Anda di halaman 1dari 24

564

PENJUALAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN


MELALUI AKTA KUASA UNTUK MENJUAL DAN
PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI
(STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SINGARAJA NO.
680/PDT.G/2019/PN.SGR)

Fortra Noviar

ABSTRAK

Akta Notaris seharusnya mempunyai kekuatan pembuktian istimewa sebagai alat bukti yang
kuat karena merupakan akta autentik, namun dengan catatan apabila dibuat sesuai ketentuan
Pasal 1868 KUHPerdata. Penelitian tesis ini mengangkat perkara berdasarkan putusan
Pengadilan Negeri Singaraja No. 680/Pdt.G/2019/PN.Sgr. Permasalahan yang menjadi fokus
dalam penelitian tesis: 1. Dampak terhadap Akta Kuasa Untuk Menjual dan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli yang dibuat tidak memenuhi ketentuan; dan 2. Penjualan jaminan objek
hak tanggungan tidak dapat dilaksanakan. Adapun metode penelitian berbentuk yuridis
normatif, dengan bahan utamanya adalah data sekunder. Analisis data menggunakan
pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini yakni dampak terhadap Akta tersebut batal demi
hukum karena tidak mempunyai kekuatan mengikat karena adanya penyimpangan dalam
penjualan jaminan dan belum terjadi kesepakatan, Pasal 20 ayat 2 Undang-Undang Hak
Tanggungan. Pemberian kuasa sebagai bagian atau accesoir dari perjanjian timbal balik,
maka sahnya pemberian kuasa ditentukan oleh sahnya perjanjian timbal balik. Penjualan
jaminan objek hak tanggungan tidak dapat dilaksanakan dikarenakan tidak memenuhi
prosedur pelaksanaannya dengan menggunakan kuasa mutlak dan Kuasa Untuk Menjual
tidak diperkenankan lebih dari 1 (satu) tahun apabila Bank melakukan objek penjualan
dibawah tangan, sesuai Pasal 12A ayat (1) Undang-Undang Perbankan. Peralihan dengan
Akta Kuasa Untuk Menjual berjalan dengan baik apabila tidak terikat jaminan hak
tanggungan. Bank seharusnya dapat menunjuk pembeli langsung dan mendaftar atas nama
pembeli jika melalui prosedur pelelangan yang dimenangkan oleh Bank tersebut berdasarkan
Pasal 110 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria no. 3 tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah no. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.

Kata Kunci.: Penjualan Jaminan Hak Tanggungan, Akta Kuasa Untuk Menjual, Akta
Perjanjian Pengikatan Jual Beli.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


564

1. PENDAHULUAN

Bank sangat erat hubungannya dengan jaminan karena tanpa adanya jaminan dirasa sulit
bagi perbankan untuk memberikan kredit. Demi tercapainya kepastian dan keadilan dari
pemberian kredit dari kreditur, maka kreditur mengambil tindakan pengamanan terlebih
dahulu dengan meminta kepada debitur menyerahkan jaminan suatu barang sebagai jaminan.
Hal ini sebagaimana juga tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni:
“segala kebendaan si berutang, baik bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk
segala perikatan perseorangan.”1
Bank bertugas menghimpun dana dari masyarakat yang berbentuk tabungan dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman. Pada umumnya Bank
sebagai kreditur menggunakan jaminan hak tanggungan dengan agunan hak atas tanah. Hak
tanggungan termasuk jaminan khusus dan merupakan jaminan dengan hak kebendaan yang
mempunyai ciri-ciri hak kebendaan menurut Rachmadi Usman, antara lain:
1. Selalu mengikuti benda (droit de suit atau zaaksgevolg), hak kebendaan itu mengikuti
bendanya, di dalam tangan siapa pun benda itu berada, walaupun kebendaan tersebut
diasingkan kepada pihak ketiga atau lain;
2. Mengenal tingkatan atau pertingkatan, hak kebendaan yang lebih tua menduduki
peringkat yang lebih tinggi daripada hak kebendaan yang timbul kemudian
setelahnya;
3. Lebih diutamakan (droit de preference), hak kebendaan itu memberikan kedudukan
yang diutamakan, hak mendahulu, atau hak istimewa kepada pemegang hak
kebendaannya;
4. Setiap pemegang hak kebendaan dapat mengajukan gugat kebendaan terhadap siapa
pun juga yang mengganggu atau berlawanan dengan hak kebendaan yang
dipegangnya.”2
Perjanjian utang piutang antara debitur dengan kreditur dengan jaminan atas tanah yaitu
menggunakan lembaga Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang dari debitur. Hak
Tanggungan yang selanjutnya disebut HT, sebagai jaminan pelunasan utang dari suatu utang
tertentu yang nilainya tidak melebihi dari harga objek yang dijaminkan, seiring berjalannya
kredit apabila debitur cidera janji dikarenakan pembayaran cicilannya tidak lancar, maka
kreditur berhak atas jaminan tersebut. Sebaliknya, jika pembayaran pelunasan utang oleh
debitur berjalan dengan lancar maka hubungan utang piutang antara kreditur dan debitur
otomatis selesai sesuai dengan ketentuan perjanjian utang piutang.
Objek jaminan yang digunakan dalam lembaga HT adalah tanah, dikarenakan tanah
memiliki nilai ekonomis dan harganya stabil cenderung naik setiap tahunnya atau
mempunyai nilai investasi serta mudah dipindahtangankan. Hak-hak tanah yang dapat
dijadikan jaminan HT adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.
Jaminan utang berupa tanah akan diikat dalam perjanjian yang disebut pengikatan HT.

1
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti. dan
Tjitrosudibio, Cet. 41, (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2015), (selanjutnya disebut KUHPerdata), Ps. 1131.
2
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 62.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

Kelebihan lembaga HT yaitu memberikan kemudahan terhadap kreditur untuk menjual


jaminan objek HT apabila cidera janji dengan parate eksekusi, titel eksekutorial dan
penjualan dibawah tangan tanpa ada campur tangan pengadilan. Dengan demikian untuk
memahami prosedur pelaksanaan penjualan jaminan sangatlah penting agar dipahami sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang HT.
UUHT sudah memberikan suatu fasilitas yaitu APHT dan SKMHT yang tidak dimiliki
oleh lembaga jaminan lainnya. Akan tetapi timbul permasalahan dengan cara yang diatur
sendiri dalam UUHT, perihal apabila debitur cidera janji dikarenakan UUHT mengatur
pelaksanaan penjualan jaminan yang memberikan alternatif pilihan yang beragam untuk
memudahkan para pihak sendiri semestinya. Permasalahan ini dikarenakan dalam UUHT
diperbolehkan dalam penjualan dibawah tangan dengan ketentuan tercapai keinginan para
pihak, sedangkan penjualan jaminan itu sendiri sifatnya memaksa sehingga sulit juga terjadi
kesepakatan antara pihak.
Sehubungan dengan penelitian kasus yang diteliti di atas, Berawal peristiwa hukum
adanya utang piutang antara INR (selaku debitur), KT (selaku penjamin) dengan NT (selaku
kreditur/Direktur Utama PD. Bank Daerah B) Bahwa untuk menjamin pembayaran kreditnya
telah memberikan agunan/jaminan 1 (satu) bidang tanah beserta bangunan yang berada di
atasnya terletak di desa B, seluas 150 M2 atas nama INR dan KT. Bahwa INR memiliki
permasalahan yaitu menunggak kredit dalam memenuhi kewajiban kreditnya.
Putera dari INR dan KT, yaitu KAHW melakukan pengajuan restrukturisasi kredit untuk
penambahan kredit. Bahwa kreditur Bank Daerah B menyetujui permohonan kredit yang
diajukan oleh KAHW. Seiring berjalannya waktu debitur tidak mampu memenuhi kewajiban
kreditnya termasuk KAHW.
Kemudian NS dari Bank Daerah B mengambil alih agunan kredit dengan memakai
sistem Agunan Yang Diambil Alih (selanjutnya disingkat AYDA). Adapun yang menjadi
dasar adalah Surat Pernyataan Penyerahan Agunan yang hanya ditandatangani oleh KT serta
surat pernyataan yang ditanda tangani KAHW tanpa diketahui oleh INR sebagai salah satu
pemilik agunan. Selanjutnya karena INR dan KT telah cidera janji, pelaksanaan peralihan
hak atas tanah dibuatlah Akta Kuasa Untuk Menjual dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
Perihal disadari atau tanpa disadari INR dan KT sebagai Pemberi HT telah
menandatangani Akta Kuasa Untuk Menjual dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli di Kantor
Bank Daerah B, akan tetapi INR mengelak bahwa tidak mengetahui maksud dan tujuan
penandatanganan akta-akta tersebut. Ini merupakan salah satu kasus hambatan kreditur
dalam pelaksanaan penjualan aset kredit macet oleh debitur dalam penjualan dibawah tangan
dikarenakan suatu hal debitur belum ada persetujuan untuk menjual jaminan tersebut,
padahal INR dan KT sudah cidera janji.
Pihak bank dalam memberikan kredit sedapat mungkin meminimalisir dampak kredit
macet dengan mendapatkan informasi mengenai nasabah yang memiliki iktikad baik dan
kemampuan membayar dari nasabah itu. Seperti pernyataan dari Dahlan Siamat, yakni:
“Bagi pihak perbankan, pemberian kredit tidak hanya didasarkan kepada penilaian
agunan (collateral) yang disediakan juga didasarkan kepada watak (character),
kemampuan (capacity), modal (capital), dan prospek usaha (condition of economy) dari
nasabah debiturnya, yang lazim dinamakan dengan the five C of credit analysis atau
Prinsip 5 C’s. Prinsip 5 C’s ini akan dapat memberikan informasi mengenai iktikad baik

