Anda di halaman 1dari 12

KAJIAN YURIDIS TENTANG KELALAIAN PETUGAS BANK TERHADAP SURAT

PERINGATAN LELANG TANPA TANDA TANGAN NASABAH


(Studi Kasus Perkara No. 40/Pdt.G/2020/PN.Mdn)

Ferawati Br.Tarigan,
Sunarmi, Sutiarnoto, Mahmul Siregar
Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara

Abstract
Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection which is explained in Article 18 concerning
Standard Clauses, it explains the provisions in making an agreement that includes standard clauses.
Customers as consumers are required to receive legal protection for the use of service products
offered by the bank. Guarantees with Mortgage are given through the Deed of Granting Mortgage
(APHT), if the debtor as the provider of Mortgage is in default (default). Execution of the Mortgage
Guarantee is the last step taken by the creditor as the recipient of the Mortgage if the creditor or
bank in collecting non-performing financing is not effective enough, then based on Article 20
paragraph (1) letter b of Law Number 4 of 1996 concerning Mortgage, it can be conducted by way of
public auction.This study uses a normative juridical approach. The normative juridical approach is
an approach that is based on the main legal material by examining theories, concepts, legal
principles and laws and regulations related to this research.

I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Peran masyarakat dalam menggunakan fasilitas kredit adalah sebagai konsumen atau nasabah
yang berhak menerima fasilitas kredit dari pihak bank. Dalam hal ini kedudukan bank dan
nasabahnya adalah sederajat didalam perjanjian utang piutang, namun dari segi ekonomi dan sosial,
kedudukan bank lebih tinggi daripada nasabah karena bank mempunyai fasilitas yang dimanfaatkan
oleh nasabahnya, lebih tinggi daripada nasabah karena bank mempunyai fasilitas yang dimanfaatkan
oleh nasabahnya.1
Pemberian Kredit kepada masyarakat melalui perbankan tentunya dilakukan dengan suatu
perjanjian kredit antara pemberi dengan penerima kredit sehingga terjadi hubungan hukum antara
keduanya, perjanjian kredit biasanya dibuat oleh pihak pemberi kredit yaitu bank, sedangkan debitur
hanya mempelajarinya dan memahaminya saja. Namun demikian sudah seharusnya perjanjian kredit
ini sudah sangat perlu mendapatkan perhatian khusus dari kedua belah pihak dikarenakan perjanjian
kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan dan pelaksanaanya
karena adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang bisa kita sebut debitur dan kreditur,
karena apabila debitur menandatangani perjanjian kredit yang dianggap mengikat kedua belah pihak
dan berlaku sebagi Undang-Undang bagi keduanya.2
Melihat kedudukan perjanjian dalam pemberian kredit yang sangat penting maka kebutuhan
akta otentik dalam setiap perjanjian kredit merupakan hal yang tidak dapat dielakan bagi kedua belah
pihak, karena hal ini disebabkan akta otentik tersebut berfungsi sebagai bukti telah dilaksanakanya
perbuatan hukum tertentu semisal mengenai hak atas tanah, karena akta otentik merupakan alat
bukti dan untuk membuktikan telah dilakukanya suatu perbuatan hukum sehingga jika terjadi hal
yang bertentangan dengan hukum mengenai perjanjian yang berada didalam akta tersebut
mendapatkan perlindungan hukum yang kuat.3
Pada saat perjanjian kredit dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak, maka tidak menutup
kemungkinan resiko yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian kredit tersebut. Resiko adalah
kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan kejadian diluar kesalahan salah satu pihak. 4 Dari
pengertian tersebut terdapat unsur-unsur resiko dalam suatu perjanjian sebagai berikut:
1. Adanya dua pihak yang terikat dalam suatu perjanjian;
2. Adanya kejadian diluar kesalahan salah satu pihak yang menimbulkan kerugian;

1
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009), hlm.3.
2
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang
Dihadapi Oleh Perbankan(Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), (Bandung : Alumni,
1999), h. 26.
3
Lembaga Kajian Hukum Bisnis Fakultas Hukum USU-Medan, Persiapan Pelaksanaan Hak
Tanggungan Dilingkungan Perbankan, Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1996, h. 5.
4
R. Subekti dan R. Tjitrisudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1992), hlm.56.
3. Adanya kerugian;
4. Adanya kewajiban untuk memikul kewajiban tersebut.5
Kredit macet adalah sebuah kondisi di mana peminjam atau debitur tidak mampu lagi
membayar utangnya karena tidak memiliki dana. Pada dasarnya, kredit macet adalah suatu kondisi
yang bisa saja menimpa semua orang. Hal tersebut biasa terjadi pada para peminjam ataupun
debitur. Kondisi kredit macet tidak hanya akan memengaruhi pihak peminjam ataupun nasabah,
namun juga akan memengaruhi pihak bank. Adanya kondisi kredit macet ini akan membuat pihak
bank kekurangan dana. Hal tersebut akan berdampak buruk atas jalannya kegiatan usaha yang
dilakukan oleh pihak bank. Untuk itu, setiap lembaga keuangan yang melakukan penawaran dana
pinjaman harus menjaga nilai Performing Loan (NPL) nya agar bisa selalu rendah jika ingin terus
bergerak menjalankan usahanya. Jika hanya ada satu atau dua kreditur saja yang mengalami kredit
macet memang tidak akan masalah, tapi jika jumlahnya banyak dan berlangsung secara bersamaan,
maka NPL dari lembaga keuangan tersebut pasti akan meningkat.
Surat Peringatan hingga saat ini masih digunakan sebagai salah satu alat tagih oleh kreditur
kepada debitur yang bermasalah. Bank selaku kreditur memiliki hak untuk memberikan surat
peringatan kepada debitur yang lalai dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar angsuran
kredit. Namun tindakan Bank dalam memberikan Surat Peringatan perlu memperhatikan tentang
rentang waktu (interval) pemberian dan redaksinya meskipun telah disepakati dalam pejanjian
kredit, bahwa Bank dapat memberikan Surat Peringatan sebanyak tiga kali dalam kurun waktu yang
wajar. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada debitur untuk memenuhi
kewajibannya maupun undangan dari kreditur untuk bernegosiasi sesuai dengan Pasal 1339 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan: “suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatuhan, kebiasaan, kebiasaan atau Undang-Undang.”
Putusan Perkara Nomor 40/Pdt.G/2020/PN Mdn dimana Debitur merupakan Direktur PT.
Candi Tanto Jaya pernah mengajukan pinjaman kepada Kreditur (PT.Bank Rakyat Indonesia Tbk
Kanca Medan Iskandar Muda) sesuai dengan Akta Fidusia No. 112 tanggal 24 Juni 2013 oleh Notaris
Rudi Haposan Siahaan, S. dengan Sertifikat Jaminan Fidusia No.W2.122153.AH.05.01 tahun 2013
tanggal 20 Agustus 2013 dan Akta Fidusia No. 113 tanggal 24 Juni 2013 oleh Notaris Rudi Haposan
Siahaan, S.H. dengan Sertifikat Jaminan Fidusia No.W2.122155.
Seiring perjalanan kredit yang dilakukan Debitur, Debitur mengalami kendala dalam membayar
kredit yang harus dibayarkan kepada Kreditur. Debitur dengan itikad-itikad baik ingin menyelesaikan
terkait permasalaan ini kepada Kreditur namun tidak menemui titik temu untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut karena tidak ada pengurangan bunga maupun jadwal pelunasan yang sangat
singkat, dikarenakan Debitur sedang di dalam Rumah Tahanan Negara maka Debitur tidak bisa
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi terkait cicilan/pelunasan yang belum dibayarkan kepada
Kreditur dalam waktu yang singkat. Pada tanggal 11 Januari 2020 Debitur mendapat surat No.B.122-
KC-II/ADK/01/2020 pemberitahuan jadwal lelang dan pengosongan rumah yang akan dilaksanakan
pada hari Rabu/29 Januari 2020, bertempat di lokasi Kreditur atau Kantor Pelayanan Negara dan
Lelang (KPKNL) di Jalan Diponegoro No. 304 Medan. Debitur merasa keberatan dikarenakan proses
jadwal lelang yang dlakukan oleh Kreditur dan Kreditur tanpa ada surat peringatan apapun yang
dilakukan Kreditur tentang kredit macet yang dilakukan oleh Debitur. Apabila Debitur wanprestasi,
Kreditur seharusnya akan mengirimkan Surat Peringatan kepada Debitur agar melaksanakan
kewajibannya dalam pembayaran angsuran sesuai dengan yang diperjanjikan. Peringatan tersebut
biasanya diajukan paling sedikit sebanyak 3 (tiga) kali untuk memenuhi syarat keadaan
wanprestasinya Debitur namun dalam hal ini Debitur tidak pernah mendapat surat tersebut.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka disimpulkan rumusan masalah
yang akan diteliti adalah :
1. Bagaimana kedudukan debitur dalam proses eksekusi Hak Tanggungan ?
2. Bagaimana akibat hukum pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan tanpa surat peringatan ?
3. Bagaimana analisis putusan Hakim dalam Perkara No. 40/Pdt.G/2020/PN.Mdn) ?

