TESIS
Oleh
FENTY RISKA
127011079/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI TERHADAP
KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS (PERSERO) (STUDI
TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NO. 05/PAILIT/2012/PN/NIAGA.SMG)
TESIS
Oleh
FENTY RISKA
127011079/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
Judul Tesis : PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI
TERHADAP KEPAILITAN PERSEROAN
TERBATAS (PERSERO) (STUDI TERHADAP
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.
05/PAILIT/2012/PN/NIAGA.SMG)
Nama Mahasiswa : FENTY RISKA
Nomor Pokok : 127011079
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan
dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.
Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas
harta kekayaan debitur pailit oleh kurator. Debitur yang mempunyai dua atau lebih
kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya
sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Masalah yang dibahas
dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimana akibat hukum putusan pailit terhadap
Perseroan Terbatas, apakah direksi secara pribadi dapat dipailitkan sejalan dengan
kepailitan PT, bagaimana tanggung jawab direksi terhadap kepailitan PT.
Jenis penelitian tesis ini menggunakan penelitian yuridis normatif, yang bersifat
deskriptif analitis, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji
ketentuan Perundang-undangan yang berlaku di bidang hukum kepailitan dan PKPU
sebagaimana termuat di dalam Undang-Undang No.37 Tahun 2004 dan Undang-Undang
No. 40 tahun 2007 tentang PT.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa akibat hukum yang terpenting dari
pernyataan pailit adalah bahwa organ PT demi hukum kehilangan haknya untuk berbuat
bebas terhadap harta kekayaannya, begitu pula hak untuk mengurusnya. Namun PT tidak
kehilangan hak-hak dan kecakapannya untuk mengadakan persetujuan-persetujuan, akan
tetapi perbuatan-perbuatannya tersebut tidak mempunyai akibat hukum atas kekayaannya
yang tercakup dalam budel kepailitan. Direksi secara pribadi dapat dipailit oleh para
krediturnya dengan cara mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga, apabila
terdapat kesalahan direksi dalam pengambilan keputusan yang mengakibatkan terjadinya
kepailitan PT, dengan catatan PT telah terlebih dahulu dinyatakan pailit melalui suatu
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van geweijsde).
Pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Semarang yang telah memutuskan menyatakan pailit PT. Indonesia Antique adalah
karena PT Indonesia Antique terbukti di Pengadilan mempunyai dua kreditur dan tidak
mampu membayar hutang-hutangnya kepada kreditur yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih yang berjumlah dua hutang sekaligus, sehingga telah memenuhi ketentuan
sebagaimana termuat di dalam Pasal 2 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU mensyaratkan “Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur
dan tidak membayar sedikitnya satu utangnya yang telah jatuh waktunya dan dapat
dipailitkan. Disamping itu Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik
Indonesia menyatakan bahwa, Tanah-tanah yang disita dalam putusan pailit Pengadilan
Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang tersebut adalah terbukti milik/aset dari PT
Indonesia Antique yang merupakan jaminan untuk pembayaran hutang-hutang PT.
Indonesia Antique kepada para krediturnya dan oleh karena itu telah terikat ke dalam aset
budel pailit.
i
ABSTRACT
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang
mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat Ibu Prof. Dr.
Sunarmi, SH.,M.Hum, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan
Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum, selaku Komisi Pembimbing yang
telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan
penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tesis
baik berupa pengajaran, bimbingan, arahan dan bahan informasi dari semua pihak.
iii
Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Sublihar, Ph.D selaku Pejabat Rektor Universitas Sumatera Utara,
atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program
dan pengarahan serta masukan yang diberikan kepada penulis selama menuntut
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program
Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Sumatera Utara, yang telah
5. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Dosen serta segenap civitas akademis Program Studi
iv
6. Kedua orangtua tercinta, Papa Syaiful Bachrie dan Mama Henny Waty atas
segala rasa sayang dan cinta yang tidak terbatas sehingga menjadi dukungan
Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu
kita semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari
sempurna, namun tidak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat
Fenty Riska
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. DATA PRIBADI
Nama : Fenty Riska
Tempat / Tgl. Lahir : Medan, 28 April 1983
Alamat : Jl. AR. Hakim Gg. Sukmawati No. 25E Medan
20217
vi
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT .......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR......................................................................................... iiii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
DAFTAR SINGKATAN..................................................................................... ix
DAFTAR ISTILAH ASING............................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Perumusan Masalah .................................................................... 15
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 15
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 15
E. Keaslian Penelitian...................................................................... 16
F. Kerangka Teori dan Konsepsi..................................................... 18
1. Kerangka Teori .................................................................... 18
2. Kerangka Konsepsional ....................................................... 29
G. Metode Penelitian........................................................................ 32
1. Sifat dan Jenis Penelitian ..................................................... 34
2. Sumber Data......................................................................... 35
3. Teknik Pengumpulan Data................................................... 36
4. Analisis Data ........................................................................ 36
BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP
PERSEROAN TERBATAS ............................................................ 38
A. Pengertian dan Kedudukan Hukum Perseroan Terbatas ............ 38
B. Prosedur dan Persyaratan Permohonan Kepailitan ..................... 45
C. Akibat Hukum Putusan Pailit Terhadap Perseroan Terbatas ...... 58
vii
1. Akibat Hukum Putusan Pailit Terhadap Harta Kekayaan
PT ......................................................................................... 59
2. Akibat Hukum Putusan Pailit Terhadap Kepengurusan PT. 61
3. Akibat Hukum Putusan Pailit perseroan terbatas (PT)
Terhadap Pihak Ketiga ........................................................ 68
BAB III KEPAILITAN DIREKSI SECARA PRIBADI SETELAH
TERJADINYA KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS ....... 73
A. Prosedur dan Tata Cara Pengajuan Permohonan Kepailitan....... 73
B. Kedudukan, Kewenangan, Kewajiban dan
Pertanggungjawaban Direksi Sebagai Pengurus Perseroan
Terbatas Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas ...................................................................... 78
C. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kepailitan PT .................... 96
D. Kepailitan Direksi Secara Pribadi Setelah Terjadinya
Kepailitan Perseroan Terbatas .................................................... 101
BAB IV TANGGUNG JAWAB DIREKSI TERHADAP KEPAILITAN
PERSEROAN TERBATAS............................................................. 111
A. Kasus Posisi Dalam Putusan Pengadilan Niaga No.
05/Pailit/2012/PN/NIAGA.SMG Dalam Perkara Perdata
Permohonan Pernyataan Pailit antara Kreditur (Hendrianto
Muliawan dan Agung Hariyono) Melawan PT. Indonesia
Antique dan Wahyu Hanggono................................................... 111
B. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Niaga Dalam
Putusan No. 05/Pailit/2012/PN/NIAGA.SMG pada Perkara
Perdata Permohonan Pernyataan Pailit antara Kreditur
(Hendrianto Muliawan dan Agung Hariyono) Melawan PT.
Indonesia Antique dan Wahyu Hanggono .................................. 116
C. Analisis Putusan Pengadilan Niaga No.
05/Pailit/2012/PN/NIAGA.SMG dan Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. 639K Pdt.Sus-Pailit/2013......... 128
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 133
A. Kesimpulan ................................................................................ 133
B. Saran ........................................................................................... 135
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 137
viii
DAFTAR SINGKATAN
Fv : Faillissement verordening
PT : Perseroan Terbatas
ix
DAFTAR ISTILAH ASING
Disclosure : Keterbukaan
Guarantor : Penjamin
Natuuralijkpersoon : Manusia
Persoon : Orang
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar
utangnya.1
sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam hukum perdata Eropa yang tercantum
dalam Pasal-Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata).2
Pasal 1131 : “menetapkan bahwa semua harta kekayaan debitur (si berutang) baik
benda bergerak atau benda tidak bergerak baik yang ada maupun yang baru aka ada
dikemudian hari menjadi jaminan untuk semua perikatan-perikatan pribadinya”.
Pasal 1132: “menetapkan bahwa benda-benda milik debitur tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi para krediturnya (si berpiutang) dan hasil penjualan benda-benda
milik debitur itu dibagi menurut keseimbangan (proporsional) yaitu menurut besar
kecilnya tagihan kreditur masing-masing kreditur, kecuali apabila diantara kreditur
ada alasan-alasan untuk didahulukan”
kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan
1
Imran Nating,Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan
Harta Pailit, Edisi Revisi 2, Raja Grafindo, Jakarta, 2009, hal.2.
2
Sutarno,Aspek-aspek Hukum Prekreditan pada Bank, Alfabet, Bandung, 2003, hal.341.
1
2
Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasa1 ayat (1) adalah : “Debitur adalah
pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan”. Jadi berdasarkan hal tersebut dapat
4) Adanya sita dan eksekusi atas harta kekayaan pihak yang dinyatakan pailit
(debitur).
menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan
dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing. Lembaga
kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi
terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu
3
yaitu:3
Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata merupakan perwujudan adanya jaminan
hubungan kedua Pasal tersebut adalah sebagai berikut. Bahwa kekayaan debitur
(Pasal 1131) merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya (Pasal 1132) secara
bahwa : ”Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu
Dari uraian di atas, untuk bisa dinyatakan pailit, debitur harus telah memenuhi
3
Imran Nating,Op.Cit, hal.9.
