BAB I
PENDAHULUAN
Putusan PTUN Jakarta No.70 Tahun 2013 merupakan sengketa Tata Usaha Negara
pada Tingkat Pertama dengan Acara Biasa, antara Sujantin Hasan sebagai Penggugat
melawan Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat sebagai
Tergugat dan Jeffry Kartasasmita sebagai Tergugat II Intervensi.
Duduk perkara kasus ini adalah awalnya terdapat Akta Jual Beli Nomor 7/Juli/2013
antara Tuan Gusti Harris Tamdjid, Nona Ratna Dehan, Tuan Husin Thabrani, Tuan
Mohammad Ridwan bin Mardan, dan Tuan Tachim bin H.Tharbin selaku penjual dengan
(alm) Tuan Johan Hasan selaku pembeli terhadap Tanah Hak Milik No.205/Kebon Jeruk
yang terletak di Desa Kebon Jeruk, Kecamatan Mangga Dua, Kota Jakarta Barat, yang
diuraikan dalam Surat Ukur No.240 tanggal 19 Mei 1919 kurang lebih 48.295 m2. Oleh
penjual, terhadap Tanah Hak Milik No.205/Kebon Jeruk telah diletakkan Hak Milik
No.204/Kel.Maphar (dahulu Kebon Jeruk) dengan luas kurang lebih 3540 m2. Tanah Hak
Milik No.205/Kebon Jeruk merupakan induk dari Hak Milik No.204/Kel.Maphar.
Akta No.3 tanggal 5 Agustus 1983, yakni Akta Keterangan Hak Mewaris yang
dibuat dihadapan Notaris PPAT Tan Thong Kie, dijelaskan bahwa (Alm) Tuan Johan
Hasan meninggal dunia pada tanggal 27 April 1983 dan telah menetapkan ahli waris,
yakni Istri yang bernama Nyonya Lily Hasan dan Anak-anak yakni:
a. Im Moy alias Suhaini;
b. Suhandi (dahulu bernama Ming Chang);
c. Suhaimi Hasan (dahulu bernama Tan Joeng Tjong);
d. Sujantin Hasan (dahulu Tan Jong Yu);
e. Yong Yen;
f. Ali Hasan (dahulu bernama Lian Tjang);
g. Chandra Hanum (dahulu bernama Yong Hua);
h. Nyonya Susilawati Hasan (dahulu bernama Yong Fang).
Universitas Indonesia
2
Dimana, penggugat (Sujanti Hasan) merupakan salah satu Ahli Waris dari (Alm)
Tuan Johan Hasan. Penggugat diberikan kuasa oleh ahli waris dari (Alm) Tuan Johan
Hasan dengan Akta Kuasa Nomor 77 Tanggal 29 September 1999 untuk melaksanakan
pembagian atas tanah Hak Milik No.204/Kel Maphar (dahulu Kebon Jeruk).
Sebagian tanah yang merupakan bagian dari tanah Hak Milik No.204/Kel Maphar
telah disewakan kepada Saudara H.Abdul Kadir dengan luas kurang lebih 189 m2.
Akan tetapi, H.Abdul Kadir tidak mampu melakukan pembayaran sewa dan tetap
menguasai bidang tanah yang dimaksud sehingga tanah tersebut tidak dapat dikuasai
Penggugat. Selain itu, Saudara H.Abdul Kadir mengajukan permohonan ke Suku Dinas
Tata Kota Jakarta Barat menerbitkan Surat Keterangan Rencana Kota tertanggal 29
Oktober 1990 terhadap lokasi bidang tanah Hak Milik yang disewanya diperuntukkan
penggunan toko dengan tinggi bangunan maksimum 4 lantai tidak berlaku pengurusan
Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Atas hal tersebut, Penggugat sebagai pemilik tanah
Hak Milik No.204/Kel.Maphar yang sebagian dikuasai Abdul Kadir mengajukan Surat ke
Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan Jakarta Barat pada 11 Desember 2012
perihal Pengaduan. Kemudian Sudin Mengundang Penggugat untuk menghadiri
pertemuan tanggal 23 Januari 2013, dimana Penggugat dimintai keterangan sehubungan
dengan kegiatan pembangunan dan perizinan bangunan yang berdiri diatas sebagian tanah
Hak Milik No.204/Kel.Maphar berlokasi di Jalan Kebon Jeruk II No.2 Kelurahan
Maphar, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat. Pada rapat lanjutan dengan Sudin
Pengawasan dan Penertiban Bangunan Jakarta Barat, Penggugat mengetahui Tergugat
telah menerbitkan Sertipikat HGB No.1912 tanggal 22 Januari 2009 atas nama
Universitas Indonesia
3
Muhamady, cs (diduga keluarga dari H.Abdul Kadir) atas tanah dan bangunan di Jalan
Kebon Jeruk II, Kel.Maphar, Kec.Tamansari, Jakarta Barat.
Terbitnya sertifikat HGB No.1912 tanggal 22 Januari 2009 atas nama Munawaroh
menyebabkan Penggugat mengajukan gugatan Tata Usaha Negara terhadap Tergugat.
Pada Pemeriksaan Persiapan tanggal 28 Mei 2013, Tergugat memberitahukan bahwa
Sertifikat HGB No.1912 telah dipecah menjadi Sertifikat HGB No.2017/Kel.Maphar atas
nama Jeffry Kartasasmita dengan luas 97 m2 dan Sertifikat HGB No.2018/Kel.Maphar
atas nama Jeffry Kartasasmita dengan luas 88 m2. Terbitnya Sertifikat HGB
No.2017/Kel.Maphar dan Sertifikat HGB No.2018/Kel.Maphar menyebabkan kerugian
bagi Penggugat selaku Pemegang Sertifikat Hak Milik No.204/Kel.Maphar. Hingga kini,
Penggugat tidak dapat memiliki dan menguasai, bahkan tidak dapat menyewakan/menjual
tanah miliknya.
Universitas Indonesia
4
Nomor 24 Tahun 1997, sehingga menyebabkan keputusan tersebut menjadi batal (nietig)
atau batal demi hukum (vernietigbaar). Oleh karena keputusan tersebut merupakan
keputusan yang batal (nietig), maka segala akibat hukum yang ditimbulkan oleh
keputusan itu dianggap tidak pernah ada (ex tunc). Oleh karena surat pemberian hak atas
tanah kepada Munawaroh, cs adalah Keputusan yang batal, maka dengan sendirinya
Sertipikat HGB No. 1912 tanggal 22 Januari 2009 Surat Ukur No.00028/2008 tanggal 11
Agustus 2008 atas nama Muhamady, cs dianggap batal demi hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah, dapat disimpulkan bahwa salah satu kriteria Pendaftaran
Peralihan Hak tidak dapat dilakukan adalah jika sertipikat atau surat keterangan tentang
keadaan hak atas tanah tidak sesuai lagi dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor
Pertanahan. Bahwa kriteria Pendaftaran Peralihan Hak sebagaimana yang ditentukan
dalam ketentuan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah, dikaitkan dengan bukti-bukti yang aada, menyatakan bahwa terdapat
cacat hukum dalam penerbitan surat pemberian hak atas tanah yang dikeluarkan oleh
Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan Jakarta Barat kepada Munawaroh yang
mengakibatkan batalnya Sertifikat HGB No. 1912 tanggal 22 Januari 2009 Surat Ukur
No. 00028/2008 tanggal 11 Agustus 2008 atas nama Muhamady cs dianggap batal demi
hukum, maka Pengadilan berpendapat bahwa penerbitam keputusan objek sengketa
secara derivatif dengan sendirinya pula menjadi keputusan yang batal. Penerbitan objek
sengketa yang dikeluarkan Tergugat baik dari aspek prosedural maupun substansi telah
Melanggar Ketentuan Pasal 1 angka 3, Pasal 9 ayat 2, dan Pasal 23 huruf a angka 1 dan
Pasal 45 PP Nomor 24 Tahun 1997.
MENGADILI
Dalam Eksepsi:
Menyatakan Eksespsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi Tidak Dapat Diterima (niet
onvantkelijk verklaard).
Dalam Pokok Sengketa:
Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya; Menyatakan Batal Sertipikat HGB
No. 2017/Kel. Maphar tanggal 14 Februari 2013, Surat Ukur No. 00001/2013 tanggal 5
Universitas Indonesia
5
Februari 2013 atas nama Jeffry Kartasasmita dengan luas 97 M2 dan Sertipikat HGB No.
2018/Kel. Maphar tanggal 14 Februari 2013, Surat Ukur No. 00002/2013 tanggal 5
Februari 2013 atas nama Jeffry Kartasasmita dengan luas 88 M 2; Mewajibkan Tergugat
untuk mencabut Sertipikat HGB No. 2017/Kel. Maphar tanggal 14 Februari 2013, dan
Sertipikat HGB No. 2018/Kel. Maphar tanggal 14 Februari 2013; Menghukum Tergugat
dan Tergugat II Intervensi untuk membayar biaya-biaya yang timbul dalam perkara ini
sebesar Rp 502.000,-.
Universitas Indonesia
6
BAB II
TEORI DAN ANALISIS
1
Lintong O. Siahaan, Prospek PTUN sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa Administrasi di Indonesia,
Studi tentang keberadaan PTUN Selama Satu Dasawarsa 1991-1981, (Perum Percetakan Negara RI : Jakarta,
2005), hlm 27.
2
Tim penyusun Elisa UGM, “Bahan Ajar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,” elisa.ugm.ac.id,
hlm 5, diakses pada 2 Desember 2017.
Universitas Indonesia
7
i. Penggugat, yaitu Sujantin Hasan. Dalam hal ini memberikan kuasa kepada R.
Astuti Sitanggang, S.H.,M.H., Anselmus B.P. Sitanggang, S.H., Andy H.
Limbong, S.H.
ii. Tergugat, yaitu Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat.
Dalam hal ini memberikan kuasa kepada Jakwan Hadinata, S.H., Ketut Ngurah
Suteja, S.sos., MAP., Edy Kusyanto, S.Si., H. Satibi, S.H.,Sumiarni, S.H.
iii. Tergugat II Intervensi, yaitu Jeffry Kartasasmita. Dalam hal ini memberikan
kuasa kepada H. Sjafrudin M. Rauf, S.H., H. Hosen Aho, S.H., Rusdi Sovian,
S.H. dan Sudarno, S.H.
Bahwa untuk mengetahui kedudukan para pihak dalam suatu sengketa tata usaha negara,
perlu diketahui bahwa berdasarkan pasal 1 angka 10 UU PTUN disebutkan Sengketa tata
usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara
orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik
di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam Putusan Perkara No.70/G/2013/PTUN-JKT para pihak dalam sengketa
Tata Usaha Negara ini adalah Sujantin Hasan sebagai Penggugat perorangan melawan
badan atau pejabat tata usaha negara yaitu Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi
Jakarta Barat dengan diikuti oleh Intervensi Jeffry Jartasasmita.
