Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MATA KULIAH

KAPITA SELEKTA HUKUM TANAH

Anggota Kelompok:

Adil Supatra Akbar (1906326756)


Aviceena Pratikto (1906326983)
Donny Indradi (1906327166)
Renaldo Dionisius (1906411542)
M. Harry Fadly Solih (1906327525)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK 2019
DAFTAR ISI

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
2. Kasus Posisi dan Amar Putusan
3. Rumusan Masalah
B. Tinjauan Pustaka
1. Jual Beli Tanah
2. Pemeliharaan Pendaftaran Tanah
C. Pembahasan
1. Mekanisme Jual Beli Tanah
2. Hak Atas Tanah berupa Hak Guna Bangunan
3. Pemeliharaan Pendaftaran Tanah
D. Kesimpulan dan Saran
E. Daftar Pustaka

1
1. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Sejak bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945, maka mulai sejak saat itu merupakan titik awal bagi perkembangan
politik hukum bangsa Indonesia. Dengan telah dinyatakan kemerdekaan bangsa
Indonesia, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 pemerintah negara Indonesia
membentuk Undang-Undang Dasar Negara sebagai dasar konstitusional
pelaksanaan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan bangsa dan negara
diberbagai bidang kehidupan, termasuk di dalamnya titik awal pembangunan
hukum nasional kita.
Undang- Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 33 ayat 3, menyatakan :
“Bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat” Tanah bagi pemenuhan kebutuhan untuk pembangunan di Indonesia
semakin meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun sebagai tempat untuk
kegiatan usaha. Sehubungan dengan hal tersebut akan meningkat pula kebutuhan
akan dukungan berupa jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan.
Dalam hukum adat “jual beli tanah” bukan perbuatan hukum jual beli tanah
dalam hukum adat merupakan perbuatan pemindahan atau peralihan hak
pembayaran tunai. Artinya, harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada saat
dilakukan jual beli.1
Sebelum membuktikan hak milik dari jual beli maka seseorang harus
melakukan proses peralihan hak milik terlebih dahulu seperti yang dijelaskan dalam
Undang Undang No 5 tahun 1960 pasal 23 UUPA menjelaskan bahwa: “Hak
milik,demikian pula setiap peralihan,hapusnya dan pembebanannya dengan hak
hak lain harus didaftarkan”. Agar jual beli yang dilakukan nantinya akan
mendapatkan kepastian hukum. Selanjutnya apabila tanah yang sudah berpindah
kepemilikannya itu harus didaftarkan seperti ketentuan pasal 19 UU No. 5 tahun
1960 tentang pendaftaran tanah, supaya nantinya mendapatkan bukti kepemilikan
dengan akta tanah.

1Soedarya Saimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (Sinar Grafindo: Jakarta) hal.
356

2
Namun dalam realitanya masih banyak praktek jual beli tanah yang tidak
sesuai dengan undang –undang No.05 tahun 1960 UUPA tentang jual beli tanah. Di
Kota Bekasi penerapan undang undang tersebut masih sangat minim, di Kota ini
masih ditemukan praktek jual beli tanah yang prosedurnya tidak sesuai dengan apa
yang dijelaskan dalam undang undang, salah satunya jual beli yang masih sering
dilakukan adalah jual beli dibawah tangan, jual beli tanah waris, kasus seperti ini
penulis temukan di Pengadilan Negeri Bekasi dalam putusannya Nomor
567/Pdt.G/2018/PN.Bks.
Berdasarkan uraian diatas dan permasalahan hokum yang timbul setelahnya,
maka Penulis memilih judul “Analisa Jual Beli Tanah dalam Putusan Pengadilan
Negeri Bekasi Nomor 567/Pdt.G/2018/PN.Bks. berdasarkan Hukum Tanah
Nasional”