4
Ibid., hal.23-26.
4
Hukum Perdata. Karena seorang debitur tidak dapat dinyatakan pailit jika ia hanya
mempunyai seorang kreditur adalah tidak ada keperluan untuk membagi asset debitur
Pasal 1 ayat (6) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan : ”Utang adalah
kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata
uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan
timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau
undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan bila tidak dipenuhi memberi
hak kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur.”
"utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih" adalah kewajiban untuk membayar
utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu
instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis
arbitrase.”
5
badan hukum. dalam tulisannya Imran Nating menyebutkan bahwa pihak yang dapat
1. Orang perorangan.
2. Harta peninggalan (warisan).
3. Perkumpulan perseroan (holding company).
4. Penjamin (guarantor).
5. Badan hukum.
6. Perkumpulan bukan badan hukum.
7. Bank.
8. Perusahaan efek.
9. Perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun, dan badan usaha milik negara
1. Debitur sendiri.
2. Permohonan satu atau lebih krediturnya
3. Pailit bisa atas permintaan untuk kepentingan umum, pengadilan wajib
memanggil debitur.
4. Bank Indonesia, bila debiturnya bank.
5. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), bila debiturnya Perusahaan Efek,
Bursa Efek, Lembaga Kliring Dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian efek
6. Menteri Keuangan, bila debiturnya Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Dana Pension, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak
dibidang kepentingan publik.
Apabila seorang debitur telah secara resmi dinyatakan pailit maka secara
5
Ibid., hal.28-36.
6
Abdul R. Saliman dkk,Hukum Bisnis Untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus, Edisi 2
Cetakan 4, Renada Media Grup, Jakarta, 2005, hal.151.
6
Akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah ia tidak boleh lagi
mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang akan
bukan hanya sebagai upaya yang bersifat reaktif semata-mata untuk menghadapi
krisis moneter yang melanda perekonomian Indonesia saat ini, tetapi juga harus
dilihat sebagai pembangunan hukum nasional dalam rangka penggantian sistem dan
pranata hukum warisan masa Kolonial Belanda menjadi hukum nasional Indonesia.
hukum yang dengan sengaja diciptakan, yang pada dasarnya mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dengan manusia. Bila manusia memiliki anggota tubuh,
Pemegang Saham. Hak dan kewajiban organ-organ perseroan ini tidak hanya diatur
7
Ibid., hal.153.
8
Sunarmi, Hukum Kepailitan, USU Press, Medan, 2009, hal. 16
7
perseroan hanya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Anggaran
Dasar.9
perjanjian, yang melakukan kegiatan usaha dengan modal tertentu, yang seluruhnya
terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-
terbatas tersebut salah satunya adalah direksi. Jabatan anggota direksi dalam
operasional dari suatu perseroan terletak di tangan direksi.10 Dalam Pasal 1 ayat (4)
UUPT disebutkan bahwa direksi adalah “organ perseroan yang bertanggung jawab
penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta
Anggaran Dasar”.
landasan bahwa tugas dan kedudukannya diperoleh berdasarkan dua prinsip yaitu
pertama kepercayaan yang diberikan perseroan kepadanya (fiduciary duty) dan kedua
9
Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum
Perusahaan,PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.53.
10
M. Udin Silalahi, Badan Hukum Organisasi Perusahaan, Jemmars, IBLAM, Jakarta, hal.
40.
8
yaitu prinsip duty of skill and care atau kemampuan dan kehati-hatian tindakan
Direksi.11
(1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang
3. Direksi Perseroan terdiri atas 1 (satu) orang anggota Direksi atau lebih.
Sebagaimana telah diketahui bahwa organ perseroan terdiri dari Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris, dan Direksi. Ketiga organ ini memiliki
tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang berbeda satu sama lainnya. Direksi adalah
merupakan salah satu organ perseroan terbatas yang memiliki tugas serta bertanggung
jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar. Direksi mempunyai fungsi dan peranan yang sangatsentral dalam
paradigma perseroan terbatas. Hal ini karena direksi yang akan menjalankan fungsi
11
Chatamarrasjid, Op.Cit., hal.71.
12
M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, Edisi
Pertama, Cet. ke-1. Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal.225.
9
maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar
Menurut teori Organisme dari Otto von Gierke sebagaimana yang dikutip oleh
Syuiling (1948),
“Direksi adalah organ atau alat perlengkapan badan hukum. Seperti halnya manusia
mempunyai organ-organ, seperti tangan, kaki, mata, telinga dan seterusnya dan
karena setiap gerakan organ-organ itu dikehendaki atau diperintahkan oleh otak
manusia, maka setiap gerakan atau aktifitas Direksi badan hukum dikehendaki atau
diperintah oleh badan hukum sendiri, sehingga Direksi adalah personifikasi dari
badan hukum itu sendiri. Sebaliknya Paul Scholten dan Bregstein (1954), langsung
mengatakan bahwa Direksi mewakili badan hukum”.13
Bertitik tolak dari pendapat ketiga ahli tersebut di atas, maka dapat
Kapan PT memperoleh status sebagai badan hukum, menurut Pasal 7 ayat (4) UUPT
perbuatan yang dilakukan untuk dan atas narna perseroan berdasarkan wewenang
yang dimilikinya. Hal ini karena perbuatan direksi dipandang sebagai perbuatan
yang bertanggungjawab terhadap perbuatan perseroan itu sendiri yang dalam hal ini
13
Nindyo Pramono,Tanggung Jawab dan Kewajiban Pengurus PT (Bank Menurut UU Nomor
40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Buletin Hukum dan Kebanksentralan, Volume 5 Nomor
3 Tahun 2007, 2007, hal.15.
10
direpresentasikan oleh direksi. Narnun, dalam beberapa hal direksi dapat pula
ini.14
wewenang yang dimilikinya. Hal ini karena perbuatan direksi dipandang sebagai
perbuatan perseroan terbatas yang merupakan subjek hukum. namun ada beberapa hal
perseroan terbatas.15
“Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena
kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar
seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi
secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak
terlunasi dari harta pailit tersebut”
Pasal 104 ayat (4) merupakan perwujudan dari asas piercing the corporate
veil dimana anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepalitan perseroan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan :
a) Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya,
b) Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh
tanggungjawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan
tujuan Perseroan.
c) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan
d) Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan”
14
M. Hadi Subhan,Op.Cit, hal.232.
15
Agus Salim Harahap,Tanggung Jawab Direksi Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas, Lex
Jurnalica, Vol.5 Nomor 3, Sekolah Tinggi Ilmu Alhikmah, Medan, www.google.com, hal.166.
11
kebangkrutan yang berujung pada kepailitan. Fenomena seperti ini sudah sejak
dahulu terjadi. Dari pengaturan ini, maka sebenarnya ada benang merah antara
tanggung jawab direksi perseroan terbatas tidak dalam pailit dan tanggungjawab
Berbagai teori tanggung jawab direksi dapat dipakai pula untuk mengukur
tanggung jawab direksi dalam hal perseroan terbatas mengalami kepailitan. Pasal 104
Ayat (2) UUPT merupakan implikasi yuridis dari sifat kolegialitas dari direksi di
mana segenap direksi bertanggung jawab secara renteng (jointly and severely).
Sehingga bagi anggota direksi yang berkehendak untuk melepaskan tanggung jawab
renteng tersebut, maka anggota direksi itu wajib membuktikan mengenai hal itu.
Aspek kolegialitas atau disebut dengan tanggung jawab secara renteng bisa
ketidakadilan in, pendapat Rudhi Prasetya sangat tepat yang menyatakan bahwa
16
Ibid, hal. 167
12
Fuady dalam M. Hadi Subhan17 menyatakan bahwa apabila suatu perseroan pailit,
maka tak sekonyong-konyong (tidak demi hukum) pihak direksi harus bertanggung
jawab secara pribadi. Agar pihak anggota direksi dapat dimintakan tanggung jawab
berikut:18
niaga salah satunya yang telah berkekuatan hukum tetap berimbas kepada tanggung
Agung Hariyono) melawan PT. Indonesia Antique dan Wahyu Hanggono. Hendrianto
Muliawan dan Agung Hariyono adalah para pemohon pailit yang telah mengajukan
surat pailitnya tertanggal 7 Mei 2012 terhadap para termohon pailit yaitu PT.
Indonesia Antique sebagai Termohon I yaitu perusahaan dan atau perseroan yang
17
M. Hadi Subhan,Op.Cit, hal.236.
18
Ibid.