C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis kedudukan debitur dalam proses eksekusi Hak Tanggungan;
2. Untuk menganalisis dampak dan akibat hukum pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan tanpa
surat peringatan;
5
Ibid.
3. Untuk mengetahui analisis putusan hukum Hakim dalam Perkara No.
40/Pdt.G/2020/PN.Mdn).

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis, yaitu:
1. Manfaat Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan sebagai masukan atau referensi secara
teoritis terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, atau bahan rujukan terutama tentang
Perjanjian Kredit Perbankan;
2. Manfaat Secara Praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat secara praktis sebagai berikut :
a. Untuk membantu dalam memecahkan permasalahan yang telah disimpulkan melalui
penelitian yang telah dilakukan;
b. Mengembangkan wawasan di bidang penelitian;
c. Sebagai bahan masukan bagi pengelola pendidikan, khususnya dalam bidang hukum
perlindungan konsumen dalam perjanjian penggunaan fasilitas kredit perbankan.

II. Kerangka Teori


Dalam penelitan ini saya menggunakan teori sebagai berikut :
1. Teori Perbuatan Melawan Hukum, Pada ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori perbuatan
melawan hukum, yaitu sebagai berikut: Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan;
Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian);
Perbuatan melawan hukum karena kelalaian;
2. Teori Pertanggungjawaban, Pertanggungjawaban yang harus dilakukan berdasarkan
perbuatan melawan hukum ini merupakan suatu perikatan yang disebabkan dari undang-
undang yang mengaturnya (perikatan yang timbul karena undang-undang);
3. Teori Perlindungan Hukum, Teori perlindungan hukum adalah “teori yang mengkaji dan
menganalisis tentang wujud dan bentuk tujuan perlindungan, subjek hukum yang
dilindungi serta objek perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada subjeknya. 6

III. Pembahasan
A. Kedudukan Debitur Dalam Proses Eksekusi Hak Tanggungan
Debitur adalah sebutan bagi perusahaan atau individu yang berhutang uang kepada lembaga
lain.7 Dalam kebangkrutan, debitur dapat memilih untuk membayar utang dalam prioritas yang
dipilih. Tetapi, jika masih tetap gagal dalam membayar hutangnya, mereka telah melanggar
perjanjian dengan kreditor. Hak tanggungan berdasarkan “Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak
Tanggungan” adalah hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berhubungan atas tanah,
yang selanjutnya disebut hak tanggungan yang berarti hak jaminan dibebankan pada hak atas tanah
sesuai yang di atur “Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960” tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria. Pada ketentuannya hak tanggungan adalah penguasaan hak atas tanah mengenai
kewenangan kreditur untuk berbuat atau melakukan sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan
namun bukan untuk di kuasai secara fisik dan digunakan oleh kreditur tetapi untuk menjualnya
kembali jika debitur cedera janji sehingga lunaslah pembayaran utang debitur kepadanya. 8 Hak atas
tanah yang dapat dibebani hak tanggungan yakni hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan. 9
Lelang eksekusi hak tanggungan dilakukan jika debitur cedera janji , maka pemegang hak tanggungan
pertama mendapat hak untuk menjual objek hak tanggungan tersebut atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum dan kemudian mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan yang telah
dilakukan.
Ketentuan pelaksanaan lelang diatur pada “Peraturan Menteri Keuangan Nomor
27/PMK.06/2016 Tahun 2016” tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. “Pasal 1 Angka 1 Peraturan
Menteri Keuangan No 27” mendefinisikan lelang adalah penjualan barang secara terbuka sesuai
dengan penawaran harga secara tertulis atau lisan yang meningkat maupun menurun untuk mencapai
harga yang tertinggi lewat suatu pengumuman lelang yang dilakukan lewat surat kabar harian yang
dilaksanakan oleh KPKNL bidang pelayanan penilaian, bidang pelayanan lelang.
KPKNL memberikan pelayanan publik yang terbaik untuk menjalankan tugas dan fungsi serta
perannya, KPKNL diatur dalam “Peraturan Menteri Keuangan Nomor 170/PMK.01/2012”tentang

