Anda di halaman 1dari 11

PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 359K/TUN/2017


ANTARA PT GARIS CAKRATAMA DAN DONNY GOZALIE MELAWAN KEPALA
KANTOR PERTANAHAN KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR DAN
PT BUMI INDIRA WISESA.

A. POSISI KASUS
1. Bahwa obyek sengketa adalah Surat Keputusan yang telah bersifat
konkrit, individual dan Final berupa:
a. Sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 1845/Pulogebang
kelurahan Pulogebang , Kecamatan Cakung, Kotamadya Jakarta
Timur. Provinsi DKI Jakarta, tanggal 14 Agustus 1984 seluas 319.628
M2. An. PT Asmawi Agung Corporation
b. Sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 1888/Pulogebang
kelurahan Pulogebang , Kecamatan Cakung, Kotamadya Jakarta
Timur. Provinsi DKI Jakarta, tanggal 10 September 1987 seluas
160.940 M2. PT Asmawi Agung Corporation
c. Sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 4061/Pulogebang
kelurahan Pulogebang , Kecamatan Cakung, Kotamadya Jakarta
Timur. Provinsi DKI Jakarta, tanggal 23 Juni 2005 seluas 125.487M2.
PT Bumi Indira Wisesa.
2. Bahwa kronologi terbitnya ketiga sertipikat Hak Guna Bangunan yang
menjadi obyek sengketa tersebut adalah semula berupa sertipikat HGB
nomor 1845 yang terbit pada tanggal 30 Juni 1986, kemudian dipecah
menjadi sertipikat HGB Nomor 1888 pada tanggal 30 September 1987
dan kemudian sertipikat itu dipecah lagi menjadi Sertipikat HGB Nomor
4061 pada tanggal 23 Juni 2005.
3. Bahwa PT GARIS CAKRATAMA merasa mempunyai hak atas dasar Akta
Pengoperan Hak Nomor 16 tanggal 31 Agustus 2009 terhadap tanah
seluas 4.500M2 yang dibuat dihadapan Notaris Ny. Ninik Kartini, S.H.
dan akta jual beli Nomor 41 tanggal 15 September 2009 yang dibuat

1
PPAT Iswandono Poerodinoto, S.H. atas tanah seluas 1030 M2. Ternyata
dikemudian hari diketahui berkas tanah yang digunakan sebagai dasar
jual beli adalah palsu berdasarkan Putusan PN Jakarta Timur
394/Pid.B/2013/PN Jk. Timur, Putusan MA Nomor 522K/PID/2016 dan
Putusan MA Nomor 1309K/PID/2014.
4. Dalam sengketa Perkara Tata Usaha Negara telah diputus dalam
Putusan No 131/G/2016/PTUN-JKT, Putusan Banding Nomor
78/B/2017/PT-TUN-JKT dan tingkat kasasi Putusan MA Nomor 359
K/TUN/2017.
5. Dalam Putusan Kasasi tersebut mengabulkan permohonan kasasi dan
membatalkan, Sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor
4061/Pulogebang kelurahan Pulogebang yang merupakan pecahan dari
Sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 1888/Pulogebang
kelurahan Pulogebang yang juga merupakan pecahan dari Sertipikat Hak
Guna Bangunan (HGB) Nomor 1845/Pulogebang kelurahan Pulogebang,
Kecamatan Cakung, Kotamadya Jakarta Timur. Provinsi DKI Jakarta.
6. Salah satu pertimbangan putusannya adalah ’Kantor Pertanahan harus
melihat peta bidang dalam melakukan pemecahan sertipikat tersebut
karena pemecahan tidak mungkin dapat dilakukan jika tanpa melihat
peta bidangnya untuk menentukan batas-batas tanah yang akan
dilakukan pemecahan. Bahwa sertipikat pecahan tersebut juga
terdapat warkah, yang termasuk pula peta bidang, bahwa keberadaan
warkah dalam penerbitan sertipikat sangat penting dan merupakan
faktor utama karena dengan adanya warkah maka tidak mungkin
terjadinya penerbitan sertipikat tidak pada tanah yang bersangkutan.

B. ISU HUKUM.
1. Apakah akta pengoperan hak yang dibuat dengan akta Notaris dapat
dijadikan dasar kepemilikan hak atas tanah?
2. Apakah jual beli yang didasarkan pada dokumen kepemilikan palsu
dapat mengakibatkan peralihan hak ?

