Anda di halaman 1dari 16

Akibat Hukum Terhadap Bank Atas Pembatalan Hak Tanggungan

Melalui Putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap

Ryan Dwitama Hutadjulu, Lastuti Abubakar, dan Tri Handayani


Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung
ryan10003@mail.unpad.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan menganalisis akibat hukum terhadap kedudukan dan kewajiban bank selaku
pemegang hak tanggungan dalam hal hak tanggungan yang telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum
oleh putusan pengadilan. Perkembangan di bidang perekonomian makin hari menunjukkan peranan
perbankan yang cukup penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi di Indonesia. Pemberian kredit
telah menjadi salah satu fungsi utama bank hal mana dilakukan walaupun terdapat resiko tidak kembalinya
kredit yang disalurkan. Keberadaan jaminan menjadi hal yang cukup diperhatikan dalam pemberian kredit,
dimana tanah sebagai agunan kredit menjadi sangat diminati oleh bank dengan diletakkan hak tanggungan.
Pembatalan atas sertifikat kepemilikan atas tanah dapat diajukan bahkan terhadap hak atas tanah yang telah
dibebani hak tanggungan. Metode penelitian ini ialah yuridis normatif. Dari hasil pembahasan diperoleh
kesimpulan bahwa akibat hukum terhadap hak tanggungan yang telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan
hukum oleh putusan pengadilan terhadap kedudukan dan kewajiban bank selaku pemegang hak tanggungan
adalah bank selaku Kreditur atas kredit kehilangan kedudukan sebagai kreditur preferen. Pembatalan
perjanjian peralihan hak atas tanah menyebabkan perjanjian hak tanggungan juga batal mengingat objek
perjanjiannya menjadi tidak memenuhi syarat sah nya perjanjian. Hubungan kontraktual antara debitur dan
bank selaku kreditur dalam perjanjian hak tersebut dianggap tidak ada keadaannya harus dikembalikan
seperti semula.
Kata Kunci: Bank; Hak Tanggungan; Pembatalan; Pengadilan; Perlindungan Hukum;

Abstract

Developments in the economic sector are increasingly showing the role of banking which is quite important
in enhancing economic development in Indonesia. Lending has become one of the main functions of the
bank which is done even though there is a risk of not returning the credit extended. The existence of
collateral is a matter of sufficient attention in granting credit, where land as collateral for credit is in great
demand by banks by placing mortgage rights. Cancellation of land ownership certificates can be filed even
for land rights that have been encumbered with Mortgage rights. What is intended to be discussed in this
paper is the legal consequences of mortgage rights which have been declared to have no legal force by a
Court Decision on the position and obligations of the bank as the mortgage holder in terms of the Mortgage
Law. This research method is normative juridical. From the results of the discussion, it is concluded that the
legal consequences for mortgage rights which have been declared to have no legal force by a Court
Decision on the position and obligations of the bank as the holder of the mortgage right are the Bank as
Creditor for credit, losing its position as preferred creditor. The cancellation of the agreement on the
transfer of land rights causes the mortgage agreement to also be canceled considering that the object of the
agreement does not fulfill the legal requirements of the agreement. The contractual relationship between the
debtor and the bank as the creditor in the said rights agreement is considered non-existent and must be
returned to its original state before the mortgage agreement.
Keywords: Banks; Mortgage right; Cancellation; Court; Legal protection;
1. PENDAHULUAN
Perkembangan dibidang perekonomian makin hari menunjukkan peranan yang
cukup penting dan makin menentukan dalam meningkatkan perkembangan ekonomi di
Indonesia. Perbankan mempunyai peran strategis sebagai penggerak perekonomian
nasional melalui fungsi intermediary yaitu menghimpun dan menyalurkan dana.1 Kredit
yang diberikan oleh bank didasarkan atas kepercayaan, sehingga dengan demikian
pemberian kredit merupakan pemberian kepercayaan kepada nasabah.2 Pemberian kredit
itu pun didahului dengan ditentukannya persyaratan yang dituangkan ke dalam perjanjian
antara kreditur (bank) dengan debitur (nasabah). Persyaratan kredit tersebut termuat dalam
perjanjian bersama berupa perjanjian kredit yang disepakati oleh para pihak.3
Selain memberikan keuntungan, penyaluran dana dalam bentuk kredit bukan tidak
mungkin memiliki resiko. Resiko tersebut salah satunya adalah tidak kembalinya dana
atau kredit yang disalurkan terhenti atau macet. Kredit macet adalah suatu keadaan dimana
seorang debitur tidak mampu membayar atau mengembalikan pinjamannya sesuai dengan
yang diperjanjikan.4 Atas dasar tersebut, dalam pemberian fasilitas kredit akan selalu
membutuhkan adanya jaminan, hal ini semata-mata berorientasi untuk melindungi
kepentingan kreditur.5
Hak tanggungan adalah hak yang diberikan pemberi HT atau oleh debitur sendiri
kepada kreditur, pemberi HT di sini adalah pihak yang berutang atau debitor. 6 Tindakan
pemberian hak tanggungan memiliki beberapa prosedur administrasi yang telah ditentukan
oleh UU maupun syarat-syarat yuridis yang harus dipenuhi dari suatu benda jaminan.7
Dalam hal ini bank perlu yakin bahwa benda yang menjadi jaminan atas kredit yang
diajukan oleh debitur adalah benda yang bukan dalam sengketa.
Sertifikat hak atas tanah dalam praktiknya tidaklah mutlak, artinya sertifikat hak atas
tanah masih dapat dibatalkan, yaitu melalui pengajuan gugatan ke pengadilan. Pembatalan
atas sertifikat kepemilikan atas tanah dapat diajukan bahkan terhadap hak atas tanah yang
telah dibebani HT. Bank selaku kreditur yang beritikad baik tidak mengetahui bahwa di
kemudian hari agunan yang dipegangnya terdapat sengketa sehingga batal
kepemilikannya. Hal demikian juga berdampak pada status jaminan hak tanggungan yang
dipegangnya, terlebih apabila debitur tidak dapat memenuhi kewajiban atas kredit nya
sehingga kredit dapat dikategorikan sebagai kredit macet.
1
Tri Handayani Lastuti Abubakar, “Implementasi Prinsip Kehati-Hatian Melalui Kewajiban Penyusunan Dan
Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Atau Pembiayaan Bank,” Rechtidee 13, no. 1 (2018): 1–8.
2
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia (Citra Aditya, 1996).
3
Nur Rizki Siregar, Mohamad Fajri, and Mekka Putra, “Tinjauan Hukum Kekuatan Eksekutorial Terhadap
Permohonan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan Atas Debitur Wanprestasi Legal Review of Executional Powers Against
Applications for Execution of Mortgage Rights on Default Debtors Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah ” 5, no. 1
(n.d.): 128–43.
4
Etty Mulyati, Kredit Perbankan : Aspek Hukum Dan Pengembangan Usaha Mikro Kecil Dalam Pembangunan
Perekonomian Indonesia, Cet 1 (PT. Refika Aditama, 2016).
5
Muhammad Junaid Soegianto, Diah Sulistiyani R S, “Eksekusi Jaminan Fidusia Dalam Kajian Undang-
Execution of Fidusial Guarantee in Law Number 42 of 1999 Concerning Fidusian Guarantee,” Jurnal Ius
Constituendum 4, no. Nomor 2 (2019): 213.
6
Yogi Gantika Gandawidura and Hak Tanggungan, “Perlindungan Hukum Kreditor Pemegang Hak Tanggungan
Peringkat Kedua Dalam Pelaksanaan Eksekusi,” no. 21 (2019): 73–86.
