Anda di halaman 1dari 25

TUGAS 3

ADMINISTRASI PERTANAHAN

OLEH :

NAMA : ENGGI ERLANDA


NIM : 050064049
PROGRAM S TUDI : ILMU HUKUM S 1
UPBJJ : JAMBI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS TERBUKA
1. Jelaskan ruang lingkup dan dasar hukum peralihan hak atas tanah!

Jawab :

Peralihan hak atas tanah menyebabkan hak atas tanah beralih dari seseorang
kepada orang lain. Peralihan adalah perbuatan hukum yang sengaja dilakukan
dengan tujuan agar hak atas tanah beralih dari yang mengalihkan kepada yang
menerima pengalihan.
Dalam praktik, bentuk-bentuk peralihan hak atas tanah dapat berupa
1. Jual beli;
2. Tukar-menukar;
3. Cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Dasar hukum peralihan hak atas tanah dalam UUPA diatur pada Pasal 20,
28, 35, dan 43. Pasal 20 ayat 2 menyatakan bahwa hak milik dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain. Pasal 28 ayat 3 menyatakan bahwa hak guna bangunan
dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Kemudian, Pasal 35 ayat 3
menyatakan bahwa hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak
lain.

Terhadap hak pakai, terdapat pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal


43 UUPA sebagai berikut.
1. Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh negara, hak pakai hanya
dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang.
2. Hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain jika hal itu
dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.

Mengenai hak sewa untuk bangunan dan hak-hak yang lain, tidak terdapat
aturan peralihannya dalam UUPA.
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik menurut Pasal 50 UUPA akan
diatur dengan undang-undang, sedangkan mengenai hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, dan hak sewa untuk bangunan diatur dengar peraturan
perundangan. Ternyata, baru pada tahun 1996, keluar peraturan perundangan yang
dimaksud, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah.

2
Berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, setiap
peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli,
tukar-menukar, hibah, serta pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat
didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengharuskan setiap
perjanjian yang diakibatkan pemindahan hak atas tanah dibuktikan dengan akta
yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah (PPAT).
PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta perjanjian-perjanjian yang
dapat memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baru atas tanah,
menggadaikan tanah, atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai
tanggungan, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24/1997
tentang Pendaftaran Tanah.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
(PerKBPN) Nomor 1 Tahun 2006, PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian
kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah
susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah
yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Dalam Pasal 1 ayat (2) PerKBPN
Nomor 1 Tahun 2006, dijelaskan bahwa yang termasuk dalam perbuatan hukum
adalah jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng),
pembagian hak bersama, pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak
milik, pemberian hak tanggungan, serta pemberian kuasa membebankan hak
tanggungan.
PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-
akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak
milik atas satuan rumah susun. Sebagaimana dimaksud dalam PerKBPN Nomor 1
Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Berdasarkan Pasal 1 PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006, terdapat PPAT, PPAT
sementara, dan PPAT khusus. PPAT sementara adalah pejabat pemerintah yang

3
ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta
PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. Sementara itu, PPAT khusus
adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk
melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu, khusus dalam
rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu.
Dahulu hal-hal mengenai penunjukan PPAT serta hak dan kewajibannya
diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 10/1961 sebagaimana telah diubah
dan ditambah dengan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 4 Tahun
1963. Peraturan mengenai PPAT yang berlaku sekarang adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah yang dijelaskan dalam PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006 dan perubahannya
dalam PerKBPN Nomor 23 Tahun 2009.

Pada masa lalu, yang dapat diangkat menjadi PPAT sebagai berikut:
1. Notaris (peraturan terbaru mengenai notaris terdapat dalam UU Nomor 30
Tahun 2004);
2. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan direktorat jenderal
agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang peraturan-
peraturan pendaftaran tanah dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan
persoalan peralihan hak atas tanah;
3. Para pegawai pamong praja yang pernah melakukan tugas sebagai PPAT;
4. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang diadakan oleh direktorat
jenderal agraria.

Berdasarkan Pasal 6 PP Nomor 37 Tahun 1998 yang menjadi PPAT adalah


lulusan program pendidikan spesialis notariat atau program khusus PPAT yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi di samping harus lulus ujian yang
diselenggarakan oleh kantor menteri negara agraria/Badan Pertanahan Nasional.
Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006, PPAT diangkat oleh
Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia.
Berdasarkan Pasal 5 PP Nomor 37 Tahun 1998 untuk melayani masyarakat dalam
pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk
melayani golongan masyarakat tertentu pembuatan akta PPAT tertentu, menteri

4
dapat menunjuk pejabat-pejabat sebagai PPAT sementara atau PPAT khusus sebagai
berikut:
1. Camat atau kepala desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum
cukup terdapat PPAT sebagai PPAT sementara.
2. Kepala kantor pertanahan untuk melayani pembuatan akta PPAT yang
diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat
atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara sahabat
berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri
sebagai PPAT khusus.

Keputusan penunjukan camat dilakukan oleh kepala badan yang


pelaksanaannya dapat didelegasikan kepada kepala kantor wilayah (PerKBPN
Nomor 1 Tahun 2006 Pasal 19 ayat (2)). Adapun penunjukan kepala desa sebagai
PPAT sementara juga dilakukan oleh kepala badan setelah diadakan penelitian
mengenai kebutuhan pelayanan masyarakat di bidang pembuatan akta di daerah-
daerah terpencil (PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006 Pasal 19 ayat (5)). Adapun
penunjukan kepala kantor pertanahan sebagai PPAT khusus dilakukan oleh kepala
badan untuk perbuatan hukum tertentu ((PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006 Pasal 21).
Pada dasarnya, daerah kerja PPAT ialah wilayah kecamatan. Akan tetapi, dalam hal-
hal tertentu, seorang PPAT dapat diberi daerah kerja lebih dari satu kecamatan.
Demikian juga dapat diangkat lebih dari satu PPAT untuk satu kecamatan.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006, daerah kerja
PPAT adalah satu wilayah kerja kantor pertanahan. Daerah kerja PPAT sementara
dan PPAT khusus menurut PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006 Pasal 5 ayat (2) meliputi
wilayah kerjanya sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya.
Seorang PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai tanah-tanah yang terletak
dalam daerah kerjanya. Dalam hal-hal tertentu, dengan izin Badan Pertanahan
Nasional, seorang PPAT dapat membuat akta mengenai tanah yang tidak terletak
dalam daerah kerjanya, misalnya dalam hal pembebanan hipotek atas beberapa
bidang tanah yang letaknya di berbagai kecamatan.
Sementara itu, tugas pejabat pembuat akta tanah berdasarkan PerKBN
Nomor 1 Tahun 2006 sebagai berikut.

5
1. PPAT mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang merupakan akta
autentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006 mengenai hak atas tanah dan hak
milik atas satuan rumah susun yang terletak dalam daerah kerjanya. PPAT dapat
membuat akta tukar-menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan, atau akta
pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun yang tidak semuanya terletak dalam satu daerah kerjanya
apabila salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang mempunyai objek
perbuatan hukum tersebut terletak dalam daerah kerjanya. Akta yang dimaksud
dibuat oleh PPAT sesuai dengan jumlah kabupaten/kota letak bidang tanah yang
dilakukan perbuatan hukumnya untuk kemudian masing-masing akta PPAT
tersebut didaftarkan pada kantor pertanahan masing-masing.
2. PPAT sementara mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang merupakan
akta autentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud Pasal
2 ayat (2) PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006 mengenai hak atas tanah dan hak
milik atas satuan rumah susun dengan daerah kerja di dalam wilayah kerja
jabatannya.
3. PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang
disebut secara khusus dalam penunjukannya.

Sementara itu, tugas pejabat pembuat akta tanah sebagai berikut.


1. Membuat akta mengenai perbuatan-perbuatan hukum yang disebutkan dalam
Pasal 37 PP Nomor 24 Tahun 1997.
2. Membantu pihak-pihak yang melakukan perbuatan hukum mengajukan
permohonan izin pemindahan hak dan permohonan penegasan konversi serta
pendaftaran hak sebagaimana disebut dalam Peraturan Menteri Pertanian dan
Agraria Nomor 2 Tahun 1962.

Menurut Pasal 100 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala


Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, PPAT menolak membuat akta
PPAT mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun apabila
olehnya diterima pemberitahuan tertulis bahwa hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun itu sedang disengketakan dari orang atau badan hukum yang
menjadi pihak dalam sengketa tersebut disertai dokumen laporan kepada pihak

6
yang berwajib, surat gugatan ke pengadilan, atau dengan memperhatikan ketentuan
Pasal 37 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, surat keberatan
kepada pemegang hak, serta dokumen lain yang membuktikan adanya sengketa-
tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 54 ayat (1) PerKBPN Nomor 1 Tahun
2006, sebelum pembuatan akta mengenai perbuatan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf g, PPAT wajib melakukan pemeriksaan
kesesuaian/keabsahan sertifikat dan catatan lain pada kantor pertanahan setempat
dengan menjelaskan maksud dan tujuannya.
PPATK dapat menolak pembuatan akta yang tidak didasari data formil
(Pasal 54 ayat (1) PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006). PPAT tidak diperbolehkan
membuat akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf
g atas sebagian bidang tanah yang sudah terdaftar atau tanah milik adat sebelum
diukur oleh kantor pertanahan dan diberikan nomor identifikasi bidang tanah (NIB).
Kemudian, Pasal 61 ayat (1) PerKBPN dijelaskan PPAT wajib menyampaikan akta
PPAT dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk keperluan pendaftaran
peralihan hak yang bersangkutan pada kantor pertanahan selambat-lambatnya tujuh
hari kerja sejak ditandatanganinya akta yang bersangkutan.
Di samping itu, kewajiban PPAT berdasarkan PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006
sebagai berikut.
1. PPAT wajib berkantor di satu kantor dalam daerah kerjanya sebagaimana
ditetapkan dalam keputusan pengangkatannya atau penunjukan dari kepala
badan atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 46).
2. Kantor PPAT wajib dibuka setiap hari kerja, kecuali pada hari libur resmi
dengan jam kerja paling kurang sama dengan jam kerja kantor pertanahan
setempat (Pasal 47).
3. PPAT bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan tugas dan jabatannya
dalam setiap pembuatan akta (Pasal 55).
4. PPAT wajib membuat daftar akta dengan menggunakan satu buku daftar akta
untuk semua jenis akta yang dibuatnya yang di dalamnya dicantumkan secara
berurut nomor semua akta yang dibuat berikut data lain yang berkaitan dengan
pembuatan akta dengan kolom-kolom sebagaimana dimaksud dalam contoh
pada Lampiran IX (Pasal 56).

7
5. PPAT wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai semua akta yang
dibuatnya paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya kepada kepala kantor
pertanahan dan kepala kantor wilayah (Pasal 62).

Di samping, kewajiban PPAT sebagai berikut.M


1. Menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang dibuatnya sebagaimana
contoh di lampiran Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6
Tahun 1989.
2. Menyimpan asli akta-akta yang dibuatnya.

Seorang PPAT dapat diberhentikan oleh kepala BPN jika ia tidak


menyelenggarakan kewajiban ataupun sering menimbulkan kerugian bagi orang-
orang yang meminta kepadanya untuk dibuatkan akta. Dalam hal yang terakhir ini,
ia pun dapat dituntut membayar ganti rugi yang ditimbulkan karena perbuatannya
itu. Berdasarkan Pasal 25 ayat (1) PerKBPN Nomor 1 Tahun 2006, PPAT berhenti
disebabkan beberapa hal berikut:
1. Meninggal dunia; atau
2. Telah mencapai usia 65 tahun;
3. Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai
notaris dengan tempat kedudukan di kabupaten/kota yang lain daripada daerah
kerjanya sebagai PPAT; atau
4. Diberhentikan oleh kepala badan.

Seorang PPAT dapat diberhentikan oleh Menteri Agraria/Kepala BPN jika


ia tidak menyelenggarakan kewajiban maupun sering menimbulkan kerugian bagi
orang-orang yang meminta kepadanya untuk dibuatkan akta. Dalam hal yang
terakhir ini, ia pun dapat dituntut membayar ganti rugi yang ditimbulkan karena
perbuatannya itu.
Akta yang dibuat PPAT tidak boleh sembarangan. Bentuknya (dan juga
isinya standar) dahulu ditetapkan oleh menteri dalam negeri. Bentuk akta
ditetapkan dengan surat keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 104/DJA/1977
tentang penyempurnaan bentuk akta yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Agraria Nomor 11/1961. Sekarang bentuk akta itu ditentukan oleh kepala BPN

8
melalui Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1989 tentang
Penyempurnaan Bentuk Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Pasal 2 PMA Nomor 14/1961 menyebutkan hal berikut.
1. Pemindahan hak atas tanah memerlukan izin dari instansi pemberi izin.
2. Sebelum diperoleh izin sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini,
pemindahan hak tersebut tidak akan didaftar oleh kepala kantor pendaftaran
tanah (KKPT) yang bersangkutan (sekarang kantor pendaftaran tanah (KPT)
menjadi kantor pertanahan).

Sebelumnya, berdasarkan PMA Nomor 14/1961 tentang permintaan dan


pemberian izin pemindahan hak atas tanah, pemindahan hak atas tanah (semua
macam) memerlukan izin. Kemudian, karena berbagai pertimbangan, berdasarkan
PMDN Nomor SK 59/DDA/1970 yang mulai berlaku tanggal 21 Oktober 1970, hal
tersebut meliputi berikut ini:
1. Pemindahan hak milik atas tanah pertanian;
2. Pemindahan hak milik atas tanah bangunan jika penerima hak (kalau
perorangan, termasuk suami, istri, dan anak-anak yang masih menjadi
tanggungannya) sudah mempunyai lima bidang tanah atau lebih;
3. Pemindahan hak guna usaha;
4. Pemindahan hak guna bangunan atas tanah negara, jika penerima hak
merupakan badan hukum;
5. Pemindahan hak guna bangunan atas tanah negara jika penerima hak
merupakan perorangan yang sudah mempunyai lima bidang tanah atau lebih
(termasuk yang dipunyai istri, suami, dan anak-anak yang masih menjadi
tanggungannya);
6. Pemindahan hak pakai atas tanah negara jika penerima hak seorang asing atau
badan hukum;
7. Pemindahan hak pakai atas tanah negara jika penerima hak, orang warga negara
Indonesia yang sudah mempunyai lima bidang tanah atau lebih (termasuk yang
dipunyai istri/suami dan anak-anak yang masih menjadi tanggungannya).

Oleh karena itu, pemindahan hak milik atas tanah untuk bangunan dan hak
guna bangunan; jika penerima haknya adalah perorangan yang hanya mempunyai

9
sebidang sampai empat bidang tanah (bersama keluarganya), hal itu tidak
memerlukan izin pemindahan hak.
Instansi yang berwenang memberikan izin pemindahan hak atas tanah diatur
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) Nomor 6/1972. Menurut Pasal 7
PMDN Nomor 6/1972, bupati/wali kota memberikan keputusan mengenai izin
pemindahan hak milik. Sementara itu, menurut Pasal 3 PMDN Nomor 6/1972,
gubernur kepala daerah dapat memberi keputusan mengenai permohonan izin
pemindahan hak guna usaha atas tanah negara jika
1. Luasnya tidak lebih dari 25 ha (dua puluh lima hektare);
2. Peruntukan tanah bukan untuk tanaman keras.

Sementara itu, berdasarkan Pasal 8 PMDN Nomor 6/1972. bupati/wali kota


dapat mengambil keputusan mengenai izin untuk memindahkan hak guna bangunan
atas tanah negara kepada warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia
bukan bermodal asing.
Pasal 9 menyatakan bahwa hak pakai atas tanah negara sama dengan Pasal 8. Pasal
12 PMDN Nomor 6/1972 ditegaskan bahwa menteri dalam negeri dapat membuat
keputusan mengenai pemohonan izin pemindahan berikut:
1. Hak milik,
2. Hak guna usaha,
3. Hak guna bangunan,
4. Hak pakai,
5. Hak pengelolaan,
6. Hak penguasaan,
7. Izin membuka atas tanah negara yang wewenangnya tidak dilimpahkan kepada
gubernur/bupati/wali kota/kepala kecamatan.

Dengan demikian, pemberian izin pemindahan berdasarkan peraturan tersebut


dapat diperinci sebagai berikut:
1. Hak milik adalah bupati/wali kota;
2. Hak guna usaha adalah gubernur, apabila luas tanahnya 25 ha atau kurang
dan/atau peruntukan tanahnya bukan untuk tanaman keras;
3. Hak guna usaha adalah menteri dalam negeri apabila luas tanahnya lebih dari
25 ha atau peruntukannya untuk tanaman keras;

10
4. Hak guna bangunan dan hak pakai: keduanya atas tanah negara adalah
bupati/wali kota apabila yang menerima ialah badan hukum Indonesia yang
bukan bermodal asing;
5. Hak pakai atas tanah negara adalah menteri dalam negeri apabila penerimanya
orang asing, badan hukum asing, atau badan hukum Indonesia yang bermodal
asing.

Penjelasan umum UUPA menerangkan bahwa dilarangnya badan hukum


mempunyai hak milik karena memang badan hukum tidak perlu mempunyai hak
milik, tetapi cukup bagi keperluan-keperluan yang khusus, yaitu hak-hak lain,
selain hak milik. Badan hukum tidak mungkin mempunyai tanah dengan hak milik,
kecuali ditentukan secara khusus oleh undang-undang atau peraturan lainnya,
seperti yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1973,
yaitu
1. Bank-bank yang didirikan oleh negara;
2. Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958;
3. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh menteri pertanian/agraria setelah
mendengar menteri agama;
4. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh menteri pertanian/agraria setelah
mendengar menteri sosial.

Setelah terbentuk Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemberian izin yang


menjadi kewenangan menteri dalam negeri dialihkan menjadi kewenangan kepala
BPN. Sementara itu, kewenangan gubernur menjadi kewenangan kanwil BPN.
Dalam Pasal 23 UUPA, ditegaskan bahwa
1. Hak milik setiap peralihannya harus didaftarkan,
2. Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai peralihan.

Sementara itu, Pasal 38 UUPA yang mengatur hak guna usaha dan hak guna
bangunan memuat hal yang sama dengan Pasal 23. Jadi, pemindahan hak milik, hak
guna usaha, dan hak guna bangunan, yaitu hak-hak yang wajib didaftarkan menurut
PP Nomor 24 Tahun 1997, harus didaftarkan di kantor pertanahan. Berhubung hak

11
pakai atas tanah negara dan hak gadai juga harus didaftar, peralihannya wajib
didaftarkan pula.
Peralihan hak atas tanah harus dilakukan melalui akta yang dibuat oleh dan di
hadapan pejabat yang berwenang sebagai berikut.
1. Pejabat pembuat akta tanah (PPAT): untuk jual beli, tukar-menukar, hibah,
pemasukan ke dalam perusahaan (inberik), dan pembagian hak bersama.
2. Notaris: untuk peleburan atau penggabungan harta perusahaan (merger) yang
tidak didahului dengan likuidasi perusahaan yang tergabung atau melebur.
3. Notaris, pengadilan, balai harta peninggalan, atau kepala desa dan camat: untuk
pemindahan hak karena waris, tergantung pada kedudukan hukum dari para ahli
waris.
4. Developer dan disahkan oleh pemda: untuk pemisahan hak milik atas satuan
rumah susun.
5. Pejabat lelang: untuk rumah yang dilelang.
6. Pejabat pembuat akta ikrar wakaf: untuk tanah yang diwakafkan.

Dokumen-dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran balik nama sebagai berikut.


1. Surat permohonan balik nama.
2. Surat kuasa apabila pengurusannya dikuasakan.
3. Akta tentang perbuatan hukum pemindahan hak tersebut.
4. Bukti identitas pihak yang mengalihkan hak.
5. Bukti identitas penerima hak.
6. Sertifikat hak atas tanah.
7. Izin pemindahan hak apabila dipersyaratkan.
8. Bukti pelunasan BPHTB berdasarkan UU Nomor 20/2000. Objek BPHTB
adalah objek pajak yang mendapat perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh
hak atas tanah atau bangunan. Subjek pajak tersebut yang dikenakan kewajiban
membayar pajak menjadi wajib pajak menurut undang-undang bea perolehan
hak atas tanah dan bangunan.
9. Bukti pelunasan PPh berdasarkan PP Nomor 48/1994 jo Nomor 27/1996.

12
Pencatatan peralihan hak dalam buku tanah, sertifikat, dan daftar lainnya sebagai
berikut:
1. Nama pemegang hak lama dicoret;
2. Nama atau nama pemegang hak yang baru dituliskan pada halaman dan kolom
yang disediakan;
3. Sebagai pengesahan peralihan hak, perubahan tersebut diparaf dan
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang serta dibubuhi stempel atau cap
dinas.

Pasal 16 PP Nomor 40 Tahun 1996 mengatur peralihan hak guna usaha sebagai
berikut.
1. Hak guna usaha dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain.
2. Peralihan hak guna usaha terjadi dengan cara berikut:
a. Jual beli;
b. Tukar-menukar;
c. Penyertaan dalam modal;
d. Hibah;
e. Pewarisan.
3. Peralihan hak guna usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus
didaftarkan pada kantor pertahanan.
4. Peralihan hak guna usaha karena jual beli, kecuali melalui lelang, tukar-
menukar, penyertaan dalam modal, dan hibah dilakukan dengan akta yang
dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah.
5. Jual beli dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan berita acara lelang.
6. Peralihan hak guna usaha karena warisan harus dibuktikan dengan surat wasiat
atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.

Kemudian, Pasal 34 PP Nomor 40 Tahun 1996 mengatur peralihan hak guna


bangunan sebagai berikut.
1. Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
2. Peralihan hak guna bangunan terjadi karena
a. Jual beli;
b. Tukar-menukar;
c. Penyertaan dalam modal;

13
d. Hibah;
e. Pewarisan.
3. Peralihan hak guna bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus
didaftarkan pada kantor pertanahan.
4. Peralihan hak guna bangunan karena jual beli, kecuali jual beli melalui lelang,
tukar-menukar, penyertaan dalam modal, dan hibah harus dilakukan dengan
akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah.
5. Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan berita acara
lelang.
6. Peralihan hak guna bangunan karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat
wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.
7. Peralihan hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan harus dengan
persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan.
8. Peralihan hak guna bangunan atas tanah hak milik harus dengan persetujuan
tertulis dari pemegang hak milik yang bersangkutan.

Terakhir mengenai peralihan hak pakai diatur oleh Pasal 54 PP Nomor 40 Tahun
1996 sebagai berikut.
1. Hak pakai yang diberikan atas tanah negara untuk jangka tertentu dan hak pakai
atas tanah hak pengelolaan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
2. Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan hak tersebut
dimungkinkan dalam perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik yang
bersangkutan.
3. Peralihan hak pakai terjadi karena
a. Jual beli;
b. Tukar-menukar;
c. Penyertaan modal;
d. Hibah;
e. Pewarisan.
4. Peralihan hak pakai sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib didaftarkan
pada kantor pertanahan.

14
5. Peralihan hak pakai karena jual beli, kecuali jual beli melalui lelang, tukar-
menukar, penyertaan dalam modal, dan hibah harus dilakukan dengan akta yang
dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah.
6. Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan berita acara
lelang.
7. Peralihan hak pakai karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau
surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.
8. Peralihan hak pakai atas tanah negara harus dilakukan dengan izin dari pejabat
yang berwenang.
9. Pengalihan hak pakai atas tanah hak pengelolaan harus dilakukan dengan
persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan.
10. Pengalihan hak pakai atas tanah hak milik harus dilakukan dengan persetujuan
tertulis dari pemegang hak milik yang bersangkutan.

Ruang lingkup peralihan hak atas tanah mencakup segala bentuk peralihan
hak dari satu pihak kepada pihak lainnya. Peralihan ini dapat terjadi melalui
berbagai cara, seperti jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan dalam modal,
pewarisan, dan perbuatan hukum lainnya yang sah. Peralihan hak atas tanah ini
mencakup hak-hak seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak
pakai, dan hak sewa untuk bangunan.
Dasar hukum peralihan hak atas tanah diatur dalam Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) Indonesia. Beberapa pasal dalam UUPA yang mengatur peralihan
hak atas tanah antara lain Pasal 20, 28, 35, dan 43.
Berikut adalah penjelasan singkat mengenai dasar hukum tersebut:
1. Pasal 20 UUPA:
- Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
2. Pasal 28 UUPA:
- Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
3. Pasal 35 UUPA:
- Hak guna usaha dan hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain.

15
4. Pasal 43 UUPA:
- Mengatur pembatasan terhadap hak pakai, terutama pada tanah yang dikuasai
langsung oleh negara dan tanah milik.

Peralihan hak atas tanah juga diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai atas Tanah. Peraturan ini mencakup peralihan hak guna usaha, hak guna
bangunan, dan hak pakai serta tata cara pendaftarannya.
Penting untuk dicatat bahwa setiap peralihan hak atas tanah harus
didaftarkan pada kantor pertanahan setempat, dan proses peralihan harus sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam proses ini, peran
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau notaris sangat penting, karena mereka
memiliki kewenangan untuk membuat akta peralihan yang sah secara hukum.

16
2. Jelaskan kebijakan-kebijakan penggunaan tanah!

Jawab :

Dasar dan sumber hukum utama pengaturan penggunaan tanah terdapat


dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UU Pokok Agraria, yakni dalam pasal-
pasal sebagai berikut :

1. Pasal 2
Ayat 1
Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal sebagai
dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara.
Ayat 2
Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberikan
wewenang untuk hal berikut.
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa, dan sebagainya.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang
angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang
angkasa.
Ayat 3
Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat
2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.
2. Pasal 13 ayat 1
Pemerintah berusaha agar usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur
sedemikian rupa sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat
sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat 3 serta menjamin bagi setiap warga

17
negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, bagi diri
sendiri, ataupun keluarganya.
3. Pasal 14
Ayat 1
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 10 ayat 1 dan 2,
pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia membuat suatu rencana umum
mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air, dan ruang
angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya :
a. Untuk keperluan negara;
b. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya sesuai
dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya sesuai
dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
d. Untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan, dan
perikanan serta sejalan dengan itu;
e. Untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi, dan
pertambangan.
4. Pasal 15
Memelihara tanah termasuk menambah kesuburannya serta mencegah
kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum, atau instansi
yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dan dengan
memperhatikan pihak yang ekonominya lemah.

Kebijakan penggunaan tanah yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1960


secara garis besar merupakan kekuasaan dari negara untuk mengatur dan
menyelenggarakan penggunaan dan pemeliharaan bumi, air, termasuk ruang
angkasa sebagai upaya untuk meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat serta
menjamin setiap warga negara Indonesia dalam hal derajat hidup yang sesuai
dengan martabat manusia, bagi diri sendiri, ataupun keluarganya. Penggunaan
tanah menurut UUPA diprioritaskan untuk keperluan negara, peribadatan,
keperluan sosial, kebudayaan, memperkembangkan produksi pertanian,
peternakan, perikanan, memperkembangkan industri, transmigrasi, dan
pertambangan.Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan-kegiatan penataan,

18
peruntukan, penggunaan, dan persediaan tanah secara berencana dan teratur
sehingga diperoleh manfaat yang lestari, optimal, seimbang, dan serasi untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan negara Dengan demikian, kegiatan tata
guna tanah atau penatagunaan tanah merupakan pengaturan penggunaan tanah yang
meliputi penggunaan permukaan bumi di daratan dan penggunaan permukaan bumi
di lautan. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan tata guna tanah adalah
mewujudkan ketentuan-ketentuan Pasal 14 dan 15 UUPA, yaitu perencanaan
penggunaan tanah dan usaha-usaha pemeliharaan tanah yang meliputi usaha
mempertahankan kesuburan tanah dan mencegah kerusakannya. Istilah-istilah lain
yang berkaitan dengan tata guna tanah adalah land-use yang berlaku di daerah
perdesaan (rural area) dan zoning yang dilaksanakan di daerah perkotaan (urban
area.
Kiranya, dari ketentuan tersebut, dapat ditarik perumusan mengenai arti
penatagunaan tanah sebagai serangkaian kegiatan penataan, penyediaan,
peruntukan, dan penggunaan tanah secara berencana untuk mencapai sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Dalam penatagunaan ini, diusahakan dan
direncanakan penggunaan tanah yang sesuai dengan data kemampuan fisik tanah
dan keadaan serta perkembangan sosial ekonomis masyarakat sehingga dapat
dihindari salah tempat dan salah urus dalam penggunaan tanah dan perubahan
penggunaan tanah dapat lebih dikendalikan.
Dirumuskan sebagai kebijakan pembangunan (dalam Repelita V) bahwa
tata guna tanah dimaksudkan untuk meningkatkan pelestarian produktivitas dan
mutu tanah serta untuk pencegahan kerusakan dan kemerosotan kesuburannya.
Juga, dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan pengarahan dalam
meningkatkan efisiensi penggunaan tanah yang tersedia untuk berbagai kegiatan
pembangunan.
Dalam penatagunaan tanah ini, perlu ditingkatkan usaha penetapan hutan
lindung, suaka alam, dan wilayah perlindungan khusus lainnya untuk menghindari
bencana ekologis di kemudian hari. Penatagunaan tanah juga diperlukan untuk
memberikan perlindungan masyarakat tradisional dan suku terasing.
Kebijakan penggunaan tanah adalah seperangkat pedoman dan aturan yang
ditetapkan oleh pemerintah atau lembaga terkait untuk mengatur bagaimana tanah

19
dapat digunakan, dimanfaatkan, dan dikelola. Kebijakan ini memiliki tujuan untuk
mencapai penggunaan tanah yang berkelanjutan, adil, dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat serta kepentingan nasional.
Berikut adalah beberapa kebijakan umum yang sering terkait dengan penggunaan
tanah:
1. Peruntukan Tanah:
- Menetapkan penggunaan tanah untuk keperluan tertentu seperti
pemukiman, pertanian, industri, rekreasi, dan konservasi. Hal ini dapat
dilakukan melalui zonasi dan perencanaan tata ruang.
2. Pengendalian Perubahan Penggunaan Tanah:
- Mengatur perubahan penggunaan tanah untuk mencegah konversi lahan
pertanian atau kawasan konservasi menjadi pemukiman atau industri tanpa
pertimbangan yang matang.
3. Pemeliharaan dan Pelestarian Tanah:
- Menetapkan aturan terkait pemeliharaan dan pelestarian tanah, termasuk
prinsip-prinsip penataan, reboisasi, dan praktik-praktik pertanian
berkelanjutan.
4. Pemberdayaan Masyarakat Lokal:
- Mendorong partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait
penggunaan tanah, terutama yang berkaitan dengan tanah yang mereka huni
atau kelola.
5. Pemberdayaan Petani dan Nelayan:
- Memberikan dukungan dan perlindungan hukum kepada petani dan
nelayan, termasuk hak kepemilikan, hak guna usaha, dan hak-hak lain yang
terkait dengan pengelolaan lahan.
6. Zonasi dan Tata Ruang:
- Menetapkan zona-zona khusus dan tata ruang yang mengatur bagaimana
wilayah tertentu dapat digunakan, misalnya, kawasan industri, kawasan
pertanian, dan kawasan konservasi.

20
7. Penataan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil:
- Mengatur penggunaan tanah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,
dengan mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem laut dan perlindungan
terhadap bencana alam.
8. Pengelolaan Tanah Adat:
- Mengakui dan melindungi hak-hak tanah adat serta mendorong praktek-
praktek pengelolaan tanah yang sesuai dengan kearifan lokal dan budaya
masyarakat adat.
9. Penanggulangan Dampak Lingkungan:
- Menetapkan standar untuk melindungi lingkungan dan mencegah dampak
negatif penggunaan tanah terhadap ekosistem, sumber air, dan
keanekaragaman hayati.
10. Pengelolaan Wilayah Perkotaan:
- Mengatur tata ruang di wilayah perkotaan, termasuk perencanaan
pemukiman, transportasi, dan fasilitas umum untuk mencapai keberlanjutan
perkotaan.
Kebijakan-kebijakan ini dirancang untuk mencapai keseimbangan antara
pemenuhan kebutuhan manusia, pelestarian lingkungan, dan keberlanjutan
ekonomi. Implementasi kebijakan ini melibatkan kerjasama antara pemerintah,
masyarakat, dan sektor swasta untuk mencapai tujuan pembangunan yang
berkelanjutan.

21
3. Jelaskan Sistem informasi pertanahan!

Jawab :

Pada dasarnya, sistem informasi pertanahan (SIP) berawal dari


pengembangan sistem informasi geografis (SIG = geographic information system)
pada bidang pertanahan. SIG dapat didefinisikan sebagai sistem informasi berbasis
komputer yang digunakan untuk memproses data spasial yang bergeoreferensi
(berupa detail, fakta, kondisi, dan sebagainya) yang disimpan dalam suatu basis
data dan berhubungan dengan semua persoalan serta keadaan dunia nyata (real
world).
Menurut Drs. H.A.G. Sunendar, sistem informasi pertanahan (SIP) adalah
suatu sistem pengadaan dan pelayanan secara sistematis tentang data yang berkaitan
dengan tanah dari suatu wilayah sebagai basis dari kegiatan-kegiatan hukum,
administrasi, ekonomi, perencanaan, dan pengelolaan pembangunan yang
dilaksanakan oleh BPN sesuai dengan Keppres Nomor 26 Tahun 1988. Berdasarkan
keppres tersebut, BPN bertugas membantu presiden dalam mengelola dan
mengembangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan UUPA maupun
peraturan perudang-undangan lain, yang meliputi pengaturan, penggunaan,
penguasaan, pemilikan tanah, pengurusan hak atas tanah, pengukuran, pendaftaran
tanah, dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh presiden.
Sementara itu, definisi sistem informasi pertanahan (SIP) menurut Federal
Surveyor Dunia, sebagai berikut.
A land information system is a tool for legal, administrative and economic decision
making and an aid for planning and development which consists on the one hand
of data base containing spacially referenced land related date for define area, and
on the other hand, of procedures and distribution of data. The base of land
information system also facilitates the linking of data within the system with other
land related data.
Definisi ini menyatakan bahwa sistem informasi pertanahan (SIP) adalah
alat bantu yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan

22
berkaitan dengan aspek hukum, administratif, dan ekonomi untuk membantu
perencanaan dan pembangunan suatu wilayah. Sistem informasi pertanahan terdiri
atas basis data yang bergeoreferensi serta mempunyai prosedur dan teknis yang
secara sistematis digunakan untuk mengumpulkan, memperbarui, memproses, dan
mendistribusikan data pertanahan serta mempunyai fasilitas untuk menghubungkan
data (spasial dan tekstual) yang ada, baik dalam SIP itu sendiri maupun dengan
sistem lain yang ada kaitannya dengan data pertanahan. Secara singkat, sistem
informasi pertanahan (SIP) adalah sistem pengadaan dan pelayanan data/informasi
pertanahan pada suatu wilayah.

Sebagaimana sistem informasi geografis (SIG), sistem informasi pertanahan (SIP)


mempersoalkan hal berikut.
1. Data spasial memiliki acuan lokasi (sistem informasi tertentu) dan disimpan
dalam basis data. Basis data tersebut dilengkapi dengan prosedur dan teknik
yang digunakan untuk pengelolaan data. Pengelolaan data yang dimaksud
adalah pengadaan secara sistematis, memperbarui (up-dating), memproses,
serta mendistribusikannya.
2. Basis data yang dapat dihubungkan dengan data pertanahan terkait lainnya
(misalnya data topografi, data pertanian, dan sebagainya).

Tujuan sistem informasi pertanahan (SIP) adalah meningkatkan efisiensi


penggunaan data yang sudah dikumpulkan dan mengurangi duplikasi data.
Pengoperasian sistem informasi pertanahan (SIP) tergantung dari struktur
organisasi/instansi yang berurusan dengan persoalan tanah (nasional, provinsi, dan
lokal), tetapi yang jelas adalah pelaksanaannya harus selalu bertahap. Faktor lain
yang menentukan berjalan atau tidaknya sistem informasi pertanahan (SIP) sebagai
berikut,
1. Tahap pembangunan suatu negara, dukungan masyarakat, dan perangkat
organisasi (termasuk subsistemnya). Di Indonesia, organisasi yang dimaksud
adalah BPN, Direktorat PBB.
2. Dinamika masyarakat, terutama dalam hubungannya dengan pertumbuhan
ekonomi suatu negara (misalnya dalam konteks banyaknya transaksi yang
berhubungan dengan tanah).

23
3. Adanya proyek SIP berskala besar sehingga permasalahan pengadaan teknologi
komputer (perangkat keras dan lunak yang relatif mahal) dapat diatasi.
4. Kesiapan sumber daya manusia (SDM) dalam menerima teknologi modern;
teknologi informasi, komputer, dan pemrosesan data elektronik.
5. Adanya keinginan dari instansi terkait untuk melakukan data sharing.

Untuk memahami pengertian sistem informasi pertanahan, dapat dilihat dari


beberapa isu masalah sistem informasi pertanahan di Indonesia beserta akibat yang
ditimbulkan oleh masalah tersebut sebagai berikut
1. .Pertumbuhan/kemajuan yang luar biasa dalam bidang komputer.
2. Sumber daya manusia (SDM) yang mampu menangani sistem informasi
pertanahan (SIP) relatif tidak banyak.
3. Biaya pengadaan perangkat keras dan lunak relatif mahal.
4. Kepemilikan data masih kurang jelas, terutama untuk tujuan berbagi pakai (data
sharing).
5. Integrasi dan standardisasi data (horizon dan vertikal) belum ada.
6. Kesepakatan untuk menerapkan unit dasar spasial sistem informasi pertanahan
(SIP) belum ada, terutama karena SIP seharusnya tidak hanya dipakai untuk
keperluan BPN, tetapi juga untuk PBB, PDAM, PLN, Telkom, Gas, dan lain-
lain.
7. Struktur organisasi untuk pengoperasian sistem informasi pertanahan (SIP)
belum jelas.

Yang harus diperhatikan adalah sistem informasi pertanahan (SIP)


memerlukan dukungan administrasi, teknis, dan politis.
Menurut Falmer, sistem informasi yang berkaitan dengan tanah terdiri atas berikut
ini.
1. Informasi lingkungan yang menekankan suatu zona lingkungan yang
berasosiasi dengan suatu fenomena fisik, kimia, dan bioti.
2. Informasi infrastruktur yang menekankan pada struktur fasilitas pelayanan di
antaranya adalah fasilitas gedung, transportasi, dan komunikasi.
3. Informasi kadasteran yang menekankan pada hak-hak atas tanah dan
penguasaan tanah.
4. Informasi sosial ekonomi di antaranya berupa data-data statistik dan sensus.

24
DAFTAR PUSTAKA

Nandang. AD, Purwaningdyah, Agus Wahyudi. 2023. Administrasi Pertanahan.


Tangerang Selatan : Universitas Terbuka.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok


Agraria.

25

Anda mungkin juga menyukai