13
produksi dan di bidang meuble. Dalam hal ini Termohon II yaitu Saudara Wahyu
bertindak dalam jabatannya dan juga secara pribadi telah membuat dan
sebesar Rp 55.000.000,- (lima puluh lima juta rupiah), sebagaimana dimaksud dalam
pengembalian dan atau pembayaran hutang sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah), akan dilakukan seketika pada tanggal 10 April 2010 dan oleh karenanya
dalam hal ini telah disepakati tanggal jatuh tempo pada tanggal 10 April 2010.
Pada saat utang telah jatuh tempo, pemohon I telah meminta para termohon
untuk melakukan pembayaran atas utang dimaksud, namun demikian ternyata pada
tanggal 1 jatuh tempo para termohon belum melakukan pembayaran. Pemohon I telah
mengirimkan dua surat peringatan (somatie) kepada para termohon yaitu pada tanggal
1 April 2010 (somatie I) namun tidak diindahkan oleh termohon, selanjutnya surat
peringatan (somatie II) tanggal 2 Mei 2010 namun juga tidak diindahkan oleh para
termohon. Pemohon I juga telah melakukan serangkaian upaya penagihan yang patut,
Selain memiliki utang kepada pemohon I para termohon juga memiliki utang kepada
terbukti dalam perjanjian utang piutang tertanggal 15 April 2011 yang telah
rupiah) dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2011 secara seketika. Namun pada saat
14
jatuh tempo utang yang telah diperjanjikan yaitu 15 Oktober 2011 para termohon
kepada para termohon, namun pihak para termohon belum dapat melakukan
Nopember 2011, 7 Nopember 2011 dan 4 Nopember 2011. Meskipun para termohon
telah melakukan somatie sebanyak tiga kali dari pemohon dua ternyata hingga
didaftarkannya permohonan pernyataan pailit ini para termohon juga tidak melakukan
Dari uraian kasus di atas bila dikaitkan dengan topik permasalahan penelitian
ini maka bagaimana akibat hukum putusan pailit terhadap perseroan terbatas tersebut,
apakah direksi secara pribadi dapat dipailitkan sejalan dengan kepailitan PT dan
Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini,
B. Perumusan Masalah
menjadi dasar dalam penyusunan tesis ini. Perumusan masalah dalam suatu penelitian
sangat penting keberadaannya karena akan diteliti lebih jauh lagi. Adapun pokok
permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut dalam tesis ini adalah :
2. Apakah direksi secara pribadi dapat dipailitkan sejalan dengan kepailitan PT?
C. Tujuan Penelitian
kepailitan PT
D. Manfaat Penelitian
atau tidak. Bertitik tolak dari hal tersebut maka penulis menghendaki supaya
diteliti.
penelitian yang akan datang apabila melakukan penelitian dibidang yang sama
bisnis lainnya agar dapat lebih mengetahui dan memahami akibat hukum
E. Keaslian Penelitian
berkekuatan hukum tetap ini berimbas kepada tanggung jawab direksi pada putusan
Rumusan masalah :
kepailitan?
direksi?
Terbatas”.
Rumusan masalah :
direksi?
Perumusan masalah :
PKPU?
Dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya dan secara akademis dapat
1. Kerangka Teori
Dalam hukum perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak, yaitu sesuatu
yang mempunyai hak dan kewajiban dan disebut subyek hukum. Yang dimaksud
subyek hukum disini adalah siapa yang dapat mempunyai hak dan cakap untuk
19
bertindak di dalam hukum, atau dengan kata lain siapa yang cakap menurut hukum
Sudah merupakan kenyataan pula, bahwa dalam ilmu hukum dan pergaulan
hidup manusia di dalam masyarakat telah diterima adanya subjek hukum lain
disamping manusia. Selanjutnya untuk membedakan dengan apa yang disebut orang
dalam artian yuridis, maka subjek hukum yang lain digunakan istilah Badan
Hukum.20Badan Hukum merupakan salah satu dari subjek hukum, karena selain
dalam hukum. Manusia sebagai subjek hukum sudah dimulai sejak masih dalam
kandungan dan berakhir sampai ia meninggal dunia, hal ini sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : “Anak yang ada dalam
pribadi (natuurlijk persoon) sebagai subyek hukum mempunyai hak dan mempu
pribadi sebagai pembawa hak, terdapat pula badan-badan (kumpulan manusia) yang
19
H.A.R Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional Dalam
Pusaran Kekuasaan, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 1.
20
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1975, hal.7.
21
Ibid, hal. 4.
20
oleh hukum diberi status “persoon” yang mempunyai hak dan kewajiban seperti
Badan Hukum sebagai pembawa hak dan tak berjiwa dapat berlaku
Istilah Badan Hukum sebagai subyek hukum sering disebut baik didalam
Hukum tersebut. Untuk itu dapat dilihat pengertian Badan Hukum dari pendapat para
22
Ibid, hal. 7.
23
Man .S. Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, Alumni, Bandung, 2005, hal. 128-
129.
21
b) Teori Pertanggungjawaban
menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, dan
diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi
hukum tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang
tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu
mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang
untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum
24
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005.
25
Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hal.87.
26
Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka,
Jakarta, 2010, hal 48.
22
dikenal dengan tanggung jawab risiko atau tanggung jawab mutlak (strick liabiliy).27
Prinsip dasar pertanggung jawaban atas dasar kesalahan mengandung arti bahwa
orang lain. Sebaliknya prinsip tanggung jawab risiko adalah bahwa konsumen
melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, yaitu :28
(concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah
27
Ibid. hal. 49.
28
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010,
hal. 503.
23
perbuatannya.
Istilah perbuatan melawan hukum berasal dari bahasa Belanda disebut dengan
istilah (onrechmatige daad) atau dalam bahasa inggris disebut tort. Kata (tort)
berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan dari
wanprestasi kontrak. Kata (tort) berasal dari bahasa latin (orquer) atau (tortus) dalam
bahasa Prancis, seperti kata (wrong) berasal dari bahasa Prancis (wrung) yang berarti
kesalahan atau kerugian (injury). Pada prinsipnya, tujuan dibentuknya sistem hukum
yang kemudian dikenal dengan perbutan melawan hukum tersebut adalah untuk dapat
tercapai seperti apa yang disebut oleh pribahasa latin, yaitu (juris praecepta sunt haec
honeste vivere,alterum non leadere, suum cuque tribune) artinya semboyan hukum
adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain dan memberikan orang lain
haknya.
perbuatan yang melanggar peraturan tertulis. Namun sejak tahun 1919 berdasar
Arrest HR 31 Januari 1919 dalam perkara Cohen melawan Lindenbaum, maka yang
oranglain, hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, kewajiban hukum serta kepatutan
29
Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hal. 511.
24
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut” Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, yang
dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melawan hukum
yang dilakukan oleh seorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi
orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) katgori perbuatan melawan hukum,
kelalaian).
EropaKontinental, maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut :31
30
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2010, hal. 3.
31
Ibid, hal. 3.
25
Jika dilihat dari perkembangan bisnis negara-negara maju bahwa tidak hanya
berpatokan terhadap bisnis saja akan tetapi juga harus memperhatikan rule (aturan)
yang terkait dengan dunia bisnis. Untuk memenuhi perkembangan dunia usaha serta
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang PT, maka pemerintah merasa perlu
tersebut dan terakhir diubah dengan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas yang biasa juga disebut dengan UUPT. Republik Indonesia
khususnya dalam ruang lingkup Hukum Perusahaan masih sangat dominan menganut
doktrin yang keberadaannya diakomodasi dan bersumber dari sistem Hukum negara
lain baik itu dari sistem Hukum Anglo Saxon maupun Eropa Kontinental.
tanggung jawab Direksi, yang mempunyai tanggung jawab penuh atas pengelolaan
perseroan dan tidak terhadap para pemegang saham dalam perseroan melainkan untuk
kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun
ditegaskan didalam Pasal 97 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab,
setiap tindakan Direksi yang didasari oleh itikad baik dilindungi oleh undang-undang
sepanjang perbuatan tersebut dapat dibuktikan dengan cara terhindar dari perbuatan
Permasalahan yang timbul adalah ketika keputusan bisnis yang diambil oleh
keputusan tersebut, Direksi melakukannya dengan itikad baik, yaitu adanya tuntutan
pribadi atas kerugian yang dialami oleh perseroan, yang dikarenakan tindakannya
hal ini melanggar prinsip fiduciary duty yang diamanahkan oleh perseroan kepada
terhadap Direksi yang dianggap melanggar prinsip fiduciary duty dalam perseroan ini
tagihan-tagihan kreditur maka jika harta bendanya itu tidak mencukupi untuk
memenuhi kewajiban atas semua tanggungan itu, tentu harta benda itu harus dibagi di
Pembagian harta kekayaan pailit ini dimaksudkan untuk menjamin kepentingan para
lainnya berupaya mencegah salah satu kreditur memperoleh lebih banyak dari
kreditur yang tidak jujur diperoleh dengan mewajibkan debitur mengungkap secara
penuh maupun secara priodik. Sementara itu, apabila debitur berada dalam keadaan
susah dapat ditolong maka debitur dimungkinkan untuk dapat di keluarkan secara
Hukum kepailitan dari sifatnya sebagai hukum yang memaksa dan berlaku
secara kolektif yaitu : “A Collective process in that individual creditors are not able
32
Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan.