7
Etty Mulyati and Fajrina Aprilianti Dwiputri, “Prinsip Kehati-Hatian Dalam Menganalisis Jaminan Kebendaan
Sebagai Pengaman Perjanjian Kredit Perbankan,” Acta Diurnal Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Dan Ke-PPAT-An 1,
no. 2 (2018): 134, https://doi.org/10.24198/acta.v1i2.112.
Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini, antara
lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Fasatama Prakasa, dkk. (2020). 8 Penelitian ini
mengkaji mengenai pertimbangan hakim terhadap pembatalan sertifikat hak milik yang
dibebani hak tanggungan yang berdasarkan Putusan MA Nomor 1138 K/Pdt/2012 untuk
selanjutnya membahas perlindungan hukum terhadap kreditur. Kelemahan penelitian ini
yaitu pembatalan sertifikat hak atas tanah yang dikaitkan dengan Pasal 18 ayat (1) jo.
Pasal 18 ayat (4) UUHT. Penjelasan UUHT menjabarkan bahwa alasan hapusnya hak atas
tanah dalam Pasal 18 adalah secara limitatif diatur dikarenakan hal-hal sebagaimana
disebut dalam Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 Undang-Undang Pokok Agraria. Patut
diketahui bahwa pembatalan sertifikat tidak termasuk alasan hapusnya hak atas tanah pada
aturan di atas.
Penelitian yang dilakukan oleh Mirza Mar’Ali, dkk. (2022)9 yang mengkaji
perlindungan hukum bagi kreditur pemegang jaminan hak tanggungan atas tanah terhadap
pembatalan sertifikat hak milik yang sedang dibebani hak tanggungan oleh pengadilan
serta upaya hukum apa yang dapat dilakukannya. Kelemahan dalam penelitian ini adalah
sama dengan kelemahan yang telah diuraikan pada penelitian pertama. Dalam penelitian
ini juga terdapat kelemahan, sama hal nya pada penelitian sebelumnya, Mirza Mar’Ali,
dkk. menjadikan Pasal 18 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (4) UUHT sebagai dasar perlindungan
hukum yang diberikan terhadap adanya peristiwa hukum pembatalan sertifikat hak milik.
Terakhir penelitian yang dilakukan oleh Hero Satrio Wicaksono, dkk. (2022) 10
mengkaji terkait Akibat hukum sertifikat hak tanggungan yang alas hak atas tanahnya
dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan, serta perlindungan hukum kreditor preferen
yang obyek jaminannya dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan. Dalam penelitian ini
terdapat kelemahan yaitu Hero Satrio Wicaksono, dkk. tidak menjabarkan dengan tegas
akibat hukum sehubungan dengan sertifikat HT yang alas hak atas tanahnya dibatalkan
berdasarkan putusan pengadilan. Akibat hukum tersebut tentu berpengaruh terhadap
kedudukan bank selaku kreditur preferen yang dilindungi hak nya. Namun dalam
penelitian tersebut telah baik menguraikan perlindungan hukum yang dapat diterapkan
yaitu baik secara prefentif maupun secara represif.
Perbedaan penelitian ini dengan ketiga penelitian tersebut adalah dalam penelitian
ini menitikberatkan kedudukan bank selaku kreditur yang dijamin hak nya dengan adanya
HT Pembatalan terhadap hak milik atas tanah tentu berakibat hukum terhadap kredit yang
telah dikeluarkan oleh bank dengan jaminan HT karena tidak dapat pelunasan karena
debitur yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar kredit. Penelitian ini bertujuan
menganalisis akibat hukum terhadap kedudukan dan kewajiban bank selaku pemegang hak
tanggungan dalam hal HT yang telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum oleh
putusan pengadilan.
8
F Prakasa et al., “Pembatalan Sertifikat Hak Milik Dibebani Hak Tanggungan (Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1138 K/Pdt/2012),” Online-Journal.Unja.Ac.Id 2, no. 1 (2020): 39–53,
https://online-journal.unja.ac.id/RR/article/view/8660.
9
Mirza Mar Ali, Muhammad Rafli Alghifari, and Priliyani Nugroho Putri, “Padjadjaran Law Review Analysis
of Legal Protection for Creditors Holding Mortgage Guarantees Against Cancellation of Rights Certificates Being
Encumbered by Mortgage Rights by the Court Padjadjaran Law Review Undang-Undang Dasar Negara Republik
Benda-Ben” 10 (2022): 1–10.
10
H S Wicaksono, Y Yuliani, and M A Rivaldy, “Implementasi Hapusnya Hak Atas Tanah Yang Dibebani Hak
Tanggungan Berdasarkan Putusan Pengadilan,” Perspektif 27 (2022): 180–90,
http://www.jurnal-perspektif.org/index.php/perspektif/article/view/837.
2. METODE
Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah metode yuridis normatif, 11 yaitu
metode yang menitikberatkan terhadap penelitian data sekunder. Metode penelitian hukum
dengan pendekatan yuridis normatif, mencakup penelitian terhdap asas-asas hukum,
sistematika hukum, dan sinkronisasi hukum.12 Spesifikasi penelitian yang digunakan
dalam penulisan jurnal ini adalah deskriptif analitis, yaitu definisi yang ruang lingkupnya
luas, akan tetapi sekaligus memberikan batas-batas tegas, dengan cara memberikan ciri-
ciri khas dari istilah yang ingin didefinisikan dan dilengkapi dengan analisa sebagai suatu
penelitian hukum normatif.13 Dalam penelitian ini data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan metode analisis normatif kualitatif, 14 yaitu suatu metode penelitian yang
bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai hukum positif yang
kemudian dianalisis secara kualitatif untuk mengungkap kenyataan yang ada berdasarkan
hasil penelitian yang berupa penjelasan-penjelasan yang tidak dapat dirumuskan dengan
memakai perhitungan yang matematis.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tanah sebagai agunan kredit sangat diminati oleh bank, tentunya mempunyai tujuan
yaitu untuk menjamin pelunasan kredit melalui penjualan agunan secara umum yang
dikenal dengan lelang, ataupun dengan cara lain yang dapat dimungkinkan yaitu secara
dibawah tangan dalam hal debitur wanprestasi. Sejatinya, jaminan dalam arti luas, tidak
hanya yang secara khusus diperjanjikan oleh para pihak, melainkan meliputi pula jaminan
umum yang diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata. Pasal 1131 mengatur bahwa
seluruh harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi seluruh
perikatan debitur, dan selanjutnya Pasal 1132 KUHPerdata mengatur bahwa seluruh
kebendaan tersebut menjadi jaminan bagi seluruh kreditur dengan memperhatikan
keseimbangan dalam pembagiannya.15
Hak tanggungan berkaitan erat dengan hak milik atas tanah, hal demikian senada
dengan Pasal 4 UUHT secara tegas menyebutkan hak atas tanah yang dapat dijadikan
sebagai jaminan hutang, yang salah satunya adalah hak milik. Tanah yang menjadi objek
penelitian, dapat dijadikan jaminan atas suatu utang dengan dibebani HT, karena telah
memenuhi syarat, yaitu 16tanah objek sengketa dapat dinilai dengan uang, karena utang
yang dijamin berupa uang, selain itu tanah objek sengketa termasuk hak yang didaftarkan
dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas. Asas publisitas dapat
diartikan bahwa Hak Tanggungan dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian
hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan, jika telah didaftarkan di kantor
pertanahan sehingga terbuka dan diketahui oleh umum. 17

11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (UI Press, 1986).
12
Soerjono Soekanto.
13
Amiruddin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet 10 (Raja Grafindo Persada, 2018).
14
Abdulkadir Muhammad, Hukum Dan Penelitian Hukum, Cet 1 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004).