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

(willingness to pay) dan kemampuan membayar (ability to pay) nasabah debitur untuk
melunasi kembali pinjaman beserta bunganya.”3
Sebagaimana ketentuan Bank Umum harus memiliki keyakinan untuk dapat menganalisis
yang mendalam terhadap kesanggupan nasabah untuk dapat menyelesaikan pembiayaan
kreditnya, berdasarkan peraturan yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan.4
Perbankan dalam menyalurkan kreditnya sangat erat hubungannya dengan Notaris,
dikarenakan banyak produk akta yang dibuat oleh Notaris adalah pekerjaan yang menjadi
syarat penyaluran kredit dari perbankan. Akta Notaris dapat mengakibatkan batal demi
hukum, seharusnya mempunyai kekuatan pembuktian yang istimewa sebagai alat bukti. Hal
ini dikarenakan akta notaris sebagai akta autentik jika dibuat sesuai ketentuan yang tercantum
dalam KUHPerdata, yakni:
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-
Undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu
di tempat di mana akta dibuatnya.5”
Sebagaimana keterangan di atas, terhadap akta yang dibuat oleh Notaris sudah tidak
terbantahkan lagi kebenarannya untuk pembuktian jika dibuat dengan benar dari keterangan
para pihak dan juga kebenaran isi akta yang dikonstantir oleh Notaris. Akta tersebut dapat
sebagai pembuktian yang sempurna di kemudian hari yang memberikan jaminan kepastian,
keadilan dan perlindungan hukum bagi para pihak yang terikat dalam perjanjian yang
dibuatnya.
Urgensi penelitian ini adalah seharusnya penjualan dibawah tangan melalui Akta Kuasa
Untuk Menjual dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli oleh kreditur diperbolehkan dalam
penjualan terhadap jaminan pelunasan utang debitur. Hal penting lainnya yang
mengharuskan meneliti kasus ini adalah jual beli terhadap objek yang masih dibebani HT
atau masih terikat jaminan HT masih terjadi dikalangan masyarakat sehingga banyak pihak
yang terlibat dalam kasus ini dirugikan terutama pihak ketiga diluar dari perjanjian kredit,
yaitu pihak yang sudah membeli objek jaminan.
Serta permasalahan lainnya juga dari pelaksanaan eksekusi objek HT apabila debitur
cidera janji, dikarenakan adanya berbagai macam cara eksekusi HT dalam ketentuan UUHT.
Seharusnya mempermudah proses eksekusi pemegang HT, justru menjadi dilema dengan
ketentuan ini. Seperti pendapat dari Muhammad Hatta Ali, yang tertera:
“Dalam praktik, eksekusi sering menemui kendala, antara lain adanya perlawanan
yuridis, perlawanan fisik, hingga masalah sosiologis yang timbul akibat eksekusi.
Disamping itu, masalah dapat juga timbul dari faktor kesalahan pelaksanaannya, seperti

3
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta: Intermedia, 1995), hlm. 99. Disarikan dari
Rachmadi Usman, “Hukum Jaminan Keperdataan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 71.
4
Indonesia, Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
UU No. 10 Tahun 1998. LN No. 182, Tahun 1998, TLN No. 3790. Ps. 8 ayat (1). “Dalam memberikan kredit
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”
5
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata..., Ps. 1868.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

eksekusi tidak sesuai dengan amar putusan, tidak cermat dan bijaksana dalam
melaksanakan eksekusi, kesalahan prosedur formal, hingga adanya eksekusi yang tidak
tuntas dilaksanakan.” 6

2. PEMBAHASAN
2.1 Dampak Terhadap Akta Yang Dibuat Tidak Memenuhi Ketentuan
Putusan majelis hakim menyatakan Akta Kuasa Untuk Menjual dan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Hilangnya keautentikan kedua akta tersebut dibuat dengan fakta yang tidak benar,
mengakibatkan akta notaris dibatalkan yang bersumber dari perikatannya. Disamping itu,
kedua akta ini untuk melakukan peralihan objek sengketa yang masih terikat APHT atas
nama Pemegang HT, maka majelis hakim berpendapat harus dinyatakan batal kedua akta
tersebut.7
Dalam peristiwa hukum yang menjadi pokok permasalahannnya adalah INR dan KT
selaku penjual dan GPW pembeli serta NS sebagai penerima kuasa dalam akta tersebut yang
merupakan pemegang HT atas objek tanah SHM atas nama INR dan KT, dasar sebagaimana
kasus ini yaitu penjualan jaminan objek HT dilaksanakan dengan penjualan dibawah tangan.
Penjualan objek HT adalah sebagai jaminan pelunasan utang apabila debitur cidera janji,
merupakan salah satu langkah dari Bank Daerah B untuk mengamankan aset Bank terhadap
barang jaminan, karena dikhawatirkan nilai barang jaminan melebihi dari batas limit utang
tersebut dan hal-hal lainnya.
Penjualan dibawah tangan dapat dilakukan setelah lewat waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang HT kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dan harus diumumkan minimal 2 (dua) media massa setempat dan/atau surat
kabar yang terbit di daerah yang bersangkutan, serta tidak ada pihak yang merasa keberatan
berdasarkan Pasal 20 ayat (3) UUHT.
Penjualan dibawah tangan harus memenuhi kesepakatan dan kehendak para pihak sesuai
ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT. Dengan demikian objek yang dibebani HT dapat di jual
dengan didasari Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Adapun dalam hal ada pihak yang
tidak sepakat terhadap penjualan jaminan tersebut, dalam Pasal 20 ayat (2) UUHT tidak dapat
terlaksana. Oleh karena itu dalam pelaksanaan penjualan jaminan hendaknya NS dapat
menganalisa seharusnya menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) ayat (a) UUHT jo Pasal 6
UUHT melalui pelelangan umum atau Pasal 20 ayat (1) ayat (b) penjualan dengan titel
eksekutorial serta diperbolehkan juga berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUHT dengan penjualan
dibawah tangan.
Menurut ketentuan tidak hanya persetujuan dari pemegang HT tapi juga harus ada
persetujuan dari pemberi HT. Seharusnya objek tanah yang masih dibebani HT
diperbolehkan menjadi objek PPJB, sebagaimana pernyataan Herlien Budiono:

6
Herri Swantoro, Dilema Ekseskusi, Ketika Eksekusi Perdata Ada di Simpang Jalan Pembelajaran
dari Pengadilan Negeri, Cet. 3, (Jakarta: Rayyana Komunikasindo, 2019), hlm. viii.
7
Pts Sgrj, hlm. 49. “Bahwa putusan hakim dalam perkara ini adalah mengabulkan gugatan para
penggugat untuk sebagian, menyatakan Akta PPJB dan Kuasa Untuk Menjual batal demi hukum dan tidak
mempunyai kekuatan hukum tetap, menghukum KS untuk tunduk dan patuh pada putusan perkara a quo yang
telah berkekuatan hukum tetap dan menolak petitum gugatan para penggugat untuk selain dan selebihnya”.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

“…PPJB dapat dilakukan atas tanah hak yang masih dibebani Hak Tanggungan asalkan
telah mendapat persetujuan dari bank/kreditor pemegang Hak Tanggungan dari tanah
hak Obyek PPJB tersebut. Hal izin tertulis dari Pemegang Hak Tanggungan harus
dicantumkan di bagian premisse akta dan dilekatkan pada minuta akta PPJB.”8
Sebagaimana pelaksanaan penjualan objek jaminan dalam kasus ini yang diterangkan
dalam UUHT, pengaturannya sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT harus memenuhi
persetujuan dan kesepakatan dari INR dan KT yaitu pemberi HT, disamping itu juga harus
ada NS yakni pemegang HT sebagai eksekutor. Proses penjualan jaminan objek HT dapat
dilaksanakan dengan cepat, sesuai asas HT sekiranya dilaksanakan dengan penjualan
dibawah tangan untuk kepentingan para pihak yang dikaitkan dengan Pasal 11 ayat (2) huruf
(g) UUHT, NS dapat menjual objek HT tersebut dengan Akta Kuasa Untuk Menjual dan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanpa permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri
untuk melakukan pelelangan, namun INR dan KT memang nyata-nyata telah cidera janji
sudah seharusnya pelaksanaan eksekusi harus dilaksanakan dengan penetapan pengadilan
atau fiat eksekusi dan ketentuan pelelangan harus diikuti.
Bahwa NS sebagai pemegang HT, dalam melakukan peralihan hak dengan membuat
Akta Kuasa Untuk Menjual dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanpa persetujuan INR.9
Yang tertera dalam APHT seharusnya ditaati para pihak, sebagaimana pernyataan Herlien
Budiono bahwa adanya peraturan yang tidak dapat dilanggar oleh para pihak, yakni:
“Adagium pacta sunt survanda diakui sebagai aturan yang menetapkan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat kekuatan hukum yang terkandung di
dalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan
penaatannya.10”
Peristiwa hukum antara kedua belah pihak, dalam kasus ini dimulai dengan menganalisa
sahnya suatu perjanjian dalam kedua akta tersebut yang dipersyaratkan:11
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya: INR tidak pernah memberikan
persetujuannya untuk menandatangani kedua akta tersebut, melainkan menurut
keterangannya pernah menandatangani 2 (dua) blanko kosong dan menurut fakta
hukum dalam persidangan bahwa pihak INR dan KT serta Notaris KS datang tanpa
dihadiri GPW ke kantor NS
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan: Para pihak sudah dewasa dan sudah
sesuai ketentuan sahnya perjanjian. Orang yang membuat suatu perjanjian harus
cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq

8
Herlien Budiono, Demikian Akta Ini: Tanya Jawab Mengenai Pembuatan Akta Notaris di Dalam
Praktik, cet. 1, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2018), hlm. 119.
9
Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya Di Bidang Kenotariatan, cet. 2,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2018), hlm. 30-31. “Para pihak harus memenuhi apa yang telah mereka
sepakati dalam perjanjian yang telah mereka buat. Dengan kata lain, asas ini melandasi pernyataan bahwa suatu
perjanjian akan mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak terikat untuk melaksanakan
kesepakatan kontraktual. Bahwa suatu kesepakatan harus dipenuhi dianggap sudah terberi dan kita tidak pernah
mempertanyakannya kembali.”
10
Ibid., hlm. 31.
11
Lihat, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata…, Ps. 1320.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum.12 Para pihak sudah dewasa dan
sudah sesuai ketentuan sahnya perjanjian.
3. suatu hal tertentu: Suatu hal tertentu artinya segala sesuatu yang diperjanjikan
memuat hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak, semenjak dan sesudah terjadinya
perikatan. Mengenai objek yang diperjual belikan telah ada perselisihan maka pasal
ini pun terlanggar.
4. suatu sebab yang halal. Perjanjian yang dibuat karena sebab yang palsu dan terlarang
tidak mempunyai kekuatan hukum:13 Sebagaimana ayat ini terlanggar karena objek
yang diperjual belikan SHM No.XXX/B belum di roya dan masih ada pembebanan
HT, oleh sebab itu dalam halnya sepakat boleh dilakukan jual beli sesuai dengan
ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT, yang tertera:
“Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak
Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.”14
Untuk syarat sahnya perjanjian harus memenuhi syarat-syarat subjektif yang terdapat
dalam Pasal 1320 KUHPerdata ayat (1) jo (2) sedangkan untuk pemenuhan syarat objektif
sahnya perjanjian ada dalam Pasal 1320 KUHPerdata ayat (3) jo (4). Sebagaimana sejalan
dengan pendapatnya R. Subekti, yakni:
“Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-
orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang
terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau
obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.”15
Adapun unsur-unsur sebagai syarat untuk memenuhi sahnya pemberian kuasa yang
diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata, dalam halnya seseorang memberikan persetujuan
mewakili dari orang yang memberikan kuasa untuk dan atas nama orang tersebut melakukan
sesuatu,16 yaitu sebagai berikut:
1. Persetujuan atau perjanjian: INR dan KT tidak memberikan persetujuannya dan
terkait Pasal 1320 KUHPerdata tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian.
2. Memberikan Kuasa: INR dan KT tidak ingin peralihan kekuasaannya untuk tujuan
tertentu.
3. Menerimanya: NS menerima kuasa atas pemberian kuasa yang tidak ada
persetujuannya.

12
Ibid.
13
Ibid., Ps. 1335. “Suatu perjanjian yang tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab
yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.”
14
Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah, UU No. 04 Tahun 1996 LN Nomor 42, TLN No. 3632, Ps. 20 ayat (2).
15
R. Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 27, (Jakarta: PT. Intermasa, 2014), hlm. 17.
16
Irwansyah Lubis, et.al., Profesi Notaris Dan Pejabat Pembuat Akta Tanah:Panduan Praktis Dan
Mudah Taat Hukum, Ed.3, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2019), hlm. 145. “Pemberian Kuasa sebagaimana
diatur dalam Pasal 1792 KUH Perdata merupakan suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan
kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.”

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

4. Untuk dan atas nama (On behalf the principal): Tidak ada perintah untuk dan atas
nama INR dan KT kepada NS dalam melaksanakan penjualan objek HT tersebut.
5. Menyelenggarakan suatu urusan: INR dan KT tidak pernah memberikan kuasanya
untuk menyelenggarakan suatu urusan tertentu yaitu jual beli dengan dasar
pembuatan Akta Kuasa Untuk Menjual dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
Halnya perjanjian pemberian kuasa terdapat persyaratan sahnya perjanjian yang tertuang
dalam Pasal 1320 KUHPerdata.17 Dengan demikian kuasa yang diberikan INR dan KT
sebagai pemberi HT dan penerima Kuasa yaitu NS belum terjadi perikatan antara mereka.
Perihal penandatanganan Kuasa Untuk Menjual oleh INR dan KT atas kekhilafan saja
sehingga dalam akta itu tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Singkatnya belum adanya kesepakatan antara INR dan KT, dengan NS dalam melakukan
pembuatan akta pada kasus ini dalam pelaksanaan penjualan jaminan objek HT. INR dan KT
belum ada iktikad melakukan jual beli, terbukti dalam penandatanganan Akta Kuasa Untuk
Menjual dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli INR dan KT mengingkari bahwa pembacaan
kedua akta itu tidak dibacakan dihadapan GPW.
Dari pernyataan diatas dapat dibenarkan dalam halnya pembacaan akta, Notaris harus
menerangkan dengan benar yang tertuang dalam akta jika ada pihak yang memang tidak
hadir. Akan tetapi apabila Bank memenangkan lelang tanpa sepengetahuan INR dan KT,
Bank dapat menunjuk pembeli, sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Menteri Negara
Agraria No. 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah no. 24 tahun
1997 tentang pendaftaran tanah yaitu:
“Atas Permintaan Bank Pemerintah peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun yang dimenangkan oleh Bank tersebut melalui lelang dalam rangka
pelunasan kreditnya sesuai Pasal 6 huruf k Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dapat
didaftar langsung atas nama pembeli akhir yang ditunjuk oleh bank tersebut.” 18
Peralihan hak tersebut paling lambat 1 (satu) tahun, terhitung tanggal pelaksanaannya.
Sebagaimana dinyatakan dalam peraturan yang sama seperti diatas, yakni:
“Permohonan pendaftaran peralihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diajukan oleh pembeli yang ditunjuk bank selambat-lambatnya 1 tahun terhitung dari
tanggal pelaksanaan lelang yang bersangkutan”19
Pada situasi tertentu kreditur menganggap debitur tidak menyelesaikan utang karena ada
beranggapan tidak beriktikad baik yang dilakukan debitur, akan tetapi kreditur juga harus
bisa melihat sisi lain kepentingan debitur dalam kondisi dari debitur itu sendiri. Akan tetapi
memang prospek usaha kreditur kurang baik sehingga debitur cidera janji dan Bank Daerah
B sudah bermaksud baik dengan melakukan restrukturisasi utang sebagai langkah untuk
pencegahan kredit macet.

17
Ibid., hlm. 148-149. “Di dalam perjanjian pemberian kekuasaan itulah, mutlak mengacu pada syarat
sah perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.”
18
Departemen Agraria, Peraturan Pemerintah Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
PMNA/Ka BPN, PP No. 3 Tahun 1997, Ps. 110 ayat (1).
19
Ibid., Ps. 110 ayat (2).

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

Dalam kasus ini dianggap telah ada pelunasan pembayaran terhadap jaminan yang masih
terikat HT dengan bukti adanya Surat Keterangan Lunas dari kreditur yang disertai AYDA.
Seperti diketahui Perjanjian Pengikatan Jual Beli belum lunas tidak akan ada Kuasa Untuk
Menjual, terkecuali ada syarat-syarat untuk suatu pemenuhan kewajiban. Penggunaan Kuasa
Untuk Menjual hanya diberikan dari penjual kepada pembeli jika sudah ada pembayaran
lunas dan dibuatkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli lunas. Penjual tidak perlu hadir karena
persyaratan sudah terpenuhi dan semua persyaratan telah terpenuhi, selanjutnya
Notaris/PPAT dapat membuat Akta Jual Beli untuk balik nama sertifikat. 20
Seperti pendapat dalam tulisan ini sebelumnya bahwa jika dikaitkan dengan Pasal 1320
KUHPerdata dan Pasal 1792 KUHPerdata bahwa perjanjian dalam kasus ini tidak sah
sehingga batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Seperti cara
penyelesaian dalam kasus ini juga dengan cara yang bertentangan dengan UUHT sehingga
masuk ke dalam unsur Pasal 20 ayat (4) UUHT, terhadap penyimpangan cara eksekusi adalah
batal demi hukum.
Secara hukum objek HT dalam kasus ini masih terikat HT, yang kemudian dapat
dikatakan pihak INR dan KT telah melakukan wanprestasi, akan tetapi tidak dapat
dilaksanakan penjualan dibawah tangan dengan pembuatan Akta Kuasa Untuk Menjual dan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli karena akan timbul perselisihan kecuali dengan
persetujuannya. Sebagaimana INR dan KT ada pada posisi yang lemah dan tidak
mencerminkan keadilan serta bertentangan dengan ketertiban umum. Sejalan dengan
pendapat Herlien Budiono, yakni:
“Pemberian kuasa jual atas benda jaminan oleh pemberi jaminan kepada kreditor
bersamaan dengan penandatanganan perjanjian kredit atau perjanjian utang piutang
adalah bertentangan dengan kepentingan umum. Dalam hal debitor ingkar janji
(wanprestasi) maka penjualan benda jaminan apabila tidak dilakukan secara sukarela,
harus dilaksanakan di muka umum secara lelang menurut kebiasaan setempat sehingga
pelanggaran atas asas tersebut adalah batal demi hukum.”21
Pemberian kuasa sebagai accesoir dari perjanjian pengikatan jual-beli, selama Perjanjian
Pengikatan Jual Beli berlangsung maka kuasa itu mempunyai kekuatan hukumnya. Akan
tetapi jika Perjanjian Pengikatan Jual Beli berakhir, berakhir juga kuasanya. Hal demikian
juga terjadi apabila Perjanjian Pengikatan Jual Beli batal demi hukum, berakibat Kuasa
Untuk Menjual juga batal.22

20
Irma Devita Purnamasari, Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Untuk Menjual,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt548f3f2f8a900/pengikatan-jual-beli-dan-kuasa-untuk-
menjual/, (Hukum online, 23 Maret 2015), Di unduh 11 Maret 2021. “Jika bentuknya adalah PJB Belum Lunas,
maka di dalamnya tidak ada kuasa, kecuali syarat-syarat pemenuhan suatu kewajiban. Sedangkan jika
pembayaran sudah lunas dan dibuatkan PJB Lunas, maka di dalamnya dibarengi dengan Kuasa untuk menjual,
dari penjual kepada pembeli. Jadi, ketika semua persyaratan sudah terpenuhi, tanpa perlu kehadiran penjual-
karena sudah terwakili-sudah memberikan kuasa, dengan redaksi kuasa untuk menjual kepada pembeli,
Notaris/PPAT dapat langsung membuatkan Akta Jual Belinya untuk kemudian memproses balik nama
sertifikatnya.”
21
Budiono, Demikian…, hlm. 130.
Harsono, Hukum Agraria…, Disarikan dari Latumeten, Pieter E. Latumeten, “Reposisi Pemberian
22