2
3. Apakah hak yang baru diperoleh setelah terbitnya sertipikat dapat
dijadikan dasar untuk membatalkan sertipikat tanah tersebut?
4. Apakah Kantor Pertanahan dalam melakukan pemecahan dan
pemisahan sertipikat harus mendasarkan pada Petok/Girik/pipil
yang dijadikan dasar terbitnya sertipikat pertama kali ?
5. Apakah permohonan perpanjangan jangka waktu pemberian Hak
Guna Bangunan dapat dilakukan setelah lewatnya masa 2 (dua)
tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan?

C. DOKUMEN YANG DIJADIKAN DASAR PEMBUATAN PENDAPAT HUKUM


1. Foto Copy Putusan Perkara Tata Usaha Negara MA Nomor 359
K/TUN/2017.
2. Foto Copy Salinan Putusan Banding Nomor 78/B/2017/PT-TUN-JKT
3. Foto Copy Putusan No 131/G/2016/PTUN-JKT
4. Foto Copy Putusan Perkara Peninjauan Kembali No.504
PK/PDT/2016
5. Foto Copy Putusan Perkara Kasasi Perdata Nomor 2678K/PDT/2014
6. Foto Copy Salinan Putusan Banding Nomor 367/PDT/2013/PT.DKI
7. Foto Copy Salinan Putusan Perkara Perdata Nomor
400/Pdt.G/2011/PN.JKT.Tim.
8. Foto Copy Putusan PN Jakarta Timur 394/Pid.B/2013/PN Jk. Timur
9. Foto Copy Putusan MA Nomor 522K/PID/2016
10. Foto Copy Putusan MA Nomor 1309K/PID/2014

D. ANALISIS
D.1. PEROLEHAN HAK YANG DIDASARKAN AKTA PENGOPERAN HAK YANG
DIBUAT NOTARIS.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 UUPA bahwa hukum Agraria
yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat. Hukum
Pertanahan merupakan hukum agraria dalam arti sempit juga di dasarkan pada

3
hukum adat. Syarat untuk sahnya jual beli tanah menurut hukum adat jika telah
terpenuhi tiga unsur, yakni tunai, riil dan terang.1
Yang dimaksud dengan tunai adalah bahwa ada pembayaran yang
dilakukan oleh pembeli kepada penjual. Harga yang dibayarkan itu tidak harus
lunas, selisih harga yang belum dibayar dianggap sebagai utang pembeli kepada
penjual yang termasuk dalam lingkup hukum utang piutang. Sifat riil berarti
bahwa kehendak yang diucapkan harus diikuti dengan perbuatan nyata,
misalnya dengan telah diterimanya uang oleh penjual dan dibuatnya akta jual
beli di hadapan kepala desa. Dalam putusan Mahkamah Agung Tanggal 4
Desember 1957 Nomor 271 K/Sip/1956 menjelaskan sifat riil jual beli menurut
hukum adat sebagai berikut: “Sifat riil hanya berarti bahwa dengan
mengucapkan kata-kata dengan mulut saja, belumlah terjadi perjanjian jual beli,
namun harus sudah dibuatkan akta jual beli di muka Kepala kampung serta
penerimaan harga barangnya oleh penjual, yang dinyatakan oleh penjual secara
riil pelaksanaan maksudnya untuk memindahkan hak miliknya kepada
pembeli”2
Perbuatan hukum jual beli tanah tersebut disebut terang kalau
dilakukan di hadapan kepala desa untuk memastikan bahwa perbuatan itu
tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku.3
Prinsip jual beli dalam hukum adat tersebut kemudian diangkat dalam
hukum tanah nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa peralihan hak atas
tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar,
hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak
lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

1
Maria SW Sumarjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasinya,
Penerbit Buku Kompas, 2001, h.119
2
Mahadi, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854, Penerbit Alumni,
Bandung, 1991, h.119
3
Maria SW Sumarjono , Loc. Cit.