15
Lastuti Abubakar, “Implementasi Prinsip Kehati-Hatian Melalui Kewajiban Penyusunan Dan Pelaksanaan
Kebijakan Perkreditan Atau Pembiayaan Bank.”
16
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan
Pelaksanaannya, Jilid 1 (Jakarta: Djambatan, 2003).
17
Nadia Imanda, “Lahirnya Hak Tanggungan Menurut Peraturan Pemerintah Agraria Tentang Pelayanan Hak
Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik,” Notaire 3, no. 1 (2020): 151, https://doi.org/10.20473/ntr.v3i1.17536.
Dengan terdaftar nya tanah objek sengketa tersebut, baik pencatatan terhadap status
hak milik nya, maupun pencatatan HT yang melekat di atasnya, tanah objek sengketa
mempunyai sifat yang dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cidera janji, benda
yang dijadikan jaminan akan dapat dijual di muka umum atau dilakukan eksekusi.
Eksekusi merupakan cara kreditur dalam penyelesaian sengketa hukum apabila debitur
tidak menjalankan kewajibannya.18 Terhadap tanah objek sengketa tersebut telah terdapat
penunjukkan berdasarkan Undang-undang, dimana telah ditentukan bahwa bank mana
yang menjadi pemegang HT sehingga dapat melakukan eksekusi guna pemenuhan
pelunasan kredit. Jika debitur tidak mampu membayar utangnya kepada kreditur, maka
kreditur berhak secara langsung mengeksekusi tanah dan bangunan yang menjadi objek
jaminan tersebut tanpa putusan pengadilan.19 Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah
realisasi daripada kewajiban pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi yang tercantum
dalam putusan pengadilan tersebut. Pihak yang menang dapat memohon eksekusi pada
pengadilan yang memutus perkara tersebut untuk melaksanakan putusan tersebut secara
paksa (execution force).20
Pemberi Hak Tanggunan dalam hal ini merupakan debitur atas kredit serta orang
perseorangan yang mempunyai kewenangan melakukan perbuatan terhadap objek hak
tanggunan karena namanya yang tersebut dalam Sertifikat Hak Milik, hal demikian telah
senada dengan pengaturan Pasal 8 ayat (1) UUHT. Bank sebagai Pemegang Hak
Tanggunan yaitu merupakan badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang
berpiutang adalah telah sesuai dengan pengaturan Pasal 9 UUHT, dikarenakan bank
tersebut telah memberikan kredit kepada debitur, dimana dalam perjanjian kredit tersebut
dilengkapi dengan perjanjian tambahan yaitu Perjanjian Pemberian Hak Tanggungan. Hak
tanggungan tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh suatu perjanjian antara debitur
dan kreditur, yaitu perjanjian utang piutang.21
Hak tanggungan terhadap tanah objek sengketa adalah berlaku sejak didaftarkan
kepada Badan Pertanahan Kota Bandung, semenjak itu pula asas-asas HT sebagai
Lembaga jaminan atas tanah berlaku, yaitu: pertama, HT memberikan kedudukan yang
diutamakan bagi kreditur pemegang HT (Droit de preference). Dari ketentuan Pasal 1
angka 1 UUHT dapat diketahui bahwa HT memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Mengenai pengertian “kedudukan
yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain” dijelaskan
dalam Penjelasan Umum UUHT yaitu: “Bahwa jika debitur cidera janji, kreditur
pemegang HT berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan
menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang bersangkutan, dengan hak
mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah
barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-
18
Rahmat Hidayat and Soegianto Soegianto, “Penyelesaian Debitur Wan Prestasi Atas Obyek Jaminan Fidusia
Yang Telah Didaftarkan,” Jurnal Usm Law Review 2, no. 2 (2019): 288, https://doi.org/10.26623/julr.v2i2.2275.
19
Puspa Pasaribu and Eva Achjani Zulfa, “Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit Yang
Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan,” Jurnal Usm Law Review 4, no. 2 (2021): 535,
https://doi.org/10.26623/julr.v4i2.4050.
20
Abdul Ghoni, “Implementasi Penyelesaian Hukum Atas Eksekusi Jaminan Dalam Perbankan Syariah,” Jurnal
Ius Constituendum 1, no. 2 (2016).
21
Evie Christy, Wilsen Wilsen, and Dewi Rumaisa, “Kepastian Hukum Hak Preferensi Pemegang Hak
Tanggungan Dalam Kasus Kepailitan,” Kanun Jurnal Ilmu Hukum 22, no. 2 (2020): 323–44,
https://doi.org/10.24815/kanun.v22i2.14909.
ketentuan hukum yang berlaku.” Selanjutnya dijelaskan pula dalam ketentuan Pasal 20
ayat (1) UUHT yaitu: “Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan: a. hak pemegang
hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, atau b. title eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek hak tanggungan dijual melalui
pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan (dilaksanakan menggunakan mekanisme dan prosedur eksekusi biasa berdasar
ketentuan hukum acara perdata)22 untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan
dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lainnya.”
Kedua, HT mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek HT itu berada (Droit
de suite). Pasal 7 UUHT menjelaskan bahwa HT tetap mengikuti objeknya dalam tangan
siapapun objek tersebut berada. Hal ini berarti, HT tidak akan berakhir sekalipun objek
HT itu beralih kepada pihak lain oleh karena sebab apapun juga. Ini dimaksudkan untuk
melindungi kepentingan kreditur pemegang HT, ia masih tetap mempunyai hak untuk
melakukan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek HT dan selanjutnya mengambil
pelunasan terhadap piutangnya bila debitur cidera janji.23
Ketiga, perjanjian HT adalah perjanjian accessoir. Pasal 10 ayat (1) UUHT yang
berbunyi “Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan HT
sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan
bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian
lainnya yang menimbulkan utang tersebut.” Selanjutnya dipertegas Pasal 18 ayat (1) huruf
a UUHT yang berbunyi: “Hak tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin
dengan hak tanggungan.” Berdasarkan kedua pasal tersebut, HT merupakan perjanjian
accessoir. Perjanjian HT bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, melainkan
merupakan perjanjian ikutan atau accessoir. Berdasarkan perjanjian utang piutang atau
perjanjian lain maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang
dijamin pelunasannya.24 Keberadaannya karena adanya perjanjian lain, yang disebut
dengan perjanjian pokok. Perjanjian pokok bagi perjanjian HT adalah perjanjian utang-
piutang yang menimbulkan utang yang dijamin.
Keempat, di atas HT tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan. Hak tanggungan
tidak dapat diletakkan sita. Alasan tidak dapatnya diletakkan sita karena tujuan dari hak
jaminan pada umumnya dan khususnya HT adalah untuk memberikan jaminan yang kuat
bagi kreditur yang menjadi pemegang HT itu untuk didahulukan dari kreditur-kreditur
lain.25 Bila terhadap HT itu dimungkinkan sita oleh pengadilan, berarti pengadilan
mengabaikan dan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dari kreditur

22
Dwi Nugrohandhini and Etty Mulyati, “Debitor Cidera Janji . Banyak Digunakan Dengan Pertimbangan Lebih
Memberikan Rasa Aman ( Secured ) Karena Nilai Mengingat Pentingnya Kedudukan Lembaga Jaminan Dalam
Mendukung Dana Perkreditan Maka Sudah Semestinya Pemberi Dan Penerima Kredit Serta Pihak L” 4, no. 114 (2019),
https://doi.org/10.23920/jbmh.v4n1.3.
23
Angela Melani Widjaja et al., “Tanggung Gugat Terhadap Pembebanan Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda Yang Akan Ada Berupa Gedung,” Jurnal Mercatoria 13, no. 2 (2020): 106–17.