Kedudukan penggugat dalam hal ini dihubungan dengan permohonan gugatan yang berisi
tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk
mendapatkan putusan. Adanya kepentingan merupakan suatu syarat minimal untuk
dijadikan alasan mengajukan gugatan di pengadilan TUN. Yang mana ditegaskan pada
pasal 53 ayat 1 UU PTUN, “Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan
gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar
keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah,
dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.". Selain itu, terdapat
ketentuan pasal 83 dan 188 UU PTUN yang mengisyaratkan keharusan adanya
kepentingan bagi seseorang untuk turut serta dalam sengketa tata usaha negara dan
Universitas Indonesia
8
melakkan perlawanan atas putusan dalam sengketa tata usaha negara. Berdasarkan kasus
ini, kepentingan yang dimiliki penggugat yaitu Sujantin Hasan, bahwa penggugat
merupakan pemilik sah terhadap tanah dengan Setipikat Hak Milik No 204/ Kel. Maphar
(dahulu kebon Jeruk) tanggal 8 Juli 1965, diuraikan dalam peta situasi tertanggal 2
desember 1991, sehingga dengan terbitnya setipikat HGB No 2017/ Kel. Maphar tanggal
14 Februari 2013, Surat Ukur No. 00001/2013 tanggal 5 Februari 2013 atas nama Jeffry
Kartasasmita dengan luas 97 M2 (Sembilan puluh tujuh meter persegi) dan Sertipikat
HGB No. 2018/ Kel. Maphar tanggal 14 Februari 2013, Surat Ukur No. 00002/2013
tanggal 5 Februari 2013 atas nama Jeffry Kartasasmita dengan luas 88 M 2 (delapan puluh
delapan meter persegi) mengakibatkan kerugian bagi penggugat dan hingga penggugat
tidak dapat memiliki dan menguasai, bahkan tidak dapat menyewakan/ menjual bidang
tanah yang dimaksud.
Badan atau pejabat tata usaha negara yang diposisikan sebagai tergugat disebutkan dalam
pasal 1 angka 12 UU PTUN yang berbunyi, Tergugat adalah badan atau pejabat tata
usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya
atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
Didudukannya badan atau pejabat tata usaha negara sebagai pihak tergugat merupakan
akibat dari dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Pihak tergugat selalu badan atau
jabatan TUN yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya
atau dilimpahkan kepadanya. Yang menunjukkan ketentuan hukum yang dijadikan dasar
sehingga badan atau jabatan TUN itu dianggap berwenang melakukan tindakan hukum
yaitu mengeluarkan KTUN. Dalam kasus pada Putusan Perkara No.70/G/2013/PTUN-
JKT, obyek gugatan ialah sertifikat hak atas tanah yaitu hak guna bangunan. Sertifikat
Hak atas Tanah berupa Hak Guna Bangunan tersebut dikeluarkan oleh Kepala kantor
pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat yang mana menduduki sebagai Jabatan Tata
Usaha Negara, sehingga jika ada sengketa terhadap Sertifikat Hak atas Tanah yang
berhak memeriksa dan mengadili adalah PTUN (kompetensi/ kewenangan absolute).
Menurut Indroharto (II, 1994:31-31), bahwa wewenang badan atau pejabat tata usaha
negara dalam mengeluarkan keputusan tata usaha negara (KTUN) dapat diperoleh secara
atributif, delegasi atau mandat. Menurut Sjachran Basah (1985-69), kompetensi absolut
Universitas Indonesia
9
(atribusi) berkaitan dengan pemberian wewenang yang bersifat bulan (absolut) mengenai
materinya, yang dapat dibedakan secara horizontal dan secara vertical, yaitu: (a) Secara
horisontal, merupakan wewenang yang bersifat bulat yang melekat dari suatu jenis
pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang mempunyai kedudukan yang
sederajat, misalnya antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Pengadilan Negeri. (b)
Secara vertikal, merupakan wewenang yang bersifat bulat yang melekat dari suatu jenis
pengadilan terhadap jenis pengadilan yang secara berjenjang atau hirarki mempunyai
kedudukan lebih tinggi, misalnya Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung.3 Berdasarkan kasus ini, Majelis Hakim
memahami bahwa suatu keputusan tata usaha negara adalah produk yang diterbitkan oleh
pejabat tata usaha negara yang dilakukan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau
diberikan padanya (atribusi) dalam bidang urusan pemerintah (delegasi). Dalam hal ini,
dikarenakan kewenangan Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat
diperoleh dari suatu peraturan dasar maka kewenangannya ialah bersifat artributif. Yang
mana sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013
tentang pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dan kegiatan pendaftaran
tanah bahwa pada pasal 4 merupakan kewenangan kepala kantor pertanahan terhadap
pemberian hak atas tanah yaitu hak guna bagunan dan menyatakan bahwa pemberian
Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari
3.000 M² (tiga ribu meter persegi) sepenuhnya merupakan kewenangan kepala kantor
pertanahan.
3
Nurul Qamar, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Makassar: IKAPI, 2011), hlm
23.
Universitas Indonesia
10
Bahwa obyek gugatan tata usaha negara sesuai dan merupakan keputusan tata usaha
negara sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 9 UU No 51 Tahun 2009, keputusan
tata usaha negara sebagaimana disebutkan dalam pasal 87 UU No 30 Tahun 2014,
keputusan tata usaha negara fiktif negatif pasal 3 UU No 5 Tahun 1986 yang mana
apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan
hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan tata
usaha negara. Jika suatu badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan
keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dlaam
peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat maka badan atau pejabat TUN
tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan, keputusan
tata usaha fiktif positif pasal 53 UU No 30 Tahun 2014 yang berisikan jika ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban, maka badan
dan/atau pejabat pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan keputusan
dan/atau tindakan dalam waktu paling lama 10 hari setelah permohonan diterima secara
lengkap dan apabila dalam batas waktu tersebut badan dan/atau pejabat pemerintahan
tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan maka permohonan
tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.
Terdapat pengecualian keputusan TUN yang tidak dapat digugat di PTUN yang berupa
keputusan TUN yang bukan obyek sengketa sesuai dengan UU No 5 Tahun 1986 jo. UU
No 9 Tahun 2004. Yang mana dijelaskan dalam pasal 2, yaitu:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat pidana.
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan
peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangn yang berlaku
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil
pemilihan umum.
Universitas Indonesia
11
Selain itu, berdasarkan pasal 49, pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang
disengketakan itu dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana
alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan serta dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4
Nurul Qamar, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Makassar: IKAPI, 2011), hlm
11.
Universitas Indonesia
12
1. Asas Persamaan dihadapan hukum (Equality Before The Law), yang mana secara
tegas diakui berdasarkan prinsip persamaan dihadapan hukum yang berdasarkan atas
Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan segala warga negara
bersamaan kedudukannya dihadapan hukum dan pemerintahan sehingga
kedudukannya dihadapan hukum dan pemerintahan. Yang mana apabila dikaitkan
dengan kasus ini bahwa PERATUN menghormati prinsip ini dengan cara
mendudukan para pihak yang bersengketa yaitu penggugat yaitu Sujantin Hasan,
Tergugat yaitu Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat dan
Tergugat II Intervensi yaitu Jeffry Kartasasmita secara seimbang dan sederajat dalam
hal pencarian suatu keadilan.
2. Asas Peradilan Netral, yang artinya Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan
Merdeka. Dan ditegasan pada pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri yang bebas dari camput tangan
pihak-pihak lain diluar kekuasaan kehakiman. Termasuk campur tangan pemerintah
baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini, merupakan unsur
penting negara hukum dan merupakan sarana untuk menegakkan dan melindungi
hak-hak asasi manusia serta sebagai pertahanan terakhir untu menegakkan hukum
dan keadilan.
3. Asas Sederhana, Cepat, adil, mudah dan murah merupakan asas yang melekat pada
pelaksanaan fungsi badan peradilan Indonesia agar semua lapisan masyarakat
memiliki akses yang sama dalam menggunakan haknya dalam menempuh upaya
hukum. Sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan
cara efisien dan efektif, serta biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau
oleh masyarakat. Namun demikian, penyelesaian perkara tidak mengesampingkan
ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Azas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan telah diatur dalam Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (yang menggantikan
Undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 35
tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970) yang
dalam pasal 4 ayat (2) menyatakan, bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana,
Universitas Indonesia
13
cepat dan biaya ringan, selanjutnya dalam pasal 5 ayat (2) dinyatakan, bahwa
Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, secara
ekplisit tidak dijumpai redaksi cepat, sederhana dan biaya ringan, namun azas
tersebut diamanatkan agar ditegakkan dalam undang-undang tesebut.
Adapun pengertian sederhana dan biaya ringan hanya dijumpai dalam penjelasan
pasal 4 ayat (2) undang-undang no 4 tahun 2004 yang menyebutkan, bahwa yang
dimaksud ‘sederhana’ adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan
dengan acara efisien dan efektif, dan yang dimaksud dengan ‘biaya ringan’ adalah
biaya perkara yang dapat dipikul oleh rakyat. Sedang yang dimaksud dengan cepat
tidak dijumpai pun dalam penjelasan tesebut.
4. Asas Kesatuan Beracara, yang mana hukum acara (formal) merupakan sarana untuk
menegakkan hukum material yang menggambarkan proses atau prosedur yang harus
ditempuh dalam proses peradilan. Untuk itu harus terdapat kesatuan atau
keseragaman beracara di peradilan. Bertujuan untuk mengadakan keseragaman
prosedur dalam proses pelaksanaan fungsi peradilan di lingkungan peradilan TUN di
seluruh Indonesia. Sehingga dalam hal ini terdapat persamaan di tingkat peradilan.
ketiadaan kesatuan eracara dapat berakibat goyahnya kapstian hukum dan merugikan
warga masyarakat dalam mencari keadilan.
5. Keterbukaan Persidangan, yang dengan maksud untuk menjaga agar proses
pemeriksaan perkara dapat berjalan secara fair, obyektif dan dilihat langsung oleh
pihak-pihak yang berkepentingan dan masyarakat yang bersimpati atas pelaksanaan
jalannya proses perkara di persidangan peradilan. Asas ini dapat kita jumpai dalam
Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Selain itu, (openbaar)
adalah syarat mutlak Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
Tidak dipenuhinya syarat ini mengakibatkan putusan tidak sah dan tidak mempunyai
kekuatan hukum dengan akibat putusan adalah batal demi hukum putusan hakim
dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Selain itu, dalam UU PTUN
pasal 106 disebutkan bahwa putusan pengadilan harus diucapkan dalam siding
terbuka untuk umum. Dalam kaitannya dengan kasus ini terdapat dalam halaman 60
Universitas Indonesia
14
yang menyatakan bahwa putusan diucapkan pada hari kamis tangga 31 Oktober 2013
dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh Majelis Hakim.
