Anda di halaman 1dari 25

TUGAS 3

NAMA : AFRIYANTO
NIM : 042390221
MAKUL : ADPU4335 ADMINISTRASI PERTANAHAN

1. Jelaskan ruang lingkup dan dasar hukum peralihan hak atas tanah!

Jawab:

Peralihan hak atas tanah menyebabkan hak atas tanah beralih dari seseorang
kepada orang lain. Peralihan adalah perbuatan hukum yang sengaja dilakukan
dengan tujuan agar hak atas tanah beralih dari yang mengalihkan kepada yang
menerima pengalihan.

Dalam praktik, bentuk-bentuk peralihan hak atas tanah dapat berupa

1. Jual beli,

2 Tukar-menukar,

3. Hibah,

4. Pemisahan dan pembagian harta warisan,

5. Pemisahan dan pembagian harta biasa (bukan warisan),

6. Penyerahan/hibah wasiat (legaat),

7. Penyerahan tanah sebagai modal perusahaan.

Dasar hukum peralihan hak atas tanah dalam UUPA diatur pada Pasal 20, 28, 35,

dan 43. Pasal 20 ayat 2 menyatakan bahwa hak milik dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain. Pasal 28 ayat 3 menyatakan bahwa hak guna bangunan dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Kemudian, Pasal 35 ayat 3 menyatakan
bahwa hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Terhadap hak pakai, terdapat pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 43


UUPA sebagai berikut.

1. Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh negara, hak pakai
hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang.

2. Hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain jika hal itu
dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.

Mengenai hak sewa untuk bangunan dan hak-hak yang lain, tidak terdapat aturan
peralihannya dalam UUPA.

Ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik menurut Pasal 50 UUPA akan diatur
dengan undang-undang, sedangkan mengenai hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, dan hak sewa untuk bangunan diatur dengar peraturan
perundangan. Ternyata, baru pada tahun 1996, keluar peraturan perundangan yang
dimaksud, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah.

Berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Notnor 24 Tahun 1997, setiap


peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli,
tukar- menukar, hibah, serta pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat
didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengharuskan setiap


perjanjian yang diakibatkan pemindahan hak atas tanah dibuktikan dengan akta
yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah (PPAT).

PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta perjanjian-perjanjian yang


dapat memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baru atas tanah,
menggadaikan tanah, atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai
tanggungan, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24/1997
tentang Pendaftaran Tanah.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional


(PerKBPN) Nomor 1 Tahun 2006, PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian
kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik
atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan
data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Dalam Pasal 1
ayat (2) PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006, dijelaskan bahwa yang termasuk dalam
perbuatan hukum adalah jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan ke dalam
perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama, pemberian hak guna
bangunan/hak pakai atas tanah hak milik, pemberian hak tanggungan, serta
pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.

PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak
milik atas satuan rumah susun. Sebagaimana dimaksud dalam PerKBPN Nomor 1
Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Berdasarkan Pasal 1 PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006, terdapat PPAT, PPAT


sementara, dan PPAT khusus. PPAT sementara adalah pejabat pemerintah yang
ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat
akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. Sementara itu, PPAT
khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena
jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT
tertentu, khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah
tertentu.

Dahulu hal-hal mengenai penunjukan PPAT serta hak dan kewajibannya diatur
dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 10/1961 sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 4 Tahun 1963.
Peraturan mengenai PPAT yang berlaku sekarang adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
yang dijelaskan dalam PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006 dan perubahannya dalam
PerKBPN Nomor 23 Tahun 2009.

Pada masa lalu, yang dapat diangkat menjadi PPAT sebagai berikut:

1. Notaris (peraturan terbaru mengenai notaris terdapat dalam UU Nomor 30


Tabun 2004);
2. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan direktorat jenderal
agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
peraturan- peraturan pendaftaran tanah dan peraturan-peraturan lain yang
berkaitan dengan persoalan peralihan hak atas tanah:
3. Para pegawai pamong praja yang pernah melakukan tugas sebagai PPAT:
4. Prang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang diadakan oleh direktorat
jenderal agraria.

Berdasarkan Pasal 6 PP Nomor 37 Tahun 1998 yang menjadi PPAT adalah


lulusan program pendidikan spesialis notariat atau program khusus PPAT yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi di samping harus lulus ujian
yang diselenggarakan oleh kantor menteri negara agraria/Badan Pertanahan
Nasional. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006, PPAT
diangkat oleh Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia.

Berdasarkan Pasal 5 PP Nomor 37 Tahun 1998 untuk melayani masyarakat dalam


pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk
melayani golongan masyarakat tertentu pembuatan akta PPAT tertentu, menteri
dapat menunjuk pejabat-pejabat sebagai PPAT sementara atau PPAT khusus
sebagai berikut:

1. Carnat atau kepala desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum
cukup terdapat PPAT sebagai PPAT sementara.

2. Kepala kantor pertanahan untuk melayani pembuatan akta PPAT yang


diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat
atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara sahabat
berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar
Negeri sebagai PPAT khusus.

Keputusan penunjukan camat dilakukan oleh kepala badan yang pelaksanaannya


dapat didelegasikan kepada kepala kantor wilayah (PerKBPN Nomor 1 Tahun
2006 Pasal 19 ayat (2)). Adapun penunjukan kepala desa sebagai PPAT sementara
juga dilakukan oleh kepala badan setelah diadakan penelitian mengenai kebutuhan
pelayanan masyarakat di bidang pembuatan akta di daerah-daerah terpencil
(PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006 Pasal 19 ayat (5)). Adapun penunjukan kepala
kantor pertanahan sebagai PPAT khusus dilakukan oleh kepala badan untuk
perbuatan hukum tertentu ((PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006 Pasal 21).

Pada dasarnya, daerah kerja PPAT ialah wilayah kecamatan. Akan tetapi, dalam
hal-hal tertentu, seorang PPAT dapat diberi daerah kerja lebih dari satu
kecamatan, Demikian juga dapat diangkat lebih dari satu PPAT untuk satu
kecamatan.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006, daerah kerja PPAT
adalah satu wilayah kerja kantor pertanahan. Daerah kerja PPAT sementara dan
PPAT

khusus menurut PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006 Pasal 5 ayat (2) meliputi wilayah
kerjanya sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya. Seorang
PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai tanah-tanah yang terletak dalam
daerah kerjanya. Dalam hal-hal tertentu, dengan izin Badan Pertanahan Nasional,
seorang PPAT dapat membuat akta mengenai tanah yang tidak terletak dalam
daerah kerjanya, misalnya dalam hal pembebanan hipotek atas beberapa bidang
tanah yang letaknya di berbagai kecamatan.

Sementara itu, tugas pejabat pembuat akta tanah berdasarkan PerKBN Nomor 1
Tahun 2006 sebagai berikut.
1. PPAT mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang merupakan akta
autentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006 mengenai hak atas tanah dan hak milik
atas satuan rumah susun yang terletak dalam daerah kerjanya. PPAT dapat
membuat akta tukar-menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan, atau akta
pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun yang tidak semuanya terletak dalam satu daerah kerjanya
apabila salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang
menghasilmempunyai objek perbuatan hukum tersebut terletak dalam daerah
kerjanya. Akta yang dimaksud dibuat oleh PPAT sesuai dengan jumlah
kabupaten/kota letak bidang tanah yang dilakukan perbuatan hukumnya untuk
kemudian masing-masing akta PPAT tersebut didaftarkan pada kantor pertanahan
masing-masing.

2. PPAT sementara mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang


merupakan akta autentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana
dimaksud Pasal 2 ayat (2) PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006 mengenai hak atas
tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dengan daerah kerja di dalam
wilayah kerja jabatannya.

3. PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum


yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.

Sementara itu, tugas pejabat pembuat akta tanah sebagai berikut.

1. Membuat akta mengenai perbuatan-perbuatan hukum yang disebutkan dalam


Pasal 37 PP Nomor 24 Tahun 1997.

2 Membantu pihak-pihak yang melakukan perbuatan hukum mengajukan


permohonan izin pemindahan hak dan permohonan penegasan konversi serta
pendaftaran hak sebagaimana disebut dalam Peraturan Menteri Pertanian dan
Agraria Nomor 2 Tahun 1962.
Menurut Pasal 100 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, PPAT menolak membuat akta PPAT
mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun apabila olehnya
diterima pemberitahuan tertulis bahwa hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun itu sedang disengketakan dari orang atau badan hukum yang menjadi
pihak dalam sengketa tersebut disertai dokumen laporan kepada pihak yang
berwajib, surat gugatan ke pengadilan, atau dengan memperhatikan ketentuan
Pasal 37 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, surat keberatan
kepada pemegang hak, serta dokumen lain yang membuktikan adanya sengketa-
tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 54 ayat (1) PerKBPN Nomor 1 Tahun
2006, sebelum pembuatan akta mengenai perbuatan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf g, PPAT wajib melakukan
pemeriksaan kesesuaian/keabsahan sertifikat dan catatan lain pada kantor
pertanahan setempat dengan menjelaskan maksud dan tujuannya.

PPATK dapat menolak pembuatan akta yang tidak didasari data formil (Pasal 54
ayat (1) PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006). PPAT tidak diperbolehkan membuat
akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf g atas
sebagian bidang tanah yang sudah terdaftar atau tanah milik adat sebelum diukur
oleh kantor pertanahan dan diberikan nomor identifikasi bidang tanah (NIB).

Kemudian, Pasal 61 ayat (1) PerKBPN dijelaskan PPAT wajib menyampaikan


akta PPAT dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk keperluan
pendaftaran peralihan hak yang bersangkutan pada kantor pertanahan selambat-
lambatnya tujuh hari kerja sejak ditandatanganinya akta yang bersangkutan.

Di samping itu, kewajiban PPAT berdasarkan PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006


sebagai berikut.

1. PPAT wajib berkantor di satu kantor dalam daerah kerjanya sebagaimana


ditetapkan dalam keputusan pengangkatannya atau penunjukan dari kepala badan
atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 46).
2. Kantor PPAT wajib dibuka setiap hari kerja, kecuali pada hari libur resmi
dengan jam kerja paling kurang sama dengan jam kerja kantor pertanahan
setempat (Pasal 47).

3. PPAT bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan tugas dan jabatannya
dalam setiap pembuatan akta (Pasal 55).

4. PPAT wajib membuat daftar akta dengan menggunakan satu buku daftar akta
untuk semua jenis akta yang dibuatnya yang di dalamnya dicantumkan secara
berurut nomor semua akta yang dibuat berikut data lain yang berkaitan dengan
pembuatan akta dengan kolom-kolom sebagaimana dimaksud dalam contoh pada
Lampiran IX (Pasal 56).

5. PPAT wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai semua akta yang


dibuatnya paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya kepada kepala kantor
pertanahan dan kepala kantor wilayah (Pasal 62).

Di samping, kewajiban PPAT sebagai berikut.

1. Menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang dibuatnya sebagaimana


contoh di lampiran Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun
1989.

2. Menyimpan asli akta-akta yang dibuatnya.

Seorang PPAT dapat diberhentikan oleh kepala BPN jika ia tidak


menyelenggarakan kewajiban ataupun sering menimbulkan kerugian bagi orang-
orang yang meminta kepadanya untuk dibuatkan akta. Dalam hal yang terakhir
ini, ia pun dapat dituntut membayar ganti rugi yang ditimbulkan karena
perbuatannya itu Berdasarkan Pasal 25 ayat (1) PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006,
PPAT berhenti disebabkan beberapa hal berikut:

1. Meninggal dunia; atau

2. Telah mencapai usia 65 tahun,


3. Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai
notaris dengan tempat kedudukan di kabupaten/kota yang lain daripada daerah
kerjanya sebagai PPAT; atau

4 Diberhentikan oleh kepala badan.

Seorang PPAT dapat diberhentikan oleh Menteri Agraria Kepala BPN jika ia
tidak menyelenggarakan kewajiban maupun sering menimbulkan kerugian bagi
orang- orang yang meminta kepadanya untuk dibuatkan akta. Dalam hal yang
terakhir ini, ia pun dapat dituntut membayar ganti rugi yang ditimbulkan karena
perbuatannya itu.

Akta yang dibuat PPAT tidak boleh sembarangan. Bentuknya (dan juga isinya
standar) dahulu ditetapkan oleh menteri dalam negeri. Bentuk akta ditetapkan
dengan surat keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 104/DJA/1977 tentang
penyempurnaan bentuk akta yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Agraria
Nomor 11/1961. Sekarang bentuk akta itu ditentukan oleh kepala BPN melalui
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1989 tentang
Penyempurnaan Bentuk Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Pasal 2 PMA Nomor 14/1961 menyebutkan hal berikut. 1

1. Pemindahan hak atas tanah memerlukan izin dari instansi pemberi izin, 2

2. Sebelum diperoleh izin sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini,
pemindahan hak tersebut tidak akan didaftar oleh kepala kantor pendaftaran
tanah (KKPT) yang bersangkutan (sekarang kantor pendaftaran tanah (KPT)
menjadi kantor pertanahan).

Sebelumnya, berdasarkan PMA Nomor 14/1961 tentang permintaan dan


pemberian izin pemindahan hak atas tanah, pemindahan hak atas tanah (semua
macam) memerlukan izin. Kemudian, karena berbagai pertimbangan, berdasarkan
PMDN Nomor SK 59/DDA/1970 yang mulai berlaku tanggal 21 Oktober 1970,
hal tersebut meliputi berikut ini:
1. Pemindahan hak milik atas tanah pertanian;
2. Pemindahan hak milik atas tanah bangunan jika penerima hak (kalau
perorangan, termasuk suami, istri, dan anak-anak yang masih menjadi
tanggungannya) sudah mempunyai lima bidang tanah atau lebih,
3. Pemindahan hak guna usaha;

4. Pemindahan hak guna bangunan atas tanah negara, jika penerima hak
merupakan badan hukum.

5. Pemindahan hak guna bangunan atas tanah negara jika penerima hak
merupakan perorangan yang sudah mempunyai lima bidang tanah atau lebih
(termasuk yang dipunyai istri, suami, dan anak-anak yang masih menjadi
tanggungannya);

6. Pemindahan hak pakai atas tanah negara jika penerima hak seorang asing atau
badan hukum,

7. Pemindahan hak pakai atas tanah negara jika penerima hak, orang warga negara
Indonesia yang sudah mempunyai lima bidang tanah atau lebih (termasuk yang
dipunyai istri/suami dan anak-anak yang masih menjadi tanggungannya),

Oleh karena itu, pemindahan hak milik atas tanah untuk bangunan dan hak guna
bangunan, jika penerima haknya adalah perorangan yang hanya mempunyai
sebidang sampai empat bidang tanah (bersama keluarganya), hal itu tidak
memerlukan izin pemindahan hak.

Instansi yang berwenang memberikan izin pemindahan hak atas tanah diatur
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) Nomor 6/1972. Menurut Pasal 7
PMDN Nomor 6/1972, bupati/wali kota memberikan keputusan mengenai izin
pemindahan hak milik. Sementara itu, menurut Pasal 3 PMDN Nomor 6/1972,
gubernur kepala daerah dapat memberi keputusan mengenai permohonan izin
pemindahan hak guna usaha atas tanah negara jika

1. Luasnya tidak lebih dari 25 ha (dua puluh lima hektare);


2. Peruntukan tanah bukan untuk tanaman keras.

Sementara itu, berdasarkan Pasal 8 PMDN Nomor 6/1972. bupati/wali kota dapat
mengambil keputusan mengenai izin untuk memindahkan hak guna bangunan atas
tanah negara kepada warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia bukan
bermodal asing.

Pasal 9 menyatakan bahwa hak pakai atas tanah negara sama dengan Pasal 8.
Pasal 12 PMDN Nomor 6/1972 ditegaskan bahwa menteri dalam negeri dapat
membuat keputusan mengenai pemohonan izin pemindahan berikut:

1. Hak milik,

2. Hak guna usaha,

3. Hak guna bangunan,

4. Hak pakai,

5. Hak pengelolaan,

6. Hak penguasaan,

7. Izin membuka atas tanah negara yang wewenangnya tidak dilimpahkan kepada
gubernur/bupati/wali kota/kepala kecamatan.

Dengan demikian, pemberian izin pemindahan berdasarkan peraturan tersebut


dapat diperinci sebagai berikut:

1. Hak milik adalah bupati/wali kota;

2. Hak guna usaha adalah gubernur, apabila luas tanahnya 25 ha atau kurang dan/
atau peruntukan tanahnya bukan untuk tanaman keras;

3 Hak guna usaha adalah menteri dalam negeri apabila luas tanahnya lebih dari 25
ha atau peruntukannya untuk tanaman keras;
4. Hak guna bangunan dan hak pakai: keduanya atas tanah negara adalah bupati
wali kota apabila yang menerima ialah badan hukum Indonesia yang bukan
bermodal asing;

5. Hak pakai atas tanah negara adalah menteri dalam negeri apabila penerimanya
orang asing, badan hukum asing, atau badan hukum Indonesia yang bermodal
asing.

Penjelasan umum UUPA menerangkan bahwa dilarangnya badan hukum


mempunyai hak milik karena memang badan hukum tidak perlu mempunyai hak
milik. tetapi cukup bagi keperluan-keperluan yang khusus, yaitu hak-hak lain,
selain hak milik. Radan hukum tidak mungkin mempunyai tanah dengan hak
milik, kecuali ditentukan secara khusus oleh undang-undang atau peraturan
lainnya, seperti yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 1973, yaitu

1. Bank-bank yang didirikan oleh negara;

2. Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan


Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958;

3 Bhadan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh menteri pertanian/agraria setelah


mendengar menteri agama,

4 Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh menteri pertanian agraria setelah


mendengar menteri sosial.

Setelah terbentuk Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemberian izin yang

menjadi kewenangan menteri dalam negeri dialihkan menjadi kewenangan kepala


BPN. Sementara itu, kewenangan gubernur menjadi kewenangan kanwil BPN.

Dalam Pasal 23 UUPA, ditegaskan bahwa

1. Hak milik setiap peralihannya harus didaftarkan, 1


2 Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai peralihan.

Sementara itu, Pasal 38 UUPA yang mengatur hak guna usaha dan hak guna

bangunan memuat hal yang sama dengan Pasal 23. Jadi, pemindahan hak milik,
hak guna usaha, dan hak guna bangunan, yaitu hak-hak yang wajib didaftarkan
menurut PP Nomor 24 Tahun 1997, harus didaftarkan di kantor pertanahan.
Berhubung hak pakai atas tanah negara dan hak gadai juga harus didaftar,
peralihannya wajib didaftarkan pula.

Peralihan hak atas tanah harus dilakukan melalui akta yang dibuat oleh dan di
hadapan pejabat yang berwenang sebagai berikut. .

1. Pejabat pembuat akta tanah (PPAT): untuk jual beli, tukar-menukar, hibah,
pemasukan ke dalam perusahaan (inberik), dan pembagian hak bersama.

2. Notaris: untuk peleburan atau penggabungan harta perusahaan (merger) yang


tidak didahului dengan likuidasi perusahaan yang tergabung atau melebur

3. Notaris, pengadilan, balai harta peninggalan, atau kepala desa dan carmat:
untuk pemindahan hak karena waris, tergantung pada kedudukan hukum dari para
ahli waris.

4 Developer dan disahkan oleh pemda: untuk pemisahan hak milik atas satuan
rumah susun.

5. Pejabat lelang: untuk rumah yang dilelang.

6. Pejabat pembuat akta ikrar wakaf untuk tanah yang diwakafkan.

Dokumen-dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran balik nama sebagai


berikut.

1. Surat permohonan balik nama.


2. Surat kuasa apabila pengurusannya dikuasakan.

3 Akta tentang perbuatan hukum pemindahan hak tersebut.

4. Bukti identitas pihak yang mengalihkan hak.

5. Bukti identitas penerima hak.

6. Sertifikat hak atas tanah.

7. Izin pemindahan hak apabila dipersyaratkan.

8. Bukti pelunasan BPHTB berdasarkan UU Nomor 20/2000. Objek BPHTB


adalah objek pajak yang mendapat perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak
atas tanah atau bangunan. Subjek pajak tersebut yang dikenakan kewajiban
membayar pajak menjadi wajib pajak menurut undang-undang bea perolehan hak
atas tanah dan bangunan.

9 Bukti pelunasan PPh berdasarkan PP Nomor 48/1994 jo Nomor 27/1996.


Pencatatan peralihan hak dalam buku tanah, sertifikat, dan daftar lainnya sebagai
berikut:

1. Nama pemegang hak lama dicoret;

2. Nama atau nama pemegang hak yang baru dituliskan pada halaman dan kolom
yang disediakan;

3. Sebagai pengesahan peralihan hak, perubahan tersebut diparaf dan


ditandatangani oleh pejabat yang berwenang serta dibubuhi stempel atau cap
dinas.

Pasal 16 PP Nomor 40 Tahun 1996 mengatur peralihan hak guna usaha sebagai
berikut.

1. Hak guna usaha dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain.
2. Peralihan hak guna usaha terjadi dengan cara beriku:

a. Jual beli;

b. Tukar-menukar,

c. Penyertaan dalam modal;

d. Hibah:

e. Pewarisan

3. Peralihan hak guna usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus
didaftarkan pada kantor pertahanan

4. Peralihan hak guna usaha karena jual beli, kecuali melalui lelang, tukar-
menukar, penyertaan dalam modal, dan hibah dilakukan dengan akta yang dibuat
oleh pejabat pembuat akta tanah.

5. Jual beli dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan berita acara lelang

Peralihan hak guna usaha karena warisan harus dibuktikan dengan surat wasiat
atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.

Kemudian, Pasal 34 PP Nomor 40 Tahun 1996 mengatur peralihan hak guna


bangunan sebagai berikut.

1. Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

2. Peralihan hak guna bangunan terjadi karena

a Jual beli;

b. Tukar-menukar,

c.Penyertaan dalam modal:


d. Hibah;

e. Pewarisan.

3. Peralihan hak guna bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus
didaftarkan pada kantor pertanahan.

4. Peralihan hak guna bangunan karena jual beli, kecuali jual beli melalui lelang.
tukar-menukar, penyertaan dalam modal, dan hibah harus dilakukan dengan akta
yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah.

5. Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan berita acara
lelang.

6. Peralihan hak guna bangunan karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat
wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.

7. Peralihan hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan harus dengan
persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan.

8. Peralihan hak guna bangunan atas tanah hak milik harus dengan persetujuan
tertulis dari pemegang hak milik yang bersangkutan.

Terakhir mengenai peralihan hak pakai diatur oleh Pasal 54 PP Nomor 40 Tahun
1996 sebagai berikut.

1. Hak pakai yang diberikan atas tanah negara untuk jangka tertentu dan hak pakai
atas tanah hak pengelolaan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

2. Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan hak tersebut
dimungkinkan dalam perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik yang
bersangkutan.

3. Peralihan hak pakai terjadi karena


a Jual beli;

b. Tukar-menukar,

c. Penyertaan modal;

d. Hibah

e. Pewarisan

4. Peralihan hak pakai sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib didaftarkan
pada kantor pertanahan.

5 Peralihan hak pakai karena jual beli, kecuali jual beli melalui lelang, tukar-
menukar, penyertaan dalam modal, dan hibah harus dilakukan dengan akta yang
dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah.

6. Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan berita acara
lelang.

7. Peralihan hak pakai karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat wasiat
atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.

8. Peralihan hak pakai atas tanah negara harus dilakukan dengan izin dari pejabat
yang berwenang.

9 Pengalihan hak pakai atas tanah hak pengelolaan harus dilakukan dengan
persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan.

10. Pengalihan hak pakai atas tanah hak milik harus dilakukan dengan persetujuan
tertulis dari pemegang hak milik yang bersangkutan.

2. Jelaskan kebijakan-kebijakan penggunaan tanah!

Jawab :

[9.24 PM, 21/11/2023] Afri_97🦀: Kebijakan Penggunaan Tanah


Kegiatan Belajar 1

Dasar dan sumber hukum utama pengaturan penggunaan tanah terdapat dalam UU
Nomor 5 Tahun 1960 tentang UU Pokok Agraria, yakni dalam pasal-pasal sebagai
berikut.

1. Pasal 2 Ayat 1

Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal sebagai
dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara.

Ayat 2

Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberikan
wewenang untuk hal berikut.

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan


pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa, dan sebagainya.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dan


perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai buni, air, dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dan


perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Ayat 3

Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2
pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam
arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara
hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.
2. Pasal 13 ayat 1

Pemerintah berusaha agar usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian


rupa sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang
dimaksud dalam Pasal 2 ayat 3 serta menjamin bagi setiap warga negara Indonesia

derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, bagi diri sendiri, ataupun
keluarganya.

4. Pasal 14 Ayat 1

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 10 ayat 1 dan 2. pemerintah


dalam rangka sosialisme Indonesia membuat suatu rencana umum mengenai
persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa, serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

a.Untuk keperluan negara;

b. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya sesuai


dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;

c. Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan, dan


lain-lain kesejahteraan;

d. Untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan, dan


perikanan serta sejalan dengan itu;

e. Untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi, dan


pertambangan.

4. Pasal 15

Memelihara tanah termasuk menambah kesuburannya serta mencegah


kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum, atau instansi yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dan dengan memperhatikan pihak
yang ekonominya lemah.
Kebijakan penggunaan tanah yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 secara
garis besar merupakan kekuasaan dari negara untuk mengatur dan
menyelenggarakan penggunaan dan pemeliharaan bumi, air, termasuk ruang
angkasa sebagai upaya untuk meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat serta
menjamin setiap warga negara Indonesia dalam hal derajat hidup yang sesuai
dengan martabat manusia, bagi diri sendiri, ataupun keluarganya. Penggunaan
tanah menurut UUPA diprioritaskan untuk keperluan negara, peribadatan,
keperluan sosial, kebudayaan, memperkembangkan produksi pertanian,
peternakan, perikanan, memperkembangkan industri, transmigrasi, dan
pertambangan.

Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan-kegiatan penataan, peruntukan,


penggunaan, dan persediaan tanah secara berencana dan teratur sehingga
diperoleh manfaat yang lestari, optimal, seimbang, dan serasi untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat dan negara. Dengan demikian, kegiatan tata guna
tanah atau penatagunaan tanah merupakan pengaturan penggunaan tanah yang
meliputi penggunaan permukaan bumi di daratan dan penggunaan permukaan
bumi di lautan. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan tata guna
tanah adalah mewujudkan ketentuan-ketentuan Pasal 14 dan 15 UUPA, yaitu
perencanaan penggunaan tanah dan usaha-usaha pemeliharaan tanah yang
meliputi usaha mempertahankan kesuburan tanah dan mencegah kerusakannya.

Istilah istilah lain yang berkaitan dengan tata guna tanah adalah land-use yang
berlaku di daerah perdesaan (rural arva) dan zoning yang dilaksanakan di daerah
perkotaan (urban area)

Kiranya, dari ketentuan tersebut, dapat ditarik perumusan mengenai arti


penatagunaan tanah sebagai serangkaian kegiatan penataan, penyediaan,
peruntukan, dan penggunaan tanah secara berencana untuk mencapai sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Dalam penatagunaan ini, diusahakan dan
direncanakan penggunaan tanah yang sesuai dengan data kemampuan fisik tanah
dan keadaan serta perkembangan sosial ekonomis masyarakat sehingga dapat
dihindari salah tempat dan salah urus dalam penggunaan tanah dan perubahan
penggunaan tanah dapat lebih dikendalikan.

Diruinuskan sebagai kebijakan pembangunan (dalam Repelita V) bahwa tata guna


tanah dimaksudkan untuk meningkatkan pelestarian produktivitas dan mutu tanah
serta untuk pencegahan kerusakan dan kemerosotan kesuburannya. Juga,
dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan pengarahan dalam meningkatkan
efisiensi penggunaan tanah yang tersedia untuk berbagai kegiatan pembangunan.

Dalam penatagunaan tanah ini, perlu ditingkatkan usaha penetapan hutan lindung.
suaka alam, dan wilayah perlindungan khusus lainnya untuk menghindari bencana
ekologis di kemudian hari. Penatagunaan tanah juga diperlukan untuk
memberikan perlindungan masyarakat tradisional dan suku terasing

3. Jelaskan Sistem informasi pertanahan

Jawab :

Sistem Informasi Pertanahan

Padach informasi geografisi pertanahan (SIP) berawal dari pengembangan sistem


informasi geografis (SIG geographic information system) pada bidang pertanahan.
SIG dapat didefinisikan sebagai sistem informasi berbasis komputer yang
digunakan untuk memproses data spasial yang bergeoreferensi (berupa detail,
fakta. kondisi, dan sebagainya) yang disimpan dalam suatu basis data dan
berhubungan dengan semua persoalan serta keadaan dunia nyata (real world).

Menurut Drs. H.A.G. Sunendar, sistem informasi pertanahan (SIP) adalah suatu
sistem pengadaan dan pelayanan secara sistematis tentang data yang berkaitan
dengan tanah dari suatu wilayah sebagai basis dari kegiatan-kegiatan hukum,
administrasi, ekonomi, perencanaan, dan pengelolaan pembangunan yang
dilaksanakan oleh BPN sesuai dengan Keppres Nomor 26 Tahun 1988.
Berdasarkan keppres tersebut, BPN bertugas membantu presiden dalam mengelola
dan mengembangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan UUPA maupun
peraturan perudang-undangan lain, yang meliputi pengaturan, penggunaan,
penguasaan, pemilikan tanah, pengurusan hak atas tanah, pengukuran, pendaftaran
tanah, dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh presiden.

Sementara itu, definisi sistem informasi pertanahan (SIP) menurut Federal


Surveyor Dunia sebagai berikut.

A land information system is a tool for legal, administrative and economic


decision making and an aid for planning and development which consists on the
one hand of data base containing spacially referenced land related date for define
area, and on the other hand, of procedures and distribution of data. The base of
land information system also facilitates the linking of data within the system with
other land related data.

Definisi ini menyatakan bahwa sistem informasi pertanahan (SIP) adalah alat
bantu yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan berkaitan
dengan aspek hukum, administratif, dan ekonomi untuk membantu perencanaan
dan pembangunan suatu wilayah. Sistem informasi pertanahan terdiri atas basis
data yang bergeoreferensi serta mempunyai prosedur dan teknis yang secara
sistematis digunakan untuk mengumpulkan, memperbarui, memproses, dan
mendistribusikan data pertanahan serta mempunyai fasilitas untuk
menghubungkan data (spasial dan tekstual) yang ada, baik dalam SIP itu sendiri
maupun dengan sistem lain yang ada kaitannya dengan data pertanahan. Secara
singkat, sistem informasi pertanahan (SIP) adalah sistem pengadaan dan
pelayanan data/informasi pertanahan pada suatu wilayah.

Sebagaimana sistem informasi geografis (SIG), sistem informasi pertanahan (SIP)


mempersoalkan hal berikut.

1 Data spasial memiliki acuan lokasi (sistem informasi tertentu) dan disimpan
dalam basis data. Basis data tersebut dilengkapi dengan prosedur dan teknik yang
digunakan untuk pengelolaan data. Pengelolaan data yang dimaksud adalah
pengadaan secara sistematis, memperbarui (up-dating), memproses, serta
mendistribusikannya.
2. Basis data yang dapat dihubungkan dengan data pertanahan terkait lainnya
(misalnya data topografi, data pertanian, dan sebagainya).

Tujuan sistem informasi pertanahan (SIP) adalah meningkatkan efisiensi


penggunaan data yang sudah dikumpulkan dan mengurangi duplikasi data.

Pengoperasian sistem informasi pertanahan (SIP) tergantung dari struktur


organisasi/instansi yang berurusan dengan persoalan tanah (nasional, provinsi, dan
lokal), tetapi yang jelas adalah pelaksanaannya harus selalu bertahap. Faktor lain
yang menentukan berjalan atau tidaknya sistem informasi pertanahan (SIP)
sebagai berikut."

1. Tahap pembangunan suatu negara, dukungan masyarakat, dan perangkat


organisasi (termasuk subsistemnya). Di Indonesia, organisasi yang dimaksud
adalah BPN, Direktorat PBB.

2. Dinamika masyarakat, terutama dalam hubungannya dengan pertumbuhan


ekonomi suatu negara (misalnya dalam konteks banyaknya transaksi yang
berhubungan dengan tanah).

3. Adanya proyek SIP berskala besar sehingga permasalahan pengadaan teknologi


komputer (perangkat keras dan lunak yang relatif mahal) dapat diatasi.

4. Kesiapan sumber daya manusia (SDM) dalam menerima teknologi modern;


teknologi informasi, komputer, dan pemrosesan data elektronik.

5. Adanya keinginan dari instansi terkait untuk melakukan data sharing.

Untuk memahami pengertian sistem informasi pertanahan, dapat dilihat dari


beberapa isu masalah sistem informasi pertanahan di Indonesia beserta akibat
yang ditimbulkan oleh masalah tersebut sebagai berikut.

1. Pertumbuhan/kemajuan yang luar biasa dalam bidang komputer.

2. Sumber daya manusia (SDM) yang mampu menangani sistem informasi


pertanahan (SIP) relatif tidak banyak.
3. Biaya pengadaan perangkat keras dan lunak relatif mahal.

4. Kepemilikan data masih kurang jelas, terutama untuk tujuan berbagi pakai (data
sharing).

5. Integrasi dan standardisasi data (horizon dan vertikal) belum ada.

6. Kesepakatan untuk menerapkan unit dasar spasial sistem informasi pertanahan


(SIP) belum ada, terutama karena SIP seharusnya tidak hanya dipakai untuk
keperluan BPN, tetapi juga untuk PBB, PDAM, PLN, Telkom, Gas, dan lain-lain.

7. Struktur organisasi untuk pengoperasian sistem informasi pertanahan (SIP)


belum jelas

Yang harus diperhatikan adalah sistem informasi pertanahan (SIP) memerlukan


dukungan administrasi, teknis, dan politis.

Menurut Falmer, sistem informasi yang berkaitan dengan tanah terdiri atas berikut
ini.

1. Informasi lingkungan yang menekankan suatu zona lingkungan yang


berasosiasi dengan suatu fenomena fisik, kimia, dan bioti.

2. Informası infrastruktur yang menekankan pada struktur fasilitas pelayanan di


antaranya adalah fasilitas gedung, transportasi, dan komunikasi.

3. Informasi kadasteran yang menekankan pada hak-hak atas tanah dan


penguasaan tanah.

4 Informasi sosial ekonomi di antaranya berupa data-data statistik dan sensus

Daftar Pustaka

Amirin, Tatang M. 1996. Pokok-Pokok Teori Sistem, Jakarta: Rajawali Pers.


Indroharto. 1996. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara Buku II Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.

Kurdiato. 1991. Sistem Pembuktian Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktik. Surabaya: Usaha Nasional.

Majalah Parlementaria.

"Makalah Konsep Basis Data," 1999.

Murad, Rusmadi. 1997. Administrasi Pertanahan Pelaksanaannya dalam Praktik.


Bandung: Mandar Maju.

Perangin, Effendi, dan Nandang Alamsah D. 1991. Keterampilan Membuat Akta


Perjanjian & Dokumen Lainnya. Jakarta: CLTC.

Sunendar, H.A.G. 1999. "Makalah Sistem Informasi Pertanahan."

Supomo. 1986. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya


Paramita.

Wallace, Lee, dan Schubert. Records Management: Intergrated Information


System,

Anda mungkin juga menyukai