Anda di halaman 1dari 58

PERTANGGUNGJAWABAN BANK DAN NOTARIS ATAS HILANGNYA

SERTIPIKAT HAK MILIK YANG MENJADI JAMINAN KREDIT PADA


SAAT PROSES PEMASANGAN HAK TANGGUNGAN.

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Kota Kendari No.14/Pdt.G.S/2020/PN Kdi)

Proposal Tesis
Untuk Memenuhi sebagai persyaratan
Mencapai derajat S-2

Diajukan oleh
Wiwid Nugrahaning Arum Widayastuti
19/448356/PHK/10865

Kepada
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
Usulan Penelitian

PERTANGGUNGJAWABAN BANK DAN NOTARIS ATAS HILANGNYA

SERTIPIKAT HAK MILIK YANG MENJADI JAMINAN KREDIT PADA SAAT

PROSES PEMASANGAN HAK TANGGUNGAN

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Kota Kendari No.14/Pdt.G.S/2020/PN Kdi)

Diajukan oleh

Wiwid Nugrahaning Arum Widayastuti

19/448356/PHK/10865

telah disetujui oleh:

Pembimbing

Dr. Taufiq El Rahman, S.H., M.Hum

Tanggal,

2
A. Latar Belakang
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik mengenai
semua perbuatan hukum, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik dengan menjamin atas kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, sepanjang pembuatan
akta-akta tersebut dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh Undang-
undang dengan ketentuan wilayah kerja yaitu dalam satu propinsi. Notaris juga dituntut
untuk selalu bersikap amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak dan harus selalu
dapat menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Dalam hal
notaris mempunyai kewenangan untuk membuat akta maka pada prakteknya Notaris
sering dilibatkan oleh Bank dalam pembuatan akta perjanjian kredit, namun pada
umumnya perjanjian kredit ini dapat dilakukan dengan menggunakan akta di bawah
tangan maupun dengan menggunakan akta otentik Notaris.

Menurut Pasal 1 angka 11 UU Perbankan, kredit diartikan sebagai penyediaan uang


atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga. Berdasarkan pengertian ini, perjanjian kredit dapat diartikan sebagai perjanjian
pinjam-meminjam antara bank sebagai kreditur dengan pihak lain sebagai debitur yang
mewajibkan debitur untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga. Oleh karena adanya hubungan pinjam-meminjam uang antara bank
dengan nasabah maka bank selaku kreditur menerapkan prinsip kehati-hatian dengan
meminta kepada nasabah selaku debitur memberikan jaminan yang dimana jaminan
tersebut digunakan sebagai bentuk pelunasan kredit.

Perjanjian kredit tersebut diberikan adanya jaminan, baik jaminan umum maupun
jaminan khusus. Pada pengikatan kredit dengan jaminan umum yang sering terjadi yaitu

3
fidusia sedangkan pada jaminan khusus yang sering digunakan berupa Hak Tanggungan
yaitu objek Hak Atas Tanah yang dijaminkan untuk suatu hutang tertentu. Untuk
pengikatan jaminan khusus melalui proses yang didahului dengan adanya perjanjian
pokok hutang-piutang atau perjanjian kredit. Kemudian setelah dibuatnya perjanjian
pokoknya tersebut maka selanjutnya dibuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang isinya menjelaskan objek yang menjadi
jaminan di dalam utang-piutang tersebut.

Dalam hal pengikatan agunan Hak Tanggungan tersebut yang berwenang


membuatnya adalah PPAT dengan syarat objek Hak Tanggungan tersebut berada dalam
wilayah kerja PPAT yang bersangkutan, sehingga apabila objek Hak Tanggungan
berada diluar wilayah kerja PPAT tersebut, berhak menolak. Namun pada prakteknya
tidak sedikit Notaris/PPAT menerima orderan pemasangan Hak Tanggungan tersebut
yang kemudian akan diberikan kepada rekanannya dengan menggunakan SKMHT
Notariil yang dikeluarkan oleh Notaris yang ditujukan kepada rekanan orderannya untuk
dibuatkan APHT nya. Dalam hal ini dapat berpotensi merugikan pihak debitur,
sedangkan Notaris harus memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pihak yang
tertuang didalam aktanya.

Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Kendari No.14/Pdt.G.S/2020/PN Kdi,


terdapat suatu kasus yang dimana Bank selaku kreditur tidak menjaga asset debitur
selaku konsumen yang berada dalam tanggungjawabnya selaku pelaku usaha jasa
keuangan seperti yang tertuang dalam pasal 25 dan pasal 29 Peraturan OJK Nomor :
01/POJK.007/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan , sehingga
Bank selaku kreditur tersebut tidak memberikan jaminan kepastian hukum bahwa Bank
sebagai Lembaga keuangan yang dipercaya oleh masyarakat dan juga tidak memberikan
jaminan perlindungan hukum terhadap nasabahnya selaku konsumen karena telah
dipercaya untuk menitipkan sertipikat hak atas tanah sebagai objek jaminan atas
pelunasan kredit debitur/nasabah, namun Bank tidak memelihara dengan sebaik-
baiknya.

4
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Kendari tersebut, terdapat permasalahan dari
aspek lainnya yang dimana Notaris menerima orderan dari pihak Bank untuk memasang
Hak Tanggungan yang dimana objek Hak Tanggungannya berada di Kabupaten
Konawe. Notaris tersebut menyerahkan objek Hak Tanggungan ke PPAT rekanan nya
yang berada di Kabupaten dimana objek Hak Tanggungan tersebut berada, dan ternyata
dalam prakteknya terdapat kesalahan dan kelalaian yang dilakukan oleh Notaris/PPAT
yang menyebabkan hilangnya Sertipikat tanah Hak Milik yang menjadi objek Hak
Tanggungan tersebut pada saat proses pemasangan Hak Tanggungan di Kantor
Pertanahan, sehingga menyebabkan kerugian terhadap debitur. Berdasarkan putusan
pengadilan tersebut dalam pertimbangan hakim menyebutkan bahwa Pihak Bank selaku
krediturlah yang paling bertanggungjawab atas kerugiannya debitur, namun dalam
putusan akhirnya menyatakan bahwa Notaris dan Bank dinyatakan melakukan
perbuatan melawan hukum atas dasar kelalaian karena telah menghilangkan sertipikat
Hak Atas Tanah yang menjadi Jaminan Kredit dan tidak disebutkan pula secara tegas
siapa pihak yang berhak mengganti sertipikat tersebut.

Dalam putusan pengadilan tersebut juga tidak memuat mengenai perintah atas
penerbitan sertipikat pengganti hak milik atas tanah tersebut, dan dalam proses
pengadilan melalui putusan pengadilan Negeri Kendari tersebut ditemukan adanya
prosedur penerbitan sertipikat pengganti Hak Milik Atas Tanah atas dasar pengajuan
Notaris tanpa melibatkan pihak pemilik sertipikat itu sendiri, sedangkan berdasarkan PP
24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah pasal 57 Yang dapat mengajukan permohonan
penggantian sertifikat tanah yang hilang adalah pemegang hak atau ahli waris pemegang
hak atau atau pihak lain yang merupakan penerima hak berdasarkan akta PPAT,
sedangkan penerima hak tersebut adalah pihak Bank. Permasalahan lainnya yaitu dalam
proses penerbitan sertipikat pengganti itu sendiri dilakukan sebelum Putusan Pengadilan
dinyatakan Inkracht yang artinya sertipikat Hak atas tanah tersebut sejatinya masih
dalam status sengketa, sebab yang terjadi adalah satu bulan sebelum putusan pengadilan
dinyatakan Inkracht pihak BPN sudah mengumumkan melalui koran bahwa akan
diterbitkannya sertipikat pengganti atas nama pihak debitur tersebut, mengingat

5
berdasarkan pasal 54 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan
Kasus Pertanahan menyatakan bahwa BPN RI wajib melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, artinya bahwa Kantor Pertanahan baru
dapat menerbitkan sertipikat pengganti tersebut setelah putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap. Untuk itu ditemukan adanya proses penerbitan sertipikat
pengganti yang tidak sesuai dengan prosedur Undang-Undang.

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mengambil Kasus
berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor 14/Pdt.G.S/2020/PN Kdi
dengan Judul “PERTANGGUNGJAWABAN BANK DAN NOTARIS ATAS
HILANGNYA SERTIPIKAT HAK MILIK ATAS TANAH YANG MENJADI
JAMINAN KREDIT PADA SAAT PROSES PENDAFTARAN HAK
TANGGUNGAN”.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran Bank terhadap pemeliharaan aset Debitur sebagai Jaminan
Kredit yang berada dalam tanggung jawabnya berdasarkan Putusan Pengadilan
Negeri Kota Kendari No.14/Pdt.G.S/2020/PN Kdi tersebut?

2. Bagaimana tanggung jawab Notaris atas penerbitan Sertipikat Pengganti Hak


Milik Atas Tanah milik Debitur yang dalam proses penerbitannya dilakukan
sebelum Putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap?

C. Keaslian Penelitian
No Judul Penelitian Nama Rumusan Hasil Penelitian
Peneliti masalah
1 Perlindungan hukum terhadap SURYATI
debitur yang telah melakukan

6
pembayaran dalam perjanjian
kredit dengan jaminan Hak
Tanggungan
(studi kasus perjanjian Tuan E
dengan Bank X di Daerah
Istimewa Yogyakarta)

D. Manfaat Penelitian
1) Teoritis;

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap


khasanah ilmu pengetahuan pada umumnya dan untuk mengembangkan
pengetahuan yang bermanfaat di bidang hukum, khususnya peran Bank dalam
menjaga asset debiturnya yang digunakan sebagai Jaminan Kredit .

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran secara jelas


mengenai tanggungjawab Notaris atas penerbitan sertipikat pengganti yang
dalam proses penerbitannya Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat pengganti
tersebut sebelum putusan pengadilan ini berkekuatan hukum tetap. Untuk itu
penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai perlindungan
hukum debitur yang mengambil kredit dengan pembebananan hak tanggungan
yang sertifikat Hak tanggungannya tidak pernah lahir.

2) Praktis:

7
a) Menambah wawasan dan cakrawala bagi penulis dalam kaitannya dengan
masalah yang diteliti
b) Hasil penelitian diharapkan dapat membantu

- Memberikan pemahaman kepada pelaku dunia perbankan agar selalu


mengingat tanggungjawabnya atas jaminan kredit yang seharusnya berada
ditangannya, berkaitan dengan masalah yang diteliti;
- Memberikan pemahaman kepada Notaris/PPAT agar selalu berhati-hati
terhadap objek agunan perikatan kredit yang dibawakan kepadanya untuk
dibuatkan Akta Pembebanan Hak Tanggungan;
- Memberikan pemahaman kepada pihak masyarakat selaku debitur
mengenai hal-hal apa saja yang menjadi hak nya selama mengikatkan diri
dengan bank melalui perjanjian kredit;
- Memberikan pemahaman kepada pihak Kantor Pertanahan untuk selalu
mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh Peraturan-Peraturan yang berlaku
Ketika akan menerbitkan sertipikat pengganti.

3) Dapat digunakan acuan untuk para pihak yang tertarik untuk melakukan
penelitian-penelitian selanjutnya yang terkait dengan masalah ini.

E. Tujuan Penelitian
1) Untuk Mengetahui dan menganalisis peran Bank terhadap pemeliharaan aset
Debitur sebagai Jaminan yang digunakan sebagai pelunasan kredit yang
berada dalam tanggung jawabnya berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri
Kota Kendari No.14/Pdt.G.S/2020/PN.Kdi
2) Untuk Mengetahui dan menganalisis arti penting dari tanggung jawab
Notaris atas penerbitan Sertipikat Pengganti Hak Milik Atas Tanah milik
Debitur yang dalam proses penerbitannya dilakukan sebelum Putusan
Pengadilan Negeri Kota Kendari No.14/Pdt.G.S/2020/PN.Kdi ini
berkekuatan hukum tetap.

8
F. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Umum Tentang PERBANKAN

a) Pengertian Perbankan

Menurut ketentuan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk

simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau

bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Menurut A Abdurrachman, bank adalah suatu jenis lembaga keuangan yang

melaksanakan berbagai macam jasa, seperti memberikan pinjaman, mengedarkan

mata uang, pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan

benda-benda berharga, membiayai usaha perusahaan-perusahaan, dan lain-lain.

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan disebutkan bahwa

perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi

dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Fungsi utama perbankan Indonesia

adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, hal ini sebagaimana

tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Menurut Pasal 4

Undang-Undang 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992 tentang Perbankan, perbankan Indonesia bertujuan menunjang

pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,

9
pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan

rakyat banyak. Bank juga memiliki fungsi yang penting untuk Negara yaitu untuk

menjaga stabilitas ekonomi moneter dan keuangan negara, sehingga fungsi sebaik-

baiknya bank adalah sebagai alat ekonomi dan keuangan negara.1

b) Kegiatan Usaha Perbankan

Adapun kegiatan-kegiatan bank umum yang ada di Indonesia menurut

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang tertuang dalam Pasal 6, selain untuk

Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito

berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan

dengan itu terdapat kegiatan usaha bank berupa memberikan kredit/pinjaman kepada

masyarakat. Penanaman dana dalam bentuk pemberian kredit akan mendapatkan

bunga yang relative namun dilihat dari resikonya pemberian kredit beresiko

terjadinya kemacetan pengembalian kredit.2

c) Jenis Bank

Jenis bank diatur dalam pasal 1 angka 3 dan angka 4 Undang-Undang

perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan, yang meliputi:

a) Bank Umum yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara

konvensional dan/atau berdasarkan prinsip Syariah yang dalam kegiatannya

memberikan jasa lalu lintas pembayaran.

1
Achmad Anwari, 1981, Praktek Perbankan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hlm. 16
2
Rahmadi Usman, 2001, Aspek-aspek Hukum Perbankan Syariah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
hlm.59

10
b) Bank Perkreditan Rakyat yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usahanya

secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip Syariah yang dalam

kegiatannya tidak memberikan jasa lalu lintas pembayaran.

2. Tinjauan Umum Tentang NOTARIS

a) Pengertian Notaris

Pengertian Notaris di Indonesia Pengertian notaris terdapat dalam Pasal 1 ayat 1

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 atas perubahan Undang-Undang Nomor 30

tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN), yaitu Notaris adalah pejabat umum yang

berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan

penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan

dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik dan kewenangan lainnya

sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Untuk membuat akta otentik Notaris

sebagai pejabat umum juga dapat ditelusuri maksud pada Pasal 1868 KUHPerdata.

Peran Notaris yaitu untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum

yang untuk memerlukan alat bukti yang menentukan dengan jelas dan pasti antara hak

dan kewajiban seseorang sebagai subjek hokum dalam perjanjian, dengan cara

penerbitan akta otentik yang dibuat dihadapannya terkait dengan status hukum yang

berfungsi sebagai alat bukti yang paling sempurna dan kuat di pengadilan dalam hal

terjadi sengketa, sehingga apa yang dituangkan dalam akta autentik itu pada pokoknya

dianggap benar.3 Pentingnya peran notaris juga dapat dilihat dari kapasitasnya dalam
3
Zulhendrawan, 2010 Perjanjian Kerjasama Antara Bank Dengan Notaris Ditinjau Dari Undang-
undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris, Tesis Hukum Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Hlm.11-12

11
memberikan legal advice, dan melakukan verifikasi terhadap sebuah perjanjian, apakah

sebuah perjanjian telah dibuat sesuai dengan kaidah pembuatan perjanjian yang benar

dan tidak merugikan salah satu pihak atau perjanjian tersebut dibuat dengan tidak

memenuhi syarat.4 Begitu juga dengan profesi Notaris yang memerlukan suatu tanggung

jawab baik individual maupun sosial terutama ketaatan terhadap norma-norma hukum

positif dan kesediaan untuk tunduk pada kode etik profesi, bahkan merupakan suatu hal

yang wajib sehingga akan memperkuat norma hukum positif yang sudah ada. 5 Dalam

menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum public service dibidang pembuat

akta dalam ruang lingkup keperdataan.

Berkaitan dengan Openbaar Ambtenaar yang di terjemahkan Sebagai pejabat

umum diartikan sebagai pejabat yang diberi kewenangan/tugas untuk membuat akta

otentik yang melayani kepentingan public dan kualifikasi tersebut diberikan kepada

Notaris.6 Sehubungan dengan kewenangannya tersebut tanggung jawab notaris sebagai

pejabat umum meliputi tanggung jawab profesi notaris itu sendiri yang berhubungan

dengan akta, yang artinya dapat dibebani tanggung jawab atas

perbuatannya/pekerjaannya dalam hal pembuatan akta oetentik.7 Tanggung jawab

Notaris dalam rumusan Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris

dikatakan bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban bertindak jujur,

4
Sjaifurracman, 2011 Aspek Pertanggung Jawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, Surabaya,
Mandar Maju, Hlm.7
5
Liliana Tedjosaputro, 1995, Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana, Yogyakarta,
PT. Bayu Indra Grafika, hlm.4
6
Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, Hlm. 16
7
M. Nur Rasaid, 2005, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, hlm.35

12
saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam

perbuatan hukum.

b) Bentuk-bentuk tanggung jawab Notaris

Bentuk-bentuk tanggung jawab Notaris yaitu:8

1) Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar artinya akta

yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak yang

berkepentingan karena jabatannya,

2) Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu artinya akta yang dibuat itu

sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak yang berkepentingan dalam

arti sebenarnya bukan mengada-ada dengan menjelaskan kepada pihak

berkepentingan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu.

3) Berdampak positif yang artinya siapapun akan mengakui akta Notaris itu

mempunyai kekuatan bukti yang sempurna.

Sedangkan menurut Nico membedakan me njadi 4 poin yaitu:9

1) Tanggungjawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil terhadap

akta yang ia buat;

2) Tanggungjawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil terhadap akta

yang ia buat;

8
Abdul kadir Muhammad, 2001, Etika Profesi Hukum, Bandung, Citra Aditya Bhakti, Hlm.93-94
9
Giesta Pramawati Hastuti Putri, Kedudukan Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang
dibuat Notaris dengan Format PPAT Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan
Notaris Di Kota Yogyakarta, Tesis Magister Kenotariatan UGM, Yogyakarta, 2014, hlm. 21

13
3) Tanggungjawab Notaris berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris terhadap

kebenaran meteriil atas akta yang dibuatnya

4) Tanggungjawab Notaris berdasarkan Kode Etik Notaris dalam menjalankan

tugas jabatannya.

Notaris harus terus berpegang prinsip dan selalu ingat kepada sumpahnya saat

Notaris diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang berdasarkan pasal 1

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 Tentang Sumpah Jabatan Notaris (UUJN),

yang menyatakan bahwa akan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan ingat akan

kepentingan masyarakat dan Negara. Wewenang Notaris diberikan oleh Undang-

Undang untuk kepentingan public bukan untuk kepentingan diri Notaris sendiri. Dalam

hal kewenangan Notaris diatur dalam Bab III Bagian Pertama Pasal 15 dan untuk

menjalankan jabatannya pun Notaris mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan,

kewajiban Notaris tersebut diatur dalam 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 atas

perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 junto Tentang Jabatan Notaris.

