Anda di halaman 1dari 11

PENDAPAT HUKUM

LEGAL OPINION
PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)

PENYEROBOTAN/PENGGELAPAN ATAS TANAH DAVIT ELECSON

A. POSISI KASUS

Berdasarkan investigasi awal terhadap persoalan hukum yang dihadapi


oleh Bapak DAVIT ELECSON diketahui peristiwa hukumnya sebagai berikut :

1. Bahwa pada Tahun 2018 Sdr DAVIT ELECSON dan Sdri VINDY di mana
masing-masing keduanya selaku Pembeli telah melakukan transaksi
Jual beli atas masing-masing sebidang tanah Dengan Sdr RUSLI selaku
Penjual melalui Surat Perjanjian Jual Beli Tanah yang masing-masing
baik Surat Perjanjian Jual Beli Sdr DAVIT ELECSON maupun Sdri
VINDY terhadap Sdr RUSLI ditandatangani pada tanggal yang sama
yakni 23 Agustus 2018;
2. Bahwa Pada tahun 2019 Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Morowali
telah mengeluarkan Keputusan Nomor : 32/HM/BPN.19.06/2019
tentang Pemberian Hak Milik Atas Nama Davit Elecson Atas Tanah Di
Bahodopi Kecamatan Bahodopi Kabupaten Morowali dan Keputusan
Nomor: 33/HM/BPN.19.06/2019 tentang Pemberian Hak Milik Atas
Nama Vindy Atas Tanah Di Bahodopi Kecamatan Bahodopi Kabupaten
Morowali;
3. Bahwa setelah pengurusan bebagai dokumen muasal yang berdasar
pada peristiwa Jual Beli sebagaimana dimaksudkan pada angka 1 dan
angka 2 lebih lanjut dilakukan pengurusan penerbitan Sertifikat Hak
Milik;
4. Bahwa berdasarkan 2 (dua) Keputusan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten Morowali tersebut di atas, yang kemudian ditindaklanjuti
menjadi dasar dari pembuatan Sertifikat Hak Milik terhadap objek Jual
Beli yang dimaksudkan;
5. Bahwa terhadap objek tanah telah diterbitkan Sertifikat Nomor 02257
Tahun 2019 / Desa Bahodopi Kecamatan Bahodopi, Surat Ukur
01556/Bahodopi/2018 tanggal 19 Desember 2018 Dengan Luasan
2.150 M2 atas nama DAVIT ELECSON dan Sertipikat Nomor 02258
Tahun 2019 / Desa Bahdopi Kecamatan Bahodopi, Surat Ukur
01555/Bahodopi/2018 tanggal 19 Desember 2018 Dengan Luasan
2.150 M2 atas nama VINDY;
6. Bahwa Pada tahun 2019, baik Sdr DAVIT ELECSON dan Sdri VINDY
telah melakukan kegiatan dalam bentuk penguasaan terhadap tanah a
quo yang telah mereka sertiikatkan. Di mana tanah yang tadinya
berbentuk rawa (terdapat genangan air) dilakukan penimbunan material
Pasir dan pemerataan bidang tanah;
7. Bahwa di Tahun yang sama negara Indonesia bahkan Dunia terserang
wabah Virus Covid-19 yang mengakibatkan Sdr. DAVIT ELECSON dan
Sdri VINDY tidak dapat melanjutkan aktivitas di atas tanah a quo ;
8. Bahwa Sekitar Tahun 2022 Sdr DAVIT ELECSON dan Sdri VINDY ingin
memulai kembali aktivitas di atas tanah a quo, Namun yang
mengagetkan ternyata tanah milik mereka tersebut sudah dikuasai oleh
orang-orang yang tidak bertanggungjawab dengan cara mendirikian
bangunan-bangunan semi permanen untuk kegiatan usaha di atas
tanah milik Sdr. DAVIT ELECSON dan Sdri VINDY;
9. Bahwa bentuk penguasaan tanah yang dilakukan orang-orang yang
tidak bertanggung jawab dengan mendirikan bangunan-bangunan semi
permanen pada kenyataannya tidak didasari dengan alas dasar hukum
yang jelas sehingga tindakan tersebut sangat merugikan Sdr DAVIT
ELECSON dan Sdri VINDY yang pada akhirnya tidak dapat beraktivitas
di atas tanah a quo. Dengan demikian tindakan yang dilakukan orang-
orang tersebut patut dikatakan sebagai tindakan Penyerobotan (Pidana)
dan juga dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (Perdata).
B. PENDAPAT HUKUM

Beranjak dari persoalan hukum (Posisi Kasus) yang dihadapi maka adapun
Pendapat Hukum yang kami ajukan dengan pertimbangan sebagai berikut :

1. Kekuatan Hukum Dokumen


Dokumen yang dimiliki

1. Sertipikat Nomor 02257 / Desa Bahodopi Kecamatan Bahodopi,


Surat Ukur 01556/Bahodopi/2018 tanggal 19 Desember 2018
Dengan Luasan 2.150 M2 atas nama DAVIT ELECSON.

