dengan demikian ketentuan
mengenai berakhirnya kuasa sebagaimana diatur dalam Pasal 1813,
1814 dan 1816.”

KUHperdata tidak berlaku untuk SKMHT. SKMHT ini hanya dapat

berakhir apabila kuasa tersebut telah dilaksanakan atau apabila jangka waktu

SKMHT telah berakhir.. Secara umum jangka waktu berlakunya suatu SKMHT

diatur dalam Pasal 15 (3) dan (4) UUHT yaitu:

72
Ibid. Hlm.107
73
Ibid. hlm.107

63
a. Untuk SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib
diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
setelah ditandatanganinnya SKMHT
b. Untuk SKMHT mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib
diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan
setelah ditandatanganinya SKMHT.

Selain itu, untuk SKMHT mengenai tanah yang sudah bersertifikat

namun belum atas nama dari pemegang hak wajib diikuti dengan pembuatan

APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah ditandatanganinya SKMHT

Ketentuan mengenai jangka waktu berlakunya SKMHT sebagaimana

diatur dalam Pasal 15 (3) dan (4) UUHT tersebut tidak berlaku dalam hal

SKMHT diberikan untuk menjamin kredit-kredit tertentu yang ditetapkan dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kredit-kredit tertentu yang

dimaksud adalah kredit program, kredit kecil, kredit kepemilikan rumah dan

kredit lainnya yang sejenis. Penentuan berlakunya batas waktu SKMHT untuk

jenis kredit tersebut dilakukan oleh Menteri yang berwenang di bidang

pertanahan setelah mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan Menteri

Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan pejabat lain yang terkait. Mengenai

hal ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang penetapan Batas Waktu

Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin

Pelunasan Kredit-kredit tertentu tanggal 8 Mei 1996.

Jangka waktu SKMHT yang telah ditetapkan dalam UUHT ini

dilakukan agar setiap pembuatan SKMHT harus direalisir dengan pembuatan

APHT. Apabila SKMHT tersebut tidak diikuti dengan pembuatan APHT

dalam jangka waktu yang telah ditetapkan maka SKMHT tersebut menjadi batal

64
demi hukum. Meskipun demikian, menurut penjelasan Pasal 5 (6) UUHT, tidak

menutup kemungkinan untuk membuat SKMHT baru apabila SKMHT yang lama

telah batal karena berakhir jangka waktunya.

Bentuk dan tata cara pengisian blanko SKMHT telah diatur dalam huruf h

(lampiran 23) Pasal 96 ayat (1) Peraturan Menteri Negara/Kepada Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemeritah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Suatu SKMHT dapat dibuat dengan akta notaris atau dengan akta PPAT

namun ada beberapa perbedaan SKMHT yang dibuat notaris dengan SKMHT

yang dibuat PPAT yaitu;74

a. Nomor dalam Blanko SKMHT yang dibuat Notaris tidak menggunakan

tahun pembuatan SKMHT sedangkan untuk PPAT harus dicantumkan tahun

pembuatan akta SKMHT.

b. Kewenangan pembuatan SKMHT untuk PPAT adalah untuk tanah yang

berada di dalam wilayah kerjanya, sedangkan untuk SKMHT yang dibuat

notaris letak tanahnya tidak harus berada di wilayah kerjanya asal para

penghadap menghadap ke notaris sesuai dengan daerah kerja notaris yang

bersangkutan.

c. PPAT wajib menyebutkan daerah kerjanya dalam pengisian Blanko SKMHT,

sedangkan untuk notaris tidak diharuskan menyebutkan wilayah kerjanya.

Apabila dilihat bentuk yang sudah tercetak yang didalamnya pencantuman

janji-janji meskipun dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum, akan tetapi

perjanjian utang piutang dengan sekedar menunjuk bidang tanah tertentu sebagai

jaminannya, bukan perbuatan hukum yang mendapat pengaturan dalam hukum


74
Op.Cit. Sjahdeini, Sutan Remy.hlm.56

65
tanah, karena dengan dilakukannya perbuatan pembuatan tersebut tidak terjadi

perubahan apapun pada hak atas tanah yang bersangkutan. Perbuatan pembuatan

hukum tersebut termasuk bidang hukum perdata karena merupakan perjanjian

antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa untuk membebankan Hak

Tanggungan75.

Berdasarkan suatu pemahaman bahwa keberlakuan jangka waktu

SKMHT dalam Undang-undang Hak Tanggungan tidak berlaku absolut,

karena adanya pengecualian yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (5), hal ini

mengamodasikan kepentingan basis sosial dimana hukum itu diberlakukan,

sebab hukum itu terikat oleh dinamika sosial yang berkembang, begitu juga

terhadap bentuk SKMHT yang bersifat perjanjian baku khusus karena blanko

SKMHT disediakan oleh BPN dapat diterima dalam kehidupan bermasyarakat.

4.1.3. Prinsip Pembatasan Kewenangan Waktu dalam SKMHT

Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa :

“Pemberian kuasa berakhir dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa,


dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa, dengan
meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya si pemberi kuasa maupun
si kuasa, dengan perkawainannya dengan si perempuan yang memberikan
atau menerima kuasa”.

Bila dikehendaki pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya itu,

sedangkan yang diberi kuasa apabila tidak bisa melaksanakan kuasa tersebut

atau wanprestasi maka penerima kuasa dapat dipaksa atau diharuskan untuk

mengembalikan kekuasaan yang bersangkutan. Agar penarikan kembali

kekuasaan itu mengikat pihak ketiga yang telah mengadakan perikatan dengan

penerima kuasa, sebaiknya penarikan kembali kuasa itu selain kepada penerima

75
Ibid. hlm.59

66
kuasa, maka diberitahukan pula kepada pihak ketiga.

Jika pemberi kuasa mengangkat seorang kuasa baru untuk melakukan

suatu urusan yang sama (dezelfde zaak), maka terhitunglah mulai saat

diberitahukannya hal itu kepada penerima kuasa yang pertama. Hal tersebut

menyebabkan ditariknya kembali kekuasaan yang telah diberikan oleh pemberi

kuasa kepada penerima kuasa yang pertama tersebut. Merupakan suatu keharusan

bagi para ahli waris dari penerima kuasa yang meninggal untuk memberitahukan

peristiwa meninggalnya penerima kuasa itu kepada pemberi kuasa dan mengambil

langkah-langkah yang perlu menurut keadaan demi kepentingan pemberi kuasa.

Bila ahli waris lalai dalam hal ini, mereka dapat (bila beralasan) dituntut untuk

membayar biaya, kerugian dan bunga.

Sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 1819 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

“Jika si kuasa meninggal dunia, para ahli warisnya harus memberitahukan hal
itu kepada si pemberi kuasa, jika mereka tahu tentang adanya pemberian
kuasa dan sementara itu mengambil tindakan-tindakan yang perlu menurut
keadaan bagi kepentingan si pemberi kuasa, atas ancaman mengganti biaya,
kerugian dan bunga, jika ada alasan untuk itu”

Ada suatu ketentuan umum tentang kuasa yaitu bahwa keabsahan suatu

kuasa tidak tergantung dari keabsahan perjanjian untuk pelaksanaan mana ada

diberikan kuasa.76 Maksudnya kalau untuk pelaksanaan perjanjian pokoknya,

ada diberikan kuasa, kemudian ternyata perjanjian pokok itu tidak sah, tidak harus

berakibat bahwa pemberian kuasanya juga menjadi tidak sah. Bisa saja perjanjian

pokoknya tidak sah, tetapi pemberian kuasanya tetap sah. Dikatakan bahwa

pemberian kuasa merupakan suatu tindakan hukum yang mandiri dalam arti,

76
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 2, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1998, Hlm. 137.

67
untuk itu tidak dibutuhkan title.

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan memiliki ketentuan yang

mengatur tentang kuasa memasang Hak Tanggungan disingkat Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) tidak bisa dilepaskan dari praktek-

praktek pemberian kuasa memasang hipotik (SKMH), di waktu yang lalu dan

karenanya baru dapat dimengerti, kalau orang mempelajarinya dengan menengok

ke belakang atau dengan perkataan lain mempelajarinya dengan SKMH sebagai

latar belakang. Itulah sebabnya bahwa dalam pembicaraan kita lebih lanjut, kita

akan sering menghubungkan kuasa membebankan Hak Tanggungan dengan

praktek di masa yang lalu.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan bahwa

pada asasnya SKMHT terhadap tanah-tanah yang sudah terdaftar hanya berlaku

1 (satu) bulan dan wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak

Tanggungan, kecuali untuk tanah-tanah yang belum terdaftar SKMHT berlaku 3

bulan dan wajib diikuti dengan pembuatan Pembuatan Akta Pemberian Hak

Tanggungan (Pasal 15 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan). Adanya

pembatasan jangka waktu berlakunya SKMHT, membuat si penerima kuasa

(kreditur) tidak bisa berpegang pada kuasa itu saja, tetapi terpaksa harus dalam

jangka waktu berlakunya kuasa tersebut, atas nama pemberi kuasa melaksanakan

Akta Pemberian Hak Tanggungan. Jadi Hak Tanggungan, yang pada asasnya

merupakan “hak”, dengan dibuatnya SKMHT, sesudah sampai batas waktu

tertentu, berubah menjadi suatu “kewajiban”.77 Penentuan batas waktu

berlakunya SKMHT untuk jenis-jenis kredit tersebut dilakukan oleh Menteri

Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 2,


77

(Bandung, Citra Aditya, 1998), hlm.196

68
yang berwenang di bidang pertanahan setelah mengadakan koordinasi dan

konsultasi dengan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan pejabat lain

yang terkait.

Berpijak pada ketentuan tersebut, agar suatu peraturan mengenai

ketetapan batas waktu SKMHT ini mempunyai kekuatan yang mengikat, maka

ketiga unsur tersebut harus memenuhi. Sebelum ketentuan Hak Tanggungan

dikenal adanya lembaga jaminan berupa hipotik yang diatur dalam Buku II

KUH Perdata Bab XXl Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232. Dalam Pasal

1162 KUH Perdata menentukan: Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-

benda tak bergerak, untuk mengambil pengantian daripadanya bagi pelunasan

suatu perikatan.

Lahirnya lembaga jaminan atas tanah yaitu Hak Tanggungan

diamanatkan dalam Pasal 57 Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, upaya ini dilakukan oleh pembentuk

Undang-Undanguntuk mewujudkan tujuan Undang-Undang Pokok-Pokok

Agraria membangun Unifikasi Hukum Tanah Nasional, dengan menciptakan

kesatuan dan kesederhanaan hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyak

seluruhnya.78

Ketentuan batas waktu SKMHT ini tentu juga akan membawa

konsekwensi baik terhadap kreditur maupun terhadap debitur. Konsekwensi bagi

kreditur bahwa dengan ketentuan batas waktu ini adanya suatu kewajiban

bagi kreditur agar sebelum masa habis waktu yang telah ditentukan SKMHT

segera ditindaklanjuti dengan membebankan Hak Tanggungan secara nyata

dalam bentuk pembuatan APHT dan juga didaftarkan ke Kantor Pertanahan


78
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996

69
Nasional, sehingga memenuhi asas spesialiatas dan asas publisitas, maka

kreditur setelah sebagai pemegang Hak Tanggungan bukan lagi sebagai kreditur

konkuren tetapi sebagai kreditur preferent, namun sebaliknya jika kreditur lalai

melakukan pembebanan secara nyata sampai terjadi kredit macet, maka

kedudukan kreditur menjadi konkuren, sehingga tidak mempunyai hak

eksekutorial terhadap benda jaminan tersebut. Sedangkan konsekwensi bagi

debitur terhadap ketetapan batas waktu SKMHT yang singkat merupakan

keuntungan karena jika kreditur lalai membebankan secara nyata, maka benda

jaminan debitur tidak dapat dieksekusi, dan sebaliknya kerugian bagi debitur,

bahwa kreditur dapat meminta kepada debitur untuk memperpanjang SKMHT

sebelum jangka waktunya berakhir, yang semua biaya pembuatan SKMHT

dibebankan pada debitur, hal ini dilakukan oleh kreditur karena sertipikat hak

atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan belum terbit atau masih dalam

proses pengurusan.