4
yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Boedi Harsono mengemukakan bahwa dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat modern yang terbuka lembaga jual beli tanah mengalami
modernisasi dan penyesuaian, tanpa mengubah hakikatnya sebagai perbuatan
hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya secara tunai,
serta sifat dan cirinya sebagai perbuatan riil dan terang. 4 Jual beli berdasarkan
Pasal 37 PP 24 Tahun 1997 diatas harus dibuktikan dengan akta PPAT. Hal
tersebut merupakan suatu perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan
mutu alat bukti perbuatan hukum yang dilakukan, yang menurut hukum
adatnya masyarakat yang terbatas lingkup personal dan teritorialnya, cukup
dibuatkan aktanya oleh penjual sendiri dan diketahui oleh Kepala Desa/Adat.
Untuk saat ini perbuatan hukum tersebut harus dibuat dengan akta PPAT.
Dengan demikian saat ini berdasarkan Pasal 37 PP 24 Tahun 1997 pejabat yang
mempunyai wewenang untuk membuat akta peralihan hak sebagai unsur
terang dalam jual beli adalah PPAT bukan notaris. Dengan ditandatanganinya
akta peralihan hak yang dibuat oleh PPAT, maka pada saat itu pula telah terjadi
peralihan hak.
Dari kasus diatas PT GARIS CAKRATAMA merasa mempunyai hak atas
dasar Akta Pengoperan Hak Nomor 16 tanggal 31 Agustus 2009 terhadap
tanah seluas 4.500M2 yang dibuat dihadapan Notaris Ny. Ninik Kartini, S.H.
maka berdasarkan Hukum Pertanahan belum terjadi peralihan hak atau dengan
kata lain belum menjadi hak dari PT GARIS CAKRATAMA.

D.2. JUAL BELI TANAH YANG DILAKUAN ATAS DASAR BUKTI HAK PALSU.
Sebelum melakukan jual beli dengan tunai, riil dan terang, maka para
pihak harus memenuhi syarat materiil dan formal.
Syarat materiil tersebut bahwa penjual harus berhak menjual,
berwenang melakukan penjualan tanah, dan boleh melakukan penjualan

4
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2007 h. 207.

5
tanahnya. Sedangkan pembeli harus berwenang untuk melakukan perbuatan
membeli tanah dan boleh membeli obyek tanah yang akan dibeli.
Penjual harus berhak atas tanah yang akan dijualnya , artinya tanah
tersebut benar-benar haknya yang dibuktikan dengan bukti hak atas tanah. Jika
tanah tersebut sudah terdaftar maka alat buktinya adalah sertipikat, jika belum
terdaftar adalah dengan bukti petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (2) PP 24 Tahun 1997 antara lain Petuk Pajak Bumi, girik dan Verponding.
Baik sertipikat ataupun bukti petunjuk seperti Petuk pajak bumi, girik dan
verponding tersebut harus asli. Sehingga memastikan bahwa hak tersebut
adalah haknya.
Sedangkan berwenang terkait dengan apakah penjual maupun pembeli
tersebut cakap dalam belakukan perbuatan jual beli. Orang yang dibawah
pengampuan tidak berwenang untuk melakukan jual beli.
Sedangkan penjual boleh melakukan perbuatan jual beli tersebut
adalah penjualan tanah tersebut tidak boleh melanggar peraturan perundang-
undang yang ada, misalnya tanah yang akan dijual melanggar ketentuan
larangan pemecahan tanah yang mengakibatkan kepemilikan tanah pertanian
kurang dari 2 hektar. Sedangkan pembeli boleh melakukan jual beli jika
pembeli tersebut dapat menjadi hak atas tanah yang akan di beli, misalnya
Badan Hukum tidak boleh membeli hak milik karena Badan Hukum bukan
subyek Hak milik, Orang asing juga tidak boleh membeli hak milik sebab orang
asing tidak boleh menjadi subyek hak milik.
Sedangkan syarat formilnya adalah bahwa jual beli tersebut harus
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
sebagaimana saya uraikan di atas.
Dari kasus di atas jelas bahwa ada bidang tanah yang dibeli dengan akta
Notaris tetapi alat bukti yang ditunjukkan dalam jual beli adalah palsu
berdasarkan Putusan PN Jakarta Timur 394/Pid.B/2013/PN Jk. Timur, Putusan
MA Nomor 522K/PID/2016 dan Putusan MA Nomor 1309K/PID/2014. Oleh
karena itu tidak memenuhi syarat materiil maka jual beli tersebut batal demi
hukum.

6
D.3 HAK YANG BARU DIPEROLEH SETELAH TERBITNYA SERTIPIKAT
SEBAGAI DASAR PEMBATALAN SERTIPIKAT.
Berdasarkan Pasal 32 (1) PP 24 Tahun 1997 sertipikat merupakan
surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data
fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur
dan buku tanah hak yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan system publikasi
yang dianut di Negara Indonesia yaitu system publikasi negative, artinya data
yang ada dalam sertipikat dianggap benar jika ada pihak lain yang mampu
membuktikan sebaliknya. Sehingga yang boleh melakukan pembatalan adalah
pihak yang memperoleh hak tersebut sebelum sertipikat itu diterbitkan.
Dari kasus diatas terbitnya ketiga sertipikat Hak Guna Bangunan yang
menjadi obyek sengketa tersebut adalah berawal dari terbitnya sertipikat HGB
nomor 1845 an. PT Asmawi Agung Corporation yang terbit pada tanggal 30 Juni
1986, kemudian dipecah menjadi sertipikat HGB Nomor 1888 an. PT Asmawi
Agung Corporation pada tanggal 30 September 1987 dan kemudian sertipikat
itu dipecah lagi menjadi Sertipikat HGB Nomor 4061 an. PT Bumi Indira Wisesa
pada tanggal 23 Juni 2005.
Sedangkan PT GARIS CAKRATAMA merasa mempunyai hak atas dasar
Akta Pengoperan Hak Nomor 16 tanggal 31 Agustus 2009 terhadap tanah
seluas 4.500M2 yang dibuat dihadapan Notaris Ny. Ninik Kartini, S.H. dan akta
jual beli Nomor 41 tanggal 15 September 2009 yang dibuat PPAT Iswandono
Poerodinoto, S.H. atas tanah seluas 1030 M2. Ternyata dikemudian hari
diketahui bukti hak atas tanah yang digunakan sebagai dasar jual beli yaitu girik
C 2299 atas nama Umi bin Saleh adalah palsu berdasarkan Putusan PN Jakarta
Timur 394/Pid.B/2013/PN Jk. Timur, Putusan MA Nomor 522K/PID/2016 dan
Putusan MA Nomor 1309K/PID/2014. Selain itu surat keterangan tidak dalam
keadaan sengketa atas tanah seluas 4.500M2 juga palsu. Selain itu BPN secara

7
tegas menyatakan bahwa girik C2299 tidak menjadi dasar penerbitan sertipikat
HGB Nomor 1845, HGB Nomor 1888 dan HGB Nomor 4061. Artinya PT Garis
Cakratama baru mempunyai kepentingan hukum mulai tahun 2009 yang
jauh hari setelah obyek gugatan telah terbit lebih dahulu yakni tahun
1986. Dengan demikian PT Garis Cakratama belum mempunyai kepentingan
hukum saat ketiga sertipikat tersebut terbit. Itupun pada akhirnya diketahui
ada bukti petunjuk hak yang palsu.
Dari fakta hukum tersebut jelas alat bukti yang ditunjukkan oleh PT
Garis Cakratama tidak dapat dijadikan dasar pembatalan ketiga sertipikat
tersebut.

D.4. TATA CARA PEMECAHAN DAN PEMISAHAN TANAH.


Berdasarkan Pasal 133 dan Pasal 134 Permen Agraria/Kepala BPN
Nomor 3 Tahun 1997 diatur mengenai tata cara pemecahan maupun pemisahan
terhadap bidang tanah yang sudah terdaftar. Dalam pasal tersebut diuraikan
bahwa untuk mendapatkan satuan-satuan bidang tanah baru dari pemecahan
tersebut dilaksanakan pengukuran. Dalam pengukuran tersebut didasarkan
pada data fisik maupun data yuridis yang ada dalam sertipikat yang akan di
pecah. Sehingga tidak didasarkan pada petuk/girik yang sebelumnya yang
menjadi dasar terbitnya sertipikat yang pertama.
Oleh karena itu setelah terbit sertipikat perbuatan hukum seperti
pemecahan dan pemisahan harus didasarkan pada data yang ada dalam
sertipikat baik data fisik maupun data yuridis dan bukan petuk/girik. Sehingga
Mahkamah Agung telah salah dalam pertimbangan Putusan Perkara Kasasi
Tata Usaha Negara Nomor 359 K/TUN/2017 yang menyatakan bahwa ‘’Kantor
Pertanahan harus melihat peta bidang dalam melakukan pemecahan sertipikat
tersebut karena pemecahan tidak mungkin dapat dilakukan jika tanpa melihat
peta bidangnya untuk menentukan batas-batas tanah yang akan dilakukan
pemecahan. Bahwa sertipikat pecahan tersebut juga terdapat warkah, yang
termasuk pula peta bidang, bahwa keberadaan warkah dalam penerbitan
sertipikat sangat penting dan merupakan faktor utama karena dengan adanya

8
warkah maka tidak mungkin terjadinya penerbitan sertipikat tidak pada tanah
yang bersangkutan.
Hakim sepertinya lupa bahwa dalam sertipikat itu terdapat data fisik
dan data yuridis. Data fisik dapat dilihat dari surat ukurnya, jadi tidak
mengacu pada warkah sebagai dasar terbitnya sertipikat pertama kali.
Selain itu luas yang ada dalam petuk/girik adalah luas yang tidak pasti,
sedangkan luas yang ada pada sertipikat sudah mengacu pada peta
bidang sebelumnya. Sehingga pemecahan dan pemisahan tidak mengacu pada
warkah tetapi mengacu pada sertipikat yang akan dipecah.
Hal ini sesuai dengan Pasal 32 ayat (1) PP 24 Tahun 1997 sebagaimana
diuraikan di atas bahwa sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis
yang termuat di dalamnya.

D.5. PERMOHONAN PERPANJANGAN JANGKA WAKTU HAK GUNA BANGUNAN


DAN PEMBERIAN HAK GUNA BANGUNAN.

Bawasannya permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan


diberikan sebelum masa berakhirnya Hak Guna Bangunan.
Sedangkan jika masa Hak Guna Bangunan tersebut telah habis masa
berlakunya, maka akan diberikan sebagaimana Hak baru melalui permohonan
Hak (sebagaimana diatur dalam pasal 42, PMNA no.09 tahun 1999).
Bawasannya pengajuan permohonan perpanjangan Hak Guna Bangunan oleh
PT Bumi Indira Wisesa adalah tertanggal 10 Mei 2006, sehingga masih dalam
kurun waktu belum berakhirnya SHGB tersebut.

E. KESIMPULAN
1. Akta pengoperan hak yang dibuat dengan akta Notaris tidak dapat
dijadikan dasar kepemilikan hak atas tanah.

9
2. Jual beli yang didasarkan pada dokumen kepemilikan palsu adalah batal
demi hukum.
3. Hak yang baru diperoleh setelah terbitnya sertipikat tidak dapat
dijadikan dasar untuk membatalkan sertipikat. Oleh karena itu alat bukti
yang ditunjukkan oleh PT Garis Cakratama yang ada tahun 2009 tidak
dapat dijadikan dasar pembatalan ketiga sertipikat tersebut yang terbit
pertama kali tahun 1986.
4. Berdasarkan Pasal 133 dan Pasal 134 Permen Agraria/Kepala BPN
Nomor 3 Tahun 1997 Kantor Pertanahan dalam melakukan pemecahan
dan pemisahan hak atas tanah yang sudah terdaftar harus melakukan
pengukuran dengan mendasarkan pada Sertipikat yang akan
dipecah/dipisah dan tidak mendasarkan pada warkah
Petuk/Girik/pipil. Sehingga Mahkamah Agung telah salah dalam
pertimbangan Putusan Perkara Kasasi Tata Usaha Negara Nomor 359
K/TUN/2017 yang menyatakan bahwa ‘’Kantor Pertanahan harus
melihat peta bidang dalam melakukan pemecahan sertipikat tersebut
karena pemecahan tidak mungkin dapat dilakukan jika tanpa melihat
peta bidangnya untuk menentukan batas-batas tanah yang akan
dilakukan pemecahan. Bahwa sertipikat pecahan tersebut juga
terdapat warkah, yang termasuk pula peta bidang, bahwa keberadaan
warkah dalam penerbitan sertipikat sangat penting dan merupakan
faktor utama karena dengan adanya warkah maka tidak mungkin
terjadinya penerbitan sertipikat tidak pada tanah yang bersangkutan.

F. REKOMENDASI
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas seyogyanya PT Bumi Indira
Wisesa mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali dengan
alasan:
1. Putusan didasarkan pada bukti yang oleh hakim pidana dinyatakan
palsu.

10
2. Terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan nyata dalam
putusan hakim.

Surabaya, 2 Januari 2018


Penyusun,

Dr. AGUS SEKARMADJI, S.H.,M.Hum


Dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Unair
KPS Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Unair

11

Anda mungkin juga menyukai