6
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Op.Cit. hlm. 263.
7
Roger Bel Air, Cara Meminjam Uang Dari Bank, (Solo : PT.Bagara Bengawan, 1988 : 3).
8
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 2008), hlm. 24.
9
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, (Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2002), hlm. 146.
Organisasi dan Tata Cara Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Menurut
peraturan menteri keuangan lelang merupakan penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan
penawaran harga secara lisan atau tertulis, meningkat atau menurut untuk mencapai harga tertinggi
yang dari pengumuman lelang, apa yang diletakkan pada objek lelang tidak memasang harga yang
serendah-rendahnya melainkan paling tidak sama rata misalnya seperti sesuai dengan harga pasar
dan kurun waktu yang sudah ditentukan seperti penjualan objek lelang dijual dengan harga lebih
tinggi selama 1 bulan, kemudian dilakukan pelelangan kedua dijual dengan sesuai harga pasar tentu
dengan waktu 1 bulan juga kemudian terjadinya pelelangan ke-3. Dalam pelelangan ke-3 biasanya
pihak KPKNL, pihak pemilik dan pihak kreditur sudah merundingkan agar menjual objek lelang
dibawah harga pasar dan itu hanya boleh dilakukan tergantung kesepakatan dari para pihak
Berdasarkan “Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT)” mengatakan jika
pemberi Hak Tanggungan didasarkan dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai
jaminan pelunasan utang tersebut dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian
utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.10
Jaminan kebendaan yang dapat diikat oleh hak Tanggungan sesuai UUHT bertujuan supaya
kreditur sebagai pemegang jaminan yang kuat secara dan diakui secara yuridis. Jaminan tersebut
harus diikat dengan cara pendaftaran ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat sesuai objek
tersebut berada. Dengan adanya hak tanggungan maka lembaga telah memberikan wewenang kepada
kreditur sebagai pemegang hak jaminan. Proses yang dapat dilakukan untuk melakukan lelang
eksekusi hak tanggungan harus sesuai dengan peraturan yang tertulis, kemudian harus dinyatakan
bahwa objek milik debitur sudah dapat di eksekusi sehingga sudah disetujui oleh para pihak. Pada
“Pasal 6 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan jo. Pasal 6 ayat (2)” ‘Keputusan Direktorat Jendral
Piutang dan Lelang Negara’ memberikan hak kepada penjual untuk menentukan syarat lelang yang
sifatnya khusus , kemudian dengan syarat khusus tersebut tidak dapat bertentangan dengan
peraturan umum lelang maupun peraturan perundang-undangan yang ada. 11 Agar apabila penjualan
lelang dilakukan tidak di muka umum oleh pejabat lelang maka eksekusi lelang dinyatakan batal demi
hukum, segala syarat-syarat dan proses untuk meng-eksekusi objek lelang sudah atas peraturan-
peraturan yang berlaku atas persetujuan wewenang dari Pemerintah.
Untuk melaksanakan lelang eksekusi atas objek yang sudah dijaminkan pada pihak kreditur
maka debitur dan kreditur harus memperhatikan prosedur untuk terlaksananya eksekusi yang benar
sehingga tidak merugikan kedua belah pihak, berdasarkan peraturan lelang, penjualan di muka
umum di lakukan oleh kantor lelang atau disebut juga sebagai perantara lelang sesuai dengan cara
penjualan dengan penawaran tinggi maupun rendah, penawaran secara tertulis dengan
pemberitahuan kepada debitur paling lambat 30 hari dari tanggal pelelangan tersebut. Dalam
prosedur melakukan eksekusi hak tanggungan, harapan kreditur jika dilakukannya eksekusi terhadap
objek jaminan agar apabila debitur cidera janji dengan harapan dilaksanakannya eksekusi maka
kreditur dapat memperoleh kembali pelunasan piutang dan sisa hasil dari pelelangan tersebut dapat
diserahkan kembali kepada debiturnya, dan hal tersebut akan lebih mempermudah proses
eksekusinya. Dalam melaksanakan perjanjian antara kreditur dan debitur telah ada perlindungan
hukum kepada masing-masing pihak, perlindungan terhadap kreditur tercantum pada isi perjanjian
yang dapat ditentukan perbuatan apa yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak misalnya
ketentuan bunga & denda yang tertulis di dalam perjanjian kredit masih tetap diberlakukan, pada saat
dilakukannya eksekusi debitur harus bersedia memberi izin kepada bank / pihak lain yang ditunjuk
untuk masuk kedalam masing-masing agunan kredit oleh debitur kepada bank sebagai pelunasan
kredit.
Sama halnya dengan perlindungan pada debitur, saat dilakukannya eksekusi terhadap objek hak
tanggungan, pihak bank wajib melakukan eksekusi dan pelelangan sesuai dengan aturan yang berlaku
misalnya seperti agunan yang diberikan tidak setara dengan hutang yang dimiliki oleh debitur maka
pada saat pelaksanaan lelang untuk menentukan nilai harga pada objek jaminan haruslah sebagai
berikut :
a. Sesuai dengan harga pasaran atau sesuai dengan nilai limit yang disesuaikan oleh pihak debitur
karena biasanya pada tahap awal pelelangan harga minimum objek yang akan dilelang ditetapkan
oleh pemilik objek (debitur);
b. kemudian jika setelah 30 hari objek belum berhasil terjual harga akan diturunkan dari harga
pasar tetapi pihak kreditur tidak bisa menjual objek sejatuh mungkin kemudian dalam tahap
kedua apabila objek lelang belum juga terjual;
c. pada tahap ketiga pihak kreditur wajib menjatuhkan lagi nilai harga objek jaminan sehingga jika