4.2. Karakteristik Notaris Pengganti Dalam Undang-Undang Jabatan

Notaris

Karakteristik adalah ciri atau karateristik yang secara alamiah melekat pada

diri seseorang79 Notaris ialah pejabat umum yang memiliki wewenang untuk

membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam

pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014

Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan

Notaris. Jika melihat penjelasan dan menganalisis dari pasal perpasal mengenai

Notaris pengganti, Pasal yang menjelaskanya antara lain pasal  33, mengenai hal

ini Notaris, Notaris pengganti memiliki kewenangan yang sama terkait pembuatan
79
Kamus Bahasa Indonesia

70
akta otentik yang dibuat olehnya. Disisi lain dalam pasal 65, Notaris, Notaris

pengganti memiliki tanggung jawab yang sama dalam pembuatan akta otentik

dengan Notaris. Sebaiknya harus ada aturan tersendiri mengenai kewenangan dan

tanggung jawab Notaris pengganti. Harus ada penambahan syarat dan pembatasan

kewenangan terhadap Notaris pengganti.

Menurut Habib Adjie, Notaris sebagai suatu Jabatan Publik mempunyai

karakteristik:80

1. Sebagai jabatan;
Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara.
Menempatkan Notaris sebagai pejabat merupakan suatu bidang pekerjaan
atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi
tertentu (kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu
lingkungan pekerjaan tetap
2. Notaris mempunyai kewenangan tertentu;
Setiap wewenang yang diberikan kepada Jabatan harus dilandasi aturan
hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak
bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika
seorang pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang
telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar
wewenang. Dalam UUJN wewenang Notaris dicantumkan dalam Pasal 15.
3. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah;
Pasal 2 UUJN menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh
menteri (pemerintah), dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan
(Pasal 1 angka 14 UUJN). Meskipun Notaris secara administratif diangkat
dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi
(bawahan) dari yang mengangkatnya. Dengan demikian Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya:
a. Bersifat mandiri (autonomous);
b. Tidak memihak siapa-pun (impartial);
c. Tidak tergantung kepada siapa-pun (independent), yang berarti dalam
menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang
mengangkatnya atau oleh pihak lain.
4. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya;
Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak
menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima
honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan
pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.
5. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat.
80
Habib Adjie I, op.cit, hal.32-36

71
Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan
dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga notaris
mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat yang dapat
menggugat secara perdata, menuntut biaya, ganti rugi dan bunga jika ternyata
akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas notaris kepada masyarakat.

4.2.1. Macam-macam Notaris Pengganti

Profesi Notaris merupakan salah satu profesi yang ikut andil dalam proses

penegakan hukum di Indonesia dengan memberikan kepastian, ketertiban dan

perlindungan hukum ditengah - tengah masyarakat, khususnya dalam hal

kebutuhan akan suatu alat bukti yang mengikat selain alat bukti saksi, yaitu

berupa pembuatan Akta Otentik. Profesi Notaris dituntut juga untuk

berkesinambungan, yang berarti bahwa siapa yang menjalankan jabatan Notaris

dan berhalangan untuk menjalankan jabatan tersebut wajib untuk memberikan

kewenangannya kepada orang lain dalam memberikan pelayanan jasa, kepastian,

ketertiban dan perlindungan hukum pada masyarakat.

Berdasarkan Undang – Undang Jabatan Notaris adalah Notaris Pengganti.

Keberadaan Notaris Pengganti merupakan suatu keniscayaan dan sangat penting

dalam rangka mengisi kekosongan pejabat Notaris, yang sedang cuti, sakit, atau

untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai Notaris, agar tetap

menjamin kepastian hukum bagi masyarakat. Pengaturan mengenai Notaris

Pengganti diantaranya diatur di dalam ketentuan Undang – Undang No. 2 Tahun

2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang

Jabatan Notaris, serta Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No.

M.01.HT.03.01 Tahun 2006 Tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan,

Perpindahan dan Pemberhentian Notaris. Notaris Pengganti adalah seseorang

72
yang untuk sementara diangkat sebagai Notaris untuk menggantikan Notaris yang

sedang cuti, sakit atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya

sebagai Notaris. Oleh karena Notaris Pengganti merupakan pejabat yang

sementara waktu menjalankan tugas dan jabatan Notaris, sehingga kemudian

menimbulkan pertanyaan tentang bagai mana bentuk dan karakteristik

kewenangan serta tanggung jawab Notaris Pengganti terhadap akta yang

dibuatnya. Untuk itu agar tetap terjaminnya kepastian hukum bagi masyarakat

khususnya terhadap setiap akta yang dibuat oleh Notaris Pengganti, tentunya

masyarakat luas perlu untuk mengetahui bagai mana bentuk dan karakteristik

kewenangan Notaris Pengganti, serta bagai mana tanggung jawab Notaris

Pengganti atas setiap akta yang dibuatnya. Untuk mengetahui bagai mana

wewenang dan tanggung jawab Notaris Pengganti terhadap akta yang dibuatnya

tersebut, Persyaratan yang harus dipenuhi dapat diangkat sebagai Notaris

Pengganti :

1. Warga Negara Indonesia

2. Lulusan Sarjana Hukum

3. Sudah bekerja paling sedikit 2 (dua) tahun berturut-turut sebagai karyawan

kantor Notaris.

Adapun prosedur pengangkatan notaris pengganti yaitu :

a. Notaris yang hendak cuti mengajukan permohonan cuti disertai usulan

penunjukan seorang Notaris Pengganti dan selanjutnya menyerahkan

Protokol Notaris kepada Notaris Pengganti yang  dibuatkan berita acara dan

dilpaorkan kepada Majelis Pengawas Wilayah.

73
b. Notaris / Notaris Pengganti mengajukan permohonan pelantikan ke Kepala

Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM dengan  melampirkan : :

1. Surat Permohonan Pelantikan,

2. Surat Keputusan Pengangkatan Notaris / Notaris Pengganti.

3. Berita Acara Pelantikan.

Dokumen yang dilampirkan untuk pengangkatan Notaris Pengganti adalah

sebagai berikut:

1. fotokopi ijazah minimal sarjana hukum yang sudah dilegalisir oleh perguruan

tinggi yang bersangkutan;

2. fotokopi KTP yang sudah dilegalsir oleh Notaris;

3. fotokopi akta kelahiran yang sudah dilegalsir oleh Notaris;

4. fotokopi Buku Nikah bagi yang sudah kawin yang sudah dilegalsir oleh

Notaris;

5. surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian setempat;

6. surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari dokter pemerintah;

7. Pasphoto terbaru berwarna ukuran 3 x 4 sebanyak 4 lbr;

8. Daftar Riwayat Hidup.

Notaris Pengganti adalah orang yang memenuhi syarat dan diangkat

sementara dengna tujuan menggantikan notaris yang sedang sakit, cuti, atau  buat

sementara berhalangan melaksanakn jabatannya sebagai notaris. Jika kita merujuk

kepada peraturan jabatan notaris, definisi dari Notaris adalah pejabat umum

khusus dan keputusan yang oleh perundang-undangan umum diwajibkan atau para

yang bersangkutan menghendaki supaya dinyatakan dalam surat otentik

menetapan dan menjamin tanggalnya, menyimpan akta-akta dan mengeluarkan

74
grosse, salinan dan kutipannya, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu

tidak juga diwajibkan kepada pejabat-pejabat lain atau khusus menjadi

kewajibannya. Intinya bahwa notaris merupakan sebuah profesi yang berurusan

dengan akta-akta otentik.

Notaris Pengganti Khusus adalah orang yang memenuhi syarat dan

diangkat sebagai Notaris khusus dengna tujuan untuk membuat akta tertentu

sebagaimana tercantum dalam surat penetapannya sebagai Notaris disebabkan di

dalam satu daerah kota atau kabupaten hanya terdapat seorang Notaris, sedangkan

Notaris tersebut tidak boleh membuat akta dimaksud berdasarkan peraturan-

peraturan yang ada.

4.2.2. Tugas dan Kewenangan Notaris Pengganti

Kewenangan Notaris Penganti sama dengan Notaris yang digantikannya.

Selain kewajiban yang sama dengan Notaris yang digantikannya Notaris

Pengganti berkewajiban menyerahkan kembali Protokol Notaris kepada Notaris

setelah cuti berakhir. Serah terima sebagaimana dimaksud dibuatkan berita acara

dan disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah. Notaris Pengganti,

mempunyai tanggung jawab pada seluruh Akta yang telah dibuatnya meskipun

Protokol Notaris telah dipindahkan atau diserah teimakan kepada pihak lain yang

menyimpan Protokol Notaris. Larangan menjadi “Notaris Pengganti” berlaku

untuk Notaris yang belum menjalankan jabatannya, Notaris yang sedang

menjalani cuti, dan Notaris yang dalam proses pindah wilayah jabatannya.

Tugas dan wewenang Notaris penting untuk diuraikan,  dengan mengacu

pada wewenang yang diberikan secara atributifoleh Undang-undang Nomor 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Walaupun secara administrasi negara (recht

75
administrative) Notaris dan PPAT tidak mungkin dijadikan sebagai pejabat publik

yang apabila melakukan tugas dan kewenangan bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku atau asas umum pemerintahan yang

baik (Algemene Beginsel Behorlijk Van Bestuur). Pemaparan tugas dan

kewenangan Notaris (Habib Adjie, 2009: hal. 40) sebagai pejabat

umum (openbare amtbbenaren) dan mandiri (lih: Pasal 1 angka 1 UUJN) adalah

untuk melihat, apakah cover note yang sering diterbitkan oleh Notaris

sebagaimana dalam praktik dan kebiasaan pejabat Notaris ? merupakan tugas dan

kewenangannya. Ataukah cover note benar adanya untuk diadikan bukti jaminan

karena ia dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.

Pasal 15 ayat 1 UUHT menegaskan bahwa pembuatan SKMHT adalah

kewenangan Notaris, disamping itu juga PPAT berwenang membuat SKMHT.

Apalagi dalam kebiasaan di lapangan setelah seorang menjadi PPAT, jabatan

Notaris juga sudah dijabatnya. Dengan demikian atas dasar keyakinan PPAT

sebagai pejabat yang akan mengirim APHT dan warkah serta surat lainnya

(seperti Sertifikat hak milik, warka, persil dll) sudah lengkap, maka tidak ada

keraguan lagi bagi Notaris sekaligus sebagai PPAT untuk mengeluarkan cover

note, agar dengan kepercayaan dari Notaris dan debitor pemberi hak tanggungan

Bank sudah dapat mencairkan kredit.

Dalam praktiknya juga sering terjadi konflik (chaos) tugas dan

kewenangan antara PPAT dan Notaris apalagi kewenangan Notaris dikuatkan

dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2003 sedangkan PPAT hanya dikuatkan

dengan Peraturan Pemerintah (disingkat PP) Nomor 37 tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah (disingkat PJPPAT). Dalam pasal 15 ayat

76
2 huruf f UUJN ditegaskan Notaris berwenang membuat akta yang berkaitan

dengan Akta pertanahan. Ada tiga penafsiran pasal tersebut yaitu:

1. Notaris telah mengambil alih semua wewenang PPAT menjadi wewenang

Notaris atau telah menambah wewenang Notaris.

