Anda di halaman 1dari 38

Pembatalan Akta Wasiat yang Tidak Memiliki Alas Hak Kepemilikan atas

Tanah di Sleman dalam Perkara Gugatan 1395/Pdt.G/2013/PA.Smn.

Oleh :

DESTIA PARAMITA

No. Mahasiswa : 16410474

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2021

1
A. Latar Belakang Masalah

Notaris mempunyai arti orang yang mendapat kuasa dari pemerintah

berdasarkan penunjukan (dalam hal ini adalah Departemen Hukum dan

Hak Asasi Manusia) untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai surat

perjanjian, surat wasiat, akta, dan sebagainya.1 Pasal 1 UUJN

mendefinisikan notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk

membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana

dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang

lainnya.

Kata notaris berasal dari kata nota literaria yang artinya tanda tulisan

atau karakter yang digunakan untuk menggambarkan ungkapan kalimat

yang disampaikan narasumber.2 Tanda yang dimaksud adalah tanda yang

dipakai dalam penulisan cepat. Pada awalnya jabatan notaris hakikatnya

adalah sebagai pejabat umum yang ditugaskan oleh kekuasaan umum

untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti autentik yang

memberikan kepastian hubungan hukum keperdataan. Jadi, sepanjang alat

bukti autentik tetap diperlukan oleh sistem hukum negara, maka jabatan

notaris akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah masyarakat.3

Kedudukan seorang notaris sebagai suatu fungsionaris dalam

masyarakat hingga sekarang dirasakan masih disegani, seorang notaris

biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat

memperoleh nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis


1
Komar Andasasmita, Notaris I, Sumur, Bandung, 1991, hlm. 10.
2
. G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999, hlm. 41.
3
Ibid, hlm. 41.

2
serta ditetapkannya (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuat dokumen

yang kuat dalam suatu proses hukum.4

Masyarakat membutuhkan seseorang (figuur) yang keterangannya

dapat diandalkan, dapat dipercayai, yang tanda tangannya serta segelnya

(capnya) memberi jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak

memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau

unimpeachable), yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang

dapat melindunginya di hari-hari yang akan datang.5

Sebagai pejabat umum, maka peran notaris adalah melayani

kepentingan masyarakat dalam kaitannya dengan menjalankan profesinya

yang selalu berorientasi pada kepentingan masyarakat dengan penuh

tanggung jawab.6 Peran dan tanggung jawab tersebut melekat pada diri

setiap notaris dalam melaksanakan profesinya sebagai pejabat umum yang

melayani masyarakat. 7 Notaris dalam hal tersebut mewakili negara dalam

melaksanakan jabatannya dengan penuh tanggung jawab dan menghayati

keseluruhan martabat jabatannya.8

Notaris memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat penting

dalam pembuatan akta wasiat. Pasal 943 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) mengatur bahwa setiap notaris

yang menyimpan surat-surat testament di antara surat-surat aslinya, biar

4
Tan Thong Kie, Studi Notariat, Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi
PraktekNotaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2013, hlm 444
5
Ibid
6
Ibid
7
G.H.S Lumban Tobing,Op Cit, hlm 42
8
Ibid

3
dalam bentuk apapun juga harus setelah si pewaris meninggal dunia,

memberitahukannya kepada yang berkepentingan.9

Pasal 1870 KUHPerdata dan Pasal 165 HIR/RBg 285 menegaskan

bahwa suatu akta autentik memberikan di antara para pihak beserta ahli

waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka,

suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya. Akta

notaris merupakan bukti yang sempurna sehingga tidak perlu lagi

dibuktikan dengan pembuktian lain selama ketidakbenarannya tersebut

tidak dapat dibuktikan. Berdasarkan Pasal 1870 KUHPerdata bahwa bagi

para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi

orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta autentik

memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di

dalamnya.10

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

sebagaimana sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 2

Tahun 2014 (selanjutnya disebut UU Jabatan Notaris Perubahan/ UUJNP)

menentukan bahwa akta harus dibuat antara lain di hadapan atau oleh

pejabat umum, dihadiri oleh saksi, disertai pembacaan oleh notaris dan

sesudahnya langsung ditandatangani dan seterusnya.11 Pasal 1868

KUHPerdata menjelaskan bahwa suatu akta autentik merupakan suatu akta

yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di

9
Lihat Pasal 943 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
10
Lihat Pasal 1870 KUHPerdata.
11
Tan Thong Kie, Studi Notariat, Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi Praktek
Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2013, hlm. 444.

4
hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu

dibuat.12

Subekti menjelaskan bahwa akta berbeda dengan surat, akta

merupakan suatu tulisan yang memang sengaja dibuat untuk dijadikan

bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani. Akta autentik

merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk

membuatnya yang mana wewenang tersebut diberikan oleh penguasa,

menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun

tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang

dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan, akta

autentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan

apa yang dilakukanya dan dilihat di hadapannya.13

Pasal 165 HIR dan Pasal 285 RBg mendefinisikan akta autentik

sebagai suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi

wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan

para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang

yang tercantum di dalamnya dan bahkan sebagai pemberitahuan belaka.

Pejabat yang diberi wewenang sebagaimana dimaksud Pasal 165 HIR di

atas antara lain, notaris, panitera, jurusita, pegawai sipil, hakim, dan

sebagainya.14 Salah satu bentuk akta autentik ialah akta wasiat. 15 Akta

12
Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
13
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999,
hlm. 121.
14
Irwan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arloka, Surabaya,
2003, hlm. 148.
15
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1995, hlm. 69.

5
wasiat merupakan akta yang memuat kehendak terakhir pewaris sebelum

ia meninggal dunia yang memuat penetapan atau penentuan apa yang akan

terjadi dalam harta/kekayaan itu setelah ia meninggal dunia.16

Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya menyebutkan bahwa wasiat

berbeda dengan akta-akta autentik lainnya, akta wasiat barulah berlaku

apabila pewaris telah meninggal dunia dan selama pewaris masih hidup

maka pewaris mempunyai kebebasan untuk mencabut atau merubah wasiat

tanpa perlu persetujuan siapapun.17Jika ada kelalaian yang dilakukan oleh

notaris dalam proses pembuatan akta wasiat dan atau akta wasiat

mengakibatkan kerugian terhadap pihak lain, karena salahnya notaris

sehingga akta wasiat tersebut kehilangan otentisitasnya dan dengan

Putusan Pengadilan dapat dinyatakan pembatalan oleh Pengadilan setelah

meneliti prosedur pembuatan wasiat maka dianggap tidak pernah terjadi

pewasiatan.18

G.H.S Lumban Tobing dalam bukunya menjelaskan bahwa seorang

notaris dalam pembuatan suatu akta yang kepadanya diberikan kewajiban

oleh undang-undang, termasuk pula dalam pembuatan akta wasiat harus

mengenal pihak atau para pihak yang menghadapnya untuk kepentingan

ini, dapat melakukan dengan melihat identitas dari penghadap atau para

penghadap atau meminta keterangan dari orang lain yang dikenalnya.

Notaris berkewajiban untuk memberitahukan kepada yang berkepentingan

tentang adanya surat wasiat yang disimpan olehnya, dan dalam tempo satu
16
Ibid
17
Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, hlm. 70.
18
Ibid

6
bulan setelah diketahui meninggalnya si pewaris, notaris tersebut harus

menyampaikan salinan lengkap dari surat wasiat tersebut kepada Balai

Harta Peninggalan di daerah hukumnya.19

Pasal 16 huruf a UUJN menegaskan bahwa Notaris berkewajiban

dalam menjalankan jabatannya untuk bertindak jujur, seksama, mandiri,

tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam

perbuatan hukum. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka notaris dalam

membuat akta wasiat harus membuatnya dengan penuh hati-hati dan

penuh tanggung jawab. Apabila notaris lalai dan kurang hati-hati dalam

membuat akta dapat mengakibatkan akta tersebut cacat hukum sehingga

menyebabkan timbulnya kerugian bagi pihak terkait, maka terhadap

perbuatan notaris tersebut harus dimintai pertanggungjawaban.

Pada tahun 2001 lalu Bapak Ciptowiharjo (almarhum) datang

menghadap kepada Notaris Muhammad Kamaludin Purnomo, S.H untuk

membuat surat wasiat. Bahwa dalam Akta Wasiat Welingan Nomor 01

tanggal 1 Februari tahun 2001 tersebut pada intinya menyatakan:

“…saya batalkan dan cabut kembali semua dan segala surat wasiat
(welingan) dan surat-surat lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sama
dengan surat wasiat (welingan) yang dahulu pernah saya buat atau suruh
membuat, tidak ada sepucukpun yang dikecualikan. Selanjutnya saya
pesankan di sini, bahwa sepeninggalan saya nanti, maka tanah milik
beserta semua harta kekayaan yang berupa tanah sawah dengan alas hak
leter C Nomor 495, persil 41, kelas S.II, luas 2.1500m 2 dan tanah
pekarangan beserta rumah yang berdiri di atasnya seluas kurang lebih
500m2. Keduanya terletak di Kledokan, Umbulmartani, Ngemplak,
Sleman, saya berikan sebagai hibah wasiat dan sekaligus saya tunjuk
sebagai ahli waris saya satu-satunya yang berhak atas tanah sawah dan
pekarangan beserta rumah tersebut, yakni Nona Eny Listyaningsih, lahir

19
G.H.S. Lumban Tobing, Op Cit, hlm. 179.

7
12 Desember 1977, WNI (pribumi), swasta, bertempat tinggal di
Kledokan, RT/RW 02/07, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman”20

“Akhirnya saya pesankan juga kepada anak-anak saya agar


sepeninggal saya nanti, selalu mempertahankan keutuhan, kekompakan
dan kerukunan keluarga, bantu-membantu satu sama lainnya, sehingga
suasana keluarga yang harmonis selalu dapat dipelihara, serta pemberian
ini dilakukan semata-mata demi rasa keadilan dan guna mempertahankan
keutuhan keluarga dan apabila ada pula pihak lain, siapapun juga yang
mempermasalahkan pemberian ini, maka hendaknya yang
mempermasalahkan tersebut diputus kalah.”21

Tanah milik beserta semua harta kekayaan yang berupa tanah sawah

yang dimaksud dalam surat wasiat (welingan) di atas ternyata tidak

menunjukkan bukti kepemilikan atas harta-harta yang diwasiatkan, karena

tidak terdapat kalimat atau kata yang menyebutkan bukti kepemilikan

kepada notaris yang bersangkutan. Di dalam akta wasiat tersebut

disebutkan tanah pekarangan beserta rumah yang berdiri di atasnya,

dengan luas kurang lebih 500 meter persegi namun tidak disebutkan

nomor hak milik atau letter C sesuai aslinya, tanah yang dimaksud juga

tidak tercatat atas nama siapa pun. Sehingga dalam hal ini Notaris yang

bersangkutan telah membuat suatu akta wasiat mengenai sebidang tanah

yang diwasiatkan oleh Pewasiat kepada penerima wasiat, namun tanpa ada

alas hak kepemilikan yang jelas mengenai objek wasiat tersebut.

Mengacu pada pendapat G.H.S Lumban Tobing serta ketentuan Pasal

16 huruf a UUJN di atas, apabila dikaitkan dengan akta wasiat welingan

Nomor 01 tanggal 1 Februari 2001 yang dibuat di hadapan notaris

Muhammad Kamaludin, S.H, terlihat bahwa notaris yang bersangkutan

20
Akta Wasiat Welingan Nomor 01 tanggal 1 Februari tahun 2001.
21
Ibid

8
kurang teliti atau kurang seksama dalam membuat akta wasiat tersebut,

terlihat dari fakta persidangan yang menunjukkan bahwa isi atau

keterangan mengenai alas hak objek wasiat tersebut ternyata tidak dapat

dibuktikan dalam persidangan. Seharusnya pada saat membuatkan akta

wasiat tersebut, notaris lebih berhati-hati dan seksama (teliti) dalam

membuatkan akta wasiat bagi para pihak yang datang menghadap ke

hadapannya.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, Penulis membuat

penelitian tugas akhir (skripsi) mengenai pembatalan akta wasiat yang

tidak memiliki alas hak kepemilikan atas tanah di Sleman dalam perkara

gugatan dengan nomor perkara 1395/Pdt.G/2013/PA.Smn. Bahwa ternyata

dalam perkara gugatan tersebut notaris bernama Muhammad Kamaludin

Purnomo S.,H. tidak ditarik sebagai turut tergugat, tetapi hanya dihadirkan

sebagai saksi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa akibat hukum dari pembatalan akta wasiat yang tidak

mencantumkan alas hak kepemilikan objek wasiat?

2. Bagaimana tanggung jawab notaris terhadap pembuatan akta wasiat

yang tidak mencantumkan alas hak kepemilikan objek wasiat?

C. Tujuan Penelitian
Berikut adalah tujuan dilaksanakannya penelitian ini, di antaranya:

1. Tujuan Objektif

9
a. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum dari

pembatalan akta wasiat yang tidak mencantumkan alas hak

kepemilikan objek wasiat.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis tanggung jawab notaris

terhadap pembuatan Akta Wasiat yang tidak mencantumkan alas

hak kepemilikan objek wasiat.

2. Tujuan Subjektif

Untuk memperoleh data konkret yang berhubungan dengan

objek penelitian, disusunlah skripsi sebagai salah satu syarat

dalam memperoleh gelar S-1 Program Studi Ilmu Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoretis, penulis berharap hasil penelitian ini nantinya bisa

bermanfaat untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya yang

berkaitan dengan pembatalan akta wasiat oleh pengadilan.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran dalam bidang hukum yang berkaitan dengan

pembatalan akta wasiat oleh pengadilan.

E. Keaslian Penelitian

No Nama Judul Persamaan Perbedaan


Penelitian Penelitian
1 Yuslandi Pembatalan Pada penelitian Penelitian
Pranama Akta Wasiat ini dan penelitian Terdahulu
Putra22 Yang Dibuat terdahulu mengkaji Akta
22
Pramana Putra, Pembatalan Akta Wasiat Yang Dibuat Oleh Notaris Dalam Putusan
Pengadilan Tinggi No. 805/Pdt./2018/PT.DKI, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Tangerang, 2018.

10
Oleh Notaris terdapat Wasiat Nomor 32
Dalam Putusan persamaan, yakni tanggal 19 2012,
Pengadilan sama-sama sedangkan pada
Tinggi No. membahas akta penelitian ini Akta
805/Pdt./2018/ wasiat yang Wasiat yang dikaji
PT.DK dibuat oleh adalah Akta wasiat
Notaris dengan nomor
Welingan Nomor
01 tanggal 1
Februari tahun
2001
2 Debora Pembatalan Persamaan Penelitian
Claudia Akta Wasiat penelitian yakni Terdahulu
Panjaita Sebagai Akibat sama-sama mengkaji Putusan
n23 Pembatalan membahas akta Kasasi Nomor
Melawan wasiat yang 3124K/PDT/2013
Hukum Yang dibatalkan oleh sedangkan pada
Dilakukan Pengadilan penelitian ini
Notaris (Studi penulis mengkaji
Putusan No. Putusan Pengadilan
3124K/PDT/20 Negeri Sleman
13) Nomor
1395/Pdt.G/2013/P
A.Smn
3 Nur Tinjauan Persamaan Perbedaan
Raahmah Yuridis penelitian yakni penelitian yakni
Surya Terhadap sama-sama penelitian terdahulu
Ningsih24 Pembatalan membahas mengkaji putusan
Akta Notaris pembatalan akta Pengadilan Negeri
notaris Surabaya Nomor
260/1981/Pidana
sedangkan pada
penelitian ini
penulis mengkaji
Putusan Pengadilan
Negeri Sleman
Nomor
1395/Pdt.G/2013/P
A.Smn

23
Debora Claudia Panjaitan, Pembatalan Akta Wasiat Sebagai Akibat Pembatalan
Melawan Hukum Yang Dilakukan Notaris (Studi Putusan No. 3124K/PDT/2013), Jurnal Vol 21;
Tahun 2016.
24
Nur Rahmah Surya Ningsih, Tinjauan Yuridis Terhadap Pembatalan Akta Notaris,
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Makassar, 2015.

11
F. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Umum Tentang Wasiat

a. Pengertian Wasiat

Subekti dan Tjitrosoedibio menjelaskan yang dimaksud

dengan wasiat ialah surat yang mengandung penetapan-penetapan

kehendak si pembuat wasiat atau pesan-pesan yang baru akan

berlaku pada saat si pembuatnya meninggal. 25 Pasal 875

KUHPerdata menyatakan, adapun yang dinamakan surat wasiat

atau testament ialah suatu akta yang memuat pernyataan seorang

tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia

meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali.

Kehendak terakhir adalah suatu pernyataan kehendak yang


sepihak dan suatu perbuatan hukum yang mengandung suatu
“beschikkingshandeling” (perbuatan pemindahan hak milik)
mengenai harta kekayaan si pewaris yang dituangkan dalam
bentuk tertulis yang khusus, yang setiap waktu dapat dicabut dan
berlaku dengan meninggalnya si pewaris serta tidak perlu
diberitahukan kepada orang yang tersangkut.26

Suatu wasiat (testament) adalah suatu akta, yaitu suatu

keterangan yang dibuat sebagai pembuktian dengan campur

tangan seorang pejabat resmi.27 Selanjutnya karena keterangan

dalam wasiat (testament) tersebut adalah suatu pernyataan

sepihak, maka wasiat (testament) dapat ditarik kembali.28

25
R. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1996, hlm.
106.
26
Ibid
27
Ibid
28
Ibid

12
Wasiat dalam Islam dikenal sebagai salah satu ajaran yang

bersumber dari Al-Qur’an.29 Wasiat adalah suatu kewajiban bagi

setiap orang yang meninggal apabila meninggalkan harta,

sebagaimana Firman Allah SWT dalam Qur’an Surah Al-Baqarah

ayat (180) yang artinya “diwajibkan atas kamu, apabila seorang di

antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan

harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib

kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang

yang bertakwa”.30

Ketentuan wajibnya wasiat di-nasakh dengan firman Allah

SWT dalam Qur’an Surah An-Nisa ayat (11) yang artinya

“(pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat

yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”. Mansukhnya

ayat tersebut ditegaskan oleh sabda Nabi Muhammad SAW yang

artinya “Syurahbil bin Muslm ia berkata : saya mendengar Abu

Umamah berkata “aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi

Wasallam bersabda : sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla telah

memberikan kepada setiap yang memiliki hak, maka tidak ada

wasiat bagi pewaris”.31

b. Bentuk Surat Wasiat

29
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2004 hlm. 128.
30
Ibid
31
Ibid

13
Pasal 931 KUHPerdata mengatur bahwa terdapat tiga macam

wasiat dilihat dari bentuknya yakni, wasiat olografis (wasiat

ditulis sendiri), wasiat umum (openbaar testament), wasiat

rahasia (wasiat tertutup).

1) Surat Wasiat Olografis

Wasiat olografis (olografis testament) merupakan suatu

wasiat yang ditulis dengan tangan orang yang akan

meninggalkan warisan itu sendiri (eigen handing) dan harus

diserahkan pada notaris untuk disimpan. Penyerahan tersebut

harus dibuatkan akta yang disebut akta penyimpanan (akta

van depot) yang ditandatangani oleh pembuat wasiat, notaris

dan 2 orang saksi yang menghadiri peristiwa. Penyerahan

kepada notaris dapat dilakukan secara terbuka atau tertutup

(dalam amplop), jika tertutup maka pembuakaan dilakukan

oleh Balai Harta Peninggalan (BHP) dan dibuat proses

verbal.32

Pasal 932 KUHPerdata menyebutkan bahwa proses

pembuatan surat wasiat ini seluruhnya harus ditulis dan

ditandatangani oleh pewaris. Surat waris tersebut oleh si

pewaris harus disimpan kepada seorang notaris, penyimpanan

itu dapat dilakukan dengan menyerahkan surat wasiat secara

32
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Rineka Cipta,
Jakarta, 2000, hlm, 18.

14
terbuka atau secara tertutup. Notaris dengan dua orang saksi

wajib membuat akta penyimpanan yang ditandatanganinya.33

Suatu surat wasiat diserahkan dalam keadaan terbuka

maka dibuatlah akta notaris tentang penyerahan itu yang

ditandatangani oleh pewaris, saksi-saksi, dan juga notaris.

Apabila surat wasiat diserahkan kepada notaris dalam

keadaan tertutup, maka pewaris harus menuliskan kembali

pada sampul dokumen itu bahwa surat tersebut berisikan

wasiatnya dan harus menandatangani keterangan itu di

hadapan notaris dan saksi-saksi. Setelah itu pewaris harus

membuat akta penyimpanan surat wasiat pada kertas yang

berbeda.

2) Surat Wasiat Umum

Orang yang akan meninggalkan warisan menghadap

kepada notaris dan menyatakan kehendaknya. Notaris

tersebut akan menulis dan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi.

Bentuk ini paling banyak dan baik karena notaris dapat

mengawasi isinya dan memberikan nasihat-nasihat tentang

isinya.34

Cara pembuatan surat wasiat umum berdasarkan

ketentuan Pasal 939 KUHPerdata yakni dengan kata-kata

yang jelas, baik di hadapan atau di luar hadirnya saksi-saksi,

33
Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, hlm. 71.
34
Ibid

15
pewaris menuturkan kepada notaris apa kehendaknya.

Apabila penuturan tersebut di luar kehadiran saksi, maka

sebelum notaris membacakan, penuturan tersebut harus

dilakukan satu kali lagi di hadapan saksi-saksi.

Notaris membacakan wasiat kepada pewaris dan saksi-

saksi (apabila pewaris tersebut tuli, ia dapat membacanya

sendiri), setelah pembacaan, notaris bertanya kepada pewaris

apakah yang dibacakan tadi benar memuat seperti yang

dikehendaki oleh pewaris. Wasiat tersebut harus

ditandatangani oleh pewaris, notaris, saksi-saksi dengan

berurutan. Apabila pewaris tidak dapat membubuhkan tanda

tangannya, hal tersebut harus dijelaskan dalam surat wasiat

dan disertai dengan sebab-sebabnya.35

3) Surat Wasiat Rahasia

Wasiat rahasia dibuat oleh pemberinya atau orang lain

kemudian ditandatangani pewaris, dan harus diserahkan

sendiri kepada notaris dengan 4 (empat) orang saksi, dalam

keadaan tertutup dan disegel.36 Berdasarkan Pasal 940

KUHPerdata dalam pembuatan surat wasiat rahasia, pewaris

dapat menulis sendiri sehelai wasiat rahasia pewaris atau

dapat menyuruh orang lain menulisnya, tetapi harus

menandatanganinya sendiri.

35
Lihat Pasal 939 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
36
Ibid

16
Kertas yang mengandung wasiat rahasia atau

sampulnya harus ditutup dan disegel di hadapan notaris dan

empat orang saksi. Pewaris sendiri harus menyerahkan surat

wasiat yang sudah ditutup dan disegel tersebut kepada notaris

di hadapan 4 (empat) orang saksi yang dimaksud di atas.

Pewaris harus menerangkan kepada notaris di hadapan

saksi, bahwa sampul atau kertas yang diserahkan itu

mengandung wasiatnya dan bahwa surat wasiat itu ditulis

sendiri atau oleh orang lain dan telah ditandatangani oleh

pewaris sendiri. Selanjutnya notaris harus membuat akta

superskripsi yang ditulis di atas kertas atau sampul yang

memuat atau mengandung wasiatnya. Akta superskripsi

ditandatangani oleh pewaris, saksi, dan notaris.

Pasal 941 KUHPerdata menyebutkan bahwa apabila

pewaris tidak dapat berbicara akan tetapi ia dapat menulis,

maka ia harus menulis wasiatnya sendiri serta memberinya

tanggal, di samping kewajibannya untuk menandatanganinya

sendiri. Pasal 942 KUHPerdata menegaskan setelah pewaris

meninggal, notaris yang menyimpan wasiatnya harus

menyampaikan kepada Balai Harta Peninggalan, kemudian

Balai Harta Peninggalan harus membuka dan membuat Berita

Acara tentang penyampaian wasiat itu oleh notaris,

17
pembukaannya, dan keadaannya serta menyerahkannya

kembali kepada notaris yang sama.

c. Syarat Sah Pembuatan Akta Wasiat

Benyamin Asri dan T. Habrani Asri dalam bukunya

menjelaskan suatu wasiat agar dapat berlaku secara sah, harus

memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh undang-

undang. Persyaratan tersebut terdiri atas syarat formil dan syarat

materiil, yakni:

1) formil, yakni syarat yang berkenaan dengan subjek dan

objek;

2) Syarat materiil, yakni syarat yang berkenaan dengan isi dari

suatu wasiat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 879

KUHPerdata yang melarang pengangkatan waris atau

pemberian hibah wasiat dengan lompat tangan atau sebagai

fidei commis37.

Pasal 885 KUHPerdata menegaskan jika kata-kata dalam

surat wasiat sudah jelas, maka tidak boleh ditafsirkan

menyimpang. Pasal 904 KUHPerdata menyatakan anak yang

belum dewasa walau telah berumur 18 tahun tidak boleh

menghibah wasiatkan untuk kepentingan walinya.

37
Fidei commis atau pewarisan secara lompat tangan sebagai suatu ketetapan dalam surat
wasiat dimana ditentukan bahwa orang yang menerima harta si pewaris, atau sebagian dari
padanya, termasuk para penerima hak dari pada mereka, berkewajiban untuk menyimpan yang
mereka terima, dan sesudah suatu jangka waktu tertentu atau pada waktu matinya si penerima,
menyampaikan/menyerahkan kepada seorang ketiga. Dalam J. Satrio, Hukum Waris, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1990, hlm. 165.

18
Pasal 905 KUHPerdata, anak yang belum dewasa tidak boleh

menghibah wasiatkan kepada guru pengasuhnya. Pasal 906

KUHPerdata menyatakan seorang dokter dan mereka yang telah

melayani pewaris sewaktu sakit terakhir, tidak boleh mengambil

keuntungan dari wasiat pewaris. Pasal 907 KUHPerdata

menyatakan notaris dan para saksi yang berkaitan dengan

pembuatan surat wasiat tidak boleh mendapatkan keuntungan dari

segala hal yang dihibahkan kepada mereka melalui surat wasiat

tersebut.

Pasal 911 KUHPerdata menyatakan suatu wasiat batal

apabila diwasiatkan kepada seseorang yang tidak cakap untuk

mewaris. Pasal 912 KUHPerdata menyatakan mereka yang

melakukan kejahatan terhadap pewaris guna menghalangi

pembuatan surat wasiat maka tidak diperbolehkan mengambil

keuntungan dari wasiat tersebut.38

d. Unsur-Unsur Wasiat

J. Satrio menjelaskan bahwa terdapat 4 (empat) unsur-unsur

wasiat, yakni suatu wasiat adalah suatu akta, akta menunjuk pada

syarat bahwa wasiat harus berbentuk suatu tulisan atau sesuatu

yang tertulis. Suatu wasiat berisi “pernyataan kehendak”, yang

berarti merupakan suatu tindakan hukum yang sepihak. Suatu

wasiat berisi mengenai apa yang akan terjadi setelah ia meninggal

38
Lihat Pasal 912 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

19
dunia. Artinya wasiat baru berlaku kalau si pembuat wasiat telah

meninggal dunia. Suatu wasiat dapat dicabut kembali.39

e. Rukun dan Syarat Wasiat Dalam Islam

Fuqaha berbeda pendapat tentang rukun dan syarat-syarat

wasiat sehingga wasiat itu sah dilaksanakan. Sayyid Sabiq

menjelaskan bahwa rukun wasiat itu hanya menyerahkan dari

orang yang berwasiat saja, selebihnya tidak perlu.40 Namun, pada

umumnya para fuqaha membagi menjadi 4 (empat) rukun wasiat,

di antaranya:41

1) Orang yang berwasiat, syarat orang yang berwasiat adalah


baliqh (dewasa), berakal sehat (aqil), bebas menyatakan
kehendak, merupakan tindakan tabarru, beragama Islam;
2) Orang yang menerima wasiat, syarat orang yang menerima
wasiat adalah dia bukan ahli waris yang memberikan wasiat,
orang yang diberi wasiat ada pada saat pemberi wasiat mati,
baik mati secara benar-benar maupun secara perkiraan,
penerima wasiat tidak membunuh orang yang memberi
wasiat;
3) Harta yang diwasiatkan, syarat harta yang diwasiatkan adalah
harta itu kepunyaan sendiri pewasiat secara penuh, hartanya
bernilai menurut Islam, bermanfaat bagi yang menerima
wasiat, ada pada saat wasiat berlangsung, jumlah harta yang
diwasiatkan tidak melebihi sepertiga dari seluruh kekayaan
pewasiat, kecuali semua ahli waris menyetujuinya;
4) Sighat/ijab merupakan perkataan yang dapat dipahami
tentang wasiat yang keluar dari pemberi wasiat.

Pasal 194 KHI menyebutkan bahwa yang berhak melakukan

wasiat adalah orang yang sudah mencapai umur sekurang-

kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tidak dalam tekanan

pemaksaan, harta benda yang diwasiatkan pun harus hak milik


39
J. Satrio, Op Cit, hlm. 165.
40
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 4, Pena Aksara, Jakarta, 2008, hlm. 315.
41
Ibid

20
pewasiat dan pelaksanaan wasiat saat pewasiatnya sudah

meninggal.42 Pasal 195 KHI menyebutkan bahwa suatu wasiat

dapat dilakukan secara lisan atau secara tertulis di hadapan dua

orang saksi, atau di hadapan notaris. Harta boleh diwasiatkan

sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan, kecuali semua

ahli waris menyetujuinya.43

2. Tinjauan Umum Tentang Akta

a. Pengertian Akta

Akta merupakan bentuk dari suatu perjanjian tertulis.

Menurut Subekti, akta bukan merupakan surat, melainkan harus

diartikan dengan perbuatan hukum, berasal dari kata acte yang

dalam bahasa Perancis berarti perbuatan.44 Akta merupakan

bentuk dari adanya suatu perbuatan hukum, dengan kata lain akta

merupakan perbuatan hukum itu sendiri.

Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang

diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar

suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan

sengaja untuk pembuktian.45 Pendapat dari Subekti dan Sudikno

tersebut jika disimpulkan, maka akta merupakan suatu perbuatan

hukum tertulis yang menjadi dasar suatu perjanjian yang berguna

sebagai alat bukti suatu peristiwa hukum.

