Anda di halaman 1dari 9

BPHTB, Sebuah Catatan Heru Supriyanto* Kurang lebih empat belas tahun setelah refomasi perpajakan 1983, diundangkanlah

UU No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB. Ternyata, kemunculan UU BPHTB merupakan reinkarnasi dari Ordonansi Bea Balik Nama atas Harta Tetap, yang tidak dapat diterapkan lagi akibat dari hilangnya objek ordonansi tersebut. Mengapa dalam kurun waktu yang begitu lama, UU BPHTB baru dimunculkan? Tulisan ini mencoba untuk membahas mengenai BPHTB yang mungkin selama ini belum, atau bahkan tidak diketahui masyarakat.

Jika kita telusuri sejarahnya, ternyata kemunculan UU BPHTB merupakan pengganti Bea Balik Nama yang diatur dalam Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291. Bea Balik Nama ini dipungut atas setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia. Harta tetap dalam ordonansi tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang, yaitu Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1834 Nomor 27. Dengan diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Bea Balik Nama atas harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lagi. Namun, pemerintah mengenakan pajak baru bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, yaitu pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pengenaan BPHTB dilakukan dengan pertimbangan bahwa tanah dan bangunan selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan sehingga memberikan manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, adalah wajar jika sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya diserahkan kepada negara melalui pembayaran pajak, dalam hal ini BPHTB. Dinamai Bea, bukan Pajak Tidak banyak yang tahu mengapa BPHTB dinamai dengan bea dan bukan pajak. Ternyata ada beberapa ciri khusus yang membuatnya dinamai bea. Ciri pertama, dalam BPHTB ini tidak diperlukan Nomor Identitas baik untuk Wajib Pajak ataupun objek pajaknya. Ciri inilah yang membedakan bea dengan pungutan yang bernama pajak. Perhatikanlah, dalam rangka memenuhi kewajiban di bidang Pajak Penghasilan (PPh), setiap Subjek Pajaknya perlu memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) terlebih dahulu. Demikian pula dalam bidang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), setiap objek pajaknya memiliki Nomor Objek Pajak (NOP). Namun dalam rangka membayar bea, seperti Bea Meterai ataupun BPHTB, masyarakat tidak perlu memiliki Nomor Identitas perpajakan. Pencantuman NPWP dalam Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) ataupun pencantuman NOP dalam Surat Setoran Bea (SSB) berfungsi sebagai informasi tambahan saja. Tidak adanya nomor identitas menimbulkan masalah dalam hal pengawasan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban BPHTB-nya.Untuk mengawasi kepatuhan wajib pajak, maka dibutuhkan pejabat di luar Direktorat Jenderal Pajak yang secara eksplisit disebutkan dalam undang-undang. Pejabat tersebut diatur dalam Pasal 24 UU BPHTB. Hal ini berlaku juga dalam UU Bea Meterai, tepatnya pada Pasal 11. Selama ini hanya pihak-pihak tertentu saja yang dilekati kewajiban untuk mengawasi pemenuhan BPHTB sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 UU BPHTB. Sementara di sisi lain, pengawasan juga dilakukan terhadap perilaku pejabat yang menangani BPHTB tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU BPHTB. Box 1: Pengawasan Pemenuhan Kewajiban BPHTB Sesuai Pasal 24 UU BPHTB: (1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak; (2) Kepala Kantor Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak; (3) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
Indonesia Tax Review Volume I/Edisi 17/2008

Box 2: Pengawasan Terhadap Perilaku Pejabat yang Menangani BPHB (Pasal 26 UU BPHTB) (1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiap pelanggaran. (2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap laporan. (3) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3), dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Box 3: Pengawasan Pemenuhan Kewajiban Bea Meterai Sesuai Pasal 11 UU Bea Meterrai (1) Pejabat pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya, masingmasing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan : a. menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterai-nya atau kurang dibayar; b. meletakan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan; c. membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar; d. memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterai-nya (2) Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan sanksi administratif dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ciri kedua, dalam BPHTB, saat pembayaran pajak terjadi lebih dahulu daripada saat terutang. Contohnya, pembeli tanah bersertifikat sudah diharuskan membayar BPHTB terutang sebelum terjadi saat terutang (sebelum akta dibuat dan ditandatangani). Hal ini terjadi juga dalam Bea Meterai. Siapapun pihak yang membeli meterai tempel berarti ia sudah membayar Bea Meterai, walaupun belum terjadi saat terutang pajak. Ciri ketiga adalah frekuensi pembayaran bea terutang dapat dilakukan secara insidentil ataupun berkali-kali dan tidak terikat dengan waktu. Misalnya membeli (membayar) meterai tempel dapat dilakukan kapan saja, demikian pula membayar BPHTB terutang. Hal ini tentunya berbeda dengan pajak, yang harus dibayar sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Hak atas Tanah BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Untuk memahami pengertian tentang hak atas tanah dalam konteks BPHTB, maka kita harus merujuk pada Pasal 4 dan Pasal 16 UU Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Berdasarkan ketentuan dua pasal tersebut, maka secara sederhana, dapat dikatakan bahwa hak atas tanah adalah sama dengan tanah yang bersertifikat, misalnya Sertifikat Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai (HP). Hak atas tanah ini juga meliputi hak milik rumah susun berupa sertifikat hak milik atas satuan rumah susun. Seiring dengan perjalanan waktu, hak milik rumah susun lebih populer dengan istilah Hak Milik Strata Title. Dalam BPHTB, yang menjadi Wajib Pajak hanyalah pihak yang memperoleh (perbuatan atau peristiwa hukum) tanah bersertifikat saja, tidak termasuk girik, letter C, petuk D, kekitir ataupun SPPT sebagai bukti tertulis. Seandainya pihak yang memperoleh tanah girik, letter C, petuk D, kekitir ataupun SPPT juga ingin dikenakan BPHTB, maka nama BPHTB harus diganti menjadi BPBB (Bea Perolehan Bumi dan Bangunan).

Indonesia Tax Review Volume I/Edisi 17/2008

Box 3: Pasal 4 UU Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum;

(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

(3) Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan pula hak-hak
atas air dan ruang angkasa.

Box 4:
Pasal 16 Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah; a. Hak milik; b. Hak guna-usaha; c. Hak guna-bangunan; d. Hak pakai; e. Hak sewa; f. Hak membuka tanah; g. Hak memungut hasil hutan; h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undangundang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53. Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ialah: a. Hak guna air; b. Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan; Hak guna ruang angkasa.

(1)

(2)

c.
Pendaftaran Tanah Pembahasan BPHTB, mau tidak mau, akan bersinggungan dengan masalah pertanahan yang notabene menjadi ranah Badan Pertanahan Nasional (BPN)1. Pendaftaran tanah ini penting mengingat ia sangat berkaitan dengan Objek BPHTB dan berkaitan juga dengan pengurangan BPHTB dalam hal ajudikasi/prona. Sebidang bumi yang sudah terdaftar adalah bidang bumi yang sudah memiliki sertifikat hak milik dari BPN. Bagi tanah yang belum terdaftar, maka ia tidak akan bersertifikat. Mungkin hanya berupa girik atau letter C atau petuk D atau kekitir atau SPPT sebagai bukti tertulis, sebagaimana yang disyaratkan oleh BPN bagi masyarakat yang akan mensertifikatkan (mendaftarkan) tanah. Motivasi utama para pemilik tanah untuk mendaftarkan tanahnya adalah untuk kepastian hukum, kadang tersisipi pula dengan motif ekonomi. Sertifikat tanah merupakan bukti pemilikan tanah yang kuat sehingga pihak bank (kreditor) bersedia menerimanya sebagai jaminan. Sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menentukan bahwa terdapat dua jenis pendaftaran tanah, yaitu:

Pembaca dapat mengetahui lebih mendalam tentang BPN pada www.bpn.go.id.

Indonesia Tax Review Volume I/Edisi 17/2008

1.

Pendaftaran tanah secara sistematik, yaitu kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftarkan dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Kegiatan ini populer dengan istilah ajudikasi/prona. Pendaftaran tanah secara sporadik, yaitu kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal.

2.

Hak atas Tanah Vs Bumi Pengertian hak atas tanah dalam BPHTB tidak sama dengan bumi dalam PBB. Istilah bumi dalam PBB ini merujuk pada Pasal 1 ayat (4) UU Nomor 5 Tahun 1960 yang menyatakan bahwa, Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Bandingkan dengan pengertian hak atas tanah sebagaimana telah dijelaskan di atas. Kemudian, bila dikaitkan dengan Pasal 4 UU PBB yang mengatur tentang Subjek Pajak, maka istilah bumi berimbas pada siapa saja yang akan menjadi Subjek Pajak, tidak hanya orang/badan yang memiliki sertifikat, tetapi juga siapapun pihak yang memanfaatkan bumi tersebut, termasuk pihak yang menyewa, menguasai, mengelola dan lain-lain, baik yang memiliki bukti kepemilikan berupa sertifikat ataupun girik, letter C, petuk D dan kekitir. Seandainya PBB diganti menjadi PHTB (Pajak Hak atas Tanah dan Bangunan), maka yang menjadi Wajib Pajak hanyalah pihak yang memiliki sertifikat tanah saja. Objek BPHTB (Eksplisit)** Menurut penulis, pengaturan Objek BPHTB ini ditegaskan secara eksplisit dan implisit. Secara eksplisit, Objek BPHTB disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU BPHTB, yaitu perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Perolehan hak atas tanah meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru. Hak atas tanah sebagaimana telah diuraikan di atas meliputi Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai, Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dan Hak pengelolaan sebagaimana ditentukan dalam UU BPHTB Pasal 2 ayat (3). Sebagai sebuah contoh, sekaligus penegasan, penulis ingin mengatakan bahwa perbuatan jual beli sebidang kavling tanah yang bersertifikat Hak Milik akan terutang BPHTB. Objek BPHTB (Implisit)** Objek BPHTB secara implisit terjadi karena terdapat pelanggaran terhadap Pasal 3 ayat (1) huruf d UU BPHTB, yaitu orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama. Jika terjadi perubahan nama, berarti dikenakan BPHTB, selesai. Dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh pemerintah. Contohnya, bekas tanah hak milik adat (dengan bukti Surat Girik atau sejenisnya) menjadi hak baru. Yang dimaksud dengan perbuatan hukum lain misalnya memperpanjang hak atas tanah tanpa adanya perubahan nama dan perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB). Contoh 1: Ada beberapa catatan tentang objek implisit, untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut ini: Pada tahun 1995 (sebelum UU BPHTB berlaku), Tn. Warman menjual sebidang tanahnya yang memiliki Surat Girik. Penjualan tersebut delakukan dengan akta di bawah tangan. Kemudian, pada tanggal 14 November 2008, untuk pertama kalinya Tn. Warman mendaftarkan tanahnya ke BPN (Pendaftaran Tanah secara sporadik). Berdasarkan ketentuan objek implisit, pendaftaran tersebut terutang BPHTB. Pertanyaannya, pertama, adilkah pemajakan tersebut? Mengingat saat ditandatanganinya akta jual beli adalah tahun 1995, di mana UU BPHTB belum berlaku saat itu. Kedua, jika ditinjau dengan Pasal 9 UU BPHTB (tentang saat terutang), kapan saat terutangnya BPHTB atas perbuatan tersebut? Apakah saat ditandatangani atau saat didaftarkan? Jika saat terutang adalah saat didaftarkan, jelas salah, mengingat perbuatan tersebut bukan karena waris ataupun hibah wasiat. Ketiga, pejabat manakah yang dapat memaksa Wajib Pajak untuk membayar BPHTB terutang? Penulis berpendapat bahwa pejabat yang disebutkan dalam Pasal 24 UU BPHTB hanya dapat digunakan untuk Objek BPHTB eksplisit, bukan Objek BPHTB implisit. Dengan demikian, masih terdapat beberapa hal yang harus ditegaskan dalam Objek BPHTB implisit terkait dengan kapan saat terhutang dan pejabat yang berhak mengawasi sebagaimana dalam Pasal 24.

Indonesia Tax Review Volume I/Edisi 17/2008

Perhitungan BPHTB Prinsip yang dianut dalam BPHTB adalah self assessment system, di mana Wajib Pajak diberikan tanggung jawab untuk menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya. Karena itu Wajib Pajak harus mengetahui bagaimana cara menghitung BPHTB terutang. BPHTB dihitung dengan cara mengalikan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dengan tarif. DPP BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP untuk setiap Objek BPHTB ini sebagian besar menggunakan nilai pasar. Hanya saja atas pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan berupa jual beli adalah harga transaksi dan atas penunjukkan pembeli dalam lelang mempergunakan harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang. Besarnya tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak. Untuk memenuhi aspek keadilan, pengenaan BPHTB memperhitungkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) atau bagian NPOP yang tidak dikenakan (dibebaskan dari) BPHTB. Penetapan besarnya NPOTKP dapat dibedakan antar daerah satu dengan daerah lainnya. Besarnya NPOPTKP adalah maksimum Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Khusus untuk perolehan hak karena waris, hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri diberikan NPOPTKP maksimum Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Untuk memahami betapa mudahnya cara menghitung BPHTB, penulis membagi perhitungan BPHTB menjadi beberapa level. Perhatikan Tabel 1: penghitungan BPHTB Level 1, 2, dan 3. Tabel 1: Perhitungan BPHTB Level 1, 2 dan 3 ** (dalam rupiah) Contoh 2 560,000,000 300,000,000 260,000,000 13,000,000 6,500,000 --6,500,000

NPOP NPOPTKP NPOPKP 5% Level 1 50% Level 2 50% Level 3 Setor ke Kas Negara Penjelasan Tabel 1: Level 1 (Biasa)

1 560,000,000 60,000,000 500,000,000 25,000,000 ----25,000,000

3a 560,000,000 60,000,000 500,000,000 25,000,000 12,500,000 6,250,000 6,250,000

3b 560,000,000 60,000,000 500,000,000 25,000,000 12,500,000 --12,500,000

Perhatikan contoh 1, jenis perolehan adalah jual beli sehingga BPHTB terutang dan harus disetorkan ke kas negara (dengan mengisi formulir SSB) adalah Rp25 juta. Level 2 (Pengenaan) Perhatikan contoh 2, jenis perolehan hak atas tanah adalah waris, sehingga BPHTB terutang yang harus disetorkan ke kas negara adalah Rp6,5 juta. Pengenaan BPHTB diatur dengan PP No. 111 Tahun 2000 tanggal 1 Desember 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena Waris dan Hibah Wasiat, ditetapkan bahwa BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang. PP No. 112 tahun 2000 tanggal 1 Desember 2000 menentukan bahwa besamya BPHTB karena pemberian Hak Penggelolaan adalah: a. 0% (nol persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang, dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, lembaga pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas);

Indonesia Tax Review Volume I/Edisi 17/2008

b.

50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan selain tersebut di atas.

Level 3 (Pengurangan) Wajib Pajak badan berupa yayasan sosial yang tidak semata-mata mencari keuntungan, telah memperoleh hak atas tanah melalui perbuatan hukum berupa hibah wasiat. Maka BPHTB terutang adalah Rp12,5 juta yang dapat disetor dengan dua cara yaitu: 1. Cara pertama Perhatikan contoh 3a, Wajib Pajak diperkenankan untuk memungut/memotong pengurangan sebesar 50% dan sisanya Rp6.250.000,- disetorkan ke kas negara dengan mengisi SSB. Kemudian Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan secara tertulis. Jika permohonan ditolak, maka BPHTB yang kurang dibayar (karena sudah dipotong/pungut sendiri sebelum disetor) akan ditagih dengan STB (Surat Tagihan BPHTB). 2. Cara kedua Perhatikan contoh 3b, Wajib Pajak menyetorkan seluruh BPHTB terutang sebesar Rp12,5 juta dengan mengisi SSB. Kemudian Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan secara tertulis sebesar 50% dan jika dikabulkan, maka uang Rp6,5 juta akan dikembalikan melalui mekanisme restitusi. Besarnya pengurangan 50% merupakan angka yang tetap, bukan angka maksimal sebagaimana dalam pengurangan PBB. PENGURANGAN BPHTB Contoh 3a dan 3b merupakan contoh pengurangan BPHTB. Pengurangan diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UU BPHTB, kemudian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 561/KMK.03/2004 tanggal 25 Nopember 2004 tentang Pemberian Pengurangan BPHTB sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 91/PMK.03/2006 tanggal 13 Oktober 2006. Keputusan Menteri Keuangan tersebut mengelompokkan pengurangan menjadi kelompok 25%, kelompok 50%, kelompok 75% dan kelompok 100%. Untuk memperjelas pemahaman tentang pengurangan BPHTB, maka perhatikan contoh 4 dalam Tabel 2. Tabel 2: NPOP NPOPTKP NPOPKP 5% 50% 50% 4a 560,000,000 60,000,000 500,000,000 25,000,000 --Potong sendiri (12,500,000)

Level 1 Level 2 Level 3

4b 560,000,000 60,000,000 500,000,000 25,000,000 --restitusi 25,000,000

Setor ke Kas Negara

12,500,000

Yayasan sosial memperoleh hak atas tanah melalui perbuatan hukum berupa jual beli, maka dalam perhitungan BPHTB terutang, tidak ada pengenaan (level 2). Karena level 2 hanya untuk waris, hibah wasiat dan hak pengelolaan. Pengurangan (level 3) dapat dilakukan dengan cara pertama (4a) yaitu memotong/memungut sendiri sebesar 50% (Rp12,5 juta) sebelum disetor ke kas negara dan sisanya Rp12,5 juta disetor ke kas negara, dan jangan lupa Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan tertulis. Atau dengan cara kedua (4b) yaitu menyetorkan ke kas negara sebesar Rp25 juta, kemudian mengajukan permohonan pengurangan secara tertulis, jika diterima maka Rp12,5 juta akan dikembalikan melalui restitusi. Pembelian Dari Ganti Rugi Pemerintah Pembelian dari ganti rugi pemerintah dapat diberikan pengurangan BPHTB sebesar 50%. Perhatikan contoh berikut ini, seorang Wajib Pajak memiliki tanah yang terkena proyek pemerintah sehingga harus diberikan ganti rugi. Ganti rugi yang diberikan adalah Rp460 juta (lebih rendah dari NJOP PBB, misalnya Rp500 juta). Dengan bermodalkan uang ganti rugi dan deposito yang dimilikinya, kemudian ia membeli tanah ditempat lain dengan harga Rp660 juta. Dengan demikian pengurangan BPHTB maksimum yang akan diperoleh Wajib Pajak tersebut adalah Rp10 juta (dihitung dari 50% x Rp20 juta), bukan Rp15 juta. Karena pengurangan maksimum dihitung dari hasil ganti rugi.

Indonesia Tax Review Volume I/Edisi 17/2008

Tabel 3:

NPOP NPOPTKP NPOPKP Level 1 5% Level 2 50% Level 3 50% Setor ke Kas Negara

Ganti Rugi 460.000.000 60.000.000 400.000.000 20.000.000

Tempat Lain 660.000.000 60.000.000 600.000.000 30.000.000 --10.000.000 20.000.000

Perlu diketahui bahwa pengurangan maksimum tersebut tidak berlaku jika harga pembelian lebih rendah dari harga ganti rugi, dengan demikian pengurangan 50%, dihitung dari harga pembelian tersebut, bukan dari harga pembebasan ganti rugi. Contoh seandainya ia membeli tanah dengan harga Rp360 juta, maka pengurangan yang dapat ia perolehan hanyalah sebesar Rp7,5 juta (dihitung dari (Rp360 juta Rp60 juta) x 5% x pengurangan 50%), bukan Rp10 juta. Penulis berpendapat bahwa sebaiknya pengurangan maksimum didasarkan pada NJOP bukan dari ganti rugi yang nyata-nyata lebih rendah dari NJOP. Karena NJOP merupakan produk dari kegiatan pemerintah. Dengan demikian, akan lebih memenuhi unsur menyejahterakan masyarakat. Ajudikasi Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan secara ekonomis, dapat diberikan pengurangan BPHTB sebesar 75%. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa program pemerintah di bidang pertanahan adalah program pemerintah dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali (ajudikasi) yang meliputi pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik dengan luas tidak lebih dari 5.000 m untuk tanah pertanian dan tidak lebih dari 200 m untuk tanah pemukiman di mana terhadap biaya pendaftaran yang timbul seluruhnya atau sebagian dibebaskan oleh pemerintah. Ketidakmampuan secara ekonomis ditunjukkan dengan adanya Surat Keterangan Tidak Mampu dari desa/kelurahan setempat dan Dinas Sosial. Beberapa hal yang sempat penulis catat adalah pertama, memperoleh hak baru berarti bahwa Wajib Pajak memperoleh tanah dari negara (termasuk dalam objek BPHTB eksplisit). Dengan demikian hanya ajudikasi Objek BPHTB eksplisit-lah yang dapat pengurangan BPHTB, tidak untuk ajudikasi untuk Objek BPHTB implisit. Kedua, kasus yang kerap muncul di masyarakat adalah tanah dengan keluasan lebih dari 5.000 m ataupun lebih dari 200 m. Apakah Wajib Pajak tidak dapat pengurangan sama sekali? Atau diberikan pengurangan maksimal (5.000 m atau 200 m saja)? Penulis berpendapat bahwa tanah tersebut dapat saja diberikan pengurangan, tentunya diberikan batas maksimal 5.000 m atau 200 m, sebagaimana telah dicontohkan dalam pengurangan karena pembelian dari ganti rugi yang lebih rendah dari NJOP sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. Tabel 4:

Luas NPOP NPOPTKP NPOPKP Level 1 5% Level 2 50% Level 3 50% Setor ke Kas Negara

5.000 m 500.000.000 60.000.000 440.000.000 22.000.000

6.000 m 600.000.000 60.000.000 540.000.000 27.000.000 --11.000.000 16.000.000

Indonesia Tax Review Volume I/Edisi 17/2008

Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh tabel di atas. Sebidang tanah seluas 6.000 m yang sedang dilakukan ajudikasi. NPOP tanah tersebut adalah Rp1 juta per m. Sehingga masing-masing NPOP adalah Rp500 juta dan Rp600 juta. Penulis berpendapat bahwa tanah seluas 6.000 m agar tetap dapat diberikan pengurangan 50% yaitu Rp11 juta (dihitung dari 50% x Rp22 juta). Tidak memberikan pengurangan sama sekali terhadap tanah tersebut adalah suatu bentuk ketidakadilan. Pengganti Hak atas Tanah Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus dapat diberikan pengurangan BPHTB sebesar 50%. Dijelaskan bahwa kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat yang pengadaannya harus berdasarkan Keppres Nomor 55 tahun 1993 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang dibatasi untuk kegiatan pembangunan yang dibiayai APBN/APBD dan selanjutnya dimiliki oleh pemerintah dan tidak ada lokasi alternatif yang lebih baik. Kemudian Kepres tersebut dicabut, dan sebagai gantinya adalah Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 65 tahun 2006. Dalam Perpres tersebut didefinisikan bahwa ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Pasal 13 Perpres menyebutkan bahwa bentuk ganti rugi dapat berupa: a. b. c. d. e. Uang; dan atau Tanah pengganti; dan atau Pemukiman kembali; dan atau Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c; Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Penulis mencatat dua hal; pertama, perolehan hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah adalah objek BPHTB berupa tukar menukar; kedua, pengurangan yang seharusnya diberikan adalah 100%, bukannya 50%, mengapa? Karena walau bagaimanapun juga, Wajib Pajak tersebut memperoleh hak atas tanah bukan karena keinginan mereka, tetapi karena terpaksa sebagai side efect dari pembangunan. Pemerintah berkewajiban menyejahterakan masyarakat, bukan sebaliknya. BENCANA ALAM Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya seperti kebakaran, banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, dan huru-hara yang terjadi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak penandatanganan akta, dapat diberikan pengurangan BPHTB sebesar 50%. Penulis berpendapat bahwa anak kalimat sejak penanda tanganan akta, adalah kurang tepat, yang tepat adalah sejak saat terutang. Mengapa? Jawabnya adalah pertama, dari 15 jenis perbuatan/peristiwa hukum yang dijadikan sebagai objek BPHTB, bila dikaitkan dengan saat terutang sesuai Pasal 9 UU BPHTB, maka hanya ada 9 perbuatan hukum yang terkait dengan akta. Saat terutang jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha dan hadiah adalah sejak tanggal dan ditandatanganinya akta. Selebihnya tidak, yaitu a. b. Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan, untuk Waris dan Hibah wasiat Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang yaitu tanggal ditandatanganinya risalah lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau Kantor Lelang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memuat antara lain nama pemenang lelang, untuk lelang. Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, untuk Putusan hakim. Sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak (SKPH), untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak dan di luar pelepasan hak.

c. d.

Indonesia Tax Review Volume I/Edisi 17/2008

Jawaban kedua, jangka waktu tiga (tiga) bulan sejak saat terutang lebih mencerminkan keadilan bagi semua perbuatan/peristiwa hukum yang terutang BPHTB. STB (SURAT TAGIHAN BPHTB) Berdasarkan uraian sebelumnya, kita memahami bahwa Wajib Pajak yang berhak mendapatkan pengurangan BPHTB, memiliki dua alternatif untuk melakukan pengurangan terhadap BPHTB terutang. Jika Wajib Pajak menempuh alternatif sebagaimana dicontohkan dalam 3a dan 4a (memotong sendiri pengurangan BPHTB), tetapi surat permohonan pengurangan tersebut ditolak, maka BPHTB yang kurang dibayar tersebut akan ditagih dengan STB. Mengapa? Karena dalam kasus ini tidak terkait dengan NPOP, lebih jelasnya pembaca dapat membaca dalam Pasal 13 UU BPHTB. Namun dalam kenyataannya, ada peraturan yang menyebutkan bahwa kekurangan tersebut ditagih dengan SKBKB. Tentunya peraturan ini tidak tepat, karena SKBKB hanya diterbitkan bila berkaitan dengan NPOP. Untuk lebih jelasnya, silakan pembaca membaca Pasal 11 UU BPHTB. Demikianlah beberapa catatan penulis tentang BPHTB, semoga bermanfaat bagi semua pihak. Catatan *) **) Widyaiswara Pusdiklat Perpajakan Departemen Keuangan Istilah penulis

DAFTAR PUSTAKA UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah PP No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 KMK No. 561/KMK.03/2004 Tentang Pemberian Pengurangan BPHTB sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan PMK No. 91/PMK.03/2006 Peraturan Dirjen Pajak No. 35/PJ/2008 tanggal 9 September 2008 tentang Kewajiban Pemilikan NPWP dalam Rangka Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan Supriyanto, Heru, 2008. Cara Menghitung PBB, BPHTB dan Bea Meterai, PT. Indeks, Jakarta Supriyanto, Heru. 2008. NPOPTKP, per SSB ataukah Kolektif?, ITR Volume 1/Edisi 06/2008, halaman 66, Jakarta www.bpn.go.id www.pusdiklatpajak.blogspot.com

Indonesia Tax Review Volume I/Edisi 17/2008

Anda mungkin juga menyukai