2. Bidang pertanahan menjadi wewenang Notaris.

3. Tetap tidak ada pengambilalihan dari PPAT atau pengembalian wewenang

kepada Notaris, baik PPAT maupun Notaris telah mempunyai wewenang

sendiri-sendiri. (Habib Adjie, 2008: 84).

Beberapa literatur dan artikel yang ditulis oleh Habib  Adjie (2008: 86 &

2009: 83) mengemukakan:

“Wewenang bidang pertanahan tidak berwenang menjadi wewenang Notaris


di Indonesia sejak kelahirannya. Ketentuan pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN tidak
menambah wewenang Notaris di bidang pertanahan, dan bukan pula
pengambilalihan wewenang dari PPAT. Bahwa Notaris mempunyai
wewenang dalam bidang pertanahan, sepanjang bukan wewenang yang sudah
ada pada PPAT, oleh karena itu tidak ada sengketa kewenangan antara Notaris
dan PPAT (lih juga: putusan MK Nomor 009 – 014/  PUU-III/
2005, tambahan pen.).Masing-masing mempunyai kewenangan sendiri sesuai
aturan hukum yang berlaku.”

Berdasarkan uraian di atas tidak berarti bahwa tugas dan kewenangan

untuk pembuatan SKMHT juga menjadi sengketa antara Notaris dan PPAT,

karena dalam pelaksanaan adalah Notaris yang diprioritaskan untuk menerbitkan

SKMHT bagi pihak yang ingin mengajukan kuasa membebankan hak tanggungan

(habib Adjie mengomentari (2009: 31), bahwa kata yang lebih tepat adalah bukan

“surat” tetapi Akta Kuasa Membebankan Hak Tanggungan). Namun untuk

wilayah terpencil (seperti pedesaan yang tidak ada Notaris) maka PPAT  dapat

saja membuat SKMHT untuk kepentingan para pihak. Pejabat Notaris sebagai

pejabat yang akan mengeluarkan akta, agar dapat dipercaya.Seperti apa yang

77
diuraikan oleh Tan Thong Kie (2007: 445) untuk pembuatan akta yang otentik

maka jabatan Notaris adalah jabatan yang mulia yang membuktikan bahwa

kekuasaan (power)  merajaikewajiban (obligatory).

Oleh karena fungsi Notaris banyak terlibat dalam beberapa lingkungan dan

situasi dalam kehidupan seorang masyarakat. sebagaimana yang dikemukakan

oleh Tan Tong Kie (2007: 451 s/d 455) dengan mengutip pendapat A. W. Voors

“Dalam hubungan keluarga seorang Notaris harus membedakan antara hubungan

keluarga dan tugas jabatan dengan objektif/ tidak memihak dan mampu

menyimpan rahasia bagi keluarga yang pemboros, dalam hal membuat surat

wasiat, dan perjanjian nikah. Dalam soal warisan, dengan akta warisan yang

dibuatnya maka seorang dapat mencairkan rekening yang tersimpan dalam suatu

Bank. Dalam bidang usaha seperti pembuatan kontrak anatara para pihak yang

dimulai dengan akta dan juga diakhiri dengan akta, kejadian terutama dapat dilihat

dalam akta jual beli.”

Terlepas dari fungsi Notaris yang dikemukakan panjang lebar oleh Tan 

Tong  Kie, jelasnya tugas dan kewenangan dari pada Notaris telah  ditegaskan

dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagai berikut:

a. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,


perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/ atau yang dikehendaki oleh yeng berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
b. Notaris berwenang pula:
1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus.

78
3. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan.
4. Melakukan pengesahan kecocokan foto kopi dengan surat aslinya.
5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.
7. Membuat akta risalah lelang

Berdasarkan tugas dan kewenangan Notaris yang ditegaskan dalam UUJN,

selanjutnya Habib Adjie (2008: 78) membagi dalam tiga ranah kewenangan yakni

kewenangan umum (Pasal 15 ayat 1 UUJN), kewenangan khusus (Pasal 15 ayat 2

UUJN), kewenangan yang akan ditentukan kemudian (Pasal 15 ayat 3 UUJN).

Maksud dari pada kewenangan umum adalah kewenangan untuk membuat

akta secara umum dengan batasan sepanjang:

1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh


undang-undang.
2. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang
diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang
bersangkutan.
3. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk
kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang
berkepentingan. 

Namun ada juga wewenang dari pada Notaris untuk membuat akta otentik

menjadi wewenang atau pejabat instansi lain seperti:

1. Akta pengakuan anak diluar kawin (Pasal 281 BW).

2. Akta berita acara tentang kelalaian penyimpan jabatan hipotik (Pasal 1127

BW).

3. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi

(Pasal 1405 dan Pasal 1406 BW).

4. Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218 Wvk).

79
5. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (Pasal 15 ayat 1 UUHT)

6. Membuat akta risalah lelang (Pasal 8 Keputusan Menteri Keuangan

Republik Indonesia Nomor 338/ KMK.01/ 2000)

Selanjutnya kewenangan khusus ditegaskan dalam Pasal 15 ayat 2 UUJN,

yang ditambah lagi melalui kewajiban Notaris (Pasal 16 ayat 3 UUJN) untuk

membuat akta dalam bentuk in originali:

1. Pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun.


2. Penawaran pembayaran tunai.
3. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga.
4. Akta kuasa.
5. Keteranga kepemilikan.
6. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan kewenangan yang ditentukan kemudian, adalah kewenangan

yang akan ditentukan berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang

kemudian (ius constitendum). Kewenangan yang dimaksud di sini adalah

kewenangan yang kemudian lahir setelah terbentuk peraturan perundang-

undangan dalam bentuk Undang-undang. Namun juga dapat diketemukan

wewenang Notaris bukan dengan pengaturan Undang-undang dikemudian hari,

dapat saja melalui tindakan hukum tertentu yang harus di buat dengan akta

Notaris seperti pendirian partai politik yang wajib dibuat dengan akta Notaris.

Peran notaris merupakan pekerjaan yang unik, undang-undang memberi

kewenangan kepada notaris untuk membuat suatu dokumen berupa akta notaris

dibidang hukum perdata81. Bagi masyarakat, notaris muncul sebagai sosok yang

mempunyai kewenangan publik, penyuluh dan pemberi nasihat. Jabatan notaris

mempunyai dua ciri dan sifat essensil yaitu ketidakmemihakan (impartiality) dan

81
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,
(Bandung, PT Citra Aditya Bakti 2011), hlm 219.

80
kemandirian atau ketidaktergantungan (independency) didalam memberikan

bantuan kepada para kliennya.

4.2.3 Tugas Notaris Pengganti

Tugas notaris secara umum yaitu:

a. Membuat akta otentik sebagaimana tertuang dalam pasal 1 Undang-Undang

Jabatan Notaris dan pada pasal 1868 KUHPerdata. Akta-akta yang dibuat oleh

notaris terdiri dari akta anggaran dasar atau akta pendirian, dan akta

perjanjian.

b. Berdasarkan Pasal 1874 KUHPerdata, notaris bertugas untuk mendaftarkan

surat-surat dibawah tangan ke dalam buku khusus (waamerken), lalu

mengesahkan surat-surat dibawah tangan tersebut (legalisiren).

c. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.

d. Membuat salinan dari asli surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat

uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.

e. Membetulkan kesalahan tulis dan/ atau kesalahan ketik yang terdapat pada

minuta akta yang telah ditandatangani.

Pada dasarnya notaris pengganti mempunyai tugas yang sama dengan

halnya notaris, seperti yang tertuang dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang

nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang dimaksud dengan notaris

pengganti adalah seorang yang sementara diangkat sebagai notaris yang sedang

cuti, sakit atau untuk berhalangan menjalankan jabatannya sebagai notaris. Ada

batasan dari segi wewenang dan ada juga batasan dari segi waktu, artinya sampai

kapan jabatan yang diemban atau dipangku oleh seseorang harus berakhir.

81
4.2.4 Batas Kewenangan Notaris Pengganti Terhadap Kewenangan Notaris

Yang Digantikannya

Kewenangan utama dari Notaris adalah untuk membuat akta otentik, untuk

dapat suatu akta memiliki otensitasnya sebagai akta otentik maka harus memenuhi

ketentuan sebagai akta otentik yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Notaris

pengganti mempunyai kewenangan yang didefinisikan sebagai kekuasaan untuk

melakukan sesuatu, kewenangan seorang notaris pengganti dalam beberapa hal,

yaitu:

a. Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang harus dibuat itu;

b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan siapa

akta itu dibuat;

c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat;

Menurut Ir. Anna Sagita, S.H., M.Kn, batas kewenangan notaris pengganti

berbatas dengan kewenangan yang diberikan oleh notaris yang melakukan cuti,

berdasarkan penyerahan protokol tersebut, terjadi perpindahan tanggung jawab

dari notaris kepada notaris pengganti tersebut sesuai dengan kewenangan yang

ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Dengan adanya penyerahan

protokol itu, maka notaris pengganti diberikan kewenangan dari notaris yang

digantikannya. kebanyakan notaris pengganti sulit menentukan bentuk

kewenangan yang diberikan kepadanya. Batas kewenangan notaris pengganti pada

dasanya tidak ada perbedaan, tetapi notaris pengganti kewenangannya berakhir

ketika batas yang tercantum dalam surat jabatannya telah berakhir, sedangkan

82
kewenangan notaris akan tetap ada sampai pada saat masa jabatannya telah

berakhir82.

Wewenang merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan

kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

kepadanya. Wewenang yang diperoleh suatu jabatan mempunyai sumber dari

asalnya. Dalam hukum administrasi wewenang bersumber pada 3 (tiga) cara, yaitu

:83

1. Atribusi

Atribusi dikatakan memperoleh wewenang pemerintahan. Selain itu

atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit). Pembentukan

wewenang dan distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam Undang-Undang

Dasar84

2. Delegasi

Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ

pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya), pelimpahan suatu wewenang

yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh

wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha

negara lainnya.

3. Mandat

Dalam Hukum Administrasi Negara mandat diartikan sebagai perintah

untuk melaksanakan atasan, kewenangan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan oleh

pemberi mandat, dan tidak terjadi peralihan tanggung jawab. Berdasarkan uraian

82
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif.. Op.Cit, hlm 57.
83
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,2006).
hlm 108.
84
Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm 2.

83
tersebut, apabila wewenang yang diperoleh organ pemerintahan secara atribusi itu

bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan, yaitu dari redaksi

pasal-pasal tertentu dalam peraturan perundang-undangan.

Berkaitan dengan penjelasan diatas, wewenang menurut hukum

administrasi yang dibagi menjadi 3 (tiga) cara, yaitu atribusi, delegasi dan mandat.

Terkait dengan 3 (tiga) cara tersebut, notaris pengganti mempunyai kewenangan

dalam hukum administrasi ada 2 (dua) cara kewenangan yaitu kewenangan

atribusi dan kewenangan delegasi yang keduanya mendapatkan wewenang timbul

berdasarkan suatu perundang-undangan atau suatu jabatan yang mendapatkan

kewenangannya dengan diserahkan oleh jabatan diatas.

4.2.5. Tanggung Jawab Notaris Pengganti Terhadap Pembuatan SKMHT

Pembuatan SKMHT wajib dibuat dalam akta notariil atau akta PPAT.

Oleh karena itu yang berwenang membuat SKMHT adalah notaris dan PPAT.

Namun demikian, dalam pembuatan SKMHT seorang PPAT tunduk pada tata

cara pengisian SKMHT sebagaimana diatur dalam huruf h (lampiran 23) Pasal 96

ayat (1) Peraturan Menteri Negara/Kepada Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemeritah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sedangkan untuk Notaris sendiri, selain

tunduk pada PMNA/KaBPN No.3/1997 tersebut diatas juga harus tunduk pada

UUJN, karena UUJN ini adalah panduan utama seorang notaris dalam membuat

suatu akta notaris, sehingga setiap akta yang dibuat seorang notaris harus

sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan dalam UUJN supaya akta tersebut

84
dapat dinyatakan sebagai akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian

sebagai akta otentik.