b. Pokok Perkara dan Kasus Posisi


Pada tahun 2008 Wardjo (Penggugat) membeli tanah dan bangunan yang
terletak di Kota Bekasi dari Sahari (Tergugat) dengan bukti kepemilikan hak atas
tanah berupa Sertipikat Hak Guna Bangunan (“SHGB”) Nomor 686/Mustikajaya.
Pada saat itu Jual beli dilakukan secara di bawah tangan dengan bukti pembelian
berupa kwitansi.
10 (sepuluh) tahun kemudian Wardjo bermaksud memenuhi ketentuan
hukum yang berlaku sehubungan dengan jual beli tanah SHGB tersebut dengan cara
membuat Akta Jual Beli (“AJB”) dihadapan PPAT. Akan tetapi saat ingin membuat
AJB dihadapan PPAT Sahari sudah tidak diketahui lagi keberadaannya.
Berdasarkan hal tersebut Wardjo menggugat Sahari ke Pengadilan Negeri Bekasi
dan meminta kepada Pengadilan Negeri Bekasi antara lain untuk:
1. Menyatakan sah jual beli antara Wardjo dan Sahari berdasarkan kwitansi;
2. Menyatakan Wardjo sebagai pemilik SHGB Nomor 686/Mustikajaya tersebut;
3. Memberi izin kepada Wardjo untuk mewakili Sahari selaku penjual,
melakukan transaksi dan menandatangani Akta Jual Beli dihadapan PPAT;

c. Petitum dan Amar Putusan


i. Petitum Penggugat:

3
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan Sah jual beli antara Tergugat dengan Penggugtat
berdasarkan Kwitansi penerimaan uang bermaterai cukup sebesar Rp
40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) tertanggal 13 September 2008
dan kwitansi sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) pada
tanggal 3 Oktober 2008;
3. Menyatakan Penggugat sebagai pemegang hak yang sah atas sebidang
tanah Hak Guna Bangunan Nomor 686/Mustikajaya, seluas 72 m2
(tujuh puluh dua meter persegi), yang terletak di Kota Bekasi,
kecamatan Mustikajaya (dh. Tambun), Kelurahan Mustikajaya,
setempat dikenal sebagai Perumahan Pondok Timur Indah Blok F
nomor 187;
4. Menyatakan Penggugat sebagai pembeli yang beritikad baik;
5. Menyatakan apabila Tergugat tidak hadir, sehingga perkara ini
dinyatakan diputus secara verstek maka memberi izin dan kuasa kepada
Penggugat untuk mewakili Tergugat selaku Penjual dan Penggugat
bertindak untuk diri sendiri selaku pembeli, melakukan transaksi dan
menandatangani Akte Jual Beli dihadapan Notaris/Perjabat Pembuat
Akta Tanah yang berwenang;
6. Ex aequo et bono (putusan yang seadil-adilnya);

ii. Amar Putusan


1. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil dengan patut tidak datang
menghadap;
2. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya dengan verstek;
3. Menyatakan Sah jual beli antara Tergugat dengan Penggugat
berdasarkan Kwitansi penerimaan uang bermaterai cukup sebesar Rp.
40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) tertanggal 13 September 2008
dan kwitansi sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) pada
tanggal 3 Oktober 2008;
4. Menyatakan Penggugat sebagai pemegang hak yang sah atas sebidang
tanah Hak Guna Bangunan Nomor 686/Mustikajaya, seluas 72 m2

4
(tujuh puluh dua meter persegi), yang terletak di Kota Bekasi,
Kecamatan Mustikajaya, Kelurahan Mustikajaya, setempat dikenal
sebagai Perumahan Pondok Timur Indah Blok F nomor 187;
5. Menyatakan Penggugat sebagai pembeli yang beritikad baik;
6. Menyatakan memberi izin dan kuasa kepada Penggugat untuk mewakili
Tergugat selaku Penjual dan Penggugat bertindak untuk diri sendiri
selaku pembeli, melakukan transaksi dan menandatangani Akte Jual
Beli dihadapan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang;
7. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam
perkara ini sebesar Rp. 4.796.000,- (empat juta tujuh ratus sembilan
puluh enam ribu rupiah);

d. Rumusam Masalah
Berdasarkan latar belakang dan uraian kasus tersebut diatas, dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
a. Mekanisme jual beli tanah dalam kasus a quo;
b. Terjadinya peralihan hak atas dalam kasus a quo;
c. Pemeliharaan data tanah.

