Anda di halaman 1dari 21

UNIVERSITAS INDONESIA

Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta Pemindahan dan


Penyerahan Hak (cessie) (Studi Putusan Majelis Pengawas Wilayah Provinsi DKI
Jakarta Nomor 2/PTS/MJ.PWN.DKI Jakarta/XI/2017)

PROPOSAL TESIS

SHEILA ERIKA SUREDJA


2006497522

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
NOVEMBER 2020
2

A. Latar Belakang

Dalam hubungan antar manusia terdapat hubungan hukum di dalamnya yang


memerlukan adanya alat bukti yang kuat untuk menentukan hak dan kewajiban
dalam sektor pelayanan jasa publik yang saat ini semakin berkembang seiring
meningkatnya kebutuhan masyarakat atas pelayanan jasa. Hal ini berdampak pula
pada peningkatan di bidang jasa Notaris. Peranan notaris dalam sektor pelayanan jasa
adalah sebagai pejabat yang diberikan wewenang oleh negara untuk melayani
masyarakat dalam bidang perdata khususnya pembuatan akta otentik yang memiliki
kekuatan pembuktian sempurna.
Notaris dalam melaksanakan pekerjaannya adalah pejabat umum yang
berwenang membuat akta autentik. Notaris merupakan satu-satunya Pejabat Umum
yang berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua pembuatan
perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh Peraturan Umum atau oleh yang
berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin
kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan Grosse, salinan dan
kutipannya, semua sepanjang akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada Pejabat atau orang lain. Perubahan Undang-
Undang Jabatan Notaris memberikan penafsiran bahwa Notaris adalah pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tersebut atau berdasarkan Undang-
Undang lainnya. Hal ini menafsirkan bahwa Notaris adalah satu-satunya yang
berwenang membuat akta autentik tetapi isi dalam akta tersebut adalah cerminan
kehendak para pihak. Maka dalam hal ini akta autentik yang dibuat oleh notaris
adalah akta yang dapat dipercaya1 sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti
tertulis.
Keberadaan jabatan sebagai notaris sangat penting dan dibutuhkan masyarakat
luas, mengingat fungsi notaris adalah sebagai Pejabat Umum yang membuat alat

1
Sudarsono, Kamus Hukum, Cet. V, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 3.

Universitas Indonesia
3

bukti tertulis berupa akta autentik. Dalam setiap perkara, baik perkara perdata
maupun pidana, pasti tidak akan lepas dari pembuktian. Pembuktian merupakan
sesuatu yang mutlak harus ada. Menang atau kalahnya seorang penggugat atau
tergugat, tergantung kevalidan bukti-bukti yang diajukan ke pengadilan. Semakin
kuat bukti, maka semakin kuat pula keyakinan seorang hakim mengenai kebenaran
suatu perkara. Salah satu bentuk alat bukti adalah akta.
Pasal 1868 KUH Perdata merupakan sumber untuk otensitas Akta Notaris juga
merupakan dasar legalitas eksistensi Akta Notaris, dengan syarat-syarat berikut:2
1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang
Pejabat Umum.
2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang.
3. Pejabat Umum oleh–atau dihadapan siapa Akta itu dibuat, harus mempunyai
wewenang untuk membuat Akta tersebut.
Syarat-syarat tersebut merupakan syarat kumulatif dan dengan tidak
dipenuhinya salah satu syarat tersebut dapat mengakibatkan akta yang bersangkutan
hanya mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta yang dibuat di bawah tangan,
apabila ditandatangani oleh para pihak, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1869
KUH Perdata yang berbunyi:
“Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai
termaksud di atas atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan
sebagai akta autentik namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah
tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak” 3
Akta atau surat yang autentik bisa dikatakan sebagai alat bukti yang paling
sempurna.4 Ditegaskan pula, bahwa untuk merahasiakan segala sesuatu yang

2
Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011), hlm. 7
3
R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
(Jakarta:Pradnya Paramitha,1996), Ps.1869
4
Baharudin, Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Proses Jual Beli Tanah, Jurnal
Hukum Universitas Bandar Lampung, Lampung, 2014, hlm.2.

