Anda di halaman 1dari 22

KEABSAHAN AKTA JUAL BELI HAK MILIK ATAS

TANAH DI BAWAH TANGAN

OLEH

ABUSAGIR MAHULETTE
NIM : 201821363

PROPOSAL SKRIPSI
Untuk memenuhi salah satu syarat Seminar Proposal
guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PATTIMURA


AMBON
2023
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di Indonesia, tanah sangat erat sekali hubungannya dengan kehidupan

bermasyarakat. Tanah sebagai kebutuhan primer sangat dibutuhkan oleh seluruh

manusia, karena tanah adalah unsur utama yang digunakan untuk tercapainya

kemakmuran dalam kehidupan manusia seperti yang diamanatkan dalam Pasal

33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang secara tegas

menekankan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Hubungan antara manusia dengan tanah sepanjang sejarah kehidupan

manusia dapat dibedakan dalam tiga tahap yaitu, tahap pertama disaat manusia

masih hidup mengembara dari satu tempat ke tempat lain, tahap kedua saat

manusia mengenal bercocok tanam, dan tahap ketiga manusia sudah

menggunakan ternak untuk membantu usaha pertanian.1 Namun, jika dilihat

dengan cara pandang strategis dan pemikiran jangka panjang pada saat ini tanah

tidak hanya dinilai sebagai penunjang aktivitas pertanian melainkan sebagai aset

penting masa depan manusia.

1
H.Mohammad Hatta, Hukum Tanah Nasional Dalam Prespektif Negara Kesatuan. Cet.
1, Media Abadi, Yogyakarta, 2005, hal. 11.
2

Hak atas tanah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA). kepastian

hukum akan objek hak atas tanah adalah meliputi kepastian mengenai bidang

teknis yang meliputi aspek fisik, yaitu kepastian mengenai tata letak, luas, dan

batas-batas tanah yang bersangkutan.2

Selanjutnya kepemilikan hak atas tanah merupakan hak yang amat sangat

penting. Oleh karena itu tanah tersebut harus berstatus hak milik.3 Untuk

memperoleh hak atas tanah biasanya dilakukan dengan peralihan hak. Boedi

Harsono yang dikutip oleh Baiq Henni mengatakan bahwa dalam hukum Adat

perbuatan pemindahan hak (jual-beli, hibah, tukar menukar) merupakan

perbuatan hukum yang bersifat tunai. Sementara, kegiatan jual-beli dalam hukum

tanah tergolong perjanjian dan dilakukan oleh kedua belah pihak.4 .

Peralihan hak atas tanah dapat diperoleh dengan berbagai cara seperti jual

beli, tukar menukar, hibah maupun waris. Namun peralihan hak atas tanah yang

sering terjadi di masyarakat adalah dengan cara jual beli. Yaitu, Peralihan hak

atas tanah yang dilakukan dengan pemindahan hak dari pemegangnya yang

semula dan menjadi hak pihak lain sehingga pemegang hak tersebut dapat

melakukan perbuatan hukum seperti jual beli, tukar menukar, dan lain-lain.5

2
Adrian Sutedi, Sertifikat Hak Anda Atas Tanah, cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2012,
hal.7.
3
Sutedi,A.. Peralihan Hak Anda Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Sutedi,
2006, hal. 11.
4
Baiq Henni Paramita Rosandi, Akibat Hukum Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Belum
Didaftarkan, Jurnal IUS, Vol. IV, No. 3, hal. 424-435.
5
Wantijk Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 15.
3

Jual beli hak atas tanah adalah merupakan suatu perbuatan hukum. yang

diharuskan dilakukan masyarakat berdasarkan ketentuan Perundang-Undangan

yang berlaku. Akan tetapi dalam pengaturan yang diatur dalam Undang-Undang

Pokok Agraria belum ditegaskan secara detail atau terperinci, bahkan hal ini pun

sampai saat ini belum ada peraturan yang mengatur secara khusus dalam hal

pelaksanaan jual beli hak atas tanah. 6 Istilah jual beli hanya disebutkan dalam

Pasal 26 Ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa:

“jual-beli, penukaran, penghibahan pemberian dengan wasiat,


pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya
diatur dengan peraturan pemerintah”.

Untuk memperoleh sebuah kepastian hukum yang kuat terhadap status

tanah tersebut serta kepemilikan tanah secara hukum sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 19 UUPA ayat 1 menyatakan bahwa :

“untuk menjamin sebuah kepastian hukum oleh pemerintah


diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah”.7

Selanjutnya pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah Nomor 10

Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah, sebagaimana telah diubah dengan jo

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dan


6
Azmiati Zuliah, Ayu Trisna Dewi Putrajayasa, Akibat Hukum Jual Beli Atas Tanah
Dengan Sertifikat Hak Milik Dalam Akta Di Bawah Tangan Volume 15, Nomor 2: 200-208
April 2021| IISN (P): 1829-7463\ IISN (E): 2716-3083200 @gmail.com Diakses Tgl 18 AGT
2023.
7
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA dan
Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 558.
4

diterbitkan Peraturan Menteri Negara agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah, jo

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012, jo Peraturan

Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan

Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun

1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah maka tujuan dari Pendaftaran Tanah tersebut adalah untuk

memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak

atas tanah, untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang

berkepentingan termasuk Pemerintah, dan untuk terselenggaranya tertib

administrasi pertanahan.

Peralihan hak atas tanah dalam kaitannya dengan pendaftaran tanah hanya

dapat didaftarkan apabila peralihan hak atas tanah tersebut dibuktikan dengan

akta yang dikeluarkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah atau (selanjutnya

disingkat PPAT). Sebagaimana yang tersirat dalam Pasal 37 Ayat (1) PP

No.24/1997 tentang Pendaftaran Tanah dan juga diperkuat dengan PP

No.37/1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa :


5

“PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan


pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah
atau hak milik atas satuan runah susun, yang akan dijadikan dasar
bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbutan hukum itu.”

Mengacu pada Pasal 37 Ayat (1) tersebut maka terkait dengan kaitan antara

perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dengan pendaftaran tanah hanya dapat

didaftarkan apabila peralihan hak atas tanah tersebut dibuktikan dengan akta

yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat PPAT).

sementara peralihan hak atas tanah yang tidak dibuktikan dengan akta PPAT

maka terhadap tanah tersebut tidak dapat dilakukan pendaftaran oleh masyarakat

yang melakukan jual beli hak atas tanah di bawah tangan.

Didalam praktiknya, jual beli hak atas tanah yang terjadi di masyarakat

biasanya masih menggunakan ketentuan Hukum Adat yang bersifat tunai dan

terang artinya jual beli hak atas tanah antara pihak penjual dan pihak pembeli

yang dilakukan dihadapan orang yang memiliki kewenangan misalnya kepala

desa bersifat tunai dan terang. Tunai artinya bahwa pada saat pembeli membayar

harga tanah kepada penjual, maka pada saat itu juga pembeli telah mendapatkan

hak milik atas tanah tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan terang artinya

bahwa dengan dilakukan jual beli dihadapan orang yang memiliki kewenangan

misalnya kepala desa tadi maka dianggap terang sehingga diakui keabsahan oleh

masyarakat dan tidak ada pelanggaran hukum yang terjadi didalam jual beli

tersebut. Namun jika dikaji lebih mendalam masih dijumpai masalah-masalah


6

hukum yang timbul akibat tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada

dalam Peraturan Perundang-Undangan terkait jual beli tanah ini.

Berdasarkan kenyataannya, praktik jual beli hak atas tanah dibawa tangan

tersebut masih banyak dilakukan dengan alat bukti berupa selembar kwitansi.

Penulis menemukan praktik tersebut di Negeri Lima Kecamatan Leihitu

Kabupaten Maluku Tengah yaitu jual beli hak atas tanah yang belum

bersertifikat. Untuk itu penulis akan menguraikan praktek jual beli yang

dilakukan di bawah tangan tersebut sebagai berikut :

Praktek jual beli hak atas tanah di Negeri Lima dilakukan dengan

mengadakan kesepakatan antara pihak penjual dan pihak pembeli dihadapan

Kepala Adat/Bapak Raja selanjutnya Kepalaa Desa menentukan waktu/hari

bersama-sama dengan perangkat-perangkat Pemerintah Negeri untuk datang ke

tempat tanah yang akan dijual, setelah itu tanah tersebut diukur oleh perangkat

desa yang disaksikan oleh kepala desa, pembeli, penjual dan tetangga sebagai

saksi. Selanjutntya data tersebut dicatat oleh perangkat desa dalam bentuk “surat

pernyataan” yang berisi transaksi jual beli tanah dari penjual ke pembeli, luas

tanah, tandatangan para pihak terkait, saksi-saksi dan kepala desa atau lurah yang

sudah dibubuhi stempel.

Melihat kenyataan yang terjadi, maka penulis mencoba mencari

penyelesaian hukum permasalahan jual beli hak atas tanah di bawah tangan

(tanpa akta pejabat pembuat akta tanah) yang sejauh ini masih sering dilakukan

oleh masyarakat.
7

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk

mengkaji lebih lanjut tentang: ”Keabsahan Akta Jual Beli Hak Milik Atas

Tanah Di Bawah Tangan”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis

merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah akta jual beli hak milik atas tanah dibawah tangan yang dilakukan itu

sah?

2. Apa akibat hukum akta jual beli hak atas tanah dibawah tangan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan tentang:

Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui dan menjelaskan keabsahan akta jual beli hak milik atas tanah

dibawah tangan

2. Mengetahui dan menjelaskan akibat hukum akta jual beli hak atas tanah

dibawah tangan

3. Untuk memenuhi salah satu persyaratan akademis dalam penyelesaian program

studi strata satu jurusan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Pattimura Ambon.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoretis
8

Secara teoritis penelitian ini diharapkan berguna bagi penulis dalam

pengembangan ilmu hukum khusus dalam hukum agraria (hukum pertanahan)

yang berkaitan dengan keabsahan akta jual beli tanah dibawah tangan.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi peneliti

selanjutnya dalam pengembangan penulisan ini kedepan dan juga kepada

segenap masyarakat dalam hubungannya dengan permasalahan yang penulis

kaji

E. Kerangka Konseptual

1. Konsep Keabsahan

Keabsahan berasal dari kata dasar “absah” yang memiliki arti sifat

yang sah menurut kamus besar bahasa Indonesia. keabsahan merupakan

pokok bahasan yang amat sangat penting untuk menilai status suatu

pemerintah atau kekuasaan suatu pemerintahan atau kekuasaan dianggap

absah kalau terdapat kepercayaan umum bahwa kekuasaan tersebut sejalan

dengan aturan-aturan yang telah diterima, artinya hadirnya kekuasaan

tersebut didasarkan atas sesuatu yang diterima secara umum sebagai dasar
8
pembenaran. Sedangkan menurut kamus hukum absah artinya berlaku

menurut peraturan atau undang-undang yang ada.9

8
http://www.kamus-bahasa-indonesia-pengertian/keabsahan.html diakses pada tanggal 24
juni 2023 pukul 16.39
9
Sudarsono, Kamus hukum, Asdi Mahasatya, Jakarta, 2007, hal. 10
9

2. Konsep Akta

Kata Akta berasal dari bahasa latin “acta” yang berarti surat atau

”geshrift”. Pada umumnya Akta adalah surat yang ditandatangani, memuat

keterangan tentang kejadian atau hal-hal yang merupakan dasar dari suatu

hak atau suatu perjanjian, dapat dikatakan bahwa akta itu ialah suatu tulisan

dengan mana dinyatakan sesuatu perbuatan hukum.10 Dan dibuat dengan

sengaja untuk dijadikan sebagai alat bukti.

Menurut Prof. Dr. Soedikno Mertokusumo, S.H., Akta adalah surat

yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi

dasar dari pada suatu hak atau perikatan yang dibuat dengan sengaja untuk

pembuktian.11

Berkenaan dengan tindakan hukum, akta pada dasarnya memiliki

ragam fungsi seperti fungsi menentukan keabsahan, fungsi menentukan

lengkap atau sempurnanya (bukan sahnya suatu perbuatan hukum) atau syarat

pembentukan dan fungsi sebagai alat bukti. Akta mempunyai kekuatan

pembuktian sempurna jika dilihat dari fungsinya sebagai alat bukti, akta

otentik adalah salah satu alat bukti terkuat dalam KUHPerdata yang

merupakan alat bukti berupa bukti tulisan.

Dalam arti luas, akta adalah suatu perbuatan hukum (rechtshandeling).

Akta dapat dibedakan menjadi akta autentik dan akta dibawah tangan.

10
R. Tresna, komentar hir, Pranadnya Paramita, Jakarta. 1993, hal. 142.
11
Daeng Naja, Teknik pembuatan Akta,Yustisia, Yogyakarta. 2012, hal. 1.
10

1) Akta Autentik diatur dalam pasal 1868 KUHPerdata yaitu suatu

akta yang didalam bentuk ditentukan oleh undang-undang oleh

atau dihadapan pejabat umum yang berwenang ditempat akta

itu dibuat.

2) Akta dibawah tangan diatur dalam pasal 1874 KUHPerdata

yang menyebutkan bahwa “yang dianggap sebagai tulisan

dibawah tangan adalah akta yang ditandatangani dibawah

tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-

tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat

umum”.

Selanjutnya Pejabat Pembuat Akta Tanah (atau disingkat menjadi

PPAT) diberikan kewenangan untuk mengeluarkan akta yang mempunyai

kekuatan pembuktian yang sempurna. Akta otentik dapat tergradasi kekuatan

pembuktiannya dari yang mempunyai kekuatan sempurna menjadi kekuatan

pembuktian sebagai tulisan dibawah tangan, Jika pejabat umum yang

membuat akta itu tidak berwenang untuk membuat akta atau jika akta

tersebut cacat dalam bentuknya.

3. Hak Atas Tanah


11

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang

haknya untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang di

hakinya.12

Disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) UUPA No.5 Tahun 1960 yang

menyatakan bahwa: “Atas dasar hak menguasai atas tanah sebagai yang

diatur dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak permukaan bumi

yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-

orang secara sendiri maupun Bersama-sama dengan orang lain serta badan-

badan hukum”.

Macam-macam hak atas tanah diatur dalam pasal 16 ayat (1) UU No.5

Tahun 1960, yaitu:

a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan;
d. Hak Pakai;
e. Hak Sewa Untuk Bangunan;
f. Hak Membuka Tanah;
g. Hak Memungut Hasil Hutan;
h. Hak Atas Tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang pasal 53
ayat (1) UU No.5 Tahun 1960 menetapkan macam-macam hak atas tanah
yang bersifat sementara,yaitu:
a. Hak Gadai;
b. Hak Usaha Bagi Hasil;
c. Hak Menumpang;
d. Hak Sewa Tanah Pertanian;

12
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media Group, Jakarta.
2008, hal. 10.
12

Sri Hayati,13 membedakan macam hak atas tanah yang ditetapkan

dalam pasal 16 ayat (1) dan pasal 53 ayat (1) UUPA menjadi 3 kelompok,

yaitu:

1. Hak atas tanah yang besifat tetap, misalnya: hak milik, hak guna usaha,

hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk bangunan, hak membuka

tanah, hak memungut hasil hutan.

2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang adalah hak

atas yang akan ada dikemudian hari dan akan ditetapkan dengan undang-

undang.

3. Hak atas tanah besifat sementara adalah hak atas tanah yang sifatnya

sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan

mengundang, sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat feodal, dan

bertentangan dengan UUPA. Misalnya: hak gadai, hak usaha bagi hasil,

hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian.

Hak-hak tersebut diberi sifat sementara, sementara artinya sebelum ada

peraturan yang baru, ketentuan-ketentuan sudah ada tentang hak-hak itu

dianggap masih berlaku.14 Hak atas tanah bersifat tetap. Penyebab hak untuk

dapat membuka tanah dan memungut hasil hutan tidak dikategorikan dalam

hak atas tanah adalah karena diantara keduanya tidak memiliki kesamaan

13
Sri Hayati, Restruktur Hak Atas Tanah dalam Rangka Pembaruan Hukum Agraria
Nasional, Universitas Airlangga, Surabaya. 2005, hal. 9.

14
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta. 1990, hal. 49.
13

wewenang akan tetapi jika disesuaikan dengan sistematika penyusunan adat,

maka kedua hak tersebut dalam “pengejawantahan”.

4. Jual Beli Tanah

Jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang

satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang,

sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang

terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari peralihan hak milik tersebut. 15

Perjanjian jual beli tanah adalah janji kedua bela pihak antara penjual

menyerahkan tanah dan pembeli membayar harga tanah, maka hak atas tanah

tersebut berpindah kepada pembeli.

Sedangkan menurut hukum adat, jual beli tanah merupakan suatu

perbuatan hukum penyerahan tanah selama-lamanya oleh penjual kepada

pembeli pada saat mana penjual menerima sejumlah uang, yaitu harga

pembelian.

Perjanjan jual beli terjadi ketika tercapainya kata “sepakat” mengenai

barang dan harga. Jika penjual dan pembeli sudah setuju tentang barang dan

harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.

Adapun kewajiban dari pembeli yaitu membayar harga pembelian pada

waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian tersebut. harga

yang dimaksud harus berupa sejumlah uang, meskipun tidak ditetapkan dalam

15
R. Subekti, aneka perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 1.
14

suatu pasal undang-undang, namun sudah dengan sendirinya termaktub dalam

pengertian jual beli, oleh karena bila tidak akan merubah perjanjian tersebut

menjadi tukar menukar jika harga berupa barang.

Pada umumnya permasalahan yang sering terjadi dalam perjanjian jual

beli tanah yaitu terjadinya jual beli tanah antara penjual dan pembeli dibawah

tangan dengan kwitansi sebagai bukti peralihan hak atas tanah tanpa melalui

pejabat pembuat akta tanah dalam kaitan dengan pendaftaran tanah atas tanah

tersebut oleh pihak.16

Dalam sistem negara indonesia, prosedur pendaftaran tanah diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Yang

dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan

oleh pemerintah secara terus menerus, berkesenambungan dan teratur.17 dan

bertujuan memuat informasi tentang tanah dan untuk administrasi negara.

Penyelenggara pendaftaran tanah yaitu Badan Pertanahan Nasional

(selanjutnya disingkat BPN). yang dilakukan oleh kepala kantor pertanahan

yang kemudian dibantu oleh panitia ajudikasi yang dibentuk oleh menteri atau

pejabat yang ditunjuk.

Sesuai dengan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, jual

beli atas tanah dilakukan dihadapan PPAT yang berwenang bertugas membuat
16
Ambar Budhisulistyawati, ‘Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian
Jual Beli Tanah Di Bawah Tangan” Jurnal Privat Law, Vol 8 No. 1, 2020, hal. 3.

17
https://www.rumah.com/panduan-properti/panduan-pendaftaran-tanah-sesuai-pp-24-
tahun-1997 diakses tgl 20 agt 2023
15

aktanya sehingga membuktikan bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum

pemindahan hak atas tanah yang disertai dengan pembayaran harga. Serta

membuktikan bahwa pembeli atau sebagai penerima hak sudah menjadi

pemegang hak yang baru dengan memiliki bukti dari kepemilikan hak atas

tanah tersebut.

Pendaftaran jual beli tanah hanya dapat dilakukan dengan akta sebagai

bukti, tanpa akta jual beli dari PPAT maka seorang tidak akan memperoleh

sertifikat meskipun perbuatan jual beli sah menurut hukum,

Akta jual beli yang ditandatangani para pihak membuktikan bahwa telah

terjadinya pemindahan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli dengan

disertai pembayaran harga dan penyerahan bukti kepemilikan yang telah

disepakati.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah prinsip dan prosedur yang digunakan untuk

menyelesaikan suatu masalah yang muncul ketika melaksanakan penyelidikan. 18

Untuk mempermudah penelitian terdapat beberapa metode atau metodologi serta

cara yang dapat digunkan, oleh sebab itu asumsi dasar dari metodologi adalah

untuk memudahkan proses mencapai dan menemua sesuatu.

Menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengatakan bahwa penelitian

hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip

18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 6.
16

hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

dihadapi.19

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian proposal skripsi ini

yaitu jenis penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.

Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan

cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.20

2. Pendekatan Masalah

Ada pendekatan yang berbeda untuk penelitian hukum yang

memberikan peneliti dengan informasi tentang aspek yang berbeda dari

masalah hukum yang diteliti.21 Adapun pendekatan masalah yang penulis

gunakan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian ini, yaitu

pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan

konseptual (conceptual approach).

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) artinya

menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi

yang terkait dengan isu hukum dalam penelitian ini.

b. Pendekatan konseptual (conceptual approach) artinya

pendekatan yang beranjak dari pandangan maupun doktrin-

doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Pendekatan


19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2014, hal.35.
20
Soerdjono Soekamto, dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 2003, hal. 15.
21
Ibid, hal. 133.
17

penelitian ini digunakan untuk menemukan jawaban dari isu-isu

hukum yang diteliti. Oleh karena itu, keseuaian antara

pendekatan dengan isu hukum yang diteliti merupakan

pertimbangan utama dalam melakukan pemilihannya.

3. Sumber Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang


berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yaitu :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria.

3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan data penunjang sumber data primer

berupa :

1) Hasil karya dari kalangan hukum atau para pakar dan yang berkaitan

dengan judul penelitian;

2) Jurnal-jurnal hukum;

3) Situs Internet; dan

4) Literatur-literatur lain.
18

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan informasi

dan memuat uraian tentang bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, atau lebih dikenal dengan bahan acuan hukum, Kamus hukum,

dan ensiklopedia.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dalam penelitian ini

diperoleh dan dikumpulkan melalui studi kepustakaan (Library Research)

yaitu dengan melakukan telaah kepustakaan berupa peraturan perundang-

undangan, buku-buku, serta jurnal-jurnal hukum maupun karya tulis ilmiah

yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang diteliti.

5. Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum

Analisis bahan hukum yang digunakan dalam penyusunan proposal

skripsi ini menggunakan metode analisis data kualitatif. Penelitian ini

berkaitan dengan norma hukum yang terdapat dalam hukum dan putusan

pengadilan, serta norma hukum yang ada di masyarakat.22

Teknik analisis kualitatif dilakukan dengan cara menganalisis bahan

hukum yang berkaitan dengan konsep, teori, peraturan perundang-undangan,

pendapat ahli, dan pandangan penulis sendiri, kemudian dilakukan

interpretasi sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

22
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. 12, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2016, hal. 245.
19

DAFTAR BACAAN

Buku

H.Mohammad Hatta, Hukum Tanah Nasional Dalam Prespektif Negara Kesatuan.


Cet. 1, Media Abadi, Yogyakarta, 2005
Adrian Sutedi, Sertifikat Hak Anda Atas Tanah, cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2012
20

Sutedi,A.. Peralihan Hak Anda Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Sinar Grafika,
Sutedi, 2006
Wantijk Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA dan
Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003.
Sudarsono, Kamus hukum, Asdi Mahasatya, Jakarta, 2007.

R. Tresna, komentar hir, Pranadnya Paramita, Jakarta. 1993.

Daeng Naja, Teknik pembuatan Akta,Yustisia, Yogyakarta. 2012.

Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media Group,
Jakarta. 2008.

Sri Hayati, Restruktur Hak Atas Tanah dalam Rangka Pembaruan Hukum Agraria
Nasional, Universitas Airlangga, Surabaya. 2005.

K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta. 1990.

R. Subekti, aneka perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2014.

Soerdjono Soekamto, dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 2003.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. 12, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2016.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA)
21

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1961 Tentang


Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah
Peraturan menteri negara agraria/kepala badan pertahanan nasional Nomor 3 Tahun
1997 Tentang ketentuan pelaksanaan peraturan pemerintah, peraturan kepala
badan pertahanan nasional nomor 8 tahun 2012
Peraturan menteri agraria dan tata ruang/kepala badan pertanahan nasional republik
indonesia Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Perubahan kedua atas peraturan
menteri negara agraria/kepala badan pertahanan nasional nomor 3 tahun 1997
tentang ketentuan pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997
tentang pendaftaran tanah.

Lain-Lain

Ambar Budhisulistyawati, ‘Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian


Jual Beli Tanah Di Bawah Tangan” Jurnal Privat Law, Vol 8 No. 1, 2020,
hal.3
Baiq Henni Paramita Rosandi, Akibat Hukum Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Belum
Didaftarkan, Jurnal IUS, Vol. IV, No. 3, hal. 424-435.
Azmiati Zuliah, Ayu Trisna Dewi Putrajayasa, Akibat Hukum Jual Beli Atas Tanah
Dengan Sertifikat Hak Milik Dalam Akta Di Bawah Tangan Volume 15,
Nomor 2: 200-208 April 2021| IISN (P): 1829-7463\ IISN (E): 2716-3083200
@gmail.com Diakses Tgl 18 AGT 2023.
http://www.kamus-bahasa-indonesia-pengertian/keabsahan.html diakses pada tangga

24 juni 2023 pukul 16.39

https://www.rumah.com/panduan-properti/panduan-pendaftaran-tanah-sesuai-pp-24-

tahun-1997 diakses tgl 20 agt 2023

Anda mungkin juga menyukai