Mandar Maju, Bandung, 1999. hal. 2.
33
Zulkarnain Sitompul, Pola Penyelesaian Utang Tantangan Bagi Pemaharuan Undang-
Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU , Makalah disampaikan dalam lokakarya
Mengenai Tantangan Perubahan Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU ,
Medan 7 Desember 2001, Kerjasama FH UI, Pascasarjana USU dan University of sout Carolina.
34
Sunarmi, Hukum Kepailitan edisi 2. PT. Soft Media. 2010. hal. 30.
28
Dalam kepailitan dan PKPU, Hakim Pengawas memiliki peranan yang sangat
penting dalam kepailitan. Peranan itu mulai berlaku setelah diucapkan putusan
Hakim Pengawas dituangkan dalam bentuk penetapan atau berita acara rapat.
Penetapan tersebut bersifat final and biding dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu,
mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit secara arif, bijaksana dan cermat.
Dalam artian tidaklah boleh merugikan salah satu pihak, apakah itu debitur atau
kreditur dalam pemberesan dan pengurusan harta pailit. Teori mengenai keadilan
sangatlah sinkron dengan penulisan tesis ini. Dengan adanya rasa keadilan yang
dikedepankan, maka Hakim Pengawas dapat menjalankan tugas tidak berat sebelah,
Teori mengenai keadilan ini menurut Aristoteles ialah perlakuan yang sama
bagi mereka yang sederajat di depan hukum, tetap menjadi urusan tatanan politik
yang sama juga dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, dalam pembuatan hukum
fungsinya sebagai pengatur kehidupan bersama manusia, oleh karena itu hukum harus
momentum yang dimiliki keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh
kepailitan adalah penyitaan umum atas harta kekayaan si pailit bagi kepentingan
kelompok.36
Hal-hal yang telah diuraijan di atas maka dapat menjawab permasalahan yang
konsep kedilan dan perlindungan yang seimbang terhadap kepentingan kreditur dan
yang bersifat konstan ini diinteraksikan dengan potensi yang dimiliki Indonesia dan
dalam hukum kepailitan baik dari segi subtansi maupun dalam praktek serta kondisi
2. Kerangka Konsepsional
penafsiran dalam tesis ini, maka berikut ini adalah definisi operasional sebagai
35
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum : Perkembangan, Metode dan Pilihan Hukum,
Universitas Muhamadyah, Surakarta. 2004. hal. 60.
36
Sunarmi, Op. Cit hal. 22.
30
a. Kepailitan adalah suatu sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang
ini secara tegas menyatakan bahwa “kepailitan adalah sita umum, bukan sita
harus memiliki 2 (dua) atau lebih kreditur. Seorang kreditur yang hanya
memiliki 1 (satu) kreditur tidak dapat dinyatakan pailit karena hal ini
melanggar prinsip sita. Apabila hanya satu kreditur maka yang berlaku adalah
c. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-
d. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan dalam atau dapat dinyatakan dalam
jumlah uang baik dalam mata uang rupiah atau asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontiniu, yang timbul karena
37
Sunarmi, Op. Cit, hal. 29
38
Pasal 1 Ayat (2) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
39
Pasal 1 Ayat (3) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
31
perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila
e. Kurator adalah balai harta peninggalan atau perseorangan yang diangkat oleh
f. Hakim Pengawas adalah hakim yang di tunjuk oleh pengadilan dalam putusan
g. Pemberesan harta pailit adalah jika dalam rapat pencocokan piutang tidak
memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam
keadaan insolven.43
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam
40
Pasal 1 Ayat (7) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
41
Pasal 1 Ayat (5) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
42
Pasal 1 Ayat (8) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
43
Pasal 178 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan.
32
peraturan pelaksanaannya.44
i. Organ perseroan adalah rapat umum pemegang saham, direksi, dan dewan
komisaris.45
kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam
maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun
pengawasan secara umum dan atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta
G. Metode Penelitian
44
Pasal 1 ayat (1) UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
45
Pasal 1 ayat (2) UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
46
Pasal 1 ayat (4) UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
47
Pasal 1 ayat (5) UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
48
Pasal 1 ayat (6) UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
33
bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memahami hukum
meneliti bahan pustaka. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan ini mencakup:
4. Perbandingan hukum.
5. Sejarah hukum.50
Penelitian hukum normatif dapat disebut juga sebagai penelitian hukum yang
meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Penelitian normatif selalu
mengambil isu dari hukum sebagai sistem norma yang digunakan untuk memberikan
peristiwa sudah benar atau salah serta bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut
hukum.
Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari
49
Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hal. 14.
50
Bambang Sunggono, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali, Jakarta, 2009, hal. 8
34
pengadilan, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan
keterkaitan peraturan.
keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan yang juga dalam penelitian
hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu
hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukumnya itu sendiri.
masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas
metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk
yang berlaku mengenai hukum kepailitan bagi perusahaan pada umumnya maupun
dewan direksi pada khususnya yang termuat di dalam Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan serta Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
51
Lukman Hadi Darmanto, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007,
hal. 9
35
Terbatas. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah dari
penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang
yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan
bersifat umum (deduktif) untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus
(induktif).
2. Sumber Data
Sumber-sumber data dalam penelitian dapat berasal dari data sekunder yang
dibedakan menjadi bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum,
52
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Normatif, UI Press, Jakarta, 2001, hal. 30
36
kamus hukum, jurnal atau surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan
4. Analisis Data
data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data. 53 Di dalam
penelitian hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya berarti kegiatan untuk
terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang
dikumpulkan baik melalui studi dokumen. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan
kalimat sendiri semua kenyataan yang terungkap dari data sehingga menghasilkan
53
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hal
106.
54
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal 25.
37
klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini,
dalam penelitian ini yaitu masalah pertanggung jawaban direksi terhadap kepailitan
perseroan terbatas.
38
BAB II
kepada setiap orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada
perusahaan tersebut. Kata “perseroan” menunjuk kepada modal yang terdiri atas sero
saham yang tidak melebihi nilai nominal saham yang diambil bagian dan dimilikinya.
dengan modal tertentu, yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
55
Habib Adjie, Status Badan Hukum, Prinsip-prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan
Terbatas, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 42
56
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010, hal. 7
38
39
Dari batasan yang diberikan tersebut ada lima hal pokok yang dapat
diketahui :
oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta Notaris yang dibuat dalam bahasa
Hukum Perdata. Perjanjian pendirian PT yang dilakukan oleh para pendiri ditulis
dalam akta Notaris yang disebut dengan “akta pendirian”. Akta pendirian pada
dasarnya mengatur berbagai macam hak-hak dan kewajiban para pihak pendiri
suatu PT disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM, sebelum PT tersebut dapat
memiliki status badan hukum, yang memiliki hak dan kewajiban dan harta kekayaan
40
sifat kemandirian.
kewajiban dan harta kekayaan pribadi para pendiri dan pemegang saham, maupun
pengurusnya. Menurut Pasal 157 ayat (3) UUPT mengatakan bahwa, “Perseroan
jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya UUPT ini wajib menyesuaikan
tersebut dapat dibubarkan oleh pengadilan. Didalam Pasal 157 ayat (4) dikatakan,
“Perseroan yang tidak menyesuaikan anggaran dasar dalam jangka waktu yang
anggaran dasar dalam jangka waktu setahun, maka secara otomatis perseroan
dinyatakan tidak mempunyai legalitas sebagai badan hukum. Sebagai badan hukum,
perseroan memenuhi unsur-unsur badan hukum seperti yang ditentukan dalam UUPT.
57
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, Rajawali Pers,
Jakarta, hal. 44
58
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 234
41
Sesuai UUPT, status badan hukum diperoleh sejak akta pendirian disahkan
oleh Menteri Kehakiman. Ini berarti secara prinsipnya pemegang saham tidak
bertanggung jawab secara pribadi atas seluruh perikatan yang dibuat oleh dan atas
nama perseroan dengan pihak ketiga, dan oleh karenanya tidak bertanggung jawab
atas setiap kerugian yang diderita oleh suatu perseroan. Para pemegang saham
tersebut hanya bertanggung jawab atas penyetoran penuh dari nilai saham yang telah
Sedikit berbeda dengan ketentuan UUPT Tahun 1999, bahwa pada saat
memiliki pemegang saham, yang dikenal hanyalah pendiri yang namanya tercantum
dalam akta pendirian PT) yang diwajibkan untuk melakukan penyetoran atas modal
yang telah dijanjiakan untuk melakukan penyetoran atas modal yang telah dijanjikan
persekutuan dengan firma diantara para pendiri dan pengurus perseroan yang
melakukan tindakan atau perbuatan hukum dengan pihak ketiga, untuk dan atas nama
42
tindakan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus dan atau pendiri PT
sebagai tindakan dan perbutan hukum PT, dan karenanya akan mengikat PT sebagai
dinyatakan pailit. Dengan pernyataan pailit, organ badan hukum tersebut akan
kehilangan hak untuk mengurus kekayaan badan hukum. Pengurusan harta kekayaan
badan hukum yang dinyatakan pailit beralih kepada kurator. Selanjutnya dalam Pasal
bahwa apabila yang dinyatakan pailit suatu PT, koperasi dan badan hukum lainnya,
kepailitan tesebut.