2. TINJAUAN PUSTAKA
a. Jual Beli Tanah
i. Jual Beli Secara Umum
Menurut Prof. Subekti, “Jual beli adalah suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik atas
suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan”. Perjanjian jual beli merupakan perjanjian yang kita lakukan
sehari-hari, namun kadang kita tidak menyadari jika apa yang kita lakukan
merupakan suatu perbuatan hukum yang memiliki akibat-akibat hukum
tertentu. Perjanjian jual beli yang dilakukan dengan sederhana tentu saja
tidak banyak menimbulkan masalah.
Perjanjian jual beli yang terjadi antara penjual dan pembeli tidak
selamanya merupakan perjanjian jual beli yang sederhana bahkan tidak

5
jarang menimbulkan masalah, oleh karena itu diperlukan aturan hukum
yang mengatur tentang berbagai kemungkinan yang dapat timbul dalam
perjanjian jual beli2.
ii. Jual Beli Tanah
Berdasarkan Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli dalam lingkup
Hukum Perdata hanya bersifat obligatoir, yang artinya perjanjian jual beli
baru meletakkan hak dan kewajiban timbal balik antara kedua belah pihak,
Dengan kata lain jual beli yang dianut Hukum Perdata belum
memindahkan hak milik, sedangkan berpindahnya hal milik atas suatu
barang haruslah dilakukan dengan penyerahan atau levering3.
Khusus untuk benda yang tidak bergerak, Pasal 1458 KUHPerdata
mengatur secara spesifik bahwa jual beli benda tidak bergerak telah
dianggap terjadi walaupun benda tidak bergerak tersebut belum diserahkan
atau harganya belum dibayar. Sehingga untuk melakukan pemindahan hak
itu masih diperlukan suatu perbuatan hukum lain berupa penyerahan yang
caranya ditetapkan dengan suatu peraturan lain.
Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa menurut Hukum
Perdata, jual beli tanah haruslah dilakukan dengan cara yang diatur dalam
Pasal 1458 KUHPerdata dimana penyerahan kepemilikan tanah haruslah
dilakukan dengan suatu perbuatan hukum yang lainnya.
Menurut Hukum Tanah Nasional, ketentuan mengenai jual beli
tanah terdapat pada hukum adat dan UUPA. Keduanya melihat jual beli
tanah dengan pengertian yang sama. Berdasarkan Pasal 5 UUPA maka
pengertian jual beli tanah hak milik menurut UUPA tidak lain adalah
pengertian jual beli menurut huku adat4.
Menurut hukum adat jual beli tanah adalah suatu pemindahan hak
atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan
pemindahan haktersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang

2 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007), hal. 125-126
3 Soedharyo Soimin, Status Hak Dan Pembebasan Tanah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),

hal .86
4 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas TanahDan Pendaftarannya, Edisi 1, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2010), cet-4, hal. 149

6
berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya
perbuatan pemindahan hak tersebut, sehingga perbuatan tersebut diketahui
oleh umum. Sedangkan tunai dimaksudkan bahwa perbuatan pemindahan
hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak5.
b. Pemeliharaan Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah secara etimologi berasal dari kata cadastre, suatu istilah
teknis untuk suatu rekaman (record) atau catatan, yang menunjukkan kepada luas,
nilai, dan kepemilikan terhadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa
Latin yaitu capistratum yang berarti suatu register atau capita atau unit yang
diperbuat untuk pajak tanah Romawi. Cadastre dapat diartikan sebagai catatan pada
lahan-lahan, atau nilai dari tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan
perpajakan, sehingga dapat pula diartikan sebagai alat yang tepat untuk
memberikan suatu uraian dan identifikasi tersebut dan sebagai rekaman
berkesinambungan dari hak atas tanah6.
Menurut Prof. Boedi Harsono pendaftaran tanah ialah suatu proses yang
meliputi rangkaian kegiatan oleh Negara atau Pemerintah secara terus menerus dan
teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah
tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan, dan
penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan
kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda buktinya dan
pemeliharaannya7.
Pasal 1 angka 1 PP No. 24 Tahun 1997 juga telah memberikan definisi
mengenai pendaftaran tanah yang sesuai dengan doktrin tersebut diatas, yaitu:
“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan
data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-

5 Ibid., hal. 72
6 A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia (Berdasarkan PP No. 24/1997
dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah PP. 37 Tahun 1998),
(Bandung: CV.Mandar Maju, 1999), cet-I, hlm. 18-19.
7 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid I, Edisi Revisi, (Jakarta: Djambatan, 2007), cet-11,
hlm.72.

7
bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat
tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan
hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.”

