Anda di halaman 1dari 63

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan industri di Indonesia yang dilakukan pada masa orde baru,

belum maksimal bahkan terjadi kemunduran sebagai dampak krisis moneter.

Sedangkan pada masa orde lama Presiden Sukarno mengutamakan pembangunan

dibidang pertanian, mengingat Indonesia sebagai negara agraris. Alangkah

baiknya jika Negara kita disamping membangun sektor industri juga

mengembangkan sektor agraris dimana iklim dan kondisinya sesuai dan

menunjang. Dalam Negara agraris tanah merupakan harta berharga bagi pertanian,

perkebunan, perumahan, serta tempat usaha yang dikelola individu maupun oleh

badan hukum. Pembangunan yang dikelola oleh pemerintahpun membutuhkan

tanah sebagai instrumen pembangunan.

Mengingat Indonesia adalah Negara hukum segala kegiatan pembangunan

harus berdasarkan hukum. Hukum diperlukan agar pembangunan dapat berjalan

dengan tertib dan terhindar dari perbenturan kepentingan, khususnya perbenturan

kepentingan soal tanah sehingga hukum akan melindungi hak seseorang yang

memiliki tanah tersebut.

Dewasa ini kasus-kasus tanah makin meningkat, mengingat kebutuhan

pemerintah dan masyarakat dalam bidang tanah yang semakin bertambah banyak.

Tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

dapat dikatakan setiap saat manusia berhubungan dengan tanah. Setiap orang

1
memerlukan tanah tidak hanya pada masa hidupnya, tetapi sudah meninggalpun

masih tetap berhubungan dengan tanah. Oleh sebab itu tanah adalah merupakan

kebutuhan vital manusia.

Adapun pihak yang sangat membutuhkan tanah ini untuk menjalankan

usahanya yakni Perseroan Terbatas. Pengertian Perseroan Terbatas di dalam

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang

selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan

modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal

dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang

ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Perseroan Terbatas merupakan badan hukum yang dapat melakukan suatu

kegiatan usaha misalkan membuat suatu perkebunan kelapa sawit yang tentunya

membutuhkan tanah/lahan yang sangat luas. Dalam menjalankan kegiatan

usahanya, Perseroan Terbatas ini membeli tanah dari masyarakat yang membuka

lahan guna untuk dijual kepada Perseroan Terbatas tersebut yang pastinya tanah

tersebut kebanyakan belum dilakukan pendaftaran tanah pada Kantor Pertanahan

yang ada di Kabupaten dimana tanah tersebut berlokasi.

Pembelian lahan tersebut didasarkan dengan Akta Pelepasan Hak Atas

Tanah yang dibuat antara pemilik lahan / pihak penjual dengan pihak Perseroan

serta akta ini dibuat dalam bentuk akta notaris yang dibuat dihadapan Pejabat

yang berwenang yakni Notaris.

Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 02 Tahun 2014 Tentang

Jabatan Notaris, Pasal 1 angka (1) bahwa Notaris adalah Pejabat Umum yang
2
berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan Undang-

Undang lain. Notaris Berwenang membuat akta Autentik mengenai semua

perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan Perundang-

undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan

dalam Akta Autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta. Menyimpan

Akta, memberikan grosse, Salinan dan kutipan Akta. Akta itu juga tidak

ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan

oleh Undang-Undang.

Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, menurut Pasal 1 angka (6)

Perpres 36/2005, adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang

hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas

dasar musyawarah. pelepasan hak atas tanah dilakukan di atas surat atau akta yang

dibuat di hadapan notaris yang menyatakan bahwa pemegang hak yang

bersangkutan telah melepaskan hak atas tanahnya.

Akta pelepasan hak atas tanah tersebut harus dibuat di hadapan notaris

agar kekuatan pembuktiannya sempurna dibandingkan jika dibuat secara bawah

tangan. Dengan adanya pelepasan hak, maka tanah yang bersangkutan menjadi

tanah negara. Pihak yang memerlukan tanah tersebut dapat mengajukan

permohonan hak atas tanah yang baru ke Kantor Pertanahan setempat sesuai

ketentuan Undang-Undang dan sesuai keperluannya. Sehingga pihak yang

bersangkutan mendapatkan hak atas tanah sesuai ketentuan Undang-Undang dan

sesuai keperluannya. Dalam hal ini tanah yang diberikan oleh Pemerintah kepada

3
Perseroan dalam bentuk Hak Guna Usaha dikarenakan tanah tersebut nantinya

akad dipergunakan untuk lahan perkebunan sawit. Akan tetapi biasanya pihak

Perseroan meletakkan langsung klausul permohonan hak atas tanah yang baru

didalam Akta Pelepasan Hak Atas Tanah tersebut sehingga Perseroan tersebut

tidak terlalu sulit guna melakukan pendaftaran tanah pada Kantor Pertanahan yang

ada di Kabupaten / Kota.

Menurut Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris,

Pasal 1 angka (7), Akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di

hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh Undang-

Undang.

Sertipikat tanah yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional, sebagai

suatu tanda bukti Pemerintah telah memberi kepastian hukum tentang

kepemilikan tanah. Hal ini sesuai dengan tujuan diundangkannya UUPA,

meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak

atas tanah bagi yang menguasainya. Oleh karena itu tanah harus didaftarkan di

Kantor Pertanahan yang ada di Kabupaten / Kotamadia agar Pemerintah

memberikan kepastian hukum.

Menurut Boedi Harsono tujuan pendaftaran tanah, ialah :

1. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang


hak atas tanah agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan dan untuk pemegang haknya diberikan
sertipikat sebagai tanda bukti.
2. Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan agar
dengan mudah memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan
perbuatan hukum mengenai bidang yang sudah didaftar.

4
3. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.1

Dalam hal ini Perseroan Terbatas tidak langsung melakukan pendaftaran

tanah pada Kantor Pertanahan yang ada di Kabupaten dikarenakan Perseroan

tersebut biasanya melakukan pendaftaran tanah setelah izin lokasi keluar atau

setidaknya lahan tersebut sudah diolah dan siap untuk ditanami.

Dengan berjalannya waktu terkadang perekonomian tidak stabil dan

menyebabkan Perseroan tersebut mengalami pailit untuk mengolah lahan yang

sudah di beli dari masyarakat dan untuk mengatasi hal itu maka Perseroan tersebut

menjual aset Perseroan tersebut yang berupa tanah. Tentu saja ini menimbulkan

sedikit permasalahan sebab tanah tersebut belum dilakukan pendaftaran tanah atau

belum ada sertipikatnya.

Sementara dalam kehidupan sehari-hari dimungkinkan terjadinya

peralihan hak atas tanah kepada orang lain misalnya melalui transaksi jual beli.

Dalam jual beli sebidang tanah yang belum disertipikatkan, pihak Perseroan

menjual kepada pihak lain atas dasar Akta Pelepasan Hak Atas Tanah yang dibuat

oleh Notaris.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis akan menganalisis masalah

“Pengalihan Hak Atas Tanah yang Belum Bersertipikat Berdasarkan

Akta Pelepasan Hak Atas Tanah Pada PT. Bumi Inti Sari Raya di

Kabupaten Sarolangun ".

1
Budi Harsono, Hukum Agraria Nasional Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2006, hlm 165.
5
B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah pelaksanaan pengalihan hak atas tanah yang belum

bersertipikat pada PT. Bumi Inti Sari Raya berdasarkan Akta Pelepasan

Hak kepada pihak ketiga ?

2. Apa saja yang menjadi kendala-kendala dalam pelaksanaan pengalihan

hak atas tanah yang belum bersertipikat pada PT. Bumi Inti Sari Raya

berdasarkan Akta Pelepasan Hak kepada pihak ketiga ?

3. Bagaimana upaya untuk mengatasi kendala-kendala yang dihadapi dalam

pelaksanaan pengalihan hak atas tanah yang belum bersertipikat pada PT.

Bumi Inti Sari Raya berdasarkan Akta Pelepasan Hak kepada pihak

ketiga?

C. Tujuan Penelitian dan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pengalihan hak atas tanah

yang belum sertipikat oleh PT. Bumi Inti Sari Raya berdasarkan Akta

Pelepasan Hak kepada pihak ketiga.

2. Disamping itu penulis juga bertujuan untuk mengetahui kendala yang

dihadapi serta upaya yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan pengalihan

hak atas tanah yang belum bersertipikat oleh PT. Bumi Inti Sari Raya

berdasarkan Akta Pelepasan Hak kepada pihak ketiga.


6
Sedangkan yang menjadi tujuan pada penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum

Universitas Batanghari Jambi, guna meraih gelar Sarjana Hukum.

2. Dengan penulisan skripsi ini akan menambah wawasan penulis dalam bidang

teori ilmu hukum umumnya serta dalam prakteknya khususnya mengenai Akta

Pelepasan Hak Atas Tanah.

D. Kerangka Konseptual

Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap judul skripsi ini, maka

penulis membatasi istilah pokok yang terkandung dalam judul ini :

1. Pengalihan hak atas tanah adalah penjualan, tukar-menukar, perjanjian

pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara

lain yang disepakati dengan pihak lain selain Pemerintah guna

pelaksanaan pembangunan termasuk untuk kepentingan umum yang tidak

memerlukan persyaratan khusus.

2. Tanah dalam arti luas, sama dengan pengertian bumi. Di Indonesia,

pengertian tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang

dibatasi dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yakni tanah hanya

merupakan permukaan bumi saja.

3. Sertipikat hak atas tanah adalah suatu tanda bukti kepemilikan atas tanah

yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang yakni Badan Pertanahan

Nasional yang ada di Kabupaten / Kota.

7
4. Pelepasan Hak Atas Tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum

antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan

memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.

5. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan

modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha

dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi

persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan

pelaksanaannya

6. PT. Bumi Inti Sari Raya adalah Perseroan terbatas yang usahanya bergerak

di bidang perkebunan khususnya sawit.

7. Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta

autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang ini atau berdasarkan Undang-Undang lain

8. Akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris

menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh Undang-Undang.

9. Akta Pelepasan Hak Atas Tanah adalah Akta yang menyatakan pihak

pemegang hak atas tanah melepas tanah tersebut kepada negara.

E. Landasan Teori

Teori Tujuan Hukum yang digunakan oleh penulis adalah teori tujuan

hukum yang merupakan ajaran Gustav Radbruch. Dimana teori tujuan hukum

mempunyai hal yang ingin dicapai yaitu Kepastian hukum. Kepastian berasal daru

kata pasti, yang artinya tentu, sudah tetap, tidak boleh tidak, suatu hal yang sudah

8
tentu. Kepastian hukum memilik arti perangkat hukum suatu Negara yang mampu

menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara.

Kepastian hukum adalah dasar dalam negara hukum yang mengutamakan

landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan dan keadilan dalam setiap

kebijakan penyelenggaraan Negara, Menurut Pendapat Soehino dalam Bukunya

yang berjudul Ilmu Negara, Kepastian Hukum berkaitan dengan supremasi

hukum, karena hukumlah yang berdaulat. Dalam bukunya juga mengutip

pendapat Krabe yang mengatakan, “bahwa hukumlah memilik kedaulatan

tertinggi. Kekuasaan bukan kedudukan atau pangkat dan jabatan seorang

pemimpin melainkan kekuasaan itu dari hukum, karena hukumlah yang

memberikan pengakuan hak maupun wewenang.