Kuasa Dalam Konsep “Volmacht dan Lastgeving” Berdasarkan Cita Hukum Pancasila, Hukum dan

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

Sebagaimana INR dan KT dengan NS belum memenuhi prestasinya dari awal dengan
tidak adanya kesepakatan INR dan KT, sehingga tidak mengikat secara yuridik dan dianggap
tidak pernah ada perjanjian timbal balik ini mengenai dibuatnya Akta Kuasa Untuk Menjual
dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli serta berakibat GPW tidak terikat dalam perjanjian yang
terlarang tersebut.
Mengenai Akta Kuasa Untuk Menjual yang terdapat sebagai perjanjian setelah PPJB
dalam kasus ini memuat klausul tidak dapat ditarik kembali. Sebagaimana pertimbangan
majelis hakim, yakni:
“Demikian pula terhadap Akta Kuasa Untuk Menjual yang dibuat oleh Notaris, dalam
salah satu klausulnya menyebutkan kuasa untuk menjual tidak dapat dicabut atau
menjadi batal atau tidak bisa ditarik kembali yang dipakai dasar hukum menjual obyek
tanah PPJB, maka terhadap klausul tersebut Majelis Hakim berpendapat pembuatan
Akta Kuasa Untuk Menjual tersebut, dapat dikategorikan kuasa mutlak yang di larang
dan Akta Kuasa Untuk Menjual yang demikian menjadi batal demi hukum.”23
Penggunaan Kuasa Mutlak dilarang untuk melakukan pemindahan hak atas tanah
berdasarkan instruksi kedua ayat (b) Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1982
tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.24 Sesuai
ketentuan peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 2014 tentang Pencabutan Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Pertanahan telah
mencabut Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut. Walaupun Instruksi Menteri Dalam
Negeri telah dicabut, larangan kuasa mutlak tersebut tetap berlaku dengan mendasarkan
ketentuan pasal 39 ayat (1) huruf d PP 24/1997 tersebut.25 Sebagaimana tertuang Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran, Pasal 39 ayat (1)
huruf d, yaitu:

Pembangunan,” Jurnal Hukum & Pembangunan 47 No. 1, (03 Maret 2017): 30-31. “Pemberian Kuasa sebagai
accesoir dari perjanjian timbal balik, di mana penerima kuasa dan pemberi kuasa, masing-masing baru
memenuhi sebagian prestasinya. Pemberian kuasa tersebut hanya mempunyai kekuatan mengikat yuridikal,
sepanjang perjanjian timbal balik masih berlangsung dan jika sudah berakhir, maka kuasanya ikut berakhir atau
jika salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak memenuhi prestasi sesuai dengan syarat-syarat dalam
perjanjian timbal balik, yang mengakibatkan perbuatan hukumnya di batalkan, maka kuasa yang diberikan ikut
batal. Dokumen hukum, PPJB dengan objek hak atas tanah dengan harga belum dibayar lunas dan hanya
sebagian yang telah dibayar, maka kuasa menjual diberikan dengan syarat tangguh, artinya kuasa menjual baru
dapat dipergunakan setelah sisa harganya dibayar lunas sesuai dengan waktu, cara dan tempat atau syarat-syarat
yang diperjanjikan.”
23
Pts Sgrj, hlm. 49.
24
Indonesia. Departemen Dalam Negeri tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai
Pemindahan Hak Atas Tanah. Instruksi No. 14 Tahun 1982. Instruksi Kedua ayat (b), yang dinyatakan: Kuasa
Mutlak yang pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah Kuasa Mutlak yang memberikan
kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala
perbuatan hukum yang menurut hukum dapat dilakukan oleh pemegang haknnya.
25
Budiono, Demikian…, hlm. 130.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

“PPAT menolak untuk membuat akta, jika: d. salah satu pihak atau para pihak bertindak
atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum
pemindahan hak” 26
Halnya penggunaan Akta Kuasa Untuk Menjual yang tidak diperkenankan untuk
menggunakan kuasa mutlak dalam kasus ini sesuai ketentuan Instruksi Menteri Dalam
Negeri berarti telah melanggar peraturan tersebut. Sebagaimana telah melanggarnya Instruksi
Menteri Dalam Negeri ini sehingga Akta Kuasa Untuk menjual tersebut bertentangan dengan
peraturan terkait.
Bentuk kuasa dapat dibuat dibawah tangan, akta Notaris, atau sepucuk surat. Kuasa juga
dapat dilakukan dengan diam-diam dan disimpulkan pada pelaksanaan kuasanya, oleh kuasa.
Dengan demikian pemberian kuasa tidak ada bentuk formalitas tertentu dan kuasa adalah
suatu perjanjian yang konsesuil juga.27
Pemberian kuasa adalah bagian atau accesoir dari perjanjian lain (perjanjian timbal
balik). Sebagaimana Pendapat Pieter E Latumeten, yakni:
“Pemberian kuasa sebagai bagian atau accesoir dari perjanjian lain (perjanjian timbal
balik), maka sahnya pemberian kuasa ditentukan oleh sahnya perjanjian timbal balik itu,
dan kuasa diberikan untuk memperkuat kedudukan salah satu pihak dalam perjanjian
timbal balik.”28
Disisi lain, perbuatan pembuatan perjanjian jual-beli terselubung dengan perjanjian
utang-piutang berikut tanah sebagai jaminan perbuatan yang dilarang. Disamping itu
terhadap penjualan terhadap debitur yang cidera janji melalui penjualan dibawah tangan
dengan Akta Kuasa Untuk Menjual dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli harus dengan syarat
yang tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata, padahal eksekusi adalah daya paksa untuk
mengambil barang jaminan debitur yang mestinya melalui pelelangan. Meskipun terlihat
kedua akta ini sudah memenuhi seperti yang tertuang dalam Pasal 1868, akan tetapi apabila
dicermati substansi pada akta tersebut cacat dalam bentuknya dikarenakan tidak memenuhi
unsur perjanjian.
Suatu akta Notaris dapat terdegradasi menjadi akta dibawah tangan, ditentukan dari
bentuk hubungan Notaris dengan para penghadap, seperti pendapatnya Habib Adjie, yaitu:
“Untuk menentukan bentuk hubungan antara Notaris dengan para penghadap harus
dikaitkan dengan ketentuan dengan Pasal 1869 BW, bahwa akta otentik terdegradasi
menjadi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dengan alasan:

26
Departemen Agraria, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997 LN
Nomor 59, TLN No. 3696, Ps. 39 ayat (d).
27
Subekti, Aneka Perjanjian, cet. 11, (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 141. “Kuasa dapat
diberikan dan diterima dalam suatu akte umum, dalam suatu tulisan dibawah tangan, bahkan dalam sepucuk
surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari
pelaksanaan kuasa itu oleh si kuasa (pasal 1793). Dari ketentuan ini dapat kita lihat bahwa pemberian kuasa itu
adalah bebas dari sesuatu bentuk-cara (formalitas) tertentu; dengan perkataan lain, ia adalah suatu perjanjian
konsensual, artinya: sudah mengikat (sah) pada detik tercapainya sepakat antara si pemberi dan si penerima
kuasa.”
Pieter E. Latumeten, “Reposisi Pemberian Kuasa Dalam Konsep “Volmacht dan Lastgeving”
28

Berdasarkan Cita Hukum Pancasila, Hukum dan Pembangunan,” Jurnal Hukum & Pembangunan 47 No. 1, (03
Maret 2017): 32.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

(1) tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau (2) tidak mampunya
pejabat umum yang bersangkutan, atau (3) cacat dalam bentuknya.”29
Suatu akta yang cacat dalam bentuknya tidak dapat diperlakukan sebagai akta autentik.
Dengan demikian dalam kasus ini tidak terpenuhi keautentikan sebagai akta
Notaris/PPAT dalam Akta Kuasa Untuk Menjual dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli
dikarenakan belum memenuhi syarat sahnya perjanjian secara subjektif dan objektif serta
sesuai ketentuan Pasal 1869 KUHPerdata akta ini hanya mempunyai kekuatan sebagai tulisan
di bawah tangan jika ditandatangani para pihak. Dalam kasus ini Akta Kuasa Menjual dan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli termasuk terdegradasi menjadi sebagai akta bawah tangan
dikarenakan cacat dalam bentuknya karena bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, antara lain:
1. Tidak memenuhi unsur sahnya perjanjian, yang tertuang dalam Pasal 1320
KUHPerdata;
2. Tidak memenuhi unsur dalam pemberian kuasa Pasal 1792 KUHPerdata;
3. Akta tersebut tidak sesuai dengan bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang
sehingga menyimpang dari Pasal 1868 KUHPerdata;
4. Penggunaan kuasa mutlak dalam kasus ini dilarang, sebagaimana instruksi kedua
ayat (b) Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1982 tentang Larangan
Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah dan Pasal 39 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
5. Dalam halnya INR dan KT seperti dinyatakan oleh Majelis Hakim bahwa belum ada
persetujuan, dikarenakan diantaranya adalah INR dan KT tidak mengenal pembeli
GPW. Dalam penelitian ini dinyatakan Bank dapat menunjuk pembeli, tetapi harus
melaui prosedur pelelangan sesuai Pasal 110 ayat (1) jo ayat (2) Peraturan Menteri
Negara Agraria No. 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah no. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
6. Pasal 16 ayat (9) UUJN, akta tidak dibuat sesuai peraturan perundang-undangan;
7. Penjualan HT dibawah tangan tidak sesuai Pasal 20 ayat (2) UUHT;
Halnya bentuk pemindahan hak secara terselubung atau bentuk tindakan hukum lainnya
dari pemberian kuasa adalah diluar kuasa dari pemberi kuasa, serta akibatnya dapat batal
demi hukum.30 Sebagaimana dalam kasus putusan pengadilan negeri Singaraja No.
680/Pdt.G/2019/PN.Sgr belum ada kesepakatan para pihak disertai pihak INR dan KT
menyatakan tidak berkehendak menjual objek sengketa tersebut, maka perjanjian timbal
balik atau yang dikonstantir oleh Notaris KS dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
belum sah disertai pemberian Akta Kuasa Untuk Menjual tidak sah pula sesuai ketentuan
Pasal 1320 KUHPerdata.
Jual beli adalah salah satu perjanjian konsesuil, perjanjian tersebut sudah sah artinya
sudah mengikat maka telah terjadi suatu kesepakatan, oleh karena itu perjanjian jual beli

29
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, cet. 4, (Bandung: PT. Intermasa, 2014), hlm. 19.
30
Latumeten, “Reposisi Pemberian Kuasa…32. “Pemberian kuasa yang dibuat sebagai perjanjian
simulasi (semu) dalam bentuk pemindahan hak secara terselubung atau bentuk bentuk tindakan hukum lainnya
di luar kuasa dari pemberian kuasa, yaitu kewenangan mewakili, dilarang dengan ancaman batal demi hukum.”