Universitas Indonesia
4

berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi


kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta tersebut. 5 Notaris merupakan
profesi hukum yang mulia, maka dari itu profesi Notaris adalah suatu profesi mulia
(nobile officium), disebut nobile officium karena profesi Notaris begitu erat kaitannya
dengan profesi yang berkaitan dengan kemanusiaan. 6
Sedangkan Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PPAT,
didefinisikan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik
mengenai perbuatan hukum tertentu tentang hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun.7 Seperti halnya Notaris sebagai pejabat umum yang disebut
berdasarkan Undang-Undang, pengaturan PPAT sebagai pejabat umum tidak
dituangkan ke dalam Undang-Undang, tetapi hanya melalui suatu Peraturan
Pemerintah.8 Seorang PPAT diberikan kewenangan hukum untuk memberi
pelayanan umum kepada masyarakat, dalam pembuatan akta autentik yang
merupakan alat bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang
pertanahan.
Walaupun Notaris dan PPAT merupakan Pejabat Umum yang mempunyai
profesi hukum yang berbeda, namun dapat dilihat dalam prakteknya Notaris dan
PPAT saling mendukung dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum yang
bertugas dalam membuat akta otentik yaitu, sebagai alat bukti tertulis demi
terwujudnya kepastian hukum terhadap hubungan hukum individu maupun subyek
hukum khususnya bidang pertanahan dalam melakukan peralihan hak atas
tanah/balik nama hak milik atas tanah. Apalagi didukung sejak lahirnya Peraturan

5
Habib Adji, Merajut Pemikiran Dalam Dunia Notaris & PPAT, (PT. Citra Aditya Bakti:Bandung, 2014)
hlm. 12
6
Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), hlm. 51-52.
7
Urip Santoso, Pejabat Pembuat Akta Tanah (Perspektif Regulasi, Wewenang dan Sifat Akta),
(Prenadamedia Group: Jakarta, 2016), hlm. 61
8
Husni Thamrin, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, (LaksBang PressIndo:Yogyakarta, 2011), hlm.
46

Universitas Indonesia
5

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah maka posisi Notaris
sebagai PPAT semakin baik dan diakui dan dimasukkannya pada Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang UUJN, satu-satunya jabatan yang boleh dirangkap oleh
Notaris adalah jabatan PPAT pada tempat kedudukan dimana Notaris diangkat.
Notaris atau PPAT sebagai salah satu pejabat umum yang mempunyai peranan
penting di dalam menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum
melalui akta autentik yang dibuat oleh dan dihadapannya, menjadikan akta autentik
sebagai alat bukti yang kuat dan apabila terjadi sengketa di Pengadilan, kecuali dapat
dibutikan ketidakbenarannya sehingga akta Notaris/PPAT memberikan suatu
pembuktian yang sempurna seperti yang disebutkan di dalam Pasal 1870 KUH
Perdata kepada para pihak yang membuatnya.9 Apabila terjadi sengketa terhadap
akta tersebut maka akta tersebut bisa dibatalkan atau batal demi hukum. 10
Menurut Djoko Soepadmo, Akta Autentik adalah akta yang dibuat dalam
bentuk yang ditentukan atau menurut aturan dalam undang-undang oleh atau
dihadapan umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuat, 11
sedangkan menurut Husni Thamrin, akta autentik adalah akta yang dibuat oleh
pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah
ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan dari pihak-pihak yang berkepentingan,
yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat dalamnya oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, akta autentik tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang
menerangkan tentang apa yang dilakukannya atau dilihat dihadapannya. 12 Pasal 1868
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata)
menyebutkan bahwa “akta autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum
9
Nurman Rizal, Implementasi UUJN Kaitannya dengan Pengawasan, Renvoi 30 (November 2005): 2005.
10
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2009), hlm.16.

11
Djoko Soepadmo, Teknik Pembuatan Akta Seri B-1, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1994), hlm.ii.
12
Husni Thamrin, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, Cetakan 2, (Yogyakarta: Laksbang Pressindo,
2011), hlm 11.