Keotentikan suatu akta notaris sendiri dapat didasarkan pada ketentuan

Pasal 1868 KUHPerdata jo Pasal 1 (1) jo Pasal 1 (7) jo Pasal 38 UUJN. Menurut

ketentuan-ketentuan tersebut maka notaris adalah pejabat umum yang

mempunyai wewenang untuk membuat akta-akta otentik, dimana bentuk dan

tatacara dari akta notaris tersebut harus sesuai dengan yang diatur dalam UUJN.

Oleh karena itu, seorang notaris ketika menjalankan jabatannya tidak terlepas

dari segala ketentuan yang diatur dalam UUJN, begitu juga mengenai bentuk dan

tata cara pembuatan setiap akta harus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan

oleh UUJN, meskipun dalam hal ini notaris tersebut mengisi suatu blanko

SKMHT yang telah diterbitkan oleh BPN RI.

Salah satu kewajiban seorang notaris adalah untuk seksama dalam

menjalankan jabatannya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 UUJN yang berbunyi:

“Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban: (a)


bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.”
Seksama dalam hal ini berarti bahwa dalam menjalankan
jabatannya tersebut, seorang notaris harus teliti dan penuh
kehati- hatian agar setiap akta tersebut dibuat sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UUJN, sehingga
setiap akta yang dibuat oleh notaris tersebut merupakan suatu
akta yang baik dan benar, akta yang bermutu dan berdampak
positif. Dan tetap terjaga keotentitasannya sehingga para pihak
dalam akta dapat terlindungi kepentingan-kepentingannya.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

bertujuan memberikan landasan untuk dapat berlakunya lembaga Hak

Tanggungan yang kuat, diantaranya mengenai kedudukan Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Dalam hal pemberi Hak

85
Tanggungan tidak dapat hadir dihadapan PPAT atau notaris, Pasal 15 ayat (1)

Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 memberi kesempatan kepada pemberi

Hak Tanggungan untuk menggunakan SKMHT. Pembuatan SKMHT juga

dimungkinkan dalam hal hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan

belum mempunyai sertifikat. Dalam perjanjian kredit pemilikan rumah (KPR)

debitur penerima kredit memberikan jaminan berupa rumah dan tanah yang

dibeli dari fasilitas kredit bank tersebut. Pihak bank pemberi kredit biasanya

hanya sebagai pemegang SKMHT saja, karena sertifikat hak atas tanah yang

menjadi obyek jaminan belum dilakukan secara individual.85

Dalam Pasal 51 Undang Undang nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang

Undang Pokok Agraria sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat, yaitu

Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada hak atas tanah sebagai pengganti

hypotheek dan credietverband. Selama 30 (tiga puluh) tahun lebih sejak mulai

berlakunya UUPA, lembaga Hak Tanggungan tersebut belum dapat berfungsi

sebagaimana mestinya, karena belum adanya undang-undang yang mengatur

secara lengkap. Selama kurun waktu tersebut berlangsung Ketentuan Peralihan

yaitu Pasal 57 UPA, masih diberlakukan ketentuan hypotheek sebagaimana

diatur dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan ketentuan

credietverband dalam Stb. 1908.542. yang telah di ubah dengan Stb.1937.190.

Ketentuan-ketentuan tersebut berasal dari zaman Belanda dan didasarkan pada

hukum tanah adat yang berlaku sebelum adanya hukum tanah nasional. Oleh

karena itu yang dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan

yang terjadi dalam bidang perkereditan dan hak jaminan sebagai akibat dari

85
Tan Thong kie, Studi Notarist & Serba-Serbi Praktek Notaris ( Jakarta:PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve 2000) hal 2

86
kemajuan pembangunan ekonomi.86

Keberadaan Notaris Pengganti (selanjutnya akan disingkat NP untuk

memudahkan penulisan) sudah ada semenjak berlakunya Peraturan Jabatan

Notaris (selanjutnya akan disingkat menjadi PJN), dan dilanjutkan diatur dengan

peran yang lebih jelas dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), Hal

ini membuktikan bahwa NP memang memilki peran penting dalam praktek

kenotariatan dewasa ini. NP yang ada dibahas dalam penulisan ini adalah

adalah sebagaimana yang dimasksud dalam UUJN pasal 1 nomor (3) yang

berbunyi:

“Notaris Pengganti adalah seorang yang untuk sementara diangkat


sebagai Notaris untuk menggantikan Notaris yang sedang cuti, sakit
atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai
Notaris.”

Pada teks Undang-undag tersebut dapat kita ambil pengetian bahwa

NP berfungsi untuk menjalankan jabatan Notaris dalam hal Notaris tersebut

tidak dapat menjalankan jabatannya sebagai notaris karena beberapa hal yang

disebut dalam pasal tersebut. Seperti yang kita ketahui dalam prakteknya

seorang Notaris memang tidak mungkin dapat terus menerus menjalankan

jabatannya tanpa gangguan atau halangan. Seorang Notaris dalam menjalankan

jabatannya pun juga seperti pekerja pada umumnya, dia memerlukan waktu

istirahat atau dapat mengalami keperluan mendadak yang tidak dapat

diperkirakan sebelumnya. Untuk mengatasi hal tersebut maka pembuat Undang-

undang memasukan peran seorang NP untuk mengatasi masalah atau keperluan

tersebut, tentunya dengan beberapa ketentuan juga yang harus dipenuhi dan

ditaati oleh seorang NP. Maksud dari pembuat undang-undang dalam


86
Ibid. hlm.67

87
memasukan pasal mengenai NP adalah sangat baik yaitu dapat:

a. Membuat kantor Notaris tersebut tetap beroperasi walaupun ditinggal

oleh Notarisnya untuk beberapa waktu terentu;

b. Dapat tetap menjaga kepercayaan dan melayani kebutuhan klien yang

sudah menjadi langganan kantor Notaris tersebut;

c. Meregenerasi dan melatih keterampilan para calon Notaris untuk masa

yang akan datang dengan memberikan tanggung jawab kepadanya

menjadi NP.

Oleh sebab itu maka kita dapat memahami bahwa seorang NP

memegang peranan penting dalam praktek kenotariatan di masyarakat karena

dengan sendirinya dapat menunjang profesi Notaris dalam menjawab kebutuhan

masyarakat di bidang keperdataan secara baik dan sah. Selanjutnya untuk lebih

memahami dan menjawab bagaimakah peran seorang NP dalam kegiatan pasar

modal maka ada baiknya kita juga dapat melihat bagaimanakah peraturan atau

Undang-undang dalam mengatur peran dan kewenangan seorang NP dalam

dunia kenotariatan pada umumnya terlebih dahulu. Bab ini ditulis dengan

sistematika sebagai berikut: Pertama akan membahas mengenai posisi NP dalam

PJN, dimana akan coba ditelusuri peraturan awal yang mengatur mengenai

keberadaan NP, Kedua akan melihat bagaimana UUJN mengatur mengenai NP,

yang nantinya akan terlihat apa perbedaan dan perkembangan sehubungan

dengan peran dan kewenangan NP. Ketiga baru akan melihat peran dan

kewenangan dari NP dalam kegiatan pasar modal, diharapkan di bagian ini

dapat menjawab permasalahan yang menyangkut syarat, wewenang dan juga

tanggung jawab yang diemban oleh seorang NP dalam menjalankan tugasnya

88
di bidang pasar modal.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya pengaturan mengenai NP telah

diatur sejak diberlakukannya PJN di Indonesia. Sebelum kita membahas hukum

positif yang yang menyangkut Notaris, maka ada baiknya diuraikan aturan

mengenai NP dalam PJN untuk lebih memahami peran dan keweangan seorang

NP lebih dalam, karena secara hstoris PJN ini juga tetap menjadi latar belakang

timbulnya UUJN.

Seorang NP dalam PJN diatur mulai dari pasal 6 huruf B sampai dengan

huruf 6 (P), lalu juga diatur dalam pasal 12 huruf (A) dan pasal 17,

selanjutnya kita akan menguraikannya satu persatu untuk mendapatkan

kejelasan dari tiap-tiap pasalnya. Konteks pasal 6 dalam UUJN adalah mengenai

tata cara seorang Notaris dalam menjalankan profesinya, seperti contohnya

dalam hal tempat tingal dan kedudukan kantor Notaris tersebut. Munculnya NP

dalam UUJN dimulai pada saat pembahasan mengenai cuti Notaris dalam pasal

6 huruf (A), oleh sebab itu pengaturan mengenai NP dimulai dalam pasal 6

huruf (B) yang kalau dijabarkan secara singkat mengatakan dalam hal seorang

Notaris berhalangan menjalankan jabatannya karean cuti maka Notaris tersebut

harus menunjuk penggantinya. Orang yang ditunjuk menjadi NP inipun harus

diambil sumpahnya seperti yang ditentukan dalam pasal 17 PJN yang akan

dijelaskan kemudian dan juga harus menjalankan ketentuan-ketentuan yang

ditentukan dalam pasal 12 huruf (A) PJN.

Selanjutnya adalah pasal 6 huruf L dan huruf (M), pasal ini masih

mengenai penunjukan notaris pengganti dalam hal Notaris mengambil cuti

hanya saja dalam pasal ini PJN juga memberikan semacam hak untuk

89
mengambil cuti kepada NP maksimal selama 6 bulan, hal ini karena seringkali

seorang Notaris mengambil cuti cukup lama dan penggantinya tersebut juga

mengalami halangan dalam menjalankan jabatannya sebagai pengganti, tentu

saja durasinya tentu saja tidak boleh terlau lama karena NP merupakan orang

yang ditunjuk langsung oleh Notaris yang digantikannya tersebut. Dikatakan

lebih lanjut dalam pasal 6 huruf (M) diatur dalam hal Pengganti tersebut

berhalangan atau meninggal maka pejabat yang mengangkat NP tersebut dapat

menunjuk orang lain sebagi penggantinya. Ketentuan mengenai NP dalam

rangkaian pasal 6 paling banyak diatur dalm pasal 6 huruf (P), diman diatur

mengenai proses pengangkatan NP, hak-hak yang dimiliki NP dan juga

konsekuensi dari pengangkatan NP bagi seorang Notaris.

Sama seperti yang termaktub dalam PJN peran dan kedudukan seorang

NP dalam UUJN juga diletakan dalam Bab mengenai cuti Notaris, yaitu

dalam Bab V pasal 25, 27, 32 dan 33, selain itu ada juga beberapa ayat dalam

pasal-pasal tertentu yang juga mengatur tentang NP diluar bab tersebut, yang

nanti akan ikut disinggung juga karena masih menyangkut dengan kewajiban

NP. Peran seorang NP mulai timbul jika seorang Notaris mengajukan cuti, hal

ini tertulis dalam pasal 35 ayat (3) yang berbunyi:

“Selama menjalankan cuti, Notaris wajib menunjuk seorang Notaris

Pengganti”

Jadi masih sama dengan PJN, bahwa seorang NP timbul karena dua

unsur, yaitu Notaris yang digantikan tersebut menjalankan atau mengajukan cuti

dan selanjutnya Notaris yang bersangkutan tersebut mengajukan pengganti

dirinya, yang mana hal ini dikuatkan dalam pasal 27 ayat (1) yang mengatakan:

90
“Notaris mengajukan permohonan cuti secara tertulis disertai usulan

penunjukan Notaris pengganti”.

Selanjutnya dalam UUJN juga disebutkan kalau pengangkatan NP diatur

lebih detail dibandingkan dalam PJN yang hanya menyebutkan organisasi

Notaris, dalam UUJN dengan jelas disebutkan kalau pengangkatan NP menjadi

wewenang dari Mejelis Pengawas Daerah (MPD) sebagaimana disebutkan

dalam pasal 70 huruf (D) dan diangkat sumpahnya juga oleh MPD. Masih sama

dengan PJN, kewajiban dari seorang Notaris yang akan digantikan oleh NP

adalah juga harus menyerahkan Protokol Notaris kepada NP dan NP tersebut

akan menyerahkan kembali Protokol Notaris kepada Notaris setelah masa

cutinya berakhir. Hal ini tersebut dalam pasal 32 ayat (1) dan (2). Pasal ini dapat

diartikan kalau NP bertanggung jawab sama seperti seorang Notaris dalam

menjalankan jabatannya tersebut, berkenaan dengan tanggung jawabnya untuk

mencatatkan dan memelihara akta-akta yang dibuatnya sebagaimana yang

tercantum dalam pasal 16 ayat (1) huruf (F) sampai dengan (J), selain tentu saja

secara umum kewajiban seorang Notaris yang disebutkan dalam pasal 16

UUJN juga menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh NP.

Menjadi perbedaan mendasar pengaturan mengenai NP antara PJN dan

UUJN adalah mengenai syarat untuk menjadi seorang NP, dalam UUJN pasal 33

ayat (1) tertulis;

“Syarat untuk dapat menjadi seorang Notaris Pengganti, Notaris


Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris adalah warga
Negara Indonesia yang berijazah sarjana hukum dan telah bekerja
sebagai karyawan kantor Notaris paling sedikit 2 (dua) tahun
berturut-turut”.

Pada ketentuan di atas terlihat bahwa syarat untuk menjadi seorang NP

91
sekarang telah diatur secara lebih ekplisit dan detail, dimana untuk menadji NP

orang tersebut harus memegang gelar sarjana hukum dan telah bekerja sebagai

pegawai Notaris minimal selama 2 tahun. Hal ini berdampak sangat besar yang

mana mengakibatkan tidak sembarangan orang dapat menajdi NP. Pasal ini

menurut hemat penulis ini bertujuan selain untuk menyaring orang yang

mempunyai kapasitas sebagi NP juga dimaksudkan untuk menjaga mutu dan

kualitas daeri akta-akta atau pekerjaan jabatan Notaris yang dihasilkannya.87

Adanya peraturan ini kita dapat mengambil minimal dua keuntungan,

pertama untuk mengetahui dengan pasti syarat apa sajakah untuk menjadi

seorang NP dan yang kedua untuk menjamin lebih baiknya praktek Kenotaritan

walaupun dijalankan oleh seorang NP. Adanya pasal tersebut di atas tentunya

merupakan kemajuan dalam dunia Kenotariatan di Indonesia dimana sebelum

adanya UUJN syarat untuk menjadi seorang NP tidaklah diatur jelas sehingga

seringkali menimbulkan keraguan, walaupun dalam kenyataannya di lapangan

sebenarnya tidak berdampak terlalu signifikan. bagaimanapun juga penunjukan

seorang NP dilakukan oleh Notaris yang sudah mengenal NP terkait jadi dia

pasti akan memilih dengan sebaik-baiknya karena juga menyangkut nama baik

dari Notaris itu sendiri.88

Selanjutnya mengenai kewenangan, kewajiban dan larangan Notaris

seperti yang tertulis dalam pasal 15 pasal 16 dan pasal 17 UUJN juga berlaku

terhadap NP, hal ini terdapat dalam pasal 33 ayat (2) dari UUJN. Selain itu

mengenai kewajiban dan kewenangan dari NP juga diatur dalam pasal 38

angka (5) UUJN yang mana dalam hal akta tersebut dibuat oleh NP maka

87
Op.Cit. Tan Thong kie. Hlm.4
88
Ibid. hlm. 5

92
dalam kepada aktanya harus ditambahkan juga nomor dan tanggal penetapan

pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya. Lalu dalam pasal 57

UUJN yang menyatakan kalau seorang NP berwenang mengeluarkan grosse,

salinan akta, kutipan akta Notaris atau pengesahan surat dibawah tangan

(legalisasi atau warmeking) yang dilekatkan pada akta yang disimpan dalam

protokol Notaris dalam hal dia sedang menjalankan jabatannya sebagai NP.

Pasal-pasal ini membuktikan kalau NP selama menjalankan jabatannya

mempunyai kedudukan dan kewenangan yang sama dengan Notaris

Nilai otentik suatu akta notaris tidak terlepas dari dipenuhi atau tidaknya

suatu prosedur yang telah ditentukan dalam peraturan yang mengaturnya yang

dalam hal ini adalah Peraturan Jabatan Notaris. Suatu akta dapat dikatakan

otentik apabila memenuhi:89

a. Akta notaris adalah akta yang dibuat oleh dihadapan yang

berwenang untuk itu.

b. Ada kepastian tanggalnya.

c. Ada kepastian siapa yang menandatangani, ditandatangani oleh yang

bersangkutan sendiri.

d. Notaris telah menasehatkan sebelum akta dibuat, mana yang dilarang

dan mana yang tidak.

e. Kalau ada yang menyangkal kebenaran akta itu, maka yang menyangkal

tersbut yang harus membuktikan, yang disangkal tidak usah membuktikan

apa-apa.

f. Akta notaris harus dirahasiakan oleh notaris.

Berdasarkan Pasal 44 ayat (1) Undang Undang Jabatan Notaris dapat


89
Op.Cit. Tan Thong kie. Hlm.5

93
diketahui dengan jelas bahwa setiap akta notaris sebelum dilakukannya

penandatanganan harus terlebih dahulu dibacakan keseluruhan kepada para

penghadap dan para saksi, baik itu akta pihak (partij acte) maupun akta

pejabat (ambtelijke acte). Pembacaan ini merupakan bagian yang dinamakan

verlijden (pembacaan dan penandatanganan) dari akta.

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta

notaris atau akta PPAT adalah sebagai berikut:90

1. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada

membebankan Hak Tanggungan;

2. tidak memuat kuasa substitusi;

3. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan

nama serta identitas kreditomya, nama dan identitas debitor apabila debitor

bukan pemberi Hak Tanggungan.

Kuasa Untuk Membebaskan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali

atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut

telah di laksanakan atau karena telah habis jangka waktunya. Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar

wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-

lambatnya I (satu) bulan sesudah diberikan. Surat Kuasa membebankan Hak

Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdafar wajib di ikuti dengan

pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambatl-lambatnya 3 (tiga) bulan

sesudah diberikan.

Bentuk dan isi Akta Pemberian Hak Tanggungan, bentuk dan isi buku-

90
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris, (Bandung PT. Refika Aditama,2011), hlm. 78.

94
tanah Hak Tanggungan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tata cara

pemberian dan pendaftaran Hak Tanggungan ditetapkan dan diselenggarakan

berdasarkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang diberikan untuk

menjamin pelunasan jenis-jenis kredit usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam

Surat.

Berdasarkan teori kewenangan wewenang atau yang sering pula ditulis

dengan kewenangan merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan

kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

yang mengatur jabatan yang bersangkutan. Hukum administrasi negara mengenal

wewenang dapat diperoleh secara atribusi, delegasi, atau mandat. Wewenang

secara atribusi adalah pemberian wewenang yang baru kepada suatu jabatan

berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum.

Selanjutnya, wewenang secara delegasi merupakan pemindahan atau pengalihan

wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau

aturan hukum. Sedangkan mandat bukan merupakan pengalihan atau pemindahan

wewenang, tetapi karena yang berkompeten atau berwenang berhalangan.91

Berdasarkan UUJN, notaris sebagai pejabat umum memperoleh wewenang

secara atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan, diberikan dan diperoleh

dari UUJN itu sendiri. Kewenangan notaris diatur dalam Pasal 15 UUJNP dibagi

menjadi tiga kewenangan meliputi kewenangan umum, kewenagan khusus, dan

kewenangan notaris yang ditentukan kemudian. Kewenangan notaris untuk

membuat SKMHT didasari pada ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT. Ketentuan
91
Ibid, hlm. 88.

95
pasal tersebut menegaskan bahwa SKMHT dapat dibuat dalam dua bentuk yaitu

akta notaris atau akta PPAT. Selanjutnya berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUJNP

menegaskan bahwa notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua

perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-

undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untudinyatakan

dalam akta otentik, menjamikepastian tanggal pembuatan akta, menyimpaakta,

memberikan grosse, salinan dan kutipanakta, semuanya itu sepanjang pembuatan

akta ittidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepadpejabat lain atau orang lain

yang ditetapkan oleh undang-undang.

Konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT adalah pejabat

yang berwenang membuat SKMHT dengan akta notaris adalah notaris yang

dalam menjalankan jabatannya tunduk pada tata cara bentuk sesuai dengan

ketentuan UUJN. Ketentuan pasal tersebut menegaskan pula notaris berwenang

untuk membuat akta otentik. Berkaitan dengan itu, SKMHT merupakan suatu

surat kuasa yang dibuat oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk

membebankan hak tanggungan atas objek hak tanggungan yang dijadikan

jaminan kredit.

Berdasarkan teori tanggung jawab hukum, karakteristik notaris pengganti

dalam SKMHT harus didasarkan pada dimana yang luas yang menunjukan resiko

atau tanggung jawab. Meliputi hak dan kewajiban secara aktual atau potensial

seperti kerugian, ancaman, dan penipuan Liability. Notaris pengganti juga harus

memiliki sifat Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas

suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan

96
meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang

dilaksanakan92.

Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan

bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu

atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subjek berarti bahwa dia

bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentanga. Hans

Kelsen menyatakan bahwa untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh

hukum disebut kekhilafan (negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang

sebagai satu jenis lain dari kesalahan (culpa) walaupun tidak sekeras kesalahan

yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa

maksud jahat, serta akibat yang membahayakan.93

Prinsip ini harus ada pada notaris pengganti dalam SKMHT dicantumkan

sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standart yang dibuatnya. Dalam

prinsip ini dianut system pembuktian terbalik, maka setiap terjadi sengketa

perdata antara konsumen dengan pelaku usaha, atau apabila terjadi pelanggaran

atau kejahatan yang dilakukan pelaku usaha, maka pelaku usaha dianggap

bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

Notaris pengganti dalam membuat SKMHT harus mengerti tanggung jwab

yang diembannya dan konsekwensi hukum yang akan diperolehnya jika

melanggar. Pada dasarnya dalam hukum perdata bentuk sanksi hukumnya dapat

berupa kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban) serta hilangnya suatu

keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru.

92
Ibid, hlm. 38
93
Somardi, General Teori Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara. Dasar-
Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik (Jakarta: BEE Media
Indonesia, 2007). Hlm 81

97
Pertanggungjawaban hukum dibidang perdata merupakan pertanggungjawaban

hukum yang didasari oleh adanya hubungan keperdataan antar subyek hukum.

4.3. Ratio decidendi Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia

Tentang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang Cacat

Hukum

Ratio decidendi tidak hanya penting dalam sistem dimana hakim terikat

keputusan hakim yang terlebih dahulu (precedent), akan tetapi juga di negara

bertradisi civil law system seperti Indonesia. Istilah hukum ini digunakan dalam

masyarakat hukum yang merujuk prinsip hukum, moral, politik dan sosial yang

digunakan pengadilan sehingga sampai membuat keputusan demikian. Jadi setiap

kasus memiliki Ratio decidendi, alasan yang menentukan atau inti-inti yang

menentukan putusan94. Ratio decidendi (jamak: rationes decidendi) adalah

sebuah istilah latin yang sering di terjemahkan secara harfiah sebagai “alasan

untuk keputusan itu”. Menurut Kuswandi Pudjosewojo dalam pedoman pelajaran

tata hukum sendiri mendefinisikan sebagai faktor-faktor yang sejati (materiil

fact, factor-faktor yang ensesial yang justru mengakibatkan keputusan begitu

itu)95

Kadang Ratio decidendi jelas terlihat, akan tetapi terkadang pula perlu

dijelaskan. Biasanya memang dalam praktek, hal-hal yang essensiil ini menjadi

kepentingan para pihak dalam perkara untuk membuktikannya atau

membantahnya atau menurut penulis sebagai “pusat pertarungan para pengacara

untuk dibuktikan”. Ketika melihat sebuah keputusan pengadilan, Ratio decidendi 

94
Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, (jakarta, Sinar Grafita, 2003),
hlm.475
95
Ibid. hlm.476

98
berdiri sebagai dasar hukum atas dasar putusan dijatuhkan. Ratio decidendi 

secara hukum mengikat pengadilan yang lebih rendah melalui doktrin "stare

decisis", tidak seperti obiter dicta, seperti komentar yang dibuat sehubungan

dengan kasus yang mungkin relevan atau menarik, tetapi tidak menarik dari

keputusan hukum. Ratio decidendi dapat dikatakan mengikat untuk masa depan.

Semua pernyataan lain tentang hukum dalam pendapat pengadilan - semua

pernyataan yang tidak membentuk bagian dari putusan pengadilan pada isu-isu

yang benar-benar memutuskan dalam kasus tertentu.96

4.3.1. Ratio decidendi Putusan MA RI Nomor 1545 K/Pdt/2011

a. Duduk Perkara

Membaca surat-surat yang bersangkutan;

Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut, ternyata bahwa sekarang

Pemohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat telah menggugat sekarang para

Termohon Kasasi dan para Turut Termohon Kasasi sebagai para Tergugat

dan para Turut Tergugat di muka persidangan Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan pada pokoknya atas dalil-dalil:

Bahwa Penggugat memiliki tanah beserta bangunan di atasnya yang terletak

dan dikenal dengan Jalan Kemandoran VIII No. 6 RT. 007 RW. 003,

Kelurahan Grogol Utara, Kecamatan Kebayoran Lama – Jakarta Selatan,

yang diperoleh Penggugat dengan cara membeli berdasarkan:

1. Sertifikat Hak Milik No. 231/Grogol Utara, yang semula atas nama SUANDI

HARTONO, sesuai dengan Gambar Situasi No. 28/1688/1976, seluas 1.992

m2, atas dasar Akta Jual Beli No. 15/Kebayoran Lama/2003 tertanggal 5
96
Ibid, hlm.476

99
September 2003 yang dibuat di hadapan Notaris MIRAH DEWI RUSLIM

SUKMADJAJA, SH., M.Hum., yang kemudian telah dibalik nama atas nama

BUDIYANTO;

2. Sertifikat Hak Milik No. 1680/Grogol Utara, yang semula atas nama SUANDI

HARTONO, sesuai dengan Gambar Situasi No. 25/266/1980, seluas 890 m2,

atas dasar Akta Jual Beli No. 16/Kebayoran Lama/2003 tertanggal 5

September 2003 yang dibuat di hadapan Notaris MIRAH DEWI RUSLIM

SUKMADJAJA, SH., M.Hum., yang kemudian telah dibalik nama atas nama

BUDIYANTO;

3. Sertifikat Hak Milik No. 2070/Grogol Utara, yang semula atas nama SUANDI

HARTONO, sesuai dengan Surat Ukuran No. 01154/2002, seluas 201 m2,

atas dasar Akta Jual Beli No. 17/Kebayoran Lama/2003 tertanggal 5

September 2003 yang dibuat di hadapan Notaris MIRAH DEWI RUSLIM

SUKMADJAJA, SH., M.Hum., yang kemudian telah dibalik nama atas nama

BUDIYANTO;

Bahwa Penggugat adalah pemilik yang sah terhadap tanah-tanah serta

bangunannya tersebut di atas dan hingga sampai dengan saat ini sama sekali

belum pernah menjual, menggadaikan ataupun melakukan perbuatan hukum

lainnya yang bertujuan untuk mengalihkan kepemilikan kepada orang lain;

Bahwa Penggugat kenal dengan Tergugat I hanya sebatas teman dan tidak

mempunyai hubungan hukum dalam bentuk pekerjaan serta tidak pernah

melakukan perbuatan hukum dalam bentuk apapun untuk mengalihkan

kepemilikan;

100
Bahwa pada awal bulan Desember tahun 2003, Penggugat sedang

memerlukan dana segar untuk menjalankan usaha sebesar Rp. 5.000.000.000,-

(lima milyar rupiah). Selanjutnya Tergugat I yang merupakan teman Penggugat

mengetahui apabila Penggugat sedang memerlukan dana segar kemudian

Tergugat I menawarkan diri kepada Penggugat untuk membantu mencarikan dana

yang dibutuhkan tersebut, dengan alasan Tergugat I mempunyai relasi di beberapa

Bank;

Bahwa atas tawaran Tergugat I tersebut, Penggugat merasa tertarik dan

percaya kemudian masih di awal Desember tahun 2003, Tergugat I meminta

kepada Penggugat untuk menyerahkan Sertifikat-Sertifikat Hak Milik Penggugat

yang akan diperlihatkan terlebih dahulu oleh Tergugat I kepada relasinya yang ada

di bank, agar relasi tersebut percaya kepada Tergugat I dan dalam tempo 3 (tiga)

bulan, dana akan bisa didapatkan;

Bahwa oleh karena sertifikat-sertifikat asli milik Penggugat hanya akan

ditunjukkan kepada relasi Tergugat I dengan janji Tergugat I dalam jangka waktu

paling lambat 3 (tiga) bulan dana segar akan bisa didapatkan, maka kemudian

Penggugat bersedia menyerahkan 3 (tiga) buah Sertifikat Hak Milik (asli) kepada

Tergugat I di rumah Tergugat I, Jalan Gading Kirana V, Blok A-7 No. 23 –

Kelapa Gading, yaitu:

1. Sertifikat Hak Milik No. 231/Grogol Utara;

2. Sertifikat Hak Milik No. 1680/Grogol Utara;

3. Sertifikat Hak Milik No. 2070/Grogol Utara;

Bahwa kemudian setelah Tergugat I menerima ketiga sertifikat asli milik

Penggugat, lalu kemudian Penggugat menghubungi Tergugat I dengan maksud

101
untuk menanyakan apakah sudah diproses dengan adanya jaminan sertifikat asli

milik Penggugat serta apakah dana yang dimaksud bisa didapatkan, namun

kenyataannya Penggugat tidak berhasil menghubungi Tergugat I, bahkan

Penggugat telah mencari Tergugat I di rumahnya, namun ternyata Tergugat I

sudah tidak ada di alamat tersebut, sehingga sampai dengan gugatan ini

didaftarkan, Penggugat belum berhasil menemui Tergugat I;

Bahwa pada bulan Desember 2005, Penggugat sangat terkejut dan shock

dengan adanya Surat Tagihan Hutang dari Tergugat II serta adanya surat dari

Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara Jakarta V perihal permintaan lelang

terhadap tanah dan bangunan milik Penggugat dengan Sertifikat Hak Milik No.

231, Sertifikat Hak Milik No. 1680, Sertifikat Hak Milik No. 2070 dari Tergugat

II atas dasar sebagai berikut:

1. Akta Hak Tanggungan No. 4/2004 tanggal 8 Januari 2004 yang dibuat oleh

Turut Tergugat II yang didasarkan Akta Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan No. 8 tanggal 15 Desember 2003 yang dibuat oleh Tergugat III;

2. Akta Hak Tanggungan No. 116/2004 tanggal 24 September 2004 yang dibuat

oleh Tergugat IV yang didasarkan Akta Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan No. 114 tanggal 6 Agustus 2004 yang dibuat oleh Tergugat IV;

Bahwa sampai dengan saat ini, Penggugat sama sekali tidak pernah

menerima sejumlah uang sepersen pun besarnya dari Tergugat I maupun dari

Tergugat II, selain itu Penggugat juga tidak pernah menghadap Tergugat III untuk

membuat dan menandatangani Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

No. 8 tanggal 15 Desember 2003 dan tidak pernah menghadap Tergugat IV untuk

102
membuat dan menandatangani Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

No. 114 tanggal 6 Agustus 2004;

Bahwa selanjutnya Penggugat melaporkan kejadian yang menimpanya ke

pihak kepolisian dengan No. Pol.4240/K/XI/2006/SPK Unit III tanggal 13

November 2006, yang kemudian telah dilakukan pemeriksaan tanda tangan

Penggugat ke Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri sesuai dengan

surat No. Pol.B/5556/ VII/2007/Datro tertanggal 6 Juli 2007;

Bahwa Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Puslabfor

Mabes Polri No. Lab. 2698/DTF/2007 tertanggal 1 Agustus 2007 menyatakan

tanda tangan Penggugat yang tertera pada Minute Akta Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan No. 8 tanggal 15 Desember 2003 dan Minute

Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan No. 114 tanggal 6 Agustus

2004 ternyata non-identik, sehingga dengan demikian tanda tangan Penggugat

tersebut telah dipalsukan; Bahwa Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris

Kriminalistik Puslabfor Mabes Polri No. Lab. 2698/DTF/2007 tertanggal 1

Agustus 2007 adalah dibuat oleh instansi yang berwenang, maka dengan demikian

telah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku;

Bahwa Penggugat tidak pernah menghadap Tergugat III untuk membuat

dan menandatangani Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan No. 8

tanggal 15 Desember 2003 dan tidak pernah menghadap Tergugat IV untuk

membuat dan menandatangani Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

No. 114 tanggal 6 Agustus 2004 serta tanda tangan Penggugat telah dipalsukan,

maka dengan demikian Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan No. 8

tanggal 15 Desember 2003 yang dibuat oleh Tergugat III dan Akta Surat Kuasa

103
Membebankan Hak Tanggungan No. 114 tanggal 6 Agustus 2004 yang dibuat

oleh Tergugat IV adalah cacat yuridis, tidak sah dan batal demi hukum;

Bahwa oleh karena Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan No.

8 tanggal 15 Desember 2003 yang dibuat oleh Tergugat III dan Akta Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan No. 114 tanggal 6 Agustus 2004 yang dibuat

oleh Tergugat IV adalah cacat yuridis, tidak sah dan batal demi hukum, maka

dengan demikian pula Akta Hak Tanggungan No. 4/2004 tanggal 8 Januari 2004

yang dibuat oleh Turut Tergugat I dan Akta Hak Tanggungan No. 116/2004

tanggal 24 September 2004 yang dibuat oleh Tergugat IV tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat;

Bahwa dengan demikian nyata-nyata Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III

dan Tergugat IV telah melakukan perbuatan melawan hukum;

Bahwa Penggugat adalah pemilik sah atas tanah dan bangunan di atasnya

dengan Sertifikat Hak Milik No. 231/Grogol Utara, Sertifikat Hak Milik No.

1680/Grogol Utara dan Sertifikat Hak Milik No. 2070/Grogol Utara, dimana

Penggugat merasa khawatir bahwa tanah dan bangunan milik Penggugat tersebut

akan segera dialihkan, dijual ataupun dilelang ketika menghadapi gugatan ini dan

selain itu cukup beralasan untuk meletakkan sita jaminan (conservatoir beslaag)

atas tanah dan bangunan di atasnya dengan Sertifikat Hak Milik No. 231/Grogol

Utara, Sertifikat Hak Milik No. 1680/ Grogol Utara dan Sertifikat Hak Milik No.

2070/Grogol Utara, yang merupakan satu kesatuan dan terletak di Jalan

Kemandoran VIII No. 6 RT. 007 RW. 003, Kelurahan Grogol Utara, Kecamatan

Kebayoran Lama – Jakarta Selatan, dengan batas-batas sebagai berikut:

a. Sebelah utara : Jalan Raya Kemandoran;

104
b. Sebelah selatan : Jalan penduduk;

c. Sebelah timur : Jalan Edi Johan;

d. Sebelah barat :Jalan Surya Dharma Winata;

Bahwa akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I,

Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV telah mengakibatkan kerugian besar

yang dialami Penggugat berupa kerugian usaha bengkel dan body repair, oleh

karenanya patut dan layak jika Penggugat mengajukan tuntutan ganti rugi, dengan

perincian hilangnya uang sewa/kontrak yang telah disepakati antara Penggugat

dengan pihak ketiga selama jangka waktu 3 (tiga) tahun dengan harga

sewa/kontrak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) per tahun, sehingga total

kerugian yang dialami Penggugat adalah Rp. 500.000.000,- x 3 = Rp.

1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah);

Bahwa untuk menjamin agar Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan

Tergugat IV taat terhadap putusan, maka diwajibkan untuk membayar uang paksa

(dwangsom) sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) setiap hari jika lalai

melaksanakan putusan;

Bahwa gugatan ini diajukan berdasarkan alat bukti kuat yang diakui

keberadaannya dan tidak akan terbantahkan dalam perkara ini, maka dengan

adanya fakta hukum tersebut, cukup beralasan jika pengadilan menyatakan

putusan perkara ini dapat segera dilaksanakan (serta merta) meskipun adanya

upaya verzet, banding atau kasasi;

4.3.2. Ratio decidendi Putusan MA RI Nomor 3049 K/Pdt/2013

Duduk Perkara :

105
1. Bahwa pada tanggal 19 Januari 2009 orang tua Penggugat yang bernama

Sukadi dan Sri Supadmi telah meminjam sejumlah uang kepada Tergugat I

sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah ) dengan perjanjian di

bawah tangan; Bahwa di dalam Perjanjian Kredit tertanggal 19 Januari

2009 tersebut menyatakan jaminan berupa Sertipikat Hak Milik No. 2223

luas ± 166 m² atas nama Retno Dwi Mintarsih (Penggugat) yang terletak di

Sokowinatan Karangmalang Masaran Sragen akan tetapi tidak dinyatakan

dengan jelas nama penjamin serta tanda tangannya, padahal jaminan bukan

milik debitur (Sukadi dan Sri Supadmi);

2. Bahwa didalam perjanjian kredit tersebut, tidak ada pasal dan atau ayat

yang menegaskan pemberian hak tanggungan jaminan pelunasan utang;

3. Bahwa pada akhir bulan Januari 2009 Penggugat diminta oleh Tergugat I

untuk datang ke Tergugat II untuk menandatangani surat-surat, dimana

Penggugat tidak mengetahui isi dan apa saja yang telah ditandatangani;

4. Bahwa ternyata dikemudian hari, Penggugat baru mengetahui kalau surat

yang ditandatanganinya adalah Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan (SKMHT) No. 02/KSU.KSM/I/2009 atas objek jaminan

berupa Sertipikat Hak Milik No. 2223 luas ± 166 m² yang terletak di

Sokowinatan Karangmalang Masaran Sragen an. Retno Dwi Mintarsih

(Penggugat) dari Penggugat selaku pemberi kuasa dan Tergugat I selaku

penerima kuasa;

5. Bahwa SKMHT yang tersebut di atas diteruskan oleh Tergugat I dan

Tergugat II dengan Penerbitan APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan)

106
No. 41/ MSR/2009 tertanggal 14 Pebruari 2009 dan Sertipikat Hak

Tanggungan No. 284/2009;

6. Bahwa Penggugat lahir pada tanggal 14 Januari 1990 dan pada bulan

Januari 2009 pada saat penandatanganan Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan (SKMHT) No. 02/KSU.KMS/I/2009) Penggugat masih

berumur 19 tahun dan belum kawin;

7. Bahwa berdasarkan Pasal 330 KUHPerdata, seorang yang belum dewasa

adalah belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin;

8. Bahwa Sertipikat Hak Tanggungan yang mana didalamnya terdapat APHT

No. 41/MSR/2009 dan SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan) No. 02/KSU Karya Mandiri Sejahtera/Tergugat I) terlihat

jelas bahwa Penggugat pada saat penandatanganan SKMHT (Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan) tersebut dalam keadaan belum dewasa

dan belum kawin, jadi tidak cakap melakukan perbuatan hukum (Pasal

1330 KUHPerdata);

9. Bahwa bagi mereka yang tunduk pada ketentuan KUHPerdata, untuk

melakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan harta kekayaan

karena didalamnya tersangkut anak di bawah umur, harus terlebih dahulu

memperoleh ijin dari Hakim Pengadilan Negeri;

10. Bahwa oleh karena perbuatan SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan) No. 02/KSU.KMS/I/2009 cacat hukum, maka pemberian hak

tanggungan terhadap Sertipikat Hak Milik No. 2223 luas ± 166 m² atas

nama Retno Dwi Mintarsih yang terletak di Sokowinatan Karangmalang

107
Masaran Sragen dan segala produk hukum atas dasar SKMHT (Surat

Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) tersebut batal demi hukum;

11. Bahwa atas perbuatan Tergugat I dan II yang tersebut di atas, maka

Tergugat I dan II telah melakukan perbuatan melawan hukum yang

menimbulkan kerugian materiil sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah);

Amar Putusan Judex factie

Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/

Penggugat/Pembanding dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya sebagai

berikut:

1. Bahwa Judex Facti telah salah menerapkan hukumnya atau menerapkan

hukum tidak sebagaimana mestinya, karena Majelis Hakim Pengadilan Tinggi

Semarang dan Majelis Hakim Tingkat Pertama tidak teliti dalam memeriksa

perkara a quo dengan tidak memeriksa keseluruhan perkara a quo yang

dipersengketakan;

2. Bahwa Judex Facti dalam pertimbangannya, telah salah dan tidak cermat

dalam memeriksa atau bahkan tidak memeriksa sama sekali memori banding

Pemohon Kasasi dahulu Pembanding/Penggugat;

3. Bahwa Majelis Hakim Tingkat Pertama dan Banding telah keliru dalam

menerapkan hukumnya terutama mengenai pertimbangan dalam menerapkan

asas nebis in idem dalam perkara a quo. Majelis Hakim Tingkat Pertama dan

Banding menyatakan gugatan Pemohon Kasasi nebis in idem dengan perkara

No. 353/Pdt.G/201 l/PN. Srg;

108
4. Bahwa pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama dan Banding mengenai

asas nebis in idem adalah keliru. Dengan alasan sebagai berikut: gugatan

Pemohon Kasasi No. 23/Pdt.G/2012/PN.Srg sangat berbeda dengan perkara

No. 353/Pdt.G/2011/PN.Srg, perbedaan tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Subyek Hukum/pihak yang berperkara:

 Perkara No. 353/Pdt.G/2011/PN.Srg:

1) Para Penggugat Sukadi dan Sri Supadmi;

2) Tergugat Koperasi Serba Usaha (KSU) Karya Mandiri Sejahtera;

 Perkara No. 23/Pdt. G/2012/PN.Srg:

1) Penggugat Retno Dwi Mintarsih;

2) Tergugat I Koperasi Serba Usaha (KSU) Karya Mandiri Sejahtera;

3) Tergugat II Anita Rumani, SH.,

b. Dasar/alasan pengajuan sengketa:

1) Perkara No. 353/Pdt.G/2011/PN.Srg gugatan atas Perjanjian Kredit

tertanggal 19 Januari 2009;

2) Perkara No. 23/Pdt.G/2012/PN.Srg gugatan pembatalan Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggugan (SKMHT);

c. Objek sengketa

1) Perkara No. 353/Pdt.G/2011/PN.Srg Perjanjian Kredit tertanggal 19

Januari 2009;

2) Perkara No. 23/Pdt. G/2012/PN. Srg Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan (SKMHT) No. 02/KSU.KMS/I/2009;

109
Bahwa perkara No. 23/Pdt. G/2012/PN. Srg. ini adalah tidak sama dengan perkara

yang telah diputus No. 353/Pdt.G/2011/PN.Srg, sehingga tidak dapat diterapkan

asas nebis in idem;

5. Bahwa Pemohon Kasasi dahulu Pembanding/Penggugat sepakat dengan dalil

dalil hukum di dalam Pasal 1917 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu

gugatan yang diajukan kedua kalinya secara bersamaan pada waktu bersamaan

dimana para pihaknya sama, objknya sama, dan tuntutan didasarkan pada

alasan yang sama serta pihak-pihaknya juga mempuyai hubungan yang sama.

Di sini terlihat Majelis Hakim Tingkat Pertama dan Banding tidak cermat

dalam menerapkan hukumnya;

6. Bahwa Pemohon Kasasi tetap pada dalil-dalil gugatan dan memori banding

serta mohon agar bukti tertulis Pemohon Kasasi dalam persidangan tingkat

pertama tetapmenjadi kesatuan yang tak terpisahkan dalam memori kasasi ini;

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung

berpendapat mengenai alasan-alasan ke-1 sampai dengan ke-6:

Bahwa alasan-alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti

Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri tidak salah menerapkan hukum;

Bahwa walaupun dalam perkara a quo terdapat subjek hukum yang berbeda

namun status objek perkara telah ditetapkan oleh putusan Pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap yaitu melalui Putusan Pengadilan Negeri Sragen No.

353/ Pdt.G/2011/PN.Sragen yaitu menyangkut pembatalan Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMTH) No. 02/KSU.KMS/1/2009, (APHT)

No. 41/MSR/2009 tanggal 14 Februari 2009 dan Sertifikat Hak Tanggungan No.

284/2009 atas objek jaminan berupa Sertifikat Hak Milik No. 2223 luas ± 166 m²

110
yang terletak di Sokowinatan Karang Malang Masaran Sragen atas nama Retno

Dwi Mintarsih/ Penggugat;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan

Judex Facti/Pengadilan Tinggi Semarang dalam perkara ini tidak bertentangan

dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan

oleh Pemohon Kasasi Retno Dwi Mintarsih tersebut harus ditolak;

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi

ditolak dan Pemohon Kasasi ada di pihak yang kalah, maka Pemohon Kasasi

dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;

Memperhatikan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta

peraturan perundangan lain yang bersangkutan;

MENGADILI:

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi RETNO DWI MINTARSIH

tersebut;

2. Menghukum Pemohon Kasasi Penggugat/Pembanding untuk membayar biaya

perkara dalam tingkat kasasi ini sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu

rupiah);

Dalam kaitannya Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan tentu

mempertimbangkan berbagai aspek. Salah satu nya pendapat para hakim,

sehingga ratio decindendi menjadi pertimbangan yang tidak boleh di

kesampingkan dalam mengambil keputusan.

111
Proses ratio decindendi melalui penafsiran hukum dalam kasus Penafsiran

diartikan sebagai pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap

sesuatu. Pandangan kata dari penafsiran adalah interpretasi. Bila dikaitkan dengan

ilmu hukum, maka penafsiran hukum merupakan kegiatan yang dilakukan oleh

ahli hukum atau pengadilan dalam memberikan kesan atau makna dari suatu

norma hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, penafsiran merupakan salah satu

metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai

teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan

dengan peristiwa tertentu.97

Penafsiran dalam hal ini judicial interpretation (penafsiran oleh hakim),

juga dapat berfungsi sebagai metode perubahan konstitusi dalam arti menambah,

mengurangi, atau memperbaiki makna yang terdapat dalam suatu teks Undang

Undang Dasar. Para hakim menggunakan pandangan atau kemampuan mereka

berdasarkan pemahaman mereka terhadap hukum itu sendiri. Artinya, setiap

hakim berhak dalam melakukan penafsiran konstitusi, sehingga suatu saat para

hakim akan saling bertentangan dalam menafsirkan konstitusi terhadap sebuah

perkara tertentu.

Penafsiran merupakan kewajiban hukum dari hakim, ada beberapa

pembatasan mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan peraturan

perundang-undangan. Menurut Logemann mengatakan, bahwa hakim harus

tunduk kepada pembuat undang-undang. Dalam hal kehendak itu tidak dapat

dibaca begitu saja dari kata-kata peraturan perundang-undangan, hakim harus

mencarinya dalam kata-kata tersebut. Hakim wajib mencari kehendak pembuat

97
Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, (Yogyajarta,Penerbit
Liberty, 2001). Hlm. 57-61.

112
undang-undang, karena ia tidak boleh membuat tafsiran yang tidak sesuai dengan

kehendak pembuat undang-undang. Atas dasar itu hakim tidak diperkenankan

menafsirkan undang-undang diluar dari yang diamanatkan kostitusi. Hakim tidak

boleh menafsirkan kaidah yang mengikat, kecuali penafsiran yang sesuai dengan

maksud pembuat undang-undang.98

Penafsiran hukum pada Putusan MA RI Nomor 1545 K/Pdt/2011 dilakukan

sebelum mempertimbangkan keputusan Putusan MA RI Nomor 1545 K/Pdt/2011

ini terjadi. Pengaruh yang ditimbulkan cukuplah besar mengenai penafsiran

hukum, apabila penafsiran tersebut merubah subtansiali dalam kostitusi, tentu

dalam penjalanan isi muatan pasal kostitusi merujuk pada penafsiran lembaga

yang berwenang. Sehingga berfungsinya dalam sistem demokrasi dalam

hubungan perimbangan peran antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan

lembaga peradilan. Tentu dapat menjaga dari penyalahgunaan kekuasaan oleh

satu cabang kekuasaan dan untuk melindungi setiap individu warga negara dari

penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga Negara yang merugikan hak-hak

fundamental mereka yang dijamin oleh konstitusi. Undang-Undang Dasar

memberikan otoritas kepada MK sebagai penafsir paling absah dan authentik

terhadap konstitusi. Walaupun demikian, pendapat dan penafsiran hukum

MK yang dapat diterima penafsiran yang dikeluarkan melalui putusannya atas

permohonan yang diajukan kepadanya sesuai lingkup kewenangannya untuk

mengadili dan memutus suatu perkara.

4.3.3. Cacat Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Menurut

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia


98
Ibid. hlm.53

113
Cacat hukum dapat diartikan suatu perjanjian, kebijakan atau prosedur

yang tidak sesuai dengan hukum berlaku, sehingga dikatakan cacat dan tidak

mengikat secara hukum.99 Setelah menganalisis putusan Mahkamah Agung

Republik Indonesia, maka kita bisa mengetahui yurisprudensinya yakni

sebagaimana ditentukan dalam pasal 15 UUHT, SKMHT dapat dibuat oleh PPAT

atau notaris. Dalam praktek, jika seseorang merangkap jabatan selaku notaris dan

PPAT maka jika tanahnya terletak di dalam wilayah jabatannya maka ia akan

membuat SKMHT dalam kedudukannya selaku PPAT. Sedangkan jika tanahnya

terletak di luar wilayah jabatannya selaku PPAT maka ia akan bertindak dalam

kedudukannya selaku notaris.

Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan untuk

memenuhi syarat suatu akta agar menjadi akta otentik harus memenuhi ketentuan

yang diatur dalam pasal 1868 KHUPerdata antara lain harus memenuhi syarat

bentuk akta yang ditetapkan dalam UU. Untuk akta notaris tentunya harus dibuat

sesuai UUJN, khususnya pasal 38. Sedangkan untuk akta PPAT, pembuatannya

harus memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Peraturan Kepala BPN atau

Perkaban. Dan disini timbul masalah ternyata sebagian Kantor Pertanahan tetap

menginginkan bahwa SKMHT yang dibuat secara notaril harus tetap mengikuti

cara pembuatan akta SKMHT yang ditetapkan dalam Perkaban, yang jika hal

tersebut dituruti oleh notaris akan terjadi pelanggaran bentuk akta notaris yang

ditetapkan dalam UUJN.

Adapun cacat hukum akta notaris ialah jika notaris membuat SKMHT

tentunya harus membuatnya sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam UUJN.

99
Mariam Darius Baruszman, Op.Cit. hlm. 87

114
Artinya akta tersebut dapat dibuat dalam bentuk "minuta akta".100 Asli akta

disimpan di dalam protokol notaris, sedangkan kepada para pihak diberikan

“salinan" atau dibuat dalam bentuk "originali". Artinya asli akta yang dibuat

tersebut diserahkan kepada para pihak. Jika notaris mengikuti pembuatan akta

SKMHT yang ditetapkan dalam Perkaban atau peraturan pertanahan lainnya maka

akta yang dibuat tersebut bukan dalam bentuk minuta akta maupun originali

karena originali tidak dikenal adanya salinan dan hal lain berkenaan dengan

kewajiban adanya foot-note serta bentuk akhir akta yang bertentangan dengan

UUJN. Maka bila pelanggaran itu dilakukan, akta tersebut tidak memenuhi syarat

sebagai akta otentik sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1868 KUHPerdata dan

akibatnya Hak tanggungan yang dibebani atas tanah tersebut menjadi bermasalah.

Jika dasar pembebanannya tidak memenuhi syarat sebagai akta otentik tentunya

hak tanggungannya menjadi batal demi hukum.

BAB 5

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan hal-hal berikut.

a. Prinsip dalam surat kuasa membebankan hak tanggungan antara lain 1) prinsip

kehendak dimana para pihak yang menjelaskan bahwa bahwa pada prinsipnya

suatu pemberian kuasa dapat dilakukan melalui tindakan atau perbuatan

hukum sepihak; 2) Prinsip Pembatasan kewenangan pemberian hak

tanggungan yang sesuai dengan pasal 1813 Kitab undang-undang hukum

perdata yakni pemberian kuasa berakhir dengan ditariknya kembali kuasanya

si kuasa dan 3) Prinsip Kepastian Hukum Dalam Substansi Surat Kuasa


100
Ibid. hlm.89

115
Membebankan Hak Tanggungan yang memberikan pengertian tentang akibat

hukum tertentu.

b. Karakteristik notaris pengganti dalam Undang-undang Jabatan Notaris Profesi

Notaris dituntut juga untuk berkesinambungan, yang berarti bahwa siapa yang

menjalankan jabatan Notaris dan berhalangan untuk menjalankan jabatan

tersebut wajib untuk memberikan kewenangannya kepada orang lain dalam

memberikan pelayanan jasa, kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum

pada masyarakat.

3. Ratio decidendi dari yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 1545 K/PDT/2011 tentang Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan yang cacat hukum menjelaskan Ratio decidendi secara hukum

mengikat pengadilan yang lebih rendah melalui doktrin "stare decisis", tidak

seperti obiter dicta, seperti komentar yang dibuat sehubungan dengan kasus

yang mungkin relevan atau menarik, tetapi tidak menarik dari keputusan

hukum. Ratio decidendi dapat dikatakan mengikat untuk masa depan. Semua

pernyataan lain tentang hukum dalam pendapat pengadilan - semua

pernyataan yang tidak membentuk bagian dari putusan pengadilan pada isu-

isu yang benar-benar memutuskan dalam kasus tertentu.

5.2. Saran

Saran yang dapat diajukan antara lain untuk berbagai pihak sebagai berikut:

a. Bagi pemerintah harus segera mengatasi masalah ini dengan melakukan

sinkronisasi peraturan. Khusus buat Badan Pertanahan Nasional, haruslah

muncul kesadaran bahwa notaris dalam pembuatan akta mempunyai

116
ketentuan dan peraturan sendiri yang harus dipatuhi. Peraturan atau

kebijakan yang diterapkan ditingkat pusat (Kepala BPN) harus benar-benar

dipatuhi dan dijalankan oleh instansi bawahan (Kantor Pertanahan).

b. Bagi pejabat PPAT, pelaksanaan pendaftaran tanah harus sesuai dan sejalan

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku apalagi jika

peraturan yang bersangkutan merupakan peraturan yang dikeluarkan sendiri

oleh BPN. Seringkali sebagai PPAT kita telah menerapkan apa yang

ditentukan atau diatur dalam peraturan tapi justru kantor pertanahan menolak

sendiri dengan alasan yang tak berdasar.

c. Bagi notaris hendaknya memperhatikan tanggung jawab hukum jika

memberikan kuasa pada notaris penggati berdasarkan undang-undang yang

serta peraturan yang berlaku agar dapat dipertanggungjawabkan secara

hukum. Notaris pengganti harus memiliki karakteristik yang diperlukan

dalam penanganan hukum untuk membuat surat kuasa membebankan hak

tanggungan.

117
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdul Ghofur Anshori,2009. Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif


Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta.

Abdulkadir Muhammad, 2001. Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung,

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Djaja Ermansjah, 2008. Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar


Grafika

G. H. S. Lumban Tobing, 1983. eraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta,


1983.

118
Habieb Adjie, 2009, Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT Indonesia, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung

Habieb Adjie, 2009. Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT Indonesia, Citra
aditya Bakti, Bandung

_________ , 2 0 0 8 . Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris


Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama

_________ , 2 0 0 9 . Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, Mandar


Maju, Bandung.

Husni Thamrin, 2001. Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, Pressindo,


Yogyakarta

Ilhami Bisri, 2 0 0 5 . Sistem Hukum Indonesia Prinsip-Prinsip &


Implementasi Hukum di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2005.

Ima Erlie Yuana. 2010. Tanggung Jawab Notaris Setelah Berakhir Masa
Jabatannya Terhadap Akta Yang Dibuatnya Ditinjau Dari Undang-
Undang N0m0r 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Tesis.
Universitas Diponegoro

Ira Koesoemawati & Yunirman Rijan, 2 0 0 9 . Ke Notaris, Raih Asa Sukses,


Jakarta

Departemen pendidikan nasional, kamus besar bahasa indonesia (Jakarta balai


pustaka, 2002)

Ledeng Marpaung, 1997. Azas Teori Praktek Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia
Indonesia

Munir Fuady, 2005. Profesi Mulia Etika (Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa,
Advokat,Notaris, Kurator, dan Pengurus), PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung

Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada


Media Group

Raisul Mutaqien, 2006. Teori Hukum Murni, Nuansa & Nusamedia, Bandung,

Salim HS, 2006, Hukum Kontrak-Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika, Jakarta

Salim HS.,S.H. M.S. dan Erlies Septiana Nurbaini, S.H., LLM, Penerapan Teori
Hukum pada Penelitian Desertasi dan Tesis (Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada, 2014)

119
Somardi, General Teori Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara.
Dasar-dasar ilmu Hukum normatif sebagai ilmu hukum deskriptif empirik
(Jakarta: BEE Media Indonesia, 2007).

Soerjono dan Abdurrahman, 2003. Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta,


Jakarta

Supriadi, 2008, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta

Tan Thong Kie, 2 0 0 0 . S tudi Notariat-Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar


Baru Van Hoeve, Jakarta.

Tan Thong Kie, Studi Notariat-Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta

Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Hukum Perdata dalam Sistem Hukum
Nasional, Jakarta: Kencana Prenad Media Group, 2008

Wawan Tunggul Alam, 2 0 0 4 . Memahami Profesi Hukum, Milenia


Populer, Jakarta

Makalah

Dyah Ochtorina Susanti, 2011. Teori Perlindungan Hukum. Bahan ajar mata
kuliah Teori Hukum, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Islam
Kadiri (UNISKA). Kediri

Herowati Poesoko, 2010. Diktat Mata Kuliah Metode Penulisan dan Penelitian
Hukum, Nakalah. Fakultas Hukum Universitas Jember

Peraturan perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang- undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

120
121

Anda mungkin juga menyukai