Sebagai badan hukum, pada prinsipnya PT dapat memiliki segala hak dan
kewajiban yang dapat dimiliki oleh setiap orang perorangan, dengan pengecualian
hal-hal yang bersifat pribadi yang hanya mungkin dilaksanakan oleh orang-
perorangan. Guna melaksanakan segala hak dan kewajiban yang dimilikinya, maka
berbeda satu dan yang lainya. Organ-organ tersebut dikenal dengan sebutan : Rapat
59
Harianto Mustari, Pertanggung Jawaban Direksi Terhadap Kepailitan Perseroan Terbatas,
Mitra Ilmu, Surabaya, 2012, hal. 16
60
Ibid, 18
43
berjalan dengan baik, dan para pemegang saham PT akan terjamin kepentingannya
dalam PT tersebut.
organ perseroan yang paling tinggi dan berkuasa untuk menentukan arah dan tujuan
PT. RUPS memiliki segala wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi dan
Komisaris PT.61
2. Direksi
Direksi merupakan badan pengurus PT yang paling tinggi, serta yang berhak
dan berwenang untuk menjalankan suatu perusahaan, bertindak untuk dan atas nama
PT, baik didalam maupun diluar pengadian. Direksi bertanggung jawab penuh atas
menjalankan tugasnya. Sedangkan Rapat umum peegang saham PT, berfungsi untuk
61
Robintan Sulaiman & Joko Prabowo, Lebih Jauh Tentang Kepailitan, Jakarta, 2000 Pusat
Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, hal. 11
44
melaksanakan secara menyeluruh atas setiap pemenuhan kewajiban dari Direksi dan
Keanggotaan Direksi dalam PT, diangkat melalui RUPS, untuk jangka waktu
yang telah ditentukan dalam anggaran dasar, serta menurut tata cara yang ditentukan
dalam anggaran dasar PT. untuk pertama kalinya sususnan keanggotaan direksi
diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan konsekuensi bahwa setiap tindakan dan
perbuatan yang dilakukan oleh direksi akan dianggap dan diperlukan sebagai
tindakan dan perbuatan PT, sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang
Selama Direksi tidak melakukan pelanggaran atas anggaran dasar PT, maka
PT yang akan menanggung semua akibat dari perbuatan direksi tersebut. Sedangkan
dan kewenangan yang diberikan kepadanya oleh anggaran dasar, tidak diakui oleh
PT, maka Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas setiap tindakannya diluar
3. Dewa Komisaris
pengertian, yaitu organ PT yang lazim dikenal dengan dewan komisaris dan anggota
dewan komisaris.
62
Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Dreksi Atas Kepailitan Perseroan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003, hal 9.
45
Direksi PT. Pada komisaris diberikan kewenangan untuk menyetujui atau tidak
Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan
tugas untuk kepentingan PT. segala kesalahan dan kelalaian oleh Komisaris dalam
pengadilan. Dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat
membayar utangnya.63
Ini berarti bahwa sebelum adanya suatu keputusan pernyataan pailit oleh
pengadilan , seorang debitur tidak dapat dinyatakan berada dalam keadaan pailit.
63
Rudy Lontoh, Penyelesaian Utang Melalui Pailit Atau Penundaan Pembayaran Utang,
Alumni, Bandung, 2001, hal. 2
46
bahwa, “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang
PKPU menyebutkan bahwa, “Kreditur adalah orang yang mempunyai hutang karena
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU
tentang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa, “Debitur pailit adalah debitur
yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan”, sedangkan Pasal 1 ayat (5)
bahwa, “Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang
diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di
Dalam setiap proses kepailitan suatu PT, pihak kreditur merupakan salah satu
pihak di samping pihak peruahaan tersebut sebagai pihak debitur. Pihak kreditur itu
1. Kreditur separatis.
3. Kreditur konkuren.64
ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari ketentuan tersebut
jelas syarat dinyatakan pailit diantaranya “debitur telah berhenti membayar utang-
utangnya”.
membayar diprediksi yang bersangkutan memang tidak memiliki dana atau tidak
dana yang bersangkutan sebenarnya ada atau cukup untuk melakukan kewajibannya,
melakukan pembayaran. 65
ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
PKPU tersebut, yang perlu diketahui adalah kepada Pengadilan Niaga mana
permohonan itu harus dialamatkan dan meliputi tempat kedudukan hukum terakhir
64
Jamin Ginting, Hukum Perseroan Terbatas (Undang-Undang No. 40 Tahun 2007), Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 65
65
Munir Fuady, Perseroan Terbatas, Paradigma Baru, Jakarta, 2003, hal. 216
48
Debitur. Dalam hal debitur adalah PT, maka yang harus mengajukan permohonan
pailit adalah direksi perusahaan tersebut, namun harus berdasarkan keputusan RUPS.
mensyaratkan “Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak
membayar sedikitnya satu utangnya yang telah jatuh waktunya dan dapat ditagih”.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa tidak ada dasar hukum dalam
peraturan hukum kepailitan untuk menolak pemohon pernyataan pailit yang diajukan
seseorang atau 2 krediturnya, dan harus diajukan oleh seseorang penasihat hukum
yang memiliki ijin praktek.66 Permohonan pailit dapat diajukan kepengadilan, dengan
atau 2 (dua) hari sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, harus telah
66
Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum
Perusahaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 118
49
(dua puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan
debitur dan berdasar alasan yang cukup, pengadilan dapat menunda penyelenggaraan
sidang sampai dengan paling lama 25 (dua puluh lima) hari terhitung sejak tanggal
sidang tertutup.
permohonan pailit, sebelum ditetapkan, maka setiap kreditur atau kejaksaan dapat
1. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur, atau
kurator.67
dan PKPU, salah satu syarat yang harus dipenuhi ialah debitur harus mempunyai dua
Kepailitan merupakan pelaksanaan dari Pasal 1132 KUH Perdata. Alasan mengapa
seseorang debitur tidak dapat dinyatakan pailit jika ia hanya mempunyai seorang
kreditur adalah bahwa tidak ada keperluan untuk membagi asset debitur diantara para
kreditur. Kreditur berhak dalam perkara ini atas semua asset debitur (PT).
Jika debitur hanya memiliki satu kreditur, maka seluruh harta kekayaan yang
dinyatakan pailit menjadi jaminan atas pelunasan utang debitur (PT) tersebut dan
tidak diperlukan pembagian secara pari passu pro rata parte, dan terhadap debitur
tidak dapat dituntut pailit karena hanya mempunyai satu kreditur. Walaupun banyak
ditempuh, tetapi gugatan biasa, dengan atau tanpa sitaan serta eksekusi biasa yang
piutang/tagihan yang dipunyai satu kreditur terhadap satu Debitur, tetapi berapa
banyak jumlah kreditur dari debitur yang bersangkutan. Ketentuan mengenai adanya
syarat dua kreditur atau lebih kreditur di dalam permohonan pernyataan pailit, maka
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tidak memberikan
defenisi yang jelas mengenai kreditur. Pengertian kreditur dapat dilihat dari
PKPU yaitu yang dimaksud dengan kreditur dalam ayat ini adalah baik kreditur
pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta
debitur dan haknya untuk didahulukan. Bilamana terdapat sindikasi kreditur maka
separatis dan kreditur peferen dapat tampil sebagai kreditur konkuren tanpa harus
melepaskan hak-hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas
piutangnya, tetapi bahwa benda yang menjadi agunan tidak cukup untuk melunasi
Syarat lain yang harus dipenuhi bagi seorang pemohon pernyataan pailit ialah
dimaksud dengan utang. Dengan demikian, para pihak yang terkait dengan suatu
permohonan pailit dapat berselisih mengenai ada atau tidak adanya utang.
berkaitan dengan utang debitur (debt) atau piutang atau tagihan kreditur (claims).
Seorang kreditur mungkin saja memiliki lebih dari satu piutang atau tagihan yang
69
Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti
ndang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 TentangPerubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan.
Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 23
52
PKPU menentukan, “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih,
Menurut Pasal 1233 dan 1234 KUH Perdata menyatakan bahwa utang adalah
kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam
mata uang Indonesia ataupun mata uang asing, baik secara langsung ataupun yang
akan timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh
debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat
penyelesaian masalah utang piutang secara cepat, adil, terbuka dan efektif.Undang-
Undang Kepailitan telah mengatur tata cara pengurusan tagihan, tetapi dalam praktek
banyak ditemui berbagai kesulitan. Syarat lain untuk mengajukan perkara kepailitan
adalah adanya utang yang jatuh tempo yang dapat ditagih yang jatuh tempo yang
suatu utang akan dibuktikan oleh kreditur bahwa debitur mempunyai utang yang
dapat ditagih karena sudah jatuh tempo ataupun karena dimungkinkan oleh
70
Widjanarko, Dampak Implementasi Undang-Undang Kepailitan Terhadap Sektor
Perbankan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 8, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999,
hal. 73.
53
mengenai apa yang dimaksud dengan ”utang”. Menurut Perpu No 1 Tahun 1998,
defenisi atau pengertian mengenai utang sesuai dengan Pasal 1 angka 6.71
dan PKPU dijabarkan bahwa yang dimaksud dengan utang dalam hukum kepailitan
adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik
dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun
yang akan timbul dikemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau Undang-
Undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak
tidak diatur tentang pengertian utang. Tetapi penjelasan Pasal 1 ayat 1 Undang-
Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU hanya menyebutkan bahwa
utang yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini,
pernyataan kepailitan dikabulkan apabila debitur mempunyai dua kreditur dan tidak
membayar membayar lunas sedikitnya satu utang yang teah jatuh waktu dan dapat
71
Parwoto Wignjo Sumarto, Hukum Kepailitan Selayang Pandang, PT. Tatanusa, Jakarta,
2003, hal. 168
54
ditagih. Dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan sendiri
Di samping prinsip utang menganut konsep utang dalam arti luas, utang yang
Dengan jangka waktu yang sudah diperjanjikan atau terdapat hal-hal lain di
mana utang tersebut dapat ditagih sekalipun belum jatuh tempo. Utang yang belum
jatuh tempo dapat ditagih dengan menggunakan acceleration clause atau accelaration
provision”. Suatu utang dapat ditagih jika utang tersebut bukan utang yang timbul
dari perikatan alami. Perikatan yang pemenuhannya tidak dapat dituntut di muka
pengadilan dan yang lazimnya disebut perikatan alami (natuurlijke verbintenis) tidak
merupakan utang yang tidak dibayar lunas adalah untuk memastikan bahwa utang
yang telah dibayar akan tetapi belum melunasi kewajiban maka utang tersebut bisa
dijadikan dasar untuk mengajukan kepailitan. Penegasan ini karena sering terjadi
akal-akalan dari debitur yakni debitur tetap melakukan pembayaran akan tetapi
besarnya angsuran pembayaran tersebut masih jauh dari yang seharusnya. Hal ini
berhenti membayar utang dan jika debitur masih membayar utang walaupun hanya
sebagian dan masih jauh kata lunas, maka hal itu tidak dapat dikatakan debitur telah
berhenti membayar.
Dalam acara proses kepailitan prinsip utang tersebut sangat menentukan, oleh
karena tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara kepailitan akan bisa diperiksa.
Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 dimana utang didefenisikan dalam arti luas yang
berarti telah pararel dengan konsep KUH Perdata, akan tetapi perubahan konsep
utang ini menjadi terdistorsi ketika dikaitkan dengan hakikat kepailitan dalam
Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang hanya bertujuan
memiliki dua variabel, yakni adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih
dengan konsep utang dalam arti luas tersebut, dan kelemahan UU ini sering disalah
distribusi asset debitur akan tetapi digunakan sebagai alat untuk menagih utang atau
bahkan untuk mengancam subjek hukum kendatipun tidak berkaitan dengan utang.
Suatu utang telah jatuh tempo dan harus dibayar jika utang tersebut telah
jatuh tempo atau sudah waktunya untuk dibayar. Dalam perjanjian biasanya diatur
kapan suatu utang harus dibayar. Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang
56
pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut
tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada kreditur
dan PKPU menyebutkan syarat untuk dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan
yaitu :
Syarat yang ada pada poin ketiga, menunjukan bahwa adanya utang yang
telah jatuh tempo dan dapat ditagih menunjukan bahwa kreditur sudah mempunyai
hak untuk menuntut deditur untuk memenuhi prestasinya. Suatu utang dikatakan
sebagai utang yang telah jatuh waktu atau utang yang expired, yaitu utang dengan
sendirinya menjadi utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Penagihan disini
diartikan suatu pemberitahuan oleh pihak Kreditur bahwa pihak Kreditur ingin
supaya Debitur melaksanakan janjinya, yaitu dengan segera atau pada suatu waktu
yang disebut dalam pemberitahuan itu. Menurut Jono, ”hak ini menunjukan adanya
utang yang harus lahir dari perikatan sempurna yaitu adanya schuld dan haftung
Ketentuan adanya syarat utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih suatu
utang dikatakan sebagai utang yang telah jatuh tempo yaitu utang yang dengan
57
sendirinya menjadi utang yang telah dapat ditagih. Sedangkan utang yang telah dapat
atau penerimaan sesuatu dengan yang ditetapkan sudah lewat waktu atau kadaluarsa.
Pengaturan suau utang jatuh tempo dan dapat ditagih dan juga wanprestasi dari salah
satu pihak dapat mempercepat jatuh tempo utang yang diatur didalam perjanjian.
Ketika terjadi jatuh tempo utang telah diatur pembayarannya, maka pembayaran
utang dapat dipercepat dan menjadi jatuh tempo dan dapat ditagih seketika itu juga
c. Debitur tidak membayar utangnya ketika debitur tidak membayar seketika dan
72
M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prisip Norma Dan Praktek Di Pengadilan. Surabaya
2007, hal. 47
73
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002, hal. 71
58
Kepailitan dan PKPU, kreditur yang piutangnya dijaminkan dengan hak tanggungan,
gadai ataupun hak agunan atas kebendaan lainnya dan dapat membuktikan bahwa
sebagian piutangnya tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil
penjualan barang agunan, dapat meminta hak-hak yang dimiliki kreditur konkuren
atas bagian piutangnya tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas barang
Akibat yang terpenting dari pernyataan pailit adalah bahwa organ PT demi
hukum kehilangan haknya untuk berbuat bebas terhadap harta kekayaannya, begitu
pula hak untuk mengurusnya. Ia tidak boleh lagi melakukan kepengurusan PT dengan
untuk merugikan para Kreditur, ia dapat dituntut pidana. Jadi dapat ditarik
keuntungan bagi budel pailit. Sejak putusan pernyataan pailit diucapkan oleh
59
kurator.
sebagai kreditur dalam suatu kepailitan debiturnya, maka oleh hukum hal ini
dianggap hanya sebagai salah satu cara menagih hutang dari debiturnya. Sehingga
tidak banyak berpengaruh dari segi hukum kepada kreditur yang nota bene suatu
perusahaan terbuka.74
Akan tetapi jika yang dipailitkan suatu perusahaan terbuka, maka beberapa
3. Terkena ketentuan tentantang suspensi dan delisting dari bursa efek dimana
Kepailitan mengakibatkan seluruh benda berada dalam sitaan umum sejak saat
digunakan.
74
Munir Fuady, Hukum Kepailitan 1998 Dalam Teori Dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999, hal. 90
60
penggajian dari sesuatu jasa, gaji ataupun dana pensiun, sejauh yang ditentukan
c. Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberi
Didalam Pasal 1 ayat (1) UUPT menegaskan bahwa perseroan terbatas adalah
badan hukum. Dengan statusnya sebagai badan hukum maka berarti perseroan
tersendiri terpisah dari harta kekayaan para pendirinya, pemegang saham, dan para
pengurusnya.
Kepailitan dan PKPU, kepailitan meliputi seluruh kekayaan PT pada saat putusan
pailit ditetapkan dan juga mencakup semua kekayaan yang diperoleh PT selama
berlangsungnya kepailitan. Dari konsekuensi Pasal tersebut maka setiap dan seluruh
peserikatan antara debitur (PT) yang dinyatakan pailit oleh pihak ketiga yang
dilakukan sesudah pernyataan pailit tidak akan dan tidak dapat dibayar dari harta
kekayaan itu.
Oleh karena itu maka gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk
memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit. Dalam hal debitur pailit hanya
dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk pencocokan. Apabila pencocokan tidak
61
disetujui, maka pihak yang tidak setuju pencocokan tersebut dapat mengambil alih
kedudukan debitur pailit dalam gugatan yang sedang berlangsung ersebut. Meskipun
gugatan tersebut hanya memberikan akibat hukum dari pencocokan tersebut, namun
hal itu sudah cukup dapat dijadikan sebagai salah satu bukti yang dapat mecegah
Pernyataan pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU). Tuntutan mengenai hak atau kewajiban
yang menyangkut harta pailit harus diajukan kepada kurator. Maka apabila tuntutan
tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap PT pailit, penghukuman tersebut
untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukan ke dalam harta
pailit.Hal ini menunjukan bahwa debitur tidaklah dibawah pengampuan dan tidak
kecuali apabila perbuatan hukum itu menyangkut perusahaan dan pengalihan harta
Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia baik
62
usahanya jika dibandingkan dengan PT tidak dalam keadaan pailit, yakni organ-organ
pengurus dalam melakukan kegiatan untuk dan atas nama PT adalah kurator.75
direksi dalam pengurusan PT selama masih dalam kepailitan. Banyak pendapat yang
mengatakan bahwa dengan pailitnya PT, maka kewenangan Direksi saja yang beralih
kepada kurator. Proposisi ini misalnya kewenangan kurator untuk Melakukan Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) dan tanpa persetujuan komisaris. Hal ini berarti
perseroan maka konsekuensi dari hal itu adalah bahwa kurator adalah juga bertindak
sebagai direksi sehingga tugas dan kewajiban serta tanggung jawab direksi perseroan
menjadi tugas dan tanggung jawab kurator.76 Setelah kurator menentukan pilihannya
di dalam memaksimalkan nilai harta pailit, baik dengan cara menjualnya maupun
dengan cara melanjutkan usaha debitur pailit, maka hal yang selanjutnya dilakukan
75
Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, Rajawali Pers,
Jakarta, hal. 65
76
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum & Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas,
Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 6
63
Pada prinsipnya, aset baru akan dibagi-bagi kepada kreditur setelah seluruh
aset debitur terjual dan menjadi cash, yaitu apabila cash (uang tunai) sudah cukup
bahwa setelah melakukan pencocokan utang, maka dibayarkan jumah utang mereka
atau segera setelah daftar pembagian penutup memperoleh hukum tetap, maka
berakhirlah kepailitan.
Badan hukum itu bukan makhluk hidup sebagaimana halnya manusia. Badan
hukum tidak mempunyai daya pikir dan kehendak. Oleh karena itu PT tidak dapat
perantaraan orang-orang biasa, akan tetapi orang yang bertindak itu tidak bertindak
untuk dirinya melainkan untuk dan atas pertanggungan gugat badan hukum.77
tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan, dalam hal kepailitan PT terjadi karena
kesalahan atau kelalaian direksi,78 dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk
menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi secara
77
Ali Rido, Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan
Koperasi, Yayasan Wakap, Alumni, Bandung, 2010, hal. 17
78
Ibid, hal. 35
64
yang esensial adalah apakah Perseroan Terbatas tersebut tetap dapat beroperasi atau
demi hukum akan bubar. Dalam kepailitan badan hukum Perseroan Terbatas,
beroperasi atau tidaknya perseroan setelah putusan pailit dibacakan tergantung pada
cara pandang kurator terhadap prospek usaha perseroan pada waktu yang akan
datang. Hal ini dimungkinkan karena berdasar ketentuan di dalam Pasal 104 Undang-
menyebabkan terhentinya operasional PT. Akan tetapi dalam hal perusahaan yang
dilanjutkan ternyata tidak berprospek dengan baik, maka hakim pengawas akan
Kreditur. Setelah perseroan tersebut dihentikan, maka Kurator mulai menjual aktiva
Akan tetapi Pasal tersebut di atas tidak berlaku apabila di dalam rapat
pencocokan piutang tidak ditawarkan perdamaian atau jika rencana perdamaian yang
ditawarkan tidak diterima atau pengesahan perdamaian ditolak sehingga demi hukum
harga pailit berada dalam keadaan insolvensi. Dengan demikian eksistensi PT yang
Eksistensi yuridis dari PT yang telah dipailitkan adalah masih tetap ada eksistensi
65
badan hukummnya. Dengan dinyatakan pailit tidak mutatis mutandis badan hukum
PT menjadi tidak ada. Suatu argumentasi yuridis mengenai roposisi ini setidaknya
ada dua landasan, yang pertama kepailitan terhadap PT tidak mesti berakhir dengan
likuidasi dan pembubaran badan PT. kedua adalah proses kepailitan PT, maka PT
tersebut masih dapat melakukan transaksi hukum terhadap pihak kedua, di mana
Didalam PT yang dalam status insolvensi masih eksis badan hukumnya, hanya
saja PT dalam likuidasi tidak boleh menjalankan bisnis baru melainkan hanya
dan likuidasi tersebut dan tidak bisa melakukan kegiatan diluar tugasnya. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 119 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa dalam hal
karena kesalahan atau kelalaian Direksi, maka setiap anggota Direksi secara tanggung
renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut (Direksi bertanggung jawab yang
pemilikan harta kekayaan PT yang pailit. Mengenai peran direksi dalam PT pailit,
66
Fred B.G Tumbuan mengatakan bahwa dalam mencermati tugas antara direksi PT
a. Tanggung jawab itu hanya timbul jika perusahaan itu melalui prosedur
kepailitan;
c. Tanggung jawab itu bersifat residual, artinya tanggung jawab itu timbul jika
d. Tanggung jawab itu secara renteng artinya walaupun hanya seorang direktur
Jadi Jadi dalam hal badan usaha yang berbentuk badan hukum sebagai pelaku
usaha jatuh pailit, maka seluruh kekayaan badan usaha tersebut yang menjadi
tersebut akibat kesalahan atau kelalaian direksi, maka secara tanggung renteng setiap
anggota direksi ikut bertanggung jawab secara pribadi terhadap kerugian badan usaha
jika nanti aset perusahaan tidak cukup untuk membayar tagihan-tagihan Kreditur.
perseroan yang diserahkan kepada direksi dan komisaris dalam menjalankan tugasnya
kekuasaan tertinggi, tidak berarti ia lebih tinggi dari organ lainnya. Untuk bisa
mengukur tanggung jawab dari pemegang saham, harus dilihat apa kewenangan yang
67
saham menggunakan konsep residu (teori sisa) yakni bahwa wewenang pemegang
saham adalah RUPS mempunyai segala wewenang yang tidak diberikan kepada
a. Pemegang saham hanya bertanggung jawab pada saham yang dimiliki dan tidak
b. Pemegang saham akan dituntut bila, karena itikad buruk baik langsug maupun
d. Pemegang saham baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum
Dagang (KUHD) yang tidak mengharuskan adanya lembaga komisaris ini, walaupun
PT itu sendiri. Hal ini berbeda dengan konsep yang lama yang terdapat dalam KUHD
ayat (1) UUPT secara tegas menyebutkan bahwa komisaris wajib dengan itikad baik
dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan untuk kepentingan usaha
PT.
kepada direksi. Dalam anggaran dasar PT juga sering menyatakan hal yang sama
mengenai tugas komisaris. UUPT tidak mengatur lebih lanjut bagaimana cara
pengawasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh atasan untuk melakukan
penilaian terhadap hasil pekerjaan bawahan yang harus seuai dengan yang ditetapkan
sebelumnya.
layaknya direksi PT, maka seluruh hubungan hukum direksi perseroan berlaku juga
bagi diri komisaris tersebut, termasuk pula pertanggung jawaban secara pribadi.79
79
Moenaf. H. Regar, Dewan Komisaris Peranannya Sebagai Organ Perseroan, Bumi Aksara,
Jakarta, 2000, hal. 64
69
yang masing-masing mempunyai klaim atas asset-aset dan penghasilan debitur pailit.
Bagi para kreditur yang tidak memegang jaminan, adanya kepailitan dapat
memberikan manfaat berupa pengurangan biaya bagi para kreditur pada umumnya
dapat mengurangi biaya yang mungkin timbul seandainya penagihan diadakan secara
manfaat yang timbul dari kepailitan. Bagi kreditur preferen, kepailitan dapat
kreditur terutama bagi kreditur lain yang mempunyai tagihan besar khususnya
utang debitur pada mereka tidak dapat ditagih karena asset debitur tidak seimbang
dengan jumlahnya. Berbeda dengan perbuatan hukum yang dilakukan debitur dengan
pihak ketiga dalam jangka waktu lebih dari 1 tahun sebelum putusan pailit , dimana
dahulu, meskipun terhadap putusan pailit dan dilakukan suatu upaya hukum lebih
lanjut. Apabila putusan paiit dibatalkan sebagai akibat adanya upaya hukum tersebut,
segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator
bagi debitur.
2. Sitaan Umum
Harta kekayaan debitur yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum
kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu
Sita umum terhadap harta kepailitan tidak memerlukan suatu tindakan khusus
untuk melakukan sitaan tersebut. Dengan adanya sitaan umum tersebut, maka harta
pailit dalam status dihentikan dari segala transaksi dan perbuatan hukum lainnya
sampai harta pailit tersebut diurus oleh kurator. Dalam sitaan hukum perdata yang
secara khusus dilakukan dengan suatu tindakan hukum tertentu. Dengan demikian
Debitur pailit demi hukum kehilangan haknya untuk mengurus dan melakukan
Kehilangan hak bebasnya tersebut hanya terbatas pada harta kekayaan dan tidak
71
terhadap status pribadinya. Debitur yang dalam status pailit, tidak hilang hak-hak
keperdataannya serta hak-hak selaku warga negara seperti hak politik dan hak privat
lainnya.
Segala perikatan debitur yang telah mendapatkan putusan pailit tidak dapat
dibayar dari harta pailit. Apabila dilanggar oleh yang pailit, maka perbuatan tidak
Ketentuan ini sering sekali diselundupi dengan membuat perikatan yang di-
pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum
kepailitan, harus diberhentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang
Semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan
merupakan konsekuensi dari adanya akibat sitaan umum. Dengan adanya sitaan
umum tersebut maka segala sesuatu yang berhubungan dengan harta kekayaan/harta
pailit harus dihentikan sementara demi hukum dari semua transaksi yang ada.
72
Pekerja yang bekerja pada debitur dapat memutuskan hubungan bekerja dan
Ketentuan ini tidak sejalan dengan ketentuan hukum perburuhan yang ada. Ini
tidak memiliki konsep pemutusan hubungan kerja (PHK) yang komperhensif. Ketidak
komperhensif konsep PHK dalam UU ini adalah tidak membedakan PHK demi
BAB III
Proses permohonan dan putusan pernyataan pailit diatur dalam Pasal 6 sampai
Pasal 6 ayat (3) UUK mewajibkan panitera untuk menolak pendafataran permohonan
pernyataan pailit bagi instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat
Debitur adalah perusahaan bukan bank yang bukan perusahaan efek, yang
a. Debitur
c. Kejaksaan
Indonesia.
BAPEPAM
73
74
harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktek.
yang diajukan oleh debitur sendiri yang berbentuk hukum, PT terdapat dalam
ketentuan Pasal 104 ayat (1) UU No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
atas perseroan sendiri kepada pengadilan niaga sebelum mendapat persetujuan RUPS,
debitur agar menyampaikan putusan RUPS yang dimaksud. Pengadilan niaga wajib
Menurut ketentuan Pasal 69 ayat (3) UUPT yang lama, debitur adalah suatu
memang tidak mewajibkan bagi hakim untuk memanggil atau meminta persetujuan
atau sekurang-kurangnya mendengar pendapat para Kreditur yang lain (dalam hal
PKPU tidak melarang apabila hakim memanggil para Kreditur yang lain untuk
kepailitan.
memutuskan permohonan pernyataan pailit , baik yang diajukan oleh Debitur (PT),
oleh seorang atau lebih Kreditur, atau oleh Kejaksaan demi kepentingan umum,
terlebih dahulu memanggil dan meminta pendapat para Kreditur, terutama para
Kreditur yang menguasai sebagian besar jumlah utang Debitur yang bersangkutan.
Sikap hakim yang demikian ini sejalan dengan ketentuan Pasal 244 Undang-Undang
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU mengenai hak Debitur untuk memohon
dan PKPU dicabut dan memberikan keputusannya, hakim yang bersangkutan harus
maupun oleh pihak ketiga diluar debitur harus diajukan melalui pengacara yang
memiliki ijin di pengadilan. Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1) bahwa setiap
81
E. Suherman, Faillissement (Kepailitan), Binacipta, Bandung, 2010, hal. 17.
76
dan memutuskan perkara pada tingkat pertama dengan hakim majelis. Selama
putusan atas permohonan pernyataan pailit belum ditetapkan, setiap kreditur atau
sehingga hanya upaya hukum kasasi yang dapat diajukan oleh pihak yang keberatan
atau tidak puas dengan putusan peradilan tingkat pertama (Pengadilan Niaga).
Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan oleh pengadilan, debitur
yang dinyatakan pailit tidak lagi diperkenankan untuk melakukan pengurusan atas
termasuk dalam harta pailit. Untuk mengurus harta pailit tersebut, menurut Pasal 15
Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, tugas kurator dalam
diterima.
penetapan surat-surat tersebut kepada kreditur yang dikenal dan mengiklankan dalam
surat kabar yang termaksud dalam Pasal 13 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU. Segala tagihan yang ada harus dimasukan kepada kurator
dengan memasukan suatu perhitungan yang menunjukan sifat dan jumlah piutang
dimasukan dengan catatan dan keterangan-keterangan yang ada pada debitur yang
dinyatakan pailit. Setelah itu kurator memilah-milah antara piutang yang disetujui dan
harta pailit. Selanjutnya pelaksanaan pemberesan atas harta pailit diserahkan oleh
78
kurator yang diangkat oleh pengadilan, dengan diawasi oleh seorang hakim pengawas
pernyataan pailit tersebut. Pemberesan yang dilakukan oleh kurator bersifat seketika,
dan berlaku saat itu pula terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, meskipun
Setelah berakhirnya kepailitan, menurut Pasal 166 dan Pasal 202 Undang-
Pembayaran Utang (PKPU), demikian juga hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 207,
permohonan debitur, kecuali jika pada surat permohonan tersebut dilampirkan bukti
memuaskan.
Pengaturan mengenai direksi diatur dalam Bab VII dari Pasal 92 sampai
dengan Pasal 107 UUPT No. 40 Tahun 2007. Tidak ada suatu rumusan yang jelas dan
pasti mengenai kedudukan direksi dalam suatu PT. Direksi merupakan badan
pengurus perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk
dalamnya terdiri dari satu atau lebih anggota yang dikenal dengan sebutan Direktur.
79
Dalam hal perseroan memiliki lebih dari satu anggota direktur disebut dewan direksi,
maka salah satu anggota direksi tersebut diangkat sebagai Direktur Utama (Presiden
Direktur).82
melakukan kegiatan perseroan dan mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar
Pengadilan. Dengan kata lain, direksi mempunyai ruang lingkup tugas sebagai
pengurus perseroan. Pengangkatan direksi dilakukan oleh RUPS, akan tetapi untuk
anggota direksi di dalam akta pendiriannya. Beberapa Pakar dan Ilmuwan hukum
merumuskan kedudukan direksi dalam perseroan sebagai gabungan dari dua macam
persetujuan/perjanjian, yaitu :
sepanjang kedua hubungan hukum tersebut dapat diterapkan secara konsisten dan
sejalan. Dalam hubungan hukum yang dirumuskan untuk direksi di atas di satu sisi,
direksi sebagai penerima kuasa dari perseroan untuk menjalankan perseroan sesuai
digariskan dalam anggaran dasar perseroan, dan di sisi lain di perlakukan sebagai
82
Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Persekutuan Perdata Persekutuan
Firma dan Persekutuan Komanditer, Alumni, Bandung, 2010, hal. 35
83
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1999, hal. 97.
80
perburuhan yang mana berarti direksi tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu
perseroan.
ayat (3) adalah : “Yang dapat diangkat menjadi anggota direksi adalah orang
dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan
bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, atau orang yang pernah
dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dalam
Seperti tersebut di atas bahwa tugas direksi adalah mengurus perseroan seperti
tersebut di dalam penjelasan resmi dari Pasal 79 ayat (1) UUPT yang meliputi
secara rinci seperti apakah pengurusan yang dimaksud. Dalam hukum di Negeri
perbuatan yang rutin yang dinamakan sebagai daden van beheren84akan tetapi tugas
tersebut dapat dilihat di dalam anggaran dasar yang umumnya berkisar pada hal :85
4. Dalam hal berhubungan dengan pihak ke-3, baik secara bersama-sama atau
diamanatkan oleh UUPT No. 40 Tahun 2007 sangatlah luas dan menunjukkan ciri
suatu sistem. Sistem yang digunakan untuk menunjukkan pengertian skema atau
metode pengaturan organisasi atau susunan sesuatu metode tata cara. 86 Mengenai
adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam undang-
perbuatan pemilikan harta kekayaan perseroan pailit. Agar direksi sebagai organ
untuk mencapai hasil yang optimal dalam mengurus perseroan. Dari kewenangan
yang diberikan, ia perlu diberi tanggung jawab untuk mengurus perseroan. Hal ini
tanggung jawab.
Apa yang dimaksud dengan tanggung jawab itu. Tanggung jawab adalah
berlangsung terus atau dapat berhenti apabila tugas tertentu yang dibebankan
dan tanggung jawab seorang direksi harus mempunyai tingkatan yang sama. Dengan
tugasnya yang telah ditetapkan dan tanggung jawab dalam bidang tugasnya tersebut
87
Tatang M. Amirin, Pokok-pokok Teori Sistem, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1996, hal.
7.
83
Jadi dalam perseroan, tanggung jawab direksi timbul apabila direksi yang
dengan maksud dan tujuan perseroan, maka idealnya wewenang itu dapat
tersebut, direksi tersebut ikut bertanggung jawab secara pribadi. Jika perusahaan yang
bersangkutan kemudian jatuh pailit, beban tanggung jawab tidak cukup ditampung
oleh harta perusahaan (harta pailit), maka direksi pun ikut bertanggung jawab secara
renteng.88
untuk mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar Pengadilan untuk dan atas
nama perseroan kewenangan ini ditegaskan pada Pasal 1 angka (5) dan Pasal 99 ayat
bersyarat. Artinya dalam hal bertindak untuk perseroan direksi tidak perlu
88
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1994, hal. 93.
84
mendapatkan kuasa dari perseroan sebab kuasa yