I. LATAR BELAKANG
Adapun informasi yang ingin diketahui pada Internal Memo adalah sebagai berikut:
3. Bagaimana tata cara Permohonan Hak atas Tanah dengan bukti lama?
Page 1 of 12
INTERNAL MEMO
Keberadaan SPHAT di Indonesia merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953
tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara, yang memberikan kewenangan penguasaan atas
Tanah Negara kepada Kementerian Dalam Negeri. Atas dasar hal tersebut, maka terhadap
tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara dapat diberikan penetapan peruntukannya kepada
masyarakat. Pada prakteknya SPHAT diterbitkan oleh Pemerintah Desa cq. Kepala Desa.
Namun, dengan adanya UUPA dan PP 24/1997, Pengakuan hak kepemilikan atas tanah yang
dituangkan ke dalam bentuk sertifikat merupakan tanda bukti hak atas tanah (vide Pasal 19
ayat (2) UUPA dan Pasal 31 PP 24/1997. Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) PP No. 24/1997,
Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data
yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang
bersangkutan.
Oleh karena itu, dokumen berupa SPHAT tidak bisa digunakan sebagai tanda bukti hak atas
tanah melainkan sebagai pembuktikan hak lama guna untuk keperluan pendaftaran hak
(sertifikat).
“Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak
lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti
tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya
oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor
Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak,
pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya”.
Sehingga berdasarkan Pasal tersebut, mengkonfirmasi bahwa SPHAT karena bukan
merupakan sertifikat diperlukan sebagai pendaftaran hak atas tanah.
Sebagaimana diatur pada Pasal 95 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 Tentang Hak
Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (“PP 18/2021”),
Alat bukti tertulis Tanah bekas milik adat yang dimiliki oleh perorangan wajib didaftarkan
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak berlakunya PP 18/2021. Dalam hal
jangka waktu tersebut berakhir maka alat bukti tertulis Tanah bekas milik adat
Page 2 of 12
INTERNAL MEMO
dinyatakan tidak berlaku dan tidak dapat digunakan sebagai alat pembuktian Hak Atas
Tanah dan hanya sebagai petunjuk dalam rangka Pendaftaran Tanah.
B. Peralihan SPHAT
Bahwa peralihan hak dengan objek tanah dengan pembuktian SPHAT tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Namun, secara praktik terkait dengan peralihan hak dengan
tanah yang tidak bersertifikat seperti SPHAT dapat dilakukan secara Akta Jual Beli yang
dibuat dihadapan PPAT ataupun dengan Akta Pengoperan Hak Atas Tanah yang dibuat
dihadapan Notaris. Hal tersebut menimbulkan penafsiran atas kewenangan PPAT atau Notaris
dalam pembuatan Akta peralihan hak atas tanah yang belum memperoleh sertifikat.
Berdasarkan Pasal 2 (1) PP No. 37/1998 Jo. Pasal 2 (2) PP No. 37/1998, PPAT bertugas pokok
melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat Akta sebagai bukti
telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan seperti:
a. Jual Beli;
b. Tukar Menukar;
c. Hibah;
d. Inbreng;
f. Pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
Maka berdasarkan hal tersebut PPAT diberikan kewenangan untuk membuat Akta
pertanahan sehubungan dimana tanah tanah tersebut memiliki hak atau sertifikat
yang masih ada seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan , Hak Pakai dan hak-hak lainnya.
“Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki
Page 3 of 12
INTERNAL MEMO
oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya
itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”
Adanya klausula mengenai “sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang” maka
Notaris dapat membuat Akta Pertanahan selama tidak ditugaskan atau diberikan kewenangan
kepada pejabat lain dalam hal ini PPAT seperti Akta Jual Beli, Akta Tukar Menukar, Akta
Pembagian Hak Bersama dan lain-lainnya.
Pada praktiknya, Akta pertanahan yang dapat dibuat oleh Notaris adalah Akta Pengoperan
Hak atas Tanah, Akta Sewa Menyewa Tanah dan Akta Pelepasan Hak. Oleh karena itu,
banyak dijumpai bahwa untuk jual beli atas dasar tanah yang tidak bersertifikat seperti
SPHAT dialihkan dengan Akta Pengoperan Hak atas Tanah oleh Notaris.
Namun, Permasalahan muncul ketika Akta Pengoperan Hak atas Tanah tersebut tidak bisa
didaftarkan peralihannya di Kantor Pertanahan. Setiap Kantor Pertanahan setiap daerah
memang pada intinya sama menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan nasional, namun
untuk tata cara nya biasanya terdapat perbedaan di setiap daerahnya, misalnya dalam
hal pendaftaran tanah yang belum bersertifikat tetap harus menggunakan akta jual beli
dihadapan PPAT atau dapat digunakan akta pengoperan hak dan SPHAT. Oleh karena itu
perlu dikonfirmasi pada Kantor Pertanahan setempat terkait dengan proses pendaftaran hak
tanah baru terkait dengan persyaratan dokumen atas hak lama dan dokumen peralihannya
seperti apa.
Berdasarkan, Pasal 76 ayat (1) PER-ATR BPN No. 3 Tahun 1997 jo. Pasal 73 ayat (2) huruf c
PER-ATR BPN No. 3 Tahun 1997 jo. Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997, permohonan pendaftaran
tanah secara sporadik dengan mendaftar hak lama (dalam hal ini SPHAT) harus disertai
dengan dokumen asli yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan, yakni sebagai
berikut:
d. sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9
Tahun 1959, atau
e. surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum
ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak
yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya, atau
f. petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, atau
g. Akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian
oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya PP
24/1997 dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
h. Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan
dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
i. Akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dengan disertai alas hak yang diwakafkan,
atau
j. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum
dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
k. surat penunjukan atau pemberian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah, atau
l. surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
m. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.
Adapun sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (3) PER-ATR BPN No. 3 Tahun 1997, apabila
bukti kepemilikan sebidang tanah dengan hak lama tidak lengkap atau tidak ada, pembuktian
kepemilikan atas bidang tanah itu dapat dilakukan dengan bukti lain yang dilengkapi dengan
pernyataan yang bersangkutan dan keterangan yang dapat dipercaya dari sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang saksi dari lingkungan masyarakat setempat yang tidak mempunyai
hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan
vertikal maupun horizontal, yang menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah benar
pemilik bidang tanah tersebut. Dalam hal bukti-bukti mengenai kepemilikan tanah atas hak
lama sebagaimana telah disebut tidak ada maka permohonan tersebut harus disertai dengan:
Page 5 of 12
INTERNAL MEMO
c. bahwa penguasaan itu tidak pernah diganggu gugat dan karena itu dianggap diakui
dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang
bersangkutan;
d. bahwa penguasaan itu tidak pernah diganggu gugat dan karena itu dianggap diakui
dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang
bersangkutan;
e. bahwa apabila pernyataan tersebut memuat hal-hal yang tidak sesuai dengan
kenyataan, penandatangan bersedia dituntut di muka Hakim secara pidana maupun
perdata karena memberikan keterangan palsu.
b. keterangan dari Kepala Desa/Lurah dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang
kesaksiannya dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai tetua adat setempat dan/atau
penduduk yang sudah lama bertempat tinggal di desa/kelurahan letak tanah yang
bersangkutan dan tidak mempunyai hubungan keluarga pemohon sampai derajat kedua
baik dalam kekerabatan ertical maupun horizontal, yang membenarkan apa yang
dinyatakan oleh pemohon dalam surat pernyataan di atas
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Per- ATR BPN 18/2021, sebelum mengajukan
permohonan Hak Atas Tanah, Pemohon harus memperoleh dan menguasai tanah yang
dimohon sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibuktikan dengan
Data Fisik1 dan Data Yuridis2 bidang tanah. Berdasarkan hal tersebut, maka SPHAT harus
menjelaskan adanya Data Fisik dan Data Yuridis dalam permohonan Hak atas Tanah.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Per- ATR BPN 18/2021Perolehan tanah dalam
rangka permohonan Hak Atas Tanah dapat berasal dari Tanah Negara, Tanah Hak atau
Kawasan Hutan Negara. Tanah Negara dapat berasal dari:
1
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 PP 24/1997, Data Fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas
bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau
bagian bangunan di atasnya
2
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 PP 24/1997, Data Yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang
tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain
yang membebaninya
Page 6 of 12
INTERNAL MEMO
h. Tanah Hak yang jangka waktunya berakhir dan karena kebijakan Pemerintah Pusat tidak
dapat diperpanjang dan/atau diperbarui; dan
i. tanah yang sejak semula berstatus Tanah Negara yang merupakan bidang tanah
yang tidak pernah dilekati dengan sesuatu hak apapun.
Bahwa dapat diasumsikan bahwa SPHAT merupakan tanah yang sejak semula berstatus
Tanah Negara dikarenakan eberadaan SPHAT di Indonesia merujuk pada Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara dimana tanah-
tanah yang dikuasai oleh Negara dapat diberikan penetapan peruntukannya kepada
masyarakat.
Adapun berdasarkan Pasal 18 er-ATR BPN No. 18/2021, syarat permohonan Hak Gunan
Bangunan berasal dari Tanah Negara meliputi:
a. Data Pemohon: Identitas Pemohon, Akta Pendirian dan perubahan terakhir (bila ada)
beserta pengesahannya dan NIB
b. Data Tanah:
• dasar penguasaan atau alas haknya berupa: sertipikat, akta pemindahan hak,
akta/surat bukti pelepasan hak, surat penunjukan atau pembelian kaveling, keputusan
pelepasan kawasan hutan dari instansi yang berwenang, risalah lelang, putusan
pengadilan atau surat bukti perolehan tanah lainnya;
• daftar dan peta perolehan tanah, apabila permohonan lebih dari 5 (lima) bidang
• Peta Bidang Tanah;
c. Dokumen Perizinan: KKPR, penetapan lokasi, dalam hal tanah yang dimohon merupakan
hasil kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum; dan/atau,
perizinan berusaha untuk pelaksanaan reklamasi, apabila tanah yang dimohon
merupakan Tanah Reklamasi.
d. Dokumen Perencanaan Peruntukan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah;
e. Sertifikat Laik Fungsi, untuk permohonan Hak Guna Bangunan yang di atasnya dibangun
Satuan Rumah Susun (apabila ada);
f. bukti perpajakan yang berkaitan dengan tanah yang dimohon (apabila ada);
g. Surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah bagi Pemohon perorangan atau dalam
bentuk akta notariil bagi Pemohon berbadan hukum dan bertanggung jawab secara
perdata dan pidana yang menyatakan bahwa:
• tanah tersebut adalah benar milik yang bersangkutan bukan milik orang lain dan
statusnya merupakan Tanah Negara;
• tanah tersebut telah dikuasai secara fisik;
• penguasaan tanah dilakukan dengan iktikad baik dan secara terbuka oleh yang
bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah;
Page 7 of 12
INTERNAL MEMO
• perolehan tanah dibuat sesuai data yang sebenarnya dan apabila ternyata di kemudian
hari terjadi permasalahan menjadi tanggung jawab sepenuhnya Pemohon dan tidak
akan melibatkan Kementerian;
• tidak terdapat keberatan dari pihak lain atas tanah yang dimiliki atau tidak dalam
keadaan sengketa;
• tidak terdapat keberatan dari pihak Kreditur dalam hal tanah dijadikan/menjadi
jaminan sesuatu utang;
• tanah tersebut bukan aset Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah atau aset
BUMN/BUMD;
• tanah yang dimohon berada di luar kawasan hutan dan/atau di luar areal yang
dihentikan perizinannya pada hutan alam primer dan lahan gambut;
• kesanggupan melaksanakan CSR dalam hal Pemohon badan hukum yang menjalankan
kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam;
• bersedia untuk tidak mengurung/menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu
lintas umum, akses publik dan/atau jalan air;
• bersedia melepaskan tanah untuk kepentingan umum baik sebagian atau seluruhnya;
dan
• bersedia mengelola, memelihara, dan mengawasi serta mempertahankan fungsi
konservasi sempadan badan air atau fungsi konservasi lainnya;
Adapun berdasarkan konfirmasi via Whatsapp dengan Kantor Wilayah BPN Kabupaten Jambi,
terkait dengan permohonan Hak Guna Bangunan dengan pembuktian lama adalah terlampir
pada gambar sebagai berikut:
a. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya
diatas materai cukup
b. Surat kuasa apabila dikuasakan
c. Fotocopy identitas pemohon/pemegang dan penerima hak (KTP, KK) serta kuasa apabila
dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket
d. Fotocopy Tanda Daftar Perusahaan, Akta Pendirian, Pengesahan Badan Hukum dan bukti
pengumuman dalam Lembaran Negara yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh
petugas loket
e. Ijin Lokasi atau Surat Ijin Penunjukan Penggunaan Tanah
f. Bukti perolehan tanah/Alas Hak dari pemilik/penggarap tanah atau pemegang aset
tanah/sk pelepasan kawasan hutan
g. Proposal/Rencana Pengusahaan Tanah jangka pendek dan jangka panjang
h. Ijin usaha dari instansi teknis
i. Foto copy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas
loket, penyerahan bukti SSB (BPHTB) dan bukti bayar uang pemasukan (pada saat
pendaftaran hak)
Page 8 of 12
INTERNAL MEMO
Bahwa pajak yang timbul atas transaksi jual beli atas tanah dengan dasar SPHAT tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, jika WSBP membeli objek tanah
berupa SPHAT maka tidak dibebankan dengan pajak apapun.
Tetapi, berdasarkan UU No. 1/2022, Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan yang meliputi pemberian hak baru baik kelanjutan pelepasan hak 3 atau di luar
pelepasan hak.4 Oleh karena itu dalam hal WSBP melakukan pelepasan hak atas SPHAT lalu
melakukan permohonan atas Tanah Negara atau mendaftarkan hak atas tanah dengan SPHAT
akan dibebankan BPHTB.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/2022, Dasar pengenaan
BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak. Nilai perolehan objek pajak (NPOP) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. harga transaksi untuk jual beli;
b. nilai pasar untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak,
pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak
Berdasarkan Pasal 46 ayat (3) UU No. 1/2022, dalam hal nilai perolehan objek pajak tidak
diketahui atau lebih rendah daripada NJOP5 yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan
bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah
NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya
perolehan. Adapun berdasarkan Pasal 47 UU No. 1/2022, Tarif BPHTB ditetapkan paling
tinggi sebesar 5% (lima persen). Adapun berdasarkan Pasal 7 Peraturan Daerah Kabupaten
Muaro Jambi No. 02 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Tarif
BPHTB di Jambi ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
Berdasarkan PP 34/2016, Besarnya PPh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
adalah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
3
Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru
kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
4
Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah
kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
5
Nilai Jual Objek Pajak (“NJOP”) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi
secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga
dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
Page 9 of 12
INTERNAL MEMO
Berdasarkan Pasal 48 (1) UU No. 1/2022, Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak (“NPOTKP”) , dengan tarif BPHTB, sehingga rincian perhitungan
adalah sebagai berikut: Tarif BPTHB x ( NPOP – NPOTKP). Selanjutnya berdasarkan
Peraturan Daerah Kabupaten Muaro Jambi No. 02 Tahun 2011, Pasal 6 ayat (7), besarnya
NPOTKP di Jambil ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk
setiap Wajib Pajak.
Secara hukum, tanah yang belum bersertifikat tidak dapat dikatakan sebagai hak milik dari
orang yang menguasainya. Tanah tersebut akan menjadi hak milik jika telah memiliki
sertifikat hak milik (atau sertifikat hak guna bangunan untuk tanah dengan hak guna
bangunan/SHM/HGB). Orang yang menguasai tanah belum bersertifikat tersebut hanya
menguasai tanahnya. Dokumen-dokumen pada orang yang menguasai tanah itu merupakan
dokumen sebagai bukti kepemilikan.
Untuk meningkatkan statusnya dari penguasaan menjadi kepemilikan, jalan harus ditempuh
adalah sertifikasi, yaitu dengan mengajukan permohonan hak milik atas tanah ke Kantor
Pertanahan setempat. Dengan dikeluarkannya sertifikat hak milik atas tanah, tanah tersebut
telah sah menjadi milik si pemegang hak, bukan lagi hak menguasai. Hal tersebut diatur dalam
Pasal 32 ayat (1) PP No. 24/1997 dimana Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat
di dalamnya.
Dalam memeriksa tanah belum bersertifikat tersebut adalah benar dikuasai oleh pihak yang
mengklaimnya. Hal pertama perlu diperiksa adalah SPHAT yang dikeluarkan oleh Kantor
Kepala Desa/Lurah. Beberapa daerah memiliki penyebutan yang berbeda-beda untuk SPHAT
semacam ini. Misalnya, Surat Pernyataan Hak (SPH) atau Surat Kepemilikan Hak atas Tanah
Usaha (SKHTU). Apapun penamaannya, pastikan dokumen tersebut memiliki unsur terkait
dengan pembuktian data fisik dan data yuridis, yakni sebagai berikut:
a. Pernyataan dari pihak yang menguasai tanah, bahwa tanah tersebut berada dalam
kekuasaannya dan tidak bertentangan dengan hak pihak lain atas tanah tersebut;
b. Pernyataan mengenai riwayat tanah tersebut atau proses peralihannya secara historis;
c. Pernyataan luas tanah dan menyebutkan para pemilik tanah yang berbatasan dengan
tanah tersebut;
d. Pernyataan bahwa tanah tersebut tidak terlibat dalam sengketa;
e. Pernyataan bahwa tanah tersebut tidak sedang dijaminkan;
f. Pernyataan bahwa tanah tersebut tidak sedang dalam peralihan hak;
g. Peta dan gambar tanah tersebut beserta luasnya dan batasbatasnya sebagai lampiran;
h. Tanda tangan para pemilik tanah yang berbatasan dengan tanah tersebut sebagai saksi.
Page 10 of 12
INTERNAL MEMO
i. Tanda tangan Lurah/Kepala Desa dan Camat sebagai pihak yang mengetahui.
Sehingga, SPHAT atas tanah dapat jelas dijadikan alas hak sebagai pendaftaran tanah dengan
persyaratan diterbitkan oleh pejabat pemerintah yang bewenang, jelas batas-batasnya, jelas
asal-usulnya, dan tidak ada sengketa.
Namun secara praktik, tidak jarang alas hak berupa SPHAT ini menimbulkan masalah di
kemudian hari. Salah satunya adalah munculnya dua pihak yang mengaku sebagai pemilik
atas tanah yang telah didaftarkan tersebut. Bahkan tidak jarang terjadi dalam proyek yang
dilakukan oleh Kantor Pertanahan, 1 (satu) bidang tanah dikuasai oleh dua orang yang
berbeda dengan alas hak yang berbeda tetapi ditandatangani oleh Kepala Kelurahan/Kepala
Desa yang sama sehingga proses penerbitan menjadi terhambat. Dari uraian di atas terlihat
bahwa SPH Atas Tanah sebagai alas hak dalam penerbitan sertifikat khususnya sertifikat hak
milik tidak lepas dari berbagai masalah.
Walaupun, sertifikat hak atas tanah belum menjamin kepastian pemilikannya karena dalam
peraturan perundang-undangan memberi peluang kepada pihak lain yang merasa memiliki
tanah dapat mengajukan keberatan atau menggugat pihak yang namanya tercantum dalam
sertifikat pada pengadilan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997 yakni:
“Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang
atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata
menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat
lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak
diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada
pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak
mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan
sertifikat tersebut.”
Berdasarkan dalam Putusan No. 325 PK/Pdt/2015, terdapat 2 (dua) pihak yang mengaku
sebagai pemilik atas sebidang tanah yang luasnya 1020 m2 yang berlokasi di (dahulu dikenal
dengan) Jalan Candi Walang, RT. 41, Kampung 24 llir, Kecamatan llir Barat 1, Kotamadya
Palembang, dan (sekarang dikenal dengan) Jalan Cinde Welan, RT. 11, Kelurahan 24 llir,
Kecamatan Bukit Kecil, Kota Palembang (“Objek Sengketa”).
Bahwa Penggugat memperoleh Objek Sengeketa melalui pengikatan jual beli dan mempunyai
bukti kepemilikan sebagai berikut:
a. Surat Keterangan Tanah Hak Usaha (disamakan dengan SPHAT), tanggal 13-8-1956,
yang telah diregister oleh Kepala Kampung 24 lIir Palembang Nomor Register
86a/VIII/56;
Page 11 of 12
INTERNAL MEMO
Sedangkan, Tergugat memperoleh Objek Sengketa dengan cara Pengoperan Hak Penguasaan
Atas Tanah Dengan Ganti Rugi dihadapan Notaris dengan Akte Notaris No. 30, tanggal 24
Februari 2004. Serta Tergugat telah mendaftarkan Objek Sengeketa kepada BPN setempat
dan memperoleh Sertifikat Hak Milik No.1506/24 llir dengan luas tanah 1035 m2 yang
terletak di Kelurahan 24 llir, tanggaI 17 November 2009, dan Surat Ukur No.84/24/2009 atas
nama Tergugat atas dasar Akta tersebut dan Surat Pengakuan Tanah Hak Usaha yang dimiliki
Tergugat tertanggal 20 Juni 1955 diketahui oleh Kepala Kampung 24 llir.
Bahwa batas-batas tanah yang dahulu maupun yang ada sekarang antara tanah milik Tergugat
dengan tanah yang diakui Penggugat sebagai kepunyaannya tidak ada satu pun batas-batas
tanah yang sama.
Bahwa dalam putusan tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa terbukti obyek
sengketa adalah milik Tergugat dengan bukti kepemilikan yang kuat yaitu obyek sengketa
sudah ada Sertifikat Hak Milik atas nama Tergugat yang terbit berdasarkan Akta
Pengoperan Hak Penguasaan Atas Tanah sehingga sah pengalihan hak atas tanah a quo
kepada Tergugat, sedangkan Pengikatan Jual Beli Penggugat yang dibuat dihadapan Notaris
bukan PPAT hanya merupakan perjanjian biasa dan sifatnya tidak mengalihkan hak atas
tanah sehingga Surat Keterangan Tanah Hak Usaha dinyatakan tidak sah.
Oleh karena itu berdasarkan keputusan Mahkamah Agung memutuskan untuk menyatakan
Tergugat sebagai pemilik sah atas Objek Sengketa tersebut.
Bahwa dalam putusan tersebut dapat menggambarkan bahwa kedudukan Keabsahan SPAT
dan Akta Pengoperan Hak jika terjadi sengketa akan bergantung pada penilaian hakim dalam
persidangan dengan pertimbangan apakah sudah sesuai dengan peraturan Perundang-
undangan dan apakah penguasaannya sudah sesuai dengan perolehannya. Dalam kasus
tersebut dinyatakan Tergugat menang atas Objek Sengketa atas dasar peralihannya lebih
mutlak dari Pengguggat.
Adapun, berdasarkan keputusan Mahkamah Agung bahwa tanah yang belum bersertifikat
harus dilakukan pendaftaran untuk mencapai kepastian hukum. Adapun yang perlu
diperhatikan dalam gugatan pertanahan harus membuktikan data fisik dan data yuridis tanah.
Hal tersebut salah satunya dapat dilihat dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia tanggal 9 Juli 1973 Nomor : 81K/Sip/1971 menyebutkan :
“Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak, batasbatas dan ukuran
tanah, apabila kurang salah satunya maka gugatannya tidak memenuhi syarat formil dan
gugatan yang demikian dapat dikatakan tidak sempurna atau kabur”.
Page 12 of 12