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

telah terlahir dengan segala akibat hukumnya. Dan sebaliknya apabila belum sepakat antara
penjual dan pembeli maka tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2.2. Penjualan Jaminan Objek Hak Tanggungan Tidak Dapat Dilaksanakan


Perihal INR dan KT sudah cidera janji, yang telah diatur dalam UUHT Pasal 20 ayat (1)
yaitu hak pemegang HT pertama untuk menjual objek HT berdasarkan Pasal 6 UUHT dapat
melalui pelelangan, atau dengan menggunakan titel eksekutorial pada sertipikat HT sesuai
ketentuan Pasal 14 ayat (2) UUHT yang memuat irah-irah demi keadilan, objek HT dijual
melalui pelelangan menurut tata cara yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan. Melalui pelelangan umum dimaksud untuk memberikan kepastian, perlindungan
dan keadilan hukum kepada para pihak serta dengan pelelangan mempunyai daya paksa
terhadap debitur untuk melunasi utangnya.
Adapun jika debitur cidera janji kreditur mengajukan eksekusi HT kepada Ketua
Pengadilan Negeri dikarenakan apabila terus berlanjut dikhawatirkan debitur tidak akan
sanggup untuk melunasi utangnya, bahkan objek HT tersebut mengalami kemerosotan
nilainya disebabkan denda yang semakin bertambah serta dianggap tidak memiliki iktikad
baik dari debitur untuk melunasi utangnya.31
Apabila melalui pelelangan dalam melakukan eksekusi sesuai prinsip UUHT harus dapat
dengan menggunakan prinsip cepat, mudah dan pasti, sederhana, adil, terbuka untuk umum,
pelaksanaan lelang eksekusi harus mengeluarkan risalah lelang dan lelang eksekusi untuk
mendapatkan harga tertinggi. Yang terpenting dalam pelelangan adalah pemenuhan para
pihak terhadap hasil penjualan dan menguntungkan para pihak.
KPKNL atau kepaniteraan Pengadilan Negeri akan memberikan barang lelang dari
penjual. Tahap perjanjian kebendaan atau penyerahan pada perjanjian lelang adalah saat
beralihnya kepemilikan dari penjual kepada pembeli. Ketentuan hukum atau BW yang
mengatur mengenai penyerahan barang karena peraturan lelang tidak mengaturnya.32 Yang
dialihkan penjual kepada pembeli lelang yakni:
a. Barang objek jual beli (property); dan
b. Hak kebendaan yang melekat pada barang itu.”33

31
Burhan Sidabariba, Lelang Eksekusi Hak Tanggugan, Meniscayakan Perlindungan Hukum bagi
Para Pihak, (Depok: Papas Sinar Sinanti, 2019), Kata Sambutan, hlm. 262. “Pelaksanaan eksekusi hak
tanggungan adalah dimaksudkan untuk menjamin pengembalian utang debitur kepada kreditur jika debitur
wanprestasi. Biasanya permohonan eksekusi hak tanggungan dilakukan oleh kreditur kepada Ketua Pengadilan
Negeri jika kredit debitur telah dapat digolongkan kolektibilitas macet atau diragukan dan jika terus dibiarkan,
dikhawatirkan recovery kreditnya tidak dapat melunasi jumlah utang yang ada. Atau dapat juga kondisi objek
jaminan yang makin merosot jika dibiarkan terus ataupun juga jika debitur tidak mempunyai iktikad baik untuk
melunasi utangnya.”
32
Ibid., hlm. 267. “Penyerahan barang dalam lelang dilakukan oleh penjual melalui KPKNL, dan atau
melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri. Tahap perjanjian kebendaan (zakelijk) atau levering atau penyerahan
pada penjualan lelang adalah saat beralihnya kepemilikan dari penjual kepada pembeli. Mengenai penyerahan
barang, peraturan lelang tidak ada mengatur sehingga berlaku ketentuan hukum umum atau KUHPerdata
tentang penyerahan barang.”
33
Ibid.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

Untuk kepentingan para pihak dalam pelaksanaan eksekusi dimungkinkan untuk


melakukan penjualan dibawah tangan. Sebagaimana pendapat Rachmadi Usman:
“Ketentuan dalam Pasal 20 ayat (2) UUHT memberikan kemungkinan untuk
menyimpang dari prinsip eksekusi objek Hak Tanggungan dilaksanakan melalui
pelelangan umum. Pasal 20 ayat (2) UUHT menetapkan, bahwa atas kesepakatan
pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat
dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikan itu akan dapat diperoleh harga
tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Dengan demikian, eksekusi melalui
penjualan di bawah tangan hanya dapat dilakukan bila hal tersebut telah disepakati oleh
pemberi dan pemegang Hak Tanggungan. Ditentukan dalam Penjelasan atau Pasal 20
ayat (2) UUHT, bahwa kemungkinan eksekusi melalui penjualan di bawah tangan
tersebut dimaksudkan untuk mempercepat penjualan objek Hak Tanggungan dengan
harga penjualan tertinggi, sebab penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak
akan menghasilkan harga tertinggi”34
Cara penjualan objek HT dibawah tangan tidak dilarang akan tetapi harus dapat memperoleh
harga yang tertinggi dan menguntungkan para pihak serta adanya kesepakatan para pihak.
Sejalan pernyataan dari Burhan Sidabariba, yaitu:
“Pasal 20 ayat 2 UUHT memberikan izin jika objek Hak Tanggungan dijual dibawah
tangan apabila ada kesepakatan antara pembeli dan pemegang Hak Tanggungan telah
termuat dalam perjanjian kredit dan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
yang bertujuan untuk mendapatkan harga realistis dan tertinggi.”35
Dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT dan Penjelasannya, eksekusi objek HT melalui
penjualan dibawah tangan dapat dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut:
1. Adanya kesepakatan antara pemberi Hak Tanggungan dan pemegang Hak
Tanggungan;
2. dilaksanakan dalam rangka memperoleh harga tertinggi dan demi menguntungkan
semua pihak;
3. memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 20 ayat (3) UUHT.” 36
Dalam rangka eksekusi HT sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (2) yaitu dengan penjualan
dibawah tangan harus dengan persetujuan pemberi HT, akan tetapi tetap pelaksanaannya oleh
pemegang HT. Atau tidak juga oleh pemberi HT penjualannya atau bukan juga bersamaan
pemegang HT dan pemberi HT.37 Akan tetapi sebaiknya dalam penjualan dibawah tangan
dalam hal ini menggunakan Akta Kuasa Untuk Menjual dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli
seharusnya para pihak hadir serta diperlukan iktikad baik bagi para pihak sehingga tidak ada
pihak yang dirugikan dikemudian hari.

34
Usman, Hukum Jaminan…, hlm. 494.
35
Sidabariba, Lelang…, hlm. 249.
36
Ibid, Usman, Hukum Jaminan…, hlm. 495.
Harsono, Hukum…, hlm. 459. “Penjualan di bawah tangan yang dimaksudkan itu adalah penjualan
37

dalam rangka eksekusi HT, yang ketentuannya terdapat dalam Pasal 20 yang mengatur eksekusi Hak
Tanggungan. Maka biarpun untuk itu diperlukan persetujuan pemberi HT, yang melakukan adalah kreditor
pemegang HT. Bukan pemberi HT ataupun pemberi HT bersama pemegang HT.”