Selain memiliki kewenangan dan kewajiban yang diatur secara tegas dalam Undang-

Undang Jabatan Notaris, pekerjaan Notaris juga ada batasannya. Batasan yang

dimaksud merupakan larang-larangan terhadap pekerjaan Notaris itu sendiri yang

sebagaimana diatur dalam pasal 17 Undang-Undang Jabatan Notaris.

c) Larangan Jabatan Notaris

Pembatasan atau larangan bagi Notaris ini ini ditetapkan untuk menjaga Profesi

Notaris itu dalam menjalankan praktiknya agar bertindak tidak sewenang-wenang. Salah

14
satu bentuk pembatasan yang dilarang oleh pemerintah yaitu mengenai Pembatasan

wilayah kerja Jabatan Notaris, yang dalam hal ini Notaris dalam menjalankan kewajiban

dan kewenangannya dibatasai hanya meliputi satu wilayah provinsi dari tempat

kedudukannya. Artinya, notaris tersebut berwenang untuk membuat akta sepanjang

perbuatan hukum tersebut dilakukan masih dalam wilayah kerjanya, yang meliputi

seluruh provinsi di tempat kedudukan notaris yang bersangkutan. Untuk itu Undang-

Undang Jabatan Notaris mengatur bahwa Profesi Notaris dilarang menjalankan

tugasnya diluar wilayah jabatannya. Contohnya, Seorang Notaris Sulawesi Tenggara

dilarang/tidak dapat membuka praktik atau membuat akta otentik di Yogyakarta,

mengingat batas yuridiksi Notaris adalah provinsi. Tidak hanya mengenai wilayah kerja,

terdapat juga larangan-larangan Jabatan Notaris dalam merangkap jabatan seperti

merangkap jabatan sebagai pengacara, Pegawai Negeri Sipil, Pejabat Negara dan

sebagainya, namun hanya dapat merangkap jabatan sebagai PPAT dalam tempat

kedudukannya. Berdasar pada UUJN tersebut seorang Notaris bisa merangkap jabatan

sebagai PPAT, dengan syarat harus satu wilayah jabatan. Hal ini diatur dalam ketentuan

Pasal 17 huruf g UUJN yaitu Notaris dilarang merangkap jabatan sebagai PPAT di luar

wilayah jabatan Notaris. Dengan kata lain seorang Notaris diperbolehkan untuk

merangkap jabatan PPAT jika satu wilayah jabatan dengan wilayah jabatan Notaris

tersebut. Sesuai dalam Pasal 19 UUJN Notaris hanya berkedudukan di suatu tempat di

kota atau kabupaten, dan memiliki kewenangan wilayah jabatan seluruh wilayah

provinsi dari tempat kedudukannya.

d) Perbedaan Tugas Jabatan Notaris dan PPAT

15
Walaupun bisa merangkap jabatan sebagai Notaris dan PPAT, namun keduanya

terdapat tugas dan kewenangan yang berbeda, letak perbedannya yaitu: Berdasarkan

Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, Notaris memiliki wewenang

untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang

diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh pihak

berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal

pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,

sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat

atau pihak lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain kewenangan tersebut,

wewenang lain yang dapat dilakukan oleh dari Notaris antara lain:

1) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah

tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

2) Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku

khusus;

3) Membuat salinan dari surat bawah tangan yang asli berupa salinan sebagaimana

ditulis dan digambarkan dalam surat bawah tangan yang bersangkutan;

4) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

5) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; atau

6) Membuat akta risalah lelang.

16
Sedangkan PPAT berwenang untuk melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah

dengan membuat akta otentik sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum

tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Perbuatan

hukum tersebut antara lain mencakup:

1) Jual beli;

2) Tukar menukar;

3) Hibah;

4) Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

5) Pembagian hak bersama;

6) Pemberian Hak Guna Bangunan dan atau Hak Pakai atas tanah Hak Milik;

7) Pemberian Hak Tanggungan;

8) Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Ruang lingkup pertanggungjawaban Notaris/PPAT meliputi kebenaran atas Akta

yang dibuatnya, untuk itu akta otentik merupakan alat bukti sempurna untuk segala hal

yang termuat didalamnya, sehingga berguna ketika di kemudian hari ada masalah atau

sengketa tertentu yang di mana segala kesepakatan dan perjanjian telah dituangkan

dalam akta yang dibuat oleh Notaris atau PPAT, untuk itu akta otentik dapat diajukan

sebagai alat bukti di pengadilan.

17
3. Tinjauan Umum Tentang PERJANJIAN KREDIT

a) Pengertian Perjanjian Kredit

Kredit berasal dari Bahasa Yunani yang artinya kepercayaan, kepercayaan yang

dimaksud adalah kepercayaan yang diberikan kepada seseorang yang diberi kredit

tersebut yang dalam perjanjian kredit bank pihak yang dimaksud adalah debitur. 10

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 atas Perubahan Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1992 Tentang Perbankkan dalam Pasal 1 butir 1 menjelaskan pengertian kredit

adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan

persetujuan dan kesepakatan pinjam meminjam antara pihak bank dengan pihak lainnya

yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu

tertentu dengan pemberian bunga. Berdasarkan pengertian tersebut menunjukan bahwa

prestasi yang dilakukan oleh debitur atas kredit yang diberikan kepadanya adalah tidak

semata-mata melunasi utangnya tetapi juga disertai dengan bunga sesuai dengan

perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.11 Berdasarkan pengertian kredit maka

dengan demikian perjanjian kredit adalah pemberian pinjasman baik berupa uang

10
Mgs. Edy Putra The Aman, 1989, Kredit Perbankan Tinjauan Suatu Yuridis, Liberty, Yogyakarta, Hlm. 1
11
Sudikno Mertokusumo, 1983, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, Hlm.97

18
ataupun barang dari kreditur kepada debitur, yang akan dibayarkan kembali dalam

periode tertentu.12

Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam intruksi pemerintah, bahwa dalam

memberikan kredit bentuk apapun, bank-bank wajib mempergunakan “akad perjanjian

kredit”. Dimuat dalam Surat Edaran Bank Negara Indonesia No. 2/643/UPK/Pemb/1966

tentang Pedoman Kebijaksanaan di Bidang Perkreditan. Menurut Marhainis Abdul Hay,

SH. (1979:147) Ketentuan dalam pasal 1754KUHPerdata tentang perjanjian pinjam

mengganti, mempunyai pengertian yang sama dengan perjanjian kredit bank.

Sedangkan penafsiran Prof. Dr. R. Wirjono Prodjidikoro, SH atas Pasal

1754KUHPerdata, perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang bersifat riil. 13 Pada

Hakekatnya Perjanjian Kredit merupakan perjanjian antara Bank dengan pihak lain

sebagai pinjaman atau berhutang, dimana pihak peminjam atau berhutang memberikan

jaminan atau agunan kepada pihak bank atau kreditur dan selain itu bank harus tetap

memperhatikan prinsip kehati-hatiannya.14 Perjanjian kredit dituangkan dalam bentuk

tertulis dan dikualifikasikan sebagai jenis perjanjian Baku (standart contract) yang

dimana klausula/isi dari perjanjian kredit tersebut telah disediakan oleh pihak bank

selaku kreditur sedangkan debitur hanya mempelajari dan memahaminya. Perjanjian

kredit dapat dibuat menggunakan Akta Notariil atau dapat pula dibuat dibawah tangan.

b) Prosedur Perjanjian Kredit

12
Ida Bagus Gde Gni Wastu, 2016, (Kekuatan Hukum Perjanjian Kredit Di Bawah Tangan Pada
Bank Perkreditan Rakyat), Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, ISSN : 2502-
8960, Hlm. 86
13
Mgs. Edy Putra The’Aman,1986, Kredit Perbankan Suatu Tijauan Yuridis, Yogyakarta, Liberty,
Hlm. 31
14
Amin Palas Sari, 2014, (Tinjauan Yuridis Terhadap Wanpretasi Dalam Perjanjian Hutang-
Piutang Dengan Jaminan Sertifikat Tanah), Jurnal Mahasiswa Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

19
Pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat

(1) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang 7

Tahun 1992 tentang Perbankan, pertama kali sebelum menyetujui permohonan yang

diajukan calon debitur untuk mendapatkan fasilitas kredit, maka bank akan melakukan

analisa secara yuridis dan ekonomis terhadap calon debitur untuk menentukan

kemampuan dan kemauan calon debitur tersebut dalam membayar kembali fasilitas

kredit yang akan dinikmatinya sesuai dengan yang telah diperjanjikan.

Setiap permohonan kredit yang telah disetujui oleh pihak bank kemudian

dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit. Perjanjian kredit tersebut disepakati oleh

kedua belah pihak, yaitu kreditur (Bank) dan debitur (nasabah) sebagai suatu wujud dari

asas kebebasan berkontrak. Prosedur dalam perkreditan dimulai dari adanya pengajuan

permohonan kredit dari masyarakat, proses analisis kredit, proses pencairan kredit,

sampai dengan proses umpan balik pelaksanaan kredit, konsep prosedur dan kebijakan

kredit ini mengikuti alur proses kredit itu sendiri maka harus didukung dengan prinsip

kehati-hatian dalam penyaluran kredit kepada masyarakat dan diharapkan tidak

menimbulkan kredit bermasalah dikemudian hari dengan baik. Dana perkreditan dalam

proses pembangunan mempunyai kedudukan yang cukup penting, sehingga harus ada

suatu bentuk perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang dapat memberikan

kepastian hukum bagi para pihak yang berkepentingan. Salah satu bentuk pengamanan

kredit dalam praktek perbankan dilakukan dengan pengikatan jaminan. Bentuk jaminan

yang paling banyak digunakan sebagai agunan dalam perjanjian kredit bank adalah hak

20
atas tanah, baik dengan status hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan maupun

hak pakai.

Bank di dalam memberikan kreditnya kepada debitur yang menggunakan jaminan

diwajibkan untuk menggunakan prinsip kepercayaan serta menerapkan dan

mengutamakan prinsip kehati hatian. Prinsip kehati-hatian (prudential banking)

merupakan salah satu prinsip yang harus ada di dalam setiap bank, baik yang beroperasi

secara konvensional maupun syari’ah. Prinsip kehati-hatian ini adalah suatu asas atau

prinsip yang menyatakan bahwa bank di dalam menjalankan fungsi dan kegiatan

utamanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana masyarakat

yang dipercayakan kepadanya.15

Berkaitan dengan unsur tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari

adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi

yang akan diterima dikemudian hari. Artinya semakin lama kredit diberikan maka

semakin tinggi pula tingkat resikonya. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur

resiko. Dengan adanya unsur resiko inilah, maka timbul jaminan dalam pemberian

kredit. Untuk mengurangi resiko dalam pemberian kredit, jaminan pemberian kredit

dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi

kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus

diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan

kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan,

15
Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 18. Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di
Indonesia, cetakan kedua, Jakarta:

21
modal, agunan dan prospek usaha dari nasabah debitor atau biasa disebut juga dengan

prinsip kehati-hatian.16

Penandatanganan perjanjian kredit kredit pada Bank dapat dibuat tidak secara

notariil artinya hal-hal yang diperjanjikan antara debitur (penerima kredit) dan kreditur

(pemberi kredit) dibuat dan ditandatangani tidak di hadapan notaris. Setelah perjanjian

kredit ditandatangani, maka tahap yang harus dilakukan yaitu serah terima jaminan

milik debitur kepada bank, dibuat dalam bentuk Bukti Serah Terima Jaminan

Tanah/Tanah & Bangunan.

4. Tinjauan Umum Tentang JAMINAN

a) Pengertian Jaminan

Ada beberapa pengertian Jaminan dalam literatur hukum yaitu sebagai

berikut:

a. Menurut Mariam Darus Badrulzaman merumuskan jaminan sebagai suatu

tanggungan yang diberikan oleh seseorang debitur dan atau pihak ketiga kepada

kreditur untuk meminjam kewajibannya dalam suatu perikatan.17

b. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan berpendapat bahwa hukum jaminan adalah

keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara

16
Media Grup, 2006, hlm.66. Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, cetakan II, Jakarta:
Kencana Prenada

17
Mariam Daruz Badrulzaman, 2005, Aneka Hukum Bisnis cetakan ke-2, PT. Alumni Bandung, hlm.12

22
pembeli dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan

untuk mendapatkan fasilitas kredit.18

Jaminan diatur dalam buku II dan buku III KUHPerdata. Arti jaminan menurut

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan agunan adalah

jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka

pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah. Jaminan

sebagai suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur dan atau pihak

ketiga kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan.19

c) Macam-macam Jaminan

(1) Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh

Undang-Undang dan Jaminan yang lahir

karena Perjanjian

Jaminan yang lahir karena undang-undang adalah jaminan yang

dilahirkan atau diadakan oleh ketentuan dalam Undang-Undang

sebagaimana diatur dalam pasal 1132 dan pasal 1134 ayat (1) KUHPerdata

yang mencakup seperti Jaminan Umum, Hak Privilege, dan hak retensi.

Sedangkan jaminan yang lahir karena perjanjian yaitu jaminan yang

diadakan atas dasar perjanjian yang dibuat oleh para pihak seperti gadai,

fidusia, hak tanggungan dan hipotik.

18
Indrawati Soewarso, 2002, Aspek Hukum Jaminan Kredit, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, Hkm.9
19
Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm.69

23
d) Jaminan yang bersifat Umum dan Jaminan yang bersifat Khusus

Jaminan umum dilahirkan karena Undang-Undang, sehingga tidak perlu

ada perjanjian jaminan sebelumnya. Sebagaimana diatur dalam pasal 1131

KUHPerdata yang menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang baik

yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun

yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala

perikatannya perorangan. Dalam jaminan yang bersifat umum ini semua

kreditur mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan kreditur-kreditur

yang lain, sehingga untuk system pelunasan hutangnya dibagi secara

seimbang berdasarkan besar kecilnya jumlaj tagihan masing-masing kreditur

dibandingkan dengan jumlah keseluruhannya utang debitur. Jaminan umum

didalam praktek perkreditan dianggap tidak memuaskan kreditur karena

dirasa kurang menimbulkan rasa aman dan kurang terjaminnya jaminan atas

kredit yang diberikan. Hal ini disebabkan karena dengan jaminan umum

tersebut kreditur tidak dapat mengetahui pasti berapa jumlah kekayaan

debitur saat ini dan yang akan ada dikemudian hari atau kepada siapa saja

debitur tersebut berhutang, sehingga muncul kekhawatiran kepada pihak

kreditur bahwasanya penjualan dari harta kekayaan debitur tidaklah cukup

untuk melunasi hutang debitur.

Untuk itu kreditur memerlukan adanya jaminan khusus atas benda-benda

tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan atas hutangnya dan itu

24
hanya berada dalam pengawasan kreditur sebagai pihak yang memberikan

hutang. Jaminan khusus ini timbul karena adanya perjanjian pokoknya

terlebih dahulu yang diadakan oleh kreditur dan debitur. Sedang dalam

praktek perkreditan hal yang sering terjadi atas kredit tersebut diikat dengan

jaminan yang berupa Hak Tanggungan. Untuk itu jaminan khusus berupa

Hak Tanggungan ini sifatnya assecoir yang artinya selalu mengikuti

perjanjian pokoknya.

e) Jaminan Perorangan dan Jaminan Kebendaan

Jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang atau

kreditur dengan seorang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-

kewajiban si berhutang atau debitur. Dasar hukumnya Pasal 1820

KUHPerdata berbunyi: “Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana

pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi

perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya”.

Untuk benda bergerak dapat dijaminkan dengan gadai dan fidusia.

Sedangkan yang dimaksud dengan jaminan kebendaan ialah jaminan yang

objeknya berupa baik barang bergerak maupun tidak bergerak yang khusus

diperuntukan untuk menjamin utang debitur kepada kreditur apabila

dikemudian hari debitur tidak dapat membayar utangnya kepada kreditur dan

untuk benda tidak bergerak khususnya tanah beserta benda-benda yang

berkaitan dengan tanah dibebankan dengan hak tanggungan (Undang-undang

25
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas

Tanah beserta Benda, benda yang Berkaitan Dengan Tanah) dan untuk benda

tidak bergerak bukan tanah seperti  kapal laut dengan bobot 20 m3 atau

lebih dan pesawat terbang serta helikopter dibebankan dengan hak hipotik. 20

Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak maupun benda

tidak bergerak. Jaminan kebendaan berupa benda bergerak yang berwujud

yaitu fidusia sedangkan jaminan benda bergerak tidak beruwud yaitu gadai

dan cessie. Sedangkan jaminan kebendaan yang berupa benda tidak bergerak

yaitu hipotik dan hak tanggungan.21

5. Tinjauan Umum Tentang HAK TANGGUNGAN

1. Pengertian Jaminan Hak Tanggungan

Pengertian hak tanggungan sesuai dengan Pasal 1 Angka 1 UUHT, yaitu: Hak

tanggungan merupakan hak jaminan kebendaan yang memberikan kreditur sebagai

pihak yang diutamakan bagi pemegangnya terhadap kreditur lain untuk memperoleh

pelunasan utang melalui pelelangan umum atas benda yang dijaminkan tersebut. Adrian

Sutedi membedakan jaminan menjadi dua yaitu jaminan yang lahir dari undang-undang

yaitu jaminan umum dan jaminan yang lahir karena perjanjian. Jaminan umum adalah

jaminan yang adanya telah ditentukan Undang-Undang, Contohnya adalah pada Pasal

1311 KUHPerdata, Pasal 1232 KUHPerdata, dan Pasal 1311 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa kekayaan Debitur, baik berupa benda bergerak dan tidak bergerak,
20
http://konsultanhukum.web.id/jenis-jenis-jaminan/ diakses pada tanggal 29 September 2020
21
Munir fuady, 2013, Hukum Jaminan Uthang, Erlangga, Jakarta, hlm 69

26
yang telah ada dan yang akan datang dikemudian hari walaupun tidak diserahkan

sebagai jaminan, maka akan secara hukum menjadi jaminan seluruh utang Debitur.

Sedangkan jaminan khusus adalah jaminan yang timbul karena adanya perjanjian

terlebih dahulu, yaitu perjanjian yang ada antara Debitur dengan pihak perbankan atau

pihak ketiga yang menanggung utang Debitur.22

Jaminan khusus terdiri dari jaminan yang bersifat perseorangan dan jaminan yang

bersifat kebendaan. Jaminan kebendaan memberikan hak mendahului atas benda-benda

tertentu dan mempunyai sifat yang melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan,

sedangkan jaminan perseorangan bersifat tidak memberikan hak mendahului atas

benda-benda tertentu tetapi hanya terbatas pada harta kekayaan seseorang lewat orang

yang menjamin pemenuhan yang bersangkutan.23 Sri Soedewi dalam bukunya yang

berjudul Hukum Jaminan di Indonesia menyatakan bahwa dalam praktek perbankan

perjanjian pokoknya itu berupa perjanjian pemberian kredit atau perjanjian membuka

kredit oleh bank, dengan kesanggupan memberikan jaminan berupa pembebanan hak

tanggungan pada suatu objek benda tertentu yang mempunyai tujuan sebagai

penjaminan kekuatan dari perjanjian pokoknya.24 Selain hak tanggungan, adapula

fidusia, gadai, Borgtocht, dan lain-lain. Perjanjian penjaminan sendiri mempunyai

22
Adrian Sutedi. 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 21.

23
Salim, HS. 2007, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm. 7

24
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan.1980, Hukum Jaminan di Indonesia, pokok-pokok Hukum Jaminan
dan Jaminan Perorangan, C.V Bina Usaha, Yogyakarta. Hlm. 37.

27
kedudukan sebagai perjanjian tambahan atau perjanjian accesoir yang dikaitkan dengan

perjanjian pokok tersebut. Kedudukan perjanjian penjaminan yang dikonstruksikan

sebagai perjanjian accesoir itu memberikan kuatnya lembaga jaminan tersebut bagi

keamanan pemberian kredit oleh kreditur.

2. Objek Hak Tanggungan

Objek hak tanggungan terdapat pada Pasal 4 ayat (1) UUHT yaitu hak atas tanah

yang dapat dibebani hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak

Pakai Atas Tanah Negara. Hak-hak tersebut menurut ketentuan yang berlaku wajib

didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan. Selain hak-hak atas tanah

tersebut dalam Pasal 4 ayat (2) yang dapat juga dibebani hak tanggungan juga berikut

hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib di daftar dan

menurut sifatnya dapat dipindah tangankan.

Pasal 4 ayat 4 UUHT menyatakan bahwa hak tanggungan dapat juga dibebankan

pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau

akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan

milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dinyatakan secara tegas dalam

Akta Pembebanan Hak Tanggungan yang bersangkutan. Suatu objek hak tanggungan

dapat dibebani lebih dari satu hak tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu

hutang dan peringkatnya masing-masing hak tanggungan tersebut ditentukan sesuai

dengan tanggal pendaftarannya pada kantor pertanahan. Dalam hal apabila didaftarkan

dengan tanggal yang sama maka melihat pada Akta Pembebanan Hak Tanggungan, dan

28
apabila suatu objek hak tanggungan dapat dibebani lebih dari satu hak tanggungan

sehingga terdapat pemegang hak tanggungan peringkat pertama, peringkat kedua, dan

peringkat seterusnya.25

3. Ciri-ciri Hak Tanggungan

Dari penjelasan Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, Adapun

ciri-ciri dari Hak tanggungan itu sendiri yaitu:

1) Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada

pemegangnya (droit de preference) seperti yang dituangkan dalam pasal 1 angka

1 dan pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan;

2) Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada

(droit de suite) seperti yang dituangkan dalam pasal 7 Undang-Undang Hak

Tanggungan;

3) Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas sehingga dapat mengikat pihak

ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang

berkepentingan;

4) Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Unsur pokok Hak Tanggungan

adalah:

25
M. Bahsan, 2010, Hukum Jaminan dan Jaminan kredit Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta. Hlm. 28.

29
1) Hak jaminan pelunasan hutang;

2) Objek hak tanggungan berupa hak atas tanah;

3) Hak tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya saja, tetapi dapat pula

dibebankan beserta benda-benda lain yang berada diatas tanah itu dan

merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut;

4) Besarnya nilai utang yang dijamin sama dengan utang tertentu;

5) Memberikan kedudukan kepada kreditur menjadi kreditur yang diutamakan

daripada kreditur-kreditur yang lain.