Universitas Indonesia
6

yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”13


Akta autentik memberikan suatu bukti yang sempurna di antara para pihak dan
ahli waris-ahli warisnya dan memiliki kekuatan mengikat. Sempurna berarti suatu
akta autentik sudah cukup untuk membuktikan suatu peristiwa atau keadaan tanpa
diperlukannya penambahan bukti-bukti lainnya. Mengikat berarti segala sesuatu
yang dicantumkan di dalam akta harus dipercayai dan dianggap benar-benar telah
terjadi, jadi jika ada pihak-pihak yang membantah atau meragukan kebenarannya
maka pihak tersebut yang harus membuktikan keraguan dan ketidakbenaran akta
autentik tersebut. Salah satu syarat lagi yang harus ditambahkan di dalam akta
autentik tersebut didalamnya telah termasuk semua unsur bukti tulisan, saksi-saksi,
persangkaan- persangkaan, pengakuan, dan sumpah.14
Seorang Notaris tidak hanya cukup memiliki keahlian hukum tetapi juga harus
dilandasi tanggung jawab dan etika. Menurut etimologi, kata etika berasal dari
bahasa Yunani “Ethos” yang berarti memiliki watak kesusilaan atau beradat. Etika
adalah refleksi kritis, metodis, dan sistematis tentang tingkah laku manusia sejauh
berkaitan dengan norma-norma atau tentang tingkah laku manusia dari sudut baik
dan buruk.15 Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Tahun 1998 menyatakan bahwa Etika diberikan tiga arti yang cukup
lengkap, yaitu:
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak);
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh satu golongan atau
masyarakat umum.16

13
Kitab Undang Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek], diterjemahkan oleh Subekti dan R.
Tjitrosudibio, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013), Ps.1868.
14
Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), hlm. 6.
15
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum; Sebuah Pendekatan Religius, (Jakarta: PT Storia Grafika, 2001), hlm 11.
16
Ibid., hlm.12.

Universitas Indonesia
7

Berdasarkan pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat dirumuskan


pengertian etika, yaitu:
1. Nilai-nilai dan norma-norma moral yang dipegang oleh seseorang atau
sekelompok orang dalam masyarakat untuk mengatur tingkah lakunya;
2. Etika juga berarti kumpulan asas atau nilai moral;
3. Etika bisa pula dipahami sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk.17
Notaris memiliki kode etik profesi yang memiliki tujuan untuk menjaga
kehormatan dan keluhuran martabat notaris. Pengawasan penegakan kode etik
dilakukan oleh pengurus perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia (selanjutnya disebut
INI) dan Dewan Kehormatan yang bekerjasama dengan Majelis Pengawas. Notaris
diharuskan untuk menjunjung tinggi moral dalam menjalankan jabatan semata-mata
untuk menjaga kehormatan para notaris dan lembaga kenotariatan dengan cara
mematuhi kode etik tersebut dan apabila notaris melanggar aturan yang ada dalam
kode etik, maka dapat dikenakan sanksi.
Selain Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris memiliki pedoman atau
pegangan dalam menjalankan jabatannya, yaitu Kode Etik. Di dalam Kode Etik
setiap Notaris yang menjalankan jabatannya tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yang telah di buat oleh pihak yang berwenang. Kode etik Notaris
merupakan suatu kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan Ikatan Notaris
Indonesia berdasarkan Keputusan Kongres perkumpulan dan/atau yang ditentukan
dan diatur dalam peraturan perundang-undangan dan berlaku bagi serta wajib ditaati
oleh individu dan semua anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan
tugas dan jabatan Notaris. Di dalam kode etik sangat menjunjung dan memberi
penghormatan terhadap martabat manusia pada umumnya dan martabat Notaris pada
khususnya. Atas dasar penghormatan tersebut maka profesi Notaris memiliki
karakter: mandiri, tidak memihak, tidak meminta pamrih, rasionalitas maksudnya
mengacu kepada kebenaran obyektif, spesifitas fungsional serta memiliki rasa

17
K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 5-6.

Universitas Indonesia
8

kebersamaan yang positif antar sesama rekan Notaris.


Kedudukan seorang notaris sebagai suatu fungsionaris dalam masyarakat
sangat dibutuhkan terutama dalam hal membuat akta-akta yang menimbulkan alat-
alat pembuktian tertulis dan mempunyai sifat autentik. Dalam hal ini notaris harus
aktif dalam pekerjaannya, dan bersedia melayani masyarakat dimanapun juga.
Seorang notaris biasanya sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat
memperoleh nasehat yang dapat diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis dan
ditetapkannya (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam
suatu proses hukum. “Alat pembuktian itu dapat membuktikan dengan sah dan kuat
tentang suatu peristiwa hukum sehingga menimbulkan lebih banyak kepastian
hukum (Rechtszerkerheid)”.18
Kode Etik Notaris mengatur mengenai kewajiban-kewajiban yang harus
dilaksanakan, larangan, pengecualian dan sanksi-sanksi seperti teguran, peringatan,
sampai dengan pemecatan atau pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan
perkumpulan. Ketika menjalankan jabatannya, Notaris harus berpegang teguh kepada
Kode Etik Notaris. Notaris terikat dengan adanya kode etik tersebut, maka harkat dan
martabat profesionalisme Notaris tetap terjaga. Sama halnya dengan Notaris, PPAT
juga berpegang kepada Kode Etik PPAT dalam menjalankan jabatannya.
Akta yang dikeluarkan atau dibuat oleh Notaris sebagai alat bukti yang
sempurna harus memiliki unsur kesempurnaan baik dari segi materiil maupun formil,
dengan demikian seorang Notaris wajib bertanggung jawab atas akta yang telah
dibuatnya. 19Jika akta yang dibuat tidak seperti ketentuan yang telah diatur dalam
undang- undang, maka akta tersebut akan cacat secara yuridis dan mengakibatkan
akta tersebut kehilangan autentikan dan batalnya akta tersebut. Cacatnya suatu akta

18
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, (Jakarta:PT. Raja Grapindo Persada, 1993), hlm.
7.
19
A. Kohar, Notaris dalam Praktek Hukum, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 64.

Universitas Indonesia
9

autentik dapat menyebabkan notaris bertanggung gugat dan akan dikenai sanksi ganti
rugi yang telah dialami para pihak.
Hanya saja didalam Undang-undang Notaris baik Undang-undang yang
terdahulu maupun Undang-undang yang sekarang ada, tidak diatur dengan jelas
tentang bagaimana seorang Notaris itu selaku Pejabat umum
mempertanggungjawabkan secara hukum apabila dia melakukan kesalahan dalam
membuat akta yang dibuatnya, hanya dikatakan bahwa seorang Notaris tidak boleh
menolak untuk membuat suatu akta yang dimohon dan seorang Notaris tidak boleh
membuat akta yang bertentangan dengan hukum. 20
Ditinjau dari aspek teoritik dan praktik pada hakekatnya dalam menjalankan
jabatannya tersebut maka yang harus dipunyai oleh seorang Notaris dan PPAT
adalah aspek kehati-hatian, kecermatan dan kejujuran yang merupakan hal mutlak
dalam melaksanakan jabatan tersebut. Apabila aspek ini terabaikan dalam pembuatan
suatu akta, maka dapat berakibat langsung maupun tidak langsung kepada suatu
perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan secara administrative 21 dan bisa
berupa pelanggaran perdata 22bahkan perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana.
Dalam kaitannya mengenai prosedur pembuatan akta, maka penandatanganan
suatu akta dihadapan Notaris seharusnya menjadi hal yang sangat penting untuk
diperhatikan bagi seorang Notaris/PPAT dan merupakan salah satu bentuk
pengaturan yang telah diatur dalam Undang Undang Jabatan Notaris.
Berkaitan dengan akta Notaris dalam perkembangan hukum dewasa ini bahwa
Notaris dapat dipanggil ke pengadilan melalui persetujuan dari Majelis Pengawas
Daerah untuk memberikan keterangan terhadap akta ataupun surat-surat yang

20
Yuliana Zamrotul Khusna, “Peran Notaris dan PPAT Dalam Mencegah Penyeludupan Hukum,” Jurnal
Akta Vol 4 (September 2017): hlm.395
21
Indonesia, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, LN No. 3 Tahun 2014,, Ps.16
22
Ibid., Ps.84