3. PEMBAHASAN
a. Mekanisme Jual Beli Tanah Dalam Kasus a Quo
Pengadilan Negeri Bekasi dalam putusannya Nomor
567/Pdt.G/2018/PN.Bks memutuskan bahwa jual beli yang terjadi antara Tuan
Sahari (Tergugat) dan Wardjo (Penggugat) adalah sah berdasarkan bukti berupa
kwitansi penerimaan uang bermeterai cukup sebesar Rp 40.000.000,- (Empat Puluh
Juta Rupiah) tertanggal 13 September 2008 dan kwitansi sebesar Rp 10.000.000,-
(Sepuluh Juta Rupiah), pada tanggal 1 Oktober 2008.
Menurut kami dengan dinyatakan sahnya jual beli atas sebidang tanah
tersebut Pengadilan memutuskan bahwa telah terjadi peralihan hak atas tanah dari
Sahari (Tergugat) kepada Wardjo (Penggugat). Menurut pendapat kami hal tersebut
dapat dibenarkan karena telah sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung
Nomor 126.K/Sip/1976 tanggal 4 April 1978 yang memutuskan:“Untuk sahnya
jual beli tanah, tidak mutlak harus dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah. Akta Pejabat ini hanyalah suatu alat bukti”. Selain
itu menurut pendapat Boedi Harsono, jual beli yang tidak dibuat dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) tetap sah, jadi hak miliknya berpindah dari si penjual
kepada si pembeli, asal saja jual beli itu memenuhi syarat-syarat materiil (baik yang
mengenai penjual, pembeli maupun tanahnya).8
Di dalam hukum tanah nasional setelah berlakunya Undang-Undang No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pengertian jual beli
tanah bukan lagi suatu perjanjian seperti yang diterangkan dalam pasal 1457 jo
pasal 1458 KUHPerdata. Akan tetapi, jual beli tanah berarti pihak penjual
menyerahkan tanah dan pembeli membayar harga tanah, maka perpindahan hak atas

8Saleh Adiwinata, Bunga Rampai Hukum Perdata dan Tanah 1, Cetakan Pertama. Raja
Grafindo Persada, Jakarta,1984, hal. 79-80.

8
tanah itu kepada pembeli perbuatan hukum perpindahan hak ini bersifat tunai,
terang dan riil.9
Bersifat tunai berarti dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak
atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain untuk selama lamanya,
dengan disertai pembayaran sebagian atau seluruh harga tanah tersebut. Bersifat
terang berarti perbuatan hukum pemindahan hak tersebut dilakukan dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Bersifat riil artinya adalah Akta yang ditandatangani oleh kedua belah pihak bersifat
nyata atau riil.10
Sahnya jual beli tanah ditentukan apabila telah memenuhi syarat materiil
dari perbuatan jual beli yang bersangkutan, yaitu:
a. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan;
b. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan;
c. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjual belikan menurut
hukum;
d. Tanah hak yang bersangkutan tidak dalam sengketa.
Di dalam putusan Pengadilan Negeri Bekasi tersebut diatas, Hakim
menetapkan sahnya jual beli didasarkan pada kwitansi yang ditandatangani oleh
Tergugat dan Penggugat dengan meterai yang cukup, meskipun tanpa adanya akta
otentik. Hal ini telah sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung
No:123/K/SIP/1970 bahwa hakim berhak menilai sah atau tidaknya suatu perbuatan
hukum materiil yang merupakan jual beli (matereile handeling van verkoop).
Secara etimologis, kwitansi berasal dari Bahasa belanda, yaitu “kwitantie”
yang berarti tanda terima atau tanda bayar atau pembebasan. Orang yang namanya
tercantum dalam surat itu dan kemudian menguasainya, dianggap telah memenuhi
pembayaran.11
Berdasarkan sifat pembuktiannya, kwitansi merupakan alat bukti dibawah
tangan yang pembuktiannya bersifat formil. Akan tetapi, kwitansi dapat menjadi

9 Sumaryono, Jual Beli Tanah Yang Dilakukan Tanpa Akta Jual Beli Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT), (Semarang: Penerbit Universitas Diponegoro, 2009), hal. 31
10 Ibid., hal. 31

11 Imam Prayoga Suryohadibroto, Djoko Prakoso,1987, Surat Berharga Alat Pembayaran

Dalam Masyarakat Modern,Jakarta, P.T.Bina Aksara hlm 325

9
alat bukti yang sah dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila tanda
tangan yang tertera pada surat-surat tersebut diakui oleh para pihak.
Dalam kasus ini Penggugat mengakui tanda tangan yang tertera pada alat
bukti Potokopi Kwitansi Down Payment Pembayaran Rumah Bekasi Pondok Timur
Indah Bekasi sebesar Rp. 40.000.000,- (Empat Puluh Juta Rupiah) tanggal 13
September 2008 dan Potokopi Kwitansi sisa pembayaran rumah Pondok Timur
Bekasi sebesar Rp. 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah) tanggal 1 Oktober 2008. Hal
ini menurut kami yang menguatkan keyakinan hakim bahwa kwitansi tersebut
adalah benar. Keyakinan hakim juga diperkuat dengan keterangan saksi Rahayu
Supriatin yang membenarkan transaksi jual beli rumah antara Penggugat dengan
Tergugat.

b. Hak Atas Tanah Berupa Hak Guna Bangunan


Hak Guna Bangunan (HGB) diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor
5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria (“UUPA”) yaitu merupakan hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri
dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka
waktu paling lama 20 tahun.
Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) UUPA, yang dapat memiliki HGB adalah:
1. Warga Negara Indonesia;
2. Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
Selanjutnya dalam Pasal 36 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa : “Orang atau Badan
Hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi memenuhi dalam
jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak
lain yang memenuhi syarat”
HGB walaupun termasuk dalam kategori hak primer, tetapi memiliki jangka
waktu sebagai masa akhir pemilikan hak atau masa hapusnya hak tersebut. Dalam
Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah disebutkan HGB hapus karena:
a. berakhirnya jangka waktu sebagaimana waktu ditetapkan dalam keputusan
pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjiannya;

10
b. dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang HPL atau pemegang Hak
Milik sebelum jangka waktunya berakhir, karena :
1. Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau
dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 dan Pasal 32 atau;
2. Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang
tertuang dalam perjanjian pemberian HGB antara pemegang HGB dan
pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan
atau;
3. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
c. dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu
berakhir;
d. dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak-Hak Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya;
e. ditelantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan Pasal 20 ayat (2).
Dalam kasus ini diketahui bahwa Subyek HGB adalah Sahari selaku penjual
yang kemudian berpindah ke Wardjo selaku pembeli. Baik Sahari maupun Wardjo
keduanya adalah Warga Negara Indonesia sehingga mereka adalah orang-orang
yang berwenang memiliki HGB berdasarkan Pasal 36 UUPA. Menurut pendapat
kami Wardjo selaku pembeli HGB bermaksud untuk mendaftarkan HGB tersebut
kepada Kantor Pertanahan, karena dengan didaftarkannya HGB tersebut, akan
menguatkan posisi Wardjo selaku pemilik SHGB sesuai hukum pertanahan
Nasional. Untuk dapat mendaftarkan SHGB tersebut, Wardjo harus meng-Akta-kan
jual beli SHGB tersebut dihadapan PPAT selaku pejabat yang berwenang untuk itu.
Disamping itu SHGB juga memiliki jangka waktu dan apabila jangka waktu
tersebut habis dan tidak diperpanjang maka Wardjo akan kehilangan hak atas
tanahnya. Menurut pendapat kami, Wardjo sebaiknya mendaftarkan SHGB tersebut
sekaligus mengajukan permohonan perubahan hak dari HGB menjadi Hak Milik.

c. Pemeliharaan Data Tanah

11
Untuk menciptakan kepastian hukum atas hak atas tanah, UUPA
mengadakan pendaftaran tanah yang didalamnya memuat perbuatan hukum yang
berkaitan dengan peralihan hak atas tanah. Secara tersirat Pasal 19 ayat (2) huruf b
UUPA mewajibkan setiap peralihan hak atas tanah untuk dicatatkan dalam Buku
Tanah Nasional agar memberikan kepastian hukum pemegang hak atas tanah.
Apabila dilihat dari pemeliharaan dan pendaftaran tanah, meskipun secara
nyata adalah benar bahwa tanah Nomor 686/Mustikajaya seluas 72m² telah dibeli
oleh Penggugat yang dibuktikan dengan adanya kwitansi dan penyerahan
penguasaan atas sebidang tanah tersebut (levering), tetapi secara yuridis tanah
tersebut masih dimiliki oleh Tergugat sesuai dengan pendaftaran hak atas tanah
yang masih atas nama Tergugat.
Melihat ketentuan pada Pasal 94 ayat (2) PMNA Nomor 3 tahun 1997,
Peristiwa-peristiwa hukum yang berkaitan dengan perubahan data yuridis haruslah
dicatatkan kepada kantor pertanahan dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional.
Pendaftaran tanah dalam rangka pemeliharaan daftar tanah ini penting untuk
dilakukan karena dengan didaftarkannya hak atas tanah akan menimbulkan hal
sebagai berikut:
(1) Dengan diterbitkannya sertipikat hak atas tanah, maka kepada
pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.
(2) Dengan Informasi pertanahan yang tersedia di Kantor Pertanahan maka
pemerintah akan mudah merencanakan pembangunan Negara yang
menyangkut tanah, bahkan bagi rakyat sendiri lebih mengetahui kondisi
peruntukan tanah dan kepemilikannya.
(3) Dengan administrasi pertanahan yang baik akan terpelihara masa depan
pertanahan yang terencana12.

Pada kasus ini, Penggugat yang telah menguasai tanah milik tergugat setelah
terjadi jual-beli secara material yang dapat dibutktikan dengan bukti-bukti yang
dihadirkan di pengadilan menunjukkan bahwa Penggugat yang semula tak
mendaftarkan peralihan hak atas tanahnya tersebut karena belum mampu membayar

12AP Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Cetakan Kesembilan,


(Bandung : Mandar Maju, 2002), hlm.112.

12
biayanya, berupaya untuk mencari Tergugat agar dapat melakukan pendaftaran
peralihan hak atas tanah yang telah dikuasainya. Ini membuktikan bahwa meskipun
sebidang tanah telah diserahkan dan dikuasai kepada seorang pembeli dari penjual,
tidak serta merta hak atas tanah itu beralih kepadanya mengingat dalam sistem
hukum tanah nasional yang merujuk pada hak yang tercatat pada buku tanah
nasional, bukan penguasaan atas sebidang tanah.

4. KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan pembahasan terkait perkara tersebut diatas yang dilihat dari segi
hukum pertanahan nasional baik secara pemeliharaan data tanah maupun terkait
jual beli tanah, dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
1. Bahwa Mahkamah Agung pernah mengeluarkan Yurisprudensi
Mahkamah Agung Nomor 126.K/Sip/1976 tanggal 4 April 1978 yang pada
pokoknya menyebutkan: “Untuk sahnya jual beli tanah, tidak mutlak harus
dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Akta Pejabat ini hanyalah suatu alat bukti”. Dengan penegasan dari
Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut menjelaskan bahwa jual beli
tanah pada kasus a quo tetap dianggap sah meskipun tidak dilakukan di
depan pejabat yang berwenang untuk mencatat jual beli tanah.
2. Perpindahan hak atas tanah yang dilakukan dengan cara jual beli yang
dibuktikan dengan adanya kwitansi dan penyerahan surat-surat atas tanah
tersebut dari penjual (tergugat) kepada pembeli (penggugat) adalah suatu
perbuatan hukum yang bersifat tunai, terang dan riil, dan telah sesuai
dengan sifat dan asas-asas jual beli menurut Prof. Subekti.
3. Dalam kasus ini, dibutuhkan putusan pengadilan untuk menetapkan
sahnya jual beli tanah yang tidak dilakukan dengan cara peralihan hak atas
tanah tersebut dan untuk memberi izin pembeli mewakili penjual untuk
menandatangani akta jual beli di depan PPAT.
4. Meskipun jual beli tanah telah terjadi, secara yuridis hak atas tanah
tersebut masih tercatat nama penjual selama belum terjadi peralihan hak
atas tanah yang dilakukan dengan pemeliharaan data tanah. Sehingga
kehadiran penjual tetap diperlukan dalam pemeliharaan data.

13
Saran yang dapat diberikan berdasarkan kasus diatas adalah:
1. Pemeliharaan data tanah dilakukan secepatnya setelah terjadinya jual beli
khususnya jual beli yang tidak dilakukan di depan PPAT
2. Meskipun jual beli menggunakan kwitansi sah menurut yurisprudensi,
namun dalam hal pemeliharaan data tetap dibutuhkan kehadiran dua belah
pihak.

14

Anda mungkin juga menyukai