6. Asas Musyawarah dan Perdamaian, yang mana dalam proses jalannya pemeriksaan
perkara selalu tercipta ruang luas bagi pihak yang bersengketa untuk dapat
melakukan perdamaian dengan jalan musyawarah, baik di luar pengadilan maupun di
dalam pengadilan. Dalam hal ini, sedapat mungkin penyelesaian sengketa dilakukan
melalui cara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir. Dalam hal ini,
Majelis Hakim harus menguapayakan perdamaian para pihak serta dalam mekanisme
pengambilan putusan. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun
2003 tentang mediasi di pengadilan, memungkinkan mediasi di PTUN. Namun,
dalam Perma No. 1 Tahun 2008, aturan pengganti Perma No. 2 Tahun 2003, frasa
tadi sudah dihapuskan. Selanjutnya, seperti yang kita ketahui, sengketa sedapat
mungkin diselesaikan melalui upaya administrasi (musyawarah mufakat), namun
apabila belum puas, maka ditempuh upaya peradilan (Pasal 48 UU PTUN).
Berdasarkan kasus ini, asas Musyawarah disebutkan dalam rapat permusyawaratan
Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam hal penentutan putusan dan
asas Perdamaian tidak dijelaskan secara terperinci.
7. Asas Hakim bersifat aktif, yang mana hakim PERATUN menjadi lebih proaktif
dibandingkan dengan hakim perdata dalam upaya pemeriksaan perkara secara tuntas
guna menemuka kebenaran materil yang sedang disengketakan. Dasar Hukum: Pasal
63 (2) butir a dan b, Pasal 80 (1), Pasal 85, Pasal 95 (1), Pasal 103 (1) UU No.5
Tahun 1986.
8. Asas Pembuktian Bebas, yang mana apabila hakim TUN diberikan wewenang untuk
menerapkan asas ini maka hakim menjadi tidak terikat lagi terhadap bukti-bukti yang
diajukan oleh para pihak, penilaian pembuktian sepenuhnya diserahkan kepada
hakim. Konsekuensi dianutnya pembuktian bebas oleh hakim PTUN, maka peran
hakim lebih melebar karena hakim dapat menguji aspek lain diluar pokok sengketa.
Dalam hal ini, asas pembuktian bebas dalam PTUN ditetapkan dalam Pasal 107 UU
No.5 Tahun 1986.
9. Asas Audi Et Alterm Partem, yang mana mengandung prinsip persamaan di hadapan
hukum sehingga hakim tidak boleh memberi perlakuan yang berbeda diantara pihak-
Universitas Indonesia
15
Universitas Indonesia
16
sengketa yang diajukan oleh para pihak, hakim tidak boleh menjatuhkan putusan di
luar atau melebihi petitum atau menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak
dituntut. Dalam melakukan ultra petita, Hakim TUN dibatasi hanya terhadap
perbaikan fakta-fakta yang tidak didalilkan oleh penggugat dan penambahan yang
tidak diminta oleh penggugat. Lebih dari itu dilarang karena akan menimbulkan
reformation in peies.
Dalam penerapannya terdapat Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR atau Pasal 198 ayat (2)
dan (3) RBg yang dalam praktiknya terdapat perkembangan Sebagai berikut: a.
Menurut putusan Mahkamah Agung Nomor 1001.K/ Sip/1972 terdapat larangan bagi
Hakim untuk mengabulkan hal-hal yang tidak diminta atau melebihi daripada yang
diminta. Menurut putusan Mahkamah Agung Nomor 425.K/ Sip/1975 diizinkan
untuk mengabulkan lebih dan petitum asal saja sesuai dengan posita.5
13. Asas Putusan Erga Omnes, yang menurut Sri Soematri (1982:13) ialah oleh karena
sengketa administrasi merupakan sengketa dalam lapangan hukum public, maka
putusan hakim peradilan administrasi/ TUN akan menimbulkan konsekuensi
mengikat secara umum dan mengikat terhadap sengketa yang mengandung
persamaan yang mungkin timbul pada masa yang akan datang. Indroharto (II,
1994:29), mengemukakan bahwa kalau pada putusan perdata pada prinsipnya hanya
mempunyai kekuatan yang mengikat antara para pihak, maka lain halnya dengan
putusan PERATUN yang mempunyai daya kerja seperti keputusan hukum publik
yang bersifat umum yang berlaku terhadap siapapun. asas erga omnes yakni sebuah
asas yang menegaskan bahwa putusan Peradilan Administrasi bersifat mengikat
secara publik tidak hanya dengan pihak-pihak yang terkait langsung dengan sebuah
perkara atau KTUN. Salah satu konsekuensi logis dari penerapan asas erga omnes
terhadap pemberlakuan putusan PTUN adalah kriteria KTUN yang dapat digugat
adalah Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum yang tidak hanya
individu tertentu yang terkait langsung dengan sebuah KTUN, namun publik secara
luas yang berpotensi mengalami akibat hukum terhadap terbitnya sebuah KTUN
tersebut. Dengan demikian, haruslah selaras dengan pasal 3 UU No 30 Tahun 2014.
Dasar hukum: Pasal 48(2). 83(1), 113 U No.5 Tahun 1986 tentang PTUN, Pasal 51
5
Dr. H. Abdullah Goffar, Teori dan praktik hukum acar peradilan tata usaha negara, cet 1, (Malang:
Tunggal Mandiri, 2014), hlm 230.
Universitas Indonesia
17
UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No.5 Tahun 1986, dan
Pasal 87 UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Dalam kasus ini, kekuatan mengikat suatu putusan hakim tidak hanya terbatas
kepada para pihak yaitu Penggugat (Sujantin Hasan), Tergugat (Kepala Kantor
Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat), Tergugat II Intervensi, (Jeffry
Kartasasmita) namun berlaku bagi semua orang dan/atau badan hukum sehingga
mereka harus mentaati dan melaksanakan putusan yang dijatuhkan oleh hakim di
lingkungan peradilan tata usaha negara.
14. Asas Point de’interest, Point de’action yang mana gugatan dapat diajukan apabila
ada kepentingan langsung terhadap perkara. Menurut Mertokusumo, 53: 2006), asas
point d’interest point d’action berarti bahwa barangsiapa yang mempunyai
kepentingan dapat mengajukan tuntutan hak atau gugatan. 6 Kepentingan dalam hal
ini bukan hanya sekadar kepentingan tetapi kepentingan yang berkaitan dengan
hukum secara langsung yaitu kepentingan yang dilandasi dengan adanya hubungan
hukum antara penggugat dan tergugat dan hubungan hukum itu langsung dialami
sendiri secara konkrit oleh penggugat. Terhadap asas ini, penggugat harus
membuktikan kepentingannya yang mana barangsiapa mempunyai sesuatu hak atau
mengemukakan suatu peristiwa harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu
(Pasal 163 HIR). Penggugat harus membuktikan adanya hubungan antara dirinya
dengan hak atau kepentingan. Dalam hal ini dapat dikaitkan dengan penggugat yang
merasa bahwa kepentingannya telah dirugikan dengan diterbitkannya sertifikat HGB
sehingga menyebabkan penggugat tidak dapat memiliki dan menguasai hak tanah
atas miliknya. Dasar hukum Pasal 53 UU No.5 Tahun 1986 jo. UU No.9 Tahun
2004.
6
Sudikmo Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm 53.
Universitas Indonesia
18
individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
Berdasarkan rumusan tersebut, maka dapat ditarik beberapa unsur yang melekat pada
keputusan TUN, yaitu:
1) Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau pejabat tata usaha negara, yang
menunjukan isi dan bukan bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau
pejabat tata usaha negara baik pejabat pusat ataupun daerah yang melakukan
kegiatan yang bersifat eksekutif. Persyaratan tertulis diharuskan untuk kemudahan
segi pembuktian namun dalam hal ini tidak harus berbentuk formal karena sebuah
memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis.
Dalam kasus ini, tindakan atau perbuatan yang dilakukukan oleh Kepala Kantor
Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat selaku Tergugat ialah menerbitkan suatu
penetapan tertulis berupa Sertipikat Hak Guna Bangunan milik penggugat.
2) Berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara, yang merupakan perbuatan hukum badan
atau pejabat tata usaha negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum tata
usaha negara yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban (pasal 1 angka 3).
3) Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yang mengikat secara
umum dan dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama dengan baik
pemerintah pusat maupun daerah. Dalam hal suatu keputusan TUN tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, maka dapat dinyatakan bahwa keputusan
tersebut bertentangan dengan hukum. Berdasarkan penjelasan pasal 53 ayat 2,
keputusan TUN dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku apabila suatu keputusan TUN dinilai bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang bersifat formal, material dan dikeluarkan oleh adan atau
pejabat tata usaha negara yang tidak berwenang. Selanjutnya, dasar pembatalan
disebabkan karena penyalahgunaan wewenang, larangan berbuat sewenang-wenang.
Dalam kasus ini, hakim berpendapat bahwa penerbitan obyek sengketa yang
dikeluarkan tergugat baik dari aspek procedural maupun substansi telah melanggar
ketentuan pasal 1 angka 3, pasal 9 ayat 2 dan pasal 23 huruf a angka 1 dan pasal 45
PP No. 24 Tahun 1997 tentang perdaftaran tanah. Oleh karena itu, sangat beralasan
apabila pengadilan mengabulkan gugatan penggugat.
Universitas Indonesia
19
4) Bersifat konkrit, individual dan final, yang mana konkrit berupa obyek yang
diputuskan dalam keputusan TUN itu tidak abstrak tetapi berwujud yang mana
berdasarkan kasus ini obyek gugatan bersifat tidak abstrak, melainkan berwujud
berupa sertipikat HGB No 2017/Kel. Maphar tanggal 14 Februari 2013, Surat Ukur
No. 00001/2013 tanggal 5 Februari 2013 atas nama Jeffry Kartasasmita dengan luas
97M2dan sertifikat HGB No 2018/ Kel. Maphar tanggal 14 Februari 2013, Surat
Ukur No 00002/2013 tanggal 5 Februari 2013 atas nama Jeffrey Kartasasmita.
Individual yang artinya keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum tetapi untuk
kepada orang yang ditujukan dan disebutkan dalam keputusan tersebut. Dalam
Putusan Perkara No.70/G/2013/PTUN-JKT, KTUN yang digugat uakni Sertifikat
2017/Kel.Maphar dan Sertifikat HGB No.2018/Kel.Maphar mncerminkan sifat
individualnya karena KTUN tersebut menyebutkan nama pribadi dalam hal ini
pemilik HGB atas tanah bernama Jeffry Kartasasmita. KTUN yang digugat tersebut
(2 sertifikat HGB Nomor 2017 dan 2018/Kel.Maphar) merugikan Penggugat karena
terhadap tanah tersebut sudah terdaftar hak atas nama Penggugat yang seharusnya
Kepala Kantor Pertanahan Wilayah Jakarta Barat tersebut tidak mengeluarkan HGB
atas tanah tersebut atas nama orang lain. Serta final yang artinya sudah definitive dan
karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.
5) Menimbulkan akibat hukum bagi orang ataupun badan hukum perdata , yang mana
dapat berdampak langsung maupun tidak langsung tentang hak dan/ kepentingan
pihak tersebut.
Dalam kasus ini, dikeluarkannya Sertifikat HGB No.2017/Kel.Maphar dan Sertifikat
HGB No.2018/Kel.Maphar atas nama Jeffry Kartasasmita menyebabkan Penggugat
selaku pemegang hak atas tanah yang sah ditempat dikeluarkannya HGB tersebut
tidak dapat memiliki dan menguasai, bahkan tidak dapat menyewakan atau menjual
bidang tanah miliknya. Jelas terlihat bahwa kedua Sertifikat HGB tersebut
diterbitkan diatas tanah dengan hak milik atas nama Penggugat dibuktikan dengan
Sertifikat Hak Milik No.204/Kel.Maphar. Awal mulanya, sebagian tanah yang
merupakan bagian dari tanah Hak Milik No.204/Kel Maphar telah disewakan kepada
Saudara H.Abdul Kadir dengan luas kurang lebih 189 m2. Namun, Abdul Kadir
tidak membayar sewa dan tetap menguasai tanah Penggugat. Abdul Kadir juga
Universitas Indonesia
20
datang kepada Suku Dinas Tata Kota untuk menerbitkan Surat Rencana Tata Kota
terkait took yang dimilikinya. Penggugat mengajukan surat kepada Sudin
Pengawasan dan Penertiban Bangunan Jakarta Barat dan saat bertemu dengan Sudin
Pengawasan dan Penertiban Bangunan Jakarta Barat Penggugat mengetahui Tergugat
(Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Barat) telah menerbitkan Sertipikat HGB
No.1912 tanggal 22 Januari 2009 atas nama Muhamady, cs (diduga keluarga dari
H.Abdul Kadir) atas tanah dan bangunan di Jalan Kebon Jeruk II, Kel.Maphar,
Kec.Tamansari, Jakarta Barat. Sudin Pengawasan dan Penertiban Bangunan Jakarta
Barat juga memberitahukan bahwa Sertifikat HGB No.1912 telah dipecah menjadi
Sertifikat HGB No.2017/Kel.Maphar atas nama Jeffry Kartasasmita dengan luas 97
m2 dan Sertifikat HGB No.2018/Kel.Maphar atas nama Jeffry Kartasasmita dengan
luas 88 m2. Terbitnya Sertifikat HGB No.2017/Kel.Maphar dan Sertifikat HGB
No.2018/Kel.Maphar menyebabkan kerugian bagi Penggugat selaku Pemegang
Sertifikat Hak Milik No.204/Kel.Maphar. Hingga kini, Penggugat tidak dapat
memiliki dan menguasai, bahkan tidak dapat menyewakan/menjual tanah miliknya.
1.4. KEPENTINGAN
Pengertian kepentingan itu kaitannya dengan hukum acara TUN yang mengandung arti
menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum dan kepentingan proses
mengenai hendak yang akan dicapai dengan melakukan suatu proses, artinya apa yang
hendak dicapai dengan melakukan suatu proses gugatan yang bersangkutan. 7
Dalam kepentingan berproses dalam arti tujuan yang ingin dicapai dengan mengajukan
gugatan yang bersangkutan, tujuan ini terlepas dari kepentingan yang harus dilindungi
oleh hukum. Jadi barang siapa menggunakan haknya untuk berproses itu diangap ada
maksudnya. Sesuai dengan asas point d’interest, point d’action yang berarti bila ada
kepentingan maka disitu baru boleh berproses. 8
Dalam kepentinan dalam arti suatu nilai yang harus dilindungi oleh hukum, yakni
kepentingan ini merupakan suatu nilai baik yang bersifat menguntungkan maupun yang
merugikan yang ditimbulkan atau yang menurut nalar dapat diharapkan akan timbul oleh
keluarnya suatu keputusan TUN atau suatu keputusan penolakan TUN. Terkait dengan
7
Indroharto, Usaha memahami undang-undang tentang peradilan tata usaha negara buku II, cet-8,
(Jakarta: PT Total Grafindo, 2003), hlm 37.
8
Indroharto, Usaha memahami Buku II, hlm 40.
Universitas Indonesia
21
kepentingan dalam kaitannya dengan yang berhak menggugat, suatu kepentingan harus
memiliki hubungan dengan penggugat itu sendiri yaitu untuk dianggap sebagai orang
yang berkepentingan penggugat harus mempunyai kepentingannya sendiri untuk
mengajukan gugatan tersebut dan tidak dapat mengajukan atas nama orang lain atau demi
kepentingan orang lain. Selain itu, kepentingan tersebut bersifat pribadi dan secara
langsung. Selanjutnya, terkait dengan kepentingan dalam hubungannya dengan keputusan
TUN yang bersangkutan. Dimana seorang penggugat harus dapat menunjukan bahwa
keputusan TUN yang digugatnya itu merugikan dirinya secara langsung sesuai dengan
pasal 53 UU PTUN. 9
Berdasarkan pasal 53 ayat (1) UU No. 5 tahun 1986 jo UU No. 9 tahun 2004 jo UU No.
51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dinyatakan bahwa: “Seseorang atau
badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata
usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang
berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dinyatakan
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan / atau
rehabilitasi”. Unsur-unsur yang ada dalam Pasal 53 (1) Undang-undang Peradilan Tata
Usaha Negara antara lain adalah: 1) Seseorang atau badan hukum perdata; 2)
Kepentingan dirugikan oleh suatu KTUN; 3) Mengajukan gugatan tertulis yang berisi
tuntutan batal atau tidak sahnya KTUN tersebut; dan 4) Dapat disertai tuntutan ganti rugi
dan/atau rehabilitasi.
Berdasarkan unsur-unsur ini, penggugat yang mengajukan gugatan ialah perorangan. Dan
dalam kasus ini, kepentingan penggugat merasa kepentingannya dirugikan dengan adanya
beberapa KTUN, antara lain: 1) sertipikat HGB No. 2017/ Kel. Maphar tanggal 14
Februari 2013, Surat Ukur No. 00001/2013 tanggal 5 Februari 2013 atas nama Jeffry
Kartasasmita dengan luas 97 M2 (Sembilan puluh tujuh meter persegi) dan sertipikat
HGB No. 2018/ Kel. Maphar tanggal 14 Februari 2013, Surat Ukur No. 00002/2013
tanggal 5 Februari 2013 atas nama Jeffry Kartasasmita dengan luas 88 M 2 (delapan puluh
delapan meter persegi). Dalam hal ini, dengan diterbitkannya kedua obyek TUN ini
mengakibatkan kerugian bagi penggugat selaku pemegang Sertifikat Hak Milik No. 204/
9
Indroharto, Usaha memahami Buku II, hlm 37.
Universitas Indonesia
22
Kel. Maphar (dahulu Kebon Jeruk) yaitu dimana penggugat tidak dapat memiliki dan
menguasai, bahkan tidak dapat menyewakan atau menjual bidang tanah miliknya.
Berbeda dengan prosedur di Peradilan Tata Usaha Negara, maka prosedur banding
administratif atau prosedur keberatan dilakukan penilaian yang lengkap, baik dari segi
penerapan hukum maupun dari segi kebijaksanaan oleh instansi yang memutus. Dari
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dapat dilihat apakah terhadap suatu
Keputusan Tata Usaha Negara itu terbuka atau tidak terbuka kemungkinan untuk
ditempuh suatu upaya administratif. Apabila seluruh prosedur di atas telah di tempuh, dan
pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, barulah persoalannya dapat
digugat dan diajukan ke Pengadilan.
Universitas Indonesia
23
negara yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara, maka penyelesaian tersebut
disebut dengan Banding Administratif
iii. Apabila diselesaikan instansi atau pejabat yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut penyelesaian tersebut disebut dengan keberatan.
Universitas Indonesia
24
Universitas Indonesia
25
Penelitian administratisi supaya dilakukan secara formal tentang bentuk dan isi
gugatan sesuai Pasal 56 dan tidak menyangkut segi materiil gugatan. Namun
dalam tahap ini Panitera harus memberikan petunjuk-petunjuk seperlunya dan
dapat meminta kepada pihak untuk memperbaiki yang dianggap perlu. Sekalipun
demikian, Panitera tidak berhak menolak pendaftaran perkara tersebut dengan
dalih apapun juga yang berkaitan dengan materi gugatan.
8. Pendaftaran perkara di tingkat pertama dan banding dimasukkan dalam register
setelah yang bersangkutan membayar uang muka atau panjar biaya perkara yang
ditaksir oleh panitera sesuai Pasal 59 sekurang-kurangnya sebesar Rp 50.000,00
(lima puluh ribu rupiah).
Dalam perkara yang diajukan melalui pos, panitera harus memberi tahu tentang
pembayaran uang muka kepada penggugat dengan diberi waktu paling lama 6
(enam) bulan bagi Penggugat itu untuk memenuhi dan kemudian diterima di
Kepaniteraan Pengadilan, terhitung sejak dikirimkannya surat pemberitahuan
tersebut dan uang muka biaya perkara belum diterima di Kepaniteraan, maka
perkara Penggugat tidak akan didaftar.
Walaupun gugatan yang dikirim melalui pos selama masih belum dipenuhi
pembayaran uang muka biaya perkara dianggap sebagai surat biasa, akan tetapi
kalau sudah jelas merupakan surat gugatan, maka harus tetap disimpan di
Kepaniteraan Muda Bidang Perkara dan harus dicatat dalam Buku Bantu Register
dengan mendasar pada tanggal diterimanya gugatan tersebut, agar dengan
demikian ketentuan tenggang waktu dalam Pasal 55 tidak terlampaui.
9. Dalam hal Penggugat bertempat tinggal jauh dari PTUN dimana ia akan
mendaftarkan gugatannya, maka tentang pembayaran uang muka biaya perkara
dapat ditempuh dengan cara :
a. Panjar biaya perkara dapat dibayarkan melalui PTUN mana gugatan
diajukan yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Ongkos kirim
ditanggung penggugat di luar panjar biaya perkara.
b. Panjar biaya perkara dikirim langsung kepada PTUN dimana ia
mendaftarkan gugatannya.
