Otensitas dari akta Notaris bersumber dari Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang jabatan Notaris jo Pasal 1868 KUH perdata, yaitu Notaris adalah pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini, kewenangan yang dimaksud terdapat dalam Pasal 15
ayat (1) Undang-undang ini,
yaitu Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undang dan/atau yang dikehendaki
oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain
atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Notaris dijadikan sebagai pejabat umum, sehingga aktanya yang dibuat oleh
Notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik, Akta yang dibuat oleh
Notaris mempunyai otentik bukan oleh karena undang-undang menetapkan demikian, tetapi
karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum hal ini sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan :
Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa
untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.
Berdasarkan Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini, maka dapat diketahui
bahwa bentuk akta ada dua yaitu akta yang dibuat oleh Notaris (relaas akta) dan akta yang
dibuat di hadapan Notaris (partij akta), Akta yang dibuat oleh Notaris dapat merupakan
suatu akta yang memuat relaas atau menguraikan secara otentik suatu tindakan yang
dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau yang disaksikan oleh pembuat akta itu,
yakni Notaris sendiri, didalam menjalankan jabatannya sebagi Notaris akta ini disebut juga
akta yang dibuat oleh (door) Notaris (sebagai pejabat umum).
Akta Notaris dapat juga berisikan suatu cerita dari apa yang terjadi, karena perbuatan
yang dilakukan oleh pihak lain di hadapan Notaris, artinya yang diterangakan atau yang
diceritakan oleh pihak lain terhadap Notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan
mana pihak lain itu sengaja datang dihadapan notaris, agar keterangan atau perbuatan itu di
konstantir oleh notaris dalam suatu akta otentik, akta ini disebut pula akta yang dibuat
dihadapan (ten overstaan) Notaris.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui ada dua bentuk akta notaris yaitu :
1. Akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat
(ambtelijke akten).
2. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris atau yang dinamakan akta partij
(partij akten).
Didalam semua akta ini notaris menerangkan atau memberikan dalam jabatannya
sebagai pejabat umum kesaksian dari semua apa yang dilihat, disaksikan dan
dialaminya, yang dilakukan pihak lain, Dalam golongan akta yang dimaksud pada sub 2 termasuk
akta-akta yang memuat perjanjian hibah, jual beli (tidak termasuk penjualan dimuka umum
atau lelang), kemampuan terakhir (wasiat), kuasa dan lain sebagainya.
Di dalam akta partij ini dicantumkan secara otentik keterangan-keterangan dari orang-
orang yang bertindak sebagai pihak-pihak dalam akta itu, di samping relaas dari Notaris itu
sendiri yang menyatakan bahwa orang-orang yang hadir itu telah menyatakan kehendaknya
tertentu, sebagaimana dicantumkan dalam akta.
Di dasarkan hal tersebut di atas maka untuk akta partij penandatangan oleh para pihak
merupakan suatu keharusan, Untuk akta relaas tidak menjadi soal apakah orang-orang yang
hadir tersebut menolak untuk menandatangani akta itu, misalnya pada pembuatan Berita
Acara rapat para pemegang saham dalam Perseroan Terbatas orang-orang yang hadir
telah meninggalkan rapat sebelum akta itu ditandatangani, maka notaris cukup
menerangkan didalam akta, bahwa para pemegang saham yang hadir telah meninggalkan
rapat sebelum menandatangani akta itu dan dalam hal ini akta itu tetap merupakan akta otentik.
Perbedaan yang dimaksud di atas menjadi penting dalam kaitannya dengan pemberian
pembuktian sebaliknya (tegenbewijs) terhadap isi akta itu, kebenaran isi dari akta pejabat
(ambtelijk akte) tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta itu adalah palsu,
sedangakn pada akta partij dapat digugat isinya, tanpa menuduh bahwa akta tersebut akta
palsu dengan jalan menyatakan bahwa keterangan dari para pihak yang bersangkutan ada
diuraikan menurut sesungguhnya dalam akta itu, tetapi keterangan itu adalah tidak benar,
artinya terhadap keterangan yang diberikan itu diperkenalkan pembuktian sebaliknya.
Pada umumnya akta Notaris itu terdiri dari tiga bagian, ialah :
a. Komparisi; yang menyebutkan hari dan tanggal akta, nama notaris dan tempat
kedudukannya nama dari para penghadap, jabatannya dan tempat tinggalnya, beserta
keterangan apakah ia bertindak untuk diri sendiri atau sebagai kuasa dari orang lain,
yang harus disebutkan juga jabatan dan tempat tinggalnya beserta atas kekuatan
apa ia bertindak sebagai wakil atau kuasa.
b. Badan dari akta; yang memuat isi dari apa yang ditetapkan sebagai ketentuan-
ketentuan yang bersifat otentik, umpamanya perjanjian, ketentuan-ketentuan
mengenai kehendak terakhir (wasiat), dan atau kehendak para penghadap yang
dituangkan dalam isi akta.
c. Penutup; uraian tentang pembacaan akta, nama saksi dan uraian tentang ada
tidaknya perubahan dalam kata tersebut serta penerjemahan bila ada.
Dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, mengenai
Bentuk dan sifat Akta Notaris, yang berisi ;
1. Awal akta atau kepala akta memuat :
Judul akta, nomor akta, jam, hari, tanggal, bulan, tahun, dan nama lengkap dan tempat
kedudukan Notaris.
2. Badan akta memuat :
a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan,
kedudukan dan tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepantingan
dan;
d. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan , jabatan,
kedudukan,dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
3. Akhir atau penutup akta memuat :
a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1)
huruf I atau pasal 16 ayat (7).
b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau
penerjemahan akta apabila ada.
c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan , jabatan, kedudukan
dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta, dan;
d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau
uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan,
atau penggantian.
Di dalam komparisi ini dijelaskan dalam kualitas apa seorang menghadap pada Notaris,
umpamanya sebagai wali, dalam hal orang yang diwakilinya karena belum dewasa (biasanya
yang mewakili adalah orang tuanya), tidak punya kemampuan melakukan tindakan
hukum sendiri, atau sebagai pengampu (curatele) dalam hal yang diwakilinya itu ditaruh
dibawah pengampuan (onder curatele), ataukah sebagai kuasa, ialah orang yang diberi kuasa.
Badan atau isi dari akta menyebutkan ketentuan, kehendak atau perjanjian yang
dikehendaki oleh para penghadap untuk di tuangkan dalam akta otentik, misalnya akta itu
merupakan surat wasiat, maka dalam badan akta itu disebutkan apa yang dikendaki oleh
penghadap dalam surat wasiat dan begitu dalam hal akta itu mengenai perjanjian maka isi
akta tersebut berisi kehendak para penghadap yang berkepentiangan terhadap akta itu.
Penutup dari akta merupakan suatu bentuk yang tetap, yang memuat pula tempat
dimana akta itu dibuat dan nama-nama, jabatan serta tempat tinggal saksi- saksi instrumentair,
biasanya dalam komparisi nama-namanya saksi ini tidak disebut melainkan hanya ditunjuk
kepada nama-namanya yang akan disebut dibagian akhir akta ialah dibagian penutup,
selanjutnya dibagian penutup ini disebutkan, bahwa akta itu disebutkan bahwa akta itu dibacakan
kepada para penghadap dan saksi-saksi dan sesudahnya ditandatangani oleh para
penghadap, saksi-saksi dan Notaris yang bersangkutan.
Pada umumnya akta itu adalah suatu surat yang ditanda tangani, memuat keterangan
tentang kejadian-kejadian atau hal-hal yang merupakan dasar dari suatu perjanjian, dapat
dikatakan bahwa akta itu adalah suatu tulisan dengan mana dinyatakan sesuatu perbuatan
hukum, Pasal 1867 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan : Pembuktian dengan
tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah
tangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka terdapat dua macam akta yaitu akta
yang sifatnya otentik dan ada yang sifatnya di bawah tangan, dalam Pasal 1868 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang dimaksud akta otentik adalah : “Suatu akta otentik
ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang dibuat oleh atau
dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta itu
dibuatnya”.
Pegawai umum yang dimaksud di sini ialah pegawai-pegawai yang dinyatakan dengan
undang-undang mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik, misalnya Notaris,
Panitera juru sita, Pegawai catatan sipil, hakim, Pejabat Pembuat akta Tanah dan sebagainya.
Akta yang dibuat dengan tidak memenuhi Pasal 1868 Kitab Undang- undang
Hukum Perdata bukanlah akta otentik atau disebut juga akta dibawah tangan, perbedaan
terbesar antara akta otentik dan akta yang dibuat dibawah tangan ialah :1
1. Akta Otentik merupakan alat bukti yang sempurna sebagaimana dimaksud dalam pasal
1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ia memberikan diantara para pihak
termasuk para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu
bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/dinyatakan dalam akta ini, ini berarti
mempunyai kekuatan bukti sedemikian rupa karena dianggap melekatnya pada akta
itu sendiri sehingga tidak perlu dibuktikan lagi dan bagi hakim itu merupakan “Bukti
wajib/keharusan” (Verplicht Bewijs), Dengan demikian barang siapa yang menyatakan
bahwa akta otentik itu palsu maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu,
oleh karena itulah maka akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian baik lahiriah, formil
maupun materiil.
2. Akta dibawah tangan
Akta dibawah tangan bagi Hakim merupakan “Bukti Bebas” (VRU Bewijs)
karena akta dibawah tangan baru mempunyai kekuatan bukti materiil setelah dibuktikan
kekuatan formilnya sedangakan kekuatan pembuktian formilnya baru terjadi, bila pihak-pihak
yang bersangkutan mengetahui akan kebenaran isi dan cara pembuatan akta itu, dengan
demikian akta dibawah tangan berlainan dengan akta otentik, sebab bilamana satu akta
dibawah tangan dinyatakan palsu, maka yang menggunakan akta dibawah tangan itu sebagai
bukti haruslah membuktikan bahwa akta itu tidak palsu.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka akta yang dibuat secara otentik dengan
akta yang dibuat secara dibawah tangan, mempunyai nilai pembuktian suatu akta yang
meliputi :2
1. Kekuatan Pembuktian Lahir (pihak ketiga)
Kekuatan pembuktian lahiriah artinya akta itu sendiri mempunyai kemampuan untuk
membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik; mengingat sejak awal yaitu sejak adanya
niat dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk membuat atau melahirkan alat bukti,
maka sejak saat mempersiapkan kehadirannya itu telah melalui proses sesuai dan
memenuhi ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Jungcto undang-
undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (atau dahulu staablad 1860 Nomor 3
Reglement of Notaris ambt in Indonesie), Kemampuan atau kekuatan pembuktian lahirlah ini
tidak ada pada akta/surat dibawah tangan (Vide Pasal 1875 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata).
2. Kekuatan Pembuktian Formiil
Kekuatan Pembuktian Formiil artinya dari akta otentik itu dibuktikan bahwa apa
yang dinyatakan dan dicantumkan dalam akta itu adalah benar merupakan uraian kehendak
pihak-pihak; itulah kehendak pihak-pihak yang dinyatakan dalam akta itu oleh atau dihadapan
Pejabat yang berwenang dalam menjalankan jabatannya, Dalam arti formil akta otentik
menjamin kebenaran :
- Tanggal
- Tanda Tangan
- Komparan dan
- Tempat akta dibuat
Dalam arti formil pula akta Notaris membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu
yang dilihat, didengar dan dialami sendiri oleh Notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan
1
N.G.Yudara, Pokok-pokok Pemikiran, disekitar kedudukan dan fungsi notaris serta akta Notaris Menurut Sistem Hukum
Indonesia, Renvoi, Nomor.10.34.III, Tanggal 3 Maret 2006, Hlm 74
2
Ibid., hlm. 74.
jabatannya. Akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan formil, terkecuali bila si
penandatangan dari surat/akta itu mengakui kebenaran tanda tangannya.
3. Kekuatan pembuktian material
Kekuatan pembuktian materiil artinya bahwa secara hukum (yuridis) isi dari akta itu
telah membuktikan kebenarannya sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang membuat
atau menyuruh membuat akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya (termasuk ahli
warisnya atau orang lain yang mendapatkan hak darinya); inilah yang dinamakan sebagai
“Preuve Preconstituee” artinya akta itu benar mempunyai kekuatan pembuktian materiil,
Kekuatan pembuktian inilah yang dimaksud dalam Pasal 1870, 1871 dan 1875 Kitab Undang-
undang Hukum perdata, Oleh karena itulah, maka akta otentik itu berlaku sebagai alat bukti
sempurna dan mengikat pihak-pihak yang membuat akta itu.
BAB II
AKTA
A. Pengertian Akta
Kata akta berasal dari bahasa latin “acta” yang berarti “geschrift” atau surat, sedangkan
menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio dalam kamus hukum, bahwa kata “acta” merupakan bentuk
jamak dari kata “actum” yang berasal dari bahasa latin dan berarti perbuatan-perbuatan.
Menurut A. Pilto, mengatakan akta sebagai surat-surat yang ditandatangani, dibuat untuk
pakai sebagai bukti, dan dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu di buat
Sedangkan menurut sudikno mertokusumo akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang
memuat peristiwa-peristiwa hukum, yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, yang dibuat
1
sejak semula secara sengaja untuk tujuan pembuktian .
Menurut ketentuan pasal 1867 “ pembuktian dengan tulisan dilakukan
Dari ketentuan pasal diatas akta dibagi menjadi dua, akta outentik dan akta di bawah tangan.
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA SERTA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS
7
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal.110
8
Herlien Soerojo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, (Surabaya: Arkola, 2003), hal.148.
Menurut Sudikno Mertokusumo, akta dibawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat
untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat
antara pihak yang berkepentingan. 9
Dalam Pasal 101 ayat (b) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, menyatakan bahwa akta dibawah tangan adalah surat yang dibuat dan
ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai
alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
Dalam Pasal 1874 KUHPerdata, menyatakan bahwa yang dianggap sebagai tulisan di
bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah
tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantara seorang pejabat umum.
Adapun yang termasuk akta di bawah tangan adalah : 10
a. Legalisasi, yaitu akta dibawah tangan yang belum ditandatangani, diberikan
pada Notaris dan dihadapan Notaris ditandatangani oleh para pihak yang
bersangkutan, setelah isi akta dijelaskan oleh Notaris kepada mereka. Pada
legalisasi, tanda tangannya dilakukan dihadapan yang melegalisasi (A. Kohar,
1984:34).
b. Waarmerken, yaitu akta dibawah tangan yang didaftarkan untuk memberikan tanggal yang pasti.
Akta yang sudah ditandatangani diberikan kepada Notaris untuk didaftarkan dan beri
tanggal yang pasti. Pada waarmerken tidak menjelaskan mengenai siapa yang
menandatangani dan apakah penandatangan memahami isi akta. Hanya mempunyai kepastian
tanggal saja dan tidak ada kepastian tanda tangan (A. Kohar, 1984:34).
Perbedaan antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah sebagai berikut :
a. Akta Otentik (Pasal 1868 KUHPerdata)
1) Akta otentik dibuat dalam bentuk sesuai dengan yang ditentukan oleh Undang-Undang
2) Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti (perhatikan Pasal 1 Peraturan Jabatan
Notaris yang mengatakan “menjamin kepastian tanggalnya dan seterusnya)
3) Harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang
4) Grosse dari akta otentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan eksekutorial seperti
putusan hakim. Terutama mengenai waktu, tanggal pembuatan, isi perjanjian,
penandatanganan, tempat pembuatan dan dasar hukumnya.
5) Kemungkinan akan hilangnya akta otentik sangat kecil
b. Akta di Bawah Tangan
1) Akta di bawah tangan tidak terikat bentuk formal, melainkan bebas;
2) Dapat dibuat bebas oleh setiap subjek hukum yang berkepentingan o Tanggal dari akta yang
dibuat di bawah tangan tidak selalu pasti;
3) Akta yang dibuat di bawah tangan tidak pernah mempunyai kekuatan eksekutorial
4) Kemungkinan akan hilangnya akta yang dibuat di bawah tangan lebih besar
5) Apabila penandatanganan di akui oleh pihak yang menandatangani akta atau tidak disangkal
kebenarannya, akta tersebut sama halnya seperti akta otentik.
13
Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Pradnya Paramitha, 2005), hal.27.
14
Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, op. Cit. hal.72-
74
mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah di antara para pihak
dan para ahli waris serta para penerima hak mereka.
BAB II
16
9http://alwesius.blogspot.com/2011/10/pemindahan-hak-atas-saham-menurut-uu-no.html , (diakses
tanggal 20 J uni 2014).
17
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl933/pengalihan-saham-diam-diam, (diakses tanggal
25 juni 2014)
Saham merupakan salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah
Perseroan Terbatas. Saham merupakan tanda penyertaan modal dalam suatu
perusahaan (PT) sebagai tanda bukti kepemilikan modal. Berdasarkan Pasal 48 ayat (1) UUPT,
saham tersebut dikeluarkan atas nama pemilikinya sehingga menjadi tanda bukti kepemilikan
atas saham suatu PT. Pihak yang akan atau ingin memiliki saham harus mememuhi
persyaratan kepemilikan saham yang dapat ditetapkan dalam anggaran dasar PT tersebut
dengan memperhatikan persyaratan yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Saham dapat dialihkan atau
dipindahtangankan. Pada dasarnya, peralihan kepemilikan saham dilakukan dengan
pembuatan akat peralihan yang dimana akta peralihan atau salinannya disampaikan kepada
pesero. Dalam hal peraliahan saham, Direksi wajib mencatat peralihan tersebut dan
melaporkannya kepada Menteri. Jika hal tersebut belum dilakukan maka Menteri menolak
permohonan persetujuan tersebut. Hal-hal tersebut diatur dalam Pasal 56 UUPT. Peralihan
saham tersebut tidak dapat dilakukan secara asal, harus mememnuhi persyaratan dalam
anggaran dasar sebagaimana yang diatur dalam Pasal 57 UUPT, yakni:
1. Keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham dengan
klasifikasi tertentu atau pemegang saham lainnya;
2. Keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari organ perseroan; dan/atau
3. Keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan tersebut tidak berlaku dalam hal pemindahan hak atas saham
disebabkan peralihan hak karena hukum kecuali berkenaan dengan pewarisan. Dalam saham
terdapat hak kepemilikan sehingga saham dpat diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia
sepanjang tidak ditentukan lain dalam anggaran dasar. Gadai atau jaminan fidusia atas saham
ini wajib dicatat dalam daftar pemegang saham. Saham yang diagunkan dengan gadai ataupun
jaminan fidusia tetap memiliki hak suara dan tetep pada pemegang saham. Hal-hal tersebut
diatur dalam Pasal 60 UUPT. Berdasarkan Pasal 62 UUPT, pemegang saham memiliki
hak untuk meminta perseroan untuk membeli saham yang dimilikinya dengan harga yang
wajar, jika pemegang saham tersebut tidak menyetujui tindakan perseroan yang dianggap
merugikan pemegang saham tersebut, berupa :
1. Perubahan anggaran dasar;
2. Pengalihan atau penjaminan kekayaan perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50%
kekayaan bersih perseroan; atau
3. Penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan
Hak-hak tersebut diatur dalam Pasal 52 ayat (1) UUPT, yakni:
1. Menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS;
2. Menerima pembayaran deviden dan sisa kekayaan hasil likuidasi:
3. Menjalankan hak lain berdasarkan UUPT.18
Hak tersebut di atas baru berlaku setelah dicatat dalam daftar pemegang saham atas
nama pemiliknya. Setiap saham memberikan kepada pemiliknya hak yang tidak dapat dibagi.
Dalam hal satu saham dimiliki oleh lebih dari satu orang, hak yang timbul dari saham tersebut
dengan cara menunjuk satu orang sebagai wakil bersama. Hal-hal tersebut diatur dalam Pasal
52 ayat (2) sampai dengan ayat (5) UUPT. Berdasarkan Pasal 53 UUPT, anggaran dasar
menetapkan satu klasifikasi saham atau lebih. Setiap saham dalam klasifikasi yang sama
memberikan kepada pemegang hak yang sama. Namun, dalam hal terdapat lebih dari satu
klasifikasi saham, anggaran dasar menetapkan salah satu di antaranya sebagai saham biasa.
Klasifikasi saham sebagaimana dimaksud di atas (lebih dari satu klasifikasi) antara lain:
1. Saham dengan hak suara atau tanpa hak suara;
2. Saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris;
3. Saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi
saham lain;
4. Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima deviden terlebih
dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian deviden secara kumulatif
atau non kumulatif;
18
http://adityoariwibowo.wordpress.com/2013/02/20/aspek-saham-dalam-undang-undang- nomor-
40-tahun-2007-tentang-perseroan-terbatas/, (diakses tanggal 3 Juli 2014)
5. Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima lebih dahulu dari
pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan perseroan dalam likuidasi.
Selain itu juga terdapat pembagian klasifikasi saham. Berdasarkan klasifikasi di atas,
menurut Ridwan Khairandy saham-saham tersebut dapat dibedakan menjadi:
1. Saham Biasa (common stocks/ordinary shares) Merupakan saham yang mempunyai hak
suara untuk mengambil keputusan RUPS mengenai segala hal yang berkaitan dengan
pengurusan perseroan, mempunyai hak untuk menerima deviden yang dibagikan dan
menerima sisa kekayaan hasil likuidasi. Hak suara yang dimiliki oleh pemegang saham biasa
dapat dimiliki juga oleh pemegang saham klasifikasi lain. Pemegang saham biasa ini tidak
memil,iki hak lebih tertentu dari pemegang saham klasifikasi lainnya.
2. Saham Yang Mengandung Atau Memiliki Keistimewaan ( preference shares) Merupakan
saham yang memiliki keunggulan atau keistimewaan daripada saham biasa. Keunggulan
tersebut di antaranya berkaitan dengan pembagian deviden, pembagian sisa kekayaan
perseroan setelah perseroan dibubarkan atau dilikuidasi.
3. Saham Utama (preference) Merupakan saham yang memiliki hak lebih dari saham biasa
dalam hal keuntungan dan saldo pada saat perseroan dilikuidasi.
4. Saham Utama Kumulatif Merupakan saham yang memiliki hak-hak lebih daripada saham
utama. Selain memiliki hak atas keuntungan dan saldo pada saat perseroan dilikuidasi,
juga memiliki hak atas deviden tunggakkan.
5. Saham Istimewa/Prioritas Merupakan saham yang memberikan kepada pemegangnya
hak berbicara khusus. Ini adalah kewenangan yang tidak diberikan Undang-Undang kepada
RUPS. Hal ini adalah hak yang termasuk dalam klausul oligarchie (klausul dalam anggaran
dasar PT dimana pemegang saham tertentu meimiliki hak-hak istimewa yang tidak dimiliki
pemegang saham lainnya). Pemilihan atau penunjukan Komisaris atau Direksi biasanya
terikat pada pencalonan yang dikemukakan oleh pemegang saham yang meimiliki hak
istimewa tersebut.
Selain jenis saham di atas, masih dikenal jenis saham lainnya, yakni: Saham Pendiri
merupakan saham yang diberikan sebagai balas jasa terhadap jasa-jasa para pendiri dalam
mendirikan dan mengembangkan perseroan. Disini tidak ada kewajiban penyetoran baik
berwujud uang maupun lainnya.
Sedangkan berdasarkan cara peralihan saham, saham dapat dibedakan menjadi:
1. Saham Atas Nama merupakan saham yang mencantumkan nama pemegang
saham atau pemiliknya sehingga peralihannya dilakukan dengan akta pemindahan hak
(cessie)
2. Saham Atas Tunjuk merupakan saham yang tidak mencantumkan nama pemegang atau
pemiliknya sehingga peralihannya dilakukan dengan penyerahan secara fisik.
Saham dapat dialihkan atau dipindah tangankan. Pada dasarnya, peralihan kepemilikan
saham dilakukan dengan pembuatan akat peralihan yang dimana akta peralihan atau
salinannya disampaikan kepada persero. Dalam hal peralihan saham, Direksi wajib mencatat
peralihan tersebut dan melaporkannya kepada Menteri. Jika hal tersebut belum dilakukan
maka Menteri menolak permohonan persetujuan tersebut. Hal-hal tersebut diatur dalam
Pasal 56 UUPT.19
19 2http://adityoariwibowo.wordpress.com/2013/02/20/aspek-saham-dalam-undang-undang -
nomor - 40-tahun-2007-tentang-perseroan-terbatas/,(diakses tanggal1April2014)
artinya setiap pemegang saham diberikan deviden sejumlah saham sehingga sejumlah
saham yang dimiliki investor bertambah dengan adanya pembagian di=eviden stock
tersebut.
1. Capital Gain
Capital gain merupakan selisih antara harga beli dan harga jual, dimana harga jual lebih
tinggi dari harga beli, capital gain terbentuk dengan adanya aktifitas perdagangan di pasar
sekunder. Misalnya seorang pemodal membeli saham BUMI dengan harga per lembar
Rp.5000 kemudian menjualnya dengan harga Rp.5500 per lembarnya, yang berarti pemodal
tersebut telah mendapatkan capital gain sebesar Rp.500 untuk setiap saham yang dijualnya.
Umumnya pemodal dengan orientasi jangka pendek untuk mengejar keuntungan
melalui capital gain.
Disamping 2 keuntungan tersebut, maka pemegang saham juga di mungkinkan untuk
mendapatkan:
1. Saham Bonus
Saham bonus (jika ada) yaitu saham yang dibagikan perusahaan kepada pemegang saham
yang diambil dari agio saham, agio saham adalah selisih antara harga jual terhadap harga
nominal saham tersebut pada saat perusahaan melakukan penawaran umum dipasar
perdana, misalnya setiap saham dengan nilai nominal Rp.500 dijual dengan harga Rp.800
maka setiap saham akan memberikan agio kepada perusahaan sebesar Rp.300 setiap
sahamnya.
Sedangkan kerugian yang bisa terjadi dalam investasi di saham, yaitu:
1. Tidak mendapat deviden
Perusahaan akan membagikan deviden jika operasi perusahaan menghasilkan keuntungan.
Dengan demikian perusahaan tidak dapat membagikan deviden jika perusahaan tersebut
mengalami kerugian. Dengan demikian potensi keuntungan pemodal untukmendapatkan
deviden ditentukan oleh kinerja perusahaan tersebut.
1. Capital Loss
Dalam aktifitas perdagangan saham, tidak selalu pemodal mendapatkan capital gain atau
keuntungan atas saham yang dijualnya. Ada kalanya investor menjual sahamnya lebih
rendah harganya dari harga belinya, dengan demikian investor mengalami capital loss.
Misalnya seorang investor membeli saham BUMI pada harga Rp.5000 per lembarnya,
namun beberapa waktu kemudian dijual dengan harga Rp.4500 per lembarnya, berarti
investor tersebut mengalami kerugian sebesar Rp.500 per lembarnya, kerugian tersebut
yang disebut capital loss.
Dalam jual beli saham, terkadang seorang investor untuk menghindari potensi kerugian
yang makin besar seiring dengan terus menurunnya harga saham, maka investor tersebut
rela menjual sahamnya dengan harga lebih rendah dari harga belinya, istilah ini dikenal
dengan Cut Loss.
1. Perusahaan bangkrut dan dilikuidasi
Jika suatu perusahaan bangkrut, maka tentu saja akan berdampak secara langsung kepada
pemegang saham perusahaan tersebut. Sesuai dengan peraturan pencatatan saham di bursa
efek. Dalam kondisi perusahaan dilikuidasi, maka pemeganng saham akan mendapat posisi
lebih rendah dibandingkan kreditor atau pemegang obligasi, dan jika masih terdapat sisa
baru akan dibagikan kepada pemegang saham.
1. Saham di delist dari bursa (delisting)
Resiko lain yang di hadapi oleh para investor adalah jika saham perusahaan dikeluarkan
dari pencatatan bursa efek (delist). Suatu saham perusahaan di delist di bursa umumnya
karena kinerja perusahaan yang buruk, misalnya dalam kurun waktu tertentu tidak pernah
diperdagangkan, mengalami kerugian beberapa tahun, tidak membagikan deviden secara
berturut-turut selama beberapa tahun dan berbagai kondisi lainnya sesuai dengan peraturan
pencatatan di bursa. Adapula perusahaan yang di delist keluar dari bursa dengan tujuan Go
Private, perusahan yang melakukan Go Private tidak merugikan investor karena perusahaan
penerbit saham tersebut melakukan Buy Back terhadap saham yg diterbitkan.
1. Saham di Suspend
Jika suatu saham di suspend atau diberhentikan perdagangannya oleh otoritas bursa efek.
Dengan demikian pemodal tidak dapat menjual sahamnya hingga saham yang
di suspend tersebut dicabut dari status suspend. Suspend biasanya berlangsung dalam waktu
singkat misalnya dalam 1 sesi perdagangan, 1 hari perdagangan namun dapat pula
berlangsung dalam kurun waktu beberapa hari perdagangan. Hal yang menyebabkan saham
di suspend yaitu suatu saham mengalami lonjakan harga yang luar biasa, suatu perusahaan
dipailitkan oleh kreditornya, atau berbagai kondisi lainnya yang mengharuskan otoritas
bursa menghentikan sementara perdagangan saham tersebut untuk kemudian diminta
konfirmasi lainnya. Sedemikian hingga informasi yang belum jelas tersebut tidak menjadi
ajang spekulasi, jika setelah didapatkan suatu informasi yang jelas, maka
status suspend atas saham tersebut dapat dicabut oleh bursa dan saham dapat
diperdagangkan lagi seperti semula.
1. Ulasan Lengkap
Pemegang saham dalam suatu perseroan terbatas dapat keluar dari perusahaan
dengan cara sebagai berikut:
1. Menjual saham tersebut kepada pemegang saham lain atau kepada pihak ketiga;
2. Meminta Perseroan untuk membeli kembali saham tersebut (buy back shares).
1. Menjual Saham Tersebut Kepada Pihak Lain atau Kepada Pihak Ketiga
Untuk menjual/mengalihkan saham di dalam suatu perseroan terbatas, pertama-
tama Anda perlu memperhatikan ketentuan Pasal 55 sampai dengan Pasal
58 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (“UUPT”), khususnya sebagai berikut:
1. Anggaran dasar Perseroan mengatur mengenai cara pemindahan hak atas
saham sesuai dengan peraturan perundang-undangan;[1]
2. Anggaran dasar Perseroan dapat mengatur persyaratan mengenai
pemindahan hak atas saham, yaitu:[2]
a. keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham dengan
klasifikasi tertentu atau pemegang saham lainnya;
b. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Organ Perseroan;
c. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang
berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Dalam hal anggaran dasar mengharuskan pemegang saham penjual
menawarkan terlebih dahulu sahamnya kepada pemegang saham klasifikasi
tertentu atau pemegang saham lain, dan dalam jangka waktu 30 hari terhitung
sejak tanggal penawaran dilakukan ternyata pemegang saham tersebut tidak
membeli, maka pemegang saham penjual dapat menawarkan dan menjual
sahamnya kepada pihak ketiga;[3]
4. Setiap pemegang saham penjual yang diharuskan menawarkan sahamnya
berhak menarik kembali penawaran tersebut, setelah lewatnya jangka waktu 30
hari;[4]
5. Kewajiban menawarkan kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau
pemegang saham lain hanya berlaku 1 kali.[5]
Dengan melihat pengaturan di atas, dapat dikatakan bahwa pengalihan saham
perlu memperhatikan ketentuan mengenai tata cara pengalihan saham yang
diatur di dalam anggaran dasar Perseroan, khususnya pengaturan mengenai
keharusan menawarkan terlebih dahulu saham tersebut di antara para
pemegang saham perseroan dan keharusan untuk mendapatkan persetujuan
Organ Perseroan atau instansi yang berwenang terlebih dahulu.
Pemindahan Hak Atas Saham dengan Persetujuan Organ Perseroan
Dalam hal anggaran dasar perseroan mengatur keharusan untuk mendapatkan
persetujuan terlebih dahulu dari organ perseroan, maka harus diperhatikan
ketentuan Pasal 59 UUPT sebagai berikut:
1. Pemberian persetujuan pemindahan hak atas saham yang memerlukan persetujuan organ
perseroan atau penolakannya harus diberikan secara tertulis dalam jangka waktu paling
lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal organ perseroan menerima
permintaan persetujuan pemindahan hak tersebut;
2. Dalam hal jangka waktu tersebut telah lewat dan organ perseroan tidak memberikan
pernyataan tertulis, organ perseroan dianggap menyetujui pemindahan hasl atas saham
tersebut;
3. Dalam hal pemindahan hak atas saham disetujui oleh Organ Perseroan, pemindahan hak
harus dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak
tanggal persetujuan diberikan.
Adapun yang dimaksud dengan organ perseroan adalah Rapat Umum
Pemegang Saham (“RUPS”), Direksi, dan Dewan Komisaris.[6] Menurut hemat
kami, sebaiknya anggaran dasar suatu perseroan mengatur bahwa pengalihan
saham dalam perseroan harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari
RUPS untuk setidaknya dapat melindungi kepentingan pemegang saham,
dengan melihat salah satu hak pemegang saham adalah untuk menghadiri dan
mengeluarkan suara dalam RUPS.[7]
Pengalihan Saham dengan Persetujuan RUPS
Dalam hal Anggaran Dasar mengatur bahwa pengalihan saham memerlukan
persetujuan RUPS, maka untuk menyelenggarakan RUPS dimaksud, pemegang
saham harus terlebih dahulu meminta Direksi untuk menyelenggarakan RUPS.
Hal ini diatur di dalam Pasal 79 dan 80 ayat (1) dan (2) UUPT sebagai berikut:
Pasal 79 UUPT:
1. Direksi menyelenggarakan RUPS tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat
(2) dan RUPS lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (4) dengan didahului
pemanggilan RUPS.
2. Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas
permintaan:
a. 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10
(satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara,
kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil; atau
b. Dewan Komisaris.
3. Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Direksi dengan Surat
Tercatat dengan disertai alasannya.
4. Surat Tercatat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang disampaikan oleh pemegang
saham, tembusannya disampaikan kepada Dewan Komisaris.
5. Direksi wajib melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari
terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima.
6. Dalam hal Direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(5),
1. permintaan penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
diajukan kembali oleh Dewan Komisaris; atau
2. Dewan Komisaris melakukan pemanggilan sendiri RUPS, sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b.
7. Dewan Komisaris wajib melakukan pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) huruf a dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal
permintaan penyelenggaraan RUPS diterima.
8. RUPS yang diselenggarakan Direksi berdasarkan panggilan RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan mata acara rapat lainnya yang dipandang perlu
oleh Direksi.
9. RUPS yang diselenggarakan Dewan Komisaris berdasarkan panggilan RUPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b dan ayat (7) hanya membicarakan masalah
yang berkaitan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
10. Penyelenggaraan RUPS Perseroan Terbuka tunduk pada ketentuan Undang-Undang ini
sepanjang ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal tidak
menentukan lain.
Pasal 80 ayat (1) dan (2) UUPT:
Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (5) dan ayat (7), pemegang saham yang
meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan
negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan untuk
menetapkan pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS
tersebut.
1. Ketua pengadilan negeri setelah memanggil dan mendengar pemohon,
Direksi dan/atau Dewan Komisaris, menetapkan pemberian izin untuk menyelenggarakan RUPS
apabila pemohon secara sumir telah membuktikan bahwa persyaratan telah dipenuhi dan
pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS.
Menjawab pertanyaan di atas, Anda tidak secara detail mengenai persentase
kepemilikan saham minoritas. Akan tetapi menurut ketentuan di atas, maka
dalam hal pemegang saham ingin menyelenggarakan RUPS yang salah satu
agendanya adalah mengalihkan saham miliknya di dalam Perseroan, maka
terlebih dahulu pemegang saham tersebut harus meminta kepada Direksi
perseroan melalui surat tercatat yang memuat alasan untuk
diselenggarakannya RUPS.
Atau apabila pemegang saham tersebut secara akumulasi tidak mewakili 1/10
(satu persepuluh) atau lebih dari jumlah saham dengan hak suara (kecuali
ditentukan lain dalam anggaran dasar), maka pemegang saham
bersangkutan dapat meminta kepada Dewan Komisaris untuk membuat
permintaan tertulis yang ditujukan kepada Direksi perihal penyelenggaraan
RUPS dimaksud. Direksi wajib melakukan pemanggilan RUPS dalam waktu 15
(lima belas) hari terhitung sejak permintaan tersebut diterima, dan apabila
Direksi lalai untuk melakukan pemanggilan RUPS setelah lewat jangka waktu
dimaksud, maka:
Permintaan penyelenggaraan RUPS sebagaimana diajukan kembali kepada Dewan Komisaris,
dalam hal pemegang saham meminta penyelenggaraan RUPS melalui Direksi
1. Dewan Komisaris melakukan pemanggilan sendiri RUPS, dalam hal
permintaan RUPS berasal dari Dewan Komisaris.
Dalam hal Dewan Komisaris juga lalai melakukan pemanggilan RUPS dalam
waktu 15 (lima belas) hari terhitung sejak permintaan diterima, maka pemegang
saham minoritas yang meminta penyelenggaraan RUPS tersebut dapat
mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan untuk menetapkan izin kepada
pemohon untuk melakukan sendiri pemanggilan RUPS.
Apabila keseluruhan prosedur di atas telah dilakukan, maka selanjutnya,
dilakukanlah pemanggilan RUPS oleh pihak yang berkepentingan (Direksi/Dewan
Komisaris (dalam hal Direksi lalai melakukan pemanggilan RUPS menurut Pasal
79 UUPT)/pemegang saham yang bersangkutan (setelah mendapat izin dari
ketua pengadilan negeri, dalam hal Direksi dan Dewan Komisaris lalai untuk
melakukan pemanggilan RUPS)).
Adapun tata cara pemanggilan RUPS diatur di dalam Pasal 82 dan 83
UUPT sebagai berikut:
Pasal 82 UUPT
Pemanggilan RUPS dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari
sebelum tanggal RUPS diadakan, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan
tanggal RUPS.
1. Pemanggilan RUPS dilakukan dengan Surat
Tercatat dan/atau dengan iklan dalam Surat Kabar.
2. Dalam panggilan RUPS dicantumkan tanggal,
waktu, tempat, dan mata acara rapat disertai pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan
dalam RUPS tersedia di kantor Perseroan sejak tanggal dilakukan pemanggilan RUPS sampai
dengan tanggal RUPS diadakan.
3. Perseroan wajib memberikan salinan bahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pemegang saham secara cuma-cuma jika diminta.
4. Dalam hal pemanggilan tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan panggilan tidak sesuai dengan
ketentuan ayat (3), keputusan RUPS tetap sah jika semua pemegang saham dengan hak suara
hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat.
2. Pasal 83 UUPT
Bagi Perseroan Terbuka, sebelum pemanggilan RUPS dilakukan wajib didahului dengan
pengumuman mengenai akan diadakan pemanggilan RUPS dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal.
Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat
14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS.
Apabila pemanggilan RUPS sudah dilakukan, maka pada saat pelaksanaan RUPS
perlu diperhatikan ketentuan mengenai kuorum kehadiran yang diatur di
dalam Pasal 86 UUPT sebagai berikut:
Pasal 86 UUPT
RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali Undang-Undang dan/atau anggaran
dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih besar.
1. Dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai,
dapat diadakan pemanggilan RUPS kedua.
2. Dalam pemanggilan RUPS kedua harus disebutkan bahwa RUPS pertama
telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum.
3. RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah dan berhak
mengambil keputusan jika dalam RUPS paling sedikit 1/3 (satu pertiga) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali anggaran dasar menentukan jumlah
kuorum yang lebih besar.
4. Dalam hal kuorum RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
tidak tercapai, Perseroan dapat memohon kepada ketua pengadilan negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan atas permohonan Pesreroan agar
ditetapkan kuorum untuk RUPS ketiga.
Pemanggilan RUPS ketiga harus menyebutkan bahwa RUPS kedua telah dilangsungkan dan tidak
mencapai kuorum dan RUPS ketiga akan dilangsungkan dengan kuorum yang telah ditetapkan
oleh ketua pengadilan negeri.
Penetapan ketua pengadlan negeri mengenai kuorum RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pemanggilan RUPS kedua dan ketiga dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
sebelum RUPS kedua atau ketiga dilangsungkan.
RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 (sepuluh)
hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya
dilangsungkan.
Dengan melihat fakta bahwa pemegang saham mayoritas tidak dapat ditemukan
serta peraturan Pasal 86 UUPT di atas, dengan demikian dapat diasumsikan
RUPS pertama tidak mencapai kuorum kehadiran yang dipersyaratkan. Sehingga
harus dilakukan lagi pemanggilan RUPS kedua, di mana kuorum kehadiran
adalah paling sedikit 1/3 (satu pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan
hak suara hadir atau diwakili, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar.
Apabila RUPS kedua telah dilangsungkan dan RUPS kembali tidak mencapai
kuorum yang dipersyaratkan, maka dapat dilakukan permohonan kepada ketua
pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
Perseroan, untuk ditetapkan kuorum untuk RUPS ketiga.
Dalam kasus ini Anda tidak menjelaskan secara rinci mengenai persentase
kepemilikan saham pemegang saham mayoritas dan pemegang saham
minoritas. Namun demikian Anda masih dapat menyelenggarakan suatu RUPS
dengan tata cara seperti yang telah dijelaskan di atas. Adapun RUPS dapat
mengambil keputusan yang sah dan mengikat sesuai dengan pengaturan yang
terdapat di dalam Pasal 87 UUPT sebagai berikut:
1. Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
2. Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan adalah sah jika disetujui lebih dari 1/2 (satu per
dua) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan kecuali Undang-Undang dan/atau
anggaran dasar menentukan bahwa keputusan adalah sah jika disetujui oleh jumlah
suara setuju yang lebih besar.”
2. Meminta Perseroan untuk Membeli Kembali Saham Tersebut ( Buy Back Shares)
Selain mengalihkan saham tersebut kepada pemegang saham lain ataupun
kepada pihak ketiga, pemegang saham juga dapat meminta perseroan untuk
membeli kembali saham tersebut. Pada dasarnya, pembelian kembali saham
oleh perseroan adalah sama dengan pembelian/pengalihan saham oleh pihak
ketiga, yaitu melalui mekanisme RUPS (beserta panggilannya). Akan tetapi ada
beberapa pengaturan khusus terkait pembelian kembali saham oleh Perseroan
di dalam UUPT, yaitu sebagai berikut:
1. Pembelian kembali saham tersebut tidak menyebabkan kekayaan bersih Perseroan
menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang telah
disisihkan;[8]
2. Jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh Perseroan dan gadai saham
atau jaminan fidusia atas saham yang dipegang oleh Perseroan sendiri dan/atau Perseroan
lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh Perseroan, tidak
melebihi 10% dari jumlah modal yang ditempatkan dalam Perseroan, kecuali diatur lain
dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;[9]
3. Saham yang dibeli kembali hanya boleh dikuasai Perseroan paling lama 3 (tiga) tahun yang
kemudian setelah jangka waktu tiga tahun telah lewat maka Perseroan dapat menentukan
apakah saham tersebut akan dijual atau ditarik kembali dengan cara pengurangan modal.
[10]
4. Pembelian kembali saham hanya boleh dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS, kecuali
ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Persetujuan
RUPS tersebut sah apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai panggilan rapat
kuorum, dan persetujuan jumlah suara untuk perubahan anggaran dasar sebagaimana
dalam ketentuan Pasal 88 UUPT dan/atau anggaran dasar perseroan, yaitu:
a. RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari 2/3 (dua pertiga) bagian
dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, dan keputusan adalah sah
jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan,
kecuali Undang-Undang dan/atau Anggaran Dasar Perseroan menentukan jumlah kuorum
yang lebih besar
b. Dapat diselenggarakan RUPS kedua jika RUPS pertama telah dilangsungkan dan
tidak mencapai kuorum. RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam
RUPS paling sedikit 3/5 (tiga perlima) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara
hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3
(dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar
menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS
yang lebih besar.
c. Dalam hal RUPS kedua tidak mencapai kuorum, maka Perseroan dapat memohon
kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
Perseroan atas permohonan Perseroan agar ditetapkan kuorum untuk RUPS ketiga.
d. Pemanggilan RUPS kedua harus disebutkan bahwa RUPS pertama telah
dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum, dan panggilan RUPS ketiga harus menyebutkan
bahwa RUPS kedua telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum.
e. Pemanggilan RUPS kedua dan ketiga dilakukan dalam jangka waktu paling lambat
7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua atau ketiga dilangsungkan.
f. RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10
(sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya
dilangsungkan.[11]
5. Saham yang dikuasai Perseroan karena pembelian kembali tidak dapat
digunakan untuk mengeluarkan suara dalam RUPS dan tidak diperhitungkan
dalam menentukan jumlah kuorum yang harus dicapai sesuai ketentuan UUPT
dan/atau anggaran dasar Perseroan.[12]
6. Saham yang dikuasai Perseroan karena pembelian kembali tidak
mendapatkan pembagian dividen.[13]
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
[1] Pasal 55 UUPT
[7] Pasal 52 UUPT
Peralihan atas saham berpengaruh kepada anggaran dasar atau akta pendirian
perusahaan. Setelah terjadi peralihan maka harus dilakukan perubahan anggaran
dasar perusahaan dengan memasukan nama pemegang saham baru dan
mengeluarkan nama pemegang saham lama dari anggaran dasar. Nah, perubahan
anggaran dasar yang baru dengan susunan pemegang saham baru tersebut harus
disampaikan pemberitahuan kepada Kementrian Hukum dan Ham guna
mendapatkan pengesahan selambat-lambatnya tiga puluh hari.
1. Goodwill sebagai selisih lebih antara biaya perolehan dan bagian (interest) perusahaan pengakuisisi atas
nilai wajar aktiva dan kewajiban yang dapat diidentifikasi pada tanggal transaksi pertukaran dan disajikan
sebagai aktiva (PSAK nomor 22 paragraf 79)
Goodwill adalah kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan laba di atas laba normal dari lain-lain
perusahaan yang sejenis (dalam industri yang sama). Goodwill berhubungan dengan atau timbul dari berbagai
macam faktor yang sulit diukur secara kuantitatif, seperti :
- Hubungan yang baik / memuaskan antara perusahaan dengan konsumen
- Lokasi perusahaan yang strategis
- Efisiensi dalam aktifitas produksi
- Hubungan baik antar karyawan dalam perusahaan
- Kedudukan dalam persaingan yang menguntungkan
2. HAK PATEN adalah hak yang diberikan oleh pemerintah (instansi yang berwenang) kepada pemegangnya
untuk menggunakan atau mengawasi dan mengkomersilkan hasil temuannya.
Hak Paten diberikan untuk jangka waktu 17 tahun.
Apabila Hak Paten diperoleh dengan cara membeli, maka Hak Paten dicatat sebesar Harga Perolehannya,
yaitu sebesar jumlah uang yang dibayarkan kepada pihak penjual atau seharga aktiva yang diserahkan dalam
transaksi pertukaran.
Apabila Hak Paten diperoleh melalui riset dan penelitian yang dilakukan oleh perusahaan sendiri, maka
Harga Perolehan Hak Paten terdiri dari semua biaya yang dikeluarkan untuk penelitian tersebut, biaya
pendaftaran dan honor pengacara.
Hak Paten harus diamortisasi selama masa kegunaannya, dengan batas waktu maksimum 17 tahun.
Apabila karena sesuatu hal Paten tersebut sudah tidak lagi memberikan manfaat atau sudah kehilangan nilai
komersialnya (tidak laku lagi), maka nilai buku hak paten harus dihapuskan
HAK CIPTA (COPYRIGHT) adalah hak yang diberikan oleh pemerintah (instansi yang berwenang) kepada
pengarang, pencipta lagu, musik, barang-barang seni dan lainnya untuk mempublikasikan , menerbitkan,
mengawasi, dan mengkomersialkan hasil ciptaannya.
