Anda di halaman 1dari 18

HUKUM ACARA PERDATA

ANALISIS PUTUSAN 143/PDT.G/2013/PN.LBP

LEGAL STANDING NOTARIS SEBAGAI TERGUGAT/ TURUT TERGUGAT

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas petunjuk-Nya penyusun
dapat menyelesaikan tugas akhir Hukum Acara Perdata. Penulisan ini dilakukan dalam rangka
memenuhi tugas Hukum Acara Perdata.
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang penyusun miliki, bantuan dan bimbingan dari
semua pihak selama penyusunan tugas ini dimulai hingga penyusun dapat menyelesaikannya,
oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dosen Program Studi Hukum Acara Perdata yang telah memberikan pengetahuan dan
petunjuk sebagai bahan penyelesaian tugas akhir ini.
2. Seluruh rekan-rekan yang telah membantu dan memberikan dorongan sehingga penyusun
dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada semua pihak yang
telah memberikan motivasi, arahan, nasihat, serta dorongan moril maupun materil kepada
penyusun sehingga memperlancarkan kinerja penyelesaian dan penyusunan tugas akhir ini.
Diharapkan agar tugas akhir ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi penyusun serta
pihak-pihak yang membaca dan memerlukan.

Jakarta, 27 April

Penyusun,

2
DAFTAR ISI

COVER 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I. INTISARI PUTUSAN 4
BAB II. LANDASAN TEORI 6
BAB III. ANALISIS PUTUSAN
BAB IV. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

3
BAB I
INTISARI PUTUSAN

Bahwa berdasarkan putusan Nomor 143/PDT.G/2013/PN.LBP menyatakan bahwa


penggugat yang bernama Leendert Joseph L merupakan anak kandung satu-satunya dari
almarhum Leo Lapulisa yang sudah meninggal pada tanggal 14 september 2009. Almarhum Leo
Lopulisa menikah dengan ibu kandung Leendert Joseph yang bernama Sintanala Mery, yang
juga telah meninggal dunia pada tanggal 20 Januari 1994. Ayah penggugat, Leo Lapulisa
kembali menikah lagi dengan Blondine Hutabarat, yang mana pernikahannya tidak memiliki
seorang anakpun, akan tetapi memiliki seorang anak angkat yang bernama Lisa Imelda Lopulisa.
Pada tanggal 24 Juli 2004, almarhum Blondine Hutabarat meninggal dunia. Dan tanpa
sepengetahuan dan ijin dari Leo Lopulisa, Lisa Imelda Lopulisa (tergugat I) mengajukan
permohonan penetapan ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur agar Tergugat I ditetapkan sebagai
pengampu atau curator dari almarhum Leo Lopulisa dan memberi ijin kepada tergugat I untuk
mengurus, embalik nama, menjual harta atas nama Leo Lopulisa dan Blondine Hutabarat baik
harta bergerat atau tidak bergerak, surat berharga, surat kendaraan bermotor dan surat tanah.

Bahwa Lisa Imelda Lopulisa (tergugat I) telah mengklaim dirinya sebagai anak kandung
dari almarhum Leo Lopulisa dan almarhum Blondine Hutabarat, yang dibantu oleh Hasanudin
Silaban, turut tergugat III, melakukan pengurusan hal-hal yang perlu terhadap harta-harta
almarhum Leo Lopulisa. Bahwa pada tanggga; 27 Desember 2005, Lisa Imelda Lopulisa
(tergugat I) mengajukan permohonan penetapan sebagai pengampu atau curator dari almarhum
Leo Lopulisa pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Bahwa pada tanggal 30 Desember 2005,
pengadilan Negeri Jakarta Timur mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa:

 Permohonan Lisa Imelda sebagai pengampu atau curator bagi ayah kandung pemohon
bernama Leo Lopulisa yang sekarang tidak cakap menurut hukum untuk mewakilinya
melakukan perbuatan hukum baik di dalam maupn di luar pengadilan.
 Memberi ijin kepada pemohon untuk mengurus, membalik nama, menjual harta orang tua
pemohon bernama Leo Lopulisa dan Blondine Hutabarat baik berupa harta bergerak maupun
harta tidak bergerak serta surat-surat berharga berupa Giro, tabungan, surat kendaraan
bermotor, dan surat-surat tanah.

4
Bahwa dengan adanya penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan No
666/Pdt/P/2005/PN.JKT.TIM, maka Lisa Imelda sebagai tergugat I mengalihkan harta-harta
peninggalan dari almarhum Leo Lopulisa yang salah satu diantaranya tanah bersertifikat hak
miliki No 6/Muliorejo yang tercatat atas nama Leo Lopulisa yang untuk pertama kali diterbitkan
sertifikat hak milik oleh Heroyanti, SH, Notaris/PPAT di Medan (Tergugat V) pada tahun 1969.
Bahwa pada tanggal 25 Januari 2006 Lisa Imelda (tergugat I) meminta kepada kepala kepolisian
daerah kota besar Medan (Turut Tergugat VII) surat keterangan hilang atas sertifikat hak milik
No 6/Mulioredjo, yang kemudian Turut tergugat VII menerbitkan surat keterangan hilang No
422/SPK/2006 tanggal 25 Januari 2006, padahal sertifikathak milik No 6/Mulioredjo yang
tercatat atas nama Leo Lopulisa masih tersimpan baik di tangan Leendert Joseph L (Penggugat).
Bahwa atas dasar surat keterangan hilang No 422/SPK/2006 tamggal 25 Januari 2006 yang
diterbitkan oleh kepala kepolisian daerah kota besar Medan (Turut Tergugat VII), maka Lisa
Imelda (Tergugat I) memohon penerbitan sertifikat pengganti kepada Heriyanti, SH,
Notaris/PPAT di Medan (Tergugat V) menerbitkan sertifikat pengganti atas sertifikat hak miliki
No.6/Mulioredjo menjadi sertifikat hak miliki No 1778/Mulyorejo yang tercatat atas nama Leo
Lopulisa.

Dalam hal ini Lisa Imelda (Tergugat I), memberikan kuasa untuk menjual kepada Willy
Simanjuntak (Turut Tergugat I) sebagaimana dituangkan dalam akta otentik No 4 tanggal 17
Januari 2008 yang dibuat dihadapan Indra Tjahja Rinanti (Turut Tergugat II). Bahwa
berdasarkan akta menjual tersebut, Inda Tjahja menjual sebagian tanah bersertifikat hak milik No
1778/Mulyorejo kepada Dr.Kianto Nazar (Tergugat II), yang diperbuat dihadapan Heriyanti, SH,
Notaris/PPAT di Medan dengan menerbitkan akta perjanjian pengikatan jual beli No 20 tanggal
21 Januari 2006. Bahwa pada tanggal 29 Juli 2008 dihadapan Meilina Pangaribuan, SH,
Notaris/PPAT di Labuan Deli (Turut Tergugat IV), diperbuatlah akta jual beli No 39/2008 atas
tanah sertifikat hak milik N 1778/Mulyorejo. Bahwa atas akta jual beli No 39/ 2008 yang dibuat
dihadapan Meilina Pangaribuan (Turut Tergugat IV), maka Dr. Kianto Nazar (Tegugat II) dan
Sumady Yusuf ( Tergugat III) mengajukan permohonan balik nama kepada Badan Pertanahan
Nasional Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serang (Tergugat V) yang kemudian menerbitkan
sertifikat hak milik No 1893/Mulyorejo yang kemudian tercatat atas nama Dr. Kianto Nazar dan
Sumady Yusuf, yang dulunya adalah bagian dari sertifikat hak milik No 1778/Mulyorejo sebagai
pengganti sertifikat hak milik No 6/Mulyorejo.

5
Bahwa sisa tanah seluas 2993 m2, telah dibeli oleh Keuskupan Agung Medan (Tergugat
IV) berdasarkan akta kuasa jual No 12 tanggal 17 Januari 2008 diperbuat dihadapan Dewi Tenty
Septi Artiany, Notaris/PPAT di Jakarta (Turut Tergugat VI). Bahwa Badan Pertanahan Nasional
Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serang (Tergugat V) juga sudah membalik namakan sebagian
dari tanah bersertifikat hak milik No 1778/Mulyorejo yang dulunya bersertifikat hak milik No
6/Mulyoredjo atas nama Leo Lopulisa,yang saat ini tercatta sebagai tanah bersertifikat hak milik
No 1892/Mulyorejo atas nama Keuskupan Agung Medan (Tergugat IV).

6
BAB II

LANDASAN TEORI

Gugatan

Dalam suatu gugatan ada seorang atau lebih yang merasa bahwa haknya atau hak mereka
telah terlanggar. Akan tetapi orang yang dirasa melanggar haknya atau hak mereka itu, tidak mau
secara sukarela melakukan sesuatu yang diminta itu. Untuk penentuan siapa yang benar dan
berhak diperlukan adanya suatu putusan hakim yang mana hakim berfungsi sebagai hakim yang
mengadili dan memutus siapa diantara pihak-pihak tersebut yang benar dan siapa yang tidak
benar.

Dalam perkara permohonan tidak ada sengketa. Disini hakim hanya sekedar memberi
jasa-jasanya sebagai seorang tenaga tata usaha Negara. Hakim mengeluarkan suatu penetapan
atau yang lazim disebut dengan putusan declaratoir yaitu suatu putusan yang bersifat
menetapkan, menerangkan saja. Dalam hal ini, hakim tidak memutuskan sesuatu konflik seperti
dalam perkara gugatan. Permohonan yang banyak diajukan di muka pengadilan negeri adalah
menbgenai permohonan pengangkatan anak angkat wali, pengapu, perbaikan akta catatan sipil
dan sebagainya. 1

Kekuasaan Mutlak dan Kekuasaan Relatif

Wewenang Mutlak merupakan menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan


peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili,
dan dalam bahasa Belanda disebut dengan attributie van rechtsmacht. Selain itu, terdapat
wewenang relative yang mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan yang
serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat, dan dalam Bahasa Belanda disebut dengan
distributie van rechtsmacht. Azasnya adalah yang berwenang adalah pengadilan negeri tempat
tinggal tergugat. Azas ini disebut dengan Actor Sequitur Forum Rei. Terhadap Azas Actor
Sequitur Forum Rei, terdapat pengecualian, misalnya yang terdpat dalam pasal 118 HIR yang itu
sendiri adalah:2
1
Retnowulan Sutantio, “hukum acara perdata dalam teori dan praktek”, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hal 10.
2
Ibid, Retnowulan, hal 11-13.

7
1. Gugat diajukan pada pengadilan negeri tempat kediaman tergugat, apabila tempat tinggal
tergugat tidak diketahui.
2. Apabila tergugat terdiri dari 2 orang atau lebih, gugat diajukan pada tempat tinggal salah
seorang dari para tergugat, terserah pilihan dari penggugat, jadi penggugat yang menentukan
dimana ia akan mengajukan gugatannya.
3. Akan tetapi dalam ad 2 tadi, apabila pihak tergugat ada 2 orang yaitu yang seorang adalah
yang berhutang dan yang lain penjaminnya, maka gugat harus diajukan kepada pengadilan
negeri pihak yang berhutang.
4. Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal, gugat diajukan kepada
ketua pengadilan negeri tempat tinggal penggugat atau salah seorang dari penggugat
5. Dalam Ad 4, apabila gugatan adalah mengenai barang tetap, dapat juga diajukan kepada
ketua pengadilan negeri dimana barang tetap itu terletak.
6. Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, gugat diajukan kepada ketua
pengadilan negeri tempat tinggal yang dipilih dalam akta tersebut. Pemilihan domisili ini
hanya merupakan suatu hak istimewa yang diberikan kepada pengguagt. Apabila pihak
penggugat mau, ia dapat mengajukan gugat di tempat tinggal tergugat.

Bentuk Gugatan Tertulis dan Lisan

Dalam gugatan lisan diatur dalam pasal 120 HIR yang menegaskan bahwa, “Bilamana
penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada ketua
pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya”. Syarat formil
daripada gugatan lisan ialah tidak bisa membaca dan menulis (buta aksara). Dalam hal ini, cara
pengajuan gugatan dilakukan dengan mengajukan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri
dan menjelaskan atau menerangkan isi dan maksud gugatan. Dalam gugatan tertulis, gugatan
perdata harus dimasukkan kepada Pengadilan Negeri dengan surat permintaan yang
ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya. 3

Mediasi

3
Yahya Harahap, “hukum acara perdata”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal 48-51.

8
Surat Kuasa

Surat Gugatan

Formulasi Surat Gugatan

Yang dimaksud dengan formulasi surat gugatan adalah perumusan surat gugatan yang
dianggap memenuhi syarat formil menurut ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Maka dalam hal ini hal-hal yang harus dirumuskan dalam surat gugatan adalah:4

1. Ditujukan (Dialamatkan) kepada Pengadilan Negeri sesuai dengan Kompetensi Relatif, yang
mana harus tegas dan jelas tertulis Pengadilan Negeri yang dituju sesuai dengan pasal 118
HIR. Dalam hal surat gugatan salah alamat atau tidak sesuai dengan kompetensi relative,
maka dapat mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil sehingga dengan demikian
gugatan dinyatakan tidak dapat diterima atas alasan hakim tidak berwenang mengadili
2. Diberi Tanggal. Pencantuman tangal berguna untuk menjamin kepastian hukum atas
perbuatan dan penandatanganan surat gugatan. Dalam hal ini pada dasarnya 118 ayat (1)
HIR tidak mewajibkan pencantuman tanggal sehingga tidak dicantumkannya atau kelalaian
atas pencantuman tanggal tidak akan mengakibatkan surat gugatan mengandung syarat
formil.
3. Ditandatangani Penggugat atau kuasa, yang mana disebut sebagai syarat formil surat
gugatan.
4. Identitas Para Pihak, merupakan syarat formil keabsahan gugatan. Surat gugatan yang tidak
menyebutkan identitas para pihak, apablagi tidak menyebutkan identitas tergugat,
menyebabkan guagtan tidak sah dan dianggap tidak ada. (Identitas meliputi: Nama Lengkap;
Alamat atau tempat tinggal; penyebutan identitas lain)
5. Fundamentum Petendi, yang berarti dasar gugatan atau dasar tuntutan. Posita atau dalil
gugatan merupakan landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara. Pemeriksaan dan
4
Ibid, Yahya Harahap, hal 51-68.

9
penyelesaian tidak boleh menyimpang dari dalil gugatan sekaligus memikulkan beban wajib
bukti kepada penggugat untuk membuktikan dalil gugatan. Dalam hal ini unsur Fundamentu,
Petendi ialah dasar hukum dan dasar fakta.
6. Petitum Gugatan, yang mana supaya gugatan sah, dalam arti tidak mengandung cacat formil,
harus mencantumkan petitum gugatan yang berisi pokok tuntutan penggugat berupa
deskripsi yang jelas menyebutkan satu persatu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja
yang menjadi pokok tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada
tergugat. Petitum gugatan berisi tuntutan atau permintaan kepada pengadilan untuk
dinyatakan dan ditetapkan sebagi hak penggugat atu hukuman kepada tergugat atau kedua
belah pihak.
7. Perumusan Gugatan Asesor (Accesoir), yang mana gugatan asesor adalah gugatan tambahan
terhadap gugatan pokok. Tujuannya untuk melengkapi gugatan pokok agar kepentingan
penggugat lebih terjamin meliputi segala hal yang dibenarkan hukum dan perundang-
undangan. Dalam hal ini jenis gugatan Asesor ialah gugatan Privisi dan gugatan Tambahan.

Tata Cara dan Proses Persidangan

Dalam sidang pemeriksaan perkara, terdapat dua tahap yaitu memasukkan gugatan dan
persiapan sidang. Dalam tahapan memasukkan gugatan, agar gugatan dapat disidangkan, maka
gugatan harus diajukan kepada pengadilan yang berwenang. Dalam pengajuan gugatan, pihak
penggugat harus mendaftarkannya. Dan gugatan itu baru dapat didaftarkan apabila biaya
perkarasudah dilunasi. Setelah terdaftar, gugatan diberi nomor perkara dan kemudian diajukan
kepada ketua pengadilan. Selanjutnya, dalam tahapan persiapa sidang, setelah ketua pengadilan
menerima gugatan maka ia menunjuk hakim yang ditugaskan untuk menangani perkaratersebut.
Hakim yang bersangkutan dengan surat ketetapan menentukan hari sidang dan memanggil para
pihak agar menghadap pada hari sidang dan memanggil para pihak agar menghadap pada sidang
pengadilan negeri pada hari sidang yang telah ditetapkan dengan membawa saksi serta bukti
yang diperlukan. Setelah melakukan panggilan, jurusita harus menyerahkan relaas (risalah)
panggilan kepada hakim yang akan memeriksa perkara yang bersangkutan. Relaas merupakan
bukti bahwa tergugat telah dipanggill. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang
pemeriksaan perkara dimulai. Untuk ini dapat diikuti dengan jalannya persidangan.

10
Dalam jalannya persidangan, jumlah persidangan lebih kurang delapan (8) kali yang
terdiri dari sidang pertama sampai dengan putusan hakim.5

1. Sidang Pertama, yang mana setelah hakim ketua membuka sidang maka hakim memulai
dengan mengajukan pertanyaan kepada penggugat dan tergugat. Pada sidang pertama ini
sifatnya berupa pemeriksaan identitas para pihak dan apakah pihak sudah mengerti mengapa
mereka dipanggil untuk menghadiri sidang. Sebagai bukti identitas, para pihak menunjukkan
KTP atau apabila yang dating kuasa penggugat dan tergugat maka hakim mempersilahkan
para pihak meneliti surat kuasa khusu pihak lawan. Apabila tidak ditemukannya kekurangan
atau cacat maka sidang dilanjutkan. Selanjutnya para pihak dianggap sudah mengerti maka
hakim menghimbau agar kedua belah pihak mengadakan perdamaian, kemudian sidang
ditangguhkan.
2. Sidang Kedua (Jawaban Tergugat). Dalam hal para pihak dapat berdamai maka ada dua
kemungkinan yaitu gugatan dicabut atau mereka mengadakan perdamaian di luar atau di
muka sidang. Apabila tidak tercapai suatu perdamaian, maka sidang dilanjutkan dengan
penyerahan jawaban di pihak tergugat.
3. Sidang Ketiga (Replik). Pada sidang ini penggugat penyerahkan replik, Replik adalah
tanggapan penggugat terhadap jawaban tergugat.
4. Sidang Keempat (Duplik). Dalam sidang, tergugat menyerahkan duplik yang tanggapan
tergugat terhadap duplik penggugat.
5. Sidang Kelima (Pembuktian dari penggugat). Di sidang penggugat mengajukan bukti-bukti
yang memperkuat dalil-dalil penggugat sendiri dan yang melemahkan dalil-dalil tergugat.
Bukti yang dimaksud adalah surat-surat dan saksi-saksi.
6. Sidang Keenam (Pembuktian dari tergugat). Jalan sidang yang sama dengan sidang
pembuktian dari penggugat yang mana dalam hal ini yang mengajukan bukti-bukti dan
saksi-saksi adalah tergugat.
7. Sidang Ketujuh. Dalam sidang ini terdapat penyerahan kesimpulan. Disini kedua belah
pihak membuat kesimpulan dari hasil-hasil sidang. Isi pokok kesimpulan sudah barang tentu
yang menguntungkan para pihak.
8. Sidang Kedelapan. Yang mana berisi putusna hakim. Dalam sidang ini hakim membaca
putusan yang seharusnya dihadiri oleh para pihak. Setelah selesai membaca putusan maka
5
R Soeroso, “Praktik hukum acara perdata, tata cara dan proses persidangan”, (Jakarta: Sinar Grafika 1993), hal 39-

11
hakim mengetukkan palu tiga kali dan para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan
banding apabila tidak puas dengan putusan hakim. Pernyataan banding ini harus dilakukan
dengan jangka waktu 14 hari terhitung mulai sehari sehabis dijatuhkan putusan.

Pembuktian

Putusan

Putusan hakim merupakan suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara
yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja
yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak
mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan oleh hakim di persidangan. Akan
tetapi putusan hakim bukanlah satu-satunya bentuk untuk menyelesaikan perkara. Di samping
putusan hakim masih ada penetapan hakim. Penyelesain perkara dalam peradilan contentious
disebut putusan sedangkan penyelesaian perkara dalam peradilan voluntair disebut penetapan.

HIR tidak mengatur tentang kekuatan putusan hakim. Putusan mempunyai 3 macam
kekuatan yaitu kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial. Dalam
kekuatan mengikat, berarti mengikat kedua belah pihak (Pasal 1917 KUHPerdata). Dalam
terikatnya para pihak kepada putusan menimbulkan beberapa teori yang hendak mencoba
memberi dasar tentang kekuatan mengikat daripada putusan yaitu teori hukum materil, teori
hukum acara, teori hukum pembuktian, terikatnya para pihak pada putusan dan kekuatan hukum
yang pasti. Dalam kekuatan pembuktian berarti bahwa dengan putusan itu telah diperoleh suatu
kepastian tentang sesuatu yang mana dapat dituangkan putusan dalam bentuk tertulis yang
merupakan akta otentik. Dan dalam kekuatan eksekutorial, yang dimaksudkan untuk
menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Putusan

12
hakim mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang
ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat Negara.

Suatu putusan hakim terdiri dari 4 bagian yaitu:

1. Kepala Putusan, yang mana kepala putusan ini meberikan kekuatan eksekutorial pada
putusan. Apabila kepala putusan ini tidak dibubuhkan pada suatu putusan pengadilan, maka
hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut.
2. Identitas Para Pihak, yang mana sebagaimana suatu perkara atau gugatan itu mempunyai
sekurang-kurangnya 2 pihak, maka dalam putusan harus dimuat identitas dari para pihak
yaitu nama, umur, alamat, dan nama dari pengacaranya kalau ada.
3. Pertimbangan, yang mana dibagi menjadi 2 yaitu pertimbangan tentang duduknya perkara
atau peristiwanya dan pertimbangan tentang hukumnya. Apa yang dimuat dalam bagian
pertimbangan dari putusan adalah alasan-alasan hakim sebagai pertanggungan jawab kepada
masyarakat mengapa ia sampai mengambil putusan demikian sehingga karenanya
mempunyai nilai objektif. Alasan dan dasar putusan harus dimuat dalam pertimbangan
putusan.
4. Amar, yang merupakan jawaban terhadap petitum daripada gugatan. Dictum merupakan
tanggapan terhadap petitum. Hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan dan dilarang
menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang
dituntut. Amar atau dictum dibagi menjadi apa yang disebut dengan deklaratif dan apa yang
disebut dengan dispotif. Bagian yang disebut deklaratif merupakan penetapan daripada
hubungan hukum yang menjadi sengketa. Sedangkan bagian yang disebut disposif adalah
yang memberi hukum atau hukumannya ( yang mengabulkan atau menolak gugatan ).

Jenis-Jenis Putusan

Pada pasal 185 HIR (pasal 196 ayat 1 Rbg) membedakan antara putusan akhir dan
putusan yang bukan putusan akhir. Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri atau perkara
dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Putusan akhir ada yang bersifat menghukum,
menciptakan dan menerangkan atau menyatakan.

Sita Jaminan

13
Sita jaminan merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya
putusan pengadilan dalam perkara perdata dikemudian hari. Sebab dengan dilakukannya sita
jaminan terhadap sesuatu barang, baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak, maka
barang-barang baik barang bergerak mauipun barang tidak bergerak, maka barang tersebut
disimpan untuk jaminan dan tidak boleh dijual-belikan, dibebani maupun disewakan oleh orang
yang tersita (tergugat) kepada orang lain. (pasal 199 HIR/ 214 RBg). Sita jaminan tidak hanya
dapat dilakuakn terhadap barang-barang hak milik tergugat saja, akan tetapi juga dapat dilakukan
terhadap barang-barang hak milik penggugat yang dikuasai tergugat. Sita jaminan yang
dimaksudkan bukan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan pengadilan yang
menghukum tergugat untuk membayar sejumlah uang, tapi untuk menjamin dapay
dilaksanakannya putusan pengadilan yang menghukum tergugat untuk menyerahkan sesuatu
barang milik penggugat yang dikuasainya. Sita jaminan dapat dibedakan atas 2 macam, yaitu sita
jaminan terhadap barang milik tergugat, yang mana dilakukan untuk menjamin dapat
dilaksanaknannya putusan pengadilan yang menghukum tergugat untuk membayar sejumlah
uang kepada penggugat yaitu dengan cara menjual barang-barang milik tergugat yang disita
tersebut dan uang hasil penjualan dipergunakan untuk membayar piutang penggugat dan sita
jaminan terhadap terhadap barang milik penggugat (pemohon) sendiri yang mana untuk
menjamin dapat dilaksanakan putusan pengadilan yang menghukum tergugat untuk
menyerahkan sesuatu barang kepada penggugat, barang mana adalah milik penggugat sendiri
yang berada pada tergugat. 6

Upaya Hukum

Upaya hukum merupakan suatu tindakan dari salah satu pihak yang berperkara untuk
memohonkan pembatalan putusan-putsan yang dimintakan upaya hukum itu, karena tidak puas
atas putusan yang dimaksud. Upaya hukum dalam perkara perdata dapat dibagi atas dua, yaitu
upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Dalam upaya hukum biasa terdapat verzet yang
merupakan tergugat mengajukan perlawanan (verzet), banding yang merupakan upaya hukum
terhadap putusan akhir oleh pengadilan negeri, dan kasasi yang merupakan suatu alat hukum
yang merupakan wewenang dari Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali putusan-putusan
6
Riduan Syahrani, “Hukum acara perdata di lingkungan peradilan umum”, (Banjarmasin: Pustaka Kartini, 1988), hal
38-43.

14
pengadilan terdahulu dan ini merupakan peradilan yang terakhir. Selain itu, terdapat upaya
hukum luar biasa yang terdapat peninjauan kembali (suatu upaya untuk memeriksan atau
memerintahkan kembalu putusan pengadilan (PN,PT,MA) yang telah berkekuatan hukum tetap,
guna membatalkannya dan Derden Verzet yang merupakan suatu perlawanan terhadap putusan
yang dilakukan oleh pihak ketigam yang tadinya tidak ada sangkut-pautnya dalam perkara dan
alasannya karena putusan itu merugikan pihak ketiga.7

Eksekusi

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yanbg
kalah dalam suatu perkara. Oleh karena itu eksekusi tiada lain daripada tindakan yang
berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata. Eksekusi diatur secara efektif
pada pasal 195 sampai pasal 208 dan pasal 224 HIR atau pasal 206 sampai pasal 240 dan pasal
258 RBG. Istilah eksekusi dapat dialihkan dengan istilah pelaksanaan putusan yakni
melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak
yang kalah tidak mau menjalankannya secara sukarela. 8

1. Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap


2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela
3. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnator (penghukuman)
4. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan Negeri

BAB III

ANALISIS PUTUSAN

7
Darwan, “Strategi Menyusun dan menangani gugatan perdata”, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992), hal 199-
207.
8
Yahya Harahap, “Ruang lingkup permasalahan eksekusi bidang perdata”, ( Jakarta: PT Gramedia, 1991), hal 1-19.

15
Berdasarkan putusan No 143/Pdt.G/2013/PN.Lbp, maka putusan yang dijatuhkan oleh
Majelis Hakim kepada Tergugat-Tergugat beserta Turut-Tergugat dianggap masih terdapat
kekurangan. Dalam hal ini, bentuk putusan yang disusun oleh Panitera terdapat hal yang kurang
jelas diantaranya kurang mencantumkan nama dari dari setiap bagian putusan yang
menyebabkan kekurangan efektifan. Selain itu, kurang jelasnya identitas dari pada pembuktian
yang diberikan oleh Penggugat dalam hal ini saksi. Selain itu, kekurang jelasan perihal Putusan
Verstek yang diputuskan oleh Majelis Hakim kepada pihak yang tidak datang ke Pengadilan
ataupun juga tidak mendatangkan wakilnya. Selain itu, terdapat ketidak samaan pendapat dari
penyusun dan putusan hakim dimana penyusun menganggap bahwa eksepsi dari pihak tergugat
II dan tergugat III seharusnya dapat diterima dan disetujui karena dalam hal ini mereka berperan
sebagai pembeli yang beritikad baik yang senantiasa harus dilindungi oleh hukum. Dalam hal ini,
sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang menyebutkan bahwa pembeli tanah yang
beritikad baik harus dilindungi, yang dalam hal ini harus dilindungi oleh hukum.

Perihal Mediasi, pada halaman 19 lembar putusan, Majelis Hakim telah melakukan upaya
mediasi diantara para pihak yang diatur di dalam Perma No 1 Tahun 2008 tentang prosedur
mediasi di pengadilan dengan menunjuk Samuel Ginting, SH sebagai mediator yang merupakan
hakim pada Pengadilan Negeri Lubuk Pakam. Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa berdasarkan
laporan Mediator tanggal 5 Mei 2014, upaya perdamaian tidak berhasil sehingga oleh karena itu
pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan yang isinya tetap
dipertahankan oleh Penggugat.

Pengampuan

Pengampuan merupakan lembaga yang mengatur mengenai orang dewasa yang karena
sesuatu sebab maka dia memerlukan perlindungan, misalnya karena terganggu kesehatan akal
atau pikirannya, orang yang boros, yang tidak dapat mengurus kepentingan sendiri. Orang-orang
ini dianggap tidak dapat bertindak sendiri dan harus dilatakkan di dalam perlindungan atau
pengawasan yang disebut dengan pengampuan atau curatele. Tugas pengampu atau curator

16
adalah mengurus kepentingan mengenai harta kekayaan orang yang dibawah pengampuan.
Pengampuan di dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur di dalam Buku I, Bab XVII
yang berjudul tentang pengampuan, pasal 433 sampai dengan pasal 462 KUH Perdata. Dalam hal
ini, permohona pengampuan dapat diajukan oleh suami atau istri, keluarga sedarah dalam garis
lurus (pasal 434 ayat 1 KUHPerdata).9

Akta

Menurut A. Pitlo, akara merupakan surat-surat yang ditandatangani, dibuat untuk dipakai
sebagi bukti dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Selain
itu, menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi tandatangan, yang memuat
peristiwa-peristiwa, yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian. Dalam hal ini, akta dibedakan menjadi akta otentik dan akta
dibawah tangan. Adapun syarat yang harus dipenuhi supaya suatu surat dapat disebut akta
adalah:10

1. Surat itu harus ditandatangani


2. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau perikatan
3. Surat itu diperuntukkan sebagai alat bukti

Hukum waris

Harta warisan atau warisan merupakan kekayaan yang berupa keseluruhan aktiva dan
pasiva yang ditinggalkan pewaris dan berpindah kepada ahli waris. Keseluruhan kekayaan yang
berupa aktiva dan pasiva yang menjadi milik bersama beberapa orang ahli waris disebut dengan
boedel. Pewaris merupakan orang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta kekayaan,
sedangkan ahli waris adalah anggota keluarga prang yang meninggal dunia yang menggantukan
kedudukan pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena meninggalnya pewaris.

9
Wahyono Darmabrata, “Hukum Perdata: Asas-asas hukum orang dan keluarga”, (Jakara: Gitamajaya, 2004), hal
80-90.
10
Victor M Situmorang, “Grosse Akta dalam pembuktian dan eksekusi”, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal 24-38.

17
Perihal warisan pada umumnya, menurut Undang-undang ada dua cara untuk
mendapatkan warisan, yaitu dengan sebagai ahli waris menurut ketentuan Undang-Undang dank
arena ditunjuk dalam surat wasiat. Menurut pasal 834 KUHPerdata, seorang ahli waris berhak
untuk menuntut supaya segala apa saja yang termasuk harta peninggalan si meninggal diserahkan
padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Hak penuntutan ini menyerupai hak penuntutan
seorang pemilik suatu benda dan menurut maksudnya penuntutan itu harus ditujukan pada orang
yang menguasai satu benda warisan dengan maksud memilikinya. Oleh karena itu, penuntutan
tersebut tidak boleh ditujukan pada seorang yang hanya menjadi houder saja yaitu menguasainya
benda itu berdasarkan suatu hubunga hukum dengan si meninggal. 11

Perihal anak angkat, pengertian anak angkat menurut pasal 1 angka tiga Undang-Undang
No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak adalah anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Sedangkan berdasarkan pasal 1 dan 2
Peratuarn pemerintah RI No 54 Tahun 2007 tentang pengangkatan anak, pengangkatan anak
adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan saeorang anak dari lingkungan kekuasaan
orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
keputusan atau penetapan pengadilan.

11
Prof Subekti, “Pokok-pokok hukum perdata,” (Jakarta: PT Intermasa,2003), hal 95-96.

18

Anda mungkin juga menyukai