Posisi hak tanggungan dalam hukum jaminan merupakan satu-satunya Lembaga

jaminan atas tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Hak atas

tanah yang dapat dijadikan jaminan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Tanah tersebut harus dapat dinilai dengan uang karena utang yang dijamin

berupa uang termasuk didalamnya hak yang didaftar dalam daftar umum

karena memenuhi syarat publisitas;

2) Mempunyai sifat yang dapat dipindah tangankan karena apabila debitur

cidera janji maka benda yang dijadikan jaminan dapat dijual dimuka umum;

3) Memerlukan penunjukan dengan Undang-Undang.26

4. Proses Pembebanan Hak Tanggungan

26
Euginia Liliawati Muljono, 1996, Eksekusi Grosse Akte Hipotik Oleh Bank, Rineka Cipta, Jakarta, Hlm 25

30
Tahap pembebanan Hak tanggungan didahului dengan janji akan

memberikan hak Tanggungan. Menurut Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Hak

Tanggungan, janji tersebut wajib dituangkan dan merupakan bagian yang tidak

dapat dipisahkan dari perjanjian-perjanjian piutang.

Menurut pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan; “pemberian

hak tanggungan dilakukan denga Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta

pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan ha katas

tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak

dalam daerah kerjanya masing-masing.

Menurut
Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan, “pemberian

Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan”. Pasal 13 ayat (2)

menyatakan selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah penandatanganan

APHT, PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain

yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Warkah yang dimaksud meliputi

surat-surat bukti yang berkaitan dengan obyek hak tanggungan dan identitas

pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk didalamnya sertifikat hak atas tanah

dan/atau surat-surat keterangan mengenai obyek hak tanggungan. PPAT wajib

melaksanakan hal tersebut karena jabatannya dan sanksi atas pelanggaran hal

31
tersebut akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang jabatan PPAT.

Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan

membuat buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak

atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut

pada sertipikat hak aatas tanah yang bersangkutan. Menurut ketentuan pasal 14

ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa sebagai bukti

adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat hak

tanggungan. Hal ini berarti sertipikat hak tanggungan merupakan bukti adanya

hak tanggungan. Oleh karena itu maka sertipikat hak tanggungan dapat

membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya sudah ada atau dengan kata

lain yang menjadi patokan pokok adalah tanggal pendaftaran atau pencatatannya

dalam buku tanah hak tanggungan.

5. Pelaksanaan Pendaftaran dan Lahirnya Hak Tanggungan;

Berdasarkan penjelasan umum angka 7 Undang – Undang Hak Tanggungan

(Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996) proses pembebanan Hak Tanggungan

dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:27

27
Sutardja Sudrajat. 1997, Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbit Sertifikatnya, Mandar Maju,
Bandung. Hlm. 54.

32
1. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak

Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk selanjutnya disebut

PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin;

2. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya

Hak Tanggungan yang dibebankan.

Pasal 10 Undang-Undang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa Pemberian Hak

Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai

jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian

tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian

lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan

dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila obyek Hak Tanggungan

berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi

syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian

Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas

tanah yang bersangkutan. Di dalam pasal 14 Undang-Undang Hak Tanggungan

disebutkan bahwa sebagai tanda bukti telah adanya hak tanggungan, kepada

pemegang hak tanggungan akan diberikan Sertipikat Hak Tanggungan yang

diterbitkan oleh Kantor Pertanahan. Oleh karena Sertipikat Hak Tanggungan

merupakan tanda bukti adanya hak tanggungan, maka sertifikat tersebut

membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya sudah ada. Sertifikat Hak

Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan

33
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai

pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Kecuali

apabila diperjanjikan lain, sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan

pembebanan Hak Tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang

bersangkutan. Sertifikat Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang Hak

Tanggungan.28

Dalam pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan menyatakan bahwa Hak

Tanggungan lahir pada tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap

surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada

hari libur, buku-tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya.

Pembebanan Hak Tanggungan Atas Tanah Hak Milik Pembebanan hak tanggungan

atas tanah dengan status tanah Hak Milik dapat ditemukan dalam rumusan ketentuan

Pasal 25 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria, yang menyatakan secara tegas bahwa tanah dengan status Hak Milik

dapat dijaminkan dengan membebani hak atas tanah tersebut dengan hak

tanggungan. Selanjutnya ketentuan tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 4

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, dari rumusan Pasal 4 tersebut

diketahui bahwa ternyata selain bidang tanahnya, bangunan, tanaman, dan hasil

karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan bidang tanah

28
https://mylawuskblog.wordpress.com/2013/03/18/prosedur-pembebanan-hak-tanggungan-
berdasarkan-undang-undang-hak-tanggungan-uu-no-4-tahun-1996/

34
tersebut, baik yang merupakan milik pemegang hak atas tanah, maupun tidak, juga

dapat dibebani dengan hak tanggungan, selama dan sepanjang tindakan tersebut

dilakukan oleh pemiliknya dan pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam

Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.29

Berkenaan dengan pemberian hak tanggungan tersebut, dalam ketentuan Pasal

13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah bahwa pemberian hak

tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Secara tegas ternyata bahwa

saat pendaftaran pembebanan hak tanggungan adalah saat lahirnya hak tanggungan

tersebut. Sebelum pendaftaran dilakukan, maka hak tanggungan tidak pernah ada.

Hak tanggungan lahir dengan dilaksanakannya pendaftaran pemberian hak

tanggungan.

Pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun, pembebanan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan hak sewa untuk

bangunan atas Hak Milik, dan pembebanan lain pada hak atas tanah atau Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun yang ditentukan dengan peraturan perundang-undangan,

dapat didaftar jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta

29
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

35
Tanah yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

6. Hapusnya Hak Tanggungan;

Dalam Pasal 18 ayat (1a) UUHT pertama-tama menyebutkan hapusnya

hutang sebagai dasar hapusnya hak tanggungan. Hak tanggungan disini tampak

sifat accessoirnya, yang mana ia hapus kalua hutang untuk mana diberikan

jaminan Hak Tanggungan. Selain hapusnya hutang, pembaharuan hutang juga

dapat menjadikan hak tanggungan tersebut hapus. Dilepaskannya hak

tanggungan tersebut melalui pembersihan hak tanggungan tersebut berdasarkan

penetapan peringkat kreditur. Hapunya hak tanggungan juga dapat terjadi

apabila hak atas tanah yang menjadi hak tanggungan tersebut hapus. Hapusnya

Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan

pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan

tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.

Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan

penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan

pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas

tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana

diatur dalam Pasal 19 UUHT. Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak

atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang

yang dijamin. Dengan demikian jika hak tanggungan hapus karena hukum,

karena pelunasan atau sebab-sebab lain maka piutang yang dijaminnya menjadi

36
hapus. Oleh karena itu pencatatan hapusnya hak tanggungan yang bersangkutan

cukup berdasarkan pada pernyataan tertulis dari kreditur, yang menyatakan

bahwa piutang yang dijaminnya sudah dihapus dalam buku tanah hak

tanggungan yang bersangkutan, dibubuhkan dengan catatan mengenai hapusnya

hak tanggungan tersebut dan sertipikatnya ditiadakan.

7. Perjanjian kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan

Adanya aturan hukum mengenai pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan

dalam suatu perjanjian kredit bertujuan untuk memberikan kepastian dan

perlindungan hukum bagi semua pihak dalam memanfaatkan tanah beserta

benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit. Untuk itu,

praktik pengikatan kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dalam kegiatan

dalam kegiatan perbankan hendaknya dapat pula dilaksanakan sesuai dengan apa

yang telah diatur dalam UUHT. 

6. SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH

1. Pengertian sertipikat hak atas tanah

Pada Pasal 13 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961

dinyatakan bahwa surat tanda bukti hakatas tanah yang didaftar dinamakan

sertifikat, yaitu salinan dari buku tanah dan surat ukur setelah dijahit menjadi

satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh

Menteri Agraria. Dalam Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24

37
Tahun 1997, telah dinyatakan bahwa sertifikat adalah surat tanda bukti hak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas

tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak

tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang

bersangkutan. Maka sertifikat itu merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku

sebagai alat bukti yang kuat.30 Apabila ditinjau dari pengertian sertifikat itu

sendiri maka sertifikat adalah tanda bukti hak atas tanah, yang dikeluarkan oleh

pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut ketentuan

peraturan dan perundang-undangan. Sertifikat hak atas tanah membuktikan

bahwa seseorang atau suatu badan hukum, mempunyai suatu hak atas bidang

tanah tertentu. Sertifikat hak atas tanah membuktikan bahwa seseorang atau

suatu badan hukum mempunyai suatu hak atas bidang tanah tertentu,

kenyataannya bahwa seseorang atau suatu badan hukum menguasai secara fisik

dan menggunakan tanah yang bersangkutan tidak serta merta langsung

membuktikan bahwa ia mempunyai hak atas tanah yang dimaksud. 31 Selain

pengertian sertifikat yang diberikan oleh undang-undang secara otentik, ada juga

pengertian sertifikat yang diberikan oleh para sarjana. Salah satunya adalah K.

Wantjik Saleh yang menyatakan bahwa sertifikat adalah salinan buku tanah dan

30
Adrian Sutedi, 2012, Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta Timur, hlm. 86

31
Fitriyani, Dwi Nurhayati, 2014 “Perlindungan Hukum Bagi Sertifikat Ganda (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 286/Pdt.G/2012/Jkt-sel)”,(Tesis Program Studi Magister
Kenoktariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Hlm. 98-100

38
surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas

sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri. 32


jadi sertifikat adalah surat

tanda bukti hak yang dijilid dan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, yang

berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis

yang termuat di dalamnya, dimana data tersebut sesuai dengan data yang ada

dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.33

Sertifikat sebagai alat pembuktian yang kuat, berarti bahwa selama tidak

dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya

harus diterima sebagai data yang benar. Sudah barang tentu data fisik maupun

data yuridis yang tercantum dalam buku sertifikat harus sesuai dengan data yang

tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan karena data itu

diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut. Dengan demikian sertifikat

sebagai akta otentik, mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, dalam

arti bahwa hakim harus terikat dengan data yang disebutkan dalam sertifikat itu

selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain. Hal ini berkaitan

dengan sistem publikasi yang dianut oleh hukum pertanahan Indonesia baik

Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 maupun Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 yakni sistem publikasi negatif yang mengandung unsur

32
Irawan Soerodjo, 2002, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia, Aekola Surabaya,
Surabaya., hlm 86

33
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/19722/BAB%20II.pdf?
sequence=6&isAllowed=y

39
positif karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak (sertifikat) yang

berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Tujuan dari diterbitkannya sertifikat adalah untuk kepentingan dari

pemegang hak yang didasarkan pada data fisik dan data yuridis sebagaimana

yang telah didaftarkan dalam buku tanah. Adanya sertifikat dapat menjadi bukti

autentik dari si pemegang sertifikat sehingga apabila ada pihak lain yang

menganggap bahwa tanah tersebut adalah miliknya, pemegang sertipikat

memiliki bukti yang kuat bahwa secara hukum dia adalah pemilik tanah tersebut.
34

Fungsi sertifikat hak atas tanah (hak milik) menurut UUPA merupakan alat

bukti yang kuat bagi pemiliknya, artinya bahwa selama tidak dapat dibuktikan

sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus

diterima sebagai data yang benar.Sertifikat sebagai alat bukti yang kuat, tidak

sebagai alat bukti mutlak, hal ini berkaitan dengan sistem publikasi yang dianut

oleh hukum pertanahan Indonesia baik Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun

1961 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yakni sistem

publikasi negatif yang mengandung unsur positif karena akan menghasilkan

surat-surat tanda bukti hak (sertifikat) yang berlaku sebagai alat pembuktian

yang kuat.

34
Jimmy Joses Sembiring, 2010, Paduan Mengurus Sertifikat Tanah, Visi Media, Jakarta, Hlm. 43

40
2. Proses Penerbitan sertifikat

Sistem pendaftaran tanah mempermasalahkan apa yang didaftar, bentuk

penyimpanan dan penyajian data yuridisnya serta bentuk tanda bukti haknya.

Menurut Boedi Harsono sistem pendaftaran tanah ada 2 (dua) macam, yaitu

sistem pendaftaran akta (registration of deeds) dan sistem pendaftaran hak

(registration of title). Baik dalam sistem pendaftaran akta maupun sistem

pendaftaran hak, setiap pemberian atau penciptaan hak baru, peralihan serta

pembebanannya dengan hak lain, harus dibuktikan dengan suatu akta.

Pada sistem pendaftaran akta, akta-akta itulah yang didaftarkan oleh pejabat

pendaftaran tanah. Dalam sistem ini pejabatnya bersifat pasif sehingga ia tidak

melakukan penyelidikan data yang tercantum dalam akta yang didaftar. Tiap kali

terjadi perubahan wajib dibuatkan akta sebagai buktinya. Maka dalam sistem ini

data yuridis yang diperlukan harus dicari dalam akta-akta yang bersangkutan.

Untuk memperoleh data yuridis yang diperlukan harus melakukan apa yang

disebut “title search” yang dapat memakan waktu lama dan biaya.

Pada sistem pendaftaran hak, bukan aktanya yang didaftar, melainkan

haknya yang diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian. Akta

merupakan sumber datanya. Untuk pendaftaran hak dan perubahan-perubahan

yang terjadi disediakan suatu daftar isian (register), atau disebut juga buku

tanah. Buku tanah ini disimpan di kantor pertanahan dan terbuka untuk umum.

Dalam sistem ini pejabat pendaftaran tanah bersikap aktif dan sebagai tanda

41
bukti hak diterbitkan sertifikat yang merupakan salinan register (certificate of

title).

Suatu sertifikat hak milik atas tanah agar dapat memiliki kekuatan

pembuktian yang kuat harus memenuhi salah satu kriteria dalam penerbitannya

dilakukan oleh Instansi yang berwenang dalam menerbitkan sertifikat hak milik

atas tanah. Pejabat yang berwenang dalam hal menerbitkan suatu sertifikat hak

milik atas tanah adalah Kepala Kantor Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Kewenangan Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan sertifikat diatur di dalam

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2

Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan

Kegiatan Pendaftaran Tanah.

Sertipikat hak milik atas tanah merupakan produk hukum yang di buat dan

diterbitkan oleh instansi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan

Pertanahan Nasional. Pengertian sertipikat hak milik atas tanah menurut Pasal 1

angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud pada pasal 19 ayat

(2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak

pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak

tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang

bersangkutan. Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa pendaftaran tanah

42
merupakan “rangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah yang

meliputi, pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta

pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai

bidang-bidang tanah dan satuansatuan rumah susun, termasuk pemberian surat

tanda bukti haknya sebagai bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak

milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.

Agar subyek hukum pemohon hak milik atas tanah dapat memperoleh kepastian

hukum kepemilikan hak atas tanah yakni berupa sertifikat, maka harus dilalui

melalui berbagai tahapan yang telah di tetapkan oleh pemerintah berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah dan

Peraturan menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Terbitnya suatu sertipikat terkait dengan kegiatan dalam pendaftaran tanah.

Salah satu kegiatan dalam pendaftaran tanah sebagaimana ditegaskan dalam

Pasal 19 ayat 2 UUPA, adalah pemberian surat-surat tanda bukti hak yang

berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Pasal 19 ayat 2 UUPA hanya

menyebut surat tanda bukti hak, tetapi tidak menyebut nama surat tanda bukti

hak. Dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 disebutkan bahwa nama

surat tanda bukti hak dinamakan sertipikat. Manfaat yang diperoleh dengan

diterbitkannya sertipikat dikemukakan oleh Maria S.W. Sumardjono, yaitu dapat

mengurangi kemungkinan timbulnya sengketa dengan pihak lain, serta

memperkuat posisi tawar-menawar apabila hak-hak atas tanah diperlukan oleh

43
pihak lain untuk kegiatan pembangunan, serta mempersingkat proses peralihan

hak dan pembebanan hak atas tanah. Bagi seseorang yang memegang hak atas

tanah memiliki sertipikat mempunyai nilai lebih. Sebab dibandingkan dengan

alat bukti tertulis lain, sertipikat dapat juga merupakan tanda bukti hak yang

kuat, yang artinya harus dianggap benar sampai dibuktikan sebaliknya di

pengadilan (Maria S.W. Sumardjono, 2005:202). Sertipikat hak atas tanah yang

diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota mempunyai sifat

pembuktian yang kuat bukan bersifat mutlak, artinya sertipikat masih dapat

dibatalkan oleh pihak lain yang merasa dirugikan atas diterbitkannya sertipikat.

Sertipikat diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota.

Sertipikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak-hak yang bersangkutan

yaitu sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah di daftar di dalam buku

tanah. Penerbitan sertipikat, pendaftaran atas tanah melalui pendaftaran tanah

secara sistematik dan pendaftaran atas tanah secara sporadik dapat menghasilkan

suatu sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah yang telah diterbitkan oleh

instansi Kantor Pertanahan Kabupaten dan atau Kantor Pertanahan Kota.

Adanya Jaminan kepastian hukum, pendaftaran tanah bertujuan untuk

memberikan jaminan kepastian hukum bagi si pemilik tanah atau pemegang hak

atas tanah. Menurut Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa ruang lingkup

dari jaminan kepastian hukum meliputi: Kepastian hak atas tanah, artinya

dengan didaftarkannya hak atas tanah akan dapat diketahui status haknya,

apakah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak

44
Pengelolaan ataukah hak yang lain; Kepastian subyek hak atas tanah, artinya

dengan didaftarkannya hak atas tanah akan dapat diketahui siapakah yang

menjadi subyek haknya, apakah orang-seorang, orang-orang secara bersama-

sama atau badan hukum; Kepastian obyek hak atas tanah, artinya dengan

didaftarkannya hak atas tanah akan dapat diketahui dengan pasti dimana letak

tanahnya, batas-batas tanahnya, dan ukuran (luas) tanahnya (Sudikno

Mertokusumo, 1988:95). Adanya Jaminan perlindungan hukum, pendaftaran

tanah bertujuan memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pemilik tanah

atau pemegang hak atas tanah. Pemilik tanah atau pemegang hak atas tanah akan

mendapatkan rasa aman, tenang, nyaman, dan tidak mendapatkan gangguan atau

gugatan dari pihak lain.

Sertipikat hak atas tanah yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kabupaten atau

Kota merupakan tanda bukti hak yang bersifat kuat, berisi salinan buku tanah

yang memuat data fisik dan data yuridis yang memuat data fisik. Dengan

diterbitkan sertipikat hak atas tanah dengan mudah dapat dibuktikan bahwa

orang atau badan hukum yang namanya tercantum dalam sertipikat adalah

pemegang haknya. Dengan diterbitkan sertipikat hak atas tanah akan terwujud

jaminan kepastian hukum, yang meliputi kepastian status hak atas tanah, subyek

hak atas tanah, dan obyek hak atas tanah. Juga terwujud perlindungan hukum,

yaitu pemilik tanah atau pemegang hak atas tanah merasa aman, tenang,

nyaman, tidak mendapat gangguan atau gugatan oleh pihak lain. Sertipikat hak

atas tanah yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota sebagai

45
tanda bukti hak yang bersifat kuat, maka masih dapat dibatalkan atas dasar

putusan Pengadilan Negeri yang sengketanya bersifat keperdataan atau PTUN

yang sengketanya bersifat tata usaha negara. Pembatalan sertipikat hak atas

tanah juga dapat diajukan oleh pihak yang dirugikan kepada Kepala BPNRI

karena ada cacat hukum administratif.

3. Janji memegang Sertifikat Hak Atas Tanah

Dalam pasal 11 ayat (2k) UUHT dimungkinkan bagi kreditur untuk

memperjanjikan janji seperti yang dimaksud dalam pasal 14 ayat (4) yaitu janji

bahwa; pemegang hak tanggungan akan memegang sertifikat hak atas tanah

yang dijaminkan, setelah pembebanan dicatat dalam sertifikat yang

bersangkutan. Ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2k) dan pasal 14 ayat (4) UUHT

ditinjau dari dengan pasal 22 ayat (4) PP Nomor 10 Tahun 1961 yang

menetapkan bahwa jika pendaftaran itu merupakan pemberian hak baru,

penggadaian haka tau peminjaman uang dengan hak sebagai atas tanah sebagai

tanggungan, maka setelah pendaftaran dalam daftar buku tanah dan pencatatan

dalam sertifikat yang bersangkutan, sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan

dikembalikan kepada yang berhak atas tanah, sedang kepada yang memperoleh

hak baru, hak gadai atau hak tanggungan atas tanah, diberikan sertifikat hak

baru, hak gadai atau hak tanggungan tersebut. Jadi jelas, bahwa berdasarkan

ketentuan tersebut pada prinsipnya sertifikat ha katas tanah harus dikembalikan

kepada pemiliknya yang dalam hubungan dengan hak tanggungan adalah si

46
pemberi-Hak Tanggungan. Dari ketentuan pasal 14 ayat (4) UUHT dapat

disimpulkan bahwa prinsip seperti itu masih tetap dipertahankan. Kreditur pada

asasnya hanya memegang sertifikat Hak Tanggungannya.

4. Prosedur penerbitan sertifikat Pengganti

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

pasal 138 yang berbunyi sebagi berikut:

a) Penerbitan sertifikat pengganti karena hilang didasarkan atas pernyataan dari

pemegang hak mengenai hilangnya sertifikat.

b) Pernyataan tersebut dibuat dibawah sumpah didepan Kepala Kantor Pertanahan letak

tanah yang bersangkutan atau Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah atau

pejabat lain yang ditunjuk Kepala Kantor Pertanahan.

Serta dalam Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional


Nomor 10 Tahun 1993 (KepmenAgraria No.10/1993) Pasal 1 huruf d, menyatakan
bahwa Penggantian sertifikat adalahpenggantian sertifikat lama dengan sertifikat
baru. Adapun prosedur yang harus dilalui di dalam penerbitan sertifikat yang hilang
di kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan adalah sebagai berikut :

1) Surat Tanda Lapor Kehilangan Dari Kepolisian Setempat : Langkah pertama


yang harus Anda lakukan adalah melaporkan perihal kehilangan sertifikat tanah
Anda tersebut ke pihak yang berwenang, dalam hal ini kepolisian. Saat melapor,
sebutkan nomor sertifikat , lokasi tanah, dan atas nama siapa tanah tersebut.
Pihak kepolisian juga mungkin mensyaratkan agar kehilangan sertifikat tersebut
diumumkan di media cetak lokal dan nasional serta media elektronik. Akan

47
tetapi langkah pemasangan pengumuman ini biasanya dilakukan oleh Kantor
pertanahan, atas biaya pemohon. Setelah itu akan dikeluarkan Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) yang nantinya dibawa ke Kantor pertanahan setempat.
2) Pemblokiran Sertifikat Tanah : Jika terdapat jeda waktu yang cukup lama antara
kejadian hilangnya sertifikat tanah dengan keluarnya BAP sebagai dasar pemblokiran
sertifikat, misalnya lebih dari 1 bulan, hal ini dapat diatasi dengan langsung
mengirimkan surat permohonan pemblokiran sertifikat tanah ke Kantor pertanahan
setempat pada saat sertifikat diketahui hilang dengan menceritakan kronologi
kejadian. Untuk memblokir sertifikat tanah, juga diperlukan dokumen seperti fotokopi
sertifikat tanah yang dimaksud serta identitas pemilik sertifikat untuk melengkapi surat
blokir yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat. Setelah surat blokir
sudah diterima pihak Kantor Pertanahan dan sudah dicatatkan di buku tanah, maka
sertifikat tanah Anda pun sudah aman, tidak ada pihak lain yang dapat melakukan
proses apa pun terhadap tanah Anda hingga ada permohonan sertifikat pengganti.

3) Mengurus Penggantian Sertifikat Tanah ke Kantor Badan Pertanahan Nasional


(BPN) : Setelah membuat surat keterangan kehilangan sertifikat tanah di Kantor
Polisi, BAP tersebut di bawa ke kantor pertanahan setempat untuk di tindak
lanjuti atas permintaan penerbitan sertifikat.

4) Permohonan : Permohonan dilakukan oleh pemegang hak. Di dalam Peraturan


Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997)
Pasal 57 ayat (1) dinyatakan bahwa:

(a) Atas permohonan pemegang hak diterbitkan sertifikat baru sebagai pengganti
sertifikat yang rusak,hilang, masih menggunakan blangko sertifikat yang tidak
digunakan lagi, atau yang tidak diserahkankepada pembeli lelang dalam suatu
lelang eksekusi.

48
(b) Permohonan sertifikat pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat diajukan oleh pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak
dalam buku tanah yang bersangkutan atau pihaklain yang merupakan penerima
hak berdasarkan akta PPAT atau kutipan risalah lelang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 dan Pasal 41, atau akta sebagaimana dimaksud Pasal 43 ayat (1),
atau surat sebagaimana dimaksud Pasal 53, atau kuasanya.” Melampirkan
sertifikat rusak yang bersangkutan sebagaimana bunyi Pasal 137 ayat (1) Permen
Agraria3/1997, bahwa permohonan penerbitan sertifikat pengganti karena rusak
atau karena masih menggunakan blangko sertifikat lama dapat diajukan oleh
yang berkepentingan dengan melampirkan sertifikat atau sisa sertifikat yang
bersangkutan.

5) Pemeriksaan Atau Verifikasi Oleh BPN :Pemeriksaan atau Verifikasi oleh


Kantor Pertanahan sesuai dengan isi Pasal 3 Kepmen Agraria 10/1993 yang
berbunyi bahwa dalam melaksanakan penggantian sertifikat, Kepala Kantor
Pertanahan wajib memeriksa sertifikat lamayang bersangkutan, dengan
mencocokkannya terhadap buku tanah, surat ukur/gambar situasi, peta-peta,
warkah dan daftar-daftar isian lain yang bersangkutan dengan sertifikat tersebut
yang ada padaKantor Pertanahan yang bersangkutan.
6) Terkait Surat Ukur/Gambar Situasi : Terkait Surat Ukur/Gambar Situasi Berlaku
ketentuan sesuai dengan isi Pasal 5 K 1) Dalam penggantian sertifikat lama yang
sudah ada Surat Ukur/Gambar Situasinya, tidak perludilakukan pengukuran,
pemetaan danpembuatan Surat Ukur/Gambar Situasi yang baru,
sepanjang SuratUkur/Gambar Situasi yang lama masih memenuhi syarat teknis
2) Surat Ukur/Gambar Situasi yang merupakan bagian sertifikat baru adalah
Salinan dari SuratUkur/Gambar Situasi lama yang dibuat pada blangko Surat
Ukur/Gambar Situasi baru dan diberi nomoryang baru.”Artinya dokumen yang
dimaksud, sepanjang masih memenuhi syarat teknis, maka tidak perlu
pembuatansurat ukur/gambar situasi ulang, begitu juga sebaliknya.

49
7) Penggantian Sertifikat Dicatat Pada Buku Tanah Yang Bersangkutan :
Penggantian sertifikat dicatat pada buku tanah yang bersangkutan Pasal 57 ayat
(4) PP 24/1997 berbunyi (4) Penggantian sertifikat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dicatat pada buku tanah yangbersangkutan. Dengan catatan bahwa
sertifikat yang lama ditahan dan dimusnahkan, sesuai dengan isi Pasal 58
PP24/1997, bahwa dalam hal penggantian sertifikat karena rusak atau
pembaharuan blangko sertifikat, sertifikat yang lama ditahan dan dimusnahkan.
8) Penerbitan Sertifikat Pengganti : Berlaku ketentuan Pasal 139 PermenAgraria
3/1997, bahwa perubahan nomor sertifikat yang lama (rusak)dengan sertifikat
yang baru (pengganti).Apabila dalam jangka waktu satu bulan atau 30 hari sejak
pemasangan pengumuman di media cetak tidak ada pihak yang mengajukan
keberatan atas pembuatan sertifikat pengganti, atau ada pihak yang mengajukan
keberatan namun keberatannya terbukti tidak beralasan atau tidak mendasar,
maka Kantor Pertanahan akan menerbitkan sertifikat pengganti.
9) Waktu Yang Diperlukan : Berdasarkan peraturan-peraturan terkait yang ada, tidak
ada batasan waktu yang tegas terkait berapalama waktu yang dibutuhkan dalam
proses penggantian sertifikat , dimulai sejak permohonan sampaidengan penerbitan.
Informasi bahwa waktu proses pengurusansertifikat yang hilang adalahsekitar 2
sampai 3 bulan.

Setelah semuanya dilalui maka, selanjutnya dimasukkan ke kantor Pertanahan


Kabupaten Pasuruan dengan langkah sebagai berikut :

(a) Syarat-syarat yang telah dipenuhi oleh pemohon sertifikat pengganti hak atas
tanahmaka pemohon dapat mengajukan permohonan penerbitan sertifikat
pengganti hakatas tanah di kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan.
(b) Pemohon sertifikat pengganti hak atas tanah datang ke
KantorPertanahanKabupaten Pasuruan dengan membawa dokumen-dokumen
yang telah dijelaskanpada poin persyaratan tersebut diatas, lalu diserahkan
keloket II (petugasteknis).

50
(c) Petugas teknis di loket II akan melakukan penelitian terhadap dokumen-
dokumen, dan apabila sudah lengkap akan diberikan tanda terimadokumen.
(d) Setelah dokumen dibukukan akan diteruskan kekasubsi Pendaftaran Hak
(e) KasubsiPendaftaranHakakanmempelajari,mendisposisikandan menyerahkan
kepada petugas pelaksana.
(f) Dan selanjutnya petugas pelaksana membuat konsep pengumuman berdasarkan
dokumen-dokumen dari subseksi pendaftaran hak,dan diserahkan kembali ke
kasubsi pendaftaran hak.
(g) Selanjutnya setelah meneliti kasubsi pendaftaran hak memaraf atas konsep
pengumuman tersebut dan diserahkan kepada seksi survei, pengukuran
danpemetaan.
(h) Selanjutnya kepala seksi survei, pengukuran dan pemetaan, meneliti ataskonsep
pengumuman tersebut dan memberikan paraf, kemudian selanjutnyadikirim
kepada kepala kantor.
(i) Setelah diteliti oleh kepala kantor, kepala kantor menandatangani konsep
pengumuman tersebut, kemudian konsep pengumuman tersebut diumumkan
pada media masa setempat, kantor kelurahan, dan pada kantor pertanahan itu
sendiri. Dan apabila dalam jangka waktu 30 hari kerja pengumuman tersebut ada
yang konplin (keberatan) atau ada yang mengaku dirinya yang mempunyai hak
atas tanah tersebut, dan alasan tersebut cukup beralasan setelah diteliti
dilapangan oleh petugas kantor pertanahan, maka permohonan sertifikat
pengganti tersebutditunda sampai ada penyelesaian melalui putusan pengadilan

negeri setempat. Dan jika dalam jangka waktu 30 hari kerja tidak ada yang
mengajukan keberatan atas pengumuman penerbitan sertifikat pengganti hak
atas tanahmaka Kantor Badan Pertanahan dapat melanjutkan pembuatan
sertifikat pengganti hak atas tanah tersebut melalui petugas pelaksana.
(j) Petugas pelaksana akan melakukan pinjaman warkah asli, kemudian
menelitiwarkah, membuat konsep, salinan surat ukur, membuat sertifikat

51
baru,membuat berita acara, membuat catatan pada buku tanah dan dokumen-
dokumen tersebut lalu diserahkan kepada kasubsi pendaftaran hak.
(k) Kasubsi pendaftaran hak meneliti dan memberi paraf pada konsep
sertifikat,buku tanah, berita acara dan salinan surat ukur, kemudian dokumen-
dokumentersebut diserahkan kepada seksi survei, pengukuran dan pemetaan.
(l) Kepala seksi survei, pengukuran dan pemetaan memberikan paraf padakonsep
sertifikat, buku tanah dan salinan surat ukur/gambar situasi, kemudiandokumen
tersebut diserahkan kepada kepala kantor.
(m) Kepala kantor memberi tandatangan pada sertifikat, buku tanah, berita
acaradan salinan surat ukur/gambar situasi.
(n) Kemudian petugas pelaksana akan melakukan pembukuan dan dokumen-
dokumen tersebut akan dikirim keloket IV (petugas tata usaha) dan
mencatatpada buku khusus penerimaan sertifikat, lalu memberikan
sertifikatpengganti hak atas tanah tersebut kepada pemohon atau orang yang
diberikankuasa oleh pemohon.

Setelah prosedur yang dilalaui semuanya maka, akan terbitlah sertifikat pengganti
yang secara hukum kekuatan dari serifikat pengganti ini tidak berbeda dengan serifikat
pada umumnya.

Penerbitan sertifikat pengganti harus mengandung 3 (tiga) yaitu sebagai berikut:

1) Asas Kepastian Hukum (Rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut yuridis.

Dalam penerbitan sertifikat pengganti yang hilang oleh Kantor Pertanahan


Kabupaten Pasuruan adalah ingin memberikan kepastian secara hukum bahwa tanah
yang diterbitkan sertifikat pengganti tersebut adalah secara hukum adalah milik
pemohon. Yang dibuktikan baik secara yuridis bisa dipertanggung jawabkan
dihadapan hukum bahwa sertifikat tersebut adalah syah milik pemohon hal tersebut
harus dibuktikan dilapangan dengan mengecek langsung fisik yang ada. Hal ini harus
sesui dengan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang

52
isinya :“ Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat
didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang
ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.” Dalam hal yang berkenaan
kepastian hukum dalam penerbitan sertifikat pengganti harus sesuai dengan pasal 19
UUPA

2) Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut


filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di
depan pengadilan. Artinya bahwa kalau kita kaitkan dengan penertbitan
sertifikat pengganti karena hilang, maka dalam prosedurnya harus
diumumkan telebih dahulu sebelum penerbitan sertifikat penggantinya
baik melalui media massa maupun melalui papan pengumuman
dikelurahan tempat di mana sertikat tersebut itu hilang serta ditempel di
papan pengumuman di kantor pertanahan Kabupaten Pasuruan, jika
dalam 30 hari tidak ada yang keberatan maka akan diterbitkan sertifikat
penggantinya, akan tetapi jika ada pihak yang keberatan dengan sertifikat
tersebut, baik pihak Bank yang menyatakan bahwa sertifikat tersebut
masih di Bank tapi dinyatakan hilang, atau memang betul hilang tapi ada
pihak lain yang menyatakan bahwa sertifikat tersebut adalah miliknya,
maka penerbitan sertifikat pengganti tersebut akan di tunda sampai
adanya keputusan pengadilan siap yang berhak atas tanah tersebut. Hal
ini sesuai dengan teori kepastian hukum karena siapapun yang
mengalami seperti hal tersebut baik itu pejabat maupun tidak maka harus
mendapatkan perlakuan yang sama dan prosedur yang sama sesuai
dengan setandart operasional (SOP).
3) Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau
utility).
- bahwa penerbitan sertifikat pengganti selain mempunya tujuan
untuk mempunyai kepastian hukum juga mempunyai manfaat

53
buat pemegang sertifikat tersebut yaitu sebagai bukti kepemilikan
atas suatu hak atas tanah. Dengan demikan dengan adanya
prosedur penerbitan sertifikat pengganti karena hilang maka
membawa manfaat buat orang yang mempunyai hak sehingga
tidak menimbulkan hilangnya hak seseorang di mata hukum dan
mempunyai kepastian hukum.
- Penerbitan sertikat pengganti kalau kita analisis dari sisi
pembuktiannya, maka suatu hak apapun harus bisa dibuktikan
dan dipertanggung jawabkan. Hal ini akan berkenaan dengan
kepastian kepemilikan akan suatu hak.

G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif - empiris yaitu
Metode penelitian hukum normatif empiris ini pada dasarnya merupakan
penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan
berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif-empiris mengenai
implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya pada
setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat.
Berdasarkan dengan kategori Pendekatan judicial case study, yakni merupakan
pendekatan studi kasus hukum karena konflik sehingga akan melibatkan campur
tangan dengan pengadilan untuk memberikan keputusan penyelesaian
(yurisprudensi).35 Penelitian hukum normatif-empiris (terapan) bermula dari
ketentuan hukum positif tertulis yang diberlakukan pada peristiwa hukum in
concreto dalam masyarakat, sehingga dalam penelitiannya selalu terdapat
gabungan dua tahap kajian yaitu:36

35
https://idtesis.com/metode-penelitian-hukum-empiris-dan-normatif/

36
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum Cet-1, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 52.

54
1) Tahap pertama adalah kajian megenai hukum normatif yang berlaku;
2) Tahap kedua adalah penerapan pada peristiwa in concreto guna mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Penerapan tersebut dapat diwujudkan melalui
perbuatan nyata dan dokumen hukum. Hasil penerapan akan menciptakan
pemahaman realisasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum normatif
yang dikaji telah dijalankan secara patut atau tidak. Penggunaan kedua
tahapan tersebut membutuhkan data sekunder dan data primer.

2. Teknik Pengumpulan Data


Menggunakan Data Sekunder (diperoleh dari studi kepustakaan) dilengkapi
dengan Data Primer (diperoleh dari penelitian lapangan)
a) Penelitian Kepustakaan (Library Research)
1) Bahan Hukum Primer;
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat otoritatif
yaitu hasil dari Tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh Lembaga
yang berwenang itu.37 Bahan hukum primer yang digunakan dalam
penelitian hukum ini adalah:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok Agraria
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 atas perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 01/POJK.007/2013
Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
2) Bahan Hukum Sekunder;

37
Fajar Mukti ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm.104.

55
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan dari bahan hukum primer, yang meliputi:
a) Buku-buku yang membahas mengenai :
- Perbankan
- Tanggungjawab Notaris
- Perjanjian
- Jaminan
- Pendaftaran Tanah
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder yang meliputi kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia.

b) Cara Pengumpulan Data


Cara yang dilakukan oleh penulis ini dalam melakukan penelitian yaitu
dengan melalui penelitian kepustakaan (library search) dengan data
sekunder, disamping itu juga dilakukan penelitian lapangan (field research)
dengan menggunakan data primer.

3) Penelitian Lapangan (Filed Research)


Penelitian ini dilakukan dengan metode menganalisis putusan yang dikuatkan
dengan penelitian lapangan dengan metode wawancara dengan narasumber untuk
memperoleh keterangan atas kebenaran yang jelas mengenai putusan pengadilan
tersebut.
a) Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian ini dilakukan di Kota Kendari
b) Subjek Penelitian
1) Responden:

56
Responden adalah subjek yang memberikan jawaban atas
pertanyaan peneliti yang berkaitan langsung dengan permasalahan
yang diteliti.38 Responden dalam penelitian ini yaitu :
- Perwakilan Bank X di Kota Kendari (Selaku tergugat dalam
putusan dalam penelitian ini);
- Notaris X (Selaku tergugat dalam putusan dalam penelitian
ini);
2) Narasumber:
Narasumber adalah orang yang tidak berkaitan secara langsung
dengan objek yang diteliti, namun merupakan orang yang memahami
tentang masalah penelitian karena kompetensi keilmuan yang
dimilikinya. Narasumber dapat memberikan informasi berkaitan
dengan permasalahan penelitian. Adapun narasumber dalam
penelitian ini yaitu:
- Emi Astuti, S.H selaku Notaris dan PPAT di Kabupaten
Muna
- Achmad, S.H selaku Notaris dan PPAT di Kabupaten
Konawe
- Yang ahli perbankan?

3. Alat Pengumpulan Data


Alat pengumpulan data dalam penelitian menggunakan putusan pengadilan
yang dikuatkan dengan menggunakan hasil wawancara.

4. Jalannya Penelitian
a. Persiapan
Pada tahap persiapan ini, penulis melakukan pemilihan judul dan
menentukan rumusan masalah yang selanjutnya dituangkan dalam sebuah

38
Maria S.W Sumardjono, 2014, Metodologi Penelitian Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, Hlm. 27

57
proposal atau usulan penelitian hukum. proposal tersebut dikonsultasikan
kepada dosen pembimbing dan setelah proposal disetujui, maka selanjutnya
penulis akan melakukan seminar proposal dihadapan dosen penguji.
b. Penelitian
Pada tahap penelitian ini, penulis mengumpulkan bahan-bahan penelitian
yang terdiri dari data primer dan data sekunder beserta hasil wawancara.
Data primer digunakan untuk mengkaji suatu produk hukum yang mengikat
dan juga memiliki suatu keabsahan sebagai suatu produk hukum, sedangkan
data sekunder digunakan dengan melakukan studi kepustakaan, sedangkan
hasil wawancara digunakan untuk melengkapi kebenaran yang ada.
c. Penyelesaian
Tahap penyelesaian ini, penulis menganalisis seluruh data hasil
penelitian untuk menjawab rumusan masalah pada penulisan hukum ini.
Hal selanjutnya dengan dikonsultasikan kepada dosen pembimbing,
revisi, kemudian sidang seminar hasil dihadapan dosen penguji.

58

Anda mungkin juga menyukai