Jika mengaitkan teori ini dengan apa yang dikaji oleh penulis maka

penulis berpendapat, bahwa teori kepastian hukum membantu penulis untuk lebih

menekankan akan kepastian hukum dari pelaksanaan pengalihan hak atas tanah

yang belum bersertipikat berdasarkan akta pelepasan hak atas tanah pada PT.

Bumi Inti Sari Raya di Kabupaten Sarolangun

F. Metodologi Penelitian

Metode penelitian merupakan cara utama untuk memperoleh data yang

lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sehingga tujuan dari

penelitian dapat tercapai. Metode penelitian juga merupakan cara sebagai

pedoman untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang suatu

9
gejala / merupakan cara untuk memahami objek-objek yang menjadi sasaran dari

ilmu pengetahuan yang bersangkutan.

Agar dapat terlaksananya penulisan skripsi ini sesuai dengan topik yang

telah diuraikan diatas dan mengandung kebenaran yang objektif untuk memenuhi

syarat sebagai karya ilmiah, maka penulis menggunakan metode sebagai berikut :

a) Tipe/Spesifikasi Penelitian.

Spesifikasi penelitian yang akan digunakan adalah Deskriptif Analitis,

dengan tujuan memberikan gambaran dan data yang seteliti mungkin

mengenai pelaksanaan penjualan kembali hak atas tanah. Analisis juga

dilakukan dengan menggunakan cara kualitatif terhadap pemecahan

masalah yang terkait dengan pelaksanaan pengalihan hak atas tanah yang

belum bersetipikat berdasarkan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah pada PT.

Bumi Inti Sari Raya di Kabupaten Sarolangun.

b) Pendekatan Penelitian.

Pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini adalah

Yuridis-Empiris, yaitu pendekatan Yuridis-Empiris dimaksud adalah untuk

mengetahui sejauh mana pelaksanaan pengalihan hak atas tanah yang

belum bersetipikat berdasarkan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah pada PT.

Bumi Inti Sari Raya di Kabupaten Sarolangun.

Dikatakan Empiris karena penelitian akan melihat dalam kenyataannya di

lapangan tentang bagaimana PT. Bumi Inti Sari Raya dalam pelaksanaan

pengalihan hak atas tanah yang belum bersetipikat berdasarkan Akta

10
Pelepasan Hak Atas Tanah pada PT. Bumi Inti Sari Raya di Kabupaten

Sarolangun.

c) Penarikan Sampel.

Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah secara purposive

sampling yang terdiri dari :

a. Direktur PT. Bumi Inti Sari Raya.

b. Notaris-PPAT mitra kerja PT. Bumi Inti Sari Raya.

c. Pihak ketiga yang menerima tanah.

d. Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sarolangun.

d) Bahan Hukum.

Dikarenakan penelitian skripsi ini menggunakan metode Yuridis- Empiris,

maka bahan hukum yang akan digunakan dalam skripsi ini adalah :

I. Penelitian kepustakaan.

a. Bahan Hukum Primer.

Yaitu terdiri dari Akta Pelepasan Hak Atas Tanah serta Peraturan

Peundang-undangan yang berlaku berkenaan dengan penulisan skripsi

ini.

b. Bahan hukum skunder.

Yaitu terdiri dari literatur-lteratur atau bacaan-bacaan ilmiah yang

berkenaan dengan penulisan skripsi ini.

c. Bahan Hukum tertier.

Yaitu terdiri dari Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

II. Data Empiris.

11
a. Pengamatan langsung penulis di lapangan.

b. Wawancara langsung penulis kepada Notaris dan Pihak PT. Bumi Inti

Sari Raya.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan terarah mengenai

isi atau uraian dalam skripsi ini, maka penulis menyusun suatu sistematika

penulisannya sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang

mengetengahkan tentang latar belakang

masalah, perumusan masalah, tujuan

penelitian dan penulisan, metodelogi

penelitian serta sistematikan penulisan.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA : Bab ini berisikan tinjauan umum tentang

Tanah dan Hak-hak atas Tanah, serta

Cara-cara Perolehan Hak Atas Tanah,

yang semua ini mengenai pemahaman

secara umum hal-hal yang menjadi pokok

kajian.

BAB III. TINJAUAN UMUM TENTANG HAK GUNA USAHA

Bab ini berisikan tentang Hak Guna

Usaha.

BAB IV. PEMBAHASAN : Bab ini berisikan tentang bagaimana

pelaksanaan pengalihan hak atas tanah


12
yang belum bersetipikat atas dasar Akta

Pelepasan Hak Atas tanah, kendala serta

upaya untuk mengatasi kendala dalam

pengalihan hak atas tanah yang belum

bersertipikat atas dasar Akta Pelepasan

Hak Atas Tanah kepada pihak ketiga.

BAB V. PENUTUP : Bab ini berisikan kesimpulan dan saran

sehubungan dengan kenyataan yang

ditemui dalam rangka penelitian dan

penulisan skripsi ini.

13
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PengertianTanah

Di Indonesia, pengertian tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu

pengertian yang telah dibatasi dalam UUPA, yakni tanah hanya merupakan

permukaan bumi saja. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tidak memberikan

definisi terhadap istilah “tanah”, karena UUPA tidak hanya mengatur tanah saja

melainkan bertujuan pula untuk mengatur Sumber Daya Alam. Sumber daya alam

merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar

1945, yang meliputi : Bumi, Air, Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi

dan air; Ruang Angkasa yang meliputi tenaga dan unsur-unsur dalam ruang

angkasa.

Unsur-unsur sumber daya alam di atas diberikan tafsiran otentik dan

pengertiannya dirumuskan dalam UUPA Pasal 1 ayat 4 yaitu “bumi” terdiri dari

“permukaan bumi” atau “hak atas tanah”. Sedangkan dalam penggunaannya

“tanah”dalam arti “ruang” dirumuskan dalam Pasal 4 ayat 2 UUPA, dimana

pemegang haknya dalam menggunakan atau memakai bidang tanah tertentu

berwenang pula menggunakan sebagian tubuh bumi di bawah tanah, sepanjang

langsung berhubungan dengan penggunaan tanah.

Pengertian dalam “Tubuh Bumi” adalah di bawah permukaan bumi

(sebagai tanah) dan dibawah air dimana terdapat kekayaan alam berupa “bahan-

bahan galian”, yang meliputi: minyak dan gas bumi, emas, perak, platina, timah,

14
tembaga, uranium sampai batu kapur dan asbes. Akan tetapi untuk pengambilan

bahan-bahan galian itu tidak termasuk wewenang dalam “menggunakan tanah”,

karena bahan-bahan galian tersebut dalam penguasaan Negara, sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 8 UUPA, sehingga untuk pengambilannya perlu ada

hubungan hukum yang khusus yaitu Hak Kuasa Pertambangan.

Air menurut pengertiannya termasuk, baik perairan pendalaman (sungai,

danau dan rawa-rawa) maupun laut wilayah Indonesia, yaitu laut yang termasuk

dalam batas-batas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 5 UUA. Air dapat dimanfaatkan

untuk berbagai keperluan dan di dalam air terdapat kekayaan alam berupa hasil

laut, karena begitu besar ,amfaatnya maka pemanfaatan air termasuk dalam

pengaturan UUPA.

Selain unsur-unsur sumber-sumber daya alam tersebut, UUPA juga

mengatur unsur-unsur lainnya, yaitu hutan dan ruang angkasa di atas bumi dan

diatas air, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat 6 UUPA. Dalam ruang angkasa

terdapat tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa, yang dapat digunakan

untuk memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 48 UUPA, antara lain unsur dalam ruang angkasa yang

dapat dijadikan bahan untuk pembuatan hujan buatan.

Sampai saat ini sudah dimulai menggunakan ruang di atas tanah berupa

pembangunan jalan layang baik lalu lintas kendaraan maupun kereta api, juga

untuk pertokoan yang dibangun dengan menggunakan ruang di atas tanah yang

membentang di jalan, dalam hal ini masih dapat diselesaikan berdasarkan

15
ketentuan hukum tanah nasional, karenan tiang-tiang pendukungnya masih dalam

lingkup pengertian memakai tanah dan hal ini berlaku pula untuk ruang bawah

tanah yang terletak di bawah bangunan induk.

Ruang bawah tanah ini belum ada peraturan yang tegas mengaturnya

sampai saat ini. Pengertian ruang bawah tanah adalah bangunan-bangunan yang

berada di dalam tubuh bumi yang secara fisik dan secara fungsional tidak ada

kaitannya dengan bangunan yang berada di atas tanah atau permukaan bumi.

Bangunan tersebut untuk usaha pertokoan, restoran, stasiun dan jalan kereta api di

bawah tanah yang biasanya dikenal dengan subway. Penggunaan runag di bawah

tanah dapat dilandasi dengan sesuatu hak, semacam hak atas tanah, yang disebut

Hak Guna Ruang Bawah Tanah, hal ini pernah diusulkan dan diuraikan oleh Prof.

Boedi Harsono.

Uraian di atas didasarkan oleh berbagai unsur sumber-sumber alam yang

dalam UUPA disebut dengan istilah “Agraria” dalam arti luas. Sehingga Hukum

Agraria dalam arti luas adalah bidang hukum positif yang mengatur unsur-unsur

sumber daya alam dan masing-masing unsur dijabarkan labih lanjut dalam bidang

hukum yang khusus.

Sedangkan dalam praktek sehari-hari dikalangan Kantor Pertanahan, istilah

agraria digunakan sinonim dari tanah atau pertanahan. Oleh karenanya istilah

agraria yang digunakan ini adalah dalam arti sempit, dan Hukum Agraria dalam

arti sempit adalah Hukum Tanah atau Hukum Pertanahan.

16
B. Hak Atas Tanah

Pada hakekatnya semua jenis hak penguasaan atas tanah berisikan

serangkaian wewenang kewajiban dan/atau larang bagi pemegang haknya untuk

berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Jadi, hak atas tanah adalah hak yang

memberi wewenang untuk memakai tanah yang diberikan kepada orang dan

badan hukum.

Hak-hak atas tanah dalam hukum tanah nasional pada dasarnya meliputi

hak-hak atas tanah yang primer yaitu hak-hak atas tanah yang diberikan oleh

Negara dan bersumber langsung pada Hak bangsa Indonesia dan hak-hak atas

tanah yang sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang diberikan oleh pemilik tanah

dan bersumber secara tidak langsung pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah. Hak

atas tanah yang sekunder disebut pula hak baru yang diberikan di atas tanah Hak

Milik dan selalu diperjanjian antara tanah dan pemegang hak baru dan akan

berlangsung selama jangka waktu tertentu.

Pada dasarnya tujuan memakai tanah adalah untuk memenuhi 2 (dua) jenis

kebutuhan yaitu untuk diusakan misalnya usaha pertanian, perkebunan, perikanan

atau peternakan dan untuk membangun sesuatu misalnya mendirikan bangunan,

perumahan, bangunan bertingkat, hotel proyek pariwisata, pabrik, pelabuhan dan

lain-lain.

Setiap jenis hak atas tanah memberikan kewenangan kepada pemegang

haknya untuk memakai/menggunakan tanah yang dihaki. Kewenangan memakai

dalam arti menguasai, menggunakan dan mengambil manfaat dari suatu bidang

tanah tertentu yang dihaki. Dalam rangka memakai tanah mengandung kewajiban

17
untuk memelihara tanah termasuk menambah kesuburannya serta mencegah

kerusakannya, hal mana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pokok

Agraria.

Pemakaian tanah tersebut harus sesuai dengan tujuan pemberian dan isi hak

atas tanahnya serta menurut peruntukannya yang ditetapkan dalam Rencana Tata

Runag Wilayah yang berlaku di daerah letak hak berada baik kabupaten ataupun

kota.

C. Macam-macam Hak Atas Tanah

Undang-Undang Pokok Agraria menetapkan 4 (empat) jenis hak atas tanah

untuk keperluan pribadi maupun untuk kegiatan usaha. Menurut Pasal 20 sampai

Pasal 27 Undang-Undang Pokok Agraria, untuk keperluan pribadi perorangan

Warga Negara Indonesia adalah Hak Milik, sedangkan untuk keperluan usaha

adalah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang dapat pula

digunakan untuk keperluan khusus.

Menurut Pasal 20 UUPA yang dimaksud Hak Milik adalah :

“Hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai


orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial, yang dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain.”

Hak Milik adalah dan hak terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang

atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak tersebut merupakan hak

mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat seperti Hak Eigendom. Kata

“terkuat dan terpenuh” itu bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna

usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lainnya yaitu untuk menunjukkan,

18
bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang, hak miliklah yang

ter paling kuat dan terpenuh2. Hak Milik mempunyai sifat turun temurun, artinya

dapat diwarisi oleh ahli waris yang mempunyai tanah. Adapun sifat terpenuh

maksudnya hak milik itu memberikan wewenang yang paling luas kepada yang

mempunyai hak jika dibandingkan dengan hak-hak yang lain.

Adapun sifat-sifat hak milik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut 3 : Turun

temurun artinya hak milik atas tanah dapat beralih karena hukum dari seseorang

pemilik tanah yang meninggal dunia kepada ahli waris. (Pasal 20 jo pasal 26

UUPA). Terkuat artinya bahwa hak milik atas tanah tersebut yang paling kuat

diantara hak-hak yang lain atas tanah, sehingga dapat dikatakan bahwa Hak Milik

merupakan induk dari hak atas tanah yang lain, sehingga harus didaftarkan (Pasal

20 UUPA). Dapat dialihkan dan dialihkan artinya bahwa Hak Milik atas tanah

yang dimaksud dapat beralih dan dialihkan melalui perbuatan hukum seperti

pewarisan, jual beli, hibah dan penukaran.

Dapat dijadikan jaminan dengan dibebani hak tanggungan artinya hak milik

dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Pengertian hak

tanggungan ini merupakan jaminan yang dijadikan obyek pengikatan jaminan

dalam suatu perjanjian kredit sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor

4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang

berkaitan dengan tanah. Dapat dilepaskan oleh yang mempunyai hak atas tanah

(Pasal 27 UUPA). Dapat diwakafkan (Pasal 49 ayat 3 UUPA) serta jangka waktu

yang tidak terbatas.


2
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Cetakan Kedua,
(Jakarta: Universitas Trisaksti, 2003), hlm. 12
3
Ibid, hlm. 28.
19
Hak Guna Usaha memberikan wewenang untuk menggunakan tanahnya

yang langsung dikuasai Negara untuk usaha pertanian, yaitu perkebunan,

perikanan dan peternakan selama jangka waktu tertentu, yaitu 25 (dua puluh lima)

tahun dan 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang sampai dengan 25

(dua puluh lima) tahun. Hak Guna Usaha ini jika masih diperlukan dapat

diperbaharui haknya dengan diberikan kembali 35 (tiga puluh lima) tahun. Sedang

untuk perusahaan dalam rangkan penanaman modal dapat diberikan sekaligus 95

(sembilan puluh lima) tahun. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Peraturan

Pemerintah Nomor 40 tahun 1996. Dimana Hak Guna dapat diberikan kepada

Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia.

Hak Guna Bangunan memberikan wewenang untuk mendirikan bangunan

di atas tanah kepunyaan pihak lain seperti Tanah Negara atau tanah Hak Milik,

selama jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang sampai 20 (dua

puluh) tahun dan jika masih diperlukan hak tersebut diberikan sekaligus untuk 80

(delapan puluh) tahun. Hak Guna Bangunan ini diatur dalam Pasal 28 Peraturan

Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Hak Guna Bangunan ini hanya dapat

diberikan kepada Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia.

Hak Pakai memberikan kewenangan untuk menggunakan tanah kepunyaan

pihak lain yaitu Tanah Negara dan tanah Hak Milik selama jangka waktu tertentu

yaitu 25 (dua puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang jangka waktunya selama

20 (dua puluh) tahun dan dapat diperbaharui jika masih diperlukan. Untuk

perusahaan dalam rangka penanaman modal dapat diberikan waktu 70 (tujuh

puluh) tahun sekaligus. Hak Pakai ini diatur dalam Pasal 48 Peraturan Pemerintah

20
Nomor 40 Tahun 1996, Hak Pakai ini dapat digunakan untuk mendirikan

bangunan atau usaha pertanian, dengan subyek Hak Pakai adalah Warga Negara

Indonesia, Badan Hukum Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia,

Badan Hukum Asing yang mempunyai kantor perwakilan di Indonesia,

Departemen, Lembaga Non Departemen dan Pemerintah Daerah, Badan

Keagamaan dan Sosial serta perwakilan negara asing dan perwakilan badan

internasional.

Bagi Hak Guna Usaha, Hak Gunan Bangunan dan Hak Pakai, yang karena

tujuan penggunaannya untuk keperluan bisnis atau investasi, maka hak-hak atas

tanah tersebut dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dapat dijadikan

jaminan pelunasan utang dengan dibebani Hak Tanggungan, wajib didaftarkan di

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota untuk mendapatkan sertipikat sebagai tanda

bukti hak, dan tanah dengan hak-hak ini ini tidak boleh disewakan kepada pihak

lain, namun bangunan yang didirikan di atas tanah Hak Guna Bangunan atau Hak

pakai dapat disewakan kepada pihak lain.

Hak-hak atas tanah yang sekunder yang merupakan hak atas tanah bersifat

sementara lainnya disebutkan dalam Pasal 53 Undang-Undang Pokok Agraria,

yaitu Hak Sewa atas tanah pertanian, Hak Usaha Bagi hasil, Hak Gadai atas

Tanah Pertanian dan Hak Menumpang.

Hak Sewa Atas Tanah adalah hak yang memberikan wewenang

menggunakan tanah milik pihak lain dan penyewa wajib membayar sewa kepada

pemilik tanah, pembayran sewanya dapat dilakukan pada waktu tertentu atau

dibayar dimuka, hal ini umumnya dikenal dengan istilah kontrak. Perjanjian sewa

21
menyewa dibuat secara tertulis yang mengatur wewenang, hak dan kewajiban

penyewa, jangka waktu sewa, pemilik bangunan yang didirikan penyewa dan

berakhirnya jangka waktu sewa. Perjanjian sewa menyewa dapat dilanjutkan jika

perjanjian itu diperbaharui.

Hak Usaha Bagi Hasil terjadi berdasarkan Perjanjian Bagi Hasil dalam

bentuk tertulis sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960

tentang Perjanjian Bagi Hasil yang mulai diberlakukan sejak tanggal 7 Januari

1960. Perjanjian Bagi hasil adalah perjanjian yang diadakan antara pemilik tanah

dengan seseorang atau badan hukum yang disebut penggarap, berdasarkan

perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk

menyelenggaralan usaha pertanian di atas tanah milik yang hasilnya dibagi antara

kedua belah pihak menurut imbangan yang disetujui sebelumnya.

Hak Gadai Atas Tanah, merupakan hubungan hukum antara seseourang

dengan tanah hak milik orang lain, yang telah menerima uang gadai dari padanya.

Selama uang gadai belum dikembalikan maka tanah tersebut dikuasai secara fisik

oleh yang memberikan uang gadai. Selama berlangsungnya gadai, pemegang

gadai berwenang untuk memakai atau mengambil manfaat dari tanah tersebut.

Ketentuan Hak Gadai diadaptasi dari hukum adat yang tidak tertulis.

Hak Menumpang juga diatur berdasarkan Hukum Adat, yang memerikan

wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah di atas

tanah pekarangan orang lain. Ada kemungkinan di atas perkarangan kepunyaan

orang lain sudah ada rumah kepunyaan pemilik tanah, atau juga, kemungkinan

merupakan perkarangan yang masih kosong dan pihak yang menumpang

22
mendirikan rumah yang tidak permanen di atasnya. Hak Menumpang ini

merupakan semacam Hak Pakai yang sifatnya khusus. Hubungan hukum dengan

tanahnya sangat lemah, karena sewaktu-waktu dapat diputuskan/diakhiri secara

sepihak oleh si pemilik hak atas tanah.

D. Pelepasan Hak Atas Tanah/Pembebasan Tanah/Pengadaan Tanah

Semua hak atas tanah dapat diserahkan secara sukarela kepada Negara.

Penyerahan sukarela ini yang disebut dengan melepaskan hak atas tanah. Hal ini

sesuai dengan Pasal 27 UUPA, yang menyatakan bahwa:

“Hak milik hapus bila:

a. Tanahnya jatuh kepada Negara:

1. Karenan pencabutan hak berdasarkan Pasal 18;

2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;

3. Karena diterlantarkan;

4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2.

b. Tanahnya musnah.”

Pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula

diantara pemegang hak/menguasai tanah dengan cara memberikan ganti rugi.

Kedua perbuatan hukum diatas mempunyai pengertian yang sama, perbedaannya

pembebasan hak atas tanah adalah dilihat dari yang membutuhkan tanah,

biasanya dilakukan untuk areal tanah yang luas, sedangkan pelepasan hak atas

tanah dilihat dari yang memilik tanah, dimana ia melepaskan haknya kepada

Negara untuk kepentingan pihak lain.

23
Pelepasan hak atas tanah dan pencabutan hak atas tanah merupakan 2

(dua) cara untuk memperoleh tanah hak, dimana yang membutuhkan tanah tidak

memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah.

Menurut Pasal 1 angka (6) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005

Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan

umum merupakan pengganti Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum,

“Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan

melepaskanhubungan antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang

dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah”.

Sehingga penulis berkesimpilan bahwa pengertian Pelepasan Hak Atas

Tanah adalah suatu perbuatan hukum yang berupa melepaskan hubungan hukum

yang semula terdapat antara pemegang hak dan atas tanahnya melalui

musyawarah untuk mencapai kata sepakat dengan cara memberikan ganti rugi

kepada pemegang haknya, hingga tanah yang bersangkutan berubah statusnya

menjadi tanah negara.

Acara pelepasan hak wajib dilakukan dengan surat pernyataan pelepasan

hak tersebut dilakukan oleh pemegang hak atas tanah dengan sukarela. Oleh

karena itu dasar hukum pelepasan hak atas tanah diatur dalam Pasal 27, 34, dan

40 UUPA dan tata cara pelaksanaanya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor

36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk

Kepentingan Umum.

24
Pelepasan hak atas tanah tidak dapat dilakukan oleh Pengadilan Negeri,

apalagi oleh pengadilan luar negeri. Pelepasan hak milik atas tanah dapat

dilakukan dengan akta yang menyatakan bahwa hak yang bersangkutan telah

dilepaskan oleh pemegang haknya, secara notariil atau bawah tangan, yaitu :

1) Akta Notaris yang menyatakan bahwa pemegang yang bersangkutan

melepaskan hak atas tanah (dalam hal ini Hak Milik), atau

2) Surat keterangan dari pemegang hak bahwa pemegang hak yang bersangkutan

melepaskan hak atas tanah (dalam hal ini Hak Milik) yang dibuat didepan

disaksikan oleh Camat letak tanah yang bersangkutan, atau

3) Surat keterangan dari pemegang hak bahwa pemegang hak yang bersangkutan

melepaskan hak atas tanah (dalam hal ini Hak Milik) yang dibuat didepan dan

disaksikan oleh Kepala Kantor Pertanahan setempat.

25
BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG

HAK GUNA USAHA

A. Pengertian Hak Guna Usaha

Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan

Pokok-Pokok Agraria Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha

adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam

jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian,

perikanan, atau peternakan.

Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960, pengertian tanah

negara ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 (L.N. 1953,

No. 14, T.L.N. No. 362). Dalam Peraturan Permerintah tersebut tanah negara

dimaknai sebagai tanah yang dikuasai penuh oleh negara. Substansi dari

pengertian tanah negara ini adalah tanah-tanah memang bebas dari hak-hak yang

melekat diatas tanah tersebut, apakah hak barat maupun hak adat (vrij

landsdomein). Dengan terbitnya UUPA tahun 1960, pengertian tanah Negara

ditegaskan bukan dikuasai penuh akan tetapi merupakan tanah yang dikuasai

langsung oleh Negara.4 Artinya, negara di kontruksikan bukan sebagai pemilik

4
Hal ini teah dijelaskan dalam Penjelasan Umum II (2) UUPA yang secara jelas menyatakan
prinsip untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar tidak
perlu dan tidaklaj pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak
sebagai pemilik tanah.
26
tanah. negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat yang bertindak selaku badan

penguasa, yang diberikan wewenang dalam hal sebagai berikut :

a. mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaannya;

b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas ( bagian dari )

bumi, air dan ruang angkasa itu;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dan perbuatan hukum yang mengenai buni, air dan ruang angkasa.”

Setelah lahirnya UUPA, di dalam berbagai peraturan perundang-undangan

disebutkan bahwa pengertian tanah negara adalah tanah yang tidak dilekati

dengan sesuatu hak atas tanah. Atas pemahaman konsep dan peraturan perundang-

undangan tentang pengertian tanah negara dapat ditarik kesimpulan dalam tataran

yuridis bahwa terdapat dua kategori tanah negara dilihat dari asal usulnya:

1. tanah negara yang berasal dari tanah yang benar-benar belum pernah ada

hak atas tanah yang melekatinya atau disebut sebagai tanah negara bebas;

2. tanah negara yang berasal dari tanah-tanah yang sebelumnya ada haknya,

karena sesuatu hal atau adanya perbuatan hukum tertentu menjadi tanah

negara. Tanah bekas hak barat, tanah dengan hak atas tanah tertentu yang

telah berakhir jangka waktunya, tanah yang dicabut haknya, tanah yang

dilepaskan secara sukarela oleh pemiliknya.

27
Berdasarkan pengertian tersebut, Hak Guna Usaha merupakan suatu hak

yang diberikan oleh negara kepada subjek hukum tertentu dengan syarat yang

tertentu pula untuk mengelola dan mengusahakan tanah negara dengan orientasi

yang bergerak dalam bidang pertanian, perikanan atau peternakan.

Ciri-ciri yang melekat pada hak menurut hukum, dalam catatan Satjipto
Rahardjo5, mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek
dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel atas barang yang
menjadi sasaran dari pada hak.
b. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban.
Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.
c. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan
(commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan, yang
disebut sebagai isi dari pada hak
d. Commission atau omission itu menyangkut sesuatu yang disebut sebagai objek
dari hak,
e. Setiap hak menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu
yang menjadi alasan melekatnya hak itu kepada pemiliknya.

B. Subjek Hak Guna Usaha

Suatu hak hanya dimungkinkan diperoleh apabila orang atau badan yang

akan memiliki hak tersebut cakap secara hukum untuk menghaki objek yang

menjadi haknya. Pengertian yang termasuk pada hak meliputi, hak dalam arti

sempit yang dikorelasikan dengan kewajiban, kemerdekaan, kekuasaan dan

imunitas.

5
Satjipto Rahardjo, Illmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Hal 55
28
Adapun subjek yang dapat memegang Hak Guna Usaha telah diatur dalam

pasal 30 UUPA yang menjelaskan subjek hukum yang dapat menjadi pemegang

hak atas tanah, yaitu :

a. Warga Negara Indonesia

Sebagai subjek hukum, warga negara Indonesia memiliki otoritas untuk

melakukan kewajiban dan mendapatkan haknya. Dengan kata lain, warga negara

Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum

tertentu, misalnya mengadakan suatu perjanjian, mengadakan perkawinan,

membuat surat wasiat, dan lain sebagainya termasuk mengadakan suatu perbuatan

hukum yang menyangkut dengan tanah dan hak-hak atas tanah6.

Pada prinsipnya setiap orang adalah subjek hukum. Dikaitkan dengan

kemampuan menjunjung hak dan kewajiban, orang akan menjadi subjek hukum

apabila perorangan tersebut mampu mendukung hak dan kewajibannya. Dalam

pengertian ini, maka orang-orang yang belum dewasa, orang yang dibawah

perwalian dan orang yang dicabut hak-hak keperdataanya tidak dapat digolongkan

sebagai subjek hukum dalam konteks kemampuan menjunjung hak dan

kewajiban. Intinya, ada ketentuan-ketentuan tertentu yang harus dipenuhi agar

seseorang warga negara dapat digolongkan sebagai subjek hukum,7 yaitu :

 Telah dewasa (jika telah mencapai usia 21 tahun ke atas).

6
Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2005, hal. 24
7 ?
CTS Cansil, Pengantar Ilmu Hukuum dan tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 2002, hal. 118
29
 Tidak berada dibawah pengampuan, dalam hal ini seseorang yang dalam

keadaan gila, mabuk, mempunyai sifat boros, dan mereka yang belum

dewasa.

b. Badan Hukum Indonesia

Badan hukum juga disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban yang

tidak berjiwa. Perbedaannya dengan subjek hukum orang perorangan adalah

badan hukum itu hanya dapat bergerak bila ia dibantu oleh subjek hukum orang.

Artinya, ia tidak dapat melakukan perbuatan hukum tanpa didukung oleh pihak-

pihak lain. Selain itu, badan hukum tidak dapat dikenakan hukuman penjara

(kecuali hukuman denda).8

Untuk dapat menjadi subjek Hak Guna Usaha, badan hukum harus

memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :

1. didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia;

2. berkedudukan di indonesia.

Hal ini membawa konsekwensi bahwa setiap badan hukum, selama

didirikan menurut ketentuan hukum dan berkedudukan di Indonesia dapat menjadi

subjek hak guna usaha. Apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana di atas,

maka berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, maka

dalam jangka waktu satu tahun Hak Guna Usaha tersebut wajib dilepaskan atau

8
Ibid, hal. 118
30
dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila tidak dialihkan, Hak

Guna Usaha tersebut hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.

C. Objek Hak Guna Usaha

Objek tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah

negara. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tanah negara adalah

tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan belum atau tidak terdapat hak-hak

lain di atas tanah tersebut.

Jika tanah yang diberikan Hak Guna Usaha tersebut merupakan tanah

negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian Hak Guna Usaha baru

dapat dilakukan setelah adanya pencabutan statusnya sebagai kawasan hutan.

Demikian juga bila di atas tanah tersebut terdapat hak-hak lain, maka pemberian

Hak Guna Usaha baru dapat dilakukan apabila pelepasan hak yang sebelumnya

telah selesai. Hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4

Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

Selanjutnya, dalam rumusan Pasal 4 ayat (4) disebutkan bahwa apabila di

atas tanah yang akan diberikan Hak Guna Usaha tersebut terdapat bangunan

dan/atau tanaman milik pihak lain yang keberadaannya sah secara hukum, maka

pemegang Hak Guna Usaha dibebankan untuk memberikan ganti kerugian kepada

pemilik bangunan/tanaman yang ada di areal itu sebagai penghargaan terhadap

hak atas tanah yang dihaki oleh pemegang hak sebelumnya.

31
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak

Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya menyebutkan bahwa ganti rugi

yang layak itu disandarkan pada nilai nyata/sebenarnya dari tanah atau benda

yang bersangkutan. Ganti kerugian ini ditetapkan oleh Pemerintah atas usul

Panitia Penaksir yang terdiri dari pejabat ahli dalam bidangnya.

Dalam penetapan besarnya ganti rugi terdapat beberapa hal yang harus

diperhatikan, yaitu : penetapannya harus didasarkan atas musyawarah antara

Panitia dengan parapemegang hak atas tanah dan penetapannya harus

memperhatikan harga umum setempat, disamping faktor-faktor lain yang

mempengaruhi harga tanah.9 Selain itu, perlu pula dipertimbangkan adanya

faktor-faktor non fisik (immateril) dalam penentuan besarnya ganti rugi.

Misalnya, turunnya penghasilan pemegang hak dan ganti kerugian yang

disebabkan karena harus melakukan perpindahan tempat/pekerjaan.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya yang menyebutkan bahwa

musyawarah merupakan salah satu tahapan yang tidak dapat dikesampingkan

dalam proses penetapan ganti kerugian, yaitu peran aktif masyarakat sebagai

pemegang hak atas tanah sebelum hak atas tanah tersebut dialihkan kepada pihak

lain. Pentingnya jaminan bahwa proses musyawarah berjalan sebagai proses

tercapainya kesepakatan secara sukarela dan bebas dari tekanan pihak manapun

dan dalam berbagai bentuknya juga sangat diperlukan.10

9
Maria Sumardjono, Tanah dalam Persepektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008, hal 251.
10
Hal ini sebagaimana telah diatur secara jelas dalam Pasal 9 Keppres Nomor 55/1993
tentang Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
32
Hal ini dikarenakan syarat-syarat untuk tercapainya musyawarah secara

sukarela dan bebas tersebut sangat menetukan jalannya proses penetapan ganti

kerugian. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :

a. ketersediaan informasi secara jelas dan menyeluruh tentang hal-hal yang

berhubungan langsung dengan parapihak (dampak dan manfaat, besarnya

ganti kerugian, rencana relokasi bila diperlukan, rencana pemulihan

pendapatan dan lain sebaginya),

b. suasana yang kondusif

c. keterwakilan parapihak

d. kemampuan parapihak untuk melakukan negosiasi

e. jaminan bahwa tidak adanya tipuan, pemaksaan, atau kekerasan dalam

proses musyawarah.11

Walaupun secara prosedural musyawarah telah memenuhi syarat-syarat di

atas, namun apabila keputusan yang dihasilkan dilandasi adanya tekanan, maka

tidaklah dapat dikatakan telah dicapai kesepakatan karena tekanan itu merupakan

wujud dari pemaksaan kehendak dari satu pihak untuk menekan pihak lain agar

mengikuti kehendaknya. Dengan kata lain, kesepakatan itu terjadi dalam keadaan

terpaksa. Disamping itu, keterlibatan orang/pihak di luar kepanitaan yang tidak

jelas/fungsi dan tanggungjawabnya akan semakin mengaburkan arti musyawarah

tersebut.

Bila dikarenakan ada sebab-sebab tertentu yang terjadi sehingga proses

musywarah tidak dapat berlangsung sebagaimana diharapkan, maka upaya


11
Maria Sumardjono, Tanah dalam Persepektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008, hal 272.
33
parapemegang hak atas tanah tersebut sebelum dialihkan kepada pemegang hak

atas tanah yang baru dapat melakukan beberapa upaya penyelesaian sengketa,baik

melalui jalur litigasi maupun non litigasi.

Dalam rangka pemberian Hak Guna Usaha, tidak semua tanah dapat

menajdi objek Hak Guna Usaha. Adapun tanah-tanah yang dikecualikan sebagai

objek Hak Guna Usaha tersebut adalah 12:

a. tanah yang sudah merupakan perkampungan rakyat,

b. tanah yang sudah diusahakan oleh rakyat secara menetap,

c. tanah yang diperlukan oleh pemerintah.

Dalam konteks luas tanah yang dapat diberikan status Hak Guna Usaha,

Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 menyebutkan bahwa

luas minimum tanah yang dapat diberikan status Hak Guna Usaha adalah lima

hektar. Sedangkan luas maksimum dari tanah yang dapat diberikan kepada

perorangan adalah dua puluhlima hektar. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal

5 ayat (3). Untuk luas tanah yang akan diberikan kepada badan hukum ditetapkan

oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang

di bidang usaha yang bersangkutan dengan mengingat luas tanah yang diperlukan

untuk melaksanakan usaha yang paling berdaya guna di bidang usaha yang

bersangkutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan

Pemerintah Nomor 40 tahu 1996.13

D. Jangka Waktu Hak Guna Usaha


12
Sudharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Edisi Ketiga, Sinar Grafika,
Jakarta, 2001, hal. 24
13
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafia, Jakarta, 2008, hal. 112
34
Jangka waktu pemberian Hak Guna Usaha dapat ditemukan dalam

ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. Dalam rumusan pasal

tersebut disebutkan bahwa:

1) Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.


2) untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat
diberikan Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.
3) atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya
jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat
diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun.

Berdasarkan rumusan pasal 29 sebagaimana tersebut di atas, dapat

diketahui bahwa Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu antara 25 tahun

hingga 35 tahun, dengan ketentuan bahwa setelah berakhirnya jangka waktu

tersebut, Hak Guna Usaha tersebut dapat diperpanjang untuk masa 25 tahun

berikutnya.

Ketentuan mengenai jangka waktu dan perpanjangan Hak Guna Usaha

dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996

tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Pasal

8 menyatakan bahwa:

1) Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan untuk


jangka waktu paling lama tiga puluh lima tahun dan dapat diperpanjang
untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun
2) Sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha dan perpanjangannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada pemegang hak
dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama.

Berdasarkan rumusan pasal 8 tersebut, diketahui bahwa Hak guna Usaha

dapat diberikan untuk jangka waktu maksimum (selama-lamanya) enam puluh

tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:


35
a. tanah tersebut masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan,

sifat dan tujuan pemberian haknya. Hal ini sebagaimana diatur dalam

Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996;

b. syarat-syarat pemberian hak tersebut masih dipenuhi dengan baik oleh

pemegang hak;

c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.

Dengan demikian, setelah berakhirnya jangka waktu 35 tahun dengan

perpanjangan selama 25 tahun (seluruhnya berjumlah 60 tahun), Hak Guna Usaha

hapus demi hukum. Hapusnya Hak Guna Usaha ini bukan berarti tidak dapat

diperbaharui. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan

Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 yang menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha

yang telah berkahir jangka waktunya atau hapus dapat diperpanjang kembali.

E. Hapusnya Hak Guna Usaha

Hapusnya Hak Guna Usaha secara jelas telah diatur di dalam pasal 17

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang menjelaskan sebagai berikut :

a. berakhirnya jangka waktu sebagaimana yang ditetapkan dalam keputusan


pemberian hak atau perpanjangannya,
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena :

1) pemegang hak tidak melakukan kewajiban-kewajibannya, yaitu :

a) tidak membayar uang pemasukan kepada negara;


b) tidak melaksanakan usaha dibidang pertanian, perkebunan,
perikanan dan/atau peternakan sesuai dengan peruntukan dan
persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputuan pemberian
haknya;

36
c) tidak mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik
sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan
oleh instansi teknis;
d) tidak membangun dan/atau menjaga prasarana lingkungan dan
fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha;
e) tidak memelihara kesuburan tanah dan tidak mencegah terjadinya
kerusahan sumber daya alam serta kelestarian lingkungan;
f) tidak menyampaikan laporan secara tertulis setiap akhir tahun
mengenai penggunaan dan pengelolaan Hak Guna Usaha;
g) tidak menyerahkan kembali tanah dengan Hak Guna Usaha kepada
negara setelah hak tersebut hapus;
h) tidak menyerahkan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah berakhir
jangka waktunya kepada kantor pertanahan.

2) adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

c. dilepaskan oleh pemegang hak secara sukarela sebelum jangka waktunya


berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. ditelantarkan (objek Hak Guna Usaha tidak dimanfaatkan sebaik mungkin
oleh pemegang hak);
f. tanahnya musnah, misalnya akibat terjadi bencana alam;
g. pemegang hak tidak lagi memenuhi syarat dan tidak melepaskannya kepada
pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak.

F. Perusahaan Terbatas PT. Bumi Inti Sari Raya

Dalam perekonomian Nasional dewasa ini produk perkebunan kelapa

sawit merupakan komoditas yang cukup strategis, karena produk ini punya

keragaman kegunaan atau merupakan bahan baku dari berbagai produk hilir yang

cukup potensial dipasarkan pada masyarakat. Minyak sawit selain untuk

kebutuhan minyak goreng, RBD Olein dan Stearin, juga merupakan bahan baku

dari berberapa jenis industri hilir seperti keperluan Kosmetika, Alkohol, Gliserin,

Mentega, Minyak Pelumas, Bahan Bakar Kendaraan disamping produk limbah

37
cair, tandan kosong serta cangkang dapat dimanfaatkan untuk pupuk, briket bahan

bakar dll.

PT. Bumi Inti Sari Raya merupakan perusahaan lokal  yang

mengembangkan usahanya dibidang industri perkebunan kelapa sawit. PT. Bumi

Inti Sari Raya berkantor pusat di alamat Gedung Wisma Metropolitan II, LT. 6,

jalan Jenderal Sudirman Kav. 29-31, Jakarta Selatan dan telah membuka kantor

cabang di Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun Propinsi Jambi. Pendiri

PT. Bumi Inti Sari Raya yakni Trisno Kemat (selaku Direktur), Jufri Leono

(selaku Komisaris Utama), dan Ari Kusumastuti (selaku Komisaris).

Adapun PT. Bumi Inti Sari Raya ini di dirikan pada tanggal 22 Januari

2008 sesuai dengan Akta Pendirian Perseroan Terbatas tanggal 22 Januari 2008,

Nomor 31, yang dibuat dihadapan MARIA RAHMAWATI GUNAWAN, SH.

Pada tanggal 25 Januari 2008 Perusahan mengalami perubahan yakni perubahan

nama dari PT. Bumi Inti Sari menjadi PT. Bumi Inti Sari Raya sebagaimana

tercantum dalam Perubahan Akta Pendirian Perseroan Terbatas PT. Bumi Inti Sari

Nomor 35.-

Badan Hukum PT. Bumi Inti Sari Raya telah mendapat pengesahan dari

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dalam keputusan

menteri Nomor : AHU-09361.AH.01.01.Tahun 2008 pada tanggal 26 Februari

2008.

Maksud dan Tujuan didirikannya perseroan adalah menjalankan usaha

yang bergerak dibidang Pertanian yakni perkebunan kelapa sawit.

38
Saat ini perusahaan akan telah melakukan pembukaan lahan untuk

perkebunan kelapa sawit seluas kurang lebih 300 Ha di Kecamatan Air Hitam,

Kabupaten Sarolangun yang telah mendapat Izin Lokasi seperti yang tercantum

dalam Keputusan Bupati Sarolangun Nomor 08 Tahun 2011 tentang Pemberian

Izin Lokasi untuk Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Pola Inti PT. Bumi Inti

Sari Raya, tertanggal 10 Agustus 2011. Lahan tersebut didapat dari para warga

setempat dengan cara memberi ganti rugi serta dengan Akta Pelepasan Hak Atas

Tanah yang dibuat dihadapan Drajad Handoko, SH.M.Kn, selaku mitra dari PT.

Bumi Inti Sari Raya.

Misi dari Perusahan Terbatas PT. Bumi Inti Sari Raya yakni menjadi

perusahaan perkebunan kelapa sawit terbaik di Indonesia. Misi dari perusahaan

tersebut sebagai berikut :

1. Menciptakan sinerji kemitraan saling menguntungkan yang berkeadilan

dan tidak adanya ketertindasan.

2. Memiliki sumber daya manusia yang professional, disiplin, handal, setia

dan religious.

3. Melaksanakan budidaya kelapa sawit dengan teknologi ramah lingkungan

dan pemberdayaan masyarakat.

4. Menjadi produsen kelapa sawit yang kompetitif, profitable dan berguna

bagi bangsa dan Negara.

5. Mewujudkan kesejahteraan menyeluruh bagi petani, karyawan dan

perusahaan yang mampu menjalankan fungsi sosial.

39
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Pengalihan Hak Atas Tanah yang Belum Bersertipikat pada

PT. Bumi Inti Sari Raya berdasarkan Akta Pelepasan Hak Kepada Pihak

Ketiga.

Berdasarkan hasil penelitian penulis terkait masalah pelaksanaan

pengalihan hak atas tanah yang belum sertipikat oleh PT. Bumi Inti Sari Raya

berdasarkan Akta Pelepasan Hak kepada Pihak Ketiga, ini dilakukan

menunjuk pada perjanjian-perjanjian yang dituangkan dalam Akta Pelepasan

Hak Atas Tanah Nomor 22, tertanggal 19 Agustus 2011 yang dibuat

dihadapan Notaris Drajad Handoko, SH.M.Kn selaku mitra dari PT. Bumi Inti

Sari Raya terkhusus yang terdapat klausul kuasa pada pasal 4 yang berbunyi :

“Jika di kemudian hari permohonan hak pihak kedua atas tanah


tersebut kepada instansi yang berwenang agar memperoleh suatu hak
tertentu atas tanah tersebut beserta sertifikat haknya ditolak, maka
perjanjian ini tidak batal tetapi pihak kedua dapat melepaskan hak
atas tanah tersebut kepada pihak lain dengan syarat-syarat dan
perjanjian serta ganti-rugi yang dianggap baik oleh pihak kedua”.14
14
Drajad Handoko, SH.M.Kn, Akta Pelepasan Hak Atas Tanah, Nomor 22, tanggal 19
Agustus 2011.
40
Dengan klausul tersebut berarti pihak kedua yakni PT. Bumi Inti Sari

Raya berhak mengalihkan salah satu kekayaan dari perusahaan tersebut

berupa tanah yang belum bersetifikat kepada pihak ketiga. pengalihan tanah

tersebut dilakukan oleh PT. Bumi Inti Sari Raya kepada pihak ketiga dengan

cara pihak ketiga memberi ganti rugi serta syarat-syarat yang dianggap baik

oleh para pihak. PT. Bumi Inti Sari Raya mengalihkan tanah tersebut

berdasarkan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah.

Pada bab pembahasan ini, penulis akan membahas bagaimana

mekanisme atau tahapan-tahapan dalam proses pengalihan hak atas tanah

berdasarkan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah. Yang dijadikan pihak ketiga

dalam pembahasan ini adalah salah satu warga masyarakat dan bukan

merupakan suatu badan hukum lain. Agar perbuatan hukum ini sah maka

harus mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian.

Dalam hukum perjanjian yang didasarkan pada KUHPerdata berlaku

suatu asas yang dinamakan asas konsensualisme yang artinya bahwa

perjanjian itu sudah sah dan mengikat apabila kedua belah pihak sudah

sepakat mengenai hal yang pokok dan tidak diperlukan suatu formalitas. Asas

konsensualisme yang terdapat dalam buku perjanjian lazimnya disimpulkan

dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan:

1. Adanya kesepakatan

Sepakat berarti bahwa kedua belah pihak yang membuat perjanjian harus

benar-benar menyetujui isi perjanjian tersebut. Jadi, apa yang dikehendaki oleh

pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya secara bebas atau suka

41
rela. Menurut Pasal 1321 KUHPerdata kata sepakat tidak sah apabila diperoleh

karena paksaan, kekhilafan dan penipuan.Yang dimaksud paksaan adalah paksaan

rohania atau paksaan jiwa, bukan paksaan badan (fisik) misalnya, seseorang

diancam atau ditakut-takuti sehingga menyetujui suatu perjanjian. Sedang

kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf mengenai barang yang menjadi

pokok perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian

sedemikian rupa, sehingga apabila tidak khilaf ia tidak aakan memberikan

persetujuan.Penipuan terjadi apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan

keterangna palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk

memberikan persetujuan.

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya

adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan bahwa

orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah :

a. Orang yang belum dewasa;

b. Mereka yang dibawah pengampuan;

c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan

semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat

perjanjian-perjanjian tertentu.

Kecakapan harus ada pada subjek yang membuat prjanjian karena ia harus

mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatannya akibat adanya perjanjian

tersebut. KUHPerdata memberikan batas usia dewasa yaitu 21 atau sudah kawin,

sedangkan UU Perkawinan memberikan batas usia dewasa itu 18 tahun. Orang

42
yang berada di bawah pengampuan adalah orang dewasa yang boros atau yang

tidak sehat pikirannya, karenanya orang ini tidak dapat berbuat bebas terhadap

kekayaannya sehingga ia berada dibawah pengawasan pengampunya. Dalam

Pasal 108 KUHPerdata dinyatakan bahwa wanita yang telah bersuami tidak cakap

untuk membuat perjanjian dan karenanya ia harus minta ijin dari suaminya.

Namun Mahkamah Agung telah mengeluarkan S.E.M.A No. 3 tahun 1963 yang

isinya antara lain agar para hakim tidak lagi menerapkan Pasal 108 KUHPerdata

dalam pertimbangan hukumnya. Setelah keluarnya UU Perkawinan tahun 1974

dalam Pasal 31 ayat 1 dengan jelas mengatakan bahwa hak dan kedudukan istri

adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah

tangga dan pergaulan di masyarakat dan dalam ayat 2 dijelaskan bahwa masing-

masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

3. Mengenai hal tertentu

Dalam Pasal 1333 dan Pasal 1334 KUHPerdata dinyatakan bahwa paling

tidak objek perjanjian itu harus dapat ditentukan jenisnya, baik benda itu berwujud

maupun tidak berwujud. Objek perjanjian dapat berupa benda-benda yang baru

akan ada di kemudian hari.

4. Suatu sebab yang halal

Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah maksud dan tujuan

perjanjian itu sendiri. Dalam Pasal 1335 KUHPerdata dinyatakan bahwa perjanjian

dinyatakan tidak mempunyai kekuatan jika dibuat tanpa sebab atau dibuat

berdasarkan sebab yang palsu atau sebab yang terlarang. Perjanjian yang dibuat

tanpa sebab, misalnya, jika dibuat suatu perjanjian Novasi atau suatu perjanjian

yang tidak ada sebelumnya. Perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang palsu

43
untuk menutupi sebab yang sebenarnya, misalnya, jual beli narkotika untuk sebab

pengobatan ternyata untuk pemakaian secara bebas, sedang sebab yang terlarang

adalah sebab yang bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan

kesusilaan.

Syarat pertama dan kedua Pasal 1320 KUHPerdata disebut syarat subjektif

karena menyangkut orang atau subjek yang membuat perjanjian, bila syarat ini

tidak dipenuhi maka perjanjian atas permohonan yang bersangkutan dapat

dimintakan pembatalanya kepada hakim yang berlaku sejak putusan hakim

memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Sedang syarat ketiga dan keempat

disebut syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian dan bila salah satu

dari syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum dimana

perjanjian itu dianggap tidak pernah ada sejak semula dan pembatalan ini juga

harus dimintakan kepada hakim dimana syarat-syarat yang terdapat pada Pasal

1320 KUHPerdata berlaku juga di dalam perjanjian kredit yang merupakan

perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian yang diatur dalam bagian

khusus harus memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1338 ayat 1

KUHPerdata.

Proses pengalihan hak atas tanah tersebut di mulai dengan pihak PT.

Bumi Inti Sari Raya mencari pihak ketiga yang menginginkan tanah tersebut.

Pihak PT. Bumi Inti Sari Raya menawarkan ke berbagai pihak atas tanah itu.

Agar lebih mudah pihak PT. Bumi Inti Sari Raya menggunakan jasa pihak lain

untuk mencari pihak yang menginginkan tanah. Setelah pihak ketiga yang

menginginkan tanah tersebut sudah didapatkan, maka proses selanjutnya pihak

PT. Bumi Inti Sari Raya menuju lokasi atau objek tanah yang akan di alihkan

44
dengan menunjukkan batas-batas tanah yang sudah ditetapkan sebelumnya

oleh PT. Bumi Inti Sari Raya. Pihak Ketiga juga berhak bertanya kepada pihak

yang berbatasan mengenai tanah yang akan dialihkan tersebut. Sebab apabila

terjadi masalah tentang batas maka pihak ketiga itu juga akan merasa tidak

nyaman.

Apabila pihak ketiga merasa sesuai maka untuk tahap selanjutnya yaitu

pihak PT. Bumi Inti Sari Raya menunjukkan surat-surat serta akta pelepasan

hak sebagai tanda bahwa pihak PT. Bumi Inti Sari Raya memang benar-benar

menguasai tanah tersebut. Adapun surat-surat itu berupa Akta Pelepasan Hak

Atas Tanah, Sporadik atas nama pemilik pertama, serta surat-surat pendukung

lainnya. Akta Pelepasan Hak Atas Tanah ini sebagai pembuktian yang kuat

yang dimiliki pihak PT. Bumi Inti Sari Raya dikarenakan tanah tersebut

belum bersertifikat.

Akta Pelepasan Hak Atas Tanah ini dibuat dalam bentuk akta autentik

yang merupakan suatu akta yang dibuat dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh

pemerintah dalam hal ini pejabat yang dimaksud adalah Notaris. Notaris

adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan

memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang.

Akta Pelepasan Hak Atas Tanah ini yang dibuat dihadapan Notaris merupakan

suatu alat bukti yang kuat dihadapan pengadilan jika terjadi masalah atas

tanah tersebut.

Jika pihak ketiga merasa sesuai dengan semua hal yang bersangkutan

tentang tanah tersebut maka proses selanjutnya yaitu mengenai biaya transaksi

45
atau nilai ganti rugi yang harus diterima oleh PT. Bumi Inti Sari Raya

terhadap pihak ketiga. Proses penilaian tentang nilai ganti rugi ini dilakukan

secara musyawarah antara pihak PT. Bumi Inti Sari Raya dengan pihak ketiga.

Nilai ganti rugi ini dilakukan secara musyawarah antar kedua belah pihak

guna menentukan nilai yang dirasa sesuai dengan tanah tersebut.

Setelah tercapainya kesepakatan antara pihak PT. Bumi Inti Sari Raya

dengan pihak ketiga mengenai nilai ganti rugi, maka untuk proses selanjutnya

pihak PT. Bumi Inti Sari Raya dan pihak ketiga datang ke Kantor Notaris

dalam hal ini Kantor Notaris Drajad Handoko, SH.M.Kn yang beralamat di

Jalan Lintas Sumatera Km 02, Kelurahan Aur Gading, Kecamatan Sarolangun

Kabupaten Sarolangun. Tujuan dengan datangnya para pihak yakni untuk

meminta dibuatkan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah yang dibuat secara

notariil.

Dihapan notaris pihak PT. Bumi Inti Sari Raya juga membawa

dokumen-dokumen berupa Akta Pelepasan Hak Atas tanah serta surat

pendukungnya. Selain dari surat menyurat tentang tanah yang mau dialihkan,

Notaris juga meminta data-data dari yang mengalihkan yakni pihak PT. Bumi

Inti Sari Raya dan pihak ketiga. Sebagai syarat untuk pembuatan Akta

Pelepasan Hak Atas Tanah Notaris meminta terlebih dahulu bahannya untuk

dilengkapi seperti :

a. Pihak PT. Bumi Inti Sari Raya melampirkan sebagai berikut :15

 Fotocopy Akta Pendirian Perusahanan Terbatas PT. Bumi Inti Sari

Raya berikut semua akta perubahan-perubahan sampai terakhir;


15
Hasil wawancara langsung kepada Drajad Handoko, SH.M.Kn, tanggal 18 Mei 2015
46
 Salinan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah sebagai dasar pengalihan

hak atas tanah yang akan di alihkan;

 Fotocopy Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah

(Sporadik) serta surat-surat pendukung sebagai bukti kepemilikan

tanah yang diketahui oleh Kepala Desa;

 Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku Bapak

Trisno Kemat dalam hal ini selaku Direktur sebagaimana tertera

dalam Akta Pendirian / pihak yang mewakili PT. Bumi Inti Sari

Raya;

b. Pihak Ketiga atau pihak yang menerima pengalihan\ hak atas tanah

melampirkan :16

 Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku;

Setelah semua bahan sudah dilengkapi maka segera bahan tersebut di

serahkan ke Kantor Notaris untuk lebih di teliti mengenai keabsahan akan hak

atas tanah tersebut. Setelah di teliti maka Notaris menghubungi kepada para

pihak agar membuat janji kepada notaris untuk proses penanda-tanganan akta

pelepasan hak atas tanah dihadapan Notaris.

Dengan informasi yang telah diberitahukan kepada para pihak maka

para pihak segera mencari waktu yang sesuai guna datang ke Kantor Notaris

untuk penanda-tanganan akta. Setelah mendapat waktu yang sesuai maka

datanglah para pihak ke Kantor Notaris Drajad Handoko, SH.M.Kn. Proses ini

memakan waktu yang tidak lama dimulai dengan pembacaan isi akta

16
Hasil wawancara langsung kepada Drajad Handoko, SH.M.Kn, tanggal 18 Mei 2015
47
pelepasan yang di bacakan oleh Notaris. Setelah dibacakan terhadap para

pihak maka para pihak dapat mengajukan keberatan atau revisi kepada Notaris

atas dasar kesepakatan dengan pihak yang lain. Tugas notaris di sini adalah

hanya mendengar dan mencatat serta membuat apa yang diinginkan oleh para

pihak.

Kewenangan Notaris sumbernya diatur dalam UUJN, pasal 1 ayat 15

UUJN. Secara tekstual pasal 15 UUJN menyatakan sebagai berikut :

1. Notaris berwenang mebuat akta otentik mengenai semua perbuatan,

perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh Peraturan Perundang-

undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk

dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal

pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse akta, salinan

dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu

tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada Pejabat lain atau

orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.

2. Selain kewenangan sebagaimana tersebut pada ayat ayat 1, Notaris

berwenang pula :

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal

surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

b. Membukukan surat-surat dbawah tangan dengan mendaftar dalam

buku khusus.

48
c. Membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan

yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam

surat yang bersangkutan.

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya.

e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan

akta.

f. Membuat akta yang bekaitan dengan pertanahan; atau

g. Membuat akta risalah lelang.

3. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan atau

ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam

Peraturan Perudang-Undangan.

Dengan adanya kewenangan ini maka notaris dapat membuatkan akta

pelepasan hak atas tanah berdasarkan keinginan para pihak selagi itu tidak

bertentangan dengan Undang-Undang, Ketertiban Umum dan Asusila.

Setelah Notaris bacakan dan para pihak setuju maka untuk selanjutnya

proses penandatangan yang ditandatangani dihadapan Notaris. PT. Bumi Inti

Sari Raya sebagai Pihak Pertama dan warga masyarakat yang menginginkan

tanah tersebut sebagai Pihak Kedua. Salinan akta pun segera dibuat oleh

Notaris. Setelah ditandatangani akta pelepasan hak atas tanah tersebut maka

seketika itu juga dilakukan proses pemberian ganti rugi oleh Pihak Ketiga

kepada pihak PT. Bumi Inti Sari Raya dengan nilai ganti rugi yang sudah

disepakati di awal. Pemberian ganti rugi ini ditandai dengan pembuatan

kwitansi sebagai tanda bahwa pihak PT. Bumi Inti Sari Raya telah menerima

49
ganti rugi akan tetapi kwitansi ini merupakan suatu kesatuan yang tak

terpisahkan dengan akta pelepasan hak atas tanah yang sudah dibuat.

Salinan akta pelepasan hak atas tanah tersebut sudah selesai dan semua

surat-surat baik akta pelepasan hak atas tanah yang lama maka semua itu

segera diserahkan kepada pihak ketiga tanpa ada yang dikecualikan. Dan

untuk pihak ketiga tersebut dapat langsung mengajukan pembuatan Surat

Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik) atas nama dirinya

sendiri kepada Kepala Desa dimana tanah tersebut berada dengan

menunjukkan semua surat serta akta yang bersangkutan dengan tanah tersebut.

Pembuatan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik) ini

diperlukan sebagai syarat untuk pengajuan pendaftaran tanah / pembuatan

sertipikat pada Kantor Badang Pertanahan Nasional Kabupaten Sarolangun.

Dengan dibuatnya Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah

(Sporadik) atas nama pihak ketiga maka selesai pula proses pengalihan hak

atas tanah tersebut dan pihak ketiga sudah sah menjadi pemilik baru atas tanah

tersebut.

B. Hal-Hal yang Menjadi Kendala dalam Pelaksanaan Pengalihan Hak Atas

Tanah yang Belum Bersertipikat pada PT. Bumi Inti Sari Raya

Berdasarkan Akta Pelepasan Hak kepada Pihak Ketiga.

Dalam Pelaksanaan Pengalihan Hak Atas Tanah yang belum

bersertifikat oleh PT. Bumi Inti Sari Raya berdasarkan Akta Pelepasan Hak

kepada pihak ketiga terdapat hal yang menjadi kendala yaitu tanah tersebut

50
belum bersertifikat. Ini merupakan kendala yang cukup penting dalam

pengalihan tanah tersebut dikarenakan sertifikat ini adalah suatu tanda bukti

hak yang kuat untuk memiliki / menguasai tanah tersebut.

Berdasarkan ketentuan pasal 1886 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPerdata) ada lima alat bukti yaitu :

1. Alat bukti tertulis;

Dalam acara perdata, bukti tertulis merupakan alat bukti dalam

acara perdata, bukti tertulis merupakan alat bukti yang penting dan paling

utama di banding yang lain. Alat bukti tertulis atau surat adalah segala

sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksud untuk mencurahkan isi

hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang yang ditujukan

untuk dirinya dan atau pikiran seseorang yang ditujukan untuk dirinya dan

orang lain yang dapat digunakan untuk alat pembuktian.

Ada dua macam akat bukti tertulis atau surat, yaitu :

a) Surat yang bukan akta.

Surat dibawah tangan yang bukan akta tercantum dalam

Pasal 1874 KUHPerdata. Beberapa jenis surat tertentu

digolongkan ke dalam surat yang bukan akta, yaitu buku

daftar (register), surat-surat rumah tangga, dan catatan-

catatan yang dibubuhkan oleh kreditur pada suatu alas hak

yang selamanya dipegangnya (Pasal 1881, 1883

KUHPerdata). Kekuatan pembuktian terhadap surat yang

51
bukan akta diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan

hakim (Pasal 1881 ayat (2) KUHPerdata).

b) Surat berupa akta.

Akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat

peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan,

yang dibuat sejak awal untuk maksud pembuktian. Syara

formal sebuah akta adalah adanya tanda tangan pada akta

tersebut (Pasal 1869 KUHPerdata). Hal ini bertujuan untuk

membedakan kebenaran akta yang dibuat oleh orang yang

satu dengan orang yang lain. Jadi, fungsi tanda tangan pada

akta adalah untuk yang lain memudahkan identifikasi dan

mecirikan serta mengindividualisir suatu akta.

Akta dapat dibagi atas :

 Akta Otentik.

Menurut pasal 1868 KUHPerdata, akta otentik

adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi

wewenang untuk itu oleh pemerintah menurut

peraturan peundang-undangan yang berlaku, baik

dengan maupun tanpa bantuan pihak yang

berkepentingan, yang mencatat apa yang diminta

untuk dimuat di dalamnya oleh yang

berkepentingan. Dalam hal ini yang dimaksud

dengan pejabat yang berwenang adalah Notaris,

52
Panitera, Jurusita, Pegawai Negeri Sipil, Hakim dan

sebagainya. Akta otentik mempunyai 3 macam

kekuatan pembuktian, yaitu : yang pertama adalah

Kekuatan pembuktian formil membuktikan antara

para pihak, bahwa mereka sudah merangkan apa

yang ditulis dalam akta tersebut. Yang kedua adalah

kekuatan pembuktian materil membuktikan antara

para pihak, bahwa peristiwa-peristiwa yang tertera

dalam akta tersebut telah terjadi. Yang ketiga adalah

kekuatan mengikat membuktikan antara para pihak

dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut

dalam akta yang bersangkutan tekah menghadap

kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa

yang ditulis dalam akta tersebut. Oleh karena

menyangkut pihak ketiga, maka akta otentik

mempunyai kekuatan bukti keluar.

 Akta dibawah tangan.

Akta dibawah tangan adalah suatu ssurat yang

ditandatangani dan dibuat dengan maksud untuk

dijadikan bukti suari perbuatan hukum. Akta

dibawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian

yang sempurna seperti akta otentik, apabila isi dan

tandatangan dari akta tersebut diakui oleh orang

53
yang bersangkutan. Dalam akta otentik tidak

memerlukan pengakuan dari pihak yang

bersangkutan agar mempunyai kekuatan

pembuktian yang sempurna. Dalam akta otentik,

tanda tangan tidak merupakan persoalan, akan tetapi

dalam akta dibawah tangan pemeriksaan tentang

benar tidaknya akta yang bersangkutan telah

ditandantangani oleh yang bersangkutan merupakan

acara pertama.

2. Alat bukti saksi.

Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal

yang tidak dikecualikan oleh Undang-Undang seperti yang tercantum

dalam Pasal 1895 KUHPerdata. Tiap kesaksian haru disertai keterangan

tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya. Pendapat maupun

dugaan khusus, yang diperoleh dengan memakai pikiran, bukanlah suatu

kesaksian (Pasal 1907 KUHPerdata). Dengan kata lain, saksi adalah

seseorang yang melihat, mengalami atau mendengar sendiri kejadian (atau

peristiwa hukum) yang diperkarakan. Yang tidak dapat didengar sebagai

saksi, yaitu :

a) Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut

garis lurus;

b) Suami atau isteri salah satu pihak, meskipun telah bercerai;

c) Anak yang belum dewasa atau belum dianggap cakap;

54
d) Orang gila, walaupun kadang-kadang ingatannya terang.

Mereka ini boleh didengar keterangannya, akan tetapi bukan

sebagai saksi. Keterangan yang mereka berikan hanya boleh dianggap

sebagai penjelasan. Untuk memberikan keterangan tersebut mereka tidak

perlu disumpah. Yang boleh mengundurkan diri untuk tidak memberikan

kesaksian yakni :

a) Saudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar laki-laki dan ipar

perempuan dari salah satu pihak.

b) Keluarga sedarah menurut keturunan garis lurus, saudara laki-laki dan

saudara perempuan dari laku-laki atau isteri salah satu pihak.

c) Semua orang karena martabat, pekerjaan atau jabatan yang sah,

diwajibkan menyimpan rahasia yang berhubungan dengan martabat,

pekerjaan atau jabatan itu.

3. Alat bukti persangkaan

Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh Undang-Undang atau

oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu

peristiwa yang tidak diketahui umum (Pasal 1915 KUHPerdata).

Persangkaan Undang-Undang atau persangkaan hukum adalah

persangkaan berdasarkan suatu ketentuan khusus Undang-Undang

berkenaan atau berhubungan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa

tertentu (Pasal 1916 KUHPerdata). Persangkaan-persangkaan semacam ini

antara lain :

55
a) Perbuatan oleh Undang-Undang dinyatakan batal, karena semata-mata

demi sifat dan wujudnya dianggap telah dilakukan untuk

menyelundupi suatu ketentuan Undang-Undang.

b) Perbuatan yang oleh Undang-Undang diterangkan bahwa hak milik

atau pembebasan hutang disimpulkan dari keadaan tertentu.

c) Kekuatan yang oleh Undang-Undang diberikan kepada suatu putusan

hakim yang teleh memperoleh kekuatan hukum tetap.

d) Kekuatan yang oleh Undang-Undang diberikan kepada pengakuan atau

sumpah salah satu pihak.

Persangkaan Hakim adalah persangkaan berdasarkan kenyataan atau

fakta yang bersumber dari fakta yang terbukti dalam persidangan

sebagai titik tolak menyusun persangkaan (Pasal 1922 KUHPerdata).

4. Alat bukti pengakuan

Pengakuan adalah pernyataan atau keterangan yang dikemukakan

salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan suatu

perkara. Pernyataan atau keterangan itu dilakukan di mjuka hakim atau

dalam sidang pengadilan. Keterangan itu merupakan pengakuan, bahwa

apa yang didalilkan atau yang dikemukakan pihak lawan benar untuk

keseluruhan atau sebagian.

5. Alat bukti sumpah

Sumpah sebagai alat bukti adalah suatu keteranganatau pernyataan

yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang

bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu takut atas

56
murka Tuhan apabila dia berbohong dan takut murka Tuhan dianggap

sebagai daya pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang

sebenarnya terjadi. Ada dua macam sumpah, yaitu

a) Sumpah yang dibebankan oleh hakim; dan

b) Sumpah yang dimohonkan pihak lawan.

Apabila sumpah telah diucapkan, hakim tidak diperkenankan lagi

untuk meminta bukti tambahan dari orang yang disumpah itu, yaitu perihal

dalil yang dikuatkan dengan sumpah tersebut.

Jadi sertipikat merupakan suatu alat bukti yakni alat bukti tertulis.

Menurut salah satu pihak ketiga / masyarakat yang saya minta keterangan

mengenai hal ini mengatakan bahwa mereka sedikit kurang yakin akan status

kepemilikan tanah tersebut dikarenakan tanah tersebut belum ada

sertifikatnya. Sertifikat merupakan tanda bukti kepemilikan yang sah dan kuat

serta memberikan rasa aman bagi pemiliknya.

Dengan kondisi seperti ini maka akan akan sulit bagi PT. Bumi Inti Sari

Raya menemukan pihak yang mau menerima pengalihan tanah dengan ganti

rugi dikarenakan hal tersebut. Pihak ketiga yang ingin menerima pengalihan

tanah tersebut merasa tidak nyaman dikarenakan tanah tersebut belum ada

sertipikat nya sehingga untuk timbul sengketa akan sangat besar dan beresiko

walaupun pihak PT. Bumi Inti Sari Raya telah menunjukkan surat serta akta

yang membuktikan bahwa tanah tersebut tidak akan terjadi sengketa. Namun

anggapan masyarakat yang belum mengenal luas tentang hal itu tetap

menganggap hal itu sebuah tidak kenyamanan.

57
Ada beberapa permasalahan tentang kepemilikan tanah yang ada di

daerah tersebut. Hal ini terjadi bahwa pihak pertama yang melepaskan hak

atas tanah tersebut dengan menerima ganti rugi dari PT. Bumi Inti Sari Raya

ternyata menjual kembali tanah tersebut kepada masyarakat lain dengan

meminta kembali dibuatkan surat-surat kepemilikan tanah seperti surat

pernyataan penguasaan fisik bidang tanah (Sporadik) dan surat lainnya

kepada Kepala Desa. Kepala Desa itupun mengeluarkan sporadik tersebut

dikarenakan Kepala Desa itu merupakan Kepala Desa yang baru menjabat

sebagai Kepala Desa sehingga dapat dibuat sporadik kembali.

Kepala Desa yang baru ini tidak tahu bahwa tanah tersebut sudah

pernah dikeluarkan sporadiknya dan sudah pula diambil alih pihak PT. Bumi

Inti Sari Raya. Hal ini dikarenakan untuk pendataan tanah yang sudah

sertipikat dan yang sudah dikeluarkan sporadik tidak tertib atau tidak teratur

sehingga terjadilah kondisi yang seperti ini dan pada akhirnya ini akan

menimbulkan sengketa tanah. Inilah yang menjadi kekhawatiran pihak ketiga

yang ingin memiliki lahan tersebut.

C. Upaya Untuk Mengatasi Kendala-Kendala yang Dihadapi dalam

Pelaksanaan Pengalihan Hak Atas Tanah yang Belum Bersertipikat pada

PT. Bumi Inti Sari Raya Berdasarkan Akta Pelepasan Hak kepada Pihak

Ketiga.

Berdasarkan beberapa situasi yang penulis temukan dalam proses

pelaksanaan pengalihan hak atas tanah yang belum bersertipikat oleh PT.

58
Bumi Inti Sari Raya berdasarkan akta pelepasan hak atas tanah dapat

dilakukan sesuatu guna mengatasi masalah yang ditemukan antaran lain :

Bagi pihak PT. Bumi Inti Sari Raya tanah yang sudah didapat

seharusnya wajib segera dilakukan pendaftaran tanah pada Kantor Badan

Pertanahan Nasional dimana tanah tersebut berada untuk mendapatkan

sertipikat yang berupa Hak Guna Usaha (HGU) berdasarkan Akta Pelepasan

Hak Atas Tanah. Hal ini sangat berguna apabila tanah tersebut mau dialihkan

ke pihak ketiga / pihak lain yang ingin mengambil alih. Pihak ketiga akan

percaya jika tanah tersebut benar-benar dikuasai secara yuridis oleh PT. Bumi

Inti Sari Raya dengan ditandai adanya sertipikat hak guna usaha yang terdaftar

atas nama PT. Bumi Inti Sari Raya. Hal ini memberikan rasa aman bagi pihak

ketiga.

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria Presiden Republik Indonesia, Pasal 19 angka (1)

bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan

pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan -

ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.

Dengan adanya pasal ini sudah sangat jelas bahwa pendaftaran tanah

pada Kantor Badan Pertanahan Nasional sangat berguna untuk menjamin

kepastian hukum dan penguasaan hak atas tanah. Sertipikat yang sudah di

terbitkan akan memberikan kepastian hukum siapa yang punya hak

kepemilikan atas tanah tersebut serta diakui kepemilikannya oleh Pemerintah.

Sertipikat juga merupakan alat pembuktian yang sempurna apabila terjadi

59
sengketa atau ada pihak yang menuntut atas tanah tersebut. Dengan adanya

sertipikat ini memberikan banyak manfaat terutama rasa aman serta

menghindari dari perbuatan penyerobotan tanah yang sudah sering terjadi di

dalam masyarakat. Sertipikat berguna sebagai bukti otentik dalam suatu

sengketa.

Sertipikat yang sudah diterbitkan dapat juga di jadikan jaminan suatu

hutang misalkan pada salah satu Bank Pemerintah maupun swasta sehingga

PT. Bumi Inti Sari Raya dapat menggunakan sertipikat tersebut untuk modal

usaha atau meningkatkan jumlah produksi.

60
BAB V

PENUTUP

B. Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab-bab terdahulu,

maka mengakhiri dari pada penulisan skripsi ini dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut :

1. Bahwa dalam pelaksanaan pengalihan hak atas tanah yang belum bersertipikat

oleh PT. Bumi Inti Sari Raya ini dapat dilakukan berdasarkan akta pelepasan

hak atas tanah. Di dalam akta pelepasan hak atas tanah tersebut terdapat

klausul untuk mengalihkan tanah tersebut yakni “Jika di kemudian hari

permohonan hak pihak kedua atas tanah tersebut kepada instansi yang

berwenang agar memperoleh suatu hak tertentu atas tanah tersebut beserta

sertifikat haknya ditolak, maka perjanjian ini tidak batal tetapi pihak kedua

dapat melepaskan hak atas tanah tersebut kepada pihak lain dengan syarat-

syarat dan perjanjian serta ganti-rugi yang dianggap baik oleh pihak kedua”.

Dengan adanya klausul ini maka pengalihan ini dapat dilakukan kepada pihak

ketiga

2. Proses pelaksanaan pengalihan hak atas tanah yang belum bersertipikat

berdasarkan akta pelepasan hak oleh PT. Bumi Inti Sari Raya di Kabupaten

Sarolangun melalui beberapa tahapan-tahapan yakni :

61
 Tahap pencarian pihak ketiga yang menginginkan tanah;

 Tahap penunjukkan objek tanah yang akan dialihkan;

 Tahap pemberian dokumen bukti-bukti kepemilikan tanah oleh PT. Bumi

Inti Sari Raya;

 Tahap pembuatan akta pelepasan hak atas tanah di hadapan Notaris;

 Tahap pembayaran ganti rugi oleh pihak ketiga dengan ditandai

pembuatan kwitansi sebagai tanda terima ganti rugi;

 Tahap penyerahan dokumen berikut bukti-bukti bahwa pihak ketiga

adalah pemilik sah yang menguasai hak atas tanah tersebut.

C. Saran – saran

1. Mengingat belum tanah tersebut belum bersertipikat maka sebaiknya pihak

PT. Bumi Inti Sari Raya segera mengajukan pendaftaran tanah pada Kantor

Badan Pertanahan Nasional dimana tanah tersebut berada sebelum jangka

waktu berakhir dan tanah tersebut jatuh menjadi tanah negara.

2. Perlunya pendaftaran tanah ini berguna untuk memberikan kepastian hukum

mengenai hak-hak oleh manusia secara perorangan mauapun suatu badan

hukum sehingga untuk pengalihan hak atas tanah dapat dengan mudah

dilaksanakan.

3. Pendaftaran tanah ini selain berguna untuk memberikan kepastian hukum,

dapat juga dijadikan alat bukti yang kuat bahwa subjek hukum hyang

tercantum dalam sertipikat tersebut adalah pemegang hak sesungguhnya,

62
sebelum dibuktikan sebaliknya atau telah lewat jangka waktu 5 (lima) tahun

sejak penerbitan sertifikat tanah.

4. Sertipikat dapat dijadikan sebagai jaminan hutang serta untuk melindungi

pihak PT. Bumi Inti Sari Raya dari sengketa dan penyerobotan tanah yang

sudah sering terjadi di dalam masyarakat.

5. Dengan adanya sertipikat, maka untuk biaya ganti rugi akan relatif lebih tinggi

dari pada tanah yang belum bersertifikat.

63

Anda mungkin juga menyukai