Anda di halaman 1dari 15

KEPEMILIKAN TANAH YANG DIPEROLEH MELALUI JUAL BELI

DIBAWAH TANGAN SECARA MELAWAN HUKUM

Fairuuzah
Listyowati Sumanto
fairuuzahhambali31@gmail.com
listyowati@trisakti.ac.id
Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jl. Kyai Tapa No.1, Jakarta Barat

ABSTRAK

Jual beli tanah wajib dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah agar
memperoleh Akta Jual Beli sebagai syarat untuk melakukan pendaftaran peralihan
hak atas tanahnya. Namun dalam praktik terdapat jual beli dilakukan di bawah
tangan. Kasus kepemilikan tanah secara melawan hukum terjadi di Desa Kuta
Kabupaten Lombok Tengah. Permasalahannya apakah perbuatan jual beli yang
dilakukan oleh Samah/penjual kepada Ike Ratna Wulan dan Nanang Abdul
Mukti/pihak ketiga dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan
bagaimanakah penyelesaian sengketa dalam Putusan Mahkamah Agung No.1979
K/PDT/2019. Metode penelitian digunakan tipe penelitian hukum normatif,
bersifat deskriptif, menggunakan data primer dan sekunder, analisis data secara
kualitatif, serta penarikan kesimpulan secara logika deduktif. Kesimpulannya
adalah jual beli yang dilakukan pada tahun 2006 antara Samah/Penjual kepada
Sahdan sah karena memenuhi syarat materiil dan formil. Jual beli pada tahun 2013
antara Samah/penjual kepada Ike Ratna Wulan dan Nanang Abdul Mukti/Pihak
Ketiga dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum karena memenuhi unsur-
unsur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sehingga jual beli
tersebut tidak sah dan batal demi hukum karena Samah tidak berhak menjual
tanah tersebut.
Kata Kunci: Jual Beli, Pendaftaran Tanah, Perbuatan Melawan Hukum

A. Pendahuluan

Salah satu sumber utama penghidupan dan kelangsungan hidup bangsa


sepanjang masa adalah tanah guna mencapai sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat yang terbagi secara adil serta merata. 1 Cara memperoleh tanah dapat
terjadi melalui peralihan hak atas tanah, dapat terjadi akibat pewarisan tanpa
wasiat atau perbuatan pemindahan hak2 melalui jual beli, tukar-menukar,
hibah, hibah wasiat, dan pemasukan harta kekayaan dalam perusahaan

1
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Universitas
Trisakti, 2019), hal.4.
2
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2018), hal.330.

1
(inbreng).3 Jual beli tanah merupakan perbuatan hukum pemindahan hak
untuk selama-lamanya disertai pembayaran harga (seluruh atau sebagian)
yang sifatnya “tunai” menurut hukum adat.4
Dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran tanah, “Peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat
didaftarkan bila dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan”. Jual beli yang dilakukan tidak dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah bukan berarti tidak sah, tetapi peralihan hak akibat jual
beli tersebut tidak dapat didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
setempat guna memperoleh kepastian hukum hak atas tanahnya. Jual beli
dihadapan Kepala Desa sah, karena Kepala Desa adalah Pejabat Pembuat
Akta Tanah Sementara (ex officio Pejabat Pembuat Akta Tanah) jika letak
desanya jauh dari Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Penyelenggaraan pendaftaran tanah menjadi kewajiban bagi pemerintah
yang membolehkan pemegang hak atas tanah dengan mudah membuktikan
hak atas tanah yang dikuasai.5 Salah satu tujuan utama dari Pendaftaran
Tanah dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, yaitu “Memberikan kepastian hukum dan perlindungan
hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun
dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan
dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.”6
Dalam praktiknya, tidak semua orang memahami prosedur jual beli tanah
serta pendaftarannya, sehingga masih banyak jual beli tanah yang dilakukan
tidak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang dikenal sebagai jual beli
tanah dibawah tangan. Akibat pemahaman masyarakat mengenai jual beli
tanah yang hanya mengandalkan prinsip kontan dan kepercayaan, sehingga
3
Ibid., hal.145.
4
Sunaryo Basuki. “Tata Cara Memperoleh Tanah”, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Trisakti, 2017), hal.25.
5
Urip Santoso, Pendaftaran Tanah dan Peralihan Hak atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2010),
hal.2.
6
Listyowati Sumanto, “The Future on Publication System of Land Registration in Indonesia”,
International Journal of Scientific & Technology Research, Volume 9, Issue 03, March 2020.

2
transaksi jual beli tanah diketahui Kepala Desa hanya membuat Surat
Perjanjian Jual Beli dibawah tangan tanpa adanya akta otentik atau Akta Jual
beli yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Jual beli di bawah tangan
sering menyebabkan terjadi sengketa tanah yang mengakibatkan kurangnya
pembuktian atas tanah tersebut. Hal tersebut terjadi pula pada kasus sengketa
tanah yang telah diputus berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.1979
K/PDT/2019. Atas dasar itu dipandang perlu dilakukan penelitian terhadap
“Kepemilikan tanah yang diperoleh melalui jual beli di bawah tangan secara
melawan hukum (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.1979
K/PDT/2019)”. Permasalahannya adalah bagaimana penyelesaian sengketa
dalam Putusan Mahkamah Agung No.1979 K/PDT/2019 terhadap perbuatan
jual beli yang dilakukan oleh Samah/Penjual kepada Ike Ratna Wulan dan
Nanang Abdul Mukti/pihak ketiga yang terdapat perbuatan melawan hukum?

B. Metode Penelitian

Penelitian tentang kepemilikan tanah yang diperoleh melalui jual beli di


bawah tangan secara melawan hukum (studi kasus Putusan Mahkamah Agung
No.1979 K/PDT/2019) menggunakan tipe penelitian hukum normatif. Suatu
penelitian yuridis normatif, berbasis pada analisis norma hukum, baik hukum
dalam arti law as it is written in the books (dalam peraturan perundang-
undangan), maupun hukum dalam arti law as it is decide by judge through
judicial process (putusan-putusan pengadilan).7 Penelitian hukum normatif
berdasarkan penelitian yang dilaksanakan terhadap bahan hukum yang ada,8
hanya meneliti data sekunder, mencakup bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier.9 Sifat penelitian yang digunakan adalah
deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan kepemilikan tanah yang
diperoleh melalui jual beli di bawah tangan secara melawan hukum.
Penelitian bersifat deskriptif guna memperjelas hipotesa-hipotesa, untuk

7
Ronald Dworkin, Legal Research (Daedalus: Spring, 1973), hal. 250.
8
Jonaedi Efendi, Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris (Jakarta:
Prenada media, 2018), h.131.
9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI- Press, 2015), hal.52.

3
membantu memperkuat teori-teori lama, atau dalam kerangka menyusun
teori-teori baru.10
Berdasarkan jenis dan bentuknya, data yang digunakan berupa data
sekunder dan data primer. Data primer diperoleh secara langsung dari nara
sumbernya melalui wawancara kepada Elsye Javanka, selaku Pejabat
Pembuat Akta Tanah. Data sekunder mencakup bahan hukum primer
(peraturan perundang-undangan), bahan hukum sekunder (buku-buku hukum,
jurnal-jurnal, hasil penelitian), serta bahan hukum tersier (kamus hukum).
Teknik pengumpulan data primer melalui wawancara. Data sekunder
diperoleh melalui studi kepustakaan. Analisis data dilakukan secara kualitatif,
artinya analisis data yang lebih menekankan terhadap isi atau kualitas dari
data tersebut. Penarikan kesimpulan menggunakan logika deduktif, artinya
cara penarikan kesimpulan dari hal yang umum menjadi hal yang khusus.

C. Hasil Penelitian

H. Sahdan membeli tanah objek sengketa dari Samah melalui jual beli di
bawah tangan berdasarkan Surat Pernyataan Jual Beli tertanggal 14 April
2006 yang diketahui oleh Kepala Desa Kuta - Reg.No. 51/IV/2006 tanggal 18
April 2006. Sejak saat itu, H. Sahdan menguasai secara fisik, mengerjakan
dan menikmati hasil dari tanah tersebut. Akan tetapi, pada tahun 2015 saat
H.Sahdan akan mendaftarkan peralihan hak atas tanah tersebut ke Kantor
Pertanahan Kabupaten Lombok Tengah dengan tujuan memperoleh sertipikat,
Kantor Pertanahan Kabupaten Lombok Tengah mengatakan bahwa sudah ada
pengajuan permohonan pendaftaran sertipikat atas tanah tersebut yang
dilakukan oleh Ike Ratna Wulan dan Nanang Abdul Mukti, sehingga
H.Sahdan mengajukan permohonan pemblokiran proses penerbitan sertipikat
di atas tanah miliknya tersebut. Setelah ditelusuri oleh H.Sahdan, diketahui
bahwa tanah tersebut telah dijual kembali pada Oktober tahun 2013 oleh
Samah tanpa sepengetahuan H. Sahdan selaku pemilik tanah kepada Nanang

10
Ibid., hal.10.

4
Abdul Mukti dan Ike Ratna Wulan. Hal ini dinilai sebagai perbuatan melawan
hukum, sebab Samah bukanlah pihak yang berhak menjual tanah tersebut.

D. Pembahasan

H. Sahdan mengajukan gugatan atas perbuatan yang dilakukan oleh Ike


Ratna Wulan, Nanang Abdul Mukti dan Samah di Pengadilan Negeri Praya
yang menghasilkan Putusan No.80/Pdt.G/2017. Dalam putusan tersebut
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Praya berpendapat berdasarkan bukti-bukti
yang diajukan oleh H. Sahdan, bahwa benar objek sengketa pada awalnya
milik Samah kemudian pada tahun 2006, terdapat surat jual beli antara Samah
dengan H.Sahdan. Namun Majelis Hakim Pengadilan Negeri Praya
mengatakan bahwa secara nyata H.Sahdan tidak menguasai tanah objek
sengketa yang tertuang dalam jual beli tersebut dan surat jual beli tersebut
tidak mempunyai nilai pembuktian yang sah, sedangkan Ike Ratna Wulan,
Nanang Abdul Mukti, dan Samah dapat membuktikan bahwa jual beli tanah
objek sengketa seluas 1800 M2 antara Samah selaku penjual dan Nanang
Abdul Mukti selaku pembeli yang pembayarannya secara dicicil oleh Ike
Ratna Wulan dan pada tahun 2013 telah lunas.
H.Sahdan tidak puas terhadap Putusan Pengadilan Negeri Praya,
mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Mataram yang menghasilkan
Putusan No.175/PDT/2018. Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi Mataram berpendapat yang berbeda dengan Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Praya. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Mataram
berpendapat bahwa jual beli yang dilakukan pada 14 April 2006 antara H.
Sahdan dengan Samah adalah sah, karena jual beli tersebut dilaksanakan atau
diketahui di hadapan Kepala Dusun dan Kepala Desa setempat dan saksi para
ahli waris lainnya serta harga yang dibayar lunas (Tunai). Setelah dilakukan
pembayaran atas tanah tersebut langsung diserahkan oleh Samah kepada H.
Sahdan yang langsung dikuasai dan digunakan oleh H. Sahdan sampai saat
ini. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Mataram mengatakan bahwa jual beli
yang dilakukan antara Samah dengan Nanang Abdul Mukti yang

5
pembayarannya dilakukan melalui Ike Ratna Wulan sesuai dengan bukti
kwitansi, merupakan perbuatan melawan hukum, karena tanah obyek jual beli
tersebut telah dijual terlebih dahulu oleh Samah kepada H. Sahdan, sehingga
jual beli yang kedua kalinya antara Samah dengan Nanang Abdul Mukti dan
Ike Ratna Wulan adalah tidak sah dan batal demi hukum. Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi Mataram juga berpendapat bahwa perbuatan Ike Ratna
Wulan dan Nanang Abdul Mukti yang mengajukan permohonan sertipikat
kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Lombok Tengah, merupakan perbuatan
melawan hukum. Oleh sebab itu, Pengadilan Tinggi Mataram membatalkan
putusan Pengadilan Negeri Praya.
Berdasarkan amar putusan Pengadilan Tinggi Mataram tersebut, Pihak
Ike Ratna Wulan, Nanang Abdul Mukti, dan Samah merasa tidak puas dan
mengajukan gugatan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang
menghasilkan Putusan No.1979 K/PDT/2019. Dalam putusan tersebut,
Majelis Hakim Mahkamah Agung mempunyai pendapat yang selaras dengan
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Mataram. Menurut Majelis Hakim
Mahkamah Agung, putusan judex facti Pengadilan Tinggi Mataram yang
membatalkan putusan judex facti Pengadilan Negeri Praya dapat dibenarkan,
sebab objek sengketa adalah milik H. Sahdan berdasarkan jual beli dengan
Samah selaku penjual dan H. Sahdan selaku pembeli pada tanggal 14 April
2006 yang diketahui oleh Kepala Desa Kuta, sebaliknya Majelis Hakim
mengatakan jual beli objek sengketa yang dilakukan sesudahnya yaitu tahun
2013 oleh Samah selaku penjual dengan Nanang Abdul Mukti melalui Ike
Ratna Wulan selaku pembeli tidak dapat dibenarkan. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, Majelis Hakim Mahkamah Agung menyatakan dalam
amar putusan bahwa permohonan kasasi yang diajukan oleh Ike Ratna Wulan,
Nanang Abdul Mukti dan Samah sebagai Pemohon Kasasi ditolak, maka
Putusan Pengadilan Negeri Praya tetap dibatalkan.
Penulis berpendapat bahwa Putusan Pengadilan Negeri No.80/PDT/2017
terdapat kekeliruan, yaitu Majelis Hakim mengatakan bahwa Sahdan secara
nyata tidak menguasai objek sengketa, karena Majelis Hakim tidak melihat

6
keterangan saksi yang diajukan oleh Sahdan. Menurut penulis seharusnya
Hakim melihat keterangan saksi yang bernama Sunardi yang menyatakan
bahwa ia menyaksikan jual beli antara Samah dan Sahdan pada tahun 2006
dan mengetahui bahwa Sahdan menyuruh Amaq nati menjaga tanah tersebut
serta Sahdan membangun pondasi tembok keiling diatas tanah tersebut.
Selain itu, dalam Putusan Pengadilan Tinggi Mataram No.175/PDT/2018 juga
terdapat kekurangan dimana Pertimbangan Majelis Hakim yang mengatakan
bahwa perbuatan jual beli antara Samah dengan Nanang Abdul Mukti dan Ike
Ratna Wulan merupakan perbuatan melawan hukum, Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi tidak mengatakan secara tegas perbuatan tersebut termasuk
ke dalam bentuk perbuatan melawan hukum yang melanggar norma apa.
Seharusnya dijelaskan bahwa perbuatan tersebut termasuk kedalam jenis
perbuatan melawan hukum yang melanggar norma kepatutan dimana Samah
selaku penjual beritikad buruk karena menjual tanah yang bukan miliknya.
Berdasarkan uraian tersebut berarti pertimbangan Majelis Hakim dalam
Putusan Pengadilan Tinggi Mataram No.175/PDT/2018 dan Putusan
Mahkamah Agung No.1979 K/PDT/2019 yang lebih tepat. Karena perbuatan
jual beli yang dilakukan pada tahun 2006 antara Samah dan H. Sahdan telah
memenuhi syarat sah perjanjian dilihat dari Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengaitkan dirinya: Adanya kesepakatan antara
Samah (penjual) dengan Sahdan (pembeli) saat melakukan perbuatan jual
beli tersebut, dibuktikan terdapatnya tanda tangan kedua belah pihak
dalam surat pernyataan jual beli atas tanah tersebut.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan: Samah dan Sahdan sudah
memenuhi syarat cakap dalam melakukan perbuatan hukum karena
keduanya telah dewasa atau telah berusia 21 tahun sehingga mampu
mempertanggungjawabkan akibat hukumnya.
3. Suatu hal tertentu: Adanya objek yang telah dijanjikan dalam jual beli
tersebut yaitu berupa tanah milik Samah yang akan dibeli oleh Sahdan.
4. Suatu sebab yang halal: Saat jual beli antara Samah dengan Sahdan
dilaksanakan, syarat sebab yang halal ini telah terpenuhi sebab isi

7
perjanjian tersebut mengenai jual beli sebidang tanah dan tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, serta ketertiban umum.
Ditinjau dari 2 (dua) syarat jual beli, perbuatan jual beli antara Samah
dengan Sahdan telah memenuhi syarat materil dan formil, yaitu:
1. Syarat Formil:
a. Tunai yaitu terdapat dua perbuatan yang dilaksanakan secara
bersamaan, yaitu pemindahan hak (pemindahan penguasaan yuridis)
dari Samah (penjual) kepada H.Sahdan (pembeli) serta pembayaran
harga (seluruhnya) dari H. Sahdan kepada Samah sebesar Rp.5.000.000.
Jika sifat tunai ini sudah terpenuhi, maka pihak H. Sahdan sudah
menjadi pemegang hak yang baru.
b. Terang yaitu perbuatan hukum jual beli harus dilaksanakan dihadapan
pejabat yang berwenang yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah yang akan
membuat Akta Jual Beli (AJB). Akan tetapi, berdasarkan penjelasan
Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 jo Pasal 23
ayat (2) Undang-Undang No.37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, bahwa jika tidak terdapat Pejabat Pembuat Akta
Tanah untuk melaksanakan perbuatan hukum mengenai tanah, dapat
ditunjuk Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara yaitu Kepala Desa,
Camat, Wakil Camat atau Sekretaris Desa. Pejabat Pembuat Akta
Tanah Sementara menjalankan jabatannya sesuai peraturan
perundangan-undangan, sehingga berarti Kepala Desa berwenang
membuat Akta Jual Beli.11 Berdasarkan hal ini, jual beli yang
dilaksanakan antara Samah dan H. Sahdan sudah memenuhi syarat
terang, sebab perbuatan hukum jual beli tersebut sudah dilakukan
dihadapan Kepala Desa Kuta dan sudah terdapat Surat Pernyataan Jual
Beli.

11
Elsye Javanka, selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah, wawancara dengan penulis, 22
Desember 2021.

8
c. Riil yaitu niat yang dikatakan harus diikuti pula perbuatan yang nyata
menunjukkan tujuan dari jual beli tersebut12 contohnya diterimanya
uang oleh penjual kemudian dibuatkan Akta Jual Beli di hadapan
pejabat yang berwenang. Dalam kasus, secara nyata telah dilakukan jual
beli atau perbuatan hukum pemindahan hak selama-lamanya dari
Samah (Penjual) kepada H. Sahdan (pembeli), dimana Samah
menyerahkan hak atas tanah kepada H.Sahdan, dan saat itu pula
H.Sahdan menyerahkan harga tanah kepada Samah serta selanjutnya
terdapat surat pernyataan jual beli atas tanah tersebut.
2. Syarat Materil:
a. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan: Samah selaku penjual
mempunyai hak menjual sebidang tanah tersebut sebagai pemilik sah
dari tanah tersebut.
b. Pembeli memenuhi syarat sebagai subyek pemegang hak atas tanah
yang bersangkutan: H.Sahdan sebagai penerima hak wajib memenuhi
syarat agar bisa memiliki tanah yang akan dibelinya. Hal tersebut
terdapat dalam ketentuan Pasal 21 Undang-Undang No.5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yaitu subyek yang dapat
mempunyai tanah berstatus Hak Milik hanya Warga Negara Indonesia
dan badan hukum yang telah ditetapkan pemerintah. Oleh sebab itu,
H.Sahdan selaku pembeli telah memenuhi syarat dan berhak sebagai
subjek pemegang tanah Hak Milik, karena ia merupakan Warga Negara
Indonesia.
c. Tanah yang bersangkutan dapat diperjualbelikan menurut hukum:
Samah menjual tanah berstatus tanah Hak Milik kepada H. Sahdan.
Dalam hal ini tanah yang dijadikan obyek jual beli mempunyai nilai
ekonomis (dapat dinilai dengan uang) dan dapat dipindahkan tangankan
hak tersebut kepada pihak lain karena tanah tersebut berstatus bekas
Hak Milik Adat (belum bersertipikat) milik Samah, bukan tanah Tanah

12
Andy Hartanto, Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum Bersertipikat (Yogyakarta:
Aswaja Pressindo, 2014), hal.76

9
Negara, Tanah Hak Pengelolaan, Tanah Wakaf, Tanah asset Negara
(dikuasai oleh Kementerian, Pemerintah Daerah, Lembaga Pemerintah
non-Kementerian) dengan status Hak Pakai & Hak Pengelolaan, Tanah
Garapan/Tanah Kaveling yang statusnya adalah tanah negara.
d. Tanah bersangkutan tidak dalam sengketa: Pada saat Samah menjual
tanah tersebut kepada H. Sahdan (pembeli) tanah tersebut tidak dalam
keadaan sengketa. Oleh sebab itu, Samah dapat melakukan jual beli
tanah tersebut kepada H. Sahdan.
Menurut penulis, berdasarkan syarat sah perjanjian serta syarat formil
dan materiil jual beli yang telah diuraikan, berarti bahwa jual beli yang
dilakukan pada tanggal 14 April 2006 antara Samah selaku penjual dan H.
Sahdan selaku pembeli telah sah. Sehingga jual beli yang dilakukan
setelahnya yaitu pada tahun 2013 antara Samah selaku penjual dengan
Nanang Abdul Mukti dan Ike Ratna Wulan selaku pembeli tidak sah dan batal
demi hukum, karena Samah selaku penjual bukanlah pihak yang berhak untuk
menjual tanah tersebut, dikarenakan sejak tanggal 14 April 2006 tanah
tersebut telah berpindah hak menjadi milik H. Sahdan. Jual beli antara Samah
dan H. Sahdan dilakukan tidak dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan
tidak dibuatkan Akta Jual Belinya, melainkan hanya dibuat surat jual beli
dibawah tangan, maka peralihan haknya tidak dapat didaftarkan di Kantor
Pertanahan Kabupaten Lombok Tengah, sehingga mengakibatkan secara de
iure tanah tersebut masih tetap atas Samah (penjual) namun secara de facto
kepemilikannya atas nama H. Sahdan (Pembeli). Jika terjadi hal tersebut,
maka agar dapat didaftarkan peralihan hak atas tanah tersebut, harus
dibuatkan kembali Akta Jual Beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Jika jual beli yang dilakukan pihaknya sudah tidak bisa ditelusuri, maka
disarankan untuk meminta penetapan pengadilan agar jual beli tersebut
dianggap sah, sehingga menjadi dasar untuk melakukan balik nama.13
Jika terjadi sengketa terhadap kepemilikan tanah tersebut, akta di bawah
tangan dapat diakui sebagai alat bukti di Pengadilan, tetapi kekuatan

13
Elsye Javanka, Opcit.

10
pembuktiannya tidak sempurna seperti akta otentik, melainkan kekuatan
pembuktiannya tetap ada selama isi dan tanda tangan yang terdapat di
dalamnya diakui oleh para pihak dan jika salah satu pihak mengingkarinya,
maka nilai pembuktiannya diserahkan kepada hakim.14 Pasal 1866
KUHPerdata menyatakan macam-macam alat bukti, terdiri dari: (1) Tulisan,
dapat berupa akta dan bukan akta. Akta yang terdiri dari akta otentik dan akta
di bawah tangan, (2) Saksi, (3) Pengakuan, (4) Persangkaan, (5) Sumpah.
Dalam kasus ini, bukti yang diajukan oleh H. Sahdan, Ike Ratna Wulan,
Nanang Abdul Mukti, dan Samah tidak ada yang berupa akta otentik
melainkan hanya akta di bawah tangan. Oleh sebab itu, dibutuhkan alat bukti
lain untuk membuktikan kepemilikan tanah tersebut dengan pembuktian
sempurna yaitu dengan melihat keterangan saksi-saksi. Dari bukti-bukti lain
tersebut dapat ditentukan pihak manakah yang lebih berhak atas tanah
tersebut, meskipun kedua pihak hanya memiliki akta di bawah tangan. Jika
terjadi sengketa yang dibutuhkan untuk membuktikan para pihak yang
berperkara bukan hukumnya, tetapi peristiwa atau hubungan hukumnya atau
duduk perkaranya. Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Mataram
No.175/PDT/2018, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menetapkan bahwa
tanah objek sengketa memang benar dikuasai oleh H. Sahdan melihat
keterangan saksi dari penggugat yang bernama Medal, Sunardi, Elan alias
Inaq Nati.
Dalam sidang pemeriksaan perkara perdata, surat dibawah tangan bisa
menjadi alat bukti sempurna ataupun mempunyai kekuatan hukum yang sama
dengan akta otentik jika telah dilegalisasi oleh Notaris, ini merupakan salah
satu cara agar surat di bawah tangan menjadi alat bukti kuat. Hakim akan
memutuskan apakah bukti tersebut valid.15 Legalisasi merupakan akta bawah
tangan yang belum ditandatangani, kemudian diberikan kepada Notaris dan
selanjutnya dihadapan Notaris ditandatangani oleh para pihak yang

14
I Gusti Ayu Widiadnyani, Ratna Artha Windari, Ketut Suditmaka, “Implikasi Yuridis Jual
Beli Tanah Adat Melalui Perjanjian Dibawah Tangan Dalam Perspektif Undang-undang Pokok
Agraria” Jurnal Hukum, Vol 1 No.1 (2018), h.50.
15
Elsye Javanka, Opcit.

11
bersangkutan, setelah isi akta dijelaskan oleh Notaris kepada para pihak.
Dalam hal ini Notaris hanya bertanggung jawab atas tanda tangan para pihak
yang bersangkutan serta tanggal ditandatanganinya dokumen tersebut.
Menurut penulis, perbuatan jual beli yang dilakukan oleh Samah/penjual
kepada Ike Ratna Wulan dan Nanang Abdul Mukti dapat dikategorikan
sebagai perbuatan melawan hukum, sebab memenuhi unsur-unsur Pasal 1365
KUHPerdata, yaitu:
a. Terdapat suatu perbuatan, adanya perbuatan yang dilakukan secara aktif,
yaitu adanya perbuatan jual beli yang dilakukan oleh Samah kepada
Nanang Abdul Mukti dan Ike Ratna Wulan, dimana Samah bukanlah
sebagai pemegang hak atas tanah tersebut, serta adanya perbuatan yang
dilakukan oleh Ike Ratna Wulan dan Nanang Abdul Mukti yang
melakukan permohonan penerbitan sertifikat di Kantor Pertanahan
Kabupaten Lombok Tengah.
b. Perbuatan tersebut melawan hukum, artinya perbuatan yang dilakukan
oleh Samah, yang menjual kembali tanah objek sengketa kepada Ike Ratna
Wulan dan Nanang Abdul Mukti merupakan perbuatan melawan hukum
yang melanggar kepatutan, sebab Samah sejak tahun 2006 sudah bukan
pemilik hak atas tanah tersebut sehingga ia tidak berhak dan berwenang
untuk menjual dan dikatakan bahwa samah beritikad buruk.
c. Terdapat kesalahan dari pelaku, adanya kesalahan yang dilakukan oleh
Samah yang secara sadar menjual tanah yang sudah bukan miliknya lagi,
serta kelalaian oleh Ike Ratna Wulan dan Nanang Abdul Mukti selaku
pihak ketiga yang membeli tanah tersebut dari Samah sebab tidak berhati-
hati dan teliti dalam membeli sebidang tanah.
d. Adanya kerugian bagi korban, terdapat kerugian materiil yaitu kerugian
secara nyata yang dialami korban yaitu H. Sahdan yang tidak dapat
mendaftarkan tanahnya karena telah ada permohonan penerbitan sertifikat
atas tanah miliknya. Terdapat kerugian immateriil yaitu H. Sahdan
kehilangan kenyamanan hidup serta timbulnya rasa ketakutan akan
kehilangan tanah miliknya. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi tidak

12
memutuskan ganti kerugian materiil berupa uang, melainkan ganti
kerugian immaterial yaitu adanya pengesahan jual beli antara Samah
dengan Sahdan yang artinya ganti kerugian yang diterima Sahdan
merupakan pengembalian pada keadaan semula. Pembayaran ganti
kerugian tidak selalu wajib berbentuk uang, Hoge Raad dalam Keputusan
tanggal 24 Mei 1918 mempertimbangkan bahwa pembayaran ganti
kerugian yang paling tepat adalah pengembalian pada keadaan semula
(natura). Pasal 1365 KUHPerdata bermaksud seberapa mungkin
mengembalikan korban terhadap keadaan semula, setidaknya terhadap
keadaan yang dapat dicapainya, serta tidak dilaksanakan perbuatan
melawan hukum. Oleh sebab itu, perihal yang diusahakan yaitu
pengembalian secara nyata yang lebih sesuai daripada dalam bentuk uang
sebab pembayaran sejumlah uang hanya nilai yang setara saja.16
e. Terdapat hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian yaitu hubungan
kausal yang terdapat dalam kasus dilihat bahwa adanya sebab dan akibat
yang saling terkait, serta semua sebab terjadinya perbuatan jual beli ini
ialah Samah, Ike Ratna Wulan, Nanang Abdul Mukti. Oleh sebab itu, para
pihak tersebut harus bertanggungjawab. Melihat hubungan faktual, yaitu
jual beli yang dilakukan oleh Samah kepada Nanang Abdul Mukti dan Ike
Ratna Wulan merupakan perbuatan yang telah menimbulkan kerugian bagi
H. Sahdan selaku pemilik tanah.

E. Penutup

a. Kesimpulan
Penyelesaian sengketa mengenai jual beli yang dilakukan antara Samah
dengan Ike Ratna Wulan dan Nanang Abdul Mukti dalam Putusan
Mahkamah Agung No.1979 K/PDT/2019 yang menguatkan Putusan
Pengadilan Tinggi Mataram No.175/PDT/2018 sudah tepat, yaitu jual beli
yang pertama pada tanggal 14 April 2006 antara Samah (penjual) dengan
H. Sahdan (pembeli) adalah sah sebab jual beli tersebut dilaksanakan atau
16
Sri Redjeki Slamet, “Tuntutan Ganti Rugi Dalam Perbuatan Melawan Hukum: Suatu
Perbandingan Dengan Wanprestasi” Jurnal Hukum, Vol 10 No.2 (Agustus, 2013), h.113.

13
diketahui di hadapan Kepala Dusun dan Kepala Desa setempat dan saksi
para ahli waris lainnya serta dengan harga yang dibayar lunas (tunai).
Sehingga jual beli yang kedua kalinya antara Samah (penjual) dengan Ike
Ratna Wulan dan Nanang Abdul Mukti (pembeli) tidak sah dan batal
demi hukum, sebab penjual yaitu Samah bukan merupakan pihak yang
berhak menjual karena ia bukan pemegang hak atas tanah tersebut.
Perbuatan jual beli yang dilakukan tersebut dianggap perbuatan melawan
hukum karena telah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum dalam
Pasal 1365 KUHPerdata yaitu terdapat suatu perbuatan, perbuatan
tersebut melawan hukum, terdapat kesalahan dari pelaku, terdapat
kerugian bagi korban, terdapat hubungan kausal antara perbuatan dan
kerugian.
b. Saran
Untuk menghindari terjadinya jual beli tanah melawan hukum, sebaiknya
jual beli tanah dilaksanakan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah atau
Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (Kepala Desa atau Camat ex
officio Pejabat Pembuat Akta Tanah) agar dapat dibuatkan Akta Jual Beli
sebagai syarat pendaftaran peralihan hak atas tanahnya. Jika terdapat surat
pernyataan jual beli sebaiknya dilakukan Legalisasi oleh Notaris, agar
surat di bawah tangan tersebut tidak mudah disangkal kebenarannya serta
guna memperkuat pembuktian jika berperkara.

F. Daftar Pustaka

Andy Hartanto. Problematika Hukum Jual Beli Belum Bersertipikat. Yogyakarta:


Aswaja Pressindo, 2014.
Sunaryo Basuki. “Tata Cara Memperoleh Tanah”, Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Trisakti, 2017.
Boedi Harsono. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional. Jakarta:
Penerbit Universitas Trisakti, 2013.
_____________. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya. Jakarta: Penerbit
Universitas Trisakti, 2018.
Dworkin, Ronald. Legal Research. Daedalus: Spring, 1973.

14
Jonaedi Efendi, Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.
Jakarta: Prenada Media, 2018.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2015.
Urip Santoso, Pendaftaran Tanah dan Peralihan Hak atas Tanah. Jakarta:
Kencana, 2010.
I Gusti Ayu Widiadnyani, Ratna Artha Windari, Ketut Suditmaka, “Implikasi
Yuridis Jual Beli Tanah Adat Melalui Perjanjian Di bawah Tangan Dalam
Perspektif Undang-undang Pokok Agraria”, Jurnal Hukum, Volume 1,
Nomor 1 2018.
Listyowati Sumanto, “The Future on Publication System of Land Registration in
Indonesia”, International Journal of Scientific & Technology Research,
Volume 9, Issue 03, March 2020.
Sri Redjeki Slamet, “Tuntutan Ganti Rugi Dalam Perbuatan Melawan Hukum:
Suatu Perbandingan Dengan Wanprestasi”, Jurnal Hukum, Volume 10,
Nomor 2, Agustus 2013.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria

15

Anda mungkin juga menyukai