2. Sertipikat Nomor 02258 / Desa Bahodopi Kecamatan Bahodopi,


Surat Ukur 01555/Bahodopi/2018 tanggal 19 Desember 2018
Dengan Luasan 2.150 M2 atas nama VINDY.

Kekuatan Hukum Sertifikat Hak Milik sebagai Dokumen AUTENTIK.


- Berdasarkan Pasal 1868 KUHPer menyatakan bahwa akta otentik
adalah akta yang dibuat dengan bentuk yang sudah ditentukan
undang-undang atau dihadapan pegawai umum yang
berkewenangan untuk membuat akta tersebut. Misalnya dibuat
oleh notaris, Pejabat Pencatat Akta Tanah (PPAT) atau pejabat
tertentu lainnya yang memiliki kewenangan akan hal tersebut. yang
di dalamnya juga termasuk Sertifikat Hak Milik (SHM).
- Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf C Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA), sertifikat hak atas tanah merupakan
alat bukti yang kuat (Autentik) artinya : harus dianggap yang benar
sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya di pengadilan dengan
alat bukti yang lain;
- Bahwa surat-surat tanda bukti hak itu berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat berarti, bahwa keterangan-keterangan yang
tercantum di dalamnya (oleh hakim) sebagai keterangan yang benar
selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian yang lain yang
membuktikan sebaliknya.
- Bahwa konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum
agraria Nasional membagi hak-hak atas tanah dalam 2 (dua) bentuk
yakni bersifat Primer dan Sekunder. bahwa yang dimaksudkan Hak
bersifat Primer adalah hak atas tanah yang dapat dimiliki atau
dikuasai secara langsung. Sedangkan Hak yang bersifat Sekunder
adalah hak yang bersifat sementara dan hanya dapat dinikmati
dalam waktu yang terbatas, semisalnya hak gadai, hak usaha bagi
hasil hak menyewa dan lain-lainnya.
- Bahwa salah satu hak yang termasuk dalam kategori bersifat Primer
adalah Hak Milik atau biasa dikenal dengan Sertifikat Hak Milik
(SHM). Sebab hak milik merupakan Hak Primer yang paling utama,
terkuat dan terpenuh, di bandingkan dengan hak-hak Primer lainnya,
seperti hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atau hak-
hak lainnya sebagaimana hal ini ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan
bahwa :

“Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam
Pasal 6”.

Menurut A.P. Parlindungan, kata-kata terkuat dan terpenuh itu,


bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak
guna bangunan, hak pakai atau hak-hak lainnya.

2. Upaya Hukum Yang Dilakukan


Bahwa sebagaimana telah terurai dalam penawaran yang diajukan maka
yang menjadi Upaya Hukum yang dapat dilakukan adalah :
a. Upaya Hukum PIDANA
Dalam tidakan upaya hukum Pidana dilakukan dengan cara
Pelaporan langsung dalam Bentuk Laporan Polisi pada wilayah
hukum kepolisian setempat (Lokasi Objek Tanah). Dengan dilakukan
upaya laporan polisi tersebut diharapkan dapat menjadi
pertimbangan :
- Memberikan Daya Paksa untuk melakukan Tindakan
Pengosongan Secara Sukarela terhadap Objek Tanah yang
dimaksud;
- Memberikan Win-Win solusi terhadap pemecahan persoalan
hukum melalui upaya Retorative Justice;
- Memberikan efek jerah pada pelaku yang telah menguasai tanpa
hak dan ijin dari pemilik hak yang sah sesuai dengan hukum
yang berlaku.
b. Upaya Hukum PERDATA
Bahwa selain dari Tindakan upaya hukum Pidana ada pula upaya
hukum secara PERDATA yang kemudian akan dilakukan untuk
menjadi pertimbangan agar terhadap objek sengketa dapat dilakukan
upaya paksa (EKSEKUSI) terhadap Objek Sengketa melalui Putusan
Pengadilan.
3. Upaya Hukum KTUN
Bahwa agar mendapat kepastian hukum secara pengesahan atas
pemberlakuan Keputusan Tata Usaha Negara yang saling
pertentangan maka di pandang perlu di alkukannya Tindakan Upaya
Hukum Tata Usaha Negara dengan pertimbangan apabila
terbapatnya 2 dokumen autentuk (Sertifikat Hak Milik) terhadap objek
yang sama sehingga gugatan KTUN ini bertujuan agar dapat
membatalkan salah satu KTUN yang saling bertentangan tersebut.

B. Dasar Hukum Dan Alas Hak

a. Dasar Hukum
1. Pasal 385 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
KUHPidana
2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 tahun
1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak
atau kuasanya
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

C. Analisis Hukum
Bahwa untuk menganalisis permasalahan sebagaimana telah diuraikan
diatas, maka tim akan menjelaskan sebagai berikut :

1. Bagaimana upaya hukum dan aturan terhadap


penyerobotan/penggelapan atas tanah ?

Penyerobotan atau kegiatan menyerobot mengandung arti


mengambil hak atau harta dengan sewenang-wenang atau dengan tidak
mengindahkan hukum dan aturan. Beberapa bentuk konkrit dari
tindakan penyerobotan tanah, antara lain mencuri, merampas,
menduduki atau menempati tanah atau rumah secara fisik yang
merupakan milik sah orang lain, mengklaim hak milik secara diam-
diam, melakukan pematokan atau pemagaran secara ilegal, melakukan
penggarapan tanah, melakukan penjualan suatu.

Ringkasnya, kegiatan seperti mengambil atau merebut tanah milik


orang lain demi mengambil keuntungan pribadi sering disebut sebagai
tindakan penyerobotan tanah. Perbuatan ilegal ini tentunya akan
merugikan siapapun karena termasuk tindakan yang melawan hukum,
terlebih lagi apabila tanah atau properti tersebut dipergunakan untuk
kepentingan lain, yaitu sebagai lahan usaha.

Dalam KUHP Buku II Bab XXV, perbuatan curang seperti


penyerobotan tanah dapat diancam dengan hukuman pidana penjara
maksimal empat tahun. Pasal 385 terdiri dari 6 ayat ini mendefinisikan
secara jelas akan tindakan kejahatan tersebut. Segala bentuk kejahatan
yang terdapat dalam pasal 385 ini disebut dengan kejahatan Stellionaat,
yang mana merupakan aksi penggelapan hak atas harta yang tak
bergerak milik orang lain, seperti tanah, sawah, kebun, gedung, dll.

Secara ringkas, keseluruhan isi pasal tersebut menyatakan segala


perbuatan melanggar hukum seperti dengan sengaja menjual,
menyewakan, menukarkan, menggadaikan, menjadikan sebagai
tanggungan utang, menggunakan lahan atau properti milik orang lain
dengan maksud untuk mencari keuntungan pribadi atau orang lain
secara tidak sah atau melawan hukum yang berlaku.

Pasal 385 KUHP ini merupakan satu-satunya pasal KUHP yang


sering digunakan oleh pihak penyidik dan penuntut umum untuk
mendakwa pelaku penyerobotan tanah, khususnya pada ayat (1) yang
berbunyi: “barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau
membebani dengan credietverband sesuatu hak atas tanah Indonesia,
sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan, padahal
diketahui bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak atasnya
adalah orang lain.

Namun secara umum, ada aturan hukum selain KUHP pasal 385,
penyerobotan tanah terhadap hak atas tanah dalam artian lebih luas
juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 1960 (Perpu 51/1960) tentang Larangan Pemakaian
Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya, tepatnya pada pasal 2
dan 6.

PERPU ini pun telah memberikan jalan keluar untuk


menyelesaikan persoalan pemakaianan tanah tanpa izin. Dalam
menyelesaikannya PERPU menganjurkan agar pemerintah daerah turun
tangan ketika ada pihak yang merasa dirugikan ketika tanahnya
diduduki oleh pihak lain yang tidak berhak. Jika pemerintah daerah
gagal memediasi atau menyelesaikan persoalan tersebut, maka langkah
selanjutnya adalah melaporkan ke penegak hukum (Pasal 6) Jo Pasal
385 KUHPidana.

Dengan adanya aturan hukum yang jelas dan pasti tersebut,


bahwa pihak bapak DAVIT ELECSON yang berhak atas tanah dengan
alas hak yang legal secara hukum dapat melakukan langkah hukum
baik pidana maupun perdata untuk menjerat perbuatan pelaku
penyerobotan tanah. Dalam kasus ini, unsur yang harus terpenuhi
yaitu adanya unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan,
menjadikan sebagai tanggungan utang” yang artinya kurang lebih
sebagai perbuatan seseorang yang menguasai, menyewakan, menjual,
atau menukarkan tanah yang bukan miliknya kepada pihak lain dan
memperoleh keuntungan atas perbuatannya tersebut.

2. Apakah mekanisme penyerobotan/penggelapan atas tanah melalui


proses pidana (putusan pengadilan) dapat mengeksekusi penyerobot
tanah untuk keluar dari penguasaan tanah yang diserobot ?

Pasal 385 yang mengatur tentang penyerobotan tanah yang ada


dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, belum bisa membuat
kasus penyerobotan tanah bisa dengan mudah diselesaikan di tingkat
peradilan Pidana (dengan suatu Putusan Pidana) . Hal tersebut
dikarenakan Mekanisme Proses Penyelesaian Kasus Penyerobotan Tanah
melalui Hukum Pidana bertujuan untuk menghukum orang/badan
(sebagai subjek hukum) atas pelaku atau perbuatan penyerobotan atas
tanah yang bukan miliknya, sehingga bisa terlihat dalam praktek
(pengalaman yang sudah terjadi) ketika adanya keputusan pengadilan
atas kasus pidana tentang penyerobotan tanah, belum bisa digunakan
untuk mengeksekusi lahan yang disengketakan atau yang diserobot,
karena putusan pidana hanya sebatas menghukum perbuatan/perilaku
orang yang melakukan penyerobotan tanah, sehingga hak penguasaan
atas tanah tersebut pada umumnya masih harus diselesaikan melalui
gugatan secara perdata dan setelah mendapatkan kepastian hukum
melalui putusan perdata, selanjutnya bermohon pelaksanaan eksekusi
kepada pengadilan, barulah kepemilikan atas tanah yang diserobot
orang dapat memilikinya kembali.

E. Kesimpulan

Terhadap masalah hukum yang dihadapi bapak Davit Elecson terhadap


penyerobotan tanah miliknya yang secara hukum mempunyai alas hak atas
kepemilkan tanah yang sah dan legal dapat dilakukan upaya hukum melalui
mekanisme proses hukum pidana dan perdata. Upaya hukum mekanisme
proses hukum pidana untuk menghukum orang/badan (sebagai subjek
hukum) atas pelaku atau perbuatannya terhadap penyerobotan atas tanah
sedangkan Upaya hukum dengan mekanisme proses hukum perdata melalui
gugatan perbuatan melawan hukum di pengadilan negeri untuk
mengembalikan hak penguasaan tanah secara penuh kepada bapak Davit
Elecson.

F. SARAN

Langkah Hukum yang dilakukan dalam menyelesaikan kasus


penyerobotan langkah pertama : Dapat dilakukan upaya mediasi pada
instansi yang berwenang sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 1960 (Perpu 51/1960) tentang Larangan Pemakaian
Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya, dalam menyelesaikannya
persoalan pemakaianan tanah tanpa izin. PERPU menganjurkan agar
pemerintah daerah turun tangan (memberikan akses dan fasilitas untuk
melakukan mediasi) ketika ada pihak yang merasa dirugikan ketika tanahnya
diduduki oleh pihak lain yang tidak berhak.

Langkah Kedua : Dengan melakukan upaya litigasi melalui mekanisme


proses peradilan pidana dengan membuat Laporan Polisi terkait delik Pasal
385 KUHPidana tentang penyerobotan/penggelapan untuk menjerat pelaku
penyerobot tanah yang kemudian didalamnya berdasarkan ketentuan
Praturan Kepolisian Repoblik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 dapat dilakukan
upaya Restorative Justice dengan maksud dapat diselesaikannya suatu
perkara melalui jalur MEDIASI para pihak dengan tujuan mencapai
kesepakatan seluruh piihak dan memberikan kesempatan kepada TERLAPOR
untuk keluar dan mengembalikan objek tahan a quo kepada pemilik yang sah
dalam keadaan damai dan aman.

Langkah Ketiga : dengan mengajukan gugatan secara perdata


perbuatan melawan hukum di pengadilan negeri untuk mengembalikan hak
penguasaan tanah secara penuh yang dengan adanya putusan perdata
tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial.

Anda mungkin juga menyukai