Hal cipta diberikan untuk jangka waktu 28 tahun, dengan ditambah kemungkinan perpanjangan Hak Cipta
selama 28 tahun kedua.
Komponen Harga Perolehan Hak Cipta dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti halnya Hal Paten
Harga Perolehan Hak Cipta harus diamortisasi selama hak cipta tersebut memberikan manfaat, dan harus
dihapuskan pada saat Hak Cipta sudah tidak lagi bermanfaat.
Amortisasi Hak Cipta dilakukan dengan mendebet rekening biaya dan mengkredit rekening Hak Cipta.
FRANCHISES adalah hak monopoli yang diberilan oleh instansi pemerintah untuk menggunakan fasilitas
umum yang manfaatnya akan dinikmati oleh masyarakat.
Franchises bisa diberikan untuk waktu yang terbatas atau untuk waktu yang tidak terbatas.
Franchises yang diberikan untuk waktu yang terbatas harus diamortisasi selama jangka waktu tersebut. CAP
DAN MERK DAGANG adalah suatu tanda yang dipakai untuk mengidentifikasikan suatu produk atau jasa
yang dihasilkan oleh perusahaan tertentu.
Apabila Cap & Merk Dagang diperoleh dengan cara membeli, maka Harga Perolehannya diukur dengan
jumlah uang yang dibayarkan ditambah dengan biaya registrasi dan biaya lain dalam usaha untuk
mendapatkan cap dan merk dagang tersebut.
Apabila Cap dan Merk Dagang dibuat sendiri oleh perusahaan, maka Harga Perolehan adalah semua biaya
yang dikeluarkan sampai dengan Cap & Merk Dagang tersebut bisa digunakan.
Menurut Abdulkadir Muhammad, salah satu hak khusus yang melekat terhadap Hak Kekayaan Intelektual
termasuk diantaranya Hak Cipta, adalah Hak Ekonomi, yaitu hak untuk memperoleh keuntungan ekonomi
atas kekayaan intelektual. Dikatakan Hak Ekonomi karena Hak Kekayaan Intelektual adalah benda yang
dapat dinilai dengan uang. (Abdulkadir Muhammad, 2007:23).
Baca Juga: Perbedaan Akta Otentik & Akta di Bawah Tangan yang Wajib
Anda Ketahui
Legalisasi
Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris telah menjelaskan bahwa
berwenang untuk mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftarkannya dalam buku khusus. Ketentuan ini merupakan
legalisasi terhadap akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh para pihak yang terlibat
untuk kemudian disahkan di hadapan notaris dan didaftarkan dalam buku khusus yang
disediakan oleh notaris. Artinya, para pihak yang membuat akta di bawah tangan tersebut
menandatanganinya di hadapan notaris, sehingga tanggal penandatanganan dokumen
adalah sama dengan tanggal legalisasi dari notaris. Dengan adanya legalisasi, notaris
menjamin keabsahan tanda tangan para pihak yang terlibat.
3. Waarm
erking
Pasal 15 ayat (2) huruf b UU Jabatan Notaris juga menyebutkan bahwa notaris
berwenang untuk membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus yang disediakan oleh notaris. Proses inilah yang disebut
dengan Waarmerking, di mana notaris hanya akan mendaftarkan akta di bawah
tangan yang sudah ditandatangani para pihak yang terlibat ke dalam buku khusus.
Dengan kata lain, akta di bawah tangan ini tidak ditandatangani di hadapan
notaris, namun sudah ditandatangani sebelumnya sehingga tanggal
penandatanganan dan tanggal pendaftaran berbeda.
Agar tidak keliru dan salah pengertian, ada baiknya Anda menanyakan langsung
perbedaan ketiga istilah tersebut di LIBERA.id. Hanya di LIBERA, Anda dapat
melakukan konsultasi masalah hukum secara gratis dan lebih mudah, karena Anda
dapat mengaksesnya kapan dan di mana saja dengan koneksi Internet.
Dalam menjalankan jabatannya, Notaris tunduk pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 (“UU
Jabatan Notaris”) dan UU terkait lainnya.
Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a UU Jabatan Notaris, Notaris, dalam jabatannya, berwenang
mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan, dengan
mendaftar dalam buku khusus. Ketentuan ini, merupakan legalisasi terhadap akta di bawah tangan,
yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan, atau oleh para pihak, di atas kertas yang bermaterai
cukup, dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus, yang disediakan oleh Notaris. Ringkasnya,
poin dari legalisasi ini adalah, para pihak membuat suratnya, dibawa ke Notaris, lalu
menandatanganinya di hadapan Notaris, kemudian dicatatkan dalam Buku Legalisasi. Tanggal
pada saat penandatanganan dihadapan Notaris itulah, sebagai tanggal terjadinya perbuatan
hukum, yang melahiran hak dan kewajiban antara para pihak.
Penjelasan detailnya, Notaris dapat pula membacakan/menjelaskan isi dari surat tersebut atau
hanya mengesahkan tanda tangan dan kepastian tanggalnya saja. Poinnya tetap pada para pihak
harus membubuhkan tanda tangannya di hadapan Notaris, untuk kemudian tanda tangan tersebut
disahkan olehnya. Notaris menetapkan kepastian tanggal, sebagai tanggal ditandatanganinya
perjanjian di bawah tangan antara para pihak. Notaris kemudian menuliskan redaksi Legalisasi
pada surat tersebut.
Pengesahan tanda tangan dan penetapan kepastian tanggal, dicatatkan dalam buku khusus, yaitu
Buku Legalisasi. Notaris yang menyaksikan dan mengesahkan tanda tangan, menetapkan
kepastian tanggal, sebagai pejabat yang diberi kewenangan oleh UU untuk menjelaskan/
membenarkan/ memastikan bahwa benar pada tanggal sebagaimana tertulis dalam Buku
Legalisasi, para pihak membuat perjanjian di bawah tangan dan menghadap padanya untuk
menandatangani surat tersebut. Redaksi yang tertulis di lembar legalisasi tersebut, sebatas itulah
pertanggungjawaban Notaris.
Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b UU Jabatan Notaris, Notaris, dalam jabatannya, berwenang pula
membukukan surat di bawah tangan, dengan mendaftar dalam buku khusus. Buku khususnya
disebut dengan Buku Pendaftaran Surat Di Bawah Tangan. Dalam keseharian, kewenangan ini
dikenal juga dengan sebutan Pendaftaran surat dibawah tangan dengan kode: “Register”
atau Waarmerking atau Waarmerk.
Poin dari pendaftaran ini, para pihak telah menandatangani suratnya, baik sehari ataupun
seminggu sebelumnya, kemudian membawa surat tersebut ke Notaris untuk didaftarkan ke dalam
Buku Pendaftaran Surat Di Bawah Tangan. Fungsinya, terhadap perjanjian/kesepakatan yang telah
disepakati dan ditandatangani dalam surat tersebut, selain para pihak, ada pihak lain yang
mengetahui adanya perjanjian/kesepakatan itu. Hal ini dilakukan, salah satunya untuk meniadakan
atau setidaknya meminimalisir penyangkalan dari salah satu pihak. Hak dan kewajiban antara para
pihak lahir pada saat penandatanganan surat yang telah dilakukan oleh para pihak, bukan saat
pendaftaran kepada Notaris. Pertanggungjawaban Notaris sebatas pada membenarkan bahwa
para pihak membuat perjanjian/kesepakatan pada tanggal yang tercantum dalam surat yang
didaftarkan dalam Buku Pendaftaran Surat Di Bawah Tangan.
Kembali ke pertanyaan yang Saudara sampaikan, berdasarkan uraian di atas, maka yang dapat
dilakukan oleh Notaris, bukanlah melegalisasi dokumen perjanjian, tetapi mendaftarkan dokumen
perjanjian ke dalam Buku Pendaftaran Surat Di Bawah Tangan (warmerking/Register).
Demikian, semoga membantu.
Dasar Hukum:
Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014.
Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1870
KUHPerdata. Akta otentik memberikan diantara para pihak termasuk para ahli warisnya atau
orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang
diperbuat/ dinyatakan di dalam akta ini.
Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat dalam suatu akta otentik merupakan perpaduan
dari beberapa kekuatan pembuktian dan persyaratan yang terdapat padanya. Ketiadaan salah
satu kekuatan pembuktian ataupun persyaratan tersebut akan mengakibatkan suatu akta otentik
tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat
(bindende)sehingga akta akan kehilangan keotentikannya dan tidak lagi menjadi akta otentik.
Dalam suatu akta otentik harus memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil[16].
1.Kekuatan pembuktian lahir Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir berarti kekuatan
pembuktian yang didasarkan atas keaadaan lahir akta itu sendiri, dan sebagai asas berlaku acta
publica probant sese ipsa yang berarti suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu berlaku atau dapat dianggap
sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya[17]. Berarti suatu akta otentik mempunyai
kemampuan untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik
2.Kekuatan Pembuktian Formil Artinya dari akta otentik itu dibuktikan bahwa apa yang
dinyatakan dan dicantumkan dalam akta itu adalah benar merupakan uraian kehendak pihak-
pihak. Akta otentik menjamin kebenaran tanggal, tanda tangan, komparan, dan tempat akta
dibuat.
Dalam arti formil pula akta notaris membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu yang
dilihat, didengar dan dialami sendiri oleh notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan
jabatannya. Akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian formil, terkecuali bila
si penanda tangan dari surat/ akta itu mengakui kebenaran tanda tangannya.3.Kekuatan
Pembuktian Materiil Bahwa secara hukum (yuridis) suatu akta otentik memberi kepastian tentang
peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam
akta.Kemudian selain dari kekuatan pembuktian maka berdasarkan UUJN agar suatu akta notaris
memiliki syarat otentisitas, maka pada saat pembuatan akta harus:1. Para penghadap yang
telah memenuhi syarat (Minimal berusia 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan
perbuatan hukum) menghadap Notaris di wilayah kerja notaris ybs tersebut;2. Para penghadap
tersebut harus dikenal notaris atau diperkenalkan padanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang
berumur paling sedikit 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau
diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.3. Para penghadap mengutarakan
maksudnya;4. Notaris mengkonstatir maksud dari para penghadap dalam sebuah akta;5.
Notaris membacakan susunan kata dalam bentuk akta kepada para penghadap dan dihadiri oleh 2
(dua) orang saksi yang memenuhi persyaratan;6. Segera setelah akta dibacakan para
penghadap, saksi dan notaris kemudian membubuhkan tandatangannya, yang berarti
membenarkan apa yang termuat dalam akta tersebut, dan penandatanganan tersebut harus
dilakukan pada saat tersebut.Kemudian berdasarkan atas undang-undang No.13 tahun 1985
tentang Bea Meterei disebutkan bahwa terhadap akta atau surat perjanjian dan surat-surat
lainnya, dalam hal ini termasuk yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat
pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan
atas dokumen tersebut bea meterei. Namun tidak adanya materai dalam suatu akta atau surat
perjanjian tidak mengakibatkan perbuatan hukumnya tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi
persyaratan sebagai alat pembuktian atau yang biasa disebut probationis causa yang berarti akta
mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja
untuk pembuktian dikemudian hari. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah
atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh syarat sah
perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dan apabila suatu akta atau surat yang dari
semula tidak diberi materai tapi kemudian ternyata perlu untuk dipergunakan sebagai alat bukti
di pengadilan maka pemberian materai dapat dilakukan belakangan. Maka suatu akta notaris
dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna apabila akta tersebut mempunyai
kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan memenuhi syarat otentisitas sebagaimana
dipersyaratkan dalam UUJN sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat
dibuktikan ketidakbenarannya. Dengan demikian barang siapa yang menyatakan bahwa suatu akta
otentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu. Apabila suatu akta
otentik ternyata tidak memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil maupun materil dan tidak
memenuhi syarat otentisitas maka akta otentik tidak lagi disebut sebagai akta otentik melainkan
hanya akta di bawah tangan.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan:
1. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh
penguasa menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan baik dengan maupun tanpa
bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di
dalamnya oleh yang berkepentingan. Syarat – syarat yang diperlukan agar suatu akta dapat
disebut sebagai suatu akta otentik adalah pertama suatu akta otentik harus memenuhi kekuatan
pembuktian lahir, formil dan materil; Kedua harus memenuhi syarat otentisitas seperti yang
dipersyaratkan dalam UUJN.
2.Kekuatan pembuktian dari suatu akta otentik adalah sempurna, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1870 KUHPerdata. Bahwa akta otentik memberikan diantara para pihak termasuk para ahli
warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang
apa yang diperbuat/ dinyatakan di dalam akta ini dan harus dinilai benar, sebelum dapat
dibuktikan ketidakbenarannya. Dengan demikian barang siapa yang menyatakan bahwa suatu akta
otentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu.
a. Kedudukan hukum Akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna tentang yang
termuat didalamnya (volledig bewijs). Pasal 1870 KUHPerdata menyatakan : “Bagi
para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-
orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu
bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya”. Artinya apabila satu
pihak mengajukan suatu akta otentik, Hakim harus menerimanya dan menganggap
apa yang dituliskan didalam akta tersebut sungguh telah terjadi sesuatu yang benar,
sehingga Hakim tidak boleh memerintahkan menambah bukti yang lain
(Sjaifurrachman, 2011: 118). Pada akta otentik langsung melekat nilai kekuatan
pembuktian yaitu sempurna (volledig) dan mengikat (bindende) (M.Yahya
Harahap:2011:583). Kualitas kekuatan pembuktian Akta Otentik tidak bersifat
memaksa (dwingend) atau menentukan (beslissend) dan terhadapnya dapat diajukan
bukti lawan.Seperti yang dijelaskan, derajat kekuatan pembuktiannya hanya sampai
pada tingkat sempurna dan mengikat, tetapi tidak memaksa dan menentukan.Oleh
karena itu, sifat nilai kekuatan pembuktiannya tidak bersifat imperatife. Dapat
dilumpuhkan dengan bukti lawan.
b. Kedudukan hukum dokumen yang di-Legalisir memperoleh kekuatan pembuktian
yang sama dengan akta otentik yaitu sebagai alat bukti yang sempurna. Pasal 1875
KUHPerdata menyatakan : “Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui
kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum
dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta
otentik bagi orang-orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang
yang mendapat hak dari mereka; ketentuan Pasal 1871 berlaku terhadap tulisan
itu”.
Terhadap Surat di bawah tangan yang dilegalisasi oleh Notaris, maka menurut H.M.
Imron, 2006:1) Notaris bertanggungjawab atas 4 (empat) hal, yaitu :
1) Identitas
a) Notaris berkewajiban meneliti identitas pihak-pihak yang akan
menandatangani surat/skta di bawah tangan (KTP, Paspor,SIM) atau
diperkenankan oleh orang lain.
b) Meneliti apakah cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
c) Meneliti apakah pihak-pihak yang berwenang yang menandatangani
surat/akta.
2) Isi akta Notaris wajib membacakan isi akta kepada pihak-pihak dan
menanyakan apakah benar isi akta yang demikian yang dikehendaki pihak-
pihak.
3) Tanda tangan
Mereka harus menandatangani di hadapan Notaris
4) Tanggal
Membubuhi tanggal pada akta di bawah tangan tersebut kemudian dibukukan
ke buku daftar yang telah disediakan untuk itu.
Tetapi apabila tanda tangan tersebut disangkal, maka pihak yang mengajukan
perjanjian tersebut wajib membuktikan kebenaran tanda tangan tersebut, hal tersebut
merupakan sebaliknya dari yang berlaku pada akta otentik.
c. Kedudukan hukum dokumen yang di-Waarmerking dapat dijadikan sebagai alat bukti
walaupun sifatnya lemah, tidak sekuat pembuktian akta legalisasi karena tidak
terjamin tanggal akta maupun pihak-pihak yang menyatakannya. Sederhananya, akta
atau surat waarmerking hanya menyatakan bahwa surat atau akta tersebut memang
pernah ada (eksis), namun tidak diketahui apakah benar-benar dibuat oleh para pihak
yang menandatanganinya. Terkait kelemahan kekuatan hukum akta waarmerking,
Pasal 1875 KUHPerdata menyatakan bahwa kekuatan pembuktian akta dibawah
tangan menjadi setara akta otentik dengan cukup mengakui kebenaran akta di bawah
tangan tersebut karena dengan cara demikian tidak ada lagi hal-hal yang perlu
dibuktikan.
Dalam putusan Mahkamah Agung ini Hakim menyatakan bahwa menurut Pasal 1880 BW
jo Pasal 6 Ordonantie menegaskan “ keabsahan dan fungsi tunggal dari waarmerking
untuk akta di bawah tangan dinyatakan tidak sah apabila akta di bawah tangan tesebut
tidak dilegalisir atau di waarmerking “ jadi sah tidaknya waarmerking bukan pada pejabat
yang ditunjuk tetapi ada/atau tidaknya waarmerking.
Kekuatan pembuktian pada ada akta di bawah tangan yang di lakukan waarmerking oleh
Notaris dapat di jelaskan bahwa akta di bawah tangan tersebut memiliki kekuatan lahiriah
akta di bawah tangan. Artinya terletak pada di akui atau tidaknya akta tersebut. Maka para
pihak yang terkait dengan akta tersebut, memiliki kewajiban untuk membenarkan atau
menyanggah kebenaran akta tersebut. Apabila ada salah satu pihak yang tidak mengakui
kebenaran akta tersebut, maka akta tersebut kehilangan kekuatan lahirnya.
Pada proses pembuktian di pengadilan, akta di bawah tangan yang di waarmerking belum
dapat membantu hakim, karena tidak terdapatnya jaminan kepastian mengenai tanggal,
tandatangan, isi dan tempat akta itu dibuat. Notaris tidak memberikan jaminan kepastian
tersebut. Notaris hanya dapat memberikan keterangan bahwa akta tersebut telah di
daftarkan ke dalam buku khusus waarmerking. Sedangkan isi dari akta dibawah tangan
yang di buat oleh para pihak, Notaris tidak mengetahuinya karena Notaris tidak
berwenang membacakan isi dari akta yang telah di buat dan di tandatangani oleh para
pihak yang bersangkutan. Di tinjau dari sudut kekuatan hukumnya untuk pembuktian,
maka tentu saja lebih kuat legalisasi daripada register (waarmerking).
Bukti tulisan atau surat menurut Pasal 1866 ayat (1) KUHPerdata ditempatkan pada
tempat teratas, yang sekaligus menjelaskan pentingnya bukti tulisan dalam pembuktian
perkara perdata dan bukti tulisan itu sendiri pada dasarnya sudah menjadi alat bukti.
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, menjelaskan, alat bukti itu adalah sesuatu yang sebelum
diajukan ke persidangan, memang sudah berfungsi sebagai alat bukti. Sebagai contoh,
akta notaris, walaupun belum diajukan ke muka persidangan, sudah merupakan bukti (Ali
Achmad dan Wiwie Heryani, 2013:73).
Menurut M. Yahya Harahap (2005:563-565), fungsi tulisan atau akta dari segi hukum
pembuktian, ialah:
1. Berfungsi sebagai formalitas kausa;
2. Berfungsi sebagai alat bukti; dan
3. Fungsi robationis causa (sebagai syarat atas keabsahan suatu tindakan hukum yang
dilakukan).
Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 164. 284, 285, 293, 294, Rbg. Pasal 1867 -1894
KUHPerdata ( BW ). Pengertian alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang
memuat tanda-tanda baca dimaksud mencurahkan isi hati dan buah pikiran dipergunakan
sebagai pembuktian. Adapun alat bukti tertulis dimaksud berupa : a. Akta, yakni surat
yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar dan suatu hak atau
perikatan yang dimuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Akta tersebut
terdiri dari :
1. AKTA OTENTIK, yaitu akta yang dibuat oleh dihadapan pejabat umum yang diberi
wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan yang telah ditetapkan.(psl.285
Rbg.)
SYARAT FORMILNYA :
- Pada prinsipnya bersifat partai.
- Dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang. - Memuat tanggal (hari),
bulan, dan tahun pembuatan.
- Ditandatangani oleh yang membuat.
SYARAT MATERILNYA :
- Isi yang tertuang didalamnya berhubungan langsung dengan apa yang diperjanjikan atau
diperkarakan.
- Isi akta tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, dan ketertiban umum.
- Pembuatannya sengaja untuk dipergunakan untuk alat bukti. Adapun kekuatan nilai
pembuktiannya adalah sempurna (volledeg) dan mengikat (bidende), sepanjang tidak
dilawan dengan alat bukti yang sederajat dengannya. (psl. 285 Rbg. Psl.1868
KUHPerdata.). manakala ada perlawanan dengan akta yang sederajat dengannya, maka
alat bukti otentik dimaksud kekuatan nilai pembuktiannya menjadi bukti permulaan,
sehingga harus ditambah dengan alat bukti lain, agar mencapai batas minimal
pembuktian.
2. AKTA DIBAWAH TANGAN.
Akta Dibawah Tangan, ialah; akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak
tanpa melibatkan/bantuan pejabat umum yang berwenang.
SYART FORMILNYA :
- Bersifat partai.
- Pembuatannya tidak dihadapan pejabat.
- Harus bermaterai,
- Ditandatangani oleh kedua belah pihak yang melakukan perikatan/perjanjian., (yang
disamakan dengan tandatangan ini ialah cap jempol. ( psl. 286 Rbg. Psl. 1.a Ordonansi
1867 No.29, (Akta seperti ini dapat disyahkan oleh Pejabat/Notaris, dan bertanggal. Dan
pejabat tersebut harus menyatakan/menerangkan bahwa ia kenal atau diperkenalkan
dengan orang yang bercap jempol tersebut, dan isi surat itu sudah dibacakan dengan
terang dihadapan orang itu sebelum dibubuhkan cap jempolnya.Surat itu dibukukan oleh
Pejabat.)
SYARAT MATERILNYA :
- Isi Akta berkaitan langsung dengan apa yang diperjanjikan/diperkarakan.
- Isi akta tidak beretentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, dan ketertiban umum,
- Sengaja dibuat untuk alat bukti. Adapun kekuatan nilai pembuktiannya sama dengan
bukti otentik, selama isi dan tandatangannya diakui atau tidak disanggah. Akan tetapi bila
isi dan tandatangannya tidak diakui atau disanggah, maka nilai kekuatan pembuktiannya
menjadi bukti permulaan, sehingga harus ditambah dengan bukti yang lain.
3. AKTA SEPIHAK.
Akta sepihak adalah akta yang ditulis dan ditanda tangani sendiri (sepihak). Contoh bukti
pembayaran dengan kwetansi.
SYARAT FORMILNYA :
-Ditulis sendiri seluruhnya oleh yang menandatangani, atau sekurang-kurangnya menulis
sendiri dengan huruf (untuk sejumlah uang ), bukan dengan angka.
- Diberi tanggal, bulan dan tahun, serta ditandatangani oleh pembuat.
SYARAT MATERILNYA :
- Isi Akta berkaitan dengan yang diperjanjikan/diperkarakan, - Isi Akta tidak bertentangan
dengan hukum, susila, agama,dan ketertiban umum.
- Sengaja dibuat untuk alat bukti. Adapun kekutan nilai pembuktiannya sama dengan akta
otentik, bila isi dan tandatangannya diakui. Bila tidak diakui isi dan tandatangannya, maka
jadilah ia sebagai bukti permulaan, sehingga diperlukan bukti tambahan, dan nilai
pembuktiannyapun menjadi bebas ( tidak mengikat ).
Menurut Pasal 1888 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sudah memberikan
pengaturan mengenai kekuatan alat bukti surat, yaitu: Kekuatan pembuktian suatu bukti
tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan
serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-
ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan
mempertunjukkannya. Bilamana salah satu pihak yang bersengketa membantah keaslian
alat bukti surat yang diajukan oleh pihak lawan maka hakim dapat melakukan
pemeriksaan terhadap bantahan itu dan kemudian mempertimbangkan dalam putusan
akhir mengenai nilai pembuktiannya. Apabila dalam pemeriksaan persidangan ternyata
ada alat bukti tertulis tersebut ada pada badan hukum maka hakim dapat memerintahkan
badan hukum tersebut untuk segera menyediakan alat bukti tersebut. Masing-masing alat
bukti yang berupa surat atau tulisan itu mempunyai bobot kekuatan pembuktian sendiri-
sendiri dan hakim yang akan menentukan bobot atau nilai pembuktian tersebut.
Pada prinsipnya kekuatan bukti suatu alat bukti surat terletak pada akta aslinya. Foto copy
dan salinan akta yang aslinya masih ada hanya dapat dipercaya apabila foto copy dan
salinan itu sesuai dengan aslinya. Dalam hubungan ini hakim dapat memerintahkan
kepada para pihak agar memperlihatkan aslinya sebagai bahan perbandingan tetapi
apabila lawan mengakui atau tidak membantahnya maka foto copy dan salinan akta
tersebut mempunyai kekuatan pembuktian seperti yang asli.
1. Ulasan Lengkap
Terima kasih atas pertanyaan Anda
Mencermati pertanyaan yang Anda ajukan, sejauh ini saya berasumsi bahwa pertanyaan
Anda tersebut adalah dalam konteks hubungan keperdataan. Dalam membuktikan suatu
perkara perdata, yang dicari adalah kebenaran formil, yaitu kebenaran yang didasarkan
(sebatas) pada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Oleh karena
itu, umumnya suatu bukti tertulis (surat) atau dokumen memang sengaja dibuat oleh para
pihak untuk kepentingan pembuktian nanti (jika ada sengketa).
Dalam pembuktian suatu perkara perdata, Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (‘KUH Perdata”) atau Pasal 164 Reglemen Indonesia Yang
Diperbaharui (RIB/HIR) telah mengatur jenis alat-alat bukti dalam hukum acara perdata,
yaitu:
1. Bukti Surat
2. Bukti Saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah
Menjawab pertanyaan Anda mengenai fungsi saksi dalam fotocopy (fotokopi) perjanjian di
bawah tangan, maka Pasal 1888 KUH Perdata sudah memberikan pengaturan mengenai
salinan/fotocopy dari sebuah surat/dokumen, yaitu:
“Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila
akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah
dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai
dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan
mempertunjukkannya”
Dalam praktik, Mahkamah Agung juga telah memberikan penegasan atas bukti
berupa fotocopy dari surat/dokumen, dengan kaidah hukum sebagai berikut:
“Surat bukti fotokopi yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada surat
aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti.” (Putusan MA No.: 3609
K/Pdt/1985)
Sesuai dengan pendapat dari Mahkamah Agung dalam Putusan MA No. 3609 K/Pdt/1985
tersebut, maka fotocopy dari sebuah surat/dokumen yang tidak pernah dapat ditunjukkan
aslinya, tidak dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti surat menurut Hukum Acara
Perdata (Vide: Pasal 1888 KUH Perdata).
Jadi, dalam hal tidak dapat ditunjukkannya dokumen asli dari fotocopy perjanjian bawah
tangan tersebut, saksi sebagai salah satu alat bukti dapat berfungsi untuk memberikan
keterangan kepada hakim, bahwa benar pernah ada suatu kesepakatan yang dibuat
secara bawah tangan oleh para pihak yang namanya tercantum dalam fotocopy perjanjian
bawah tangan tersebut, untuk memperjanjikan suatu hal tertentu (Vide Pasal 1320 Jo.
1338 KUH Perdata).
Argumentasi mengenai hal tersebut juga telah ditegaskan oleh Mahkamah Agung dalam
Putusannya No.: 112 K/Pdt/Pdt/1996, tanggal 17 September 1998, yang memiliki kaidah
hukum sebagai berikut:
“Fotocopy surat tanpa disertai surat/dokumen aslinya dan tanpa dikuatkan
oleh Keterangan saksi dan alat bukti lainnya, tidak dapat digunakan sebagai
alat bukti yang sah dalam Persidangan Pengadilan (Perdata)
Mengenai pertanyaan jumlah minimum saksi untuk membuktikan fotocopy perjanjian di
bawah tangan, ada baiknya kita memperhatikan ketentuan Pasal 1905 KUH Perdata,
yang berbunyi:
“Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka
pengadilan tidak boleh dipercaya.”
Dari ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal tidak adanya bukti
lain, selain saksi yang dapat diajukan oleh seseorang untuk menguatkan dalilnya, maka
jumlah saksi yang harus diajukan orang tersebut adalah minimal dua orang saksi (unus
testis nullus testis).
Namun demikian, dalam praktik, ketentuan mengenai pembuktian dalam perkara perdata
tersebut dapat berkembang dan bermanuver. Misalnya dalam hal
keberadaan fotocopy dari perjanjian bawah tangan ini ternyata diakui dan tidak disangkal
oleh pihak lawan, tentunya hal ini dapat dikualifisir sebagai pengakuan di muka hakim,
yang merupakan bukti yang sempurna (Vide: Pasal 176 HIR), atau apakah ada
persangkaan (kesimpulan) yang ditarik oleh hakim (Vide: Pasal 173 HIR) dari bukti-bukti
yang diajukan oleh para pihak serta fakta-fakta yang terungkap di persidangan.