10
“Undang-Undang Hak Tanggungan No 4 Tahun 1996, Pasal 10 Ayat (1)”
11
Keputusan Menteri Keuangan Lelang No27/PMK.06/2016, Petunjuk Pelaksanaan Lelang, Pasal 6 Ayat
(2).
pelelangan sudah berhasil maka nilai objek jaminan tersebut digunakan untuk melunasi utang
debitur dan sisanya akan dikembalikan kepada debitur yang memiliki hak atas objek hak
tanggungan tersebut.
Salah satu bahwa hak tanggungan sebagai lembaga jaminan atas objek hak tanggungan adalah
tidak sulit dan kemudian pelaksanaan eksekusi hak tanggungan tersebut atas objeknya merupakan
bukti dari perlindungan hukum terhadap kreditur apabila debitur mengalami cidera janji atas
pelunasan utang, begitupun sebaliknya diharapkan dalam melakukan eksekusi hak tanggungan
kreditur dapat memenuhi syarat-syarat dan ketentuan eksekusi terhadap pelaksanaan lelang yang
sama dengan peraturan lelang yang berlaku, yang artinya para pihak tidak saling merugikan.
Berkaitan dengan peraturan berlaku meskipun pihak kreditur hanya membutuhkan pelunasan
hutang-hutang melalui hasil lelang objek jaminan, pihak kreditur tetap harus memperhatikan nilai
yang pantas untuk objek hak tanggungan paling tidak dibawah harga pasar yang sesuai dan selain itu
atas dasar persetujuan dari pihak debitur selaku pemilik objek tanggungan karena hasil dari nilai
lelang biasanya akan dibayarkan pada kreditur (pelunasan hutang debitur) kemudian sisanya akan
diberikan kembali kepada debitur selaku pemilik objek tersebut, tetapi apabila objek dilelang dengan
nilai yang sangat jatuh dari harga pasar tentu akan menimbulkan kerugian pada pihak debitur selain
itu kreditur telah melanggar hukum karena apa yang dilakukan oleh kreditur tidak sesuai dengan
aturannya dan jika dilihat dari sisi berbagai kasus serupa maka apabila lelang eksekusi hak
tanggungan jika tidak mencapai nilai maksimum dapat dilaporkan pada Pengadilan dan dikenakan
sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang kemudian hakim dapat membatalkan pelelangan
tersebut karena proses lelang di anggap menyalahi aturan yang berlaku dan setelah itu dalam
pelaksanaannya hakim haruslah meminta penilai yang digunakan oleh penjual dapat
mempertanggung jawabkan di Pengadilan karena telah menentukan harga lelang atas tafsiran
nilainya. Sehingga Pengadilan dapat membatalkan nilai eksekusi yang dilakukan dibawah harga pasar
(jika nilainya terlalu jauh dari harga pasar) dan landasan yang digunakan adalah pasal 1365 KUHPer
berbunyi “tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan
kerugian tersebut”, karena sepanjang kreditur melakukan eksekusi objek tanggungan dalam batasan
yang wajar tidak dipermasalahkan tapi sepanjang kreditur melakukan lelang eksekusi objek diluar
batasan maka lelang eksekusi tersebut dapat dibatalkan karena menimbulkan akibat yang merugikan
debitur.
Pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan harus dilaksanakan di KPKNL yakni pemerintah
yang memiliki kedudukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku sehingga
pelelangan eksekusi dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku demikian. Karena pemerintah yang
berwenang untuk melakukan lelang ialah KPKNL, tentu pihak KPKNL harus melakukan lelang
eksekusi sesuai dengan aturan yang berlaku seperti menerapkan ketentuan pasal 6 UUHT yang
mengakatan nilai limit haruslah ditetapkan oleh penjual. Berdasarkan hasil penilaian dari penilai
yang dimana hasil penilaian dari penilai atas objek tanggungan adalah sebesar dua puluh tujuh miliar
tetapi nilai limit yang ditetapkan oleh kreditur menjadi sebesar delapan belas miliar sehingga kreditur
hanya memikirkan hutang yang dimiliki oleh debitur saja tanpa memikirkan kerugian si debitur.
Sehingga penetapan lelang eksekusi yang ditetapkan oleh KPKNL dapat berjalan sesuai dengan
batasan tertentu yaitu batasan sesuai dengan peraturannya seperti menerapkan peraturan Menteri
Keuangan, peraturan hak tanggungan dan KUHPer Peraturan serta sebelum terjadinya pelelangan
harus diperhatikan terlebih dahulu pasal-pasal dalam aturan yang berlaku agar debitur maupun
kreditur tidak ada yang mengalami kerugian.

B. Akibat Hukum Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Tanpa Surat Peringatan


Dan Tanpa Tanda Tangan Nasabah Debitur
Eksekusi berdasarkan titel eksekutorial pada serifikat Hak Tanggungan yang tata caranya
dimaksud dalam pasal 224 HIR/258Rbg, maka prosedurnya yang harus dilakukan oleh kreditor
(pemegang Hak Tanggungan) adalah terlebih dahulu harus mengajukan permohonan penetapan
kepada Ketua Pengadilan Negeri agar Ketua Pengadilan Negeri menerbitkan penetapan untuk
memerintahkan sita Eksekusi atas objek Hak Tanggungan agar Eksekusi dapat dijalankan.
Permohonan penetapan Eksekusi bedasarkan pasal 224 HIR/258 Rbg harus sesuai dengan
prosedur yang ada dan membayar biaya Eksekusi, setelah Ketua Pengadilan menerima permohonan
kreditor, maka Ketua Pengadilan Negeri memanggil debitor untuk memberitahukan dan
memperingatkan. Apabila debitor tidak memenuhi panggilan dari Ketua Pengadilan Negeri tanpa
memberi alasan yang tepat maka proses pelelangan atas objek Hak Tanggungan sebagai jaminan akan
dilaksanakan penjualan secara lelang.12

12
Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, (Yogyakarta, LaksBang, 2007), hlm 313.
Untuk melaksanakan Eksekusi Lelang Hak Tanggungan yang perlu dilihat dahulu adalah isi dari
perjanjian yang terletak di dalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dan dalam
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) tidak boleh ada klausula “melakukan
perbuatan hukum lain” apabila melakukan perbuatan hukum lain maka Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan akan mengakibatkan “tidak sah dan cacat hukum”.
Proses pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan baru dapat dilaksanakan apabila debitor
melakukan wanprestasi, proses Pelaksanaan Eksekusi harus sesuai dengan hukum positif di indonesia
dan dapat dilihat pelaksanaan eksekusi yang tidak sesuai hukum positif indonesia pada Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) No. 3210 K/PDT/1984, yang mana pelaksaan lelang
tersebut tetap harus melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri dan baru dapat dilaksanakan Eksekusi
Lelang Hak Tanggungan.
Akibat hukum, mengenai pelaksanaan lelang atas dasar Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan (SKMHT) yang tidak memenuhi persyaratan baku, dapat menimbulkan perbuatan
melawan hukum yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata dan pelaksanaan lelang tersebut adalah
tidak sah dan cacat hukum, serta tidak menutup kemungkinan dengan putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap ( inkraacht van gewidjse ), yang menyatakan pelaksanaan lelang
tersebut adalah tidak sah dan cacat hukum terhadap pelaksanaan lelang yang telah melakukan
perbuatan melawan hukum tersebut dapat dituntut secara pidana sebagai mana dimaksud Pasal 335
KUHP.
Mengenai akibat hukum atas pelaksanaan lelang yang mempunyai title executorial dengan
memuat irah-irah : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” seharusnya menurut
perundang-undangan yang berlaku harus melalui penetapan Ketua Pengadilan, akan tetapi bila pihak
kreditor tetap melaksanakan lelang melalui Kantor Pelayanaan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL), berarti telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud pasal 1365
KUH Perdata dan pelaksanaan lelang tersebut tidak sah dan cacat hukum, selanjutnya dalam Putusan
Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkraacht van gewidjse), yang menyatakan
pelaksanaan lelang tersebut tidak sah dan cacat hukum dapat dituntut secara pidana yang diatur pada
pasal 335 KUHP. Sedangkan akibat hukum atas pelaksanaan Lelang tidak sesuai dengan petunjuk
pelaksanaan lelang maka mengakibatkan pelaksanaan lelang tersebut telah melanggar Perundang-
undangan yang berlaku di dalam Pasal 15 ayat (1) UndangUndang No. 4 Tahun 1996 jo ketentuan
Pasal 27 huruf c, huruf h dan huruf i Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
No.106/PMK.06/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No.93/PMK.06/2010
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang 13, dikarenakan sebelum terjadi pelaksanaan lelang sudah ada
Gugatan di Pengadilan oleh pihak lain yang tidak termasuk dalam debitor, jadi pelaksanaan Lelang
tersebut telah melakukan melawan perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUH
Perdata, juga dengan dasar putusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (inkraacht van
gewidjse) dan akibat hukumnya pelaksanaan lelang tersebut batal demi hukum.
Tindak pidana berupa pemalsuan suatu surat dapat kita jumpai ketentuannya dalam Pasal
263 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu
hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada
sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat
tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat
menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam
tahun;
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau
yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Selanjutnya, di dalam Pasal 264 KUHP ditegaskan bahwa: 
(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan
terhadap:
a. akta-akta otentik;
b. surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu
lembaga umum;
c. surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan,
perseroan atau maskapai;
d. talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan
3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
e. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan;
13
Pasal 13 ayat (1) :Dalam hal terdapat gugatan terhadap objek lelang hak tanggungan dari pihak lain selain
debitor/ tereksekusi, suami atau istri debitor /tereksekusi yang terkait kepemilikan, pelaksanaan lelang
dilakukan berdasarkan titel eksekutorial dari Sertifikat HakTanggungan yang memerlukan fiat eksekusi.
(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut
dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak
dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan pasal
1365 KUHPerdata dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya
mengenai kerugian materil, maka kerugian karena perbuatan melawan  hukum disamping kerugian
materiil, yurispridensi juga mengakui konsep kerugian immaterial, yang juga akan dinilai dengan
uang.
Bahwa di dalam lelang bentuk ganti rugi karena perbuatan melawan hukum lebih diutamakan
dalam petitum minta putusan hakim bahwa perbuatan lelang adalah perbuatan melawan hukum
(PMH), kemudian pemulihan pada keadaan semula (dapat dengan uang pemaksa) dan uang. Gugatan
PMH dalam lelang lebih dominan menekankan penyebutan tindakan lelang sebagai PMH, bukan
pada pemberian ganti rugi. Tuntutan ganti rugi dalam bentuk uang meliputi ganti rugi materiil
dan immaterial (moril). Ganti rugi materiil antara lain, kerugian yang timbul sebesar selisih harga
barang yang wajar dengan harga barang pada saat barang dijual, biaya yang dikeluarkan penggugat
mengurus perkara. Kerugian immaterial (moril) antara lain berupa kerugian yang timbul karena
pengumuman lelang telah menjatuhkan harga diri, kerugian yang timbul karena pelaksanaan lelang
telah menjatuhkan harga diri dan mencemarkan nama baik.
Berdasarkan pengaturan Pasal 1367 KUHPerdata alinea pertama KUHPerdata yang menentukan
bahwa “Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya
atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.
Selain itu pada pasal 1367 alinea ketiga KUHPerdata juga menentukan bahwa “Majikan- majikan
dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah
bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawah-bawahan
mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya”.
Tanggung jawab tersebut juga harus diterima atau dipenuhi oleh bank dan pegawainya karena
menurut UU Perbankan Pasal 49 ayat (1) yang menentukan bahwa :
(1) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja:
a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam
laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau
rekening suatu bank;
b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan
dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan
usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya
suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau
laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja
mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan
pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang- kurangnya 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya
Rp10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00
(dua ratus miliar rupiah).
Di dalam Pasal 49 ayat (1) huruf b tersebut telah mengatur secara jelas bahwa ada tindakan yang
dapat menimbulkan tanggung jawab bagi pegawai yang menghilangkan atau tidak memasukkan atau
menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam
dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank. Oleh karena itu,
pegawai selaku bank dan bank selaku pemberi kerja bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
oleh nasabah debitur.
Dengan seluruh penjabaran dan uraian di atas, segala tindakan pegawai yang terkait prosedural
bank kepada nasabah debitur merupakan suatu tindakan dari bank itu sendiri tanpa terkecuali. Oleh
karena itu, dengan adanya kerugian yang diakibatkan tindakan pegawai dapat juga dikatakan bahwa
tindakan tersebut juga merupakan tindakan bank yang dijalankan oleh pegawai yang terkait. Segala
kerugian yang dialami oleh nasabah debitur harus dapat dipertanggung jawabkan oleh bank selaku
pihak yang memperkerjakan pegawai yang melakukan suatu tindakan yaitu tidak melaporkan atau
membukukan angsuran kredit nasabah debitur kepada bank sehingga merugikan nasabah debitur.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen bukan satu-satunya hukum yang mengatur tentang
perlindungan konsumen di Indonesia. Sebelum disahkannya UUPK pada dasarnya telah ada beberapa
perundang-undangan yang materinya melindungi kepentingan konsumen antara lain : Pasal 202-205
Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Ordonansi BahanBahan Berbahaya (1949). Undang- Undang
No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan sebagainya. Lahirnya
UUPK di harapkan menjadi payung hukum (umbrella act) di bidang konsumen dengan tidak menutup
kemungkinan terbentuknya peraturan perundang-undangan lain yang materinya memberikan
perlindungan terhadap konsumen.
Adanya perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen di bidang perbankan menjadi
urgen, karena secara faktual kedudukan antara para pihak seringkali tidak seimbang. 14 Kepentingan
konsumen, termasuk pula dalam hal ini nasabah, secara rinci termuat dalam Revolusi PBB Nomor
39/248 Tahun 1985. Dalam sidang umum PBB ke-106 yang digelar tanggal 9 April 1985 itu,
digariskan bahwa hak-hak konsumen yang dimaksud yaitu:
1. Perlindungan terhadap konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;
2. Promosi dan perlindungan dari kepentingan sosial ekonomi konsumen;
3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan mereka kemampuan
melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pribadi;
4. Pendidikan konsumen;
5. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;
6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen dan memberikannya kesempatan kepada
mereka untuk menyatakan pendapat sejak saat proses pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan kepentingan konsumen.15
Dalam Pasal 4 Bab III Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
menyebutkan hak-hak konsumen secara khusus, yaitu antara lain:
1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa;
4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut;
6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau
jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 16
Secara spesifik, hak-hak konsumen, terutama kepentingan hukumnya, telah termuat dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, dalam hal itu merupakan kepentingan yang mutlak dan sah
bagi masyarakat Indonesia sebagai konsumen. Suatu hal yang tidak adil bagi konsumen bila
kepentingan konsumen tidak seimbang dan tidak dihargai sebagaimana penghargaan terhadap
kalangan pengusaha. Dalam konteks itu, nasabah memiliki hak secara spesifik, yakni sebagai berikut:
1. Nasabah berhak untuk mengetahui secara terperinci tentang produk-produk perbankan yang
ditawarkan. Hak ini merupakan hak utama dari nasabah, karena tanpa penjelasan terperinci dari
bank melalui customer service-nya, maka sangat sulit nasabah untuk memilih produk perbankan
apa yang sesuai dengan kehendaknya. Hak-hak apa saja yang akan diterima oleh nasabah
apabila nasabah mau menyerahkan dananya kepada bank untuk dikelola;
2. Nasabah berhak untuk mendapatkan bunga atas produk tabungan dan deposito yang telah
diperjanjikan terlebih dahulu. 17
Penulis berpendapat bahwa dalam praktek perbankan jika nasabah menyimpan uang ke bank
harus dilindungi. Dalam praktik perbankan berlaku ketentuan bahwa nasabah yang akan menyimpan
dananya pada waktu suatu bank dilakukan bukan dengan cuma-cuma. Nasabah berhak untuk
menerima bunga atas dana yang disimpan pada bank tersebut.
Hubungan hukum  antara  bank dengan nasabah penyimpan mulai sejak ditandatanganinya
kesepakatan tertulis (hubungan kontraktual) antara bank dengan nasabah yang memuat hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak. Perjanjian inilah yang menjadi hukum atau undang-undang
bagi kedua belah pihak (Pasal 1338 KUH Perdata).
Tanggung jawab merupakan suatu akibat yang harus ditanggung oleh seseorang jika
menimbulkan kerugian bagi pihak lain, tak terkecuali dalam perjanjian kredit apabila ada nasabah
yang merasa dirugikan akibat tindakan dari pegawai bank. Tanggung jawab merupakan salah satu hal

