Anda di halaman 1dari 12

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER

Disusun Oleh

NAMA : PUTRI ZULFITA MAYSARI, SH


MATA KULIAH : TEORI HUKUM

PROGRAM MAGISTER HUKUM


UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA
2019
ANALISIS PUTUSAN NO.2925/K/PDT/2012

DIKAITKAN DENGAN HUKUM REPRESIF

ABSTRAK
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam hal pembaliknamaan Sertifikat Hak
Milik (SHM) Tanah Warisan tanpa persetujuan ahli waris lainnya yang pada akhirnya
berimplikasi kepada hak pembeli yang.telah membeli tanah tersebut dengan itikad baik.
Putusan No. 2925/K/PDT/2012 kurang tepat dilihat dari peraturan perundang-undangan
dan teori-teori hukum yang berkembang terkait perbuatan melawan hukum
pembaliknamaan sertifikat hak milik tanah warisan tanpa persetujuan ahli waris lainnya
terkait tindakan yang harus dieksekusi, bukan serta merta kembali kepada Penggugat,
melainkan kembali ke keadaan awal sebelum tanah diperjualbelikan atau dengan kata
lain kembali ke keadaan ketika SHM masih atas nama Supinah.
Kata Kunci: Perbuatan Melawan Hukum (PMH), Sertifikat Hak Milik (SHM), itikad
baik, Hukum Represif

ABSTRACT
Tort in the case of reversing the inherited Land Ownership Certificate (SHM)
without the consent of other heirs which in turn has implications for the rights of the
buyer who has purchased the land in good faith. Verdicet Number 2925 / K / PDT /
2012 is not quite seen from the laws and regulations and developing legal theories
related to illegal acts to reverse the certificate of ownership of inherited land without
the consent of other heirs regarding actions that must be executed, not necessarily
returned to the Plaintiff, but returns to its original state before the land is traded or in
other words returns to the state when the SHM is still in the name of Supinah.
Keywords: Tort, Land Ownership Certificate, good faith, Verdict

2
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sebagai bukti kepemilikan nantinya akan keluar sertifikat hak atas tanah.
Serifikat hak atas tanah adalah alat bukti untuk menyatakan bahwa nama yang
tertera dalam sertfikat tersebut adalah sah sebagai pemilik hak atas tanah
tersebut, hal ini secara eksplisit tertera dalam Pasal 32 ayat (1) PP No. 24/1997.1
Disebutkan pula dalam Pasal 32 ayat (2) bahwa orang lain yang merasa berhak
atas hak atas tanah yang telah didaftarkan tersebut kehilangan hak untuk
menuntut haknya atas tanah tersebut jika dalam kurun waktu 5 (lima) tahun
sejak terbitnya hak atas tanah tidak mengajukan keberatan tertulis kepada
Kepala Kantor Pertanahan ataupun mengajukan gugatan atas penerbitan hak
tersebut.
Sertifikat tanah merupakan surat tanda bukti yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di
dalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang
ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa
selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang
tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam
melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di
pengadilan.2
Sebagai alat bukti kepemilikan, Sertifikat Hak Milik (SHM) yang tidak
pernah digugat maupun diajukan keberatan atas penerbitannya dalam kurun 5
(lima) tahun daluarsa pengajuan keberatan seharusnya memberikan kepastian
kepada nama yang tertera sebagai pemiliknya ataupun kepada ahli waris yang
secara logis berpeluang besar mendapatkan tanah tersebut. Namun karena
faktor-faktor data yuridis yang tidak dicermati sejak awal penerbitan sertifikat
maupun pembaliknamaannya, baik oleh Badan Pertanahan Nasional maupun
oleh masyarakat yang mendaftarkan hak miliknya, sertfikat hak milik dapat saja
menjadi hanya sekadar sertifikat dan dapat saja dinyatakan tidak sah. Akibat

1
A. P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 38.
2
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia., (Surabaya: Arkola, 2003), hlm. 110.

3
dinyatakan tidak sahnya kepemilikan sesuai SHM atas tanah tersebut, perbuatan
mengalihkan hak atas tanah dari pemegang SHM maupun ahli warisnya menjadi
perbuatan melawan hukum. Selain itu, pihak ketiga di luar dua pihak yang
berhubungan langsung dalam sengketa, yaitu penerima pengalihan hak atas
tanah (yang berperan sebagai pembeli tanah dai pemilik tanah sesuai SHM) juga
terancam dirugikan dalam arti hak atas tanah yang telah dialihkan padanya
tersebut menjadi tidak sah padahal ia telah menyerahkan sejumlah biaya sebagai
harga yang dijanjikan sebagaimana layaknya perjanjian jual beli.3
Hal tersebut ditemukan dalam Putusan No. 2925/K/Pdt/2012. Dalam
putusan tersebut menarik karena pada akhirnya penggugat mendapatkan hak
milik atas tanah walaupun dasar kepemilikannya hanyalah pembuktian formal di
persidangan mengenai asal-usul tanah dan status ahli waris bersama-sama
dengan Para Tergugat II diabaikan, sehingga menurut hakim perbuatan Tergugat
II yang mengalihkan hak milik atas tanah adalah perbuaan melawan hukum
karena tanahnya sejatinya adalah milik penggugat, padahal jika melihat
ketentuan Pasal 32 ayat (2) PP No. 24/1997, maka Penggugat sudah tidak pantas
lagi menggugat hak miliknya tersebut (lewat 5 tahun). Serta menarik pula
bagaimana hak pembeli yang beritikad baik dikesampingkan oleh hakim setelah
menyatakan bahwa tanah tersebut bukanlah tanah sah milik Para Tergugat II.
Sehingga, dalam menganalisis putusan tersebut perlu ditelusuri lebih
lanjut perbuatan-perbuatan apa saja dari para tergugat yang memang merupakan
perbuatan melawan hukum dengan menggunakan teori tipe hukum otonomon
yang menyatakan Pengadilan tidak dapat menjamin hukum itu adil, tetapi dapat
mengusahakan agar hukum diterapkan secara adil, sehingga sumbangan yang
paling penting bukanlah keadilan substantif, melainkan keadilan prosedur.
Gagasan bahwa “prosedur merupakan jantung dari hukum” menjadi perhatian
yang sangat besar dalam etos hukum otonom. Penjinakan terhadap represi
dimulai dari tumbuhnya komitmen pemerintah terhadap aturan-aturan hukum
dan prosedur merupakan jaminan utama bagi penerapan aturan hukum yang tak
berat sebelah. Secara potensial otoritas represif dikendalikan oleh proses yang

3
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 19.

4
tepat. Dalam penyelesaian konflik antara negara dan rakyat, sistem hukum
memberikan hasil yang paling tampak berupa, keadilan prosedur.4
Pada akhirnya, beberapa isu tersebutlah yang sesungguhnya patut untuk
dijawab untuk memperjelas apakah putusan hakim baik di Tingkat I, II maupun
kasasi sudah tepat sesuai dengan teori dalam ilmu hukum perdata mengenai
perbuatan melawan hukum dan pembeli beritikad baik yang sebenarnya telah
diterapkan sebagai hukum pertama kali pada The Twelve Tables tahun 450
sebelum masehi5, dan apakah putusan sudah tepat jika mengacu kepada
peraturan-peraturan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka yang menjadi fokus
penelitian adalah apakah Putusan Hakim telah tepat dalam memberikan
perlindungan pembeli beritikad terhadap perbuatan Tergugat II yang
membaliknamakan sertifikat hak milik tanpa persetujuan ahli waris lain adalah
perbuatan melawan hukum?

II. Analisis Putusan N0. 2925/K/PDT/2012 Terkait perbuatan melawan hukum


Pembaliknamakan sertifikat hak milik tanpa persetujuan ahli waris lain
A. Uraian Singkat Kasus6
Penggugat berpendapat, Para Tergugat II telah berbohong karena
menyatakan diri sebagai golongan pewaris satu-satunya yang berhak atas tanah
tersebut, padahal selaku suami dari Supinah sebenarnya jika dilihat dari sudut
pandang waris Islam mengingat baik Supinah, penggugat maupun tergugat II
adalah WNI beragama Islam, maka sebenarnya penggugat juga adalah ahli waris
dari Supinah, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 171 huruf (c) Kompilasi
Hukum Islam (KHI), bahwa pewarisan didapat melalui hubungan darah dengan
pewaris, hubungan pernikahan, si ahli waris dan pewaris beragama Islam, dan
juga tidak dilarang undang-undang menjadi ahli waris, sehingga penggugat

4
Philippe Nonet & Philip Selznick. Hukum Responsif, Pilihan di Masa Transisi. Penerjemah Rafael Edy
Bosco.(Jakarta: Ford Foundation-HuMa, 2003), hal. 52
5
John Klein, “Good Faith in International Transactions,” The Liverpool Law Review , Vol. XV No. 2
(1993), hlm. 116.
6
Putusan No. 2925/K/PDT/2012

5
sebenarnya juga adalah ahli waris dari Supinah, oleh karena itulah Penggugat
juga menggugat keberadaan Surat Keterangan Waris yang dianggap memberikan
kesan sebagai ahli waris satu-satunya sehingga sertifikat tanah dapat
dibaliknamakan. Apalagi dalilnya adalah jika dilihat dari sudut pandang
eugenaar (pemilik sebenarnya), ia adalah pemilik yang sebenarnya yang sialnya
demi keekonomisan ongkos pendaftaran, tanah didaftarkannya atas nama
istrinya karena saat itu karena pekerjaan dan pangkatnya Penggugat tidak
memenuhi syarat peserta PRONA.
Pada akhirnya hakim meninjau dari sudut pandang pembuktian asal-usul
tanah dan meyakini bahwa tanah adalah milik Penguggat sehingga tanah
dinyatakan sebagai milik penggugat dan jual beli tanah yang diputuskan
sebenarnya adalah milik Pengggat adalah tidak sah dan melawan hukum.
Akibatnya, jual beli dibatalkan dan Tergugat I sebagai pembeli yang beritikad
baik juga terkena dampaknya yaitu harus menyerahkan tanah yang hak miliknya
sudah dibeli dari Tergugat II.

B. Analisis Putusan N0. 2925/K/PDT/2012 Terkait Perlindungan Hukum Pembeli


Beritikad Baik terhadap perbuatan melawan hukum Pembaliknamakan sertifikat
hak milik tanpa persetujuan ahli waris lain
Dalam sejarah Doktrin Itikad baik, salah satu sarjana Hukum Romawi
Kuno, yang bernama Ulpianus, menyatakan bahwa segala sesuatu yang
bertentangan dengan itikad baik harus diperhatikan dalam perjanjian, misalnya
jika menjual sebuah properti harus dijelaskan bagaimana propertinya sedetail
mungkin beserta dengan keadaan yang tengah meliputinya.7 Dalam Hukum
Kanonik, kewajiban itikad baik menjadi suatu norma yang universal yang secara
individual ditentukan oleh kewajiban dan kejujuran seseorang kepada Tuhan.
Para sarjana Hukum Kanonik mengaitkan itikad baik dengan good conscience.
Mereka memasukkan makna religius faith ke dalam good faith dalam pengertian
hukum.8

7
Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Program PascaSarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 267-268
8
James Gordley, “Good Faith in Contract Law in The Medieval Ius Commune,” Reinhard Zimmermann
dan Simon Whittaker, eds., Good Faith in European Contract Law (Cambridge: Cambridge University
Press, 2000), p. 109.

6
Terkait perbuatan Tergugat I dan II yang melakukan jual beli adalah
perbuatan melawan hukum walaupun Tergugat I telah mendalilkan diri sebagai
Pembeli yang beritikad baik, adalah wajar memang Hakim memutus demikian
karena sesuai dengan alur putusan yang menyatakan pembaliknamaan SHM
menjadi atas nama Tergugat II tidak sah sehingga perbuatan jual beli yang
dilakukan Tergugat II atas tanah itu pun sudah sewajarnya menjadi ikut tidak
sah. Namun, hakim seharusnya memperhatikan pembelaan Tergugat I yang
menyatakan diri telah beritikad baik dalam membeli tanah tersebut, dimana ia
mengikuti prosedur pengalihan hak milik sesuai peratutan-peraturan terkait dan
prosedur jual beli juga dilakukan di depan pejabat yang berwenang.
Sebelumnya, perlu kita teliti terlebih dahulu apakah Tergugat I memang
merupakan pembeli yang bertikad baik, berdasarkan pembuktian di pengadilan,
ditemukan fakta persidangan sebagai berikut:
1. Bahwa dalam Putusan No. 39/Pdt.G/2010/PN.BJ yang dirilis situs
Mahkamah Agung pada halaman 18, Tergugat I memberikan eksepsi
bahwa ia tidak memiliki hubungan hukum dengan Penggugat (yang
mengaku sebagai pemilik tanah sesungguhnya) sama sekali;
2. Tergugat I juga menyatakan bahwa ia telah melakukan jual beli dengan
mengikuti aturan yang berlaku dan dengan itikad baik selayaknya
perjanjian harus dilaksanakan (halaman 20 putusan);
3. Tergugat I juga menyatakan bahwa yang ia ketahui bahwa tanah tersebut
adalah milik Supinah sesuai sertifikat hak milik yang kemudian
dibaliknamakan oleh ahli waris sahnya yaitu Para Tergugat II
berdasarkan sertifikat hak milik yang dikeluarkan lembaga yang
berwenang (halaman 20);
4. Tergugat I menyatakan bahwa ia merasa justru Penggugat yang
mengada-ada karena tidak memiliki bukti otentik bila mengaku sebagai
pemilik yang sebenarnya;

Hilman Hadikusuma menambahkan referensi terkait pembeli beritikad


baik dalam konteks jual lepas tanah dalam hukum adat, dimana pembeli beriikad

7
baik menurut hukum adat juga harus dilindungi.9 Hal tersebut dalam hal tanah
warisan belum terbagi sehingga tidak dapat dilakukan jual lepas terhadapnya.10
Tergugat I menyatakan bahwa sebelum membeli yang ia ketahui bahwa
sertifikat tanah tersebut telah balik nama menjadi nama para penjual karena
memang para penjual adalah ahli waris yang sah dari Supinah. Tergugat I
memberikan pernyataan berdasarkan surat keterangan hak milik atas nama
Supinah dimana menurutnya, Penggugat tidak memiliki bukti otentik sebagai
pemilik karena yang ia tahu semuanya adalah benar adanya (otentik).
Melalui pernyataan Tergugat I tersebut ditambah lagi memang Tergugat
I tidak ada hubungan hukum dengan Penggugat yang kita simpulkan tidak tahu
menahu mengenai urusan keluarga penggugat, maka memang sejak awal
Tergugat I tidak memiliki persangkaan adanya ketidakberesan di dalam
kepemilikan tanah oleh penjual tanah, sebab ia melihat surat-surat adalah akta
otentik, sehingga sesuai pendapat Wirjono Prodjodikoro di atas, dapatlah
dikatakan Tergugat I beritikad baik secara subyektif. Tergugat I dalam
persidangan menyatakan bahwa ia telah melakukan jual beli sesuai dengan
ketentuan peraturan di depan pejabat yang berwenang, melalui pernyataan
tersebut ia menegaskan bahwa dirinya adalah seorang pembeli yang beritikad
baik.
Terkait hal tersebut, mengutip pendapat Subekti yang mengatakan bahwa
ketentuan Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata diberlakukan untuk semua macam
barang, sehingga terhadap barang tidak bergerak perlu dicantumkan suatu
ketentuan yang menyatakan bahwa apabila perjanjian dilakukan di muka
seorang pejabat, maka para pihak dapat dianggap beritikad baik.11 Ditambah
dengan keterangan bahwa Tergugat I telah yakin dengan akta otentik yang sah
dimiliki penjual, maka Tergugat I jelaslah merupakan pembeli yang beritikad
baik. Dengan dilakukannya jual beli di depan Pejabat Pembuat Akta
Tanah/Notaris, maka bukankah pejabat/notaris yang bersangkutan dapat meneliti
kebenaran dokumen? Jika memang dokumennya lolos dari pemeriksaan notaris

9
Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, (Bandung: Alumni, 1979)., hlm. 128.
10
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku II (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1995), hlm. 166.
11
Djaja S. Meliala, Masalah Itikad Baik Dalam KUH Perdata, (Bandung: Binacipta, 1987), hlm. 10.

8
yang seharusnya lebih tahu mengenai dokumen-dokumen tanah, wajar jika hal
tersebut merupakan suatu keyakinan pula bagi Tergugat I yang adalah orang
awam dan meneruskan proses pra kontrak hingga akhirnya perjanjian ditutup.12
Selain itu, berdasarkan pendapat Ulpianus di atas, maka seharusnya
penjual atau Tergugat II lah yang membeberkan keadaan tanah tersebut, baik
dalam hal sejarah kepemilikan, maupun jika ada sengketa, sehingga penjuallah
yang seharusnya dibebani dengan kewajiban melakukan penjelasan fakta
material yang berkaitan dengan tanah tersebut.13
Berdasarkan yurisprudensi Putusan MA No. 251K/Sip/1958 juga
seharusnya Tergugat I yang telah melakukan jual beli di depan notaris dan telah
pula yakin dengan dokumen-dokumen otentik tanah tersebut seharusnya
dilindungi. Dimana dalam Putusan tersebut yang diputuskan dengan yang mana
menegaskan bahwa: pembeli yang telah bertindak dengan itikad baik harus
dilindungi dan jual beli yang bersangkutan harus dianggap sah.14
Maka putusan hakim kurang tepat. Pertama terkait pemilik sah atas
tanah, maka penulis berpendapat SHM yang tidak digugat keberadaannya
selama 20 tahun yang beratasnamakan Supinah adalah alat bukti yang terkuat,
apabila memang tanah itu adalah milik Penggugat, penggugat secara diam-diam
dengan perbuatannya setuju jika SHM tersebut menjadi atas nama istrinya,
terlihat itikad buruknya menyimpangi aturan PRONA memang sudah diketahui
risikonya sebelumnya oleh Penggugat dan sudah seharusnya ia siap akan
konsekuensi apapun terkait hal tersebut, sehingga menurut hemat penulis,
permohonan untuk dinyatakan sebagai pemilik yang sah atas tanah harus
ditolak.15
Terkait Perbuatan melawan hukum membaliknamakan SHM yang
dilakukan Tergugat II, bahwa hal tersebut adalah perbuatan melawan hukum.
Penggugat atas itikad buruknya dan persetujuan membiarkan SHM
beratasnamakan nama istrinya untuk menyimpangi hal tertentu adalah orang

12
Lihat Subekti (2), Aneka Perjanjian, Cet. 10 (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 41
13
Khairandy, Op. Cit., hlm.267-268
14
Mahkamah Agung, Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia II Hukum Perdata dan Acara Perdata,
(Jakarta: Proyek Yurisprudensi Mahkamah Agung), hlm. 116
15
Berdasarkan teori yang dikemukan dalam Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa,
2003), hlm. 21.

9
yang tidak pantas dianggap langsung sebagai pemilik yang sah. Sehingga, hak
subyektif Penggugat yang dilanggar Tergugat II adalah perbuatan mereka
menutupi keberadaan Penggugat selaku ahli waris pula dan sengaja menutupi
perbuatan pembaliknamaan SHM tersbeut dari Penggugat, sehingga penggugat
tidak dapat menikmati hak warisnya, di sinilah baru terdapat hak subyektif yang
dilanggar dan perbuatan sengaja tersebut adalah perbuatan melawan hukum.16
Di lain sisi, di dalam Putusan No. 2925/K/Pdt/2012 hakim telah
memutuskan bahwa perkara ini tidak nebis in idem. Hal ini adalah tepat, sebab
perkara yang status gugatannya adalah tidak dapat diterima atau (Niet
onvankelijk verklaard) - yang antara lain disebabkan berbagai cacat formil yang
mungkin melekat pada gugatan, antara lain, gugatan yang ditandatangani kuasa
berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123
ayat (1) HIR jo. SEMA No. 4 Tahun 1996.17
Kemudian terkait Tergugat I harus menyerahkan tanah yang telah
dibelinya kepada Penggugat juga kurang tepat. Alasannya seharusnya karena
tanah harus kembali menjadi keadaan awal sebelum dibaliknamakan Tergugat II,
dimana setelah kembali ke keadaan awal maka di situlah waktu Tergugat II dan
Penggugat membagi harta warisannya, sehingga Penggugat tidak serta merta
langsung memiliki tanah tersebut karena alas haknya adalah pewarisan, bukan
tanah dengan hak miliknya seorang saja.

III. Kesimpulan
Berdasarkan uraian teori dan analisis yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan putusan hakim kurang tepat karena mengabulkan petitum penggugat
yang meminta obyek sengketa (tanah) dinyatakan sah serta merta menjadi miliknya.
Sementara butir putusan yang menyatakan perbuatan Tergugat II yang
membaliknamakan SHM menjadi atas nama mereka merupakan PMH adalah tepat,
namun ditemukan alasan berbeda dengan alasan hakim. Putusan hakim yang kali ini
menyampingkan hak Tergugat I selaku pembeli beritikad baik adalah sudah tepat,
namun terkait tindakan yang harus dieksekusi, bukan serta merta kembali kepada

16
M. A. Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hlm. 175.
17
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,
dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: sinar Grafika, 2009), hlm. 811.

10
Penggugat, melainkan kembali ke keadaan awal sebelum tanah diperjualbelikan
atau dengan kata lain kembali ke keadaan ketika SHM masih atas nama Supinah.

DAFTAR PUSTAKA

A. P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1994


Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia., Surabaya: Arkola,
2003
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty,
2000
Philippe Nonet & Philip Selznick. Hukum Responsif, Pilihan di Masa Transisi.
Penerjemah Rafael Edy Bosco, Jakarta: Ford Foundation-HuMa, 2003
John Klein, “Good Faith in International Transactions,” The Liverpool Law Review ,
Vol. XV No. 2 1993
Putusan No. 2925/K/PDT/2012
Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta: Program
PascaSarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
Reinhard Zimmermann dan Simon Whittaker, eds., Good Faith in European Contract
Law Cambridge: Cambridge University Press, 2000
Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, Bandung: Alumni, 1979
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku II, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1995
Djaja S. Meliala, Masalah Itikad Baik Dalam KUH Perdata, Bandung: Binacipta, 1987
Subekti, Aneka Perjanjian, Cet. 10 Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995
Mahkamah Agung, Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia II Hukum Perdata dan
Acara Perdata, Jakarta: Proyek Yurisprudensi Mahkamah Agung
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2003
M. A. Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1982
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: sinar Grafika, 2009.

11
12

Anda mungkin juga menyukai