42
Lihat Pasal 194 Kompilasi Hukum Islam.
43
Lihat Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam.
44
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1980, hlm. 29.
45
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2009,
hlm. 116.

21
Pasal 1867 KUHPerdata menjelaskan yang dimaksud dengan

akta adalah pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-

tulisan autentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.

Unsur-unsur yang dapat diambil dari Pasal 1867 KUHPerdata di

atas yakni pembuktian tertulis. Akta menjadi salah satu bagian

dari alat bukti utama dalam perkara perdata yang dibutuhkan di

persidangan perdata, berdasarkan hukum acara perdata Pasal 284

RBg, jo Pasal 164 HIR yang menyebutkan bahwa alat-alat bukti

yang sah terdiri atas bukti tertulis, bukti dengan saksi-saksi, -

persangkaan-persangkaannya, pengakuan-pengakuan dan

sumpah.

Alat bukti tertulis sebagaimana yang terdapat di dalam

peraturan perundang-undangan tersebut salah satunya adalah akta.

Akta dalam hukum acara perdata merupakan alat bukti utama

karena hukum acara perdata mencari kebenaran formil, yang

dimaksud dengan kebenaran formil adalah kebenaran mengenai

apa yang dikemukakan oleh para pihak di pengadilan. Akta dapat

berupa tulisan autentik maupun tulisan di bawah tangan. Akta

dibagi menjadi 2 macam, yakni akta autentik dan akta di bawah

tangan.

1) Akta Autentik

Akta autentik merupakan akta yang dibuat oleh pejabat

yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut

22
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan

maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang

mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh

yang berkepentingan.46Akta autentik terutama memuat

keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang

dilakukannya dan dilihat di hadapannya.

Akta dalam bahasa Romawi disebut sebagai gesta atau

instrumenta forensia, juga disebut sebagai publica monumenta

atau akta publica. Akta-akta tersebut dibuat oleh seorang

pejabat publik (publicae personae).Berdasarkan hal tersebut

kemudian muncul kata-kata publicare dan insinuari, actis

inseri, yang artinya mendaftarkan secara publik.47

Akta sebagai surat-surat yang ditandatangani, dibuat untuk

dipakai sebagai bukti, dan dipergunakan oleh orang, untuk

keperluan siapa surat itu dibuat. Sudikno Mertokusumo

menjelaskan akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang

memuat peristiwa-peristiwa, yang menjadi dasar dari suatu hak

atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk

pembuktian.48

Akta autentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata adalah

suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh

46
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Gross Akta dalam Pembuktian dan
Eksekusi, Rinika Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 26.
47
Daeng Naja, Teknik Pembuatan Akta, Pustaka Yustisia,Yogyakarta, 2012, hlm. 1.
48
Ibid

23
undang-undang oleh/atau di hadapan pejabat umum yang

berwenang untuk maksud itu, di tempat dimana akta dibuat.

Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata tersebut bentuk akta

autentik ada dua, yakni:

a) Aka parte atau partij act

Akta parte adalah akta yang dibuat oleh para pihak di

hadapan pejabat umum (notaris) yang mempunyai kuasa

untuk itu ditempat di mana akta itu dibuat. Dalam akta ini,

notaris hanya menuangkan kehendak dan kemauan para

pihak yang merupakan isi dari akta tersebut. Isi dalam akta

bukanlah keinginan notaris, tetapi keinginan dari para

pihak yang tertuang dalam akta tersebut, peran notaris

hanyalah memberikan autentisitas pada akta tersebut.49

b) Akta pejabat atau ambtelijke acte/procesverbaal

acte/relaas acte

Akta pejabat adalah akta yang dibuat oleh notaris sebagai

pejabat umum yang memuat uraian secara autentik tentang

semua pristiwa atau kejadian yang dilihat, dialami dan

disaksikan oleh notaris sendiri dalam menjalankan

jabatannya, misalnya akta berita acara dan akta risalah.50

Istilah akta dalam bahasa Belanda disebut acte dan dalam

bahasa Inggris disebut act atau deed, akta menurut Sudikno

49
Tan Thong Kie,Op Cit, hlm. 455.
50
Ibid

24
merupakan surat yang diberi tanda tangan yang memuat

peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau

perikatan, yang dibuat semula dengan sengaja untuk

pembuktian.51Menurut Subekti, akta berbeda dengan surat, akta

merupakan suatu tulisan yang memang sengaja dibuat untuk

dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani.52

Akta mempunyai 2 (dua) fungsi penting, yaitu sebagai

fungsi formal yang mempunyai arti bahwa suatu perbuatan

hukum akan menjadi lengkap apabila dibuat suatu akta, dan

kedua sebagai fungsi alat bukti yaitu akta sebagai alat

pembuktian di mana dibuatnya akta tersebut oleh para pihak

yang terikat dalam suatu perjanjian ditujukan untuk

pembuktian di kemudian hari.53

Akta autentik merupakan akta yang dibuat oleh pejabat

yang diberi wewenang untuk membuatnya yang mana

wewenang tersebut diberikan oleh penguasa, menurut

ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan

maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang

mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh

yang berkepentingan, akta autentik terutama memuat

51
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006,
hlm. 149.
52
Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2005, hlm. 25.
53
Sudikno Mertokusumo, Op Cit, hlm. 121.

25
keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang

dilakukanya dan dilihat di hadapannya.

Pasal 165 HIR dan Pasal 285 RBg mendefinisikan akta

autentik sebagai suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan

pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti

yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan

mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang

tercantum di dalamnya dan bahkan sebagai pemberitahuan

belaka. Akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan yang

berhubungan dengan perihal pada akta itu, pejabat yang

dimaksud antara lain seperti, notaris, panitera, jurusita,

pegawai sipil, hakim, dan sebagainya.54

2) Akta Di Bawah Tangan

Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat serta

ditandatangani oleh para pihak yang bersepakat dalam

perikatan atau antara para pihak yang berkepentingan saja.55

Akta di bawah tangan merupakan akta yang sengaja dibuat

untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang

pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara pihak yang

berkepentingan saja.

Pasal 1874 KUHPerdata, menyatakan bahwa yang

dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang

54
Lihat Pasal 165 HIR dan Pasal 285 RBg.
55
Sudikno Mertokusumo, Op Cit, hlm. 125.

26
ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan

rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa

perantara seorang pejabat umum. Adapun yang termasuk akta

di bawah tangan ialah sebagai berikut:56

a) Legalisasi, yakni akta di bawah tangan yang belum

ditandatangani, diberikan pada Notaris dan di hadapan

Notaris ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan,

setelah isi akta dijelaskan oleh Notaris kepada mereka.

Pada legalisasi, tanda tangannya dilakukan di hadapan

yang melegalisasi

b) Waarmerken,yakni akta di bawah tangan yang didaftarkan

untuk memberikan tanggal yang pasti. Akta yang sudah

ditandatangani diberikan kepada Notaris untuk didaftarkan

dan diberi tanggal yang pasti. Pada waarmerken tidak

menjelaskan mengenai siapa yang menandatangani dan

apakah penandatangan memahami isi akta, hanya

mempunyai kepastian tanggal saja dan tidak ada kepastian

tanda tangan.

3. Tinjauan Umum Tentang Notaris

a. Pengertian Umum Tentang Notaris

Notaris mempunyai arti orang yang mendapat kuasa dari

pemerintah berdasarkan penunjukan (dalam hal ini adalah

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) untuk mengesahkan


56
Ibid

27
dan menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta, dan

sebagainya.57Pasal 1 UUJN mendefinisikan notaris sebagai

pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan

memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam

undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.

Kata notaris berasal dari kata nota literaria yang artinya tanda

tulisan atau karakter yang digunakan untuk menggambarkan

ungkapan kalimat yang disampaikan narasumber.58 Tanda yang

dimaksud adalah tanda yang dipakai dalam penulisan cepat. Pada

awalnya jabatan notaris hakikatnya adalah sebagai pejabat umum

yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan

masyarakat akan alat bukti autentik yang memberikan kepastian

hubungan hukum keperdataan. Jadi, sepanjang alat bukti autentik

tetap diperlukan oleh sistem hukum negara, maka jabatan notaris

akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah masyarakat.59

Ketentuan dalam Pasal 1 Instructie voor De Notarissenin

Indonesia, menyebutkan bahwa notaris adalah pegawai umum

yang harus mengetahui seluruh perundang-undangan yang

berlaku, yang dipanggil dan diangkat untuk membuat akta-akta

dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan

kepadanya kekuatan dan pengesahan menetapkan dan memastikan

57
Komar Andasasmita, Notaris I, Sumur, Bandung, 1999, hlm. 10.
58
G.H.S Lumban Tobing,Op Cit, hlm 41.
59
Ibid

28
tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan

grossenya, demikian juga salinannya yang sah dan benar.60

Sejak masuknya notariat di Indonesia sampai tahun 1822,

notariat ini hanya diatur oleh 2 (dua) buah reglemen yaitu Notaris

Reglemen tahun 1625 dan Notaris Reglemen tahun 1765.61

Reglemen-reglemen tersebut sering mengalami perubahan. Tahun

1860, pemerintah Belanda menganggap telah saatnya untuk

menyesuaikan peraturan-peraturan mengenai jabatan notaris di

Indonesia dengan yang berlaku di negeri Belanda sebagai

pengganti dari peraturan-peraturan yang lama, maka

diundangkanlah Peraturan Jabatan Notaris (PJN) atau Notaris

Reglemen pada tanggal 26 Januari 1860 dan mulai berlaku pada

tanggal 1 Juli 1860, yang kemudian diganti dengan Undang-

undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang

mulai berlaku pada tanggal 6 Oktober 2004 dan terakhir Undang-

undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004.62

b. Fungsi Notaris

Kedudukan seorang notaris sebagai suatu fungsionaris dalam

masyarakat hingga sekarang dirasakan masih disegani, seorang

notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat

seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan.


60
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 2002, hlm. 240.
61
Komar Andasasmita, Op Cit, hlm. 31.
62
Ibid

29
Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya (konstatir) adalah

benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses

hukum.63

Masyarakat membutuhkan seseorang (figuur) yang

keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercayai, yang tanda

tangannya serta segelnya (capnya) memberi jaminan dan bukti

kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat yang tidak

ada cacatnya (onkreukbaar atau unimpeachable), yang tutup

mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya

di hari-hari yang akan datang.64

G. Metode Penelitian

Metode dapat diartikan sebagai cara yang tepat untuk melakukan

sesuatu, sedangkan logi/logos adalah ilmu atau pengetahuan. Dengan

demikian metodologi dapat diartikan sebagai cara melakukan sesuatu

dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai tujuan.65

Sedangkan penelitian berarti suatu kegiatan untuk mencari, mencatat,

merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporannya.66Metode

penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana dilakukan

dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna

membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala.67

63
Tan Thong Kie, Studi Notariat, Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi
PraktekNotaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2013, hlm 444
64
Ibid
65
Cholid Narbuko dan H Abu Ahmadi, Metodelogi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta,
2002, hlm. 1.
66
Ibid
67
Ibid

30
1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan ialah jenis

penelitian yuridis normatif yakni menekankan pada bahan pustaka,

yang menggunakan objek kajian penulisan berupa pustaka seperti

buku, peraturan, hasil seminar penelitian yang berhubungan dengan

pembahasan dalam penelitian ini.68

2. Pendekatan Penelitian

Suatu penelitian hukum memiliki beberapa pendekatan. Dengan

pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari

berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari

jawabannya.69 Pendekatan-pendekatan yang pada umumnya digunakan

di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statue

approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis

(historical approach), pendekatan komparatif (comparative

approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).70

Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan

undang-undang (statue approach), yakni dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut

paut dengan isu hukum yang sedang diteliti. Selain pendekatan

undang-undang (statue approach), penulis juga menggunakan

pendekatan kasus (case approach), yakni dilakukan dengan cara

melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu


68
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali press, Jakarta, 1998, hlm. 15.
69
Peter Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 133.
70
Ibid

31
yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap. 71

3. Sifat Penelitian

Penelitian hukum ini bersifat deskriptif, yakni suatu bentuk

penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena

yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia,

fenomena ini bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, hubungan,

kesamaan dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena

lainnya.72 Penelitian ini juga berupa pemaparan yang bertujuan

memperoleh gambaran lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku

di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau peristiwa hukum tertentu

yang terjadi dalam masyarakat.

4. Sumber Data

Berikut adalah sumber data yang digunakan oleh penulis dalam

penelitian ini, di antaranya:

a. Sumber data sekunder yang terdiri atas

1) Bahan Hukum Primer

a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata;

b) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-

undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. UU Nomor 50 Tahun

2009;
71
Ibid, hlm. 134.
72
Redaksi, https://idtesis.com/penelitian-hukum-dikelompokkan-berdasar-sifat-dan-
fokus-kajian,diakses pada tanggal 5 Oktober 2021

32
c) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-

undang Nomor 2 Tahun 2014;

d) Kompilasi Hukum Islam;

e) Kode Etik Notaris;

f) Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor

1935/Pdt.G/2013/PA.Smn;

g) Putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta No

11/Pdt.G/ 2015/PTA. Yk;

h) Akta Wasiat Welingan Nomor 01 tanggal 1 Februari

tahun 2001.

2) Bahan Hukum Sekunder

a) Buku-buku hukum terkait;

b) Jurnal karya ilmiah hukum terkait;

3) Bahan Hukum Tersier

a) Kamus Hukum;

b) Kamus Umum;

c) Internet.

5. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan library

research atau penelitian kepustakaan, yakni pengambilan data dari

buku-buku, literatur-literatur, serta bacaan lainnya yang mempunyai

33
hubungan dengan penelitian ini.73 Adapun tempat-tempat melakukan

penelitian kepustakaan ini sebagai berikut:

a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

b. Perpustakaan Pusat Universitas Universitas Islam Indonesia

c. Situs/website hukum atau kenotariatan dari internet yang

berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti; dan

d. Buku-buku, literatur-literatur hukum yang dimiliki oleh penulis

yang berhubungan dengan penelitian ini.

Dalam penelitian ini, pengumpulan data mempunyai kaitan erat

dengan sumber data. Dengan pengumpulan tersebut akan diperoleh

data-data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan

tujuan yang diharapkan.

6. Analisis Data

Data yang diperoleh saat penelitian ini dilangsungkan, diseleksi

selanjutnya disusun secara sistematis sehingga akan memudahkan

bagi peneliti dalam menganalisis semua data dan informasi yang

diperoleh di dalam penelitian ini. Setelah semua data disusun

secara sistematis, kemudian dilakukan analisis dengan metode

analisis kualitatif, yaitu menganalisis data yang didasarkan atas

kualitas data yang digunakan untuk memecahkan permasalahan di

dalam penelitian ini.

73
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,
Malang, 2006, hlm. 46.

34
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adji, Habib dan Sjaifurrachman, 2011, Aspek Pertangungjawaban Notaris


dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung.

Afandi, Ali, 2000, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian,


Rineka Cipta, Jakarta

35
Ahmadi, Abu H dan Narbuko Cholid, 2002, Metodelogi Penelitian, Bumi
Aksara, Jakarta,

Andasasmita, Komar, 1981, Notaris I,Sumur Bandung, Bandung.

Asri dan Benyamin, 1988, Dasar-dasar Hukum Waris Barat, Tarsito,


Bandung.

Budiono, Herlien, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang


Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung

Ibrahim, Jhonny 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,


Bayumedia, Malang.

Mertokusumo, Sudikno, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,


Liberty, Yogyakarta.

____________________, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,


Yogyakarta

Marzuki, Peter, 2006, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta

Naja, Daeng, 2012, Teknik Pembuatan Akta, Pustaka Yustisia,Yogyakarta.

Narbuko, Cholid dan Abu Ahmadi, 2002, Metodelogi Penelitian, Bumi


Akasara, Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono, 1995, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur


Bandung, Bandung.

Puryatna, I Made Pieter, 2016, Teknik Dasar Pembuatan Akta Notaris,


Kayu Mas, Denpasar,

Sabiq, Sayyid, 2006, Fiqih Sunnah 4, Pena Aksara, Jakarta.

Simanjuntak, Ricardo, 2006, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis,


Mingguan ekonomi dan Bisnis kontan, Jakarta,

Soerodjo, Irwan, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia,


Arkola, Surabaya.

Satrio, J, 1990, Hukum Waris, Citra Aditiya Bakti,Bandung.

Soegondo, R, 1991, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta.

36
Soekanto, Soerjono, 1998, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali press,
Jakarta, 1998.

Subekti dan Tjitrosoedibio, 1996, Kamus Hukum, Pradnya Paramitha,


Jakarta.

Subekti, 2005, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramitha, Jakarta.

______, 2002, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta

______, 1980, Pokok-pokok Hukum perdata, Intermasa, Jakarta.

Sudarsono, 1994, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Rineka Cipta,


Jakarta.

Suma, Amin Muhammad, 2004, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,


Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Syarifin, Pipin, 1999, Pengantar Ilmu Hukum, Pustaka Setia, Bandung

Thong, Tan Kie, 2013, Studi Notariat, Beberapa Mata Pelajaran dan
Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.

Tobing, G.H.S Lumban,1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga,


Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2014. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor

5491.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama


sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006.Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4611.
Sebagaimana yang diubah dengan Undang–undang Nomor 50 tahun
2009. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 nomor 156

Kompilasi Hukum Islam

37
Kode Etik Notaris.

C. Putusan Pengadilan dan Akta Wasiat

Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor 1935/Pdt.G/2013/PA.Smn.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 702 K/K/Sip/1973

Akta Wasiat Welingan Nomor 01 tanggal 1 Februari tahun 2001.

D. Hasil Penelitian Terdahulu

Pramana Putra, Pembatalan Akta Wasiat Yang Dibuat Oleh Notaris Dalam
Putusan Pengadilan Tinggi No. 805/Pdt./2018/PT.DKI, Tesis,
Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Pelita Harapan, Tangerang, 2018;

Debora Claudia Panjaitan, Pembatalan Akta Wasiat Sebagai Akibat


Pembatalan Melawan Hukum Yang Dilakukan Notaris (Studi Putusan
No. 3124K/PDT/2013), Jurnal Vol 21; Tahun 2016;

Nur Rahmah Surya Ningsih, Tinjauan Yuridis Terhadap Pembatalan Akta


Notaris, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar, Makassar, 2015.

38

Anda mungkin juga menyukai