Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HAK ATAS TANGGUNGAN TANAH STUDI KASUS

PEMBATALAN SERTIFIKAT HAK MILIK

(PUTUSAN PTUN JAYAPURA Nomor 16/G/2018/PTUN.JPR)

DISUSUN OLEH

1.NADRA GANYYA S 21311028


2.NURHANI M 21311064
3.NURUL ISLAMIAH 21311003
4.YANPIETH R 21311049

UNIVERSITAS YAPIS PAPUA

PROGRAM STUDI S1-ILMU HUKUM


2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hak atas tanah dapat dibatalkan apabila dalam keputusan pemberian hak tanah
mengandung cacat hukum. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Pasal 1 angka
14 nomor 9 tahun 1999 tentang pembatalan hak atas tanah karena adanya cacat hukum
administrasi dalam penerbitannya. Adapun dalam prosesnya tata cara untuk pembatalan
hak atas tanah diatur dalam Peraturan mengerti Negara agraria/ Kepala Badan Pertanahan
nasional Nomor 9 Tahun. Permohonan pembatalan dapat dilakukan oleh orang yang
berkepentingan atau pejabat yang berwenang berdasar pada pasal 1 angka 14 Permenag
No. 9 Tahun 1999.

Pemohon yang berkepentingan dapat melakukan pembatalan hak atas tanah


karena cacat administrasi melalui Menteri atau Pejabat yang ditunjuk atau melalui Kepala
Kantor Pertanahan di tingkat Kabupaten/Kota. Sedangkan pejabat yang berwenang dapat
melakukan pembatalan apabila diketahui adanya cacat hukum administratif dalam proses
penerbitan keputusan pemberian hak atau sertifikatnya. Pejabat yang berwenang dalam
membatalkan hak atas tanah juga dapat dilakukan berdasar pada putusan pengadilan yang
memperoleh kekuatan hukum.

Undang-undang No.4 tahun 1996 mengatur tentang Hak tanggungan atas tanah
berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Undang-undang ini mengatur
pelaksanaan pengelolaan hak tanggungan. Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat
dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Apabila
Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam
Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang
dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-
masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek Hak Tanggungan, yang akan
dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya
membebani sisa obyek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi.
Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha,
dan Hak Guna Bangunan. Selain hak-hak atas tanah tersebut, Hak Pakai atas tanah
Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat
dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan. Berdasar UU, jika terdapat
kesalahan dalam praktik Notaris/PPAT terkait perjanjian tanah seperti kredit beserta
jaminannya maka akan dibatalkan karena adanya penerapan aturan yang tidak berdasar
dari pihak dan notaris. Salah satunya adalah kesalahan dalam pembuatan sertifikat tanah
yang digunakan untuk jaminan dan ketika terjadi wanprestasi, maka sesuai prosedur
hukum penyelesaiannya dengan cara di lelang, dijual tanpa menghilangkan tanggung
jawab dari objek yang dijaminkan, termasuk didalamnya peranan notaris terhadap akta
yang dibuatnya. Salah satu contoh kasus yang dibahas dalam makalah ini adalah terkait
dengan pembatalan sertifikat yang digunakan untuk jaminan kredit karena adanya cacat
hukum administrasi terkait kepemilikan asli objek, yaitu terkait Putusan PTUN
JAYAPURA Nomor 16/G/2018/PTUN.JPR. Pemilihan putusan ini terkait dengan hak atas
tanggungan tanah yang dibatalkan dalam putusannya karena adanya cacat administrasi
dalam pembuatan sertifikat. Sertifikat sebagai objek digunakan untuk jaminan kredit.
Dalam prosesnya ada tindakan melawan hukum yang dilakukan pemegang jaminan
dengan merekayasa, membalik nama tanpa diketahui pemilik asli yang bahkan keduanya
tidak memiliki hubungan keluarga. Sebagai pemberi kredit, Bank pun tidak melaksanakan
survei mendalam terhadap kepemilikan sehingga terjadi pemberian jaminan, akhirnya
dalam putusan pengadilan dibatalkan akta-akta yang dibuat.

B. Rumusan Masalah
Sehingga permasalahan dalam penulisan makalah ini yaitu :

1. Bagaimana pertimbangan hakim terhadap pembatalan sertifikat hak milik yang


dibebani hak tanggungan yang berdasarkan PTUN JAYAPURA Nomor
16/G/2018/PTUN.JPR?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap Kreditur Separatis sebagai pemegang
Hak Tanggungan?
3. Bagaimana pengaturan seharusnya terhadap pembatalan sertifikat hak milik yang
dibebani hak tanggungan, dalam rangka perlindungan hukum terhadap kreditur
pemegang hak tanggungan ?
4. Bagaimana tanggung jawab PPAT terhadap akta yang dibatalkan berdasarkan
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PJPPAT) ?
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pertimbangan Hakim Terhadap Pembatalan Sertifikat Hak Milik Yang Dibebani


Hak Tanggungan Yang Berdasarkan PTUN JAYAPURA Nomor
16/G/2018/PTUN.JPR

Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura yang memeriksan, memutus dan


menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara pada Tingkat pertama dengan acara biasa,
memberikan putusan dengan pertimbangan dalam perkara antara Pandi, warga negara
Indonesia yang memiliki pekerjaan petani dan beralamat di Jalan Biak-RT/RW 002/002
Kelurahan Koya Barat Distrik Muara Tami Kota Jayapura, Provinsi Papua bersama orang
lain yang diberikan kuasa dengan status advokat dan asisten aadvokat yang semuanya
kemudian disebut sebagai Penggugat. Dalam gugatannya melawan Kepala Kantor
Pertanahan Kota Jayapura sebagai tergugat dan pihak PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk
Kantor Cabang Abepura sebagai tergugat Intervensi. Adapun setelah menimbang duduk
perkara, maka isi gugatannya berupa objek sengketa dalam perkara adalah Peradilan hak
atas tanah Sertifikat Hak Milik : 2063/ desa koya barat Tanggal 30 Maret 1996, Surat Ukur
Nomor: 8182 tanggal 16 Agustus 1993, Luas : 2.500 M 2 (Dua Ribu Lima Ratus Persegi )
semula atas nama Pandi yang telah beralih atas nama DIDI WARSIDI.

Adapun dasar gugatan adalah bahwa penggugat baru mengetahui adanya


penerbitan sertifikat a quo pada tanggal 2 Februri 2018 di Kantor Badan Pertanahan
Nasional Kota Jayapura setelah melakukan konfirmasi dan gugatan dalam jangka waktu
batas perubahan. Sehingga kemudian objek sengketa sebagai keputusan Tata Usaha
Negara bersifat menimbulkan kerugian bagi kepentingan penggugat sebagai pemilih sah
sepenuhnya sebidang tanah seluas 2.500 M2 (Dua Ribu Lima Ratus Persegi ) yang terletak
di Koya Barat, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura dengan batas-batas tercantum dalam
dasar kepemilikan dan perolehan hak atas tanah sebagai peserta program Transmigrasi
pada tahun 1989 melalui Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi Irian Jaya (sekarang Papua) No. BPN 350/HM/1995 Tanggal 29
September 1995; kemudian lebih lanjut dituliskan kronologi pemindahan hak yang
dilakukan oleh Didi Warsidi dan Istrinya Mariska Lingsungan yang membawa sertifikat
tanah miliki Pardin dengan bujukan untuk dijadikan jaminan pinjaman modal usaha. Lebih
lanjut ternyata Didi Warsidi mengatur bersama Notaris Yulianti,S.H untuk melakukan
balik nama Sertifikat tanah dengan mendatangkan Pardin dan istri selaku pemilik sah yang
ternyata tidak bisa membaca dan menulis untuk melakukan cap jempol dengan tujuan
mengesahkan sertifikat sesuai yang diatur oleh Notaris. Sehinga ketika sertifikat
diterbitkan tergolong cacat hukum karena Kepala Kantor Pertanahan sebagai tergugat
tidak cermat dalam melakukan tugasnya untuk mengukur dan memberikan pemberitahuan
hasil pengukuran dan hanya menerbitkan tanpa memeriksa lebih lanjut. Sertifikat
kemudian dijadikan jaminan kepada pihak BRI sebagai tergugat intervensi yang tidak
melakukan pemeriksaaan lebih lanjut dalam proses pemberian jaminan kredit. Sehingga
kemudian Pandi sebagai penggugat memohon untuk mengabulkan seluruh gugatan
penggugat dan menyatakan batal atau tidak sah keputusan Tata usaha negara berupa
peralihan sertifikat hak tanah.

Dalam prosesnya tergugat mengajukan jawaban dalam eksepsi berupa kompetensi


absolut bahwa penggugat harusnya segera melakukan laporan pelanggaran perdata jika
menduga terdapat tindakana penipuan demi mencari keadilan dan kemudian berdasar dalil
penggugat berupa kronologi maka semua hubungan hukum yang terjadi tidak ada unsur
paksaaan dari pihak lain dalam melakukan pengesahan berupa cap jempol. Jawaban
lainnya terkait ketidaklayakan pengajuan pada pengadilan tata usaha karena duduk perkara
yang hanya dapat diajukan dan diadili di peradilan umum dalam hal ini pengadilan Negeri
klas IA Jayapura. Bahkan dalam jawaban yang disampaikan oleh tergugat intervensi pun
membantah terkait beberapa pengaduan yang dirasa kurang dapat diterima karena
kronologi dan pengadilan yang seharusnya mengadili serta batas waktu pengajuan
pembatalan. Kemudian dalam prosesnya saksi didatangkan berupa dua orang oleh
penggugat yang medukung pernyataan penggugat sebagai pihak yang dirugikan dalam
keputusan pembalikan nama atas hak kepemilikan tanah oleh Kepala Pertanahan dan juga
pihak Bank yang keduanya kurang cermat sehingga tidak melakukan pegecekan lebih
lanjut terkait pengajuan pembalikan nama oleh Notaris Yulianti.

Dalam pertimbangan Pengadilan, proses peralihan hak tersebut tidak sesuai dengan
prosedur yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, sehingga menyebabkan cacat
yuridis. Majelis Hakim memutuskan bahwa peralihan hak atas tanah dari nama Pandi ke
Didi Warsidi dinyatakan batal. Pengadilan juga memerintahkan agar sertipikat yang
menjadi obyek sengketa dikembalikan kepada status quo, yaitu atas nama Penggugat
(Pandi). Selain itu, sertipikat yang telah diagunkan oleh Didi Warsidi ke PT. Bank Rakyat
Indonesia tidak perlu dipertimbangkan lagi, mengingat peralihan hak atas tanah tersebut
dinyatakan batal. Putusan ini didasarkan pada pelanggaran ketentuan peraturan perundang-
undangan yang dilakukan oleh Tergugat. Sebagai tindak lanjut, pihak yang kalah dalam
perkara (Tergugat) dihukum membayar biaya perkara sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Putusan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara serta peraturan perundang-undangan lain yang relevan.

Sebelum pokok perkara ini diperiksa lebih lanjut, Majelis Hakim pertama-tama
mempertimbangkan eksepsi-eksepsi dari Tergugat dan Tergugat II Intervensi. Dalam
eksepsi pertama, Tergugat berpendapat bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara tidak
berwenang memeriksa perkara ini karena melibatkan masalah pidana. Namun, Pengadilan
menyatakan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, Pengadilan Tata
Usaha Negara memiliki kewenangan untuk memeriksa sengketa ini. Dalam eksepsi kedua,
Tergugat berpendapat bahwa gugatan Penggugat telah lewat waktu. Namun, Pengadilan
menolak eksepsi ini dengan mengacu pada ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986, yang menyatakan bahwa tenggang waktu mengajukan gugatan adalah 90 hari
sejak diketahuinya atau diumumkannya keputusan Tata Usaha Negara. Pengadilan juga
mencermati fakta bahwa Penggugat adalah seorang yang buta huruf, dan proses peralihan
hak dilakukan dengan memanfaatkan ketidakmampuannya membaca dan menulis. Oleh
karena itu, Pengadilan menyimpulkan bahwa Penggugat tidak mengetahui proses
peralihan hak atas tanah tersebut sebelum tanggal yang disebutkan, dan gugatan
Penggugat tidak lewat waktu.

Pengadilan mengakui adanya pelanggaran dalam proses peralihan hak atas tanah
tersebut, di mana Tergugat tidak melakukan pemberitahuan tertulis kepada pemegang hak,
sebagaimana diatur dalam Pasal 80 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Oleh karena itu, Majelis Hakim memutuskan bahwa peralihan hak atas
tanah dari nama Pandi ke atas nama Didi Warsidi dinyatakan batal. Proses peralihan hak
yang tidak sesuai dengan prosedur yang diatur oleh peraturan perundang-undangan
mengakibatkan cacat yuridis. Peralihan hak yang terjadi dari Penggugat kepada Didi
Warsidi melalui PPAT/Notaris Yuliati, SH., tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam
peraturan tersebut. Dalam pertimbangannya, Pengadilan memandang bahwa gugatan
Penggugat diterima karena Tergugat melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebagai konsekuensinya, Pengadilan memerintahkan agar sertipikat yang menjadi obyek
sengketa dikembalikan kepada status quo, yaitu atas nama Penggugat (Pandi) Pengadilan
juga memutuskan bahwa sertipikat yang telah diagunkan oleh Didi Warsidi ke PT. Bank
Rakyat Indonesia tidak perlu dipertimbangkan lagi, mengingat peralihan hak atas tanah
tersebut telah dinyatakan batal. Sebagai tindak lanjut, pihak yang kalah dalam perkara
(Tergugat) dihukum membayar biaya perkara. Putusan ini merujuk pada Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta peraturan perundang-
undangan lain yang berlaku.

Oleh karena itu, Majelis hakim mengambil putusan berdasarkan pertimbangan-


pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan sesuai dengan permohonan penggugat dan
jawaban tergugat. Kemudian dilakukan pemanggilan terhadap Didi sebagai pihak yang
diduga melakuka rekayasa dan notaris Yuliati namun tidak dipenuhi selama 3 kali
sehignga diduga telah terjadi rekayasa karena keduanya tidak dapat hadir untuk
memberikan keterangna lebih lanjut atau membantah gugatan penggugat. Sehingga
kemudian dilakukan pengadilan yang menyatakan menolak eksepsi tergugat dan tergugat
II intervensi untuk seluruhnya serta dalam pokok perkara mengabulkan gugatan penggugat
untuk seluruhnya dalam menyatakan pembatalan peralihan hak atas tanah sertifikat hak
milik Nomor : 2063/Desa Koya Barat, Tanggal 30 Maret 1996, Surat Ukur Nomor : 8182
tanggal 16 Agustus 1993, Luas 2.500 M2 atas nama Didi Warsidi dan dikembalikan
kepada atas nama Pandi. Hasilnya pun mewajibkan tergugat untuk mencabut dan mencoret
dari buku tanah peralihan hak atas tanah sertifikat hak milik Nomor : 2063/Desa Koya
barat, tanggal 20 Maret 1996, surat ukur nomor : 8182 tanggal 16 agustus 1993, luas 2.500
M2 atas nama Didi Warsidi dikembalikan kepada atas nama Pandi. Kemudian menghukum
tergugat dan tergugat II intervensi untuk membayar biaya perkara ini secara tanggung
renteng sebsar jumlah disebutkan sebagai hasil rapat musyawarah pada hari senin tanggal
3 desember 2018 dan putusannya dibacakan secara terbuka untuk umum pada hari Rabu
tanggal 5 Desember 2018, oleh majelis tersebut dibantu oleh Panitera pengganti
pengadilan tata usaha negara.

2. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor sebagai Pemegang Hak Tanggungan


Perlindungan Hukum Bagi Kreditor sebagai Pemegang Hak Tanggungan
berdasarkan ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Prinsip-
Prinsip Pokok Agraria, dijelaskan bahwa telah disediakan suatu lembaga hak jaminan yang
kokoh, yaitu Hak Tanggungan, yang dapat dikenakan pada hak atas tanah. Hak ini
menggantikan Lembaga Jaminan, dan keberadaan Hak Tanggungan diakui melalui
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Undang-undang ini bertujuan memberikan
perlindungan hukum bagi debitur dan kreditur dari pemerintah, terutama untuk melindungi
kreditur jika debitur melakukan perbuatan melawan hukum, seperti wanprestasi. Proses
pembebanan Hak Tanggungan melibatkan dua tahap kegiatan. Tahap pertama adalah
pemberian Hak Tanggungan, yang melibatkan pembuatan Akta Pembebanan Hak
Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) setelah adanya perjanjian
utang piutang yang dijamin. Tahap kedua adalah pendaftaran oleh Kantor Pertanahan,
yang menandai lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan pada tanah.

Perlindungan Hukum diperlukan ketika hak atas tanah yang menjadi objek Hak
Tanggungan dihapus. Pembatalan hak tersebut dapat terjadi sesuai dengan Pasal 18 ayat
(4), yang memberikan perlindungan kepada kreditur. Meskipun hak tanggungan terhapus
karena hilangnya hak atas tanah yang dijaminkan, utang yang dijamin tidak terhapus,
sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (4) yang menyatakan bahwa hapusnya hak
tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin. Pembatalan hak atas tanah,
sesuai dengan definisi dalam Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Negeri Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1999, dapat terjadi jika keputusan pemberian hak
atas tanah tersebut memiliki cacat hukum atau jika dilaksanakan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap. Pembatalan juga dapat terjadi jika Putusan Mahkamah
Agung dikarenakan Tergugat tidak dapat membuktikan kebenaran Akta Jual Beli yang
tergugat buat, dan tergugat terbukti melakukan perbuatan melawan hukum serta akta yang
dibuat menjadi cacat secara hukum karena didasarkan pada niat buruk oleh Tergugat I dan
tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (kebohongan), sedangkan para Tergugat
tidak dapat membuktikan sangkalan bahwa Penggugat adalah subjek hukum yang
sebenarnya menandatangani Akta Jual Beli No. 84 tersebut. Perlindungan Hukum Bagi
Kreditur Separatis sebagai Pemegang Hak Tanggungan menggunakan teori Keadilan
Komutatif, yang menentukan hak yang adil. Hak milik seseorang harus dikembalikan
kepadanya dan memberikan kewajiban kepada pihak lain untuk menghormati hak tersebut.
Sanksi berupa ganti rugi dapat diberikan jika hak tersebut dikurangi, dirusak, atau tidak
berfungsi sebagaimana mestinya.

Agar Kreditur dan Debitur mendapatkan perlindungan hukum, perlindungan


hukum represif digunakan. Ini bertujuan menyelesaikan sengketa yang terkait dengan
pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Hak asasi manusia mendapat
perhatian utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan negara hukum. Bentuk Perlindungan
Hukum untuk Kreditur Separatis sebagai Pemegang Jaminan Hak Tanggungan adalah
bahwa Kreditur separatis memiliki hak untuk menjual atau mengeksekusi objek jaminan
tanpa menunggu putusan pengadilan (parate eksekusi). Jika terjadi sengketa, kreditur
separatis dapat menjual aset jaminan yang dipegangnya. Jika sertifikat dihapus, pemegang
Hak Tanggungan dapat menjualnya sebagai upaya perlindungan hukum secara perdata
yang menjadi dasar dalam pelaksanaan eksekusi.

Upaya yang dapat dilakukan oleh Kreditur separatis untuk mendapatkan


perlindungan hukum dalam penyelesaian sengketa atas pembatalan sertifikat yang
dijaminkan adalah dengan meminta Hakim untuk melakukan sita jaminan terhadap tanah
dan bangunan milik penggugat, meminta kekuatan hukum yang mengikat agar tergugat
tidak dapat melakukan tindakan melawan hukum lainnya, dan menuntut tergugat 1 pada
saat persidangan dengan agenda pertanggung jawaban atas kasus yang dialami oleh
kreditor.

3. Pengaturan Seharusnya Terhadap Pembatalan Sertifikat Hak Milik Yang Dibebani


Hak Tanggungan, Dalam Rangka Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur
Pemegang Hak Tanggungan
Pengaturan terhadap pembatalan sertifikat hak milik yang dibebani hak tanggungan,
dalam rangka perlindungan hukum terhadap kreditur pemegang hak tanggungan,
seharusnya mempertegas aspek preventif melalui tindakan pemerintah yang didasarkan
pada kebebasan bertindak untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul. Selain itu,
perlu memperkuat nilai akta otentik, seperti Akta Pemberian Hak Tanggungan, dengan
memuat janji-janji yang lebih kuat untuk melindungi hak kreditur dalam menjaminkan hak
kreditur dalam melakukan pendaftaran.

Putusan Pengadilan yang berpendapat bahwa proses pendaftaran sertifikat tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, serta ketidakmampuan pihak tergugat untuk menunjukkan
bukti tentang penetapan batas tanah, mendukung argumen bahwa proses penerbitan
sertifikat tersebut belum memenuhi ketentuan dan prosedur yang ditetapkan oleh
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Oleh karena itu,
perlu adanya ketegasan dalam peraturan terkait proses penerbitan sertifikat guna
mencegah terjadinya pelanggaran prosedur. Pengaturan yang lebih tegas terhadap
pembatalan sertifikat harus memperhatikan perlindungan hukum preventif, yakni tindakan
pemerintah untuk mencegah terjadinya sengketa. Penetapan batas tanah dan pengumuman
hasil penelitian data fisik dan data yuridis menjadi langkah penting dalam proses
pendaftaran sertifikat, dan perlunya penguatan nilai akta otentik dengan penjelasan yang
jelas mengenai janji-janji yang memberikan perlindungan kepada kreditur.

Undang-Undang Hak Tanggungan perlu diperjelas untuk memberikan perlindungan yang


lebih kuat kepada kreditur. Unsur-unsur yang wajib dicantumkan dalam Akta Pemberian
Hak Tanggungan harus bersifat kumulatif dan lengkap, dan setiap kelalaian
mencantumkan salah satu isi dalam akta dapat menyebabkan pembatalan akta tersebut
secara batal demi hukum. Pihak perbankan, sebagai pemegang peran aktif dalam
perjanjian kredit, harus tetap melakukan pemeriksaan yang cermat terhadap aspek hukum
dan kelengkapan dokumen yang diperlukan. Dalam konteks ini, ketentuan Pasal 1131
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi acuan yang mendasar, di mana setiap
kebendaan yang berhutang menjadi tanggungan untuk segala perikatan. Asas ini menjamin
bahwa setiap hutang harus dilunasi, dan menjadi tanggungan untuk pelunasan utang
debitur. Oleh karena itu, pemegang hak tanggungan memiliki perlindungan untuk
mendapatkan pelunasan utang dari harta yang dijaminkan oleh debitur.

4. Tanggung Jawab PPAT Terhadap Akta Yang Dibatalkan Berdasarkan Peraturan


Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PJPPAT)
Pertanggungjawaban yang diberikan terhadap sanksi perdata yang dijatuhkan kepada
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atas perbuatan melanggar hukum, yang menyebabkan
kerugian, secara normatif terkait dengan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal tersebut mengatur bahwa setiap perbuatan
melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian kepada pihak lain mengharuskan orang
yang bertanggung jawab atas kerugian tersebut untuk menggantinya. Dalam konteks
pembuatan akta oleh PPAT, seringkali ditemukan kekurangperhatian atau kurang
konsistennya penerapan aturan-aturan yang berlaku, namun jarang ditemukan unsur
kesengajaan merugikan pihak lain. Apabila dalam pelaksanaan tugas dan jabatan PPAT
terkait dengan kewajiban untuk menciptakan akta otentik yang sah, terdapat cacat hukum
yang menyebabkan akta tersebut dinyatakan tidak otentik oleh pengadilan, PPAT tersebut
bertanggung jawab atas kerugian yang timbul. Dalam kasus di mana akta PPAT dibatalkan
oleh pengadilan, klien PPAT dapat mengalami kerugian karena tidak memperoleh hak atas
akta otentik yang sesuai dengan peran dan fungsi akta tersebut.
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 2006, PPAT bertanggung jawab secara pribadi, administratif, dan keperdataan
terkait dengan pembuatan akta tanah. Tanggung jawab ini mencakup penggantian rugi
terhadap pihak yang merasa dirugikan, sanksi administratif seperti teguran dan skorsing,
dan bahkan pemecatan dari jabatan PPAT. Selain itu, PPAT juga dapat dituntut secara
pidana atas tindak pidana pemalsuan surat, menggunakan surat palsu, atau memasukkan
keterangan palsu ke dalam akta otentik. Bentuk pertanggungjawaban PPAT terhadap akta
yang dibatalkan oleh pengadilan melibatkan aspek perdata, pidana, dan administratif.
Secara perdata, PPAT dapat diajukan gugatan ganti rugi jika terbukti melakukan perbuatan
melawan hukum. Secara pidana, PPAT dapat dihukum penjara sesuai dengan Pasal 263,
264, dan 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Secara administratif, PPAT
dapat dikenai sanksi seperti teguran lisan, teguran tertulis, hingga pemberhentian dari
jabatan.

Akibat hukum dari pembatalan akta oleh pengadilan mencakup pembatalan akibat perdata,
pidana, maupun administratif. Pembatalan tersebut mengakibatkan perbuatan hukum tidak
memiliki akibat hukum sejak terjadinya perbuatan tersebut, dan PPAT dapat dikenai sanksi
seperti pemberhentian dengan tidak hormat jika dijatuhi pidana penjara lebih dari lima
tahun, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
1. Pada kasus pembatalan sertifikat hak milik yang dibebani hak tanggungan,
Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura (PTUN JAYAPURA) memutuskan bahwa
peralihan hak atas tanah dari nama Pandi ke Didi Warsidi dinyatakan batal. Putusan
tersebut didasarkan pada pelanggaran prosedur yang diatur oleh peraturan
perundang-undangan, khususnya terkait pemberitahuan tertulis kepada pemegang
hak. Pengadilan memerintahkan pengembalian sertifikat kepada status quo, atas
nama Penggugat (Pandi), serta menyatakan tidak perlu mempertimbangkan
sertifikat yang telah diagunkan oleh Didi Warsidi ke PT. Bank Rakyat Indonesia.
Pihak yang kalah dalam perkara (Tergugat) dihukum membayar biaya perkara
sesuai ketentuan yang berlaku. Putusan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan peraturan perundang-
undangan lainnya.
2. Perlindungan hukum bagi kreditur sebagai pemegang hak tanggungan, terutama
dalam konteks pembatalan sertifikat yang dijaminkan, tercakup dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996. Meskipun hak tanggungan terhapus karena
hilangnya hak atas tanah yang dijaminkan, utang yang dijamin tetap berlaku.
Dalam menanggapi pembatalan sertifikat, kreditur separatis dapat melakukan sita
jaminan, meminta kekuatan hukum yang mengikat, dan menuntut
pertanggungjawaban tergugat. Seluruh kerangka regulasi dan mekanisme tersebut
berfungsi untuk memberikan perlindungan hukum yang efektif kepada kreditur
dalam menghadapi sengketa yang timbul terkait dengan hak tanggungan.
3. Dalam konteks pembatalan sertifikat hak milik yang dibebani hak tanggungan,
diperlukan pengaturan yang lebih tegas untuk mencegah pelanggaran prosedur
penerbitan sertifikat. Langkah preventif pemerintah, ketegasan dalam penetapan
batas tanah, dan penguatan nilai akta otentik, khususnya Akta Pemberian Hak
Tanggungan, menjadi kunci. Undang-Undang Hak Tanggungan perlu diperjelas
untuk memberikan perlindungan yang lebih kuat kepada kreditur, dengan unsur-
unsur yang bersifat kumulatif. Pihak perbankan juga harus memastikan
pemeriksaan cermat terhadap aspek hukum dan kelengkapan dokumen. Dengan
demikian, keseluruhan regulasi dan praktik perlu diperkuat untuk melindungi hak
kreditur dan mencegah sengketa yang merugikan.
4. PPAT bertanggung jawab menggantikan kerugian akibat akta tanah yang
dibatalkan, sesuai Pasal 1365 KUHPerdata dan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional. Pembatalan akta dapat berdampak perdata, pidana, dan
administratif, termasuk gugatan ganti rugi, hukuman penjara, serta sanksi seperti
pemberhentian jabatan.

Daftar Pustaka

Amriani, Nurnaningsih, 2012, Mediasi Altenatif Penyelesaian Sengketa Perdata Di


Pengadilan, Jakarta: Rajawali Pers.

Mahkamah Agung Indonesia. (2018). Putusan Nomor: 16/G/2018/PTUN.JPR.

Indrajaya, Rudi, 2002, Peraturan Jabatan PPAT dan Ketentuan Pelaksananya, Bandung:
Notarius & Kita.

Kalew, Angelina, K. (2018). Proses Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Menurut Uu
No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. Lex Privatum, 6(3), 121–128.

Maghribi, M. F., & Ispriyarso, B. (2022). Tanah Dan Bangunan. 15(1), 105–119.

Prakasa, F., Zuhir, M. A., & Adriansyah, H. (2020). Pembatalan Sertifikat Hak Milik
Dibebani Hak Tanggungan (Putusan Mahkamah Agung Nomor 1138 K/Pdt/2012).
Recital Review, 2(1), 39–53.
https://mail.online-journal.unja.ac.id/RR/article/view/8660

Prasojo, E. C., & Anand, G. (2018). Akibat Hukum Kreditor Pemegang Hak Tanggungan
Putusan Pengadilan. Selat, 5(2), 155.

Prawira, I Gus Bagus Yoga, “Tanggung Jawab PPAT terhadap Akta Jual Beli Tanah”,
Jurnal IUS, Vol. IV No. 1, 2016, Fakultas Hukum Universitas Mataram.

Ramaadann, Fitria, L. (2023). Peranan Hak Atas Tanah Sebagai Jaminan


Pertanggungan Dalam Perjanjian Pemberian Kredit (Studi Kasus Di Kantor
Notaris / PPAT Rury Damayanti, SH, M.Kn)n. 2(7), 31–41.

Anda mungkin juga menyukai