Universitas Indonesia
10

mengalami sengketa. 23 Hal ini akan terkait apakah Notaris telah bertindak tidak
sesuai dengan peraturan perundang–undangan dan kode etik Notaris atau ada
kekeliruan baik disengaja ataupun tidak disengaja oleh para pihak atau salah satu
pihak untuk berusaha melakukan kecurangan sehingga menimbulkan kerugian bagi
pihak lain dengan memberikan keterangan dan dokumen–dokumen yang tidak benar.
24

Undang Undang Jabatan Notaris sampai saat ini tidak mengatur mengenai
sanksi pidana terhadap Notaris, walaupun demikian dalam praktek ditemukan
kenyataan bahwa suatu tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan Notaris
sebenarnya dapat dijatuhkan sanksi pidana sesuai dengan KUHP. Bahkan beberapa
orang Notaris telah menjadi tersangka, yang mana berdasarkan penyidikan, akta yang
dibuat di hadapan Notaris bersangkutan telah memenuhi unsur-unsur pidana,
misalnya dalam kategori turut serta melakukan atau membantu melakukan
pemalsuan surat atau akta.
Kasus pembuatan akta pemindahan dan penyerahan hak (cessie) yang terdapat
pada Putusan Majelis Pengawas Wilayah Provinsi DKI Jakarta Nomor
2/PTS/MJ.PWN.DKI Jakarta/XI/2017 merupakan kasus dimana Pelapor menduga
bahwa terlapor (Notaris) telah bekerjasama dengan adik pelapor untuk merekayasa
surat hutang, surat kesepakatan bersama, surat pernyataan, kwitansi dan akta notaris
cessie dengan tujuan untuk melakukan penipuan dan menggelapkan asset milik
Pelapor.
Pelapor menyatakan tidak pernah menghadap, dan menandatangani akta
dihadapan Terlapor (notaris) dan bahwa pelapor benar telah menandatangani suatu

23
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan R. Subekti dan R.

Tjitrosudibio, cet. 41 (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2017), Ps. 85.


24
Arvan Mulyatno, Notaris, Akta Autentik dan Undang-Undang Kenotariatan, (Jakarta: Rajawali Press,
2008), hlm. 11

Universitas Indonesia
11

akta dihadapan karyawan Terlapor dan tidak dihadapan Terlapor tetapi isinya tidak
seperti yang disebutkan dalam akta cessie yang menyatakan kesepakatan ganti rugi
mesin yang sudah dicuri adik pelapor. Pelapor juga sudah beberapa kali meminta
Salinan akta yang telah dibuat namun Terlapor tidak dapat memberikan Salinan
tersebut.
Terlapor (Notaris) dalam kasus ini membuat akta pemindahan dan penyerahan
hak (cessie) dengan melakukan pelanggaran yaitu bahwa Terlapor melanggar Pasal
16 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang secara jelas menyatakan bahwa:
-Dalam jabatannya Notaris wajib membacakan Akta dihadapan penghadap
dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi
khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan dan ditandatangani saat itu
juga oleh penghadap, saksi dan Notaris.25
Terlapor (Notaris) dalam kasus ini dengan sengaja dan dengan
sepengetahuannya membiarkan serta memperbolehkan karyawannya membuat dan
membacakan minuta aktanya di kantornya sendiri dengan menggunakan jabatan
Terlapor (Notaris) dan juga membuatkan dan menandatangani Salinan aktanya serta
menjadikan karyawan tersebut sebagai saksi dalam akta cessie itu. Hal ini dianggap
telah melanggar ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa:
1. Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat kedudukannya;
2. Tempat kedudukan Notaris sebagai PPAT wajib mengikuti tempat
kedudukan Notaris
3. Notaris tidak berwenang secara berturut-turut dengan tetap menjalankan
jabatannya di luar tempat kedudukannya;
4. Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

25
Indonesia, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, LN No. 3 Tahun 2014, Ps.16 (1)

Universitas Indonesia
12

dapat dikenai sanksi berupa:


a. Peringatan tertulis
b. Pemberhentian sementara
c. Pemberhentian dengan hormat
d. Pemberhentian dengan tidak hormat26
Dalam studi kasus ini, penulis akan bahas adalah tentang pertanggungjawaban
notaris terhadap pembuatan akta pemindahan dan penyerahan hak (cessie) dengan
dasar kesepakatan bersama berdasarkan Putusan Majelis Pengawas Wilayah Provinsi
DKI Jakarta Nomor 2/PTS/MJ.PWN.DKI Jakarta/XI/2017 yang mana dalam hal ini
akta tersebut telah mengakibatkan kerugian bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Hal ini dikarenakan adanya ketidakhati-hatian dan ketidakcermatan Notaris dalam
membuat akta.
Berkaitan dengan penjelasan penulis di atas maka penulis tertarik mengenai
beberapa hal yang bisa diangkat dalam tulisan ini adalah tanggung jawab Notaris
terhadap akta yang dibuatnya dan pengaruhnya terhadap para pihak yang terkait.

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan oleh penulis sebelumnya, yang
menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Bagaimana peran notaris dalam melahirkan keabsahan akta pemindahan dan
penyerahan hak (cessie) dengan dasar kesepakatan bersama?
2. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban notaris terhadap pemindahan dan
penyerahan hak (cessie) dengan dasar kesepakatan bersama pada Putusan Majelis
Pengawas Wilayah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2/PTS/MJ.PWN.DKI
Jakarta/XI/2017?

26
Indonesia, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, LN No. 3 Tahun 2014, Ps.19 (2)

Universitas Indonesia
13

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan pokok permasalahan, penelitian ini terdiri dari dua jenis,
yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum memiliki tujuan untuk memberikan pemahaman dan
informasi kepada masyarakat luas mengenai peran notaris dalam melahirkan
keabsahan akta cessie dan juga pertanggungjawabannya dalam Putusan Majelis
Pengawas Wilayah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2/PTS/MJ.PWN.DKI
Jakarta/XI/2017.

2. Tujuan Khusus
Secara khusus tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Menjelaskan mengenai peran notaris dalam melahirkan keabsahan akta pemindahan
dan penyerahan hak (cessie) dengan dasar kesepakatan bersama;
b. Menjelaskan pertanggungjawaban notaris terhadap pemindahan dan penyerahan hak
(cessie) dengan dasar kesepakatan bersama dalam Putusan Majelis Pengawas
Wilayah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2/PTS/MJ.PWN.DKI Jakarta/XI/2017

D. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan berdasarkan
metode sistematika dan pemikiran-pemikiran tertentu yang dilaksanakan dengan tujuan
untuk mendalami atau mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan
cara menganalisanya.27

1. Bentuk Penelitian

27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3. (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2005),
hlm. 43.

Universitas Indonesia
14

Penelitian yang berjudul “Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta


Pemindahan dan Penyerahan Hak (cessie) (Studi Putusan Majelis Pengawas
Wilayah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2/PTS/MJ.PWN.DKI Jakarta/XI/2017)”
yang dilakukan oleh penulis merupakan bentuk penelitian yuridis normatif,
yakni penelitian yang dilakukan terhadap hukum positif. Penggunaan metode
penelitian ini untuk menjawab permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini
berdasarkan atas asas-asas hukum yang ada, dan hukum positif yang mengatur
permasalahan dalam penelitian ini serta beberapa teori-teori pendukung lainnya.

2. Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum
primer dan sekunder sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan
hukum mengikat.28 berupa peraturan perundang-undangan di Indonesia, dalam
penelitian ini yang digunakan yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memiliki hubungan
dengan bahan hukum primer yang digunakan sebagai sarana membantu
menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer, seperti misalnya
buku, skripsi, jurnal, artikel ilmiah, penelusuran internet, surat kabar, dan makalah.

3. Alat Pengumpulan Data


Alat pengumpulan data yang akan dipergunakan yaitu studi dokumen dan
wawancara. Studi dokumen atau bahan pustaka berfungsi untuk memberikan

28
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet. 9. (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2016), hlm. 119.

Universitas Indonesia
15

fakta-fakta yang secara tidak langsung memberikan suatu pemahaman atas


permasalahan yang sedang kita teliti. 29 Wawancara atau interview merupakan
situasi peran antara pribadi bertatap muka, ketika seseorang mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban
yang relevan dengan masalah penelitian kepada seorang responden atau
narasumber.30 Wawancara terhadap narasumber digunakan sebagai tambahan
informasi yang diperlukan. Wawancara dilakukan dengan salah satu pihak
dalam Putusan Majelis Pengawas Wilayah Provinsi DKI Jakarta Nomor
2/PTS/MJ.PWN.DKI Jakarta/XI/2017.

4. Tipe Penelitian
Adapun tipe penelitian yang Penulis lakukan yaitu penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif analitis.31 Tipe penelitian ini
digunakan untuk menjelajah bagaimana pertanggungjawaban notaris dalam
pembuatan akta pemindahan dan penyerahan hak dalam peraturan perundang-
undangan Indonesia dan bagaimana pertanggungjawaban tersebut diberlakukan
pada Putusan Majelis Pengawas Wilayah Provinsi DKI Jakarta Nomor
2/PTS/MJ.PWN.DKI Jakarta/XI/2017.

E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, sistematika penulisannya akan dibagi menjadi 4
(empat) bab yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub-bab untuk
mempermudah pemahaman. Adapun sistematika penulisan tesis ini adalah sebagai
berikut:

29
Amiruddin dan Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, hlm. 66.
30
Ibid., hlm. 82.
31
Ibid., hlm. 9.

Universitas Indonesia
16

BAB I: PENDAHULUAN
Pada bab ini mencakup latar belakang, pokok permasalahan, tujuan
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian yang digunakan dalam
penyusunan skripsi. Latar belakang merupakan penjabaran alasan dari Penulis
untuk menulis tesis ini. Pokok permasalahan merupakan permasalahan terkait
peran notaris dalam melahirkan keabsahan akta pemindahan dan penyerahan hak
dengan dasar kesepakatan bersama yang merupakan alasan Penulis untuk
menulis tesis ini. Metode penelitian merupakan metode yang akan digunakan
penulis dalam mendapatkan data dalam menulis tesis ini. Sistematika penulisan
merupakan penjabaran urutan dari penulisan tesis ini.

BAB II: PERAN NOTARIS DALAM MELAHIRKAN KEABSAHAN AKTA


PEMINDAHAN DAN PENYERAHAN HAK (CESSIE) DENGAN DASAR
KESEPAKATAN BERSAMA
Pada bab ini akan menjawab pertanyaan pertama dalam rumusan
permasalahan yaitu membahas mengenai peran notaris dalam melahirkan
keabsahan akta pemindahan dan penyerahan hak dengan dasar kesepakatan
bersama yang berisi pengertian mengenai cessie, tujuan dan manfaat dari cessie,
dan peran notaris dalam pembuatan akta cessie dalam perundang-undangan.

BAB III: PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN


AKTA PEMINDAHAN DAN PENYERAHAN HAK (CESSIE) DENGAN
DASAR KESEPAKATAN BERSAMA PADA PUTUSAN MAJELIS
PENGAWAS WILAYAH PROVINSI DKI JAKARTA NOMOR
2/PTS/MJ.PWN.DKI JAKARTA/XI/2017
Pada bab ini akan menjawab pertanyaan dari rumusan permasalahan kedua
yaitu penjabaran mengenai pertanggungjawaban notaris terhadap pemindahan
dan penyerahan hak (cessie) dengan dasar kesepakatan bersama pada Putusan

Universitas Indonesia
17

Majelis Pengawas Wilayah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2/PTS/MJ.PWN.DKI


Jakarta/XI/2017 yang akan dibahas melalui dua sudut pandang yaitu berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Jabatan Notaris.

BAB IV: PENUTUP


Dalam bab ini berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Kesimpulan merupakan inti sari dari pembahasan dan dipaparkan dalam bab-bab
sebelumnya. Saran berisikan saran dari Penulis yang dapat membangun
pemahaman lebih mendalam terkait pertanggungjawaban notaris terhadap
pemindahan dan penyerahan hak (cessie) dengan dasar kesepakatan bersama
dalam Putusan Majelis Pengawas Wilayah Provinsi DKI Jakarta Nomor
2/PTS/MJ.PWN.DKI Jakarta/XI/2017

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Adji. Habib. Merajut Pemikiran Dalam Dunia Notaris & PPAT. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2014.

Universitas Indonesia
18

Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Cet. 9.


Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016.
Anshori ,Abdul Ghofur. Lembaga Kenotariatan Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2009
Bertens, K. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Kanter, E.Y. Etika Profesi Hukum; Sebuah Pendekatan Religius. Jakarta: PT Storia
Grafika, 2001.
Kohar, A. Notaris dalam Praktek Hukum, Bandung: Alumni, 1983.
Mulyatno, Arvan. Notaris, Akta Autentik dan Undang-Undang Kenotariatan, Jakarta:
Rajawali Press, 2008.
Notodisoerjo, R. Soegondo. Hukum Notariat di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grapindo
Persada, 1993.
Santoso, Urip. Pejabat Pembuat Akta Tanah (Perspektif Regulasi, Wewenang dan Sifat
Akta), Jakarta: Prenadamedia Group, 2016.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: Penerbit


Universitas Indonesia, 2005.
Soepadmo, Djoko. Teknik Pembuatan Akta Seri B-1. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1994.

Thamrin, Husni. Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, Yogyakarta: LaksBang


PressIndo, 2011.
Tobing, Lumban. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999.

II. Jurnal
Endah, Siti Noer. “Pertanggungjawaban Notaris Berkenaan dengan Kebenaran Substansi
Akta Otentik.” Rechtidee Vol.12 (Desember 2017): 270-271.
Khusna, Yuliana Zamrotul. “Peran Notaris dan PPAT Dalam Mencegah Penyeludupan
Hukum.” Jurnal Akta Vol 4 (September 2017): 367-397.
Rizal, Nurman. “Implementasi UUJN Kaitannya dengan Pengawasan.” Renvoi 30
(November 2005): 2005.

Universitas Indonesia
19

III. Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun


2004 tentang Jabatan Notaris. UU No. 2 Tahun 2014. LN No. 3 Tahun 2014. TLN
No. 5491.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R.


Subekti dan R. Tjtrosudibio. Jakarta: Balai Pustaka, 1992.

IV. Internet
“Akta Notaris Sebagai Akta Otentik.”
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt550c0a7450a04/akta-notaris-
sebagai-akta-otentik/. Diakses pada 13 November 2020
“Cessie.” https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl311/cessie/. Diakses pada
tanggal 12 November 2020
“Fungsi Akta Otentik dalam Hukum Perdata dan Implementasinya di Persidangan Gugatan
Perdata.” https://www.hukum-hukum.com/2016/04/fungsi-akta-otentik-dalam-
konsep-hukum.html. Diakses pada 12 November 2020
“Jerat Hukum bagi Notaris yang Memalsukan Akta Autentik.”
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c5a568ab332f/jerat-hukum-
bagi-notaris-yang-memalsukan-akta-autentik/. Diakses pada 13 November 2020
“Peran, Fungsi dan Keberadaan Notaris Indonesia.”
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d89c363be3a9/peran--fungsi-dan-
keberadaan-notaris-indonesia-oleh--herlien-budiono/. Diakses pada tanggal 11
November 2020
“Perbedaan Kode Etik Notaris dengan PPAT.”
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509f7875153dc/perbedaan-kode-etik-
notaris-dengan-ppat/. Diakses pada tanggal 12 November 2020
“Subrogasi, Cessie dan Novasi dalam Hukum Perjanjian/Kontrak.”
https://doktorhukum.com/subrogasi-cessie-dan-novasi-dalam-perjanjian-kontrak/.
Diakses pada tanggal 13 November 2020

Universitas Indonesia
20

“Unsur-unsur Pidana yang Dihadapi Notaris dalam Menjalankan Jabatannya.”


https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5135/unsurunsur-pidana-yang-
dihadapi-notaris-dalam-menjalankan-jabatannya. Diakses pada 13 November 2020

Universitas Indonesia
21

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai