Pembangunan ekonomi Indonesia tidak bisa lepas dari dasar falsafah yang
melandasi kegiatan bernegara dan berbangsa, yaitu Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945 (UUD 1945). Dasar pembangunan ekonomi di Indonesia diterjemahkan
dalam Pasal 33 UUD 1945 Amandemen IV yang menjadi landasan penyelenggaraan
ekonomi nasional yang menyatakan, bahwa perekonomian disusun dan
dikembangkan sebagai usaha bersama seluruh rakyat secara berkelanjutan
berdasar asas keadilan, efisiensi dan demokrasi ekonomi untuk mewujudkan
kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Kredit yang diberikan oleh bank, sudah semestinya wajib dapat memberikan
suatu perlindungan hukum bagi pemberi dan penerima kredit serta para pihak yang
terkait mendapat perlindungan melalui suatu wadah lembaga jaminan hukum bagi
semua pihak yang berkepentingan dalam kaitanya dengan pemberian kredit.
Jaminan yang diberikan oleh debitur adalah jaminan berupa benda yang tak
bergerak yaitu tanah sehingga erat kaitannya dengan Undang-Undang Hak
Tanggungan Nomor (UUHT): 4 Tahun 1996. Pengertian Hak Tanggungan terdapat
Pasal 1 angka (1) UUHT:
“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-
kreditor lain”
pemberiaan Hak Tanggungan pada suatu objek harus didahului dengan perjanjian
pokok, hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 10 angka (1) UUHT, yang menyebutkan
bahwa:
Dalam menjelaskan Pasal 15 ayat (1) UUHT : “surat kuasa pembebanan Hak
Tanggungan wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT” dengan adanya
ketentuan ini, maka notaris diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk
membuat SKMHT.
Objek Hak Tanggungan terletak dalam wilayah kerja PPAT maka SKMHT
dibuat dengan akta PPAT, dan bila objek hak tanggungan terletak di luar wilayah
kerja PPAT maka SKMHT dibuat oleh Notaris dengan akta Notaris.
Menurut Irawan Soerodjo, kalau bertitik tolak dari pengertian Notaris sebagai
pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, maka akta-akta tanah yang
juga merupakan akta otentik jika ditinjau dari pengertian akta otentik Pasal 1860-
1875 KUHPerdata, maka kewenangan pembuatan akta-akta tersebut sebenarnya
dapat dilaksanakan dihadapan Notaris, dalam hal ini Notaris juga dapat merupakan
pejabat umum yang dapat ditunjuk khusus oleh Menteri Agraria/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia sebagai pejabat umum yang berwenang
mengkonstatir suatu perjanjian dengan obyek tanah kedalam suatu akta notariil,
dengan tujuan untuk menghindari adanya spesialisasi dalam fungsi dan tugas
Notaris sebagai pejabat umum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 UUJN
(Soerodjo, 2003).
Lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris
khususnya Pasal 15 ayat (2) huruf f, telah memberi kontribusi lebih bagi seorang
Notaris untuk mengambil peran dibidang pertanahan. Selama ini pembuatan akta
yang berkaitan dengan pertanahan menjadi kewenangan PPAT, akan bergeser
kepada fungsi penuh seorang Notaris yang sebelumnya hanya pada pembuatan
akta otentik diluar bidang pertanahan.