14
Marhais Abdul Miru, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung : Alumni, 2004), hal. 6.
15
Resolusi PBB No. 39/248 Tahun 1985, tanggal 9 April 1985 perihal Hak-Hak Konsumen.
16
Pasal 4 Bab III Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
17
Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hal.32.
penting di dalam suatu hubungan hukum yang ada, salah satunya adalah di dalam perjanjian kredit.
Timbulnya hak orang lain dalam hal menuntut yang melahirkan kewajiban bagi pihak lain adalah
merupakan dasar dari adanya tanggung jawab. Selain itu, Purbacaraka juga memberikan pendapatnya
tentang tanggung jawab yang mengatakan bahwa ”Tanggung jawab hukum bersumber atau lahir atas
penggunaan fasilitas dalam penerepan kemampuan tiap orang untuk menggunakan hak dan/atau
melaksanakan kewajibannya”.18
Bank bertanggung jawab atas kerugian debitur terkait dengan tindakan yang dilakukan oleh
pegawainya yang merugikan nasabah debitur karena segala tindakan pegawai dalam menjalankan
kewajibannya sebagai pegawai merupakan tanggung jawab dari bank selaku pihak yang
memperkerjakan pegawai tersebut atas dasar Pasal 1365 KUHPerdata. Dan nasabah debitur dapat
meminta pertanggungjawaban dari pihak bank dengan cara mengajukan gugatan perbuatan
melanggar hukum atas dasar Pasal 1365 KUHPerdata terkait tindakan pegawai bank yang tidak
memasukkan angsuran ke dalam pembukuan bank sehingga menimbulkan kerugian bagi nasabah
debitur.
Hubungan hukum pegawai dengan bank adalah hubungan kerja, yang dalam hal ini pegawai
adalah pekerja yang dimiliki oleh bank selaku perusahaan. Pengertian dari pekerja dapat dilihat pada
ketentuan UU Ketenagakerjaan pasal 1 angka 3 menentukan bahwa “Pekerja/buruh adalah setiap
orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Tindakan pegawai yang juga merupakan tindakan perusahaan ini tidak dikecualikan kepada
kesalahan yang dibuat oleh pegawai yang berdampak buruk bagi nasabah. Hal ini seperti yang diatur
di dalam pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata yang menentukan bahwa “Seseorang tidak hanya
bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas
kerugian yang disebabkan perbuatan- perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau
disebabkan barang barang yang berada di bawah pengawasannya”.
Pelaksanaan lelang sangat dibutuhkan baik dalam fungsi publik maupun privat. Pada
pelaksanaan lelang khususnya dalam lelang eksekusi, potensi terjadinya gugatan sangat tinggi,
sehingga dalam pelaksanaannya semua pihak memiliki tanggung jawab apabila terjadi kesalahan
ataupun gugatan akibat pelaksanaannya. Pada Pasal 7 Vendu Reglement menjelaskan tanggung jawab
pejabat lelang, yaitu: “Juru lelang tidak berwenang menolak permintaan akan perantaraannya untuk
mengadakan penjualan umum di daerahnya.” Artinya, pejabat lelang bertanggungjawab untuk
melaksanakan permintaan lelang di daerahnya, tapi untuk melaksanakan lelang menurut
Mr.Holtkamp sebagaimana dikutip oleh Rochmat Soemitro bahwa pejabat lelang wajib menyelidiki
apakah yang meminta lelang itu benar-benar memiliki kewenangan untuk berbuat
(handelingsbevoegd).19
Selanjutnya, Rochmat Soemitra mengatakan sebaliknya bahwa pejabat lelang tidak perlu
menyelidiki karena dengan mengumumkan tanggal dan hari pelaksanaan lelang berarti juru lelang
telah memberi kesempatan kepada pihak-pihak untuk mengklaim hak mereka terhadap barang yang
akan dilelang.20
Pejabat lelang dalam melaksanakan lelang bertanggungjawab dalam melakukan pengecekan
dokumen terkait dengan barang yang akan dilelang. Pejabat lelang harus melihat keterkaitan antara
dokumen satu dengan dokumen lainnya atau dengan kata lain pejabat lelang hanya bertanggung
jawab terhadap apa saja yang tercantum dalam dokumen-dokumen lelang tetapi tidak bertanggung
jawab atas kebenarannya. Adapun yang menjadi tanggung jawab penjual lelang dalam pelaksanaan
lelang diatur dalam Pasal 3 KMK Nomor 304/KMK.01/2002 yang menyatakan bahwa: “Penjual
bertanggungjawab terhadap keabsahan barang dan dokumen persyaratan lelang” Berdasarkan hal
tersebut di atas dapat diartikan bahwa penjual dalam pelaksanaan lelang bertanggung jawab terhadap
keabsahan barang yang akan dilelang, artinya barang yang akan dilelang adalah benar milik penjual
dan berhak atas penjualan barang tersebut melalui lelang. Selain itu, pejual juga berkewajiban
memperlihatkan atau menyerahkan dokumen asli kepemilikan kepada pejabat lelang paling lambat
sebelum pelaksanaan lelang, kecuali lelang eksekusi di mana berdasarkan peraturan perundang-
undangan bahwa lelang tetap dapat dilaksanakan meskipun kepemilikan atas dokumen asli tidak
dikuasai oleh penjual. Pelaksanaan lelang tidak hanya mengatur mengenai tanggung jawab pejabat
lelang dan penjual, tetapi pembeli lelang juga memiliki tanggung jawab setelah pelaksanaan lelang,
yaitu melakukan pelunasan pembayaran lelang sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

C. Analisis Putusan Hakim Dalam Perkara No. 40/Pdt.G/2020/PN-Medan


Kasus pelaksanaan lelang eksekusi objek jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh BRI
cabang Medan dalam Perkara No. 40/Pdt.G/2020/PN-Medan tentang Debitur merupakan Direktur
PT. Candi Tanto Jaya beralamat di Jalan Darusalam No. 124 Kelurahan Babura, Kecamatan Medan

18
Purbacaraka, Perihal Keadah Hukum, (Bandung : Citra Aditya, 2010), h.37.
Baru, Kota Medan sesuai Akte Pendirian Perseroan Terbatas PT. Candi Tanto Jaya Nomor 02 pernah
mengajukan pinjaman kepada Kreditur sesuai dengan Akta fidusia No. 112 tanggal 24 Juni 2013 oleh
Notaris Rudi Haposan Siahaan, S.H, dengan Sertifikat Jaminan Fidusia No.W2.122153.AH.05.01
tahun 2013 oleh Notaris Rudi Haposan Siahaan, S.H, dengan Sertifikat Jaminan Fidusia
No.W2.122155.
Bahwa objek sengketa yang dijaminkan kepada Kreditur adalah :
a. 1 (satu) bidang tana seluas 549 m2 berikut bangunan diatasnya terletak di Jalan Darussalam
No.122 Desa/Kelurahan Babura Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal, Kotamadya Medan,
Propinsi Sumatera Utara dengan bukti Kepemilikan SHM No.501 atas Nama Dodi Sutanto.
b. 1 (satu) bidang tanah seluas 283 m2 berikut bangunan diatasnya terletak di Jalan Darussalam,
Desa/Kelurahan Babura Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal, Kotamadya Medan, Propinsi
Sumatera Utara dengan bukti Kepemilikan SHM No. 1017 atas nama Dodi Sutanto.
c. 1 (satu) bidang tanah seluas 114 m2 berikut bangunan diatasnya terletak di Jalan Darussalam,
Desa/Kelurahan Babura Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal, Kotamadya Medan, Propinsi
Sumatera Utara dengan bukti Kepemilikan SHM No. 1016 atas nama Dodi Sutanto.
Debitur selaku yang mengajukan Pinjaman kepada Kreditur dengan tiga Sertifikat sebagai
jaminan, mendapat persetujuan kredit dari Kreditur jumlahnya sebesar 15.000.000.000,00 (Lima
belas milyar rupiah). Seiring perjalanan kredit yang dilakukan Debitur, Debitur mengalami kendala
dalam membayar kredit yang harus dibayarkan kepada Kreditur.Berdasarkan informasi yang didapat
dari Kreditur jumlah sisa kredit yang tidak sanggup dibayarkan oleh Debitur kepada Kreditur
jumlahnya (termasuk bunga pinjaman) berkisar lebih kurang 13.000.000.000,00 (Tiga belas miliar
rupiah). Debitur dengan itikad-itikad baik ingin menyelesaikan terkait permasalahan ini kepada
Kreditur namun tidak menemui titik temu untuk menyelesaikan permasalahan tersebut karena tidak
ada pengurangan bunga maupun jadwal pelunasan yang sangat singkat. Kemudian pada tanggal 11
Januari 2020 Debitur mendapat surat No.B.122-KC-II/ADK/01/2020 pemberitahuan jadwal lelang
dan pengosongan rmah yang akan dilaksanakan pada hari Rabu 29 Januari 2020, bertempat di lokasi
Kreditur di Jalan Diponegoro No.304 Medan. Debitur merasa keberatan dikarenakan proses
jadwal lelang yang dilakukan oleh Kreditur dan Kreditur tanpa ada surat peringatan apapun yang
dilakukan Kreditur tentang kredit macet yang dilakukan oleh Debitur. Apabila Debitur wanprestasi,
Kreditur seharusnya akan mengirimkan Surat Peringatan kepada Debitur agar melaksanakan
kewajibannya dalam pembayaran angsuran sesuai dengan yang diperjanjikan. Peringatan tersebut
biasanya diajukan paling sedikit sebanyak 3 (tiga) kali untuk memenuhi syarat keadaan
wanprestasinya Debitur namun dalam hal ini Debitur tidak pernah mendapat surat tersebut.
Keberatan lainnya adalah sisa kredit dan harga lelang yang akan diajukan Kreditur sangat jauh
dibawah dari jumlah sisa utang/kredit yang harus dibayar oleh Debitur, dikarenakan nominal yang
diajukan oleh Kreditur untuk dilelang adalah sebesar Rp.11.000.000.000,00 (sebelas milyar rupiah)
sementara jumlah sisa utang Debitur adalah Rp.13.000.000.000,00 (tiga belas milyar rupiah) maka
sangat merugikan Debitur. Perlu diketahui hasil penilaian Kreditur terhadap objek yang akan dilelang
pada surat kredit ditanda tangani harga dari objek tersebut sebelum pemberian kredit, ditaksir oleh
pihak bank senilai 26.000.000.000,00 (dua puluh enam miliar rupiah).
Mengingat besaran harga lelang jika dilakukan Kreditur pada faktanya sangat merugikan Debitur
maupun bank milik pemerintah (I.c. Bank Rakyat Indonesia), agar Debitur dan juga Bank Pemerintah
tidak dirugikan dengan tawaran lelang yang sangat jauh dibawah harga, sudah selayaknya Pengadilan
Negeri menghentikan lelang tersebut bahkan sebelum perlawanan ini mempunyai kekuatan hukum
tetap. Terkait proses pemberitahuan lelang yang dilakukan Kreditur. Debitur merasa keberatan atas
proses lelang yang dilakukan Kreditur dan Kreditur tanpa pemberitahuan apapun oleh Kreditur;
Lelang eksekusi Hak Tanggungan merupakan penjualan barang dimuka umum yang dilakukan
atas dasar adanya permohonan dari pihak kreditur kepada KPKNL Pematangsiantar karena debitur
tidak memenuhi somasi yang diberikan oleh kreditur sehingga kreditur berhak untuk melakukan
eksekusi Langsung atau Parate Eksekusi terhadap jaminan pada perjanjian antara kedua belah pihak
yaitu dengan objek hak tanggungan.
Diketahui hasil penelitian bahwa upaya penyelamatan kredit yang dilakukan oleh Bank adalah
melalui Parate Eksekusi yang menurut Pasal 6 UUHT apabila debitur cidera janji bank sebagai
pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut. Secara Prosedur untuk melakukan pelaksanaan lelang Penjual/Pemilik Hak
Tanggungan tunduk pada Peraturan Menteri Keuangan No.213/PMK.06/2020 Tentang Petunjuk

19
Rochmat Soemitro, Peraturan dan Instruksi Lelang, (Bandung: PT.Refika Aditama, 1987), hlm. 123.
20
Ibid, hlm. 124.
Pelaksanaan Lelang dan Peraturan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) No.
2/KN/2017 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang.
Adapun analisis pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Nomor : 40/Pdt.G/2020/PN.Mdn
yang memenangkan pihak bank karena telah terbukti benar memberikan peringatan I, II dan III
kepada nasabah Dodi Sutanto dan kelalaian yang dilakukan oleh pihak Bank adalah tidak sampainya
Surat Peringatan lelang kepada Dodi Sutanto karena Dodi Sutanto berada dalam kurungan penjara.
Adapun kelalaian yang dilakukan oleh Petugas Bank adalah tidak langsung menyampaikannya
kepada Dodi Sutanto, maka dari itu Dodi Sutanto melakukan gugatan ke Pengadilan karena merasa
dirugikan, hak jaminan tanggungannya di lelang oleh pihak Bank.
Menurut prosedur hukum yang berlaku atas dasar bukti-bukti yang ada, memang benar terbukti
Bank sudah mengeluarkan peringatan I, II dan III tetapi tidak sampai ke nasabah.
Pertimbangan hakim dalam memutus perkara pada putusan ini sudah benar, dikarenakan pada
dasarnya UUHT telah memberikan hak parate eksekusi kepada kreditur pemegang hak tanggungan
pertama untuk mendapatkan pelunasan atas piutangnya dalam hal debitur cidera janji/wanprestasi,
hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUHT.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang (PMK) apabila di kemudian hari timbul gugatan perdata maupun pidana maka tanggung
jawab sepenuhnya berada pada penjual/pemilik barang dalam hal ini PT. Bank Rakyat Indonesia
(Persero), Tbk Medan Iskandar Muda in casu Terlawan. Hal ini sudah sesuai dengan Pasal 17 ayat (2)
dan (3) PMK Lelang, menyatakan bahwa :
(2) Penjual bertanggung jawab terhadap gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana yang timbul
akibat tidak dipenuhinya peraturan perundang-undangan di bidang lelang oleh Penjual.
(3) Penjual bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi terhadap kerugian yang timbul, dalam hal
ini tidak memenuhi tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Gugatan Debitur terhadap pelaksanaan lelang telah daluarsa karena lelang telah dilaksanakan
Majelis Hakim tidak sependapat, karena keberatan terhadap pelaksanaan lelang sebagai fungsi public
maupun privat sangat dibutuhkan, sehingga apabila terjadi ketidak puasan seseorang terhadap lelang
yang telah dilaksanakan, sebagai Negara hukum setiap warga Negara yang merasa haknya terlanggar,
berhak untuk mengajukan gugatan/bantaan kepada pengadilan sebagai saluran haknya yang
terlanggar, dan tidak ada ketentuan batas waktu untuk mengajukan gugatan/perlawanan tersebut.

IV. Penutup
A. Kesimpulan
1. Kedudukan Debitur dalam proses eksekusi hak tanggungan adalah bahwa ketika Debitur merasa
dirugikan oleh Kreditur maka Debitur memiliki hak penuh untuk mempertahankan Hak
Tanggungannya, karena hak tanggungan tersebut tidak akan pernah menjadi milik Kreditur
tanpa adanya persetujuan daripada Debitur, dengan alasan apabila Debitur keadaan sehat dan
tidak berpindah tempat yang mana masih hidup dan bisa dihubungi dan diberikan peringatan
(Somasi) agar menyelesaikan persoalan dengan mediasi antara Debitur dan Kreditur. Debitur
dapat meminta pertanggungjawaban dari pihak bank dengan cara mengajukan gugatan
perbuatan melanggar hukum atas dasar Pasal 1365 KUHPerdata;
2. Akibat hukum pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan tanpa surat peringatan menyebabkan
adanya perlawanan dari pihak Debitur yang merasa dirugikan yang menyebabkan Hak
Tanggungannya di lelang tanpa seizin Debitur. Ketika pelaksanaan lelang tidak sah dan cacat
hukum dan dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum dapat dituntut secara pidana
sebagaimana dimaksud Pasal 335 KUHP;
3. Analisis dari putusan Hakim PN. Medan terkait studi kasus Perkara No, 40/Pdt.G/2020/PN.Mdn yang telah
memenangkan Kreditur karena bukti surat yang diajukan Debitur menurut Majlies tidak ada satupun bukti
surat yang dapat membuktikan dalil perlawanan Debitur, maka menurut Majelis Debiturtidak dapat
membuktikan dalil pokok perlawanannya.

B. Saran
1. Diharapkan kepada debitur agar lebih dapat memahami isi tepatnya janji yang terurai dari akta
pemegang hak tanggungan untuk agunan dalam peminjaman dana kepada bank/ kreditor serta
dapat memahami kejadian yang akan timbul apabila debitur tidak ingin menyerahkan objek
lelang tersebut dengan sukarela. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa
menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta ganti kerugian pada
pihak yang melakukan wanprestasi;
2. Pegawai dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dan sesuai prosedur yang berlaku karena
segala tindakan pegawai dapat dikatakan sebagai tindakan bank itu sendiri. Dan seharusnya,
nasabah debitur perlu memahami hak-haknya apabila dirugikan oleh pegawai bank serta upaya-
upaya yang dapat ditempuh dalam menuntut haknya yang dirugikan;
3. Pemerintah harus lebih mensosialisasikan mengenai Lelang kepada masyarakat umum agar
tujuan lelang dapat betul-betul terlaksana serta menguntungkan semua pihak. Masyarakat harus
lebih sadar diri mengenai hak dan kewajibannya selaku konsumen maupun pelaku usaha
sehingga tidak merugikan orang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Air Roger Bel, Cara Meminjam Uang Dari Bank, (Solo : PT.Bagara Bengawan, 1988
Harsono Budi, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,
Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 2008).
Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, (Yogyakarta, LaksBang, 2007).
Lembaga Kajian Hukum Bisnis Fakultas Hukum USU-Medan, Persiapan Pelaksanaan Hak
Tanggungan Dilingkungan Perbankan, Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1996.
Miru Ahmadi, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004).
Miru Marhais Abdul, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung : Alumni, 2004).
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2002).
Purbacaraka, Perihal Keadah Hukum, (Bandung : Citra Aditya, 2010).
R. Subekti dan R. Tjitrisudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1992).
Sjahdeini Sutan Remy, Hak Tanggungan Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang
Dihadapi Oleh Perbankan(Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan),
(Bandung : Alumni, 1999)
Soemitro Rochmat, Peraturan dan Instruksi Lelang, (Bandung: PT.Refika Aditama, 1987).
Supramono Gatot, Perbankan dan Masalah Kredit, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009).

B. Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960” tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Keputusan Menteri Keuangan Lelang No27/PMK.06/2016, Petunjuk Pelaksanaan Lelang
Resolusi PBB No. 39/248 Tahun 1985, tanggal 9 April 1985 perihal Hak-Hak Konsumen.

C. Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 40/Pdt.G/2020/PN. Mdn

Anda mungkin juga menyukai