Anda di halaman 1dari 115

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Tanah mempunyai peranan yang penting karena tanah merupakan
sumber kesejahteraan, kemakmuran, dan kehidupan. Hal ini memberikan
pengertian bahwa tanah merupakan tanggung jawab nasional untuk
mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana dalam
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan : Bumi air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tanah juga merupakan kebutuhan pokok bagi keberadaan seluruh
makhluk hidup beserta benda-benda lainnya dipermukaan bumi ini.
Semakin meningkatnya kebutuhan terhadap tanah, maka perolehan tanah
melalui jual beli banyak dilakukan oleh masyarakat. Jual beli Tanah yang
sudah bersertifikat maupun yang belum bersertifikat harus melalui
pendaftaran pada kantor pertanahan.
Hal ini diatur didalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu
sebutan lain ndari Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria.Salah satu tujuan Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) adalah untuk memberikan kepastian hukum berkenaan

dengan hak-hak atas tanah yang dipegang oleh masyarakat. Untuk mencapai
tujuan tersebut, pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah, dan
secara tegas diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa:
Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Kebijakan, mekanisme dan prosedur permohonan pendaftaran tanah
masih menunjukkan adanya gejala ketidakpastian, karena tata caranya
dirasakan panjang dan berbelit-belit, serta membutuhkan waktu yang lama,
maupun biaya yang cukup tinggi. Meningkatnya kesadaran hukum
masyarakat yang disertai dengan semakin tingginya nilai ekonomi tanah,
menjadikan masyarakat semakin menyadari pentingnya status hak tanah,
sehingga perlu dilakukannya pendaftaran tanah untuk pertama kali.
Mengingat keterbatasannya aparat Kantor Pertanahan pada saat ini,
menuntut adanya tata kerja yang baik dalam hal pengumpulan data,
penelitian, pengolahan data maupun dalam penyajian informasi status hak
atas tanah.

Sebagaimana diketahui bahwa tanah sebagai salah satu wujud benda


tetap yang menjadi objek hukum dalam melakukan perbuatan hukum dapat
diklasifikasikan dalam buku ke II KUHPerdata yaitu tentang kebendaan
yang dikategorikan sebagai hukum harta kekayaan dan hukum mewaris.
Sebagai benda tetap maka tanah juga dapat dialihkan atau beralih kepada
pihak lain dengan cara dijual, dihibahkan, diwariskan, dijaminkan ataupun
dibagikan menurut kehendak pemiliknya.Perintah/keharusan pendaftaran
tanah juga berlaku jika terjadi peralihan hak atas tanah. Mengenai hak milik,
berdasarkan Pasal 23 UUPA peralihan hak milik atas tanah wajib
didaftarkan, Pasal ini sudah lengkap berbicara, yaitu:
1. Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya
dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang
dimaksud dalam Pasal 19 UUPA.
2. Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang
kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan
pembebanan hak tersebut.
Peralihan tersebut, memang dimungkinkan sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa : Hak
milik atas tanah dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dalam hal ini
penerima hak yang baru wajib mendaftarkan peralihan hak milik atas tanah
yang diterimanya dalam rangka memberikan perlindungan hak kepada
pemegang hak atas tanah yang baru demi ketertiban tata usaha pendaftaran

tanah.Sebagai alat bukti yang kuat, sertifikat mempunyai arti sangat penting
bagi perlindungan kepastian hukum pemegang hak atas tanah.
Dalam melakukan suatu perbuatan hukum peralihan hak jual beli
atas tanah, maka harus disertai dengan bukti otentik seperti Pernyataan
Perjanjian Jual Beli (PPJB) dan Akta Jual Beli (AJB) yang dapat diperoleh
dari pejabat yang berwenang. Dengan cara tersebut maka akan terjadi
hubungan kausal antara peralihan hak dengan suatu kesepakatan, sebab
dalam penyerahan suatu benda akan dianggap sah apabila perjanjian telah
dianggap sah.1
Suatu benda dapat menjadi hak milik bagi seseorang atau pihak lain
dengan bukti kepemilikan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hak kebendaan memiliki ciri-ciri yaitu
hak yang mengikuti bendanya dan hak sepenuhnya untuk memindahkan,
seperti dalam hal pemilik ingin menjual bendanya.2
Hak-hak kebendaan yang dapat melekat pda benda tak bergerak
seperti tanah antara lain berupa Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna
Usaha, Hak Pakai, Hak Tanggungan, dll. Sebagai konsekuensi pengakuan
negara terhadap hak atas tahan yang dimiliki oleh orang atau badan hukum,
maka negara berkewajiaban memberikan jaminan kepastian hukum terhadap
hak atas tanah tersebut, sehingga seriap orang atau badan hukum yang
memiliki hak tersebut dapat mempertahankan haknya. Untuk memberi
kepastian dan jaminan kepastian hukum maka pemerintah mengadakan
1
2

Asas-asas Hukum Perdata (Senat Mahasiswa FHUI,1990) hal.41


Ibid, hal 52

sistem pendaftaran tanah, sebab dalam pedaftaran tanah dimaksudkan untuk


memberikan kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah yang
diwujudkan dalam bentuk sertifikat hak atas tanah. 3 Pendaftaran tanah
dilakukan apabila aka terjadi perbuatan hukum atas tanah seperti jual beli
yang merupakan perwujudan dari perubahan data pendaftaran tanah.
Salah satu perbuatan hukum yang dapat dilakukan sertifikat sebagai
alas hak yaitu jual beli tanah dan bangunan yang mensyaratkan adanya suatu
pernyataan kehendak secara tegas yang dilakukan dengan maksud untuk
menimbulkan akibat hukum. Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan
dalam pasal 26 yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah.
Sedangkan dalam pasal lain menyebutkan dialihkan. Pengertian dialihkan
menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan
hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar
ataupun hibah wasiat.4
Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah, maka jual beli dilakukan oleh para pihak dihadapan
PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual beli
dihadapa PPAT maka dipenuhi syarat terang. Akta jual beli yang
ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari
penjual kepada pembeli dengan disertai pembayaran harganya sehingga

Pasal 19 ayat (1) UUPA jo. Pasal (3) PP 24 Tahun 1997


Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2007), hal 76
4

telah memenuhi syarat tunai dan menujukkan bahwa secara nyata dan riil
perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan.
Suatu permohonan pemindahan hak hanya dapat dilakukan oleh
pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah,
atau oleh pihak lain yang merupakan penerima hak berdasarkan akta PPAT.
Sedangkan apabila para pihak tidak dapat mengajukan sendiri permohonan
tersebut, maka dapat dikuasakan kepada orang lain dengan menyertai surat
kuasa yang diketahui oleh pihak pemberi kuasa.
Dalam waktu 7(tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya
akta oleh PPAT sebagai seorang pejabat pelaksana pendaftaran tanah, maka
wajib menyampaikan akta yang dibuatnya disertai dokumen-dokumen lain
yang diperlukan di Kantor Pertanahan untuk dapat segera dilaksanakan
proses pendaftaran peralihannya. 5 Akan tetapi Kepala Kantor Pertanahan
juga dapat menolak suatu permohonan pemindahan hak apabila sertifikat
atau surat keterangan tentang keadaan hak atas tanah tersebut tidak sesuai
dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor Pertanahan., dokumen yang
diperlukan tidak lengkap, tanah yang bersangkutan merupakan obyek
sengketa, perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta PPAT batal atau
dibatalkan oleh Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.

Sahat AMT Sinaga, Jual Beli Tanah Dan Pencatatan Peralihan Hak, (Bandung :
Pustaka Sutra, 2007), hal 31

Dalam pasal 37 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan


Nasional No.3 Tahun 1997ditetapkan bahwa peralihan hak atas tanah
melalui jual beli, tukar menukar, hibah, dan pemindahan hak lainnya kecuali
lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh
pejabat yang berwenang. Adapun fungsi akta yng dibuat oleh PPAT adalah
hanya sebagai syarat bagi terjadinya dan sahnya perbuatan hukum
pemindahan hak yang telah dilakukan. Sahnya suatu perbuatan hukum
peralihan hak antara lain ditentukan oleh :
1. Adanya kecakapan dan kewenangan para pihak untuk melakukan
perbuatan hukum yang bersnagkutan,
2. Dipenuhinya syarat oleh penerima hak untuk menjadi pemegang hak atas
tanah yang akan diperolehnya.
3. Persetujuan bersama untuk melakukan perbuatan hukum.
4. Dipenuhinya syarat terang, tunai dan riil bagi perbuatan hukum
pemindahan hak yang dilakukan.
Selaku Instansi yang berwenang, pihak Badan Pertanahan Nasional
dalam menyelenggarakan proses balik nama atas tanah tidaklah dengan
sembarang. Apalagi jika balik nama atas tanah tersebut karena proses jual
beli. Badan Pertanahan Nasional harus mengetahui identitas dari si pihak
pembeli dan penjual. Serat dalam syarat pembuatan akta jual beli hak atas
tanah pihak ppenjual dan pembeli harus menghadap kepada Kantor
Pertanahan setempat. Dalam kasus yang penulis teliti ini, sejak awal
transaksi jual beli berlangsung, pihak pembeli tidak langsung membalik
nama atas tanah dan bangunan tersebut. Melainkan beberapa tahun

kemudian barulah akan dibalik nama, sedangkan si pihak pembeli sudah


tidak mengetahui lagi keberadaan si pihak penjual untuk membantu proses
balik nama tanah dan bangunan tersebut. Maka pihak Badan Pertanahan
Nasional akhirnya meminta kepada pihak pembeli tersebut untuk
mendatangi pengadilan dan meminta putusan. Karena dalam persidangan si
pihak penjual tidak dapat memenuhi panggilan secara patut maka putusan
untuk balik nama tersebut diputus secara Verstek dengan lampiran buktibukti yang benar.
Dengan memperoleh tanda bukti hak berupa sertifikat hak atas tanah
yang telah dilakukan proses balik nama maka pemegang hak baru atau
semula sebagai pihak pembeli dapat secara leluasa untuk memperguanak
sertifikat tersebut. Oleh karena itu penulis sangat tertartik mengambil judul
skripsi TINJAUAN YURIDIS PERALIHAN ATAS SERTIFIKAT
TANAH DAN BANGUNAN UNTUK BALIK NAMA DIPUTUS
SECARA

VERSTEK

STUDI

KASUS

PUTUSAN

NOMOR

88/PDT.G/2013/PN.DPK
B.

Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi identifikasi
masalahnya adalah :
1. Apakah proses pelaksanaan balik nama sertifikat hak atas tanah?
2. Apakah proses beracara dipengadilan sehingga dijatuhkan putusan

C.

verstek?
Rumusan Masalah
8

Dari identifikasi masalah diatas maka penulis merumuskan beberapa


masalah yang akan diteliti berkaitan dengan masalah balik nama atas
sertifikat tanah dan bangunan yang diputus secara Verstek yaitu :
1. Bagaimanakah proses pelaksanaan balik nama sertifikat hak atas tanah?
2. Bagaimanakah proses beracara dipengadilan sehingga dijatuhkan putusan
verstek?
D.

Tujuan dan Manfaat Penelitian


Setelah menguraikan latar belakang permasalahan dan identifikasi
masalah maka penulis akan mengemukakan tujuan penulisan ini yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaimana proses balik nama sertifikat hak atas tanah
dan bangunan.
2. Untuk mengetahui bagaimana proses beracara dipengadilan sehingga
diputus secara verstek.
Sedangkan manfaat penelitian dalam penulisn skripsi ini antara lain :
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu bahan masukan
dalam perkembangan ilmu pengetahuan umumnyadibidang hukum
Agraria khususnya untuk balik nama atas sertifikat tanah dan bangunan.
2. Untuk menambah koleksi bacaandi perpustakaan Universitas Pamulang
tentang perkembangan ilmu hukum saat ini.
3. Membantu peneliti untuk mengarahkan pemikirannya secara baik,
memahami cakupan penelitiannya, mengerti apa yang akan dijawab dan
tidak dapat dijawab dalam penelitiannya.

4. Memberikan petunjuk dan arah dalam memecahkan problem penelitian


E.

dengan metode yang diterapkan.


Kerangka Teori
Peralihan hak atas tanah adalah berubahnya nama kepemilikan tanah
satu pihak ke pihak yang lainnya. Peralihan hak atas tanah ini merupakan
perbuatan hokum secara disengaja dari pihak yang mengalihkan (dalam
proses secara hokum sering disebut pihak 1 atau pihak pemilik tanah
sebelum sesuai dengan nama yang berada di dalam akta tanah tersebut)
kepada pihak penerima pengalihan (dalam proses hukum biasa disebut
dengan pihak ke 2). Hal ini sesuai dengan pendapat dari Effendi Perangin
bahwa:
peralihan atau pemindahan hak atas tanah adalah merupakan
perbuatan hukum yang sengaja dilakukan agar hak atas tanah berpindah dari
yang mengalihkan kepada yang menerima pengalihan tersebut.6 Hal iini
sesuai dengan UUPA pasal 20,28,35,43 bahwa, setiap tanah pada
dasarnyadapat beralih dan dialihkan hak kepemilikannya.
Secara garis besar peralihan hak atas tanah menurut Boedi Harsono
dapat melalui dua cara, yaitu:
cara yang pertama adalah beralihnya hak atas tanah yang bersifat
pewarisan. Dalam hal ini pemilik pertama mewariskan hak atas tanahnya
kepada ahli waris yang ditunjuknya, dan biasanya terjadi karena si pemilik
hak atas tanah yang pertama meninggal dunia. Sedangkan cara yang kedua
adalah beralihnya hak atas tanah karena melalui proses pemindahan hak
secara sadar dari pihk 1 (pihak pemilik hak atas tanah) kepada pihak 2. Cara
yang kedua ini dapat terjdi karena melalui mekanisme jual beli, tukar
menukar, hibah atau pemberian menurut adat.7
Peralihan hak atas tanah yang terjadi dengan cara yang kedua, yaitu
melalui mekanisme jual beli, menurut R. Soesilo adalah Jual beli adalah
suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
6
Effendi Perangin,Hukum Agraria Di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut
Pandang Praktisi Hukum, (Jakarta : CV. Rajawali), hal. 15
7
Boedi Harsono, hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan,2005),hal. 329331

10

menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lainnya untuk membayar harga


yang telah diperjanjikan.8
Agar peralihan hak atas tanah melalui mekanisme jual beli dapat
dikatakan sah dan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia maka
menurut Soetomo hal-hal yang harus diperhatikan antara lain:
1. Pemeriksaan surat-surat
Pertama-tama tentunya calon pembeli berhubungan dulu dengan penjual.
Untuk diperlukan pemeriksaan secara teliti tentang akta tanah dan
bagaimana tanah yang akan dia beli.
2. Surat-surat yang diperlukan
Pemerisaan
mengenai
surat-surat
disini
adalah
mengenai
surat/pernyataan apa saja yang menegaskan bahwa tanah tersebut
merupakan tanah yang sah sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku atau tidak dalam sengketa.
3. Akta jual beli tanah
Akta jual beli tanah disini adalah surat resmi yang berkekuatan hukum
yang berisi dan mengatur tentang jual beli tanah yang akan dilakukan
(berisi tentang pihak penjual, pembeli, saksi, pejabat yang berwenang,
Yitu PPAT, luas tanah dan sebagainya)9
Dalam hal ini penulis membahas tentang balik nama atas sertifikat
tanah dan bangunan yang diputus secara verstek. Adapun pengertian verstek
menurut Yahya Harahap:
Pemberian wewenang kepada hakim untuk memeriksa dan
memutus perkara meskipun penggugat atau tergugat tidak hadir di
persidangan pada hari dan tanggal yang ditentukan. Dengan demikian
putusan diambil dan dijatuhkan pada bantahan dan sanggahan dari pihak
yang tidak hadir.10
Sedangkan menurut Soepomo, Verstek adalah pernyataan bahwa
tergugat tidak hadir meskipun menurut hukum acra ia harus datang. Verstek
8
9

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta:1981)hal. 29


Soetomo, Pedoman Jual Beli Tanah, (Malang:Universitas Brawijaya,1995) hal.

15
10

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Hal. 328

11

hanya dapat dinyatakan jikalau tergugat tidak hadir pada hari sidang
pertama.11
Tanah menurut Achmad Rubaie, mempunyai fungsi ganda sebagai
pengikat kesatuan sosial dan benda ekonomi sebagaimana berikut :
Tanah adalah aset Bangsa Indonesia yang merupakan modal dasar
pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh sebab itu
pemanfaatannya haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam hal ini harus dihindari
adanya upaya menjadikan tanah sebagai barang dgangan, objek spekulasi
dalam hal lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung
dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Indonesia Tahun
1945.12
Proses peralihan hak atas tanah dapat dikatakan sah dan sesuai
dengan hukum yang berlaku apabila sesuai dengan PP No. 24 Tanhun 1997
tentang Pendaftaran Tanah yaitu bahwa dalam melakukan hak peralihan
tanah harus dibuktikan dengan akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). 13
Menurut AP. Parlindungan, pendaftaran tanah berasal dari kata
Cadasteratau dalam bahasa Belanda merupakan suatau istilah teknis untuk
suatu record (rekaman) yang menerapkan mengenai luas, nilai dan
kepemilikan terhadap suatu bidang tanah.14
Menurut pasal 1 Peraturan Pemerintan Nomor 24 Tahun 1997
disebutkan bahwa :
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan, dan teratur meliputi
11

R. Soepomo, Hukum Acara Perdata, Hal. 33


Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di
Bidang Pertanahan, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada) hal 83
13
PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
14
AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah dan Konfersi Hak Milik Atas Tanah
Menurut UUPA, (Bandung : Alumni,1988), hal 2
12

12

pengumpulan pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan


data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat
sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada
haknya dan milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya15
Boedi Harsono merumuskan pengertian pendaftaran tanah sebagai
suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan secara teratur dan terus menerus
untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan dan menyajikan data
tert5entu mengenai bidang-bidang atau tanah-tanah tertentu yang ada di
suatu wilayah tertentu dengan tujuan tertentu.16
Didalam bukunya Bachtiar Effendie menyatakan bahwa :
kegiatan pendaftaran tanah adalah kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah secara terus menerus dalam rangka
menginvetarisasikan data-data berkenaan dengan hak-hak atas tanah
menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan Peratuaran Pemerintah,
sedangkan pendaftaran hak atas tanah merupakan kewajiaban yang ahrus
dilaksanakan oelh si pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan
dilaksanakan secara terus menerus setiap ada peralihan hak-hak atas tanah
tersebut menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah
guna mendapatkan sertifikat tanda bukti tanah yang kuat.17
Menurut

Wantjik

Saleh

dalam

bukunya

Hak Atas

Tanah

menyebutkan sertifikat adalah salinan buku tanah dan surat ukur, yang
setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan satu kertas sampul yang
bentuknya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.18
Menurut Boedi Harsono dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia
Sertifikat Hak Atas Tanah terdiri atas salinan buku tanah dan surat ukur
yang dijilid menjadi satu dalam sampul dokumen.19
15

Boedi Harsono, opcit hal 474


Hasan Wargakusumah, Hukum Agraria I, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama,1995), hal 80
17
Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah Di Indonesia Dan Peraturan
Pelaksanaannya, (Bandung : Alumni,1993), hal 15
18
Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1997), hal 64
19
Boedi Harsono, Opcit, hal 78
16

13

Effendi Perangin menyatakan bahwa :


hak milik atas tanah tersebut baru beralih kepada pembelinya jika
telah dilakukan apa yang disebut Penyerahan Yuridis, yang wajib
diselenggarakan dengan pembuatan akta dihadapan pejabat yang berwenang
yaitu Kepala Kantor Pendaftaran Tanah. Penyerahan yuridisnya wajib
dilakukan, disebut dengan akta balik namadan pejabatnya disebut pejabat
balik nama.20
Dari

beberapa

penjelasan

diatas

dapat

disimpulkan

bahwa

pendaftaran peralihan hak atas tanah yang sah dan sesuai dengan hukum
adalah dengan dilakukan didepan pejabat yang berwenang dalam hal ini
adalah PPAT. Apabila hanya dilakukan antara perseorangan saja maka
dianggap tidak mempunyai keudukan hukum yang sah, dan hal ini akan
sangat merugikan dan dapat menjadi sengketa dikemudian hari.
F.

Metode Penelitian
Metode penelitian adalah seperangkat langkah-langkah teknis dalam
melakukan kegiatan ilmiah dalam bidang tertentu untuk mendapatkan fakta
atau prinsip baru dalam kajian ilmu dan teknologi yang dilakukan secara
metodologis, sistematis dan konsisten. Diantara aspek metode penelitian
yang terpenting adalah metode pengumpulan data, sebab datamerupakan
informasi yang relevan dan dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam
melakukan penelitian. Jenis data dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu data
primer dan sekunder. Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu dari
literatur-literatur yang penulis miliki ataupun dari studi dokumen lainnya.
Selain itu dibantu dengan data primer yang diperoleh langsung dari
20

Effendi Perangin, Opcit, hal. 14-15

14

masyarakat dengan melihat perbuatan-perbuatan hukum apa saja yang


dilakukan oleh para pemohon sertifikat hak atas tanah.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis
normatif yang lebih menekankan pada penggunaan data sekunder atau
berupa norma hukum tertulis. Bahan pustaka hukum yang diperguanakan
antara lain :
1. Bahan hukum primer
Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, meliputi :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Undang-undang pokok Agraria
2. Bahan sekunder
Yaitu bahan-bahan yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum tersier, dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang
digunakan adalah bahan-bahan yang berasal dari buku-buku, makalah,
artikel, koran, internet, berbagai literature dan pendapat para sarjana atau
para ahli.
3. Bahan hukum tersier
Yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus.
Dengan data sekunder maupun data primer tersebut peneliti dapat
memproleh informasi yang dapat digunakan dalam penyusunan karya tulis

15

ini. Dalam penulisan karya tulis ini dilakukan pendekatan secara kualitatif
yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif,
yaitu apa yang dinyatakan secara tertulis ataupun lisan dan prilaku nyata.
Sehingga, dengan melakukan metode kualitatif, penulis diharapkan dalam
melakukan penelitian bertujuan untuk mengerti dan memahami gejala yang
ditelitinya.
G.

Sistematika Penulisan
Dalam menganalisa permasalahan diuraikan dalam beberapa bab
yang merupakan isi pokok skripsi ini dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN
Dalam bagian ini memuat mengenai latar belakang masalah,
indentifiksi masalah, perumusan masalah,tujuan dan manfaat
penelitian, kerangka teori, metodologi serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERALIHAN HAK ATAS
TANAH
Dalam BAB ini membahas tentang tinjauan umum dari peralihan
hak, bentuk dan cara pengalihan hak atas tanah, mekanisme
pengalihan hak atas tanah, penguasaan fisik dari tanah, akibat

16

hukum dari pengalihan hak, serta dasar hukum dari pendaftaran


pengalihan hak atas tanah.
BAB III PUTUSAN VERSTEK
Pada bagian ini memuat tentang pengertian, sebab-sebab
dijatuhkannya putusan verstek,akibat hukum terhadap putusan
verstek, serta penjelasan mengenai nputusan verstek sebagai
putusan akhir..
BAB IV TINJAUAN YURIDIS PERALIHAN ATAS SERTIFIKAT
TANAH DAN BANGUNAN UNTUK BALIK NAMA DIPUTUS
SECARA

VERSTEK

(STUDI

KASUS:

PUTUSAN

NOMOR:

88/PDT.G/2013/ PN.DPK)
Dalam BAB ini membahas tentang tinjauan yuridis pada Peralihan
Atas Sertifikat Tanah dan Bangunan Untuk Balik Nama Diputus
Secara

Verstek

pada

Putusan

Perkara

Perdata

Nomor:

88/Pdt.G/2013/PN.Dpk. Identitas para pihak yang bersangkutan,


duduk perkara dari kasus tersebut, serta analisa dari Putusan
Perkara Perdata Nomor: 88/Pdt.G/2013/PN.Dpk.
BAB V PENUTUP
Didalam BAB ini penulis membahas tentang kesimpulan dan saran
dari karya tulis yang penulis buat.

17

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERALIHAN HAK ATAS TANAH

A.

Pengertian Peralihan Hak Atas Tanah


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, peralihan

adalah

pergantian/perlintasan dari keadaan yang satu kepada keadaan yang lain.


Sedangkan dari hak adalah milik/kepunyaan, kekuasaan untuk berbuat
sesuatu karena telah ditentukan oleh Undang-Undang (aturan).
Jadi peralihan hak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan
untuk memindahkan hak dari satu pihak kepada pihak lain. Perbuatan

18

hukum yang mengakibatkan dialihkannya hak atas tanah dapat berupa: jual
beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, pembagian hak
bersama, pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanahanah
Hak Milik, pemberian Hak Tanggungan, pemberian kuasa pembebanan Hak
Tanggungan.
Pengertian Hak Atas Tanah adalah hak-hak atas tanah yang terdapat
dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 pada pasal 16.
Hak yang dimaksud adalah Hak Milik, Ahk Guna Bangunan, Hak Guna
Usaha, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil
Hutan, Hak-Hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas,
yang akan ditetapkan dalam Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara sebagaimana yang disebut dalam pasal 53 Undang-Undang
Pokok Agraria.
Peralihan hak atas tanah adalah beralihnya atau berpindahnya
kepemilikan suatu bidang dari satu pihak ke pihak lain. Sedangkan hak atas
tanah yang dimaksud dalam penulisan Skripsi ini adalah Hak Milik.
A.P Parlindungan menyebutkan bahwa: hak milik yang dimaksud
sesuai dengan Pasal 20 UUPA (Undang-Undnag Pokok Agraria) yaitu; Hak
milik adalah hak turun temurun , terkuat dan terpenuh yang dapat dipumyai
orang atas tanah , dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.21
Ketentuan dalam pasal 6 UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria)
Nomor 5 Tahun 1960, yang dimaksud adalah bahwa semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial termasuk hak milik. Fungsi sosial dari hak atas
tanah yang dimaksud berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada
seseorang,
21

tidaklah

dapat

dibenarkan,

A.P Parlindungan, Opcit, hal. 5

19

bahwa

tanahnya

itu

akan

dipergunakan (tidak

dipergunakan) semata-mata

untuk kepentingan

pribadinya, apalagi jika hal tersebut menimbulkan kerugian bagi


masyarakat.
Hak atas tanah yang paling sempurna adalah hak milik. Hal ini
dikarenakan hak milik tersebut merupakan hak turun-temurun, terkuat dan
terpenuh. Pengertian sebagai hak turun-temurun adalah bahwa hak milik
tersebut dapat diwariskan kepada ahli waris, apabila pemiliknya meninggal
dunia. Pengertian terkuat adalah bahwa hak milik tersebut tidak mempunyai
jangka waktu dalam penggunaannya dan merupakan hak yang terkuat
karena terdaftar dan kepada orang yang mempunyai hak milik atas tanah
tersebut diberi tanda bukti hak berupa sertifikat tanah. Sedangkan
pengertian terpenuh maksudnya bahwa hak milik tersebut dalam
peruntukannya tidak terbatas, akan tetapi dibatasi oleh kepentingan
masyarakat dan orang lain dan juga hak milik tersebut memberikan
wewenang yang luas dan paling luas dalam peruntukan dan penggunaannya
dibandingkan dengan hak-hak yang lain.
Jadi dengan pengertian terkuat, terpenuh tidaklah berarti bahwa
pemilik tanah yang bersangkutan boleh bertindak atau melakukan apa saja
atas tanah yang dimilikinya tersebut.
Ada 2 (dua) cara mendapatkan ataupun memperoleh hak milik, yakni:
1. Dengan pengalihan, yang meliputi beralih dan dialihkan. Dalam hal ini
berarti ada pihak yang kehilangan yaitu pemilik semula dan pihak lain
yang mendapatkan suatu hak milik.
2. Terjadinya hak milik sesuai dengan UUPA (Undang-Undang Pokok
Agraria) Nomor 5 Tahun 1960 pada pasal 22 yaitu:
20

a. Terjadinya hak milik menurut hukum adat yang diatur dengan


peraturan pemerintah. Dalam hal ini berarti terjadinya hak milik
tersebut, diawali dengan hak seorang warga untuk membuka hutan
dalam lingkungan wilayah masyarkat hukum adat dengan persetujuan
Kepala Desa. Dengan dibukanya tanah tersebut, belum berarti orang
tersebut langsung memperoleh hak milik. Hak milik nakan dapat
tercipta jika orang tersebut memanfaatkan tanah yang telah dibukanya,
menanami dan memelihara tanah tersebut secara terus menerus dalam
waktu yang sangat lama. Dari sinilah hak milik dapat tercipta, yang
sekarang diakui sebagai hak milik menurut Undang-Undang Pokok
Agraria. Terjadinya hak milik dengan cara ini memerlukan waktu yang
cukup lama dan tentunya memerlukan penegasan yang berupa
pengakuan dari pemerintah.
b. Terjadinya hak milik karena penetapan pemerintah, yaitu yang
diberikan oleh pemerintah dengan suatu penetapan menurut cara dan
syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh peraturan pemerintah. Dalam
hal ini berarti pemerintah memberikan hak milik yang baru sama
sekali. Pemerintah juga dapat memberikan hak milik berdasarkan
perubahan dari suatu hak yang sudah ada. Misalnya dengan
peningkatan dari Hak Guna Usaha menjadi Hak Milik, Hak Guna
Bangunan menjadi Hak Milik, Hak Pakai menjadi Hak Milik.
Hak milik atas tanah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Hak terkuat, terpenuh dan bersifat turun-temurun.
2. Dapat beralih dan dialihka kepada pihak lain.
21

3. Hanya Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia yang


ditetapkan pemerintah Indonesia yang dapat menjadi pemegang hak
milik. Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan
hak milik pada orang asing dilarang.
4. Hak milik mempunyai fungsi sosial.
5. Penggunaan tanah hak milik oleh orang-orang yang bukan pemiliknya
dibatasi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
6. Hak milik dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak
tanggungan.
7. Bagi semua Warga Negara Indonesia mempunyai hak yang sama untuk
memiliki tanah hak milik tanpa memandang jenis kelamin dan ras.
Pemindahan hak atas tanah adalah perbuatan hukum untuk
memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain. Pemindahan dilakukan
apabila status hukum pihak yang akan menguasai tanah memenuhi
persyaratan sebagai pemegang hak atas tanah yang tersedia, dan pemegang
hak atas tanah tesebut bersedia untuk memindahkan haknya.
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Hukum Agraria
Nasional membagi hak-hak atas tanah menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer
Yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara
langsung oleh seseorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama
dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau kepada ahli
warisnya. Dalam Undnag-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

22

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria terdapat beberapa hak atas tanah


yang bersifat primer, yaitu:
a. Hak Milik atas tanah
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
d. Hak Pakai22
2. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder
Yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara. Dikatakan bersifat
sementara, karena hak-hak tersebut dinikmati dalam waktu terbatas, dan
hak-hak itu dimiliki oleh orang lain. Hak atas tanah yang bersifat
sementara dapat dialihkan kapan saja si pemilik berkehendak. Terhadap
beberapa hak. Hak atas tanah yang bersifat sementara memiliki jangka
waktu yang terbatas, seperti Hak Gadai dan Hak Usaha Bagi Hasil.
Kepemilikan hak atas tanah bersifat sementara saja. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 53 UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) yang
mengatur mengenai hak-hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu:
a.
b.
c.
d.

Hak Gadai
Hak Usaha Bagi Hasil
Hak Menumpang
Hak Menyewa Tanah Pertanian. 23

22
23

Supriadi, Hukum Agraria, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2008) hal. 63


Ibid hal. 64

23

Tata cara memperoleh hak atas tanah menurut Hukum Tanah


Nasional adalah sebagai berikut:
1. Permohonan dan pemberian hak atas tanah, jika tanah yang diperlukan
berstatus Tanah Negara.
2. Pemindahan hak, jika:
a. Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak.
b. Pihak yang memerlukan tanah boleh memiliki hak yang sudah ada.
c. Pemilik bersedia menyerahkan tanah.
3. Pelepasan hak yang dilanjutkan dengan permohonah dan pemberian hak
atas tanah, jika:
a. Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak atau tanah hak ulayat
suatu masyarakat hukum adat:
b. Pihak-pihak yang memerlukan tanah tidak boleh memiliki hak yang
sudah ada.
c. Pemilik bersedia menyerahkan tanah.
4. Pencabutan hak yang dilanjutkan dengan permohonan dan pemberian hal
atas tanah, jika:
a. Tanah yang diperlukan berstatus hak.
b. Pemilik tanah tidak bersedia melepaskan haknya.
c. Tanah tersebut diperuntukkan bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum.
Dalam sistem KUHPerdata maupun dalam sistem UUPA (UndangUndang Pokok Agraria) kita kenal adanya pengalihan sebagai salah satu
cara untuk memperoleh hak milik. Pengalihan ini adalah salah satu
kewajiban para pihak dalam suatu peristiwa hukum yang bertujuan untuk
mengalihkan hak milik atas suatu barang yang dilakukan diantara mereka.
Pasal

20 ayat

UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria)

menyebutkan bahwa hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak

24

lain. Dengan kata lain, sifat milik pribadi ini walau dibatasi oleh ketentuan
pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria dapat dioperkan hanya dengan
orang lain dengan hak yang sama.
Umpamanya jika menjual, menghibah, tukar menukar, mewariskan,
ataupun memperoleh hak karena perkawinan/persatuan harta benda, maka
hak atas tanah yang semula hak milik tetap akan menjadi hak milik. Hak
milik adalah : Hak turun temurun, artinya hak itu dapat diwariskan
berturut-turut tanpa perlu diturunkan derajatmya ataupun hak itu menjadi
tiada atau memohon haknya kembali ketika terjadi pemindahan tangan. 24
Menurut sistem hukum perdata, suatu pemindahan atau pengalihan
hak terdiri atas dua bagian, yaitu :
1.

2.

Tiap perjanjian yang bertujuan memindahkan hak, misal perjanjian jual


beli atau pertukaran
Pemindahan atau pengalihan hak itu sendiri. Dalam hal ini yang penting
adalah pemindahan atau pengalihan nama dalam hal jual beli benda
tidak bergerak. Misal, rumah, tanah, dan sebagainya.25
Dari pertanyaan tersebut diatas dapat dipahami, bahwa pengalihan

hak atas suatu benda dapat dilakukan secara nyata, artinya benda yang
diperoleh tersebut langsung dapat dilihat dan berada ditangan yang
bersangkutan, tetapi ada pula pengalihan hak itu dilakukan secara simbolis

24
25

Budi Harsono, Opcit hal.371


Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Interma, 2001) hal. 72

25

atau tidak secara langsung, hanya melalui bentuk surat atau sertifikat, hal ini
terjadi pada benda-benda yang tidak bergerak.
Orang asing dan badan hukum pada dasarnya tidak dapat menjadi
subjek hak milik. Oleh karena itu, peralihan hak milik kepada orang asing
dan adab hukum adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada
negara.
Adapun dasar hukum tentang peralihan hak atas tanah yaitu,
1. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok
Agraria, yang terdapat pada pasal :
a. Pasal 19 ayat (1), (2), (3) dan (4)
Ayat (1)
Yang berbunyi Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah
diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (2)
Yang berbunyi Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
1). Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah
2). Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut

26

3). Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat
Ayat (3)
Yang berbunyi Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat
keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial-ekonomi
serta kemungkinan penyelenggaranya, menurut pertimbangan Menteri
Agraria
Ayat (4)
Yang berbunyi Dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang
bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat (1) diatas,
dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu disebabkan dari
pembayaran biaya-biaya tersebut
b. Pasal 20 ayat (1) dan (2)
Ayat (1)
Yang berbunyi Hak milik adalah turun temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai atas orang tanah dengan mengingat ketentuan
dalam Pasal 6 (semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial)
Ayat (2)

27

Yang berbunyi Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak
lain
Pasal 26 ayat (1)
Yang berbunyi Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian
denganwasiat, pemberian menurut adat dan peraturan-peraturan lain
yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya
diatur dengan peraturan pemerintah
2. KUHPer (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang terdapat pada buku ke
III bab kelima tentang jual beli, pada pasal:
Pasal 1457
Yang berbunyi jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak
yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan,
dengan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Pasal 1458
Yang berbunyi Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah
pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang
kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum
diserahkan, maupun harganya belum dibayar
Pasal 1459

28

Yang berbunyi Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah
kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut
Pasal 612, 613 dan 616.
B.

Peralihan Hak Atas Tanah Karena Jual Beli


Pengalihan hak merupakan beralihnya hak milik seseorang kepada
orang lain, dengan jalan jual beli atau tukar menukar atau dengan cara lain
yang dibenarkan oleh hukum. Hak milik dapat dipindahkan haknya kepada
pihak lain (dialihkan) dengan cara jual beli, hibah, tukar menukar,
pemberian lewat wasiat dan perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
memindahkan hak milik.26
Sebagaimana yang diatur dlam pasal 26 UUPA (Undang-Undang Pokok

Agraria) yang menyatakan bahwa :


1.

Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat,


pemberian

menurut

adat

dan

perbuatan-perbuatan

lain

yang

dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya


2.

diatur dengan peraturan pemerintah.


Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak
langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang
warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia nya
mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum,
kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah, termaksud dalam pasal 21
26

Andrian Sutedi, Opcit hal. 65

29

ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara,
dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik
tidak dapat dituntut kembali.27
Beralihnya suatu hak dapat terjadi bukan karena suatu perbuatan
hukum melainkan sebagai suatu peristiwa hukum atau akibat hukum.
Pengertian daripada beralihnya hak milik tersebut berarti dengan
meninggalnya pemilik, maka hak milik itu dapat beralih kepada ahli waris.
Meninggalnya seseorang tersebut merupakan suatu peristiwa hukum,
bahkan merupakan sesuatu hal yang berada diluar kuasa manusia. Jadi tidak
ada unsur kesengajaan didalamnya.
Berbeda dengan dialihkannya suatu hak, maka dengan dialihkannya
suatu hak menunjukkan adanya suatu perbuatan hukum, yang sengaja
dilakukan oleh satu pihak dengan maksud untuk memindahkan haknya
kepada pihak lain, khususnya melaui jual beli.
Pada dasarnya setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak
atas tanah dari hak atas tanah dari satu subjek hukum kepada subjek hukum
yang lain, misal jual beli, tukar menukar, wasait, hibah harus dibuktikan
dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT (Pejabat Pembuat
Akta Tanah) setempat, selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah.

27

Ibid, hal. 65

30

Setelah tanah yang menjadi hak milik itu bersertifikat, barulah dapat
dilakukan proses jual beli menurut UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria).
Proses jual beli ini dilakukan dengan 2 tahapan utama yaitu perjanjian
antara calon penjual dan pembeli yang diakhiri denagn adanya kata sepakat
dan mufakat dalam menentukan segala sesuatunya, tentang tanah dan
harganya. Kemudian calon pembeli dan calon penjual menghadap Peraturan
Pemerintah selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah setempat untuk melakukan
peralihan hak atas tanah tersebut.
Untuk tanah yang sudah bersertifikat, dalam pembuatan akta jual
beli dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi, tidak harus kepala desa dan anggota
Pemerintahan Desa, orang lain juga bisa menjadi saksi. Tetapi biasanya
saksi ini diambil dari pegawai kantor PPAT (Pejabat Pembuat Tanah)
tersebut.
Demikian juga bagi pemegang hak atas tanah, bila akan mengadakan
peralihan hak atas tanah, yang tujuannya untuk memindahkan hak dari satu
pihak ke pihak lain, harus dibuktikan dengan satu akta yang dibuat oleh dan
dihadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang ditunjuk oleh Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
Pasal 19, yang mengatur peralihan hak atas tanah, yang menyebutkan :
Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah,
memberikan suatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam
31

uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan
suatu akta yng dibuat oleh dan dihadapan Pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut juga
sebgai Pejabat).
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun1998 dengan pasal 1
ayat (1), memberi batasan pengertian PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)
adalah sebagai berikut :
Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat
umum yang berwenang untuk membuat data-data otentik mengenai
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun.
Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun !997 Pasal 19 ayat (1), menyatakan bahwa:
Sebelum melaksanankan pembuatan akta mengenai pemindahan atau
pembebanan hak atas tanah atau hak milima atas satuan rumah susun, PPAT
(Pejabat Pembuat Akta Tanah) wajib terlebih dahulu melakukan
pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertifikat hak
atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan
dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan
memperlihatkan sertifikat asli.
Dengan demikian sebelum PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)
melakukan peralihan hak atas tanah khususnya hak milik melalui jual beli
32

yang dibuktikan dengan pembuatan akta dalam hal ini akta jual beli maka
PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang bersangkutan wajib melakukan
pemeriksaan atau pengecekan sertifikat pada Kantor Pertanahan setempat
untuk mencocokan sertifikat asli dengan daftar-daftar yang ada di Kantor
Pertanahan setempat, dengan memperlihatkan sertifikat asli. Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 pasal 1 ayat (20), sertifikat
yang dimaksud disini adalah surat tanda bukti hak. Sertifrikat tanah
merupakan tanda hak bukti yang kuat bukan sebagai tanda bukti dasar yang
terkuat yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Sebagai tanda bukti
yang kuat maksudnya adalah selama tidak dapat dibuktikan kepemilikannya
oleh orang lain, baik data fisik maupun data yuridis, maka harus diterima
sebagai data yang benar. Sudah tentu data fisik maupun data yuridis yang
tercantum dalam sertifikat tersebut harus sesuai dengan data yang tercantum
dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan. Daftar-daftar yang
dimaksud disini adalah surat ukur dan buku tanah.
Berdasarka Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yang
dimaksud dengan buku tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang
memuat tentang data yuridis fisik objek pendaftaran tanah yang sudah ada.
Sedangkan pengertian surat ukur adalah dokumen yang memuat data fisik
suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian.
Data yuridis yang dimaksud disini adalah keterangan mengenai
status hukum sebidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar,
pemegang haknya, dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang
33

membebaninya. Sedangkan data fisik yang dimaksud disini adalah


keterangan mengenai letak, batas, dan luas bidang tanah dan satuan rumah
susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau
bagian bangunan yang ada diatasnya.28
Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan akta jual beli
hak atas tanah, antara lain :
1. Adanya penghadap, dalam hal ini penjual dan pembeli.
2. Harus ada sertifikat tanah yang bersnagkutan dan saksi yang biasanya
dari pegawai PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang bersangkutan.
3. Jika tanahnya belum bersertifikat, maka harus menunjukan SKPT (Surat
Keterangan Pendaftaran Tanah) dari kantor pertanahan setempat, yang
disaksikan oleh Pamong Praja.
4. Hanya tanah dan bangunan.
5. Menanggung biaya balik nama.
Hal ini menyebabkan peralihan hak atas tanah tersebut tidak akan
mempunyai kekuatan hukum dan jaminan kepastian hukum atas
diadakannya peralihan hak milik atas tanah tersebut.
Menurut ketentuan pasal 39 ayat (1), Peraturan Pemerintah Nomor 24
tahun1997 menyatakan bahwa:
1. PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) menolak membuat akta jka:
a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas
satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertifikat asli hak

28

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, pasal 1 (3)

34

yang bersangkutan atau sertifikat yang disahkan tidak sesuai dengan


b.

daftar-daftar yanga da dikantor Pertanahan, atau


Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak
disampaikan:
1) Surat bukti yang sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (1)
atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan
bahwa yang bersangkutan menguasai sebidang tanah tersebut
sebagaimana dimaksud alam pasal 24 ayat (2).
2) Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanha yang
bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan atau
untuk tanah yang terletak didaerah yang jauh dari kedudukan
Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan
dikuatkan oleh Kepal Desa/Kelurahan; atau

c.

Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum
yang bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 38 tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk

d.

bertindak demikian; atau


Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar surat kuasa
mutlak

e.

yang

pada

hakikatnya

berisikan

perbuatan

hukum

pemindahan hak; atau


Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh ijin
pejabat atau instansi yang berwenang apabila ijin tersebut diperlukan
menurut perundang-undnagan yang berlaku; atau

35

f.

Objek perbuatan hukum yang berangkutan sedang dalam sengketa

g.

mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau


Tidak dipenuhinya syarat lain atau dilanggar larangan yang
ditentukan

dalam

peraturan

Perundang-Undangan

yang

bersangkutan.
2. Penolakan untuk membuat akta tersebut diberitahukan secara tertulis
kepada pihak-pihak yang bersangkutan disertai alasannya. Jadi dalam
hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah bukan saja wajib membuat akta,
tetapi juga berhak menolak membuat akta jika tidak memenuhi syarat
yang telah ditentukan.
Akta otentik tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak.
Apabila timbul sengketa diantara pihak yang melakukan perjanjian tesebut,
maka apa yang termuat dalam akta otentik tersebut merupakan bukti yang
sempurna, sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan alat-alat pembuktian
lain. Berbeda dengan akta dibawah tangan yang masih bisa disangkal dan
baru mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna apabila diakui oleh
kedua belah pihak, yang hanya bermodalkan kepercayaan tanpa dibarengi
dengan surat perjanjian hitam diatas putih dengan menghadap dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah setempat.
Akta ini juga berfungsi sebagai sumber keterangan dalam melakukan
pendaftaran peralihan hak atas tanah khususnya hak milik karena jual beli
tersebut.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 pasal 2,
menyebutkan bahwa:
Tugas pokok Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah melaksanakan
sebagian kegiatan Pendaftaran Tanah dengan membuat akta sebagai bukti

36

telah dilakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak
milik satuan rumah susun.
Akta jual beli tanah tersebut dibuat dalam bentuk asli dalam 2
lembar, yaitu 1 lembar sebanyak 1 rangkap disimpan oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah ynag bersangkutan dan 1 lembar lagi sebanyak 1 rangkap atau
lebih dikirim kepada Kantor Pertanahan bersama dengan berkas lain untuk
keperluan pendaftaran peralihan hak atas tanah tersebut karena jual beli.
Sedangkan kepasa penjual dan pembeli diberikan salinan aktanya.
Dengan selesainya pembuatan akta jual beli tanah khususnya untuk
tanah milik yang sudah bersertifikat, berarti selesainya pul peralihan hak
milik atas tanah yang diperjualbelikan. Sehingga secara resmi pihak pembeli
pada saat itu menjadi pemegang yang sah atas tanah yang dialihka tersebut.
Pengalihan hak atas tanah, dan khususnya pengalihan hak milik atas
tanah tersebut dapat terselenggara secara benar, maka seorang PPAT yang
akan membuat pengalihan hak atas tanah harus memastikan kebenaran
mengenai hak atas tanah (hak milik) tersebut, dan mengenai kecakapan dan
kewenangan bertindak dari mereka yang akan, mengalihkan dan menerima
pengalihan hak atas tanah tersebut. Sehubungan dengan obyek hak atas
tanah yang dipindahkan PPAT harus memeriksa kebenaran dari dokumendokumen:
a. Mengenai bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milk atas
satua rumah susun, sertifikat ahli hak yang bersangkutan. Dalam hal ini
sertifikat tidakdiserahkan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai
dengan daftar-daftar yang ada di kantor Pertanahan; atau
37

b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar:


1. Surat bukti yang membuktikan hak atas tanah yang lama yang belum
dikonversi atau surat keterangan dari Kepala Desa/Kelurahan yang
menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai sebidang tanah
tersebut dengan itikad baik, dan tidak pernah ada permasalahan yang
timbul sehubungan dengan penguasaan tanhanya tersebut;dan
2. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang
bersangkutan belum bersertifikat dari kantor Pertanahan, atau untuk
tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor
Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan
oleh Kepala Desa/Kelurahan; dan dalam hal surat tersebut tidak dapat
diserahkan maka PPAT wajib menolak membuat pemindahan hak atas
tanah tersebut termasuknhak milik atas tanah yang akan dialihkan
tersebut.
Apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan
tanahnya baik berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat
dipercaya, maka pembukuan hak dapat dilakukan tidak berdasarkan
kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti penguasaan fisik tanah, dengan
syarat:
1. Telah dikuasai selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh
pemohon pendaftar dan pendahulu-pendahulunya.
2. Penguasaan dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka
3. Diperkuat dengan kesaksian orang yang dapat dipercaya
4. Penguasaan tidak dipermasalahkan atau tidak dalam keadaan sengketa. 29
29

Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah,
(Bandung: Mandar Maju, 2010) hal. 144

38

Ketentuan ini tentunya selain mempertimbangkan bahwa hukum


adat di Indonesia pada dasarnya kebanyakan tidak tertulis termasuk dalam
hal pembuktian penguasaan bidang tanah, tetapi sudah cukup dengan
pengakuan oleh masyarakat atau diwakili oleh tokoh-tokoh adat setempat,
juga hal ini sebagai pemberian perhatian terhadap perbedaan dan
perkembangan kondisi dan kehidupan sosial masyarakat.
Pengalihan hak milik tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan:
1. Pengalihan hak milik terjadi karena jual beli, hibah, warisan, tukar
menukar, danperbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak
milik.
2. Pengalihan hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan
Pemerintah.
3. Setiap pengalihan hak milik atas tanah atau perbuatan yang dimaksudkan
untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik pada orang
asing atau orang yang berkewarganegaraan Indonesia rangkap dengan
orang asing yang boleh mempunyai hak milik adalah batal dengan
sendirinya dan tanah jatuh pada negara.
Dalam hukum perdata ada beberapa macam cara memperoleh hak
kebendaan, yakni sebagai berikut :
1.

Dengan pengakuan
Yakni benda yang tidak ada pemiliknya,kemudian didapatkan dan
diakui oleh orang yang mendapatkannya itu sebagai miliknya. Orang

39

yang mengakui ini mempunyai hak milik atas benda tersebut. Misalnya
menangkap ikan di laut, berburu rusa di hutan dan sebagainya.
2. Dengan penemuan
Benda milik orang lain yang lepas dari penguasanya. Misalnya karena
jatuh dijalan, atau karena hilang akibat banjir, kemudian ditemukan oleh
seseorang, sedangkan ia tidak mengetahui siapa pemiliknya.
3. Dengan penyerahan
Yakni hak kebendaan diperoleh dengan cara penyerahan berdasarkan
alas hak, misal jual beli, sewa menyewa, hibah, warisan. Dengan adanya
penyerahan itu, maka hak kebendaan atas benda berpindah kepada yang
memperoleh hak.
4. Dengan cara daluwarsa
Hak kebendaan diperoleh dengan cara daluwarsa (lampau waktu).
Daluwarsa benda bergerak dan benda tidak bergerak tidak sama. Bagi
siapa yang menguasai benda bergerak misalnya dengan cara menemukan
dijalan, hak milik diperoleh setelah lampau waktu 3 (tiga) tahun sejak ia
menguasai benada bergerak itu. Sedangkan untuk benda tidak bergerak,
daluwarsanya adalah dalam hal adanya alas hak selama 20 (dua puluh)
tahun, dan dalam hal tidak adanya alas hak selama 30 (tiga puluh) tahun.
Setelah lampau waktu 20 tahun dan 30 tahun itu, orang yang menguasai
benda tidak bergerak tersebut memperoleh hak milik.
5. Dengan pewarisan
Hak kebendaan diperoleh berdasarkan pewarisan menurut hukum waris
yang berlaku. Ada 3 macam hukum waris yang berlaku, yaitu hukum
waris adat, hukum waris Islam, dan hukum waris KUHPerdata.
6. Dengan cara penciptaan
Yaitu penciptaan barang baru yang tadinya belum ada. Misalnya hak
cipta atas suatu lukisan, lagu, buku dan sebagainya.
7. Dengan cara ikutan/turunan
40

Tumbuh-tumbuhan yang berada diatas tanah, sebagai benda ikutan dari


tanah itu, orang yang membeli tanah tersebut berhak pula atas tumbuhtumbuhan yang ada diatasnya.30
Dari pernyataan diatas dapat dilihat, bahwa secara Hukum Perdata
ada beberapa macam seseorang memperoleh hak atau orang lain kehilangan
hak akibat dari penyerahan dan hal-hal lain yang dapat membuat seseorang
memperoleh hak milik dari harta atau benda yang diperolehnya.
Sehubungan dengan peralihan hak ats tanah, maka dikenal juga beberapa
macam peralihan hak atas tanah yaitu sebagai berikut:
1.

Jual beli tanah menurut hukum adat, adalah suatu perbuatan


pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang
berarti pemindahan hak tersebut harus dilakukan dihadapan kepala adat,
yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan
sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut
diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan

2.

hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak.


Jual beli tanah menurut UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), dalam
UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam pasal 26 UUPA
(Undnag-Undang Pokok Agraria), yaitu dengan menyangkut jual beli
hak milik atas tanah. Dalam pasal-pasal lainnya, tidak ada kata yang
menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian
dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk
30

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya


Bakti,2000) hal. 140

41

memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah,
tukar menukar, dan hibah wasiat. Jadi, meskipun dalam pasal hanya
disebutkan dialihkan, termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum
3.

pemindahan hak atas tanah karena jual beli.


Penghibahan tanah, hibah tanah merupaka pemberian seseorang kepada
orang lain dengan tidak ada penggantian apapun dan dilakukan secara
sukarela, tanpa ada kontraprestasi dari pihak penerima pemberian, dan
pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup. Inilah
yang berbeda dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan sesudah si

4.

pewasiat meninggal dunia.


Pewarisan tanah, perolehan hak milik atas tanah dapat juga terjadi
karena pewarisan dari pemilik kepada ahli waris sesuai dengan pasal 26
UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). Pewarisan dapat terjadi
karena ketentuan undang-undang ataupun karena wasiat dari orang yang
mewasiatkan.31
Pernyataan diatas merupakan bentuk-bentuk pengalihan hak milik

atas tanah. Pengalihan hak milik atas tanah tersebut tergantung bentuknya
dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu
pengalihan hak milik atas tanah secara hukum harus diikuti dengan alas hak
yang jelas dan sesuai dengan undang-undang.
Pengalihan hak atas tanah itu sendiri dapat terjadi dikarenakan:
1. Pewarisan tanpa wasiat

31

Adrian Sutedi, Opcit, hal.71

42

Menurut hukum perdata, jika pemegang suatu hak atas tanah meninggal
dunia, hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli warisnya.
Pengalihan tersebut kepada ahli waris, yaitu siapa-siapa yang termasuk
ahli waris, berapa bagian masing-masing dan bagaimana cara
pembagiannya, diataur oleh hukum waris almarhum pemegang hak yang
bersangkutan, bukan oleh Hukum Tanah.
Hukum tanah memberikan ketentuan mengenai penguasaa tanah
yang berasal dari warisan dan hal-hal mengenai surat tanda bukti
pemiliknya Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, untuk
mendaftarkan pengalihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu
enam bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya.
2. Pemindahan hak
Berbeda dengan beralihnya hak atas tanah karena pewarisan tanpa
wasiat yang terjadi karena hukum dengan meninggalnya pemegang hak,
dalam perbuatan hukum pemindahan hak, hak atas tanah yang
bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak lain. Bentuk pemindahan
haknyan bisa dikarenakan :
a.
b.
c.
d.

Jual-beli
Hibah
Pemasukan dalam perusahaan atau inbreng dan
Hibah-wasiat atau legaat
Perbutan-perbuatan tersebut, dilakukan pada waktu pemegang

haknya masih hidup dan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang
43

bersifat tunai atau langsung, kecuali hibah wasiat. Artinya, bahwa dengan
dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan
berpindah kepada pihak lain. Dalam hibah wasiat, haka atas tanah yang
bersangkutan beralih kepada penerima wasiat pada saat pemegang haknya
meninggal dunia.
Jual-beli, tukar menukar, hibah, pemberian menurut adat dan
pemasukan dalam perusahaan,demikian juga pelaksanaan hibah-wasiat,
dilakukan oleh para pihak dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya perbuatan hukum
yang bersangkutan dihadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), telah
dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi).
Akta yang ditandatangani para pihak menunjukkan secara nyata atau
riil perbuatan jual beli yang dilakukan. Dengan demikian sifat jual-beli,
yaitu tunai, terang dan riil, dipenuhi. Akta tersebut membuktikan, bahwa
benar telah dilakukan perbuatan hukum yang bersangkutan. Karena
perbuatan

hukum

yang

dilakuykan

merupakan

perbuatan

hukum

pemindahan hak, maka akta tersebut secara implitis juga membuktikan,


bahwa menerima hak sudah menjadi pemegang haknya yang baru. Tetapi
hal itu baru diketahui oleh dan karenanya juga baru mengikat para pihak dan
ahli warisnya karena administrasi PPAT sifatnya tertutup untuk umum.

44

Untuk memperoleh surat bukti yang lebih kuat dan luas daya
pembuktian pemindahan haknya didaftarkan pada Kantor Pertanahan
Kota/Kotamadya, untuk dicatat pada buku tanah dan sertifikat yang
bersangkutan. Dengan dicatatnya pemindahan hak tersebut pada sertifikat
haknya, diperoleh surat tanda bukti yang kuat. Karena administrasi
pengalihan hak atas tanah yang ada di Kantor Pertanahan Kota/Kotamadya
mempunyai sifat terbuka bagi umum, maka dengan dicatatnya pemindahan
hak tersebut pada buku tanah haknya, bukan hanya yang memindahkan hak
dan ahliwarisnya, tetapi pihak ketiga pun dianggap mengetahui, bahwa
penerima hak adalah pemegang haknya yang baru. 32
1. Jual beli
Pengertian jual beli tanah adalah suatu perjanjian dalam mana
pihak yang mempunyai tanah yang disebut penjual, berjanji dan
mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan
kepada pihak lain, yang disebut pembeli. Sedangkan pihak pembeli
berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar harga yang telah disetujui.
Yang diperjualbelikan menurut ketentuan Hukum Barat, ini adalah yang
disebut

tanah-tanah hak barat, yaitu tanah-tanah Hak Eigendom,

Erfpacht, opstal.
Perkataan jual beli terdiri dari dua suku kata, yaitu: jual dan beli.
Kata jual menunjukkan bahwa adanya perbuatan menjual, sedangkan
kata beli adalah adanya perbuatan membeli. Maka dalam hal ini,
32

Boedi Harsono, Opcit, hal. 329.

45

terjadilah peristiwa hukum jual beli. Menurut pengertian syariat, yang


dimaksud dengan dengan jual beli adalah pertukaran harta atas dasar
saling rela. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan
(yaitu berupa alat tukar yang sah). 33
Pada saat dilakukannya jual beli tersebut belum terjadi perubahan
apapun pada hak atas tanah yang bersangkutan, biarpun misalnya
pembeli sudah membayar penuh harganya dan tanahnya pun secara fisik
sudah diserahkan kepadanya. Hak atas tanah yang dijual baru berpindah
kepada si pembeli, jika si penjual sudah menyerahkan secara yuridis
kepadanya dalam rangka memenuhi kewajiban hukumnya.34
Menyerahkan secara yuridis berati si penjual sudah memberikan
hak atas kepemilikannya terhadap suatu barang. Pengalihan hak atas
tanah merupakan suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan
hak dari satu pihak ke pihak lain. 35
Didalam Pasal 1457 KUHPerdata Buku III bab ke V, bebunyi:
jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Kewajiban dari penjual adalah:

33

Gunawan Widjaja dan Kartini Widjaja, Jual Beli, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada 2003) hal. 128.
34
Ibid, hal. 27
35
Adrian Sutedi , opcit, Hal. 34.

46

a. Menyerahkan barang yang menjadi obyek jual beli dalam keadaan


baik. Artinya barang yang diserahkan itu harus sesuai dengan yang
dispesan oleh pembeli dan dalam keadaan baik.
b. Menanggung barang yang telah diserahkan.
Sebagaimana pengertian menyerahkan barang disebutkan: Yang
diartikan menyerahkan barang adalah suatu pemindahan hak milik dan
barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan dan kepunyaan pembeli. 36
Sedangkan hak dan kewajiban pihak pembeli adalah:
a. Hak pembeli: menerima barang yang dibeli sesuai dengan pesanan
dalam keadaan yang baik dan aman.
b. Kewajiban pembeli:
1. Membayar harga barang dengan sejumlah uang sesuai janji yang
telah dibuat. Harga yang dimaksud merupakan harga yang wajar.
2. Memikul biaya yang ditimbulkan dalam jual beli itu, misalnya
ongkos antar, biaya surat menyurat, biaya akta dan sebagainya,
kecuali jika diperjanjikan sebaliknya.
2. Berdasarkan Hibah
Menurut R. Subekti perkataan menghibahkan ( pemberian) dalam
pasal 166 KUHPerdata selanjutnya dipakai dalam arti yang sempit, karena
hanya perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat-syarat yang disebut
dengan penghibahan, misalnya dengan syarat dengan cuma-cuma yaitu,
tidak memakai pembayaran, disini orang lazim mengatakana adanya suatu
formele schenking yaitu suatu pengibahan formil. 37
36

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, ( Bandung: Alumni, 1986) hal.

60
37

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Pradya Paramita, 1995) hal.56

47

Mariam Dadus Badrulzaman, menyatakan bahwa pada umumnya


yang diartikan dengan benda (benda berwujud, bagian kekayaan) ialah
sesuatu yang dapat dikuasai oleh manusia dan dapat dijadikan objek hukum
(pasal 449 KUHPerdata). Pengertian ini adalah abstrak, yang dinamakan
dengan istilah subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban). 38
Disamping hal tersebut diatas, maka kata dapat yang terdapat dalam
pasal 449 KUHPerdata tersebut membuka berbagai kemungkinan hukum,
dlam arti dimana dipakai sebagai lawan dari pada orang sebagai subjek
hukum.
C.

Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah


Merupakan keharusan dan kewajiban pemerintah, untuk mengatur
dan menyelenggarakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik
Indonesia. Dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Pokok Agraria
Nomor 5 tahun 1960, menyebutkan bahwa:
1. Untuk menjamin kepastian hukumoleh pemerintah diadakan pendaftaran
tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuanketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pendfataran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah
Kegiatan perpetaan dan pembukuan tanah yang merupakan kegiatan
lanjutan dari pengukuran bidang tanah sangat diperlukan dalam
rangka terciptanya kepastain hak dan tertib administrasi pertanahan.
Bidang-bidang tanah yang telah diukur mengenai letak dan batasbatasnya dipetakan/dimasukan kedalam peta pendaftaran/kegiatan
perpetaan dan b idang-bidang tanah tersebut dibukukan dlam suatu
38

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung:


PT. Alumni Bandung, 1983) hal.35

48

daftar yang disebut daftar tanah. Bidang-bidang tanah yang didalam


daftar tanah disusun berdasarkan nomor urut yaitu nomor identitas
bidang atau NIB yang merupakan nomor identitas tunggal dari suatu
bidang tanah (single identity number). Dalam daftar tanah
dicantumkan pula mengenai siapa yang menguasai atau pemilik
tanahnya serta asal/status tanah tersebut seperti tanah adat, tanah
negara atau tanah yang telah dimiliki sesuatu hak atas tanah termasuk
data

mengenai

P4T

(Penguasaan

Pemilik

Penggunaan

dan

Pemanfaatan Tanah. Apabila data peta pendaftaran dan daftar tanah


ini telah lengkap maka diharapkan pelayanan pertanahan dapat
dilakukan lebih cepat dan lebih terjamin kepastian haknya serta tidak
dibutuhkan lagi surat keterangan lurah atau kepala desa mengenai
girik, petuk dan lain-lain yang sebenarnya adalah bukti pembayaran
pajak yang saat ini kegiatan pengadministrasian girik dan petuk
secara prinsip sudah tidak dilakukan. Kegiatan pengukuran perpetaan
dan pembukuan tanah yang disebut pula dengan kegiatan fisik
kadaster merupakan kegiatan untuk mendapatkan data awal yang
sangat diperlukan untukpelayanan dibidang pertanahan seperti yang
telah diuraikan diatas.
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan beralihnya hak-hak tersebut
Dengan terbinya ketentuan pasal 19 Undnag-Undang Pokok Agraria
maka sistem Pendaftran Tanah di Indonesia berubah menjadi sistem
pendaftaran akte menjadi sistem pendaftaran hak untuk itu diterbitkan
peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran

49

Tanah yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah


Nomor 24 Tahun 1997. Sistem Pendaftaran tanah setelah Undangundnag Pokok Agraria mewajibkan Departemen Agraria waktu itu
untuk menerbitkan buku tnah sesuai dengan sistem Torens (Australia)
yang dianut sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia.
c. Pemberian surat tanda bukti hak,yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
Buku tanah adalah tempat dilakukan penaftaran hak atas tanah,
peralihan hak dan pembebanan hak dan peralihan hak maupun lahirnya hak
atau hapusnya hak atas tanah yang sebelumnya kegiatan pendaftaran tanah
tidak pernah melakukan hal tersebut. Sebagai tuntutan sistem pendaftaran
hak sesuai UUPA dimana buku tanah dapat mendaftarkan hak yang
dialihkan atau dibebankan berdasarkan akte PPAT, maka akte yang dibuat
para PPAT haruslah dipastikan kebenaran foemalnya sehingga Departemen
Agraria/BPN perlu untuk menerbitka blanko akte yang dpat dikontrol
kebenarannya dengan kode dan nomor tertentu untuk menjamin kebenaran
formal akte tersebut.
Pemberian jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan pertamatama memerlukan tersedianya perangkat hukum yang tertulis lengkap dan
jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan ketentuanketentuannya.
Dengan demikian tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah
sebagaimana telah diuraikan di atas adalah untuk memenuhi kebutuhan
50

masyarakat terhadap kepastian hukum mengenai tanah yang dimilikinya,


sehingga perbuatan hukum terhadap tanah dapat diselenggarakan secara
sederhana, cepat, murah dan aman.
Dengan pendaftaran tanah, pemerintah memberikan jaminan
kepastian hukum, yang meliputi:
1. Kepastian hukum mengenai orang/Badan Hukum yang menjadi
pemegang hak atas tanah. Kepastian mengenai siapa yang memiliki
sebidang tanah atau subjek hal.
2. Kepatian hukum bidang tanah mana yang dimilikinya. Hal ini
menyangkut letak, batas serta luas bidang tanah tersebut atau objek hak.
3. Kepastian hukum mengenai hak atas tanahnya. Dalam pendaftaran tanah,
hak-hak atas tanah dibukukan ke dalam buku tanah dan diterbitkan
sertifikat sebagai tanda bukti pemilikan tanahnya.
Pemindahan hak seperti jual beli, hibah, waris dan tukar-menukar,
yang telah selesai dilakukan peralihan haknya, wajib diikuti pendaftarannya
pada Kantor Pertanahan setempat. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
alat bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya pembuktiannya dari pada akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang membuktikan telah terjadinya peralihan
hak atas tanah yang dilakukan serta sahnya peralihan tersebut.
Bagi pemegang hak milik atas tanah, setiap peralihan, hapusnya dan
pembebanannya harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan dalam rangka
pelaksanaan hukum pertanahan yang atas dan ketentuan-ketentuan pokonya
dituangkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997.

51

Pendaftaran peralihan hak atas tanah karena jual beli ini merupakan
pendaftaran peralihan hak atas tanah, dimana pendaftaran peralihan hak atas
tanah ini dilakukan oleh Kantor Pertanahan setempat. Pendaftaran ini
bertujuan untuk memenuhi salah satu asas pendaftaran yaitu asas
mutakhir/pemeliharaan data pendaftaran dalam buku tanah, yakni mengenai
kejadian hukum yang pernah terjadi pada tanah tersebut.
Tujuan pendaftaran perlalihan hak milik atas tanah karena jual beli
ini untuk memberikan jaminan hukum hak atas tanah dan kepastian hukum
hak atas tanah dan memperoleh surat bukti yang lebih kuat dan lebih luas
dengan pembuktiannya melalui peralihan haknya karena jual beli sehingga
akan mendapatkan sertifikat atas namanya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa administrasi pendaftaran
peralihan hak atas tanah yang ada di Kantor Pertanahan mempunyai sifat
terbuka bagi umum, maka dengan dicatatnya peralihan hak tersebut pada
buku tanah haknya, bukan berarti hanya memindahkan hak yaitu dalam hal
ini penjual dan pembeli saja, akan tetapi pihak ketigapun dianggap
mengetahui bahwa pembeli tersebut adalah pemegang hak yang baru atas
tanah tersebut. Ketika suatu sertifikat dikonsepkan sebagai suatu alat bukti
hak kepemilikan atas tanah maka sertifikat bukan merupakan alat bukti satusatunya adanya keberadaan hak kepemilikan atas tanah.
Seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Pokok Agraria
Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria pasal 23 ayat (1) dan
(2), yang menyatakan bahwa :

52

1. Hak

milik

demikian

pula

setiap

peralihan,

hapusnya

dan

pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut


ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
2. Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan
pembebanan hak tertentu.
Peralihan pendaftaran hak milik merupakan kewajiban bagi setiap
orang yang melakukan peralihan hak milik tersebut. Pendaftaran peralihan
hak milik atas tanah tersebut, dilakukan oleh kantor pertanahan setempat
yang dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh PPAT selaku Pejabat
Pembuat Akta Tanah, bila syarat-syarat pendaftaran peralihan hak tersebut
dipenuhi.
Dengan demikian Pejabat Pembuat Akta Tanah bertugas untuk
membuat, mecatat dan melaporkan setiap akta yang dibuatnya supaya terjadi
koordinasi dan pengawasan terhadap setiap bidang tanh yang akan
beralih/berpindahnya hak kepada orang lain. Dengan adanya pencatatan dan
pengawasan yang dilakukan kantor Pertanahan dengan dibantu oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah maka setiap perbuatan hukum mengenai hak atas tanah
tersebut dapat dikontrol dan diawasi.
Menurut pasal 45 ayat (1), (2) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997, menyatakan bahwa:

53

1. Kepala Kantor Pertanahan menolak untuk melakukan pendaftaran


peralihan atau pembebanan hak, jika salah satu syarat dibawah ini
dipenuhi :
a. Sertifikat atau surat keterangan tentang keadaan hak atas tanah tidak
sesuai lagi dengan daftar-daftar yang ada pada kantor Pertanahan.
b. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (1)
tidak dibuktikan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah atau
kutipan risalah lealng sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, kecuali
dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat
(2).
c. Dokumen yang diperlukan dalam pendaftaran peralihan atau
pembebanan hak yang bersangkutan tidak lengkap.
d. Tidak dipenuhi syarat lain yang ditentukan dalam peraturan
Perundang-Undangan yang bersangkutan.
e. Tanah yang bersangkutan merupakan objek sengketa di Pengadilan.
f. Perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah batal atau dibatalkan oleh putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap; atau
g. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (1)
dibatalkan oleh para pihak sebelum didaftar oleh Kantor Pertanahan.
2. Penolakan Kepala Kantor Pertanahan dilakukan secara tertulis, dengan
menyebut alasan-alasan penolakan itu.
3. Surat penolakan disampaikan kepada yang berkepentingan, disertai
pengembalian berkas permohonannya, dengan salinan kepada Pejabat
Pembuat Akta Tanah atau Kepala Kantor lelang yang bersangkutan.
Adapun ketentuan mengenai kewajiban bagi Pejabat Pembuat Akta
Tanah untuk segera melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah

54

khususnya hak milik yakni padanpasal 40 ayat (1) dan (2), yang menyatakan
bahwa:
1. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya
akta

yang

bersangkutan,

Pejabat

Pembuat Akta

Tanah

wajib

menyampaikan akta yang dibuatnyaberikut dokumen-dokumen yang


bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.
2. Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib menyampaikan pemberitahuan
tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada para pihak yang bersnagkutan.
Dengan demikian pendaftaran peralihan hak milik atas tanah karena
jual beli, adalah kegiatan untuk mendaftarkan tanah miliknya yang telah
dilakukan peralihan haknya melalui jual beli, yang dibuktikan dengan akta
jual beli tanah yang dibuat oleh dan dihadapan Peraturan Pemerintah selaku
Pejabat Pembuat Akta Tanah pada Kantor Pertanahan setempat. Hal ini
dilakukan agar perbuatan hukum mengenai peralihan hak milik atas tanah
karena jual beli tersebut mempunyai kekuatan hukum dan jaminan kepastian
hukum telah diadakannya jual beli tanah tersebut.
Menurut pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
menyatakan bahwa:
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui
jual beli, tuka menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan
hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak lainnya melalui
lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat
oleh Pejabat pembuat Akta Tanah yang berwenang menurut ketentuan
peraturan perundangan yang berlaku.
55

Dalam melakukan pendaftaran peralihan hak milik atas tanah karena


jual beli selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandata9nganinya
akta jual beli tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanahn wajib menyampaikan
akta yang dibuatnya berikut berkas-berkas yang bersangkutan kepada
Kantor Pertanahan setempat untuk keperluan pendaftarannya. Dalam hal ini
Pejabat Pembuat Akta Tanah bertanggungjawab untuk memeriksa syaratsyarat untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan antara lain dengan
mencocokan data yang terdapat dalam sertifikat dengan daftar-daftar yang
ada di Kantor Pertanahan. Selanjutnya Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
bersangkutan

memberitahukan

secara

tertulis

mengenai

telah

disampaikannya akta jual beli tanah tersebut pada para pihak yang
bersangkutan.
Untuk dapat memberikan jaminan kepastian hukum, dalam
pendaftaran peralihan haknatas tanah dengan status hak milik karena jual
beli, diterbitkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku masa
pembangunan jangka panjang. Adapun dasar hukum di Indonesia yang
mengatur tentang pendaftaran peralihan hak atas tanah dengan status milik
karena jual beli, adalah:
1. Undang-Undang dasra 1945 pasal 33 ayat 3, menyebutkan bahwa:
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oelh negara yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
2. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang PokokPokok Agraria pasal 19 (1), pasal 23 ayat (1) dan (2).
56

3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah


pasal 1 ayat (1), pasal 37 ayat (1) dan (2), pasal 40 ayat (1) dan (2),
pasal 46 ayat (1),(2) dan (3).
4. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
tahun 2997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997.
D.

Tentang Putusan Verstek


Dalam praktik peradilan selalu dibedakan antara putusan hakim
(vonnis) dan penetapan hakim (beschikking). Keduanya bentuk akhir dari
proses

peradilan

ini

merupakan

sarana

untuk

mengakhiri

atau

menyelesaikan perkara dipengadilan. Putusan (vonnis) adalah bentuk


penyelesaian perkara dalam peradilan contentieus, sedangkan penyelesaian
perkara dalam peradilan voluntair disebut dengan penetapan.
Putusana dalah perbuatan hakim sebagai penguasa atau pejabat
negara yang dilakukan untuk memutuskan atau mengakhiri sengketa,
sedangkan penetapan dibuat berkaitan dengan adanya suatu permohonan,
yang tidak berdasarkan pemeriksaan para pihak, misalnya dalam
pengangkatan wali, anak angkat dan lain-lain.
Putusan hakim adalah suatu pernyataan (statement) yang dibuat oleh
hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan
diucapkan

dimuka

sidang

dengan

tujuan

untuk

mengakhiri

atau

menyelesaikan suatu perkara antara pihak yang bersengketa.


Bahwa ptutusan hakim tidak selalu mengabulkan gugatan untuk
seluruhnya dapat pula gugatan dikabulkan untuk sebahagiannya. Karena
gugatan dikabulkan untuk sebahagian saja, gugatan selebihnya harus ditolak
atau dalam hal-hal tertentu dinyatakan tidak dapat diterima. Dapat juga
57

terjadi bahwa seluruh gugatan ditolak. Tidak benar apabila gugatan ditolak
untuk sebahagian dan selebihnya dikabulkan.
Selain yang diucapkan oleh hakim, termasuk juga pernyataan yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan atau dibacakan
oleh hakim dipersidangan dianggap juga sebagai putusan hakim. Sebaliknya
konsep tertulis atau draft putusan yang belum dibacakan hakim
dipersidangan tidak memiliki kekuatan sebagai sebuah putusan hakim.
Putusan yang diucapkan hakim dipersidangan (uitspraak) tidak boleh
berbeda dengan konsep konsep putusan yang tertulis (vonnis). Mahkamah
Agung dalam Surat Edarannya Nomor.5/1959 Tanggal 20 April 1959 dan
Nomor.1/1962 Tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan bahwa pada waktu
diucapkan, konsep putusannya harus sudah selesai dibuat.
Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perbedaan putusan
antara yang diucapkan hakim dengan putusan yang tertulis, maka yang sah
adalah putusan yang diucapkan oleh hakim dipersidangan. Hal ini bahwa
lahirnya suatu putusan adalah setelah diucapkan oleh hakim. Dengan
demikian, berita acara sidang harus sudah selesai disiapkan sehari sebelum
sidang berikutnya atau paling lama 1 (satu) minggu sesudah sidang dan
setiap putusan yang akan dijatuhkan sudah harus ada konsepnya.
Dalam praktek Hukum Acara Perdata didepan pengadilan akan
didapati adanya dua macam golongan putusan, yakni putusan akhir dan
bukan putusan akhir yang disebut juga putusan sela. Salah satu putusan sela
yang dikenal dalam H.I.R ialah putusan provisionil.
Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim berkaitan
dengan pokok perkara dengan tujuan untuk mengakhiri proses pemeriksaan

58

perkara ditingkat pengadilan tertentu. Dalam kenyataannya putusan akhir


sring dibagi lagi atas beberapa jenis putusan yaitu :
a. Putusan Deklaratoir
Putusan Deklaratoir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim
yang bersifat menerangkan. Menegaskan suatu keadaan hukum
atau menentukan adanya keadaan hukum yang dinyatakan oleh
para pihak (Penggugat).
b. Putusan Konstitutif
Putusan konstitutif adalah putusan hakim yang bersifat
ditetapkan suatu keadaan hukum baru atau dihapuskannya
keadaan hukum yang telah ada.
c. Putusan kondemnatoir
d. Putusan Kondemnatoir adalah putusan hakim yang bersifat
menghukum salah satu pihak untuk memenuhi prestasi tertentu.
Dilihat dari kehadiran tergugat dimuka sidang, maka putusan akhir
dapat dibedakana atas:
a.

Putusan Kontradiktoir yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim


dalam keadaan pihak-pihak tergugat pernah datang menghadap

b.

ke muka sidang dipengadilan.


Putusan Verstek yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim
dalam keadaan pihak tergugat tidak pernah hadir dipersidangan
meskipun telah dipanggil secara patut. Dalam hal ini hakim
harus menimbangkan ketentuan pasal 125, 126 H.I.R, pasal 149,
150 R.Bg dan syarat-syarat bahwa tergugat tidak pernah datang
menghadap pada hari sidang yang telah ditentukan, juga tidak
mengirimkan wakil atau kuasa yang sah, telah dipanggil secara

59

patut, petitum tidak melawan hak, dan beralasan maka gugatan


dikabulkan dengan putusan verstek.
Pada umumnya dalam suatu putusan hakim memuat beberapa
macam putusan, atau dengan kata lain merupakan penggabungan dari
putusan deklaratoir dan putusan konstitutif atau penggabungan antara
putusan deklaratoir dengan putusan kondemnatoir dan sebagainya.
Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum
memutuskan pokok perkaranya dengan tujuan untuk mempermudah atau
memperlancar kelanjutan pemeriksaan perkara dipersidangan. Putusan sela
bersifat sebagai putusan sementara dan bukan sebagai putusan tetap, karena
perkara yang diperiksa belum tetap.
Dengan demikian hakim tidak terikat sama sekali pada putusan sela
yang telah dibuat, karena pemeriksaan perkara perdata harus

dianggap

sebagai satu kesatuan, sehingga putuan sela hanya sebagai putusan


sementara semata. Biasanya dalam praktik, putusan sela ini harus diucapkan
oleh Ketua Majelis atau Hakim Tunggal dalam sidang yang terbuka untuk
umum dan dicatat dalam berita acara persidangan.
Putusan sela dapat diklasifikasikan lagi atas beberapa jenis putusan,
yaitu :
a. Putusan Preparatoir
Yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim untuk mempersiapkan
dan mengatur pemeriksaan perkara. Putusan preparatoir ini tidak
60

mempengaruhi terhadap pokok perkara. Beberapa contoh


putusan preparatoir adalah gugatan dalam rekonvensi tidak
diputus bersama-sama dengan gugatan dalam konvensi, putusan
menerima atau menolak penundaan sidang, atau putusan yang
mengahruskan tergugat asli datang menghadap ke muka.
b. Putusan Interlokutoir
Yaitu putusan hakim yang bertujuan untuk menetapkan suatu
tindakan sementara kepentingan salah satu pihak bersengketa.
Sifat putusan ini adalah berhubungan dan mempengaruhi pokok
perkara. Contohnya pihak Tergugat meminta hakim untuk
melakukan

sita

conservatoir

atau

melaksanakan

putusan

terlebihdahulu terhadap tergugat, meskipun sidang pemeriksaan


masih berjalan.
c. Putusan Insidensil
Yaitu putusan hakim yang dijatuhkan berkaitan dengan adanya
kejadian yang menunda kelangsungan proses pemeriksaan
dipersidangan. Sebagai contoh, salah satu pihak memohon
kepada salah satu pihak ketiga untuk masuk kedalam perkara,
permohonan untuk diterimanya saksi yang diusulkan oleh para
pihak kepada hakim, dan sebagainya.
Putusan Preparatoir dipergunakan untuk mempersiapkan perkara,
demikian pula putusan Insidentil, sedangkan putusan Provisionil adalah
putusan yang dijatuhkan sehubungan dengan tuntutan dalam pokok perkara.
Putusan Interlokutoir adalah putusan yang dijatuhkan dengan amar yang
berisikan perintah pembuktian dan sementara itu diadakan tindakan61

tindakan pendahuluan untuk kefaedahan salah satu pihak atau kedua belah
pihak.
Putusan semacam itu banyak dipergunakan dalam acara singkat dan
dijatuhkan oleh karena segera harus diambil tindakan. Misal dalam perkara
perceraian dimana sang istri memohon agar diperkenankan untuk
meninggalkan tempat tinggal bersama selama proses berlangsung karena
sifatnya yang harus dilaksanakan segera, putusan provosionil selalu dapat
dilaksanakan terlebih dahulu.
Putusan

akhir

merupaka

putusan

yang

mempunyai

fungsi

mengakhiri, sengketa atau perkara. Sedangkan putusan sela atau putusan


provorsionil tidak untuk mengakhiri sengketa atau perkara melainkan untuk
memperlancar jalannya pemeriksaan.
Dari macam-macam golongan putusan dan fungsinya itu dapatlah
diketahui, putusan verstek sebagai putusan yang dijatuhkan hakim dalam
perkara perdata termasuk dalam golonga putusan akhir. Biarpun dia
dijatuhkan tanpa kehadiran pihak Tergugat, fungsinya ialah untuk
mengakhiri sengketa atau perkara yang disidangkan.
Menurut hukum acara yang berlaku, tergugat yang telah dipanggil
secara patut, tidak datang pada waktu yang ditentukan atau tidak menyuruh
orang lain datang menghadap sebagai wakilnya, maka perkara tersebut
diputus secara Verstek.
Putusan Verstek tidak dapat diputus begitu saja hanya dengan
alasan bahwa tergugat dipanggil dengan patut dan ia tidak datang

62

menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya. Karena untuk


menjatuhkan putusan Verstek harus memenuhi sayrat-syarat sebagaimana
yang telah diatur dalam pasal 125 HIR.
Dalam pasal 125 HIR menentukan bahwa untuk menjatuhkan
putusan Verstek yang bersifat mengabulkan gugatan diharuskan adanya
beberapa syarat sebagai berikut :
1. Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak datang paada hari sidang
yang telah ditentukan.
2. Ia atau mereka tidak mengirimkan wakil/kuasanya yang sah untuk
menghadap.
3. Ia atau mereka kesemuanya telah dipanggil dengan patut.
4. Petitum (gugatan) tidak melawan hak
5. Petitum beralasan.
Adapun syarat-syarat Verstek menurut Retnowulan Sutantio yang
mengemukakan bahwa untuk putusan Verstek yang mengabulkan gugat
diharuskan adanya syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tergugat atau para Tergugat tidak datang pada hari sidang yang telah
ditentukan.
2. Tergugat atau para Tergugat tidak mengirimkan wakil/kuasanya yang sah
untuk menghadap.
3. Tergugat atau para Tergugat telah dipanggil dengan patut.
4. Petitum tidak melawan hak.
5. Petitum beralasan.39
Selanjutnya menurut Yahya Harahap mengemukakan syarat acara
Verstek adalah sebagai berikut :
1. Tergugat telah dipanggil secara sah dan patut
39

Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata Dalam Praktek dan Teori,


(Bandung: Mandar Maju, 1979) hal. 21

63

2. Tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah


3. Tergugat tidak mengajukan eksepsi kompetensi
Syarat yang dikemukakan Yahya Harahap lebih mencantumkan
bahwa tergugat telah dipanggil secara sah dan patut, serta mensyaratkan
bahwa ketidakhadiran tergugat tanpa disertai alasan yang sah. Yahya
Harahap tidak mencantumkan sebagai syarat dijatuhkannya putusan verstek
karena gugatan tidak melawan hukum serta gugatan beralasan.
E.

Proses Acara Verstek


Tergugat yang telah dipanggil dengan patut, ia atau kuasa sahnya
tidak datang mengahadap maka perkaranya akan diputus secara Verstek,
yaitu penggugat dianggap menang dan tergugat dianggap kalah. Sebelum
pengadilan memutus secara Verstek, pengadilan dapat memanggil sekali
lagi tergugat. Kalau ia atau kuasa sahnya tidak juga datang menghadap
maka ia akan diputus Verstek. Menurut Gatot Suparmono, dalam acara
putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya pihak tergugat (Verstek) dalam
pasal 125 ayat (1) H.I.R, setelah tergugat dipanggil dengan patut selama 3
(tiga) kali berturut-turut tetapi tidak datang menghadap ke persidangan dan
tidak juga menyuruh orang lain untuk mewakilinya, maka hakim
menjatuhkan hukuman secara Verstek. Dalam menjatuhkan putusan
tersebut, tidak diperlukan pembuktian, hakim hanya diperintahkan untuk
melihat apakah gugatan penggugat melawan hak atau tidak beralasan.40
Putusan Verstek tidak berarti dikabulkannya gugatan penggugat.
Pada hakekatnya lembaga Verstek itu untuk merealisir audi et alteram
40

Gatot Supramono, Pembuktian Di Peradilan Agama, ( Bandung: Alumni,


1993) hal. 16

64

partem jadi kepentingan tergugatpun harus diperhatikan. Sehingga secara ex


officio hakim mempelajari isi gugatan. Tetapi dalam praktek sering gugatan
penggugat dikabulkan dalam putusan Verstek dalam mempelajari gugatan
terlebih dahulu.41
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengertian teknis Verstek
berkaitan dengan pemberian kewenangan kepada hakim untuk memeriksa
dan memutus perkara meskipun penggugat atau tergugat tidak hadir
dipersidangan yang telah ditentukan. Selanjutnya apa yang menjadi
pertimbangan putusan hakim tersebut diambil dan dijatuhkan tanpa
bantahan atau sanggahan dari pihak yang tidak hadir.42 Hal ini dilakukan
semata-mata bertujuian untuk memberikan keadilan bagi pihak yang hadir
dalam sidang agar proses beracara dapat berjalan dengan lancar dan beban
perkara salah satu pihak cepat terselesaikan. Tentang tata cara pemanggilan
yang sah dan patut dilakukan oleh jurusita harus berpedoman pada pasal 122
H.I.R atau pasal 10 R.v. Pasal tersebut mengatur jarak waktu antara
pemanggilan dengan hari sidang. Dalam keadaan normal digantungkan pada
faktor jarak tempat kediaman tergugat dengan gedung pengadilan dengan
jangka waktu 8 (delapan) hari untuk jarak dekat, 14 (empat belas) hari untuk
yang jaraknya agak jauh, dan 20 (dua puluh) untuk yang jaraknya jauh.
Namun, apabila keadaan mendesak menurut pasal 122 H.I.R jarak waktunya
dapat dipersingkat tetapi tidak boleh kurang dari 3 (tiga) hari.
Apabila pemanggilan belum sah, kemudian tergugat tidak datang
memenuhi
41
42

panggilan

sidang,

hakim

Sudikno Mertokusumo, Opcit, hal 85


Yahya Harahap, Opcit, hal. 382

65

tidak

dibenarkan

melakukan

pemeriksaan dengan acara Verstek. Putusan Verstek yang dijatuhkan dalam


kasus seperti itu dianggap cacat hukum sebagaimana ditegaskan oleh
putusan MA NO. 838 K/Pdt/1975. Putusan Verstek yang dijatuhkan tersebut
tidak tepat karena pemanggilan terhadap tergugat belum sempurna
berdasarkan fakta, hal ini dapat mengakibatkan putusan yang diambil tidak
sah.43 Maka dalam hal ini perlu kiranya diperkirakan hak-hak atas tergugat
dalam acara Verstek, karena putusan Verstek ini berkaitan dengan tahapan
prosedur pemanggilan secara sah dan patut.

BAB III
PUTUSAN VERSTEK

A.

Pengertian Putusan Verstek


43

Yahya Harahap, Ibid, hal 384-385

66

Istilah Verstek dalam kamus hukum ialah sebagai terjemahan dari


Verstek Procedure dan Verstek Vonnis yang diberi istilah putusan tanpa
hadir atau putusan diluar hadir tergugat atau penggugat. Sedangkan menurut
Soepomo, menyebut acara luar hadir (Verstek). Di lain pihak Subekti
tetap mempergunakan istilah aslinya Perstek bukan Verstek. Sedangkan
sistem common law memberi istilah default procedure yang sama
maksudnya dengan Verstek Procedure yaitu acara luar hadir, dan untuk
Verstek Vonnis (putusan tanpa hadir) disebut default judgement. Istilah
yang dipergunakan dalam terminologi hukum di Indonesia penulisan dan
praktek peradilan sudah baku dipergunaka kata Verstek.44
Mengenai pengertian Verstek, tidak terlepas kaitannya dengan fungsi
beracara dan putusan atas perkara yang disengketakan, yang memberi
wewenang kepada hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya satu pihak.
Putusan

Verstek

adalah

putusan

yang

dijatuhka

karena

tergugat/termohon tidak pernah hadir di persidangan meski telah dipanggil


secara patut, maka hakim berhak memutus perkara tanpa kehadiran
tergugat/termohon.
Adapun pengertian Verstek menurut R. Soepomo, Verstek adalah
pernyataan bahwa tergugat tidak hadir meskipun menurut hukum acara ia

44

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata ( Jakarta:Sinar Garfika, 2006) hal.

381

67

harus datang. Verstek hanya dapat dinyatakan jikalau tergugat tidak datang
pada hari sidang pertama.45
Pada dasarnya Verstek adalah pernyataan bahwa tergugat tidak hadir
dalam persidangan, meskipun ia menurut hukum harus datang. Namun
mungkin jadi seorang tergugat atau seorang termohon tidak hadir dalam
beberapa persidangan, walaupun telah dipanggil secara patut. Dari ketidak
hadiran salah satu pihak tersebut akan menimbulkan persoalan-persoalan
dalam proses pemeriksaan perkara. Dalam artian apakah perkara itu akan
diputus oleh hakim dalam bentuk gugurnya gugatan atau ditundanya waktu
pemeriksaan atau diputus dengan putusan tanpa hadirnya tergugat atau
termohon yaitu diputus secara Verstek.
Seperti yang ada dalam ketentuan pasal 125 HIR, dijelaskan :
Jika tergugat tidak hadir pada hari perkara akan diperiksa atau tidak pula
menyuruh orang lain untuk mengahadap mewakilinya, meskipun orang itu
dipanggil secara patut, maka gugatan itu dapat diputus dengan tak hadir
(Verstek).
Dari pasal tersebut dapat diperoleh pengertian yang mendasar
tentang Verstek dan juga dapat dipahami tentang hari perkara akan diperiksa
dapat berarti hari sidang pertama, tetapi juga pada hari sidang kedua dan
seterusnya.46
45

R. Soepomo, Hukum Acara Perdata ( Jakarta : Pradanya Paramita , 1993), hal.

33
46

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia ( Yogyakarta :


Liberty, 1981 ) hal. 102

68

Jika hal itu terjadi maka ketika putusan dijatuhkan pada hari sidang
kedua tanpa hadirnya tergugat, maka putusan tersebut merupakan putusan
Verstek. Begitu juga jika hakim tetap menunda untuk sidang yang ketiga
dan memutusnya tanpa hadirnya tergugat maka putusan tersebut tetap
disebut sebagai putusan Verstek47
Adapun dasar hukum dari putusan Verstek yaitu, putusan Verstek
dalam hukum positif diatur dalam pasal 125 jo 129 HIR dan 196 jo 197
H.I.R, pasal 148 jo 153 R.bg, dan 207 jo 208 R.bg, pasal 50 jo 51 UU No:
48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dan SEMA No.9/1964.
Menurut Sudikno Mertukusumo, bahwa tidak ada keharusan tergugat
untuk datang dipersidangan. H.I.R/R.bg memang tidak mewajibkan tergugat
untuk datang dipersidangan. 48
Maksud utama sistem Verstek dalam hukum acara adalah untuk
mendorong para pihak menaati tata tertib beracara, sehingga proses
pemeriksaan penyelesaian perkara terhindar dari anarki atau kesewenangan.
Sekiranya Undang-Undang menentukan bahwa untuk sahnya proses
pemeriksaan perkara, mesti dihadiri para pihak, ketentuan yang demikian
tentunya dapat dimanfaatkan tergugat dengan itikad buruk untuk
menggagalkan penyelesaian perkara.
B.

Sebab-Sebab Dijatuhkannya Putusan Verstek


47

Mr. R. Tresna, Komentar HIR ( Jakarta: Pradanya Paramita, 1993) hal: 108-

48

Sudikno Mertokusumo, Opcit. Hal. 107

109

69

Pasal 125 HIR/149 R.bg memperlihatkan bahwa hakim menerima


gugatan Penggugat dengan keputusan verstek atau keputusan yang
dijatuhkan tanpa dihadiri pihat tergugat. Namun ia juga memperlihatkan
bahwa tidak hadirnya tergugat bukan merupakan hal yang mutlak bisa
dijadikan alasan hakim menjatuhkan putusan verstek terhadap suatu perkara.
Lebih jelasnya tentang sebab-sebab apa sehingga hakim
berkesimpulan perlu dijatuhkan putusan verstek dapat dilihat melalui pasal
125/149 R.bg sebagai berikut :
1. Jikalau si tergugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap
pada hari yang ditentukan dan tidak juga menyuruh orang lain
menghadap selaku wakilnya, maka tuntutan itu melawan hak atau tidak
beralasan.
2. Akan tetapi jika si tergugat dalam surat jawabannya tersebut dalam pasal
121 ayat 2 H.I.R/145 R.bg mengajukan perlawanan (tangkisan) bahwa
pengadilan negeri tidak berhak akan memeriksa perkara itu hendaklah
pengadilan negeri, walaupun si Tergugat sendiri atau wakilnya tidak
menghadap, sesudah mendengar si Penggugat mengadili perlawanannya
dan hanya kalau perlawanan itu ditolak, maka keputusan dijatuhkan
mengenai pokok perkara.
3. Jikalau tuntutan diterima, maka keputusan pengadilan negeri dengan
perintah ketua diberitahukan kepada terhukum serta itu diperingatkan
kepadanya, bahwa ia berhak dalam waktu dengan cara yang ditentukan
dengan pasal 129 H.I.R/153 R.bg, mengajukan perlawanan menentang
keputusan hakim itu pada majelis pengadilan itu juga.

70

4. Dibawah keputusan hakim itu panitera pengadilan mencatat, siapa yang


dipertanggungkan menjalankan pekerjaan itu dana pakah diwartakannya
tentang hal itu baik dengan lisan ataupun tulisan.
Ketentuan pasal 125 H.I.R/149 R.bg memperlihatkan putusan
verstek atas perkara perdata, yakni:
1. Tergugat atau para Tergugat kesemuanya telah dipanggil secra patut
2. Tergugat atau para Tergugat kesemuanya tidak hadir pada hari sidang
yang ditentukan
3. Tergugat atau para Tergugat tidak mrenyuruh orang lain untuk
menghadap untuk mewakilinya
4. Petitum tidak melawan hak atau bersandar hukum
5. Petitum beralasan.
Terhadap gugatan yang tidak dihadiri pihak tegugat pada hari sidang
yang telah ditentukan dan juga ia tidak menyuruh orang lain sebagai
wakilnya untuk menghadap, tapi bagi pengadilan negeri nyata gugatan tidak
bersandar hukum atau tidak beralasan, Soedikno Mertokusumo memberi
jawaban sebagai berikut:
Jika gugatan tidak bersandar hukum, yaitu apabila peristiwaperistiwa sebagai dasar tuntutan, tidak membenarkan tuntutan, maka
gugatan akan dinyatakan tidak diterima (net onvankelijk ver klaard. Jika
gugatan itu tidak beralasan, yaitu apabila tidak diajukan peristiwa-peristiwa
yang membenarkan tuntutan, maka agugatan akan ditolak.49
Sedangkan dari pasal 125 ayat 2 H.I.R/149 R.bg bahwa, Tergugat
atau para Tergugat yang tidak hadir dan tidak menyuruh orang lain untuk
menghadap selaku wakilnya, dia mempunyai hak untuk mengirimkan surat
jawaban dengan mengajukan tangkisan (eksepsi) bahwa Pengadilan Negeri
tidak berhak memeriksa perkara yang diajukan.
Hakim akan memberi putusan bahwa tergugat yang telah dipanggil
dengan patut kemudian tidak hadir dan menyatakan bahwa Pengadilan
49

Sudikno Mertukusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta:Liberty,


1979) hal. 76

71

Negeri tidak berwenang mengadili sengketa tersebut (dalam hal adanya


eksepsi mengenai kekuasaan mutlak), atau memberi putusan bahwa
Tergugat yang telah dipanggil dengan patut tidak hadir dan menyatakan
Pengadilan Negeri yang bersangkutan tidak berwenang untuk mengadili
gugatan yang telah diajukan itu (dalam hal adanya eksepsi

tidak

dibenarkan, eksepsi tersebut ditolak, hakimakan memeriksa pokok


perkaranya. Dalam hal gugatan beralasan dan tidak bertentangan dengan
hukum, gugatan akan dikabulkan seluruhnya atau sebahagian dengan
verstek).50
Dari kutipan diatas, jelas yang dimaksud ketentuan pasal 125 ayat 2
H.I.R/149 R.bg adalah menyangkut kekuasaan absolut atau yang
menyangkut kekuasaan relatif Pengadilan Negeri. Itu juga berarti dalam hak
menjatuhkan, putusan verstek, Hakim tidak boleh hanya bersandar pada
ketidakhadiran pihak tergugat. Segala persyaratan yang ditentukan pasal 125
ayat 2 H.I.R/149 R.bg haruslah dipenuhi, dimana hakim harus terlebih
dahulu memeriksa secara seksama segala persyaratan dimaksud. Dan
apabila Tegugat atau para Tergugat yang tidak hadir namun mempergunakan
haknya mengirimkan eksepsi, sebagaimana diatur dalam pasal 125 ayat 2
H.I.R/149 R.bg verstek hanya bisa dijatuhkan jika eksepsi tersebut ditolak
dan setelah Hakim memeriksapokok perkaranya, ternyata gugatan beralasan
dan tidak bertentangan dengan hukum.
Dari ketentuan yang mengatur tentang putusan verstek itu sendiri,
tidaklah berarti putusan verstek sebagai hal yang pasti memberikan
50

Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata


dalam Teori dan Praktek, (Mandar maju, 1997) hal. 27

72

hukuman kepada pihak Tergugat. Sebab putusan verstek dapat dijatuhkan


dengan mengabulkan gugatan untuk sebahagian, tidak diterimanya gugatan
atau menolak gugatan.
Didalam H.I.R dan R.bg selain memberikan wewenang kepada
hakim untuk menjatuhkan putusan verstek juga memberikan wewenang
kepada hakim untuk mengundurkan persidangan. Sebagaimana diatur dalam
pasal 126 H.I.R/150 R.bg sebagai berikut: Dalam hal-hal yang tersebut
dalam kedua pasal yang lalu (124 jo 125 H.I.R/148 jo 149 R.bg), maka
Pengadilan Negeri sebelum menjatuhkan keputusan, dapat memerintah
supaya pihak yang tidak hadir dipanggil pada kedua kali untuk datang
menghadap pada hari persidangan yang datang, yang diberitahukan oleh
ketua kepada pihak yang hadir, untuk siapa pemberitahuan itu berlaku
sebagai panggilan
Kewenangan yang diberikan kepada hakim tersebut adalah
memperlihatkan betapa diperlukannya kebijaksanaan hakim sebelum
menjatuhkan putusan verstek terhadap suatu perkara. Dalam hal ini adalah
berkenaan dengan pertimbangan hakim kepada dia, akan menjatuhkan
putusan verstek terhadap perkara perdata. Mahkamah Agung berpendapat
bahwa putusan verstek tidak hanya dapat dijatuhkan pada persidangan
pertama. Dalam Surat Edaran No.9/1964 Tanggal 13 April 1964, Mahkamah
Agung berpendapat bahwa perkataan tendage dienende yang dimuat
dalam pasal 125 H.I.R yang diartikan hari sidang pertama, dapat juga
diartikan tendage det de zaak dient yang berarti hari ini.
Surat Edaran Mahkamah Agung No.9/1964 tersebut jelas memiliki
kesesuaian dengan ketentuan pasal 126 H.I.R yang memberikan kepada
73

hakim wewenang untuk mengundurkan persidangan apabila Penggugat atau


Tergugat tidak hadir pada hari sidang yang telah ditentukan.
Hal ini yang juga harus menjadi pertimbangan hakim adalah
kedudukan pihak Tergugat. Oleh karena tidak selalu Cuma ada satu orang
Tergugat, maka dalam hal ini terdapat lebih dari satu orang Tergugat,
masing-masing harus dipandang memiliki kedudukan yang sama yakni tetap
mendapat perlindungan sepenuhnya sebagai pihak yang belum tentu benar
melakukan kesalahan.
Isyarat ini dengan jelas dan tegas tertuang melalui pasal 127
H.I.R/151 R.bg yang menentukan:
Jika seseorang atau lebih dari orang-orang yang Tergugat tidak
menghadap, dan juga jika menyuruh orang lain hadir selaku wakilnya, maka
pemeriksaan perkara itu diundur sampai ke hari persidangan lain.
Pengunduran itu diberitahukan dalam persidangan kepada pihak yang hadir,
untuk siapa pemberitahuan itu berlaku seperti panggilan, sedang hakim
ketua menyuruh memanggil orang-orang yang tidak hadir, supaya
menghadap pada hari persidangan yang sudah ditentukan itu. Ketika perkara
itu diperiksa dan diputuskan dengan satu putusan saja, tentang apa
perlawanan tidak diluluskan.
Jadi dalam hal terdapat lebih dari satu Tergugat dan pada hari sidang
yang telah ditentukan ada satu atau lebih tergugat yang tidak hadir, juga
tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya, sidang harus
diundur sedang perkaranya tidak isa diputus kan dengan putusan verstek
baik terhadap Tergugat yang hadir maupun yang tidak hadir. Barulah pada
hari sidang berikutnya yang telah ditentukan, perkara diperiksa dan

74

diputuskan dengan satu putusan serta tidak bisa diajukan perlawanan


terhadapnya.
Maka sebagai pihak yang mengajukan gugatan, sepantasnyalah
diharapkan pihak Penggugat yang harus terlebih dahulu mengetahui
akanadanya proses acara perdata didepan persidangan dan juga lebih dahulu
bersiap-siap untuk mengikuti persidangan tersebut nantinya. Setidaknya
dengan telah megajukan gugatan, pihak Penggugat telah lebih dulu bersiapsiap menjaga kemungkinan apabila ada halangan untuk hadir. Sehingga
wajarlah demi menjaga kemungkinan tersebut untuk mempersiapkan dan
menunjuk wakilnya lebih awal dibanding pihak Tergugat yang mengetahui
akan adanya persidangan setelah ada dan menerima berita pemanggilan.
Jadi mengenai hak atau wewenang yang diberikan kepada hakim
untuk mengundurkan persidangan sebagaimana ditentukan didalam pasal
126 H.I.R/159 R.bg dapat dilihat sebagai suatu upaya pemberian
pertimbangan atas perlindungan hukum terhadap penggugat dan tergugat.
Jelasnya, guna menghindari hal-hal yang bisa mengakibatkan timbulnya
kerugian pihak-pihak yang bersangkutan. Terutama pihak tergugat sebagai
pihak yang belum tentu benar telah melakukan kesalahan serta sebagai
pihak yang tidak terlebih dahulu mengetahui akana danya persidangan.
Hakim sebelum menjatuhkan putusan verstek, terutama dengan
mengabulkan

gugatan

haruslah

bersikap

setepat

mungkindalam

mempergunakan kebijaksanaannya. Jika berpendapat perlu hakim sebaiknya


mempergunakan hak atau wewenangnya yang diatur dalam pasal 126
H.I.R/150 R.bg. Dengan demikian berarti ada keharusan bagi hakim untuk
menjatuhkan putusan verstek pada hari pertama persidangan adalah tepat,
75

seperti halnya juga diatur dalam pendapat Mahkamah Agung dengan Surat
C.

Edaran No.9/1964 tertanggal 13 April 1964.


Hak Para Pihak Dengan Adanya Putusan Verstek
Dari ketentuan yang mengatur tentang putusan verstek bisa
dimaklumi bahwa putusan tersebut bisa dijatuhkan dengan tidak
diterimanya gugatan atau dengan menolak gugatanm atau juga dengan
mengabulkan gugatan untuk seluruhnya atau untuk sebahagian. Menyadari
akan hal tersebut, maka dalam kesempatan ini perlu mendapat perhatian
mengenai hak para pihak dengan adanya putusan verstek.
Sebagaimana pasal 125 ayat 3 H.I.R/149 R.bg jika tuntutan diterima,
keputusan itu disampaikan kepada pihak terhukum dan kepadanya juga
diperingatkan bahwa ia mempunyai hak atau kesempatan untuk mengajukan
perlawanan.

Terhadap

putusan

verstek

yang

dijatuhkan

dengan

mengabulkan gugatan untuk seluruhnya atau untuk sebahagian hanya dapat


dijalankan setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan
itu kepada pihak yang dikalahkan. Namun Undang-Undang memberi
pengecualian, bahwa putusan verstek dapat dilaksanakan sebelum lewat
batas waktu yang sudah ditentukan, sebagaimana pengecualian tentang
dapat dijalankannya putusan hakim biarpun ada yang mengajukan bantahan
atau banding seperti tertera didalam apsal 180 H.I.R/191 R.bg.
Mengenai pelaksanaan putusan verstek tersebut dengan jelas dapat
dilihat pada pasal 128 H.I.R/152 R.bg yang menentukan sebagai berikut:

76

1. Putusan yang diputus dengan verstek tidak dapat dilaksanakan sebelum


lewat 14 hari setelah dilakukan pemberitahuan seperti dimaksud dalam
pasal 125 H.I.R/149 R.bg
2. Dalam keadaan yang sangat mendesak, pelaksanaan ini dapat
diperintahkan sebelum lewat tenggang waktu tersebut, baik dalam
mencantumkannya dalam surat keputusan itu, maupun oleh ketua
sesudah dijatuhkannya kepitusan tersebut, atas permohonan lisan ataupun
tertulis dari penggugat.
Sedang mengenai hak atau kesempatan untuk mengajukan
perlawanan yang dipunyai pihak tergugat, tentang tenggang waktu dan tata
caranya tertera didalam pasal 129 H.I.R/153 R.bg ayat 1 tersebut ditentukan:
Tergugat yang dihukum dengan putusan tak hadir (verstek) dan tidak
menerima keputusan itu, dapat mengajukan perlawanan (verzet) terhadap
keputusan tersebut.
Ketentuan diatas jelas menyatakan tentang hak hak yang dipunyai
tergugat untukmengajukan perlawanan terhadap putusan verstek. Yang
dimaksud adalah putusan verstek yang dijatuhkan dengan mengabulkan
gugatan untuk seluruhnya atau untuk sebahagian.
Perlawanan terhadap putusan verstek tersebut dapat dilakukan dalam
tenggang waktu empat belas (14) hari setelah memberitahukan jika
pemberitahuannya langsung kepada tergugat sendiri. Dan jika tidak
langsung kepada tergugat waktu untuk mengajukan perlawanan sampai hari
ke delapan (8) setelah adanya teguran untuk melaksanakanputusan verstek
itu sebagaimana dimaksud pada pasal 196 H.I.R/207 R.bg. apabila tergugat
tidak juga datang untuk menghadap setelah dipanggil dengan patut,

77

perlawanan dapat diajukan sampai hari ke delapan (8) setelah dijatuhkannya


surat perintah ketua sebagaimana dimaksud pasal 197 H.I.R/209 R.bg.
Sedangkan mengenai cara melakukan tuntutan dan pemeriksaan
perlawanan terhadap putusan verstek, oasal 129 ayat 3 H.I.R/153 R.bg
menentukan bahwa tuntutan perlawanan tak hadir (verstek) dimasukkan dan
diperiksa dengan cara biasa yang diatur untuk perkara perdata. Dengan
demikian jelaslah bahwa tuntutan perlawanan terhadap putusan verstek
dimaksud kepada Majelis Pengadilan yang memeriksa perkara itu
sebelumnya.
Mengenai hak yang dipunyai pihak penggugat dengan adanya
putusan verstek, sebelumnya perlu dilihat bagaimana keadaan putusan
tersebut. Putusan verstek sebagaimana telah disebutkan, dapat dijatuhkan
dengan tidak diterimanya gugatan, dengan menolak gugatan dan dengan
mengabulkan gugatan sebahagian atau seluruhnya.
Dari situ dapat dilihat perihal kedudukan penggugat dengan adanya
putusan verstek, yang kemudian daripa danya dapatlah dilihat tentang hak
yang dipunyai pihak Penggugat. Dalam hal putusan verstek dijatuhkan
dengan tidak diterimanya gugatan atau dengan menolak gugatan sudah jelas
pihak penggugat kedudukannya sebagai pihak yang dikalahkan. Sedang
dalam hal putusan verstek dijatuhkan dengan mengabulkan gugatan untuk
seluruhnya, pihak penggugat adalah sebagai pihak yang dimenangkan dan
jika putusan verstek dijatuhkan dengan mengabulkan gugatan untuk
sebahagian, pihak penggugat bisa jadi juga merasa sebagai pihak yang
dikalahkan, dimana dia merasa tidak puas atau merasa dirugikan dengan
putusan tersebut.
78

Jadi dalam hal yang demikian terlihat ada dua kemungkinan


mengenai kedudukan pihak penggugat, yaki sebagai pihak yang
dimenangkan tapi juga sekaligug dia merasa sebagai pihak yang dikalahkan.
Dari sinilah bisa dilihat mengenai hak yang dimiliki pihak penggugat
dengan adanya putusan verstek. Mengenai hak yang dimiliki pihak
penggugat ini erat kaitannya dengan ketentua yang mengatur perihal
permohonan banding.
Mengenai pengaturan permohonan banding ini sebenarnya ada yang
berpendapat bahwa untuk daerah Jawa dan Madura dengan daerah luar Jawa
dan Madura dalam undang-undang yang berbeda. Disatu pihak ada yang
berpendapat untuk daerah Jawa dan Madura diatur dalam Undnag-undang
No.20 tahun 1947, sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur
dalam paal 199 jo 205 R.bg.
Sementara ada pula yang berpendapat bahwa perihal permohonan
banding, baik untuk daerah jawa dan Madura serta untuk daerah luar Jawa
dan Madura sudah diatur dalam satu undang-undang, yakni Undang-Undang
No.20 tahun1947 saja.
Kemudian berkaitan dengan hak pihak penggugat dengan adanya
putusan verstek, yakni putusan verstek yang dijatuhkan dengan tidak
diterimanya gugatan atau dengan menolak gugatan, atau jugad dengan
mengabulkan gugatan untuk sebahagian, dapatlah dilihat dari ketentuan
pasal 6 Undang-Undang No.20 tahun 1947 sebagai berikut: Dari putusanputusan Pengadilan Negeri di Ajwa dan Madura tentang perkara perdata,
bahwa besarnya gugat ialah seratus rupiah atau kurang, oleh salah satu dari
pihak-pihak

(partijan)

yang

berkepentingan
79

dapat

diminta

supaya

pemeriksaan perkara diualangi oleh Pengadilan Tinggi yang berkuasa dalam


daerah hukum masing-masing.
Ketentuan tersebut diatas memperlihatkan yang dimaksud pembuat
undang-undang dengan pihak yang berkepentingan yang dapat meminta
dilakukannya pemeriksaan ulang jelaslah pihak yang dikalahkan dengan
putusa Pengadilan Negeri, dan dalam kaitannya dengan adanya putusan
verstek, khusus putusan verstek yang dijatuhkandengan tidak diterimanya
gugatan atau dengan menolak gugatan, pihak penggugatadalah sebagai
pihak yang dikalahkan. Sedangkan dalam hal putusan verstek dijatuhkan
dengan mengabulkan gugatan untuk sebahagian, pihak Penggugat disatu sisi
sebagai yang dimenangkan, tapi sekaligus juga bisa jadi merasa sebagai
pihak yang dikalahkan.
Dengan demikian jelaslah dengan adanya putusan verstek yang
dijatuhkan dengan tidak diterimanya gugatan atau dengan menolak gugatan
dan atau dengan mengabulkan gugatan untuk sebahagian, maka yang
dimi8liki pihak Penggugat adalah mengajukan permohonan banding
D.

terhadap putusan verstek tersebut.


Akibat Hukum Terhadap Putusan Verstek
Kehadiran para pihak dalam suatu persidangan merupakan hak,
bukan kewajiban yang bersifta imperatif. Dan hukum telah menyerahkan
sepenuhnya kepada tergugat untuk mempergunakan haknya dalam membela
kepentingannya. Hakim dalam acara peradilan dapat menerapkan acara
verstek jika syarat-syaratnya terpenuhi maka hakim secara langsung dapat

80

memutus verstek. Tindakan tersebut dapat dilakukan berdasarkan jabatan


atau ex officio.
Apabila hakim hendak memutus dengan Verstek makan bentuk
putusan yang dapat dijatuhkan berdasarkan pasal 125 ayat (1) HIR dapat
berupa mengabulkan gugatan Penggugat, pada prinsipnya hakim yang
memutus secara Verstek harus menjatuhkan putusan dengan mengabulkan
gugatan penggugat. Namun tanggung jawab dari seorang hakim dalam
penerapan acara Verstek adalah berat. Yaitu tanpa melalui pemeriksaan yang
luas dan mendalam terhadap fakta-fakta yang melekat pada sengketa. Maka
dalam mengabulkan gugatan ada beberapa pendapat yaitu:
a. Mengabulkan seluruh gugatan, maksudnya mengabulkan seluruh
gugatan persis seperti apa yang dirinci dalam petitum gugatan.
b. Mengabulkan sebagian gugatan, maksudnya adalah ketika seorang
hakim dalam memeriksa sebuah perkara dan salah satu pihak tidak
hadir, maka bukti yang diperoleh tidak sempurna. Kemudian apabila
cukup alasan yang dapat dikabulkan hanya untuk sebagian, hakim
boleh memutus dengan mengabulkan sebagian saja.51
Setelah putusan tersebut dijatuhkan maka yang terjadi adalah
eksekusi dari putusan tersebut, berdasarkan pasal 128 HIR yang mengatur
E.

kapan kekuatan eksekutorial.


Putusan Verstek Sebagai Putusan Akhir
Putusan Verstek sebagai putusan hakim Pengadilan Negeri dalam
perkara perdata yang dijatuhkan diluar hadirnya pihak Tergugat, yang
51

Yahya Harahap, Opcit, hal 379-378

81

merupakan putusan akhir, dalam hal fungsinya adalah untuk mengakhiri


suatu sengketa atau perkara perdata. Namun sebagai putusan akhir, haruslah
dihindari dari hal-hal yang akan memungkinkan kerugian pihak Tergugat,
mengingat salah satu persyaratan untuk bisa dijatuhkannya putusan verstek
adalah ketidakhadiran pihak Tergugat.
Tentang ketidakhadiran pihak tergugat ini sendiri, bisa terjadi bukan
karena kehendaknya sendiri. Tapi bukan tidak mungkin disebabkan berita
pemanggilan tentang adanya persidangan sampai kepadanya. Sementara
sebagai putusan akhir, putusan verstek berdasarkan ketentuan pasal 128 ayat
1 H.I.R/152 R.bg dapat dilaksanakan setelah lewat waktu empat belas (14)
hari setelah dilakukannya pemberitahuan kepada pihak Tergugat. Dan
didalam ayat 2 pasal 128 H.I.R/152 R.bg ditentukan, dalam keadaan yang
sangat mendesak, pelaksanaan dapat diperintahkan sebelum lewat tenggang
waktu atas permohonan lisan amupun tulisan dari pihak Penggugat.
Dengan demikian, oleh pihak-pihak tertentu dengan maksud
menguntungkan diri sendiri, putusan verstek bukan tidak mungkin sangat
diharapkan. Bagi pihak Tergugat yang ternyata berita pemanggilan adanya
persidangan tidak sampai kepadanya, jika kemudian atas ketidak hadirannya
dijatuhkan putusan verstek jelas sebagai hal sangat merugikan baginya.
Demikian pula jika yang ternyata kemudian tidak sampai kepada
pihak tergugat adalah pemberitahuan tentang adanya putusan verstek.
Kerugian pihak tergugat dapat terjadi dalam hal putusan verstek dijatuhkan

82

dengan mengabulkan gugatan, baik untuk seluruhnya maupun sebahagian.


Dalam hal putusan verstek dijatuhkan dengan mengabulkan gugatan untuk
seluruhnya, jika kemudian ternyata berita pemanggilan atau pemberitahuan
tidak sampai kepadanya, bisa akan kehilangan hak atau kesempatannya
untuk mengajukan perlawanan.
Jika terjadi hal yang demikian, dengan dijatuhkannya putusan
verstek yang merupakan putusan akhir hakim Pengadilan Negeri dalam
perkara perdata, jelas mengakibatkan timbulnya kerugian bagi pihak
Tergugat. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dalam hal putusan verstek
dijatuhkan dengan mengabulkan gugatan untuk sebahagian, pihak
penggugat yang juga merasa sebagai pihak yang dikalahkan memiliki hak
atau kesempatan untuk mengajukan permohonan banding.
Tentang hak Penggugat ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 8 ayat 1
Undang-Undang No.20 Tahun 1947 sebagai berikut: Dari Putusan
Pengadilan Negeri, yang dijatuhkan diluar hadir Tergugat, Tergugat tidak
boleh minta pemeriksaan ulangan melainkan hanya dapat mempergunakan
perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama, akan tetapi jikalau
penggugat minta pemeriksaan ulangan tersebut tidak dapat mempergunakan
hak perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama.
Upaya hukum yang dimiliki pihak Tergugat dalam hal demikian
tercantum dalam pasal 8 ayat 2 Undang-Undang No.20 Tahun 1947
menentukan: Jika, dari sebab apapun juga tergugat tidak dapat

83

mempergunakan hak perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama,


Tergugat boleh meminta pemeriksaan ulangan.
Jelaslah apabila terhadap putusan verstek yang dijatuhkan dengan
mengabulkan gugatan untuk sebahagian diajukan permohonan banding oleh
penggugat, terhadap putusan tersebut pihak Tergugat juga mempunyai hak
untuk

mengajukan

permohonan

banding

sebagai

pengganti

hak

perlawanannya yang hilang. Sedang pengajuan permohonan banding itu


sendiri mengakibatkan perkara menjadi mentah kembali. Yaitu putusan
Pengadilan Negeri, kecuali apabila dijatuhkan dengan ketentuan dapat
dilaksanakan terlebih dahulu atau putusan tersebut dijatuhkan dengan suatu
putusan provosionil, maka tidak dapat dilaksanakan.
Penyalahgunaan dalam hal ini dapat dilakukan pihak Penggugat
untuk merugikan pihak tergugat bisa terjadi dengan adanya ketentuan yang
memperbolehkan, pencabutan permohonan banding setiap waktu sepanjang
perkaranya

belum

diputus

oleh

Pengadilan

Tinggi.

Kemungkinan

penyalahgunaan tersebut misalkan dalam hal putusan verstek dijatuhkan


dengan mengabulkan gugatan untuk sebahagian, pihak penggugat kemudian
emngajukan permohonan banding. Sedangkan pihak Tergugat, yang dengan
putusan tersebut telah merasa puas dan memberikan kepercayaan penuh
terhadap keberadaan Pengadilan Tinggi tidak ikut mengajukan permohonan
banding.kemudian setelah Penggugat mengajukan permohonan banding dan
pemeriksaan telah mulai dilakuakn, pihak penggugat melihat kemungkinan
pada akhirnya Pengadilan Tinggi akan memutuskan sebaliknya, dimana dia
84

yang telah dimenangkan untuk sebahagian dalam verstek ternyata dalam


putusan Pengadilan Tinggi nantinya akanmenjadi pihak yang dikalahkan.
Putusan Verstek yang memiliki kekuatan sebagai putusan akhit
hakim Pengadilan Negeri dalam perkara perdata, jika ternyata berita
pemanggilan sidang atau pemberitahuan tentang adanya putusan verstek itu
tidak sampai kepada pihak Tergugat, akan mengakibatkan timbulnya
kerugian bagi pihak Tergugat.
Demikian juga halnya jika terhadao putusan verstek yang dijatuhkan
dengan mengabulkan gugatan untuk sebahagian, pihak Penggugat
kemudianmengajukan permohonan banding sedang pihak Tergugat tidak
melakukannya lantas secara licik setelah lewatnya batas waktu untuk
mengajukan permohonan banding, oleh karena melihat kemungkinan akan
dikalahkan dalam putusan Pengadilan Tinggi maka pihak penggugat
mencabut kembali permohonan bandingnya.
Meski

didalam

ketentuan-ketentuan

yang

mengatur

perihal

permohonan banding tidak ada diatur mengenai pencabutan permohonan


banding, namun pada prakteknya pencabutan permohonan banding tidak
dilarang. Tentang kemungkinan pencabutan permohonan banding ini serta
akibat-akibat hukum yang ditimbulkannya.
Adapun aparat pendukung peradilan sebagai pilar kekuasaan
kehakiman terdiri dari hakim, panitera, dan jurusita.
1. Hakim

85

Hakim adalah pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman,


dimana proses pengangkatan dan pemberhentiannya oleh presiden selaku
kepala negara atas usul menteri masing-masing berdasarkan persetujuan
Ketua Mahkamah Agung (pasal 16 Undang-undang No.2 tahun 1986 (1) dan
(2))
2. Panitera
Panitera

adalah

pejabat

kepaniteraan,

dan

sebagai

pejabat

kepaniteraan maka panitera memimpin kepaniteraan (pasal 27 ayat (1)


Undang-undang No.2 Tahun 1986). Untuk mempelajari tugasnya maka
panitera pengadilan dibantu oleh wakil paniterabeberapa panitera muda,
panitera pengganti, dan juru sita dalam bidang tugasnya masing-masing
(pasal 27 ayat (2) Undang-unang No.2 Tahun 1986). Faktor dedikasi dan
pengalaman kerja seorang panitera sangat menentukan lancar/tidaknya
fungsi panitera pengadilan yang dipimpinnya.
Panitera diangkat dan diberhentikan jabatannya oleh menteri
kehakiman, dan sebelum memangku jabatannya panitera diambil sumpah
atau janjinya menurut agama dan kepercayaan oleh ketua pengadilan yang
bersangkutan (pasal37 dan 38 Undang-undang No.2 Tahun 1986).
3. Panitera Pengganti
Panitera pengganti membantu panitera pengadilan

dalam

menjalankan tugasnya. Kedudukan panitera pengganti menjadi sangat vital


dan diperlukan untuk membantu hakim dalam mengikuti dan mencatat
jalannya persidangan (pasal 59 Undang-undang No.2 tahun 1986). Terlebih
lagi panitera pengadilan tidak mungkin harus selalu atau sesering mungkin

86

mengikuti sidang-sidang pengadilan sebagai pemimpin kepaniteraan sudah


cukup banyak tugasnya.
Dengan demikian kebutuhan akan tenaga panitera pengganti sangat
dirasakan dipengadilan, apalagi jumlah perkara perdata/pidanan sangat
banyak atau semakin meningkat jumlahnya seiring dengan makin
meningkatnya kesadaran hukum masyarakat dan semakin banyaknya para
pencari keadilan dalam memperjuangkan hak-haknya.
Dalam menjalankan tugasnya, kecermatan

seorang

panitera

pengganti dalam mengikuti jalannya persidangan serta ketelitian dan


kerapihan dalam membuat Berita Acara Sidang dan pengetikan konsep
putusan hakim dan membuat putusan baik perkara perdata/pidana untuk
waktu yang tidak terlalu lama.
4. Jurusita
Jurusita sebagaimana pejabat paniteraan yang lain diangkat dan
diberhentikan oleh menteri kehakiman, setelah diambil sumpahnya oleh
ketua pengadilan yang bersangkutan

sebelum menjalankan tugasnya

menurut agama atau kepercayaannya masing-masing.


Keberatan jurusita untuk melaksanakan tugas luar lapangan seperti
dalam hal menyampaikan relaas panggilan hari-hari sidang, melakukan
penyitaan adalah sangat diperlukan karena panitera pengadilan tidak
mungkin keluar kantornya sesering mingkin untuk melaksanakan tugas luar
lapangan tersebut. 52
Kedudukan kepanitera pada sebuah pengadilanmerupakan unsur
pembantu pimpinan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa segala tindakan

52

Wildan Suyuthi Mustofa, Pnitera Pengadilan Tugas, Fungsi dan Tanggung


Jawab, (Tatanusa,2002) hal.13

87

atau aktifitas panitera harus dipertanggung jawabkan kepada ketua


pengadilan.
Kepaniteraan pengadilan dipimpin oleh seorang panitera yang
dibantu oleh seorang wakil panitera. Dengan demikian kedudukan seperti
itu maka hubungan panitera dengan ketua pengadilan berada dalam
hubungan garis lurus (linear) atau garis komando dimana segala perintah
ketua pengadilan harus dilaksanakan panitera.
Berdasarkan pasal 2 KMA/004/SK/II/1992 tentang organisasi dan
tata kerja kepaniteraan pengadilan agama dan pengadilan Tinggi Agama.
Tugas pokok kepaniteraan adalah memberikan pelayanan teknis dibidang
administrasi perkara dan administrasi peradilan lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tugas pokok kepaniteraan ini tidak dipisahkan dari tugas pokok
pengadilan untun menerima, memeriksa, dan menyelesaikan perkara.
Rangkaian keseluruhan tugas pokok tersebut dapat berjalan efektif dengan
memfungsikan tugas-tugas kepaniteraan. Mulai proses pendaftaran, proses
persidangan, memutuskan perkara sampai dengan pelaksanaan eksekusi
membutuhkan tanda tangan kerja-kerja administrasi yang tidak lain menjadi
tugas panitera.
Sebagai pejabat kepaniteraan maka tugas panitera adalah sebagai
berikut :
a. Membantu pimpinan pengadilan dalam membuat program kerja
jangka pendek dan jangka panjang, pelaksanaannya serta
pengorganisasiannya.
b. Mengatur pembagian tugas pejabat kepaniteraan.
c. Dengan dibantu oleh wakil panitera dan panitera muda
menyelenggarakan administrasi secara cermat mengenai jalannya
88

perkara perdata dan pidana maupun situasi keuangan perkara


perdata.
d. Bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, putusan,
dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara uang titipan orang
ketiga, dan surat-surat lainnya yang disimpan di kepaniteraan.
e. Membuat akta dan salinan putusan
f. Menerima dan mengirimkan berkas perkara.
g. Melaksanakan eksekusi putusan perkara perdata (yang telah
berkekuatan hukum tetap) yang diperintahkan oleh ketua
pengadilan dalam jangka waktu yang ditentukan.
Tugas pokok kepaniteraan untuk memberikan pelayanan teknis
dibidang administrasi perkara atau administrasi lainnya secara lebih luas
pada prinsipnya dapat dipilah menjadi tiga bagian tugas panitera pengadilan,
baik menyangkut bidang perkara perdata/pidana. Ketika bidang tugas
panitera tersebut meliputi:
1) Tugas panitera bidang administrasi pasal 63 Undang-undang
No2 Tahun 1986, pasal 101 Undang-undang No.7 Tahun 1989.
2) Tugas panitera dibidang persidangan.
3) Tugas panitera bidang pelaksanaan/eksekusi.
Secara keseluruhan tugas-tugas panitera diatur dalam pasal 56 jo
60 No. 13 Tahun 1965, pasal 58 jo 63 Undnag-undang No.2 Tahun 1986 dan
pasal 96 jo 101 Undang-undang No.7 Tahun 1989.
Pemanggilan dan pemberitahuan awal

proses

pemriksaan

persidangan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri, tingkat banding di


Pengadilan Tinggi dan tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Sehubungan
dengan itu agar proses pemeriksaan dapat berjalan menurut tata cara yang
ditentukan, sangat bergantung pada validitas (validity) atau sah tidaknya
pemanggilan dan dan pemberitahuan yang dilakukan jurusita.

89

Pengertian pemanggilan dalam hukum acara perdata yaitu,


menyampaikan secara resmi (offocial) dan patut (properly) kepada piahkpihak yang terlibat pada suatu perkara dipengadilan, agar memenuhi dan
melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim dan
pengadilan. Menurut pasal 338 dan pasal 390 ayat (1) H.I.R, yang berfungsi
melakukan panggilan adalah jurusita. Hanya panggilan yang dilakukan
jurusita yang dianggap resmi dan sah. Kewenangan jurusita ini berdasarkan
pasal 121 ayat (1) H.I.R diperolehnya lewat perintah ketua (Majelis Hakim)
yang dituangkan dalam hari sidang atau penetapan pemberitahuan.
Pemanggilan atau panggilan (convocation, convocatie) dalam arti sempit
dan sehari-hari sering di identiakan, hanya terbata pada perintah menghadiri
sidang pada hari yang ditentukan. Akan tetapi dalam hukum acara perdata,
sebagaimana dijelaskan pada pasal 338 H.I.R, pengertian panggilan meliputi
makna dan cakupan lebih luas, yaitu:
a. Panggilan sidang pertama kepada penggugat dan tergugat
b. Panggilan menghadiri sidang lanjutankepada pihak-pihak atau salah satu
pihak apabila pada sidang yang lalu tidak hadir baik tanpa alasan yang
sah atau dengan alasan yang sah.
c. Panggilan terhadap saksi yang diperlukan atas dasar permintaan salah
satu pihak berdasarkan pasal 139 H.I.R (dalam hal mereka tidak dapat
menghadiri saksi yang penting dipersidangan)
Selain daripada itu, panggilan dalam arti luas meliputi juga
tindakan hukum pemberitahuan atau aanzeging (notofocatoin), antara lain:
a. Pemberitahuan putusan Pengadilan dan Mahkamah Agung
b. Pemberitahuan permintaan banding kepada terbanding
c. Pemberitahuan memori banding dan kontra memori banding.
d. Pemberitahuan permintaan kasasi dan memori kasasi termohon kasasi.

90

Dalam hal ini, kepada seseorang disampaikan pesan atau informasi


kepada dia tahu tentang suatu hal yang hendak dilakukan oleh pihak lawan
maupun suatu tindakan yang akan dilakukan dipengadilan. Dengan
demikian, oleh karena arti dan cakupan panggilan meliputi pemberitahuan,
segala syarat dan tata cara yang ditentukan Undang-undang mengenai tindak
hukum pemanggilan sama dan brlaku sepenuhnya dalam pemberitahuan.
Berdasarkan pasal 390 ayat (1) H.I.R dan pasal 2 ayat (3) Rv,
panggilan dilakukan dalam bentuk:
1. Surat tertulis (in writing)
2. Lazim disebut surat panggiulan atau relaas panggilan maupun
berita acara panggilan
3. Panggilan tidak dibenarkan dalam bentuk lisan, karena sulit
membuktikan keabsahannya. Oleh karena itu, panggilan dalam
bentuk lisan tidak sah menurut hukum.53
Sejauh mana cakupan, pengertian bentuk tulisan, perlu diperhatikan
perluas jangkauan yang diatur dalam pasal 2 ayat (3) Rv sebagai pedoman.
Pasal ini membenarkan bentuk tertulis meliputi:
a. Telegram, dan
b. Surat tercatat
Menurut pasal ini, panggilan yang dilakukan melalui telegram atau
surat tercatat dianggap sebagai panggilan atau pemberitahuan yang
(properly). Dari segi pendekatan umum yang sempit (strict law) dan
formalistic legal thinking, bentuk-bentuk panggilan tersebut, dianggap
bertentangan dengan hukum. Akan tetapi berpijak dari pendekatan
perubahan sosial (sosial change), bentuk-bentuk seperti yang dimaksud
53

45

Subakti. Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Bina Cipta, 1997) hal.

91

dapat dikomoditasi. Bahkan khusus mengenai bentuk panggilan melalui


media cetak atau media massa, telah dibenarkan pasal 27 PP No.9 Tahun
1975.54
Panggilan yang sah secara otentik diperlukan beberapa syarat yang
harus dipenuhi. Hanya surat panggilan yang memiliki otentikasi yang sah
sebagai surat atau relaas. Untuk itu harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Ditandatangani oleh Jurusita
Apabila sudah ditandatangani, dengan sendirinya menurut
hukum sah sebagai akta otentik yang dibuat oleh pejabat jurusita. Kepalsuan
otentikasinya, hanya dapat dilumpuhkan berdasarkan putusan pidana
pemalsuan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan isi atau
tandatangan yang tercantum didalamnya adalah palsu. Itu sebabnya sangat
sulit menolak kebenaran keabsahan surat panggilan. Sering para pencari
keadilan mengeluh dan mengatakan panggilan tidak sah, akan tetapi jeritan
dan keluhan itu terbentur pada sifat otentifikasinya, yang hanya didasarkan
pada tanda tangan jurusita saja.
b. Berisi Keterangan

yang

Ditulis

Tangan

Jurusita

yang

Menjelaskan Panggilan Telah Disampaikan Ditempat Tinggal


yang Bersangkutan Secara In Person Atau Kepada Keluarga
Atau Kepada Kepala Desa
Belakangan untuk menghindari manipulasi atau pemalsuan
pemanggilan dikembangkan praktik yang mengharuskan pihak yang
dipanggil ikut membubuhkan tanda tangan pada surat panggilan.55
Pengembangan kebijakan ini, sangat efektif mengawasi
kebenaran penyampaian pemanggilan. Adanya tanda tangan orang yang
54

PP Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 (Tentang


Perkawinan)
55
Ibid, Subekti, hal. 45

92

dipanggil

merupakan

bukti,

bahwa

panggilan

telah

benar-benar

dilaksanakan sebagaimana mestinya. Di masa lalu sebelum kebijakan ini


diterapkan, muncul laporan yang menyatakan persidangan atau putusan
verstek yang dijatuhkan tidak sah, karena tergugat tidak pernah dipanggil.
Menyangkut tanggung ajwab petugas pemanggilan, dan
pemberitahuan ini perlu dipahami ketentuan yang berkenan dengan berita
pemanggilan pihak-pihak, petugas serta kewajibannya. Pasal 338 H.I.R/716
R.bg dalam hal ini menentukan:
1. Untuk menjalankan pendakwaan, pemberitahuan dan sekaligus surat
jurusita yang lain, juga untuk melakukan perintah hakim dan keputusan,
maka sama-sama berhak dan wajib sekaligus jurusita dan pesuruh yang
diangkat pada majelis-majelis pengadilan serta pegawai umum.
2. Jika tidak ada orang sedemikian itu, hendaklah ketua majelis pengadilan
yang dalam daerah hukumnya surat juru sita itu akan dijalankan,
menunjuk seorang yang cakap dan boleh dipercaya untuk pekerjaan itu.
Dan didalam pasal 390 H.I.R/ 718 R.bg ditentukan sebagai berikut:
1. Tiap-tiap surat jurusita, kecuali yang disebut dibawah ini, harus
disampaikan kepada orang yang bersangkutan sendiri ditempat
tinggalnya, dan jika tidak bertemu dengan orang tersebut ditempat yang
telah ditunjuk, kepada Kepala Desanya yang wajib dengan segera
memberitahukan surat jurusita itu kepada orang tersebut, tetapi hal ini
tidak perlu dinyatakan dalam huku.
2. Mengenai orang yang sudah meninggal, maka surat jurusita tersebut
disampaikan kepada ahli warisnya. Jika ahli warisnya tidak diketahui,
maka disampaikan kepada Kepala Desa ditempat tinggal terakhir orang
tersebut.

93

3. Mengenai orang yang tidak diketahui tempat kediamannya atau tempat


tinggalnya, dan mengenai orang yang tidak dikenal, maka surat jurusita
itu disampaikan kepada Bupati yang dalam daerahnya terletak tempat
kediaman si Penggugat.
Mengenai jurusita dan jurusita pengganti, tugas serta wewenang ini
juga ada diarur didalam pasal 65 jo 68 Undang-undang No. 13 Tahun 1965,
bunyi dari pasal-pasal Undang-undang tersebut senada dengan bunyi pasal
388 H.I.R/16 R.bg.
Dari ketentuan perihal jurusita dan jurusita pengganti dalam
melaksanakan tugas pemanggilan para pihak bisa ditarik suatu gambaran
kemungkinan, bahwa tidak langsung dengan pihak yang bersangkutan
sendiri. Kemungkinan ini juga bisa terjadi dalam hal yang bersangkutan
sudah meninggal dunia, dimana tidak selamanya petugas yang menjalankan
tugas pemanggilan pasti bertemu langsung dengan ahli warisnya.
Juga dapat dilihat ada dua kategori tentang petugas yang
berhubungan dengan pemanggilan dan pemberitahuan kepada para pihak
dalam perkara perdata. Kedua kategori tersebut sekaligus memperlihatkan
perbeaan tanggung jawab diantara masing-masingnya. Pertama adalah
sekalian jurusita dan pesuruh yang diangkat serta orang yang ditunjuk
karena cakap dan boleh dipercaya untuk menjalankan pekerjaan tersebut.
Sedang yang kedua adalah Kepala Desa dimana orang yang bersangkutan
bertempat tinggal.

94

Berkaitan tentang hal ini Subekti berpendapat bahwa: Dalam


mengahadapi relaas/berita acara panggilan ynag diterima oleh orang lain,
bukan oleh yang bersangkutan sendiri, ketua sidamg hendaknya lebih
berhati-hati dan jangan dengan mudah menjatuhakn putusan gugur dan
verstek. Sebaliknya tidak usah disebut bahwa hal itu tidak perlu dinyatakan
dalam huku, melainkan untuk mendidik kesadaran masyarakat agar
bertanggung jawab, yang bersangkutan dapat di gugat apabila karena
salahnya terjadi kerugian.56
Mengenai hal ini, tidak diatur dalam H.I.R an R.bg, tetapi ditemukan
landasannya dalam pasal 21 Rv. Selayaknya ketentuan ini dijadikan
landasan hukum bagi pengadilan untuk mengantisipasi tindakan jurusita
yang krang teliti. Menurut pasal 21 Rv:
1. Jika surat panggilan dinyatakan batal
2. Hal ini terjadi disebabkan perbuatan jurusita:
a. Dilakukan dengan sengaja (intentional)
b. Karena kelalaian (imission)
3. Didalam hal seperti itu jurusita dapat dihukum:
a. Untuk menggantiara yang batal
b. Juga untuk membayar ganti rugi atas segala kerugian yang
diderita oleh pihak yang dirugikan atas kebatalan itu
didasarkan pada PMH (perbuatan melawan hukum yang
digariskan pasal 1365 KUHPerdata.
Dalam pembaruan hukum acara yang akan datang, sudah saatnya
untuk memperluas dan mempertegas tanggung jaab juru sita atas
kesengajaan dan kelalaianyang dilakukan dalam melaksanakan fungsi dan
kewenangan. Ketentuan pasal 21 Rv masih dianggap relevan sebagai dasar
acuan.57

56
57

Ibid, Subekti, hal 42


Ibid, Subekti, hal. 44

95

BAB IV
Tinjauan Yuridis Peralihan Atas Sertifikat Tanah dan Bangunan Untuk Balik
Nama Diputus Secara Verstek
(Studi Kasus Putusan No: 88/Pdt.G/2013/PN.DPK)
A.

Para

Pihak

Yang

Berperkara

Dalam

Perkara

Perdata

No:

88//Pdt.G/2013/Pn.DPK
Para pihak yang berperkara:
1. Identitas Penggugat
NURKY SIAGIAN, alamat Reni Jaya BlokH 10 No.8 Rukun
Tetangga 007, Rukun Warga 007, Kelurahan Pondok Petir, Kecamatan
Bojongsari-Depok, pekerjaan Ibu rumah tangga, selaku PENGGUGAT.
2. Identitas Tergugat
HARJANTO SANTOSO, alamat Jalan Suteng No.7, Rukun
Tetangga 006 Rukun Warga 003, Jakarta Barat, pekerjaan Karyawan Swasta,
sekarang tidak diketahui lagi keberadaannya baik didalam maupun diluar
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selaku TERGUGAT.
3. Turut Tergugat

96

Badan Pertanahan Nasional, alamat Jalan Boulevard No. 7, Komplek


Perkantoran Kota Kembang Depok. Selaku TURUT TERGUGAT.
4. Objek Sengketa
Objek sengketa pada perkara ini berupa benda tidak bergerak yaitu
tanah dan bangunan yang terletak di Perumahan Reni Jaya Blok G 16/9,
Rukun Tetangga 005, Rukun Warga 007, Kelurahan Pondok Petir,
Kecamatan Bojongsari, Kota Depok. Sesuai dengan Sertifikat Hak Milik
Nomor: 1091 dan Hak Guna Bangunan Nomor: 1319 yang masih atas nama
Tuan Harjanto Santoso.
5. Gambaran Umum Objek Penelitian
Objek penelitian berupa Tanah dan Bangunan yang beralamat di
perumahan Reni Jaya blok G16/9 Rukun Tetangga 005, Rukun Warga 007,
Kelurahan Pondok Petir, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Provinsi Jawa
Barat. Memiliki luas sekitar 200 m2 (dua ratus meter persegi) dengan batas
sebagai berikut:
Sebelah utara

: Rumah Bapak Masduki

Sebelah timur

: Jalan Umum

Sebelah selatan

: Rumah Blok G-1 16 nomor 8

Sebelah barat

: Jalan Umum

97

B.

Duduk Perkara
Berdsarkan gugatan penggugat dengan surat gugatannya tertanggal
17 Mei 2013 dengan Nomor Perkara: 88/Pdt.G/2013/PN.DPK, adalah halhal sebagai berikut:
1. Bahwa pada tanggal 24 Mei 1987 Penggugat mengadakan transaksi jual
beli Tanah berikut Bangunannya milik Tergugat.
2. Bahwa Tanah dan Bangunan yang dijual Tergugat kepada Penggugat
terletak di Perumahan Reni Jaya Blok G 16/9, Rukun Tetangga 005,
Rukun Warga 007, Keluarahan Pondok Petir, Kecamatan Bojongsari,
Kota Depok.
3. Bahwa karena transaksi jual beli antara Penggugat dan Tergugat
pembayarannya secara bertahap.
4. Bahwa ketika Penggugat akan balik nama Sertifikat atas Tanah dan
Bangunan tersebut, ,Penggugat kesulitan untuk menemui pihak Tergugat.
5. Bahwa Penggugat telah berusaha mencari Tergugat maupun keluarganya
dalam upaya ,membantu Balik Nama Sertifikat tersebut, namun usaha
tersebut tidak membuahkan hasil.

98

6. Bahwa Penggugat secara fisik menguasai sepenuhnya Tanah berikut


Bangunan tersebut sejak transaksi jual beli terjadi sampai sekarang dan
tidak ada orang lain yang merasa keberatan ataupun mengusik
Penggugat.
7. Bahwa untuk kepastian hukum akan Tanah dan Bangunan, maka
penggugat mengajukan permohonan Balik Nama terhadap Sertifikat Hak
Milik Nomor: 1091 Kelurahan Pondok Petir, Kecamatan Sawangan,
Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dan sekarang Kelurahan Pondok
Petir, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat, seluas 65 m2
(enam puluh lima meter persegi) dan Hak Guna Bangunan Nomor: 1319
Kelurahan Pondok Petir, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat dan sekarang Kelurahan Pondok Petir, Kecamatan
Bojongsari, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat Seluar 135 m2 (seratus tiga
puluh lima meter persegi) yang masih atas nama Tuan HARJANTO
SANTOSO/Tergugat

menjadi

atas

nama

Nyonya

NURKY

SIAGIAN/Penggugat kepada Instansi yang berwenang yaitu Badan


Pertanahan Nasional Kota Depok/ Turut Tergugat.
8. Bahwa niat Penggugat ingin membalik nama Sertifikat tersebut
menenmui kendala karena dalam hal ini Instansi yang berwenang yaitu
Badan Pertanahan Nasional Kota Depok/ Turut Tergugat, maka untuk
balik nama dari nama semula Tuang Harjanto Santoso/ Tergugat untuk
menjadi nama Nyonya Nurky Siagian/ Penggugat harus ada putusan dari

99

Pengadilan Negeri setempat, dalam hal ini Pengadilan Negeri Kota


Depok Jawa Barat.
9. Bahwa untuk dapat membalik nama sertifikat tersebut, memerlukan
Putusan dari Pengadilan setempat Dalam hal ini Pengadilan Negeri Kota
Depok Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan segala hal diatas, Penggugat mohon kepada Ketua
Pengadilan Negeri Depok untuk menerima, memeriksa, dan memutus
perkara ini dengan amar putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk keseluruhannya.
2. Menyatakan sah jual beli antara Penggugat dan Tergugat pada tanggal
24 Mei 1987 atas sebidang Tanah dan Bangunan yang terletak di
Perumahan Reni Jaya Blok B G16/9 Rukun Tetangga 005, Rukun Warga
007 Kelurahan Pondok Petir Kecamatan Bojongsari Kota Depok
3. Menyatakan Penggugat adalah pemilik sah atas Tanah dan Bangunan
yang terletak di Perumahan Reni Jaya Blok G16/9, Rukun Tetangga 005
Rukun Warga 007, Kelurahan Pondok Petir, Kecamatan Bojong Sari,
Kota Depok.
4. Memberi ijin kepada Penggugat untuk mengurus balik nama Sertifikat
ke Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Depok.
5. Memerintahkan kepada Badan Pertanahan Nasional Kota Depok untuk
membalik nama dari pemegang hak semula yaitu Tuan HARJANTO
100

SANTOSO/

Tergugat

untuk

menjadi

nama

Nyonya

NURKY

SIAGIAN/Penggugat atas sertifikat Hak Milik Nomor : 1091 Kelurahan


Pondok Petir, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa
Barat dan sekarang Kelurahan Pondok Petir, Kecamatan Bojong Sari,
Kota Depok, Provinsi Jawa Barat seluas 65m2 (enam puluh lima meter
persegi) dan Hak Guna Bangunan Nomor : 1319 Kelurahan Pondok
Petir, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dan
sekarang Kelurahan Pondok Petir, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok,
Provinsi Jawa Barat, seluas 135m2 (seratus tiga puluh lima meter
persegi). Atau ;
6. Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya
(et aqua et bono).
7. Menghukum Tergugat dan turut Tergugat membayar biaya perkara.
Bahwa pada hari persidangan yang telah di tentukan datang
menghadap sendiri, sedangkan Tergugat dan Turut Tergugat tidak datang
menghadap di persidangan ataupun mengirim kuasanya yang sah untuk itu,
walaupun masig masing telah di panggil secara sah dan patut dua kali
berturut-turut, Tergugat telah di panggil melalui relasi panggilan sidang
bantuan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat tanggal 23 Mei 2013 dan
selanjutnya dengan panggilan secara umum lewat Kantor Walikota Depok
tertanggal 23 Mei 2013 dan media masa Koran Nasional Rakyat Merdeka

101

halaman 11 yang terbit tanggal 05 Juni 2013 dan kepada Tergugat telah di
panggil pada tanggal 28 Mei 2013 dan 24 Juni 2013.
Bahwa oleh karena para Tergugat maupun wakilnya tidak hadir tanpa
alasan yang sah, meskipun telah di panggil secara sah dan patut, makan
perdamaian antara kedua belah pihak tidak dapat di upayakan oleh Majelis
dan Persidangan di lanjutkan dengan membacakan surat gugatan yang isinya
tetap di pertahankan oleh penggugat.
C.

Mengadili
Atas dasar putusan pengadilan, dalam perkara ini ketua Majelis
Hakim mengadili:
1. Menyatakan bahwa Tergugat dan Turut Tergugat, tidak pernah hadir di
persidangan, walaupun telah di panggil secara sah dan patut menurut
hukum.
2. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya dengan Verstek.
3. Menyatakan sah jual beli antara Penggugat dan Tergugat pada tanggal 24
Mei 1987 atas sebidang Tanah dan Bangunan yang terletak di Perumahan
Reni Jaya Blok G16/9, Rukun Tetangga 005, Rukun Warga 007,
Kelurahan Pondok Petir, kecamatan Bojongsari, Kota Depok.
4. Menyatakan Penggugat adalah pemilik sah atas Tanah dan Bangunan
yang terletak di Perumahan Reni Jaya Blok G16/9, Rukun Tetangga 005,

102

Rukun Warga 007, Kelurahan Pondok Petir, kecamatan Bojongsari, Kota


Depok.
5. Memberi ijin kepada Penggugat untuk mengurus balik nama Setifikat ke
Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Depok
6. Memerintahkan kepada Badan Pertanahan Nasional Kota Depok untuk
membalik nama dari pemegang hak semula yaitu Tuan HARJANTO
SANTOSO/

Tergugat

untuk

menjadi

nama

Nyonya

NURKY

SIAGIAN/Penggugat atas Sertfikiat Hak Milik Nomor: 1091 Kelurahan


Pondok Petir, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa
Barat dan sekarang Kelurahan Pondok Petir, Kecamatan Bojongsari,
Kota Depok, Jawa Barat, seluas 65 m2 (enam puluh lima meter persegi)
dan Hak Guna Bangunan Nomor: 1319 Kelurahan Pondok Petir,
Kecamatan Sawangan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dan
sekarang Kelurahan Pondok Petir, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok,
Provinsi Jawa Barat Seluar 135 m2 (seratus tiga puluh lima meter
persegi)
7. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga kini
sebesar Rp. 2.366.000,- (dua juta tiga ratus enam puluh enam ribu
rupiah).
D.

Analisa Terhadap Peralihan Atas Sertifikat Tanah dan Bangunan yang


Diputus Secara Verstek Berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor:
88/Pdt.G/2013/PN.DPK.
103

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang


Pendaftaran Tanah dan Pasal 125 ayat 1 HIR, dan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perkara ini. Yang didalamnya memuat data
fisik dan data yuridis yang telah didaftarkan dalam buku tanah.
Demikian hal nya dalam perkara Nomor: 88/PDT.G/2013/PN.DPK,
bahwa Penggugat adalah pemilik sah atas objek tanah dan bangunan, yang
dibelinya kepada Tergugat pada tanggal 24 Mei 1987, yang dibuktikan
dengan tanda terima pembayaran pembelian rumah secara over credit 1
(satu) buah rumah yang terletak di Perumahan Reni Jaya Blok G 16/9,
Rukun Tetangga 005, Rukun Warga 007, Kelurahan Pondok Petir,
Kecamatan Bojongsari, Kota Depok dari8 Nurky Siagian (Penggugat)
kepada Harjanto Santoso (Tergugat) sebesar Rp. 5.500.000,- (lima juta lima
ratus ribu rupiah). Dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor : 1091 dan
Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor : 1319 yang masih atas nama Tuan
Harjanto Santoso (Tergugat).
Atas gugatan Penggugat untuk pelaksanaan balik nama terhadap
Tanah dan Bangunan bahwa Tergugat selaku pemilik awal Tanah dan
Bangunan tersebut tidak dapat ditemui, maka balik nama sertifikat Tanah
dan Bangunan tersebut menemui kendala karena dalam hal ini Instansi yang
berwenang yaitu Badan Pertanahan Nasional Kota Depok selaku Turut
Tergugat, untuk balik nama dari nama semula yaitu Tuan Harjanto Santoso
(Tergugat) untuk menjadi nama Nyonya Nurky Siagian (Penggugat) harus

104

ada Putusan dari Pengadilan Negeri setempat, dalam hal ini Pengadilan
Negeri Kota Depok.
Dengan demikian terjadi kesulitan dari pihak Tergugat untuk
pelaksanaan balik nama sertifikat tanah tersebut karena pemilik awal dari
tanah tersebut sulit untuk ditemui, dan Penggugat tidak lagi mengetahui
keberadaan Tergugat. Padahal penggugat telah berusaha mencari Teregugat
maupun keluarganya dalam upaya membantu pelaksanaan Balik Nama
Sertifikat tersebut, namun usaha tersebut tidak membuahkan hasil.
Kemudian Tergugat mengupayakan untuk melakukan persidanagan agar
mendapat putusan dari Pengadilan untuk di serahkan kepada Badan
Pertanahan Nasional.
Bahwa pada hari persidangan yang telah ditentukan, Penggugat
datang menghadap sendiri, sedangkan Tergugat dan Turut Tergugat tidak
datang menghadap di persidangan ataupun mengirim kuasanya yang sah
untuk itu, walaupun masing-masing telah dipanggil secara sah dan patut dua
kali berturut-turut, Tergugat telah dipanggil melalui relas panggilan sidang
bantuan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat tanggal 23 Mei 2013 dan
selanjutnya dengan panggilan secara umum lewat Kantor Walikota Depok
tertanggal 23 Mei 2013 dan media massa koran Nasional Rakyat Merdeka
hal. 11 yang terbit tanggal 28 Mei 2013 dan 24 Juni 2013.
Oleh karena Para Tergugat maupun wakilnya tidak hadir tanpa
alasan yang sah, meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, maka

105

perdamaian antara kedua belah pihak dan tidak memberi jawaban maka
tidak dapat diupayakan oleh Majelis dan Persidangan, dan harus dinyatakan
tidak hadir dan gugatan tersebut diputus secara verstek.
Namun walaupun gugatan dalam perkara aquo diputus tanpa
hadirnya Tergugat dan Turut Tergugat (verstek), tetapi tidak serta merta
gugatanpenggugat

tersebut

dkabulkan

begitu

saja

karena

harus

dipertimbangkan apakan gugatan Penggugat beralasan dan tidak melawan


hukum.
Dalam gugatannya, Penggugat mengadilkan pada pokoknya sebagai
berikut:
1. Penggugat telah membeli tanah dan bangunan dari Tergugat secrara over
credit Bank Tabungan Negara yang terletak di Perumahan Reni Jaya
Blok G 16/9 Rukun Tetangga 005, Rukun Warga 007, Kelurahan Pondok
Petir, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok sesuai dengan Sertifikat Hak
Milik Nomor: 1091 dan Hak Guna Bangunan Nomor: 1319 yang masih
atas nama Tuan Harjanto Santoso/Tergugat.
2. Penggugat kemudian menguasai secara fisik Tanah dan Bangunan
tersebut sejak pembelian sampai sekarang namun setelah melunasi
angsuran rumah tersebut pada Bank Tabungan Negara, Penggugat tidak
dapat mengurus balik nama atas tanah tersebut karena Tergugat tidak
diketahui alamatnya baik didalam maupun diluar wilayah Republik
Indonesia.
106

Berdasarkan gugatan tersebut, Penggugat mengajukan dalil-dalil


didalam gugatannya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pertanahan
yang berlaku di Indonesia yaitu pasal 163 HIR dan pasal 1865 KUH
Perdata. Berdasarkan gugatannya Penggugat membuktikan dalil-dalil
gugatannya, Penggugat telah mengajukan bukti surat yang diberi tanda bukti
yang telah dibubuhi materai dan telah disesuaikan dengan aslinya, sehingga
bukti tersebut yang telah disampaikan oleh Penggugat dapat diterima
sebagai bukti surat yang mempunyai nilai pembuktian.
Selain itu Penggugat juga telah mengajukan 4 (empat) orang saksi
yaitu Andi Setiawan, Pongat Simanjuntak, Rosmiana dan Arsani yang
meberikan keterangan dibawah sumpah menurut cara agama yang
dianutnya, sehingga keterangan dengan fakta dipersidangan diterima sebagai
keterangan saksi yang mepunyai nilai pembuktian.
Lalu dengan demikian dilakukan pemeriksaan setempat pada
tanggal 31 Juli 2013 didukut bukti-bukti surat yang berupa sertifikatsertifikat objek sengketa telah menunjukkan bahwa ternyata benar bahwa
objek sengketa adalah berupa benda yang tidak bergerak yaitu tanah dan
bangunan yang terletak di Perumahan Reni Jaya Blok G 16/9, Rukun
Tetangga 005, Rukun Warga 007, Kelurahan Pondok Petir, Kecamatan
Bojongsari, Kota Depok telah dikuatkan oleh saksi.
Menurut pasal 118 (3) HIR yang merupakan pedoman tempat
pengajuan gugatan perdata bahwa untuk perkara mengenai sengketa tidak

107

bergerak diajukan dan diperiksa di Pengadilan tempat benda tidak bergerak


tersebut berada atau yang dikenal sebagai asas Forum Rei Sitae. Objek
sengketa pada perkara ini berupa benda tidak bergerak yaitu tanah, dan
bangunan yang terletak di Perumahan Reni Jaya Blok G 16/9, Rukun
Tetangga 005, Rukun Warga 007, Kelurahan Pondok Petir, Kecamatan
Bojongsari, Kota Depok. Maka sudah tepat bila perkara ini diajukan dan
diperiksa pada Pengadilan Negeri Depok.
Berdasarkan bukti surat berupa sertifikat Hak Guna Bangunan No:
1319 dan Hak Milik No: 1091, terbukti bahwa objek sengketa milik
Tergugat yang diperolehnya berdasarkan bukti surat berupa akta jual beli
rumah dan pemindahan hak dan dikuatkan dengan bukti surat berupa akta
jual beli atas HGB No:1319 dan bukti surat berupa akta jual beli ata SHM
No: 1091 dari PT. Reni Jaya Utama dengan cara kredit melalui KPR BTN
sesuai dengan bukti surat berupa Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah yang
diikuti dengan bukti surat berupa Akta Pengakuan Hutang dengan jaminan
kuasa untuk menjual dan kuasa untuk memasang hipotik.
Bukti Kwitansi tertanggal 24 Mei 1987 yaitu tanda terima
pembayarna pembelian rumah secara Over Credit, meskipun tidak dapat
diperlihatkan aslinya oleh Penggugat, akan tetapi dikuat kan dengan bukti
surat berupa surat tanda laporan kehilangan barang/surat-surat dari
kepolisian, dan bersesuaian dengan keterangan saksi Rosmiana dan Arsani
yang mengetahui atau melihat Penggugat membayar over credit objek
sengketa kepada Tergugat, maka terbukti bahwa Penggugat telah membeli
108

objek sengketa kepada Tergugat dengan over credit, dan membayar kepada
Tergugat sebesar Rp. 5.500.000,- (lima juta lima ratus ribu rupiah) pada
tahun 1987, dan berdasarkan bukti surat setoran angsuran kepada Bank
Tabungan Negara, sebesar Rp. 4.654.080,- (empat juta enam ratus lima
puluh empat delapan puluh rupiah) tertanggal 04 Desember 1990. Bukti
setoran angsuran kepada Bank Tabungan Negara sebesar Rp. 2.000.000,(dua juta rupiah) tertanggal 25 September 1992. Serta tanda bukti setoran
angsuran kepada Bank Tabungan Negara cabang Bogor sebesar Rp. 35.900,(tiga puluh lima ribu sembilan ratus rupiah) tertanggal 25 September 1992
dan perincian pelunasan KPR dipercepat yang dikeluarkan oleh Bank
Tabungan Negara cabang Bogor tertanggal 06 Juni 1994. Selanjutnya
dihubungkan dengan saksi Andi Setiawan, Pongat Simanjuntak, Arsani dan
Rosmiana yang saling bersesuaian terbukti bahwa yang melunasi KPR BTN
adalah Penggugat.
Dengan demikian selanjutnya Majelis Hakim memberi ijin untuk
mengurus balik nama sertifikat ke Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota
Depok, kemudian kepada Badan Pertanahan Nasional Kota Depok untuk
membalik nama dari pemegang hak semula yaitu Tuan Harjanto
Santoso/Tergugat untuk menjadi Nyonya Nurky Siagian/Penggugat atas
sertifikat Hak Milik Nomor: 1091 Kelurahan Pondok Petir, Kecamatan
Sawangan, Kabupaten Bogor Provonsi Jawa Barat dan sekarang Kelurahan
Pondok Petir, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok Provinsi Jawa Barat
seluas 65 m2 (enam puluh lima meter persegi) dan Hak Guna Bangunan
109

Nomor: 1319 Kelurahan Pondok Petir Kecamatan Sawangan, Kabupaten


Bogor Provonsi Jawa Barat dan sekarang Kelurahan Pondok Petir,
Kecamatan Bojongsari, Kota Depok Provinsi Jawa Barat seluas 132 m2
(seratus tiga puluh dua meter persegi).

BAB V
PENUTUP

A.

Kesimpulan
Beberapa perihal yang dapat disimpulkan sebagai ulasan dari pokok
permasalahan, yaitu:
1. Proses pelaksanaan balik nama sertifikat hak atas tanah dapat dilakukan
dengan cara:
a. Jika Anda Menggunakan jasa PPAT ( Pejabat Pembuat Akta Tanah)
Sesudah akta jual beli di buat, PPAT lalu menyerahkan berkas akta
jual-beli tersebut ke Kantor Pertanahan, guna keperluan balik nama
sertifikat. Ini selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja semenjak akta
tersebut ditandatangani. Berkas yang diserahkan tersebut adalah:
1) Akta jual beli PPAT,

110

2) KTP si penjual dan pembeli


3) Berkas atau Surat permohonan balik nama yg sudah
ditandatangani pembeli.
4) Sertifikat hak atas tanah
5) Tanda bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan atau SSBBPHTB.
6) Surat Bukti pelunasan SSP PPh (Surat Setor Pajak Pajak
Penghasilan)
b. Jika Anda sebagai Pembeli dan ingin Mengajukan Sendiri
Sedangkan jika Anda ingin mengurus sendiri proses balik nama
tersebut, maka berkas-berkas seperti di atas, diserahkan langsung
untuk proses pengajuan atau permohonan balik nama sertifikat tanah
ke Kantor Pertanahan. Sebagai tambahan untuk diserahkan ke Kantor
Pertanahan adalah sebagai berikut:
1) Surat Pengantar dari PPAT
2) Sertifikat Asli
3) Akta jual-beli dari PPAT
4) Surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan kepada pihak lain

111

5) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan


(SPPT PBB) tahun berjalan atau tahun terakhir. Jika belum
memiliki SPPT ini, maka Anda harus meminta surat keterangan
dari lurah/kepala desa terkait.
6) Surat Izin Peralihan Hak, jika :
1. Pemindahan Hak Pakai atas tanah Negara,
2. Pemindahan hak atas tanah ataupun Hak Milik atas rumah susun
yang pada sertifikatnya dicantumkan tanda yg menyatakan
bahwa, hak tersebut hanya boleh dipindahtangankan jika telah
sudah diperoleh izin dari instansi yang berwenang.
7) Surat pembeli atau pernyataan calon penerima hak yang
menyatakan bahwa :
1. Pembeli dengan peralihan hak tersebut, tidak menjadi penerima
hak atas tanah yg melebihi ketentuan maksimum dari
penguasaan tanah menurut peraturan peraturan perundangundangan.
2. Pembeli dengan peralihan hak tesebut, tidak menjadi penerima
hak atas tanah absentee atau guntai,
3. Pembeli menyadari, jika pernyataan sebagaimana di atas tidak
benar (point 1 dan 2), maka tanah absentee ( tahan berlebih)
112

tersebut menjadi objek landreform. Dengan kata lain, pembeli


bersedia untuk menanggung semua dampak hukumnya, apabila
pernyataan tersebut di atas tidak benar.
8) Sesudah Anda serahkan semua ke Kantor Pertanahan, maka pihak
Kantor Pertanahan akan memberikan surat tanda bukti dari
penerimaan permohonan balik nama pada anda sebagai pemohon.
Dan selanjutnya, Kantor Pertahanan melakukan pencoretan nama
dengan tinta hitam pemegang lama, untuk kemudian diubah dengan
nama pemegang hak baru. Nama pemegang hak (pemegang hak
atas tanah) lama yang tertera dalam sertifikat dan buku tanah. Lalu
sertifikat tersebut diparaf oleh pejabat yang ditunjuk atau Kepala
Kantor Pertanahan. Nama Anda sebagai pemegang hak yang baru
dituliskan pada kolom yang tersedia pada buku tanah dan sertifikat
tersebut. Dan dalam waktu 2 minggu atau 14 hari kerja, proses
balik nama sertifikat tanah sudah selesai dan Anda dapat
mengambil sertifikat yang sudah dialihkan nama pemiliknya
tersebut.
2. Mekanisme beracara dipengadilan sehingga dijatuhkan putusan verstek
menurut Pasal 125 HIR/149 R.Bg yaitu, menentukan bahwa apabila pada
hari sidang yang telah ditentukan, Tergugat tidak hadir dan lagi pula tidak
menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia telah
dipanggil dengan patut maka gugatan itu diterima dengan putusan di luar

113

hadirnya Tergugat (verstek), kecuali kalau ternyata Pengadilan Negeri


berpendapat bahwa gugatan Penggugat tersebut bersifat melawan hak atau
tidak beralasan hukum.
Apabila gugatan Penggugat diterima dan dikabulkan, maka atas perintah
Ketua Pengadilan Negeri diberitahukan isi putusan itu kepada Tergugat
yang dikalahkan dan diterangkan kepadanya bahwa Tergugat berhak
mengajukan perlawanan (verzet) dalam tempo 14 hari setelah menerima
pemberitahuan. Jika putusan itu tidak diberitahukan kepada Tergugat
sendiri, perlawanan masih diterima sampai pada hari ke 8 sesudah
peneguran (anmaning) seperti yang tersebut dalam pasal 196 HIR/207
R.Bg atau dalam hal tidak hadir sesudah dipanggil dengan patut, sampai
pada hari ke 14 (R.Bg) dan hari ke 8 (HIR) sesudah dijalankan surat
perintah seperti tersebut dalam pasal 208 R.Bg/197 HiR. Jika telah
dijatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya,maka perlawanan
B.

selanjutnya yang diajukan oleh Tergugat tidak dapat diterima.


Saran
1. Dalam hal melakukan jual beli tanah sebaiknya pihak pembeli tidak
mengabaikan proses balik nama sertifikat hak atas tanah, karena pihak
pembeli beranggapan bahwa jual beli atas tanah hanya sampai pada
batas diperolehnya Akta Jual Beli dari PPAT (Pejabat Pembuat Akta
Tanah).
2. Ditujukan kepada pihak pembeli apabila pihak pembeli tidak melakukan
proses balik nama sertifikat atas tanah pada saat itu, maka akan
dimungkinkan adanya hambatan-hambatan dalam permohonan balik
nama tanah tersebut dikemudian hari yang mungkin saja dikarenakan

114

ada peraturan-peraturan baru yang diberlakukan, dan dikhawatirkan


pihak penjual sudah tidak diketahui keberadaannyansehingga sulit untuk
memperoleh dokumen yang diperlukan dari pihak penjual.
3. Kepada Pemerintah agar supaya lebih mensosialisasikan lagi tentang
pentingnya membalik nama hak atas tanah bagi masyarakat agar tidak
ada kesulitan-kesulitan untuk menemui pihak penjual selaku pihak
pertama dari pemilik tanah dan bangunan tersebut. Serta untuk para
pegawai pemerintah tidak lagi mempersulit dan memberikan harga
tinggi bagi para masyarakat yang ingin mebalik nama serta
mendaftarkan tanahnya di Kantor Pertanahan. Karena banyak
masyarakat yang kurang sosialisasi bahkan karena dipersulit oleh para
oknum pmerintahan tertentu dan biayanya yang sangant tinggi sehingga
tidak terjangkau oleh masyarakat menengah kebawah, masyarakat jadi
engga untuk melakukan balik nama dan pendaftaran tanah tersebut.

115

Anda mungkin juga menyukai