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

Bahwa INR dan KT pemilik tanah SHM No.XXX/B menandatangani kedua akta
tersebut tidak mengetahui maksud dan tujuannya atau dengan kata lain belum adanya
kesepakatan maupun persetujuannya untuk melakukan eksekusi objek tanah tersebut,
padahal jika dikaitkan dengan Pasal 20 ayat (2) UUHT, penjualan objek HT dapat
dilaksanakan dibawah tangan atas kesepakatan antara INR dan KT dengan NS. Akan tetapi
tidak diperbolehkan dengan Akta Kuasa Untuk Menjual mutlak.
Sebagaimana diketahui INR dan KT telah cidera janji, seharusnya pelaksanaan eksekusi
dilaksanakan melalui pelelangan umum berdasarkan Pasal 6 UUHT vide Pasal 20 ayat (1)
huruf (a) UUHT dan Pasal 20 ayat (1) huruf (b), akan tetapi yang dilaksanakan oleh NS
dengan menggunakan Akta Kuasa Untuk Menjual dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli sesuai
ketentuan Pasal 20 ayat (2), meski diperbolehkan dalam UUHT tetapi tidak mutlak, karena
harus ada persetujuan oleh INR dan KT. Pengeksekusian dengan cara penjualan dibawah
tangan dalam kasus ini, memungkinkan tidak menguntungkan salah satu pihak atau ada pihak
yang merasa keberatannya.
Dalam hal ini nama INR dan KT belum mempunyai iktikad untuk menjual objek HT
meskipun sudah cidera janji atau sudah seharusnya Bank Daerah B melaksanakan eksekusi
melalui pelelangan. Dalam pelunasan sebagai jaminan utang jika dilakukan dengan penjualan
dibawah tangan dengan tanpa persetujuan INR dan KT maka batal demi hukum.
Sebagaimana pendapat dari Herlien Budino, yakni:
“Pemberian kuasa jual atas benda jaminan oleh pemberi jaminan kepada kreditor
bersamaan dengan penandatanganan perjanjian kredit atau perjanjian utang piutang
adalah bertentangan dengan kepentingan umum. Dalam hal debitor ingkar janji
(wanprestasi) maka penjualan benda jaminan apabila tidak dilakukan secara sukarela,
harus dilaksanakan di muka umum secara lelang menurut kebiasaan setempat sehingga
pelanggaran atas asas tersebut adalah batal demi hukum.”38
Pelaksanaan eksekusi jaminan dengan penjualan dibawah tangan dengan menggunakan
Akta Kuasa Untuk Menjual dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai jaminan untuk
pelunasan utang yang diakibatkan cidera janji dari INR dan KT dapat digolongkan pada
posisi yang lemah. Meskipun INR dan KT terpaksa menandatangani kedua akta tersebut akan
tetapi sangat berat baginya, oleh karena itu diklasifikasikan sebagai kehendak semu. Kuasa
Untuk Menjual yang seperti ini sebagai kondisi penyalahgunaan keadaan. Sebagaimana
penjelasan dari Pieter Everhardus Latumeten, yakni:
“Kuasa Menjual Sebagai Jaminan. Kuasa menjual yang dibuat oleh debitur selaku
pemberi kuasa dan kreditur selaku penerima kuasa, sebagai jaminan untuk melunasi
utang debitur kepada kreditur yang timbul dari adanya akta pengakuan utang atau
perjanjian kredit. Debitur bermaksud meminjam uang dari kreditur, dan dalam posisi
lemah, debitur terpaksa menandatangani kuasa menjual, walaupun sangat memberatkan
baginya, sehingga kehendak yang terjadi diklasifikasikan sebagai kehendak semu. Kuasa
menjual sebagai jaminan dikenal dengan ajaran penyalahgunaan keadaan (Misbruik van
Omstandigheiden), merupakan salah satu alasan untuk dilakukannya pembatalan,

38
Budiono, Demikian…, hlm. 130.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

sebagai salah satu bentuk cacat kehendak, yang bukan termasuk dalam pengertian cacat
kehendak dalam Pasal 1321 KUHPerdata.”39
Ada larangan dalam UUHT tentang pelaksanaan eksekusi lelang jaminan debitur jika
wanprestasi yang apabila dilanggar mengakibatkan batal demi hukum, seperti pelanggaran
persyaratan dan ketentuan eksekusi dalam Pasal 20 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUHT.
Sebagaimana pelaksanaannnya dalam eksekusi HT melalui penjualan di bawah tangan
dengan menggunakan Akta Kuasa Untuk Menjual dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli pada
kasus ini belum ada kesepakatan antara pemegang dan pemberi HT maka mengakibatkna
batal demi hukum.
Suatu syarat dikatakan batal yaitu jika dilaksanakan, yang berakibat menghentikan pula
perikatannya. Seperti sedia kala tidak pernah terjadi sesuatu, misalnya: apabila Kreditur yang
sudah menerima prestasi yang telah diperjanjikannya harus mengembalikan yang sudah
diterimanya.40 Untuk mengetahui syarat batal atau harus meminta pembatalannya kepada
hakim harus dipelajari dahulu peristiwa hukumnya. Seperti pendapat dari Suharnoko, yakni:
“Untuk memutuskan apakah terjadinya wanprestasi merupakan syarat batal atau harus
dimintakan pembatalannya kepada hakim, menurut hemat kami harus dipertimbangkan
kasus-demi kasus dan pihak yang membuat perjanjian. Kasus-kasus perjanjian beli-sewa
dan restrukturisasi utang dapat dijadikan bahan untuk menganalisa akibat hukum
wanprestasi.”41
Sebagaimana kasus ini Pihak Bank Daerah B telah berusaha memberikan solusi atas
kredit macet, yaitu Awal tahun 2017 INR dan KT tidak dapat memenuhi kewajiban kreditnya,
selanjutnya NS Sudah memberikan peringatan kesatu, kedua dan terakhir ketiga pada tanggal
2 Juni 2017 akan tetapi karena kondisi usaha INR dan KT tidak sesuai harapan maka INR
dan KT tidak dapat memenuhi kewajibannya. Sebagaimana Pihak Bank Daerah B telah
mempunyai iktikad baik dengan memberikan INR dan KT restrukturisasi kredit mulai
berlaku 30 Juni 2017 sampai dengan 30 Juni 2021, namun tetap tidak dapat memenuhi
kewajiban kreditnya lagi, NS telah melakukan peringatan kesatu, kedua dan terakhir ketiga
pada tanggal 4 Mei 2018. Ini sudah tepat yang dilakukan bank karena telah mengupayakan
pencegahan kredit bermasalah.
Mutatis mutandis atas segala sesuatunya mengenai penjualan dibawah tangan dengan
menggunakan Akta Kuasa Untuk Menjual dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli dalam kasus
ini dianggap tidak pernah ada dan tetap untuk INR dan KT harus tetap melunasi utangnya,
mengacu pada ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUHT, yang menyebutkan:

39
Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1904K/SIP/1982. Disarikan dari Latumeten,
Reposisi Pemberian Kuasa…, hlm. 25-26.
40
Indonesia”. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata…, Ps. 1265. “Suatu syarat batal adalah syarat
yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula.
Seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan hanyalah
ia mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabilaperistiwa yang dimaksudkan
terjadi.”
41
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisis Kasus, cet. 6, (Jakarta: PT. Prenada Media Group,
2009), hlm. 64.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

“Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang
bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) batal demi hukum.”42
Para Pihak dapat menyelesaikan persoalannya melalui tetap penjualan dibawah tangan
sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT, dikarenakan saksi GTS menyanggupi pembayaran
total sebesar Rp250.000.000,00. (dua ratus lima puluh juta rupiah) sebagai pelunasan utang
INR dan KT sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan. Sebagaimana sesuai
ketentuan Pasal 20 ayat 5 UUHT, yakni:
“sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak
Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan.”43
Kembali pada permasalahan di atas, apabila objek tanggungan dibeli kembali oleh pihak
INR dan KT harus ada persetujuan dan kesepakatan oleh NS. Yang jadi persoalan lagi adalah
GPW yang telah membayar objek HT kepada NS, tentunya apabila penyelesaian eksekusi
objek HT tidak dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan akan menyebabkan ada
pihak yang dirugikan.
Untuk menghadapi penyelesaian kredit bermasalah (nonperforming loan) terhadap
debitur yaitu INR dan KT, seharusnya Bank Daerah B selaku Bank Umum dapat membeli
sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan
berdasarkan penyerahan secara sukarela, seperti dinyatakan dalam Undang-Undang
Perbankan, yakni:
“Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan
maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan
atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal
Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan
yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.”44
Dalam halnya Bank melakukan pembelian melalui pelelangan dan/atau diluar pelelangan
adalah untuk mempercepat penyelesaian kewajiban debitur, sebagaimana dinyatakan dalam
Penjelasan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Perbankan. Apabila Bank membeli agunan
tersebut, disamakan dengan pembeli lainnya yang bukan Bank. Bank dilarang untuk
memiliki agunan tersebut dan harus secepatnya dijual kembali, dimaksudkan dapat
dipergunakan kembali hasil penjualan agunannya.45
Bank Daerah B harus memenuhi ketentuan-ketentuan dibawah ini untuk membeli objek
jaminan, antara lain:

42
Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Tanggungan..., Ps. 20 ayat (4).
43
Ibid., Ps. 20 ayat (5).
44
Indonesia, Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, UU No. 10 Tahun 1998. LN No. 182, Tahun 1998, TLN No. 3790. Ps. 12A ayat (1).”
45
Ibid., Penjelasan Ps.12A ayat (1). “Pembelian agunan oleh bank melalui pelelangan dimaksudkan
untuk membantu bank agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah Debiturnya. Dalam hal bank
sebagai pembeli agunan Nasabah Debiturnya, status bank adalah sama dengan pembeli bukan bank lainnya.
Bank dimungkinan membeli agunan di luar pelelangan dimaksudkan agar dapat mempercepat penyelesaian
kewajiban Nasabah Debiturnya. Bank tidak diperbolehkan memiliki agunan yang dibelinya dan secepat-
cepatnya harus dijual kembali agar hasil penjualan agunan dapat segera dimanfaatkan oleh bank.”

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

a. Agunan yang dapat dibeli oleh bank adalah agunan yang kreditnya telah
dikategorikan macet selama jangka waktu tertentu;
b. Agunan yang telah dibeli wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu
satu tahun;
c. Dalam jangka waktu satu tahun, bank dapat menangguhkan kewajiban-kewajiban
berkaitan dengan pengalihan hak atas agunan yang bersangkutan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”46
Peraturan Menteri Keuangan telah mengatur, bahwa Bank selaku kreditur dengan
pelelangan dapat membeli agunan tersebut. Pembelian oleh Bank/Kreditur dapat
dilaksanakan untuk pihak lain yang akan ditunjuk, selanjutnya tidak melebihi batas waktu
dalam 1 (satu) tahun dimulai tanggal pelaksanaan lelang, selama tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan lainnya.47 Ada juga ketentuan bahwa dalam Peraturan
Menteri Keuangan tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, apabila lewat jangka waktu dalam
1 (satu) tahun selanjutnya Bank ditetapkan sebagai Pembeli.48
Dengan demikian penjualan dibawah tangan secara sukarela, sebagaimana tertuang
dalam UUHT Pasal 20 ayat (2) dapat dilaksanakan dengan menggunakan Akta Kuasa Untuk
Menjual, akan tetapi waktu Akta Kuasa Untuk Menjual tidak diperkenankan kurang dari 1
(satu) tahun. Apabila melebihi dari 1 (satu) tahun Akta Kuasa Untuk Menjual tersebut batal
demi hukum, dikarenakan sesuai Pasal 12A ayat Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Badan Pertanahan
Nasional berhak menolak untuk proses selanjutnya dalam langkah balik nama dalam jual
beli.
Penjualan dibawah tangan dapat dilakukan setelah lewat waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang HT kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dan harus diumumkan minimal 2 (dua) media massa setempat dan/atau surat
kabar yang terbit di daerah yang bersangkutan.
Terkait hapusnya HT dalam Pasal 18 ayat (1) huruf (a) UUHT,49 sebagaimana menurut
pernyataan dari NS sudah diberikan secara sukarela oleh INR dan KT untuk meyelesaikan
utangnya, yang selanjutnya dibuatlah surat keterangan lunas tersebut. Jika memang proses
pelaksanaan eksekusi berjalan dengan lancar dan sudah ada kesepakatan perihal pencoretan

46
Ibid., Penjelasan Ps.12 ayat (2).
47
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang, Ps. 78 ayat (1). “Bank sebagai kreditor dapat membeli agunannya melalui lelang, dengan
ketentuan menyampaikan surat pernyataan dalam bentuk Akte Notaris, bahwa pembelian tersebut dilakukan
untuk pihak lain yang akan ditunjuk kemudian dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung mulai tanggal
pelaksanaan lelang, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”
48
Ibid., Ps.78 ayat (2). “Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui,
bank ditetapkan sebagai Pembeli.”
49
Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Tanggungan..., Pasal. 18 ayat (1) huruf (a), Isinya:
“hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.”

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

roya dapat dilakukan oleh pihak GPW untuk membalik nama di Kantor Pertanahan setempat,
sesuai Pasal 22 ayat (4).50 Sebagaimana pendapat Burhan Sidabariba, yakni:
“Pembeli lelang yang telah memenuhi semua kewajbannya harus mendapatkan surat
roya yaitu surat permohonan pencabutan atau pencoretan pembebanan Hak Tanggungan
dari kreditur untuk dibawa dan didaftarkan ke kantor pertanahan setempat guna proses
balik nama sertifikat kepada nama pembeli lelang.”51
Roya dilakukan hanya untuk tertib administrasi dan tidak berpengaruh hukum pada HT
yang bersangkutan tetap hapus, akan tetapi hal-hal yang mengakibatkan hapusnya HT sesuai
Pasal 18 UUHT selanjutnya diikuti dengan peroyaan.52
Apabila sudah lunas pada dasarnya dapat saja dilakukan Akta Perjanjian Pengikatan Jual
Beli antara INR dan KT dengan GPW, meskipun belum melakukan roya pada Kantor
Pertanahan jika ada kesepakatan. Sebagaimana pendapat Herlien Budiono:
“Dengan demikian, setelah adanya bukti pelunasan atas utang yang dijamin dengan Hak
Tanggungan, maka berarti debitor berhak untuk membuat PPJB atas tanah yang dibebani
Hak Tanggungan walaupun surat pencoretan (roya) belum dikeluarkan/diberikan oleh
kreditor ex pemegang Hak Tanggungan.”53
Pelaksanaan eksekusi dengan Pasal 6 UUHT melalui pelelangan dan titel eksekutorial
pada sertipikat HT sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (2) UUHT, sebagaimana telah diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan RI No. 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang, tidak sesingkat apa yang ada dalam prinsip eksekusi HT yaitu cepat dan diperlukan
biaya-biaya lainnya.
Sehubungan dengan klaim atau gugatan di Pengadilan Negeri S yang dilakukan INR dan
KT yang merasa keberatan dengan proses pelaksanaan eksekusi dengan penjualan dibawah
tangan sesuai Pasal 20 ayat (2) UUHT cukup baik terhadap NS, karena memang seharusnya
dengan cepat apabila merasa INR dan KT dirugikan, keadilan harus ditegakkan. Bahwasanya
restruksturisasi utang yang sudah terlaksana oleh Bank Daerah B juga merupakan iktikad
baik, demi penyelamatan objek HT, akan tetapi pelaksanaan eksekusinya menurut
Pelaksanaan Pasal 6 UUHT jo Pasal 20 ayat (1) UUHT melalui pelelangan.

50
Ibid., Pasal. 22 ayat (4) UUHT, yang berisi: “Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertipikat Hak Tanggungan yang telah
diberi catatan oleh Kreditur bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang yang diajmin pelunasannya dengan
Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus
karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah lunas atau karena kreditor
melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.”
51
Sidabariba, Lelang…, hlm. 266.
52
Budiono, Demikian..., hlm. 119-120. “Di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa sesuai
dengan sifat accesoir dari Hak Tanggungan, adanya Hak Tanggungan bergantung pada adanya piutang yang
dijamin pelunasannya. Apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau sebab-sebab lain, dengan sendirinya
Hak Tanggungan yang bersangkutan hapus juga. Selain hal tersebut, di dalam penjelasan Pasal 22 ayat (1)
UUHT dikatakan bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena peristiwa-peristiwa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 UUHT. Pencoretan catatan atau roya Hak Tanggungan dilakukan demi ketertiban administrasi dan
tidak mempunyai pengaruh hukum terhadap Hak Tanggungan yang bersangkutan yang sudah hapus.”
53
Ibid., hlm. 120.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

Adapun melalui pelelangan umum tidak dapat dilaksanakan dikarenakan debitur


menggugat sebelum pelaksanaan lelang, dapat kiranya pelaksanaan lelang eksekusi melalui
titel eksekutorial yang pengaturannya berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf (b) UUHT.
Sebagaimana adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait hambatan
pelaksanaan lelang, apabila ada gugatan dari para pihak. Seperti tertuang dalam Pasal 14,
yaitu sebagai berikut:
1. Dalam hal terdapat gugatan sebelum pelaksanaan lelang terhadap objek Hak
Tanggungan dari pihak lain selain debitor/tereksekusi, suami atau istri debitor/
tereksekusi yang terkait kepemilikan, lelang Eksekusi Pasal 6 UUHT tidak dapat
dilaksanakan.
2. Terhadap objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan
lelangnya dilakukan berdasarkan titel eksekutorial dari Sertifikat Hak Tanggungan
yang memerlukan fiat eksekusi.”54
Halnya setelah pelaksanaan lelang diwajibkan pembayaran pelunasan dilakukan secara
tunai atau cek/giro paling lambat dalam waktu 5 (lima) hari. Pelunasan kewajiban
pembayaran lelang oleh Pembeli hanya diterima dan dianggap sah, jika pembayaran tersebut
dengan menggunakan cek/giro yang dikeluarkan oleh Bank anggota kliring. Yang dananya
cukup dan dapat diuangkan.55

3. PENUTUP
3.1. Simpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan kasus diatas, maka simpulan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Dampak terhadap Akta Kuasa Untuk Menjual dan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
yang dibuat tidak memenuhi ketentuan seperti yang tertuang dalam Pasal 1868 BW, yakni:
a. Berpengaruh pada kedua akta tersebut terdegradasi menjadi akta dibawah tangan dan
karena cacat bentuknya mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
b. Pada Akta Kuasa Untuk Menjual dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tidak memenuhi
unsur sahnya perjanjian. Sebagaimana syarat subjektif yaitu belum ada kesepakatan
sehingga dapat dimintakan pembatalan perjanjian itu dan yang kedua tidak
terpenuhinya juga syarat objektif, yang berdampak batal demi hukum.
c. Penggunaan kuasa mutlak dalam kasus ini dilarang, sebagaimana instruksi kedua ayat
(b) Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan
Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah dan tercantum juga larangan

54
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang, Ps. 14 ayat (1) jo (2).
55
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Pelaksanaan Lelang Dengan Penawaran Secara Tertulis
Tanpa Kehadiran Peserta Lelang Melalui Internet Pada Kantor Pelayanan Negara Dan Lelang,
https://lelang.go.id/page/syarat-dan-ketentuan, (02 Juni 2021). Di unduh 02 Juni 2021. “Pelunasan kewajiban
pembayaran lelang oleh Pembeli dilakukan secara tunai atau cek/giro paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah
pelaksanaan lelang. Pembayaran dengan cek/giro hanya diterima dan dianggap sah sebagai pelunasan
kewajiban pembayaran lelang oleh Pembeli, jika cek/giro tersebut dikeluarkan oleh Bank anggota kliring,
dananya meneukupi [sic!] dan dapat diuangkan.”

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

tersebut pada Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.
24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
d. Perjanjian timbal balik dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli belum sah disertai
pemberian Akta Kuasa Untuk Menjual tidak sah pula, dikarenakan pemberian kuasa
sebagai halnya bagian atau accesoir dari perjanjian timbal balik tersebut.
e. Bank Daerah B dapat menunjuk pembeli tanpa sepengetahuan INR dan KT, tetapi
harus melalui prosedur pelelangan sesuai Pasal 110 ayat (1) jo ayat (2) Peraturan
Menteri Negara Agraria No. 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah no. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Serta secepatnya hasil
penjualan harus dicairkan dan jangka waktunya adalah 1 (satu) tahun dari tanggal
pelaksanaan lelang.

2. Penjualan Jaminan objek HT tidak dapat dilaksanakan sesuai putusan Pengadilan Negeri
Singaraja No. 680/Pdt.G/2019/PN.Sgr., dikarenakan hal sebagai berikut:
a. Penjualan objek HT dengan penjualan dibawah tangan diperbolehkan dalam Pasal
12A UUP, tetapi harus sepakat sesuai Pasal 20 ayat (2) UUHT. Jika dilakukan dengan
pelaksanaan eksekusi yang didasari kesepakatan antara INR dan KT dengan NS,
dengan demikian tercapainya keinginan para pihak dengan seadil-adilnya, sehingga
ketentuan ini dapat dijalankan. Akan tetapi INR dan KT menolak untuk penjualan
dibawah tangan. Sebenarnya Bank Daerah B untuk bersabar dan menahan jaminan
tersebut disertai melakukan pelelangan, sampai jangka waktu 1 (satu) tahun Bank
Daerah B dapat menunjuk pembeli dengan penjualan secara sukarela.
b. Dalam Perbankan diperkenankan menggunakan Kuasa Untuk Menjual hanya berlaku
tidak lebih dari 1 (satu) tahun terhitung tanggal pelaksanaan lelang dan tidak
diperbolehkan juga dalam menggunakan kuasa mutlak/tidak dapat ditarik kembali.
c. Dengan menggunakan Kuasa Untuk Menjual, apabila mengacu pada pengaturan
UUHT dinyatakan bahwa penjualan dibawah tangan dapat dilaksanakan setelah lewat
30 (tiga puluh) hari sejak diberitahukan kepada pemberi/pemegang HT dan tidak
ditentukan batas waktu Akta Kuasa Untuk Menjual tersebut. Sedangkan dalam
Undang-Undang Perbankan hanya disebutkan tidak boleh lebih dari 1 (satu) tahun
dan harus segera dicairkan dikarenakan untuk pemulihan keuangan Bank.
d. Adanya berbagai macam cara ketentuan mengenai penjualan jaminan objek hak
tangggungan sesuai peraturan perundang-undangan, belum dapat dijadikan pegangan
untuk mempermudah penyelesaian kredit dalam pelaksanaan penjualan jaminan oleh
Bank Daerah B.

3.2. Saran
Adapun beberapa saran yang dapat diberikan berkenaan dengan permasalahan dan
penjelasan yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya dari penelitian ini, yaitu:
1. a. Sehubungan dengan pembuatan sebuah Akta Kuasa Untuk Menjual dan Akta
Perjanjian Pengikatan Jual Beli, seharusnya Notaris/PPAT KS harus mengikuti
ketentuan dalam UUJN, Kode Etik Notaris dan peraturan terkait. Perlunya
dimusyawarahkan antara INR dan KT dengan NS terlebih dahulu untuk menjual
objek tanggungan melalui penjualan dibawah tangan.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

b. Halnya debitur cidera janji apabila ada keinginan untuk dilaksanakan penjualan
dibawah tangan hendaknya dilakukan dengan iktikad baik sehingga perjanjian yang
seperti ini akan mengikat kekuatan hukumnya.
c. Akta Kuasa Untuk Menjual dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli untuk memberikan
ketertiban dan kepastian hukum seharusnya ada jangka waktu dalam akta tersebut.

2. a. NS harus lebih cermat lagi dalam memberikan kredit, karena Bank memiliki risiko,
INR dan KT harus bijak, jika nanti kreditnya macet siap untuk dijual jaminan tersebut.
Perlunya menganalisa terlebih dahulu antara debitur dan kreditur dengan
menggunakan asas-asas umum dalam perikatan dan perjanjian kredit, misalnya:
mengenai asas keseimbangan dalam perkreditan,
b. GPW sebagai pembeli harus mengecek keseluruhan dokumen maupun bentuk fisik
objek tanah dan dipastikan dibeli dari objek yang memang layak diperjual-belikan.
c. Perihal debitur tidak sepakat melalui penjualan dibawah tangan seharusnya
berdasarkan pelelangan atau dapat melakukan penjualan dengan titel
eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat HT, karena dengan pelelangan
mempunyai daya paksa dan untuk melindungi para pihak. Akan tetapi agar lebih
efisien dan efektif penjualan seharusnya dilakukan secara sukarela, yang sebelumnya
disepakati harga jualnya.
d. Bank Daerah B seharusnya dapat membeli kembali objek jaminan HT tersebut,
menggunakan Akta Kuasa Untuk Menjual, akan tetapi Akta Kuasa Untuk Menjual
tidak diperkenankan kurang dari 1 (satu) tahun. Apabila melebihi dari 1 (satu) tahun
Akta Kuasa Untuk Menjual tersebut batal demi hukum, Badan Pertanahan Nasional
berhak menolak untuk proses selanjutnya dalam langkah balik nama dalam jual beli.
e. Notaris/PPAT harus berpegang teguh pada sumpah jabatannya. Perlunya mengingat
kembali sejarah dimana Lembaga Notariat pernah terjadi kemerosotan pada abad
terdahulu, untuk itulah Notaris/PPAT dalam pembuatan akta harus sesuai prosedur
yang benar dan tahapan yang ketat. Agar tidak kembali pada abad terdahulu maka
seluruh Notaris/PPAT harus selalu memperbaharui keilmuannya.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


564

DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-undangan:
Indonesia. Undang-Undang tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah UU No. 4 Tahun 1996. LN No. 42 Tahun 1996. TLN
No. 3632.
________. Undang-Undang tentang Perbankan UU No. 7 Tahun 1992. LN No. 31 Tahun
1992. TLN No. 3472.
________. Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan. UU No. 10 Tahun 1998. LN No. 182 Tahun 2014. TLN No. 3790.
________. Undang-Undang tentang Jabatan Notaris UU No. 30 Tahun 2004. LN No. 117
Tahun 2004. TLN No. 4432.
________. Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris. UU No. 2 Tahun 2014. LN No. 3 Tahun 2014. TLN No.
5491.
Departemen Agraria. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional tentang Pendaftaran Tanah. PP No. 24 Tahun 1997. LN No. 59. Tahun 1997.
TLN No. 3696.
Departemen Agraria. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran
Tanah. PP No. 24 Tahun 1997. PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997.
Kementerian Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang. No. 27/PMK.06/2016.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti
dan R. Tjitrosudibio. Cet. 41. Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2015.
Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1904K/SIP/1982.
Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri Singaraja Nomor 680/Pdt.G/2019/PN.Sgr Tahun
2019.

B. Buku:
Adjie, Habib. Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris. Cet. 4. Bandung: Refika Aditama, 2014.
Budiono, Herlien. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan. Cet. 2. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2018.
________. Demikian Akta Ini, Tanya Jawab Mengenai Pembuatan Akta Notaris di dalam
Praktik. Cet. 1. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2018.
________. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata, Di Bidang Kenotariatan Buku Kedua. Cet. 3.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2018.
C. Asser-A.S. Hartkamp 4-II, Verbintenissenrecht, Algemene leer der overeenkomsten,
tiende druk, W.E.J. Tjeenk Willingk, Deventer, 1997.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia. Cet. 3. Jakarta: Universitas Trisakti, 2016.
HS, Salim dan Erlies Septiana Nurbani. Kapita Selekta Hukum Keperdataan, Hukum Sumber
Daya Alam dan Pengantar Ilmu Hukum (PIH), Dalam Bentuk Tanya Jawab. Cet. 1.
Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2020.
Koesoemawati, Ira dan Yunirman Rijan, Ke Notaris (Depok: Raih Asa Sukses, 2009).

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


565

Lubis, Irwansyah et. al. Profesi Notaris Dan Pejabat Pembuat Akta Tanah: Panduan Praktis
Dan Mudah Taat Hukum. Ed. 3. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2019.
Lumban Tobing, G. H. S. Peraturan Jabatan Notaris. Cet. 4. Jakarta: PT. Gelora Aksara
Pratama, 1996.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Cet. 10. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2015.
________. Hukum Perdata Indonesia. Cet. 5. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2017.
Satrio, J. Wanprestasi menurut KUHPerdata, Doktrin, dan Yurisprudensi. Cet. 2. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2014.
Siamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta: Intermedia, 1995.
Sidabariba, Burhan. Lelang Eksekusi Hak Tanggungan, Meniscayakan Perlindungan Hukum
bagi Para Pihak. Depok: Papas Sinar Sinanti, 2019.
Sofwan, Sri S. M. Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan
Jaminan Perorangan. Cet. 5. Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta, 2011.
Subekti, R. Aneka Perjanjian. Cet. 11. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2014.
________. Hukum Perjanjian. Cet. 27. Jakarta: PT. Intermasa, 2014.
________. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet. 13. Jakarta: PT. Intermasa, 1978.
Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio. Terjemahan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek). Cet. 41. Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2015.
Suharnoko. Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus. Cet. 6. Jakarta: Kencana, 2009.
Swantoro, Herri. Dilema Eksekusi. Cet. 3. Jakarta: Rayyana Komunikasindo, 2019.
Usman, Rachmadi. Hukum Jaminan Keperdataan. Cet. 3. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
Yudha, H. A. Hukum Perjanjian. Cet. 4. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2015.

C. Artikel
Latumeten, Pieter E. “Reposisi Pemerian Kuasa Dalam Konsep Volmacht Dan Last Geving
Berdasarkan Cita Hukum Pancasila.” Hukum & Pembangunan 47 No. 1 (2017). Hlm. 1-
37.
Mahfuzh, Shabrina. “Jenis Norma dan Sanksi Terhadap Notaris Yang Melakukan
Pelanggaran Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Dengan Kuasa
Menjual (Studi Kasus Putusan Majelis Pengawas Pusat Notaris Nomor
05/B/MPPN/VII/2019.” Indonesian Notary Vol. 1 No. 004 (2019). Hlm.1-18.
Setyaningsih, Annisa. “Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hal Pembuatan Akta Jual Beli
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor 16/Pid.B/2018/PN-MTR.”
Indonesian Notary Vol. 2 No. 4 (2020). Hlm. 44-64.

D. Internet
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, “Pelaksanaan Lelang Dengan Penawaran Secara
Tertulis Tanpa Kehadiran Peserta Lelang Melalui Intenet Pada Kantor Pelayanan Negara
Dan Lelang.” https://lelang.go.id/page/syarat-dan-ketentuan. (02 Juni 2021). Di unduh
02 Juni 2021.
Purnamasari, Irma D. “Pengikatan Jual Beli Dan Kuasa Untuk Menjual.”
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt548f3f2f8a900/pengikatan-jual-
beli-dan-kuasa-untuk-menjual/. (23 Maret 2015). Di unduh 11 Maret 2021.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

Anda mungkin juga menyukai