Universitas Indonesia
26
10. Dalam hal suatu pihak didampingi kuasa, maka bentuk Surat Kuasa Khusus
dengan materai secukupnya, dan Surat Kuasa Khusus yang diberi cap jempol
haruslah dikuatkan (waarmerking) oleh pejabat yang berwenang. Surat Kuasa
Khusus bagi pengacara/advokat tidak perlu dilegalisir. Dalam pemberian kuasa
dibolehkan adanya substitusi tetapi dimungkinkan pula adanya kuasa insidentil.
Surat kuasa tidak perlu didaftarkan di Kepaniteraan PTUN.
11. Untuk memudahkan pemeriksaan perkara selanjutnya maka setelah suatu perkara
didaftarkan dalam register dan memperoleh nomor perkara, oleh staf kepaniteraan
dibuatkan resume gugatan terlebih dahulu sebelum diajukan kepada Ketua
Pengadilan, dengan bentuk formal yang isinya pada pokoknya sebagai berikut :
a. Siapa subyek gugatan, dan apakah penggugat maju sendiri ataukah
diwakili oleh Kuasa.
b. Apa yang menjadi obyek gugatan, dan apakah obyek gugatan tersebut
termasuk dalam pengertian Keputusan TUN yang memenuhi unsur Pasal
1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986.
Selain itu, penelitian administrasi juga memeriksa mengenai :
a. Apakah yang menjadi alasan-alasan gugatan, dan apakah alasan tersebut
memenuhi unsur Pasal 53 ayat 2 huruf a, b, dan c UU No. 5 Tahun 1986. (Setelah
keluarnya UU No. 9 Tahun 2004 alasan gugatan mendasarkan pada Pasal 53 ayat
2 huruf a dan b UU No. 9 Tahun 2004).
b. Apakah yang menjadi petitum atau isi gugatan, yaitu hanya pembatalan
Keputusan TUN saja, ataukah ditambah pula dengan tuntutan ganti rugi dan/atau
rehabilitasi. Untuk penelitian syarat-syarat formal gugatan, Panitera atau staf
Kepaniteraan dapat memberikan catatan atas gugatan tersebut, untuk disampaikan
kepada Ketua Pengadilan untuk ditindaklanjuti dengan Prosedur Dismissal.11
Di dalam Putusan Nomor 70/G/2013/PTUN.JKT, subjek gugatannya antara lain terdiri
dari :
a. Penggugat yang bernama Sujantin Hasan dalam hal ini memberikan kuasa
kepada Advokat R Astuti Sitanggang, S.H., M.H., Anselmus B. P. Sitanggang,
11
Yodi Martono Wahyunadi, “Prosedur Beracara di Tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara”, ptun-
bengkulu.go.id, diakses 1 Desember 2017.
Universitas Indonesia
27
S.H., dan Andy H. Limbong dengan Surat Kuasa Khusus Nomor : 02/AAK/III/13
tanggal 28 Maret 2013.
b. Tergugat dalam hal ini adalah Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Kota
Jakarta Barat yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 1943/600-
31.73/V/2013 tanggal 23 Mei 2013 memberikan kuasa kepada pegawainya yaitu
Jakwan Hadinata, S.H., Ketut Ngurah Suteja, S. Sos., MAP., Edy Kusyanto, S.Si.,
H. Satibi, S.H., dan Sumiarni, S.H.
Adanya penelitian administrasi adalah untuk memeriksa hal-hal administratif dari
gugatan yang diajukan penggugat apakah sudah memenuhi syarat yang telah ditentukan.
Jika dilihat pada halaman pertama putusan, disebutkan di sana mengenai subjek
gugatannya seperti yang terdapat dalam ringkasan di atas. Hal ini berarti mengenai nama,
kewarganegaraan, tempat tinggal, pekerjaan, dan kuasa tergugat dan penggugat sudah
disebutkan dengan lengkap oleh penggugat dalam gugatannya beserta lampiran surat
kuasanya.
Kemudian berkaitan dengan objek gugatannya, gugatan penggugat adalah mengenai
pengujian Sertifikat HGB No. 2017/Kel. Maphar tanggal 14 Februari 2013, Surat Ukur
No. 00001/2013 tanggal 5 Februari 2013 atas nama Jeffry Kartasasmita dengan luas 97
m2 dan Sertifikat HGB No. 2018/Kel. Maphar tanggal 14 Februari 2013 , Surat Ukur No.
00002/2013 tanggal 5 Februari 2013 atas nama Jeffry Kartasasmita dengan luas 88 m2
yang merupakan pecahan dari Sertifikat HGB No.1912 tanggal 22 Januari 2009 atas
nama Muhamady, cs. Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan ini sudah sesuai
dengan apa yang diatur dalam pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 12
bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan adalah Sertifikat Tanah
tersebut di atas yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara dalam hal ini adalah
tergugat yaitu Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat yang mana berisi
tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Mengenai alasan-alasan yang diajukan dalam gugatan juga disebutkan dalam isi putusan
tersebut yang secara garis besar penggugat mengajukan gugatan tersebut dengan alasan
12
Indonesia, Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, UU No. 51 Tahun 2009, LN No. 160 Tahun 2009, TLN No. 5079, Ps. 1 Butir 9.
Universitas Indonesia
28
yang merupakan penjabaran isi dari pasal 1 butir 9 tersebut. Selain itu penggugat juga
menyatakan bahwa ia merupakan pemilik sah dari tanah dengan sertifikat yang
disengketakan tersebut dan dikarenakan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara
oleh tergugat, penggugat mengalami kerugian dan kini penggugat tidak dapat menguasai,
memiliki, menyewakan, bahkan menjual bidang tanah dimaksud. Selain itu, Keputusan
Tata Usaha Negara tersebut juga melanggar ketentuan perundang-undangan agraria dan
azas-azas umum pemerintahan yang baik yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 serta tidak mempunyai landasan keteraturan dalam melaksanakan
peraturan mengenai pendaftaran tanah. Berkenaan dengan tuntutan gugatan adalah
menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan batal/tidak sah dan
mewajibkan tergugat untuk mencabut keputusan tersebut.
Selain itu juga adanya penelitian administrasi ini juga untuk memeriksa apakah gugatan
ini telah melalui prosedur upaya administrasi. Sehingga hal ini juga bisa menjadi
pembuktian bahwa dengan telah diputusnya perkara ini berarti gugatan yang diajukan
penggugat ini telah memenuhi syarat mengenai subjek gugatannya, objek gugatannya,
alasan gugatannya, petitum gugatannya dan juga telah melalui prosedur upaya
administrasi.
13
Yodi Martono Wahyunadi, “Prosedur Beracara di Tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara”, ptun-
bengkulu.go.id, diakses 1 Desember 2017.
14
Indonesia, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 5 Tahun 1986, Ps. 62 ayat (1).
Universitas Indonesia
29
2.8. PERMOHONAN
Berdasarkan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 18 jo. Undang-Undang 9
Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009, dalam keadaan tertentu,
penggugat dapat mengajukan permohonan agar selama proses berjalan, Keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat itu diperintahkan ditunda pelaksanaannya sampai ada
putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Permohonan dapat diajukan
sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
Pengadilan akan mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata
Usaha Negara tersebut hanya apabila :
15
Ibid, Ps. 62 ayat (3).
16
Ibid, Ps. 62 ayat (5).
17
Ibid, Ps. 62 ayat (6).
18
Ibid, Ps. 67.
Universitas Indonesia
30
c. Terdapat keadaan yang sangat mendesak, yaitu jika kerugian yang akan diderita
penggugat akan sangat tidak seimbang dibanding dengan manfaat bagi
kepentingan yang akan dilindungi oleh pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut; atau
d. Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tidak ada sangkut
pautnya dengan kepentingan umum dalam rangka pembangunan
Di dalam Putusan Nomor 70/G/2013/PTUN.JKT, gugatan penggugat adalah mengenai
pengujian Sertifikat HGB No. 2017/Kel. Maphar tanggal 14 Februari 2013, Surat Ukur
No. 00001/2013 tanggal 5 Februari 2013 atas nama Jeffry Kartasasmita dengan luas 97
m2 dan Sertifikat HGB No. 2018/Kel. Maphar tanggal 14 Februari 2013 , Surat Ukur No.
00002/2013 tanggal 5 Februari 2013 atas nama Jeffry Kartasasmita dengan luas 88 m2.
Dalam hal ini tergugatnya adalah Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta
Barat sebagai pejabat yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan. Berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Tata usaha Negara,
pemeriksaan ini ditetapkan dengan acara biasa. Penggugat tidak mengajukan permohonan
acara cepat untuk kepentingan tertentu yang cukup mendesak seperti yang diatur dalam
pasal 98 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 198619 jo. Undang-Undang 9 Tahun 2004 jo.
Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009. Penggugat juga tidak mengajukan agar selama
proses pemeriksaan berjalan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat diperintahkan
untuk ditunda pelaksanaannya. Jadi meskipun Keputusan Tata Usaha Negara ini memang
merugikan penggugat, tetapi Keputusan ini tidak dimohonkan untuk ditunda
pelaksanaannya dan baru dinyatakan batal dan diperintahkan untuk dicabut setelah
majelis hakim menjatuhkan putusan. Jadi dapat disimpulkan bahwa penggugat tidak
mengajukan permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan tersebut.
19
Ibid, Ps. 98.
20
Ibid, Ps. 63 ayat (1) .
Universitas Indonesia
31
21
Ibid, Ps. 63 ayat (2).
22
Ibid, Ps. 63 ayat (3).
23
Ibid, Ps. 63 ayat (4).
Universitas Indonesia
32
Februari 2013 , Surat Ukur No. 00002/2013 tanggal 5 Februari 2013 atas nama Jeffry
Kartasasmita dengan luas 88 m2, maka penggugat memperbaiki gugatannya menjadi
permohonan pengujian sertifikat atas nama Jeffry Kartasasmita tersebut. Penggugat
mengetahui hal ini pada acara perbaikan surat gugatan dan surat kuasa pada tanggal 4
Juni 2013. Mengenai tenggang waktu penyempurnaan gugatan, di dalam putusan
disebutkan bahwa gugatan diajukan tanggal 1 Mei 2013 dan diterima dan didaftarkan di
Kepaniteraan PTUN Jakarta pada tanggal 3 Mei 2013 dan telah diperbaiki dalam acara
perbaikan surat gugatan dan surat kuasa pada tanggal 4 Juni 2013 dan sidang
pemeriksaan persiapan tanggal 24 Juni 2013. Sebetulnya tidak dijelaskan di dalam pasal
63 mengenai jangka waktu 30 hari tersebut di hitung sejak kapan. Tetapi sesuai dengan
penjelasan pasal 63 tersebut bahwa tenggang waktu ini tidak bersifat memaksa, sehingga
keputusan dikembalikan pada kebijaksanaan hakim. Oleh karena itulah gugatan ini bisa
sampai ke persidangan dan telah dijatuhkan putusan berkekuatan hukum tetap yaitu
gugatan penggugat dikabulkan untuk seluruhnya.