24
Offi Jayanti and Agung Darmawan, “Pelaksanaan Lelang Tanah Jaminan Yang Terikat Hak Tanggungan,”
Kanun Jurnal Ilmu Hukum 20, no. 3 (2018): 457–72, https://doi.org/10.24815/kanun.v20i3.11830.
25
Titie Syahnaz Natalia, “Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Dalam
Eksekusi Hak Tanggungan,” Jurnal Manajemen Dan Bisnis Sriwijaya 16, no. 3 (2019): 153–63,
https://doi.org/10.29259/jmbs.v16i3.7378.
pemegang HT. 26 Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi yaitu putusan Mahkamah Agung
RI Nomor 394K/PDT/1984 tanggal 31 Mei 1985 yang berpendirian bahwa barang-barang
yang sudah dijadikan jaminan utang tidak dapat dikenakan sita jaminan.
Kelima, pelaksanaan eksekusi HT mudah dan pasti. Pasal 6 UUHT menyatakan
bahwa: “Apabila debitur cidera janji, pemegang HT pertama mempunyai hak untuk
menjual obyek HT atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.” Ketentuan Pasal 6 UUHT ini
memberikan hak bagi pemegang HT untuk melakukan parate eksekusi. Artinya pemegang
HT tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi HT, dan juga tidak perlu meminta
Penetapan dari Pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas HT yang
menjadi jaminan utang debitur dalam hal debitur cidera janji. Pemegang HT dapat
langsung datang dan meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan
atas objek HT yang bersangkutan. Melalui parate eksekusi tersebut, pelaksanaan
eksekusinya yaitu dengan cara menjual benda yang menjadi objek HT atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum tersebut tidak memerlukan suatu proses acara gugat
menggugat di muka Pengadilan.27
Berbicara mengenai kepemilikan atas tanah, ditandai dengan adanya hak milik. Hak
milik merupakan salah satu macam hak atas tanah yang dikenal dalam Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA). Pengertian hak milik berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1)
UUPA menentukan bahwa:
“Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”.
Kemudian pada ayat (2) disebutkan Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain. Hak milik bersifat turun-menurun maksudnya bahwa hak milik atas tanah
tersebut tidak hanya berlangsung selama hidup pemegang hak milik atas tanah, tetapi
dapat juga dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pewaris meninggal dunia, oleh karena itu
hak milik jangka waktunya tidak terbatas. Hak milik bersifat terkuat maksudnya bahwa
hak milik merupakan induk dari macam hak atas tanah lainnya dan dapat dibebani oleh
hak atas tanah lainnya, seperti hak guna bangunan dan hak pakai. Hak milik bersifat
terpenuh maksudnya hak milik menunjuk luas wewenang yang diberikan kepada
pemegang hak milik dalam menggunakan tanahnya baik untuk usaha pertanian maupun
untuk mendirikan bangunan. 28 Pasal 6 UUPA menyebutkan bahwa hak milik mempunyai
fungsi sosial artinya hak milik yang dipunyai sipemegang hak tidak boleh dipergunakan
semata-mata untuk kepentingan pribadi tetapi harus ada keseimbangan antara kepentingan
pemerintah dengan masyarakat.29
Hak milik bersifat turun temurun, terkuat dan terpenuh bukan berarti bahwa hak
milik merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Hal ini
dimaksudkan untuk membedakan hak milik dengan hak-hak atas tanah lainnya yang
dimiliki oleh individu. Dengan kata lain, hak milik merupakan hak yang paling kuat dan
paling penuh di antara hak-hak atas tanah lainnya. Hak milik atas tanah di dalam UUPA
26
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah Yang
Dihadapi Oleh Perbankan (Bandung: Alumni, 1999).
27
Sutan Remy Sjahdeini.
28
Gunawan Widjaja Kartini Muljadi, Hak-Hak Atas Tanah (jakarta: Kencana, 2007).
29
Darwin Ginting, Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah Bidang Agribisnis (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010).
termasuk ke dalam konsep hak atas tanah yang bersifat primer. Hak atas tanah yang
bersifat primer ini maksudnya adalah hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai
secara langsung oleh seseorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat
dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya. Selain hak milik atas tanah yang
termasuk ke dalam hak atas tanah yang bersifat primer ini adalah hak guna usaha, hak
guna bangunan, dan hak pakai.
Hak milik adalah hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya
untuk memberikan kembali suatu hak lain di atas bidang tanah hak milik yang dimilikinya
tersebut (dapat berupa hak guna bangunan, hak pakai, dengan pengecualian hak guna
usaha), yang hampir sama dengan kewenangan negara (sebagai penguasa) untuk
memberikan hak atas tanah kepada warganya. Hak ini meskipun tidak mutlak sama, tetapi
dapat dikatakan mirip dengan eigendom, atas tanah menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yang memberikan kewenangan yang paling luas pada pemiliknya, dengan
ketentuan harus memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPA, yang menyatakan bahwa semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Pasal 25 UUPA menyebutkan bahwa hak milik dapat dijadikan jaminan hutang
dengan dibebani HT. Pengalihan hak atas tanah adalah jual beli, tukar menukar, perjanjian
pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang
disepakati dengan pihak lain selain pemerintah guna pelaksanaan pembangunan termasuk
pembangunan untuk kepentingan umum. Setiap pengalihan hak milik atas tanah, yang
dilakukan dalam bentuk jual beli, tukar menukar atau hibah harus dibuat di hadapan
PPAT.
Hak milik memiliki keunikan tanpa batas waktu, maka dari itu hak milik dapat
diwariskan kepada keluarga yang ditinggalkan. Namun hak milik itu dapat juga terhapus,
dalam Pasal 27 UUPA dinyatakan bahwa hak milik hapus yaitu apabila tanahnya jatuh
kepada negara (karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18, karena penyerahan dengan
sukarela oleh pemiliknya, dan karena ditelantarkan d. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3)
dan 26 ayat (2)), selain itu juga hak milik dapat hapus apabila tanahnya musnah.
Sebagaimana pemberian, peralihan dan pembebanan hak milik yang wajib di daftar dalam
buku tanah, demikian pula pendaftaran hapusnya hak kepemilikan atas tanah juga wajib
untuk dilakukan. Pendaftaran hak tanggungan dilakukan melalui pencatatan dalam buku
tanah oleh Kantor Pertanahan. 30 Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Pada prinsipnya hak milik merupakan hak turun temurun yang paling kuat dan
terpenuh,31 namun hak milik juga tidak bersifat mutlak, hak milik dapat dibatalkan. Telah
diuraikan dalam bab sebelumnya, terhadap kepemilikan atas tanah dapat dilakukan
pembatalan, yaitu pembatalan secara langsung dan pembatalan tidak langsung. Yang
menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini, adalah akibat adanya pembatalan tidak
langsung terhadap kepemilikan tanah yang menjadi objek HT. Pembatalan tersebut
dilakukan pemilik tanah melalui Pengadilan negeri untuk membatalkan akta jual beli yang
30
Khilma Aziz Wakhidatus Saadah, “Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan.,” Jurnal:
Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Volume 5, no. Nomor 1 (2020): hlm: 131-138.
31
Kiki Rizki, “Perlindungan Hukum Pemegang Sertifikat Hak Milik Atas Terbitnya Sertifikat Ganda
Berdasarkan Asas Kepastian Hukum,” Aktualita 3, no. 1 (2020),
https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/aktualita/article/view/6763/pdf.
dijadikan dasar peralihan objek tanah tersebut, untuk selanjutnya dilakukan upaya hukum
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara untuk membatalkan sertifikat hak milik yang telah
dijadikan objek HT. Gugatan pembatalan ini tergolong sebagai Sengketa TUN, karena
yang disengketakan adalah Keputusan TUN, maka permohonan gugatan pembatalan dapat
diajukan ke Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan sertipikat itu (BPN), atau juga
dapat diajukan kepada Pengadilan TUN.32
Upaya hukum yang dilakukan oleh pemilik tanah telah membuahkan hasil, dimana
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara mengabulkan gugatan dari pemilik
tanah, sehingga tanah objek sengketa dibatalkan peralihannya, sehingga kembali menjadi
milik pemilik awalnya. Dengan dikabulkannya gugatan tersebut, tentu menimbulkan
akibat hukum, terutama terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang telah terjadi.
Berbicara mengenai kepastian hukum, aturan-aturan hukum yang berlaku di
Indonesia atau biasa disebut hukum positif, memiliki tujuan untuk menciptakan keadaan
yang pasti dalam kehidupan bermasyarakat. Kepastian hukum erat dengan aturan hukum,
instansi pemerintahan, rakyat, serta hakim. Hakim dalam hal ini sebagai pihak yang
menentukan suatu sengketa yang dialami para pihak. Hakim memberikan kepastian
hukum terhadap pihak yang berperkara melalui putusannya. Adapun dalam hal ini putusan
tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat dan harus dilaksanakan oleh para pihak yang
berpekara.
Dalam kasus yang diangkat, yaitu sebagaimana pada putusan Mahkamah Agung No:
1905 K/PDT/1995, putusan tersebut bersifat declaratoir. Putusan declaratoir adalah
putusan yang dijatuhkan oleh hakim dengan amar yang menyatakan atau menegaskan
tentang suatu keadaan atau kedudukan yang sah menurut hukum.33 Dalam putusan ini
dinyatakan hukum tertentu yang dituntut atau dimohon oleh penggugat atau pemohon ada
atau tidak ada, tanpa mengakui adanya hak atas suatu prestasi tertentu. Oleh karena itu,
putusan declaratoir murni tidak mempunyai atau memerlukan upaya pemaksa karena
sudah mempunyai akibat hukum tanpa bantuan pihak lawan yang dilakukan untuk
melaksanakannya, sehingga hanya mempunyai kekuatan mengikat.34 Sedangkan putusan
Pengadilan Tata Usaha Bandung No. 36/G/2003/PTUN-Bandung bersifat condemnatoir.
Putusan condemnatoir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dengan amar yang
bersifat menghukum. Bentuk hukuman dalam perkara perdata berbeda dengan hukuman
dalam perkara pidana. Dalam perkara perdata, bentuk hukumannya berupa kewajiban
untuk melaksanakan atau memenuhi prestasi yang dibebankan kepada pihak yang
terhukum. Prestasi yang dimaksud dapat berupa memberi, berbuat, atau tidak berbuat.35
Ada beberapa peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi dan melibatkan beberapa
pihak, yaitu berkaitan dengan pembatalan hak milik atas tanah serta pembatalan jaminan
HT yang diletakkan di atasnya, pertistiwa hukum yang terjadi terhadap pemilik tanah,
kedudukan pemilik pemilik tanah yang sebelumnya kehilangan hak atas tanah, kini
mendapatkan kembali hak atas tanah miliknya. Hal tersebut tentunya harus diikuti dengan
32
Ni Made Silvia Gayatri, I Putu Gede Seputra, and Luh Putu Suryani, “Pembatalan Sertifikat Hak Milik Atas
Tanah Akibat Cacat Administrasi,” Jurnal Analogi Hukum 3, no. 1 (2021): 79–83,
https://doi.org/10.22225/ah.3.1.2021.79-83.
33
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata : Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan
Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika, 2007).
34
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Liberty Jogjakarta, 2009).
35
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014).
adanya penerbitan sertifikat hak milik atas tanah miliknya. Selanjutnya terhadap debitur
bank, kedudukan debitur bank yang telah dibatalkan hak milik atas tanahnya, berarti
bahwa dirinya kehilangan hak untuk memanfaatkan tanah. Di sisi lain, debitur bank ini
hingga kini masih memiliki kewajiban terhadap kredit yang belum diselesaikan. Peristiwa
hukum yang terjadi terhadap bank, bank merupakan kreditur terhadap kredit yang
diajukan oleh debiturnya. Dengan kedudukannya tersebut, bank tentunya berhak atas
pelunasan kredit. Selain daripada itu, Bank juga selaku pemegang HT atas tanah objek
sengketa. Setelah adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,
tentunya bank telah kehilangan hak atas jaminan hak yang tanggungan yang dipegangnya.
Hal ini disebabkan karena jaminan HT tersebut telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan
hukum. Namun disatu sisi, bank hingga kini masih menguasai Sertifikat Hak Milik
terhadap tanah objek sengketa, walaupun telah dibatalkan. Dan yang paling terakhir
adalah peristiwa hukum yang terjadi pada Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan
Pertanahan Nasional sebagai badan yang memiliki kewenangan di bidang pertanahan,
adalah pihak yang berkaitan erat dengan adanya putusan yang membatalkan kepemilikan
hak atas tanah.36 Tindakan Badan Pertanahan Nasional berpengaruh terhadap kepastian
hukum para pihak yang menjadi pihak sebagai putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Dinamika masalah pertanahan memiliki muatan yang sedikit rumit, hal ini
disebabkan oleh realitas yang menunjukkan bahwa kebutuhan manusia akan tanah,
senantiasa meningkat seiring dengan laju pertumbuhan dan pembangunan di segala
bidang. Jika secara kuantitas maka dilain pihak jumlah tanah tidak bertambah luas.37
Adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka para pihak juga
menerima akibat hukum untuk menjalankan putusan pengadilan tersebut. Bank tentu
kehilangan hak atas jaminan objek HT yang dipegangnya. Hal ini senada dengan putusan
pengadilan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dimana menyebutkan bahwa:
“Menyatakan akta hipotik No. 101/89/Bdg/1991 tanggal 22 januari 1991 tidak mempunyai
kekuatan hukum;” dengan adanya amar putusan tersebut, PT. Bank Bali Cabang Bandung
tidak dapat melakukan eksekusi guna pelunasan kredit terhadap HT yang dipegangnya.
Terhadap Sertifikat Hak Milik atas tanah objek sengketa yang berada di dalam penguasaan
bank juga tidak dapat dilakukan perbuatan hukum apapun, mengingat Sertifikat hak milik
itu juga telah dibatalkan melalui putusan Pengadilan Tata usaha Bandung.
Pada saat melakukan suatu perjanjian kredit, bank berkedudukan sebagai kreditur
konkuren. Di mana kreditur ini hanya dijamin dengan jaminan umum. Perlu diketahui,
jaminan umum adalah jaminan yang sudah diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132
Burgelijk Wetboek (BW). Walau tidak diperjanjikan oleh para pihak, jaminan umum tetap
akan mengikat bila debitur wanprestasi. Cidera janji atau wanprestasi merupakan keadaan
kelalaian atau kesalahan debitur yang tidak mampu memenuhi prestasi dalam perjanjian.
Wanprestasi disini bisa berupa lalainya debitur memenuhi kewajiban pelunasannya pada
saat utangnya sudah matang untuk ditagih, maupun tidak dipenuhi janji-janji untuk
diperjanjikan, baik dalam perjanjian pokok maupun perjanjian penjaminanya, sekalipun

36
Maissy T. P. Dotulung, “Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah Akibat Cacat Hukum Administrasi,” Lex
Privatum 6, no. 1 (2018): 1–23, https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/19448.
37
Sekolah Tinggi, Ilmu Hukum, and Amsir Parepare, “Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, Efektifkah?
Auliah Ambarwati 1 | Muhammad Akbar Fhad Syahril 2,” 2015.
utangya sendiri pada saat itu belum matang untuk ditagih.38 Keberadaan HT menjadikan
bank sebagai kreditur preferen. Bank sebagai pemegang HT mendapatkan kedudukan
yang diutamakan, menunjukan pemegang HT berkedudukan sebagai kreditur preferen dan
dengan sendirinya mempunyai hak preferensi terhadap kreditur-kreditur lain (droit de
preference).39 Kedudukan sebagai kreditur preferen, berarti kreditur yang bersangkutan
didahulukan di dalam mengambil pelunasan atas hasil eksekusi benda pemberi jaminan
tertentu yang dalam hubungannya dengan HT secara khusus diperikatkan untuk menjamin
tagihan kreditur. Dengan demikian kedudukan sebagai kreditur preferen baru mempunyai
perannya dalam suatu eksekusi, apabila harta benda debitur tidak cukup untuk memenuhi
semua hutangnya.40 Sebagaimana yang diatur Pasal 1 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan
Penjelasan Angka 4 UUHT.
Kebatalan perikatan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu kebatalan mutlak,
yaitu suatu kebatalan yang tidak perlu dituntut secara tegas. Kebatalan terjadi karena:
bentuknya cacat, perjanjian itu dilarang oleh undang-undang, karena bertentangan dengan
kesusilaan, dan bertentangan dengan ketertiban umum. Selain daripada kebatalan mutlak,
ada pula kebatalan relatif. Kebatalan relatif, yaitu suatu kebatalan yang dituntut secara
tegas, dan biasanya diajukan (ke muka pengadilan) oleh salah satu dari para pihak.
Misalnya, wakil dari orang yang tidak wenang melakukan perbuatan hukum atau orang
yang terhadapnya dilakukan kekerasan dan penipuan, atau orang yang berada dalam
kekhilafan.”
Berdasarkan uraian tersebut, pembatalan terhadap hak tanggunan mengandung 2
aspek, yaitu kebatalan multak (absolute nietigheid) dan kebatalan relatif (relatief
nietigheid).41 Kebatalan mutlak bagi HT adalah kebatalan berdasarkan adanya pelanggaran
terhadap ketentuan-ketentuan dalam pemberian HT yang diatur dalam Pasal 12, Pasal 15
ayat (6), Pasal 20 ayat (4), dan Pasal 15 huruf a, b, dan c UU Hak Tanggungan.
Pelanggaran terhadap salah satu ketentutan-ketentuan ini menyebabkan HT telah
memperoleh kebatalan mutlak. Sedangkan Kebatalan Relatif adalah kebatalan berdasarkan
adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 1330, Pasal 1321, Pasal 1323, Pasal 1328,
dan Pasal 1398, Pasal 1446, Pasal 1449 KUH Perdata saat pembuatan perjanjian jaminan
dengan HT tersebut.
Pembatalan peralihan hak atas tanah yang diangkat dalam tulisan ini, berakibat
bahwa debitur bank tidak lagi berkedudukan sebagai pemegang hak atas tanah atas objek
yang telah dijaminkan ke bank. Di sisi lain, perjanjian HT sebagai perjanjian accesoir
memiliki kewajiban untuk taat dengan syarat sah nya perjanjian berdasarkan 1320 KUH
Perdata. Putusan pembatalan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri, membuat debitur
bukan merupakan pihak yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atas tanah
tersebut, sehingga syarat subjektif dari perjanjian HT tidak terpenuhi. Selain itu, tanah
yang menjadi objek perjanjian, juga batal kepemilikannya sebagaimana putusan
Pengadilan Negeri jo. putusan pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga telah sesuai

38
Apul Oloan Sipahutar et al., “Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Dalam Praktik Pada Debitur Yang
Wanprestasi,” Jurnal Usm Law Review 5, no. 1 (2022): 144, https://doi.org/10.26623/julr.v5i1.4254.
39
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).
40
Rachmadi Usman.
41
D Rasda, M S Rahman, and B Tijjang, “Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam
Pendaftaran Peralihan Hak Milik Atas Tanah,” Jurnal Litigasi Amsir 9, no. November (2021): 34–40.
menurut hukum apabila perjanjian HT dibatalkan karena telah tidak memenuhi syarat
subjektif maupun objektif sebagaimana Pasal 1320 KUH Perdata.
Gugatan penggugat yang dikabulkan serta memperoleh kekuatan hukum tetap, dan
sertifikat HT dinyatakan batal, maka akibat hukum yang terjadi adalah dikembalikannya
keadaan seperti sewaktu sebelum perikatan terjadi. Hal ini berdasarkan Pasal 1265 bila HT
dilihat sebagai perjanjian accesoir, bahwa “suatu syarat batal adalah syarat yang bila
dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada
keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan”. Maksudnya adalah tanah
yang mejadi objek jaminan harus dikembalikkan kekeadaan seperti semula dengan
dibersihkan dari pembebanan HT dan bank sebagai kreditur pemegang HT harus
mengembalikan tanah hak milik tersebut kepada pemiliknya yang sah yaitu pemberi HT.
Pembatalan HT dalam kasus yang coba dibahas dalam tulisan ini adalah karena
pembatalan perjanjian HT, dimana akibat dari pembatalan kepemilikan atas tanah,
sehingga tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian HT tersebut. HT disyaratkan dalam
UUHT Pasal 8 ayat (1) adalah seseorang yang memiliki kewenangan. Ketika orang
tersebut kehilangan kewenangan hukum, maka perjanjian pemberian HT menjadi batal.
Lebih dalam pembatalan kontrak (perjanjian) pada dasarnya adalah suatu keadaan yang
membawa akibat suatu hubungan kontraktual itu dianggap tidak ada. Adanya pembatalan
kontrak, maka eksistensi kontrak dengan sendirinya menjadi berakhir atau terhapus. Hal
tersebut terjadi pula dalam kasus yang dibahas dalam tulisan ini. Dengan adanya
pembatalan terhadap perjanjian HT, maka hubungan kontraktual antara debitur dan bank
selaku kreditur dalam perjanjian hak tersebut dianggap tidak ada keadaannya harus
dikembalikan seperti semula, saat sebelum adanya perjanjian HT.
Dimaksud dengan pembatalan kontrak (perjanjian) pada dasarnya adalah suatu
keadaan yang membawa akibat suatu hubungan kontraktual itu dianggap tidak ada. 42
Adanya pembatalan kontrak, maka eksistensi kontrak dengan sendirinya menjadi berakhir
atau terhapus.43 Subekti dengan menggunakan istilah perjanjian menjelaskan, bahwa
apabila pada waktu pembuatan perjanjian ada kekurangan mengenai syarat yang subjektif,
maka perjanjian itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan
(cancelling) oleh salah satu pihak.44 Pernyataan ini ditegaskan dalam Pasal 1266, “syarat
batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah
satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal
demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.”
Hapusnya hak atas tanah yang dibebani HT tidak menyebabkan hapusnya hutang
yang dijamin pelunasannya oleh debitur.45 Namun konsekuensi dari adanya pembatalan
ini, yaitu pemegang HT berubah kedudukan dari kreditur preferen menjadi kreditur
konkuren, bahkan kreditur yang demikian tidak memiliki hak jaminan yang kuat dan
kepastian hukum akan dilunasinya hutang debitur. Di mana kreditur ini tanpa ada hak
istimewa ataupun hak seperatis yang melindungi kepastian pelunasan piutangnya.46
42
Rendy Saputra, Kedudukan Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) Dalam Hukum
Perjanjian Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2016).
43
Rendy Saputra.
44
Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: Intermasa, 1979).
45
Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan (Jakarta: Sinar Grafika, 2010).
46
Adrian Sutedi.
Dengan dibatalkannya HT, bank kehilangan haknya sebagai pemegang HT, Adapun
hak hak tersebut adalah pertama, hak pemegang hak tanggungan menjual obyek hak
tanggungan atas kekuasaaan sendiri (Pasal 6 jo. Pasal 11 ayat (2) huruf e) UU Hak
Tanggungan tanpa perlu mendapat persetujuan dari debitur. Kedua, pemegang hak
tanggungan dapat memperoleh pelunasan dengan hak mendahulu dari hasil penjualan
obyek hak tanggungan (Pasal 20 ayat (1) huruf a UU Hak Tanggungan jo. Pasal 1133,
1134 KUH Perdata). Ketiga, pemegang hak tanggungan mempunyai hak separatis atas
obyek hak tanggungan dalam hal debitur dinyatakan pailit (Pasal 21 UU Hak
Tanggungan). Keempat, pemegang hak tanggungan pertama berhak mengadakan janji
tidak ada pembersihan atas obyek hak tanggungan (Pasal 11 ayat (2) huruf f UU Hak
Tanggungan). Dan terakhir kelima. hak pemegang hak tanggungan berwenang melakukan
parate eksekusi. 47
Berdasarkan uraian di atas, telah jelas bahwa akibat hukum adanya pembatalan HT
bagi setiap pihak yang berperkara, meliputi pemilik tanah, debitur bank, bank selaku
pemegang HT, maupun Badan Pertanahan. Selain itu pada tahun 2020 telah diterbitkan
Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Penanganan Dan Penyelesaian Kasus
Pertanahan. Kasus pertanahan sendiri adalah sengketa, konflik, atau perkara tanah yang
disampaikan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional,
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan sesuai kewenangannya
untuk mendapatkan penanganan dan penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.48 Berdasarkan aturan hukum tersebut, secara spesifik pada Pasal 29
ayat (1), sangat dimungkinkan untuk dilakukan pembatalan produk hukum yang dalam hal
ini merupakan sertifikat hak milik (walaupun di atasnya telah diletakkan HT), dengan
alasan adanya cacat administrasi dan/atau cacat yuridis maupun pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selanjutnya dalam ayat (2) juga
dipertegas bahwa sebelum dilakukan Pembatalan karena alasan adanya cacat administrasi
dan/atau cacat yuridis, Kementerian atau Kantor Wilayah sesuai kewenangan
memberitahukan kepada pemegang Hak atas Tanah dan HT dalam hal Produk Hukum
yang akan dibatalkan berupa hak atas tanah atau sertipikat tanah yang dibebani dengan
HT.
Dalam Pasal 41 Permen Agraria tersebut juga menyebutkan “Dalam hal hak atas
tanah atau sertipikat tanah yang dibatalkan dibebani HT maka HT batal jika: a. dinyatakan
oleh pengadilan dalam Perkara yang menempatkan pemegang HT sebagai pihak;
bdinyatakan dalam putusan pengadilan dalam Perkara yang tidak menempatkan pemegang
HT sebagai pihak.” Berdasarkan Pasal tersebut, memperkuat dasar hukum adanya
pembatalan hak tanggungan yang terjadi dikarenakan adanya pembatalan sertifikat
kepemilikan atas tanah. Adapun prosedur dan tata cara pembatalan sertifikat kepemilikan
atas tanah tersebut diatur pula dalam Permen yang sama. Sekalipun bank yang
berkedudukan sebagai pemegang hak tanggungan tidak dilibatkan dalam perkara yang
diajukan pengadilan, berdasarkan Permen tersebut Kementerian atau Kantor Wilayah
47
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank (Bandung: Alumni, 1978).
48
AAAI Puspadewi, “Percepatan Penyelesaian Kasus Pertanahan Sebagai Salah Satu Tujuan Pengelolaan
Pertanahan,” Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan 11, no. 21 (2022): 60–69,
https://doi.org/10.28946/rpt.v11i1.1723.
ATR/BPN sesuai kewenangannya memberitahukan kepada pemegang hak tanggungan
berkenaan dengan adanya putusan pengadilan yang menyatakan batal/tidak mempunyai
kekuatan hukum hak atas tanah yang dibebani HT, dengan memberikan kesempatan untuk
melakukan upaya hukum. Selanjutnya, apabila setelah diberitahukan pemegang HT tidak
mengambil langkah-langkah upaya hukum untuk mempertahankan kepentingannya, maka
putusan pengadilan dilaksanakan dengan pembatalan hak atas tanah dan HTnya. Artinya,
bahkan ketika bank sebagai Pemegang HT tidak dijadikan pihak dalam perkara yang
diajukan ke pengadilan, bank juga perlu untuk mengambil Langkah upaya hukum untuk
mempertahankan hak nya terhadap HT yang dipegangnya.
4. PENUTUP
Akibat hukum terhadap hak tanggungan yang telah dinyatakan tidak memiliki
kekuatan hukum oleh putusan Pengadilan terhadap kedudukan dan kewajiban bank selaku
pemegang hak tanggungan adalah bank selaku kreditur atas kredit kehilangan kedudukan
sebagai kreditur preferen. Pembatalan perjanjian peralihan hak atas tanah menyebabkan
perjanjian hak tanggungan juga batal mengingat objek perjanjiannya menjadi tidak
memenuhi syarat sah nya perjanjian. Hubungan kontraktual antara debitur dan bank selaku
kreditur dalam perjanjian hak tersebut dianggap tidak ada keadaannya harus dikembalikan
seperti semula, saat sebelum adanya perjanjian hak tanggungan.yang dibatalkan karena
telah tidak memenuhi syarat subjektif maupun objektif sebagaimana Pasal 1320 KUH
Perdata. Bank selaku kreditur kehilangan hak sebagai pemegang hak tanggungan, yaitu
meliputi hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaaan sendiri tanpa perlu
mendapat persetujuan dari debitur (Pasal 6 jo. Pasal 11 ayat (2) huruf e UU Hak
Tanggungan), hak untuk memperoleh pelunasan dengan hak mendahulu dari hasil
penjualan objek hak tanggungan (Pasal 20 ayat (1) huruf a UU Hak Tanggungan jo. Pasal
1133, 1134 KUH Perdata), hak separatis atas objek hak tanggungan dalam hal debitur
dinyatakan pailit (Pasal 21 UU Hak Tanggungan), hak selaku kreditur pertama untuk
mengadakan janji tidak ada pembersihan atas objek hak tanggungan (Pasal 11 ayat (2)
huruf f UU Hak Tanggungan), serta hak untuk melakukan parate eksekusi.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghoni. “Implementasi Penyelesaian Hukum Atas Eksekusi Jaminan Dalam
Perbankan Syariah.” Jurnal Ius Constituendum 1, no. 2 (2016).
Abdulkadir Muhammad. Hukum Dan Penelitian Hukum. Cet 1. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2004.
———. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014.
Adrian Sutedi. Hukum Hak Tanggungan. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Ali, Mirza Mar, Muhammad Rafli Alghifari, and Priliyani Nugroho Putri. “Padjadjaran
Law Review Analysis of Legal Protection for Creditors Holding Mortgage
Guarantees Against Cancellation of Rights Certificates Being Encumbered by
Mortgage Rights by the Court Padjadjaran Law Review Undang-Undang Dasar
Negara Republik Benda-Ben” 10 (2022): 1–10.
Amiruddin & Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Cet 10. Raja Grafindo
Persada, 2018.
Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya. Jilid 1. Jakarta: Djambatan, 2003.
Christy, Evie, Wilsen Wilsen, and Dewi Rumaisa. “Kepastian Hukum Hak Preferensi
Pemegang Hak Tanggungan Dalam Kasus Kepailitan.” Kanun Jurnal Ilmu Hukum
22, no. 2 (2020): 323–44. https://doi.org/10.24815/kanun.v22i2.14909.
Darwin Ginting. Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah Bidang Agribisnis. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010.
Dotulung, Maissy T. P. “Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah Akibat Cacat Hukum
Administrasi.” Lex Privatum 6, no. 1 (2018): 1–23.
Etty Mulyati. Kredit Perbankan : Aspek Hukum Dan Pengembangan Usaha Mikro Kecil
Dalam Pembangunan Perekonomian Indonesia. Cet 1. PT. Refika Aditama, 2016.
Gandawidura, Yogi Gantika, and Hak Tanggungan. “Perlindungan Hukum Kreditor
Pemegang Hak Tanggungan Peringkat Kedua Dalam Pelaksanaan Eksekusi,” no. 21
(2019): 73–86.
Gayatri, Ni Made Silvia, I Putu Gede Seputra, and Luh Putu Suryani. “Pembatalan
Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Akibat Cacat Administrasi.” Jurnal Analogi Hukum
3, no. 1 (2021): 79–83. https://doi.org/10.22225/ah.3.1.2021.79-83.
Hidayat, Rahmat, and Soegianto Soegianto. “Penyelesaian Debitur Wan Prestasi Atas
Obyek Jaminan Fidusia Yang Telah Didaftarkan.” Jurnal Usm Law Review 2, no. 2
(2019): 288. https://doi.org/10.26623/julr.v2i2.2275.
Imanda, Nadia. “Lahirnya Hak Tanggungan Menurut Peraturan Pemerintah Agraria
Tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik.” Notaire 3, no.
1 (2020): 151. https://doi.org/10.20473/ntr.v3i1.17536.
Jayanti, Offi, and Agung Darmawan. “Pelaksanaan Lelang Tanah Jaminan Yang Terikat
Hak Tanggungan.” Kanun Jurnal Ilmu Hukum 20, no. 3 (2018): 457–72.
https://doi.org/10.24815/kanun.v20i3.11830.
Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja. Hak-Hak Atas Tanah. jakarta: Kencana, 2007.
Kiki Rizki. “Perlindungan Hukum Pemegang Sertifikat Hak Milik Atas Terbitnya
Sertifikat Ganda Berdasarkan Asas Kepastian Hukum.” Aktualita 3, no. 1 (2020).
Lastuti Abubakar, Tri Handayani. “Implementasi Prinsip Kehati-Hatian Melalui
Kewajiban Penyusunan Dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Atau Pembiayaan
Bank.” Rechtidee 13, no. 1 (2018): 1–8.
M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata : Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Mariam Darus Badrulzaman. Perjanjian Kredit Bank. Bandung: Alumni, 1978.
Muhammad Djumhana. Hukum Perbankan Di Indonesia. Citra Aditya, 1996.
Mulyati, Etty, and Fajrina Aprilianti Dwiputri. “Prinsip Kehati-Hatian Dalam
Menganalisis Jaminan Kebendaan Sebagai Pengaman Perjanjian Kredit Perbankan.”
Acta Diurnal Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Dan Ke-PPAT-An 1, no. 2 (2018):
134. https://doi.org/10.24198/acta.v1i2.112.
Natalia, Titie Syahnaz. “Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Kreditor Pemegang Hak
Tanggungan Dalam Eksekusi Hak Tanggungan.” Jurnal Manajemen Dan Bisnis
Sriwijaya 16, no. 3 (2019): 153–63. https://doi.org/10.29259/jmbs.v16i3.7378.
Nugrohandhini, Dwi, and Etty Mulyati. “Debitor Cidera Janji . Banyak Digunakan
Dengan Pertimbangan Lebih Memberikan Rasa Aman ( Secured ) Karena Nilai
Mengingat Pentingnya Kedudukan Lembaga Jaminan Dalam Mendukung Dana
Perkreditan Maka Sudah Semestinya Pemberi Dan Penerima Kredit Serta Pihak L” 4,
no. 114 (2019). https://doi.org/10.23920/jbmh.v4n1.3.
Pasaribu, Puspa, and Eva Achjani Zulfa. “Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta
Perjanjian Kredit Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan.” Jurnal Usm
Law Review 4, no. 2 (2021): 535. https://doi.org/10.26623/julr.v4i2.4050.
Prakasa, F, MA Zuhir, H Adriansyah - Recital Review, and Undefined 2020. “Pembatalan
Sertifikat Hak Milik Dibebani Hak Tanggungan (Putusan Mahkamah Agung Nomor
1138 K/Pdt/2012).” Online-Journal.Unja.Ac.Id 2, no. 1 (2020): 39–53. https://online-
journal.unja.ac.id/RR/article/view/8660.
Puspadewi, AAAI. “Percepatan Penyelesaian Kasus Pertanahan Sebagai Salah Satu
Tujuan Pengelolaan Pertanahan.” Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan
11, no. 21 (2022): 60–69. https://doi.org/10.28946/rpt.v11i1.1723.
Rachmadi Usman. Hukum Jaminan Keperdataan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Rasda, D, M S Rahman, and B Tijjang. “Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) Dalam Pendaftaran Peralihan Hak Milik Atas Tanah.” Jurnal Litigasi Amsir
9, no. November (2021): 34–40.
Rendy Saputra. Kedudukan Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden)
Dalam Hukum Perjanjian Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2016.
Saadah, Khilma Aziz Wakhidatus. “Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan
Kewarganegaraan.” Jurnal: Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Volume 5,
no. Nomor 1 (2020): hlm: 131-138.
Sipahutar, Apul Oloan, Zaenal Arifin, Kukuh Sudarmanto, and Diah Sulistyani Ratna
Sediati. “Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Dalam Praktik Pada Debitur Yang
Wanprestasi.” Jurnal Usm Law Review 5, no. 1 (2022): 144.
https://doi.org/10.26623/julr.v5i1.4254.
Siregar, Nur Rizki, Mohamad Fajri, and Mekka Putra. “Tinjauan Hukum Kekuatan
Eksekutorial Terhadap Permohonan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan Atas Debitur
Wanprestasi Legal Review of Executional Powers Against Applications for
Execution of Mortgage Rights on Default Debtors Tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah ” 5, no. 1 (n.d.): 128–43.
Soegianto, Diah Sulistiyani R S, Muhammad Junaid. “Eksekusi Jaminan Fidusia Dalam
Kajian Undang- Execution of Fidusial Guarantee in Law Number 42 of 1999
Concerning Fidusian Guarantee.” Jurnal Ius Constituendum 4, no. Nomor 2 (2019):
213.
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, 1986.
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1979.
Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty Jogjakarta, 2009.
Sutan Remy Sjahdeini. Hak Tanggungan Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan
Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan. Bandung: Alumni, 1999.
Tinggi, Sekolah, Ilmu Hukum, and Amsir Parepare. “Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap, Efektifkah? Auliah Ambarwati 1 | Muhammad Akbar Fhad Syahril 2,”
2015.
Wicaksono, H S, Y Yuliani, and M A Rivaldy. “Implementasi Hapusnya Hak Atas Tanah
Yang Dibebani Hak Tanggungan Berdasarkan Putusan Pengadilan.” Perspektif 27
(2022): 180–90. http://www.jurnal-perspektif.org/index.php/perspektif/article/view/
837.
Widjaja, Angela Melani, Vincentius Gegap Widyantoro, Elsa Indira Larasati, Lavenia
Nadya Irianti, Raden Ajeng, and Cendikia Aurelie. “Tanggung Gugat Terhadap
Pembebanan Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda Yang Akan Ada Berupa
Gedung.” Jurnal Mercatoria 13, no. 2 (2020): 106–17.

Anda mungkin juga menyukai