Universitas Indonesia
33
a. Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung setelah
lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung
sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan;
b. Pasal 3 ayat (3), maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung setelah
lewatnya batas waktu empat bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya
permohonan yang bersangkutan.
Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus
diumumkan, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari
pengumuman tersebut.
Setelah pasti bahwa keputusan TUN yang hendak digugat itu tidak harus diselesaikan
melalui upaya administratif lebih dahulu atau setelah lewat upaya administratif hasilnya
tetap tidak memuaskan dan saat untuk mengajukan gugatan masih dalam masa tenggang
90 hari sebagaimana ditentukan oleh pasal 55 UU No 5 Tahun 1986, maka orang atau
badan hukum perdata yang berhak menggugat dapat mulai menyusun surat gugat yang
hendak diajukan. Surat gugat TUN adalah suatu surat permohonan dari orang atau
badan hukum perdata yang berhak menggugat yang tidak menyetujui terhadap suatu
keputusan TUN yang dikeluarkan oleh suatu Badan atau Jabatan TUN yang dirasakan
sebagai merugikan dirinya dan karena itu ia menggugat Badan atau Jabatan TUN yang
bersangkutan di muka Pengadilan TUN untuk memperoleh suatu putusan yang
menyatakan, bahwa keputusan TUN yang disengketakan itu batal atau tidak sah. 24 Surat
gugat merupakan pengantar dari proses di muka Pengadilan TUN. Pada asasnya, hukum
acara TUN menganut asas bahwa gugatan diajukan kepada pengadilan yang berwenang,
yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau tempat tinggal Tergugat. 25 Asas
ini disebut Actor Sequitur Forum Rei.26 Motif penerapan asas ini adalah dalam hal harus
memilih antara Hakim dari tempat kediaman Penggugat dengan Hakim yang berada di
tempat Tergugat, maka yang diutamakan adalah Hakim yang terakhir.27 Yang dimaksud
dengan “tempat kedudukan Tergugat” adalah tempat kedudukan secara nyata atau tempat
24
Indroharto, Usaha memahami Buku II, hlm 68
25
Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara: Suatu Perbandingan, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1995), hlm 153
26
Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek,
(Bandung:PT Eresco, 1970), hlm 19
27
Indroharto, Usaha memahami Buku II, hlm 73
Universitas Indonesia
34
kedudukan menurut hukum. Berbeda dengan yang berlaku dalam hukum acara perdata,
yang dimungkinkan terjadinya pengecualian terhadap asas tersebut, pada hukum acara
TUN hampir tidak akan pernah terjadi karena semua Badan atau Jabatan TUN selalu
mempunyai tempat kedudukan.
Oleh karena surat gugat merupakan titik awal dan merupakan dasar pertama dari suatu
proses di muka Pengadilan TUN, maka harus dibuat selengkap mungkin untuk
memberikan gambaran mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan sengketa TUN
yang diajukan untuk diperiksa dan diputus oleh pengadilan. Pasal 56 UU No 5 Tahun
1986 menyatakan:
Gugatan diharuskan dalam bentuk tertulis sebagaimana diatur pada pasal 53 ayat (1) UU
No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986. Apabila surat
gugatan ketika diajukan terdapat suatu kekurangan, maka tidak mengakibatkan tidak
diterimanya gugatan yang bersangkutan, karena perbaikan masih dapat dilakukan selama
pemeriksaan persiapan dilakukan sebagaimana pasal 63 ayat 2a UU No. 5 Tahun 1986
yang menyatakan:
Universitas Indonesia
35
28
Ibid,hlm 89
Universitas Indonesia
36
masih dalam tenggang waktu sesuai ketentuan pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986. Kemudian
isi surat gugatan meliputi identitas para pihak, dasar dan alasan gugatan, tuntutan dalam
gugatan dan penutup, telah memenuhi ketentuan pada pasal 56 UU No.5 Tahun 1986,
serta perbaikan dilakukan pada saat sidang pemeriksaan persiapan sebagaimana diatur
pada pasal 63 UU No. 5 Tahun 1986.
Berdasakan ketentuan pada pasal tersebut, maka asas-asas umum pemerintahan yang baik
dapat dijadikan dasar pengujian oleh Hakim. Asas-asas umum pemerintahan yang baik
lahir dari praktik penyelenggaraan negara dan pemerintahan sehingga bukan produk
formal suatu lembaga negara seperti undang-undang.29 Asas-asas umum pemerintahan
yang baik lahir sesuai dengan perkembangan zaman untuk meningkatkan perlindungan
terhadap hak-hak individu. Asas umum pemerintahan yang layak sesungguhnya adalah
rambu-rambu bagi para penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya agar
29
Hotma Sibuea, “Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan & Asas- Asas Umum Pemerintahan yang
Baik”, (Jakarta:Erlangga, 2010), hlm 151
Universitas Indonesia
37
Asas-asas umum Pemerintahan yang baik diatur pada pasal 3 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme:
Asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi:
1. Asas Kepastian Hukum;
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
3. Asas Kepentingan Umum;
4. Asas Keterbukaan;
5. Asas Proporsionalitas;
6. Asas Profesionalitas; dan
7. Asas Akuntabilitas.
Asas-asas tersebut diuraikan lebih lanjut yaitu sebagai berikut31:
1. Asas kepastian hukum yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggara negara
2. Asas tertib penyelenggaraan negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan,
keserasian, dan kesimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara
3. Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan
cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif
4. Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentng
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan dan rahasia negara
5. Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggara negara
6. Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
30
Muin Fahmal, “Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan Pemerintahan
yang Bersih”,(Yogyakarta: UII Press, 2008), hlm 60
31
Ridwan HR, “Hukum Administrasi Negara”, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2013) hlm 241-242
Universitas Indonesia
38
7. Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Asas-asas ini pada awalnya ditujukan untuk para penyelenggara negara secara
keseluruhan sesuai dengan istilah bestuur yang mengandung arti pemerintahan dalam arti
luas. Seiring dengan perjalanan waktu, asas-asas tersebut diakui dan diterapkan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan dalam proses peradilan di PTUN setelah adanya pasal
53 ayat (2) UU No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No.5 Tahun 1986.
Universitas Indonesia
39
Setelah adanya eksepsi dari Tergugat, maka Penggugat dapat mengajukan replik terhadap
eksepsi tersebut. Kemudian Tergugat dapat mengajukan duplik terhadap replik
penggugat. Pasal 75 UU No.5 Tahun 1986 menyatakan:
(1) Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai replik,
asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat, dan hal
tersebut harus dipertimbangkan dengan seksama oleh Hakim
(2) Tergugat dapat mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai duplik,
asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat, dan hal
tersebut harus dipertimbangkan dengan seksama oleh Hakim.
Gugat-menggugat pada replik dan duplik merupakan kemungkinan bagi para pihak baik
Penggugat maupun Tergugat apabila menghendaki. Replik diajukan bersama-sama
dengan jawaban baik lisan atau tertulis. Dalam prakteknya dapat diajukan selama belum
dimulai dengan pemeriksaan bukti. Pengajuan Replik merupakan suatu hak istimewa
yang diberikan kepada Penggugat untuk membalas jawaban dari Tergugat atas gugatan
dari Penggugat.32 Selanjutnya terhadap replik, Tergugat memiliki hak untuk
membalasnya berupa duplik.
2.13. PEMBUKTIAN
Pada prinsipnya, hal-hal yang harus dibuktikan adalah semua peristiwa serta hak yang
dikemukakan oleh salah satu pihak yang kebenarannya dibantah oleh pihak lain. 33 Prinsip
yang dianut adalah siapa yang mendalilkan maka dialah yang harus membuktikan.
Lazimnya kesempatan pertama diberikan kepada Penggugat untuk membuktikan
kebenaran dalil gugatannya kemudian pihak Tergugat diberikan kesempatan untuk
membuktikan kebenaran dalil sangkalannya. Salah satu hal yang penting yang selalu
32
Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, hlm 42
33
Wicipto Setiadi, Hukum Acara PTUN, hlm 165
Universitas Indonesia
40
harus dilakukan Hakim dalam pemeriksaan pengadilan adalah dengan cara yang tepat
menetapkan terbuktinya eksistensi fakta-fakta yang relevan untuk digunakan sebagai
dasar pertimbangan dalam putusan. Yang dimaksud fakta-fakta adalah34:
1. Fakta-Fakta Hukum
Kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang eksistensinya tergantung kepada
penerapan suatu peraturan.
2. Fakta-Fakta Biasa
Kejadian-kejadian, keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya fakta-fakta
hukum tertentu.
Untuk membuktikan kebenaran suatu peristiwa diperlukan alat bukti. Pasal 100
UU No.5 Tahun 1986 menyatakan:
(1) Alat bukti ialah:
a. Surat atau tulisan
b. Keterangan ahli
c. Keterangan saksi
d. Pengakuan para pihak
e. Pengetahuan hakim
(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan
a. Surat atau tulisan, terdiri atas tiga jenis ialah akta otentik, yaitu surat yang
dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan
perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk
dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di
dalamnya, akta dibawah tangan yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani
oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan
sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di
dalamnya, surat-surat lainnya yang bukan akta
34
Indroharto, Usaha memahami Buku II, hlm 185
Universitas Indonesia
41
Hukum acara TUN berdasarkan UU No.5 Tahun 1986 menganut pembuktian bebas yang
terbatas. Disebut pembuktian bebas yang terbatas karena mengenai alat bukti yang boleh
digunakan dalam membuktikan sesuatu sudah ditentukan secara limitatif. Pasal 107 UU
No.5 Tahun 1986 menyatakan:
“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian
pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat
bukti berdasarkan keyakinan Hakim”
Fase pertama dalam proses pembuktian dimulai dengan penentuan luas pembuktian,
artinya mula-mula Hakim menentukan fakta-fakta apa yang relevan bagi putusan akhir.
Sesudah itu Hakim meneliti menurut keyakinannya fakta-fakta mana yang dianggap
sudah cukup pasti. Lalu ia melihat fakta-fakta mana saja yang masih perlu dibuktikan.
Hal inilah yang disebut luas pembuktian. Kemudian terkait pembagian beban
pembuktian, maka Hakim yang menetapkannya. Hakim yang akan melakukan pembagian
beban pembuktian menurut kriteria tertentu. Kewajiban untuk membuktikan itu tidak ada
pada pihak-pihak, tetapi barangsiapa diberi beban untuk membuktikan sesuatu jika tidak
35
Ibid, hlm 189
Universitas Indonesia
42
melakukannya maka akan menanggung risiko yaitu beberapa fakta yang mendukung
positanya akan dikesampingkan. Hakim dalam praktek membagi beban pembuktian
dengan beberapa cara sebagai berikut:
Pasal 107 UU No.5 Tahun 1986 membatasi kebebasan Hakim dalam menilai suatu hasil
pembuktian dengan ketentuan, bahwa untuk sahnya pembuktian itu diperlukan sekurang-
kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim. Karena masing-masing alat
bukti memiliki bobot yang sama, maka sekurang-kurangnya dua alat bukti berupa alat
bukti yang sudah ditentukan pada pasal 100 UU No.5 Tahun 1986. Sekalipun ada dua alat
bukti yang diajukan, hal itu tidak berarti bahwa Hakim harus menganggap fakta yang
dibuktikan dengan dua alat bukti tersebut telah sah terbukti. Untuk sahnya pembuktian
masih diperlukan adanya keyakinan Hakim bahwa fakta yang dibuktikan dengan dua alat
bukti tersebut benar adanya. Jadi bagaimanapun cara penilaian Hakim diserahkan
sepenuhnya kepada Hakim yang bersangkutan. Namun bukan berarti dalam melakukan
penilaian, Hakim semata-mata mendasarkan diri pada keyakinan batinnya. Pembuktian
secara yuridis itu tidak mensyaratkan bahwa harus diperoleh suatu kepastian yang
mutlak. Pemeriksaan seringkali bersifat historis, artinya dalam pemeriksaan seperti itu
dicari apa yang sebenarnya telah terjadi pada masa lampau
Universitas Indonesia
43
2.14. INTERVENSI
Dalam sengketa Tata Usaha Negara, terdapat kemungkinan pihak ketiga masuk dalam
suatu sengketa TUN. Kemungkinan tersebut diatur pada pasal 83 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan bahwa:
(1) Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa
pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan
mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam sengketa
Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai:
a. pihak yang membela haknya; atau
b. peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan atau ditolak
oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara sidang.
(3) Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan
permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.
Penjelasan pasal 83 UU No.5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa “pasal ini mengatur
kemungkinan bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata yang berada di luar pihak yang
sedang berperkara untuk ikut serta atau diikut sertakan dalam proses pemeriksaan perkara
yang sedang berjalan.” Pasal tersebut menjadi legitimasi atau dasar masuknya pihak
Universitas Indonesia
44
ketiga. Bentuk dari keterlibatan pihak ketiga dalam sengketa TUN sendiri terbagi
menjadi:
1. Pihak ketiga dengan kemauan sendiri ingin mempertahankan atau membela hak dan
kepentingannya agar ia tidak dirugikan dengan putusan Pengadilan dalam sengketa
yang sedang berjalan. Maka, ia mengajukan permohonan dengan menggunakan
alasan-alasan yang dituntutnya.
2. Pihak ketiga yang masuk dalam proses perkara karena permintaan salah satu pihak
(penggugat atau tergugat). Bentuk intervensi ini kemudia akan terdiri menjadi:
a. Penggugat II Intervensi : pihak ketiga membela kepentingan penggugat;
b. Tergugat II Intervensi : pihak ketiga membela kepentingan tergugat.
3. Masuknya pihak ketiga dalam proses perkara berjalan atas prakarsa hakim yang
memeriksa perkara tersebut.
Pada putusan PTUN No.70/G/2013/PTUN-JKT, perkara terjadi antara Sujanti Hasan
sebagai Penggugat melawan Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat
sebagai Tergugat dan Jeffry Kartasasmita sebagai Tergugat II Intervensi. Dalam
perkara ini, terdapat pihak ketiga yakni Tergugat II Intervensi bernama Jeffry
Kartasasmita. Kedudukan sebagai Tergugat II Intervensi memberi arti bahwa Jeffry
merupakan pihak ketiga yang masuk dalam proses perkara karena kepentingan salah
satu pihak, dalam kasus adalah pihak Tergugat dan membela kepentingan Tergugat,
yakni Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat. Dalam teorinya,
intervensi dapat ditolak atau diterima sesuai dengan pertimbangan Mejelis Hakim. Masuk
dan ditetapkannya Jeffry Kartasamita sebagai Tergugat II Intervensi dalam Perkara
No.70/G/2013/PTUN-JKT memiliki arti dikabulkannya intervensi oleh Majelis Hakim
dengan bukti melalui Putusan Sela Nomor 70/G/2013/PTUN-JKT tanggal 29 Juli 2013.
Intervensi yang dilakukan sejatinya akan membawa beberapa manfaat, yakni:
a. Pihak ketiga yang masuk dalam proses tidak tunduk pada Pasal 55 UU Peradilan
Tata Usaha Negara;
b. Bagi majelis hakim, masuknya pihak ketiga memudahkan untukmencari kebenaran
materiil. Dalam posisi ini, Jeffry Kartasasmita juga dapat menjadi bahan informasi
dan dapat memberi keterangan yang mungkin saja dibutuhkan oleh majelis hakim
Universitas Indonesia
45
36
Soemaryono dan Anna Erliyana, Tuntutan Praktik Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara,
(Jakarta:Primamedia Pustaka, 1999), hlm.103.
37
Indroharto, Usaha memahami Buku II, hlm.223.
Universitas Indonesia
46
Negara.38 Pihak pembanding dapat mengajukan memori banding dan pihak terbanding
akan mengajukan pula kontra memori banding. Prosedur yang harus diajukan. Prosedur
para pihak mengajukan banding yang pertama banding harus diajukan secara tertulis oleh
Pemohon atau kuasanya dalam “Akta Permohonan Banding” yang kemudian dicatat
Panitera dalam daftar perkara banding. Permohonan tersebut diajukan dalam tenggang
waktu 14 hari setelah putusan PTUN diberitahu kepada pihak-pihak secara sah. Bila
banding diajukan oleh kuasa, maka harus dilampirkan Surat Kuasa Khusus. Pembanding
harus membayar biaya banding kecuali jika prodeo. Permohonan banding yang telah
dibayar dicatat Panitera sesudah diberitahukan kepada pihak terbanding dengan Surat
Pemberitahuan Pernyataan Banding. 30 hari setelah permohonan banding dicatat,
Panitera memberitahukan para pihak dengan “Surat Pemberitahuan Mempelajari Berkas”
yang isinya bahwa pihak-pihak dapat mempelajari berkas perkara sebelum dikirimkan ke
PT TUN dalam jangka waktu 30 hari. Panitera Pengganti dalam jangka waktu 2 atau 3
bulan setelah putusan diucapkan harus menyelesaikan berkas perkara. Berkas dikirim ke
PT TUN maksimal 2 bulan setelah pernyataan permohonan Banding oleh Pembanding.
Putusan PT TUN dapat berupa39 :
Jika para pihak belum puas terhadap putusan Pengadilan Tinggi TUN, maka para pihak
dapat mengajukan Pemeriksaan Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pasal 131 UU No.5
Tahun 1986 menyebutkan bahwa:
(1) Terhadap putusan tingkat terakhir Pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi
kepada Mahkamah Agung.
(2) Acara pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) Undang- undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
38
Soemaryono dan Anna Erliyana, Tuntutan Praktik Beracara, hlm.103.
39
Soemaryono dan Anna Erliyana, Tuntutan Praktik Beracara, hlm.107.
Universitas Indonesia
47
Menurut Indroharto, pengaturan pada bab IV UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung sejatinya hanya mengatur mengenai hukum acara kasasi peradilan umum, namun
terpaksa berlaku bagi acara pemeriksaan kasasi pada putusan-putusan yang berasal dari
lingkungan PTUN.40 Pasal 43 dan 44 UU No.14 Tahun 1985 menentukan bahwa
“permohonan pemeriksaan kasasi hanya dapat diajukan jika Pemohon terhadap
perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditetukan lain oleh
Undang-Undang.” Alasan-alasan mengajukan kasasi hanya terbatas pada Pasal 30 UU
No.14 Tahun 1985:
Dalam prakteknya, yang menentukan dapat diajukan kasasi atau tidak bukanlah apakah
suatu perkara diajukan prmohonan banding oleh si pemohon kasasi yang bersangkutan
atau bukan. Tetapi, perkara tersebut dapat diajukan kasasi asalkan perkara telah diputus
di tingkat banding, walaupun yang pernah memohon banding adalah lawannya.41 Jika
yang mengajukan kasasi adalah kuasanya harus dengan Surat Kuasa Khusus.
Permohonan kasasi hanya dapat diajukan 1x artinya, jika perkara kasasi tersebut dicabut
maka tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi. Permohonan kasasi harus
disampaikan secara lisan atau tertulis melalui PTUN (tingkat I) atau PT TUN yang
memutus perkara yangbersangkutan maksimal 14 hari setelah putusan pengadilan yang
dimaksud diberitahukan kepada Pemohon. Membayar biaya kasasi kemudian dibuat
sebuah “Akta Permohonan Kasasi”. Selambat-lambatnya 7 hari setelah Akta Kasasi
didaftar, Panitera PTUN yangbersangkutan memberitahu kepada pihak terkasasi dengan
“Surat Pemberitahuan Permohonan Kasasi”. Permohonan Kasasi wajib menyampaikan
memori kasasi dalam 14 hari setelah permohonan kasasinya didaftarkan di Kepaniteraan
PTUN yangbersangkutan. Panitera selama 30 hari harus menyampaikan memori kasasi
ke pihak terkasasi. Terkasasi menyampaikan Kontra Memori Kasasi dan harus
diserahkan ke Panitera PTUN dalam jangka waktu 14 hari sejak diterimanya salinan
40
Indroharto, Usaha memahami Buku II, hlm.228-229.
41
Ibid, hlm.229
Universitas Indonesia
48
permohonan kasasi. Panitera mengirim salinan memori kasasi ke pemohon kasasi dengan
“Surat Pemberitahuan dan Penyerahan Kontra Memori Kasasi.” Panitera mengirimkan
permohonan kasasi, memori kasasi, kontra memori kasasi dan seluruh berkas ke MA RI
selambat-lambatnya dalam 30 hari. Permohonan kasasi dapat dicabut oleh pemohon
kasasi sebelum perkara diputus MA dan tidak bisa diajukan kembali. MA memutus
perkara kasasi dan maksimal 30 hari setelah diterima berkas perkara dan putusan MA,
Panitera PTUN memberikan putusan MA ke pihak berperkara.
Para pihak juga masih dapat mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni Peninjauan
Kembali yang diatur berdasarkan Pasal 132 UU Nomor 5 Tahun 1986 yang
menyebutkan bahwa:
(1) Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat
diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2) Acara pemeriksaan peninjauan kembah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1)
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Upaya hukum peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa karena yang
diganggu gugat adalah putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat dikatakan meskipun Putusan Perkara
No.70/G/2013/PTUN-JKT belum memperoleh kekuatan hukum tetap karena para
pihak masih mengajukan upaya hukum atas perkara yang disengketakan tersebut
namun upaya hukumnya adalah upaya hukum biasa bukan upaya hukum luar
biasa. Alasannya adalah suatu putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap yang
diajukan peninjauan kembali, statusnya tetap sebagai putusan yang memiliki kekuatan
hukum tetap serta tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusi putusan.42 Sedangkan,
status hukum dari Putusan Perkara No.70/G/2013/PTUN-JKT masih belum
berkekuatan hukum tetap. Artinya, masih ada upaya hukum biasa yang dilakukan para
pihak yang berperkara dan bukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali.
Ketentuan hukum peninjauan kembali diatur pada pasal 67-75 UU No.14 Tahun 1985
42
___, “Kapan suatu Putusan Pengadilan Dinyatakan Berkekuatan Hukum Tetap?”
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50b2e5da8aa7c/putusan-yang-inkracht, diakses 1 Desember 2017.
Universitas Indonesia
49
43
Soemaryono dan Anna Erliyana, Tuntutan Praktik Beracara, hlm.129
Universitas Indonesia
50
(10) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan ganti
rugi.
(11) Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) menyangkut
kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dan
ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi.
Selanjutnya, Pasal 116 UU No.5 Tahun 1986 jo UU No.51 Tahun 2009 tentang PTUN
menyebutkan bahwa:
(1) Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan
setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
(2) Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima
tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90
(sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan,
maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan
putusan pengadilan tersebut.
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan
upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak
terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden
sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat
Universitas Indonesia
51
Pelaksanaan Pembebanan Kewajiban dalam Putusan ada yang Sempurna dan Tidak
Sempurna. Sempurna terjadi ketika amar putusannya adalah Mencabut Keputusan Tata
Usaha Negara yang menjadi objek sengketa sesuai Pasal 97 ayat (9) huruf a UU No.5
Tahun 1986. Maka terhadap ketentuan tersebut, pelaksanaannya dilakukan sesuai
ketentuan Pasal 116 ayat (1) dan (2). Sempurna berarti sesuai ketentuan pasal 116 ayat
(1) dan (2) jika setelah 60 hari putusan BHT Tergugat tidak menjalankan kewajibannya,
maka KTUN yang disengketakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat lagi
sehingga Penggugat akan terbebas dari KTUN yang bersifat membebani.44 Sedangkan,
pelaksanaan putusan yang amarnya menyatakan mencabut KTUN yang digugat dan
menerbitkan KTUN baru (Pasal 97 ayat (9) huruf b) atau menerbitkan KTUN yang
dimohon (Pasal 97 ayat (9) huruf c) pelaksanaannya dilakukan sesuai Pasal 116 ayat
1,3,4,5,6 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU No. 51 Tahun 2009. Disamping itu perlu
diingat bahwa saat keputusan pengganti itu dikeluarkan, Badan atau Jabatan TUN yang
berkewajiban mengeluarkan keputusan tidak bisa lepas untuk memperhatikan
kemungkinan perubahan keadaan, peraturan hukum, serta pertimbangan kebijaksanaan
yang telah terjadi semenjak keputusan lama dibatalkan. Sehingga mungkin saja tergugat
dalam memenuhi kewajibannya tidak 100% sama dengan keputusan yang diminta atau
diharapkan Penggugat yang menang dalam perkara. Terhadap hal demikian Tergugat
harus memberi tahu Ketua Pengadilan stempat.45
Universitas Indonesia
52
Ketika amar putusannya adalah Mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang
menjadi objek sengketa sesuai Pasal 97 ayat (9) huruf a UU No.5 Tahun 1986. Maka
terhadap ketentuan tersebut, pelaksanaannya harus dilakukan berdasarkan
ketentuan Pasal 116 ayat (1) dan (2). Pelaksanakan yang demikian adalah pelaksanaan
kewajiban pembebanan secara sempurna. Sempurna berarti sesuai ketentuan pasal 116
ayat (1) dan (2) jika setelah 60 hari setelah BHT tergugat tidak menjalankan
kewajibannya, maka KTUN yang disengketakan tidak mempunya kekuatan hukum yang
mengikat lagi sehingga Penggugat akan terbebas dari KTUN yang bersifat membebani.
Namun, perlu kami kembali tegaskan hal tersebut hanyalah analisa bahwa putusan
PTUN Jakarta termasuk dalam putusan yang mengabulkan gugatan sehingga gugatan
dapat di proses sampai akhirnya keluar suatu putusan pengadilan yang memerintahkan
Tergugat untuk mencabut KTUN tentang Sertifikat HGB sesuai Pasal 97 ayat (9) huruf a
yang terhadapnya berlaku pula pembebanan kewajiban secara sempurna. Terhadap
putusan tersebut belum dapat dilaksanakan eksekusinya dikarenakan “belum
berkekuatan hukum tetap (BHT)”. Sedangkan, pelaksanaan secara sempurna yang
Universitas Indonesia
53
mana jika setelah 60 hari setelah BHT tergugat tidak menjalankan kewajibannya, maka
KTUN yang disengketakan tidak mempunya kekuatan hukum yang mengikat lagi
sehingga Penggugat akan terbebas dari KTUN yang bersifat membebani secara otomatis
baru berlaku setelah suatu putusan berkekuatan hukum tetap.
Pasal 53 ayat (1) UU No.5 Tahun 1986 jo. UU No.9 Tahun 2004 tentang PTUN
menyebutkan:
“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan
yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti rugi dan/atau direhabilitasi.”
Ketentuan mengenai gantirugi diatur juga dalam Pasal 120 UU No.5 Tahun 1986 dan PP
No.43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Pengadilan
Tata Usaha Negara jo. Keputusan Menteri Keuangan RI No.1129/KKM.01/1991 tanggal
13 November 1991.46
Sedangkan, mengenai rehabilitasi diatur dalam Pasal 121 UU No.5 Tahun 1986
menyatakan:
(1) Dalam hal gugatan yang berkaitan dengan bidang kepegawaian dikabulkan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (11), salinan putusan
Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi dikirimkan kepada penggugat
dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum
tetap.
(2) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan kepada Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban melaksanakan rehabilitasi
tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum
tetap.
46
Soemaryono dan Anna Erliyana, Tuntutan Praktik Beracara, hlm.132.
Universitas Indonesia
54
rugi terhadap KTUN yang disengketakan, dalam hal ini mengenai diterbitkannya
Sertifikat HGB No.2017/Kel.Maphar dan Sertifikat HGB No.2018/Kel.Maphar atas nama
Jeffry Kartasasmita diatas tanah miliknya. Penggugat hanya meminta pembatalan KTUN
yang dikeluarkan Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat sehingga pada
putusannya pun Majelis hakim hanya mewajibkan tergugat mencabut Sertifikat HGB
No.2017/Kel.Maphar dan Sertifikat HGB No.2018/Kel.Maphar dan tidak menetapkan
besaran ganti rugi karena memang tidak diminta oleh penggugat. Jika majelis hakim
menjatuhkan ganti rugi tanpa diminta oleh penggugat dalam petitumnya, maka hakim
telah ultra petita. Pasal 53 ayat (1) UU No.5 Tahun 1986 juga menyatakan “dengan atau
tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi”. Artinya, hal tersebut bersifat
optional atau pilihan apakah akan dimintakan atau tidak.
Universitas Indonesia
55
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Keputusan Perkara No.70/G/2013/PTUN-JKT termasuk ke dalam Keputusan Tata Usaha
Negara Karena Keputusan tersebut bersifat konkret, individual, dan final. Bersifat
konkret karena objek dalam Keputusan tersebut jelas, yaitu Sertipikat HGB No.
2017/Kel. Maphar tanggal 14 Februari 2013, Surat Ukur No. 00001/2013 tanggal 5
Februari 2013 atas nama Jeffry Kartasasmita dengan luas 97 M2 dan Sertipikat HGB No.
2018/Kel. Maphar tanggal 14 Februari 2013, Surat Ukur No. 00002/2013 tanggal 5
Februari 2013 atas nama Jeffry Kartasasmita dengan luas 88 M2. Bersifat Individual
karena Keputusan tersebut ditujukan kepada subjek hukum tertentu bukan kepada umum,
yaitu kepada Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat sebagai
Tergugat dan Jeffry Kartasasmita sebagai Tergugat II. Bersifat final karena Keputusan
tersebut sudah definitif dan dapat menimbulkan akibat hukum.
Putusan Perkara No.70/G/2013/PTUN-JKT berstatus belum memperoleh kekuatan
hukum tetap. Artinya, para pihak masih dapat mengajukan upaya hukum atas perkara
yang disengketakan tersebut. Upaya hukum yang dapat dilakukan adalah yang pertama,
Banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) yang diatur dalam Pasal
122 sampai dengan Pasal 130 UU No.5 Tahun 1986 beserta perubahannya, dan jika para
pihak masih belum puas terhadap putusan Pengadilan Tinggi TUN, maka para pihak
dapat mengajikan Pemeriksaan Kasasi ke Mahkamah Agung RI yang diatur dalam Pasal
131 UU No. 5 Tahun 1986. Upaya hukum kedua yang daoat diajukan adalah upaya
hukum luar biasa, yakni Peninjauan Kembali yang diatur dalam Pasal 132 UU Nomor 5
Tahun 1986.
Oleh karena Putusan Perkara No. 70/G/2013/PTUN-JKT belum memiliki status
berkekuatan hukum tetap, maka Putusan Perkara No. 70/G/2013/PTUN-JKT belum dapat
dieksekusi, sesuai dengan Pasal 115 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
PTUN.
Universitas Indonesia
56
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Fahmal, Muin. Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Bersih. Yogyakarta: UII Press, 2008.
Goffar, Abdullah. Teori dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Cet 1.
Malang: Tunggal Mandiri, 2014.
Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Buku II
Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara. Cet.9. Jakarta: Surya Multi Grafika, 2005.
Qamar, Nurul. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Makassar: IKAPI,
2011.
Setiadi, Wicipto. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara: Suatu Perbandingan. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1995.
Sibuea, Hotma. Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan & Asas- Asas Umum Pemerintahan
yang Baik. Jakarta: Erlangga, 2010.
Soemaryono dan Anna Erliyana. Tuntutan Praktik Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara.
Jakarta: Primamedia Pustaka, 1999.
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan
Praktek. Bandung:PT Eresco, 1970.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Universitas Indonesia
57
Indonesia. Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 5 Tahun 1986, LN No. 77
Tahun 1986, TLN No. 3344.
Indonesia. Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, UU No. 9 Tahun 2004, LN No. 35 Tahun 2004, TLN No. 4380.
Indonesia. Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, UU No. 51 Tahun 2009, LN No. 160 Tahun 2009, TLN No. 5079.
INTERNET
Tim penyusun Elisa UGM. “Bahan Ajar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.”
elisa.ugm.ac.id. Diakses 2 Desember 2017.
Wahyunadi, Yodi Martono. “Prosedur Beracara di Tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara,”
ptun-bengkulu.go.id. Diakses 1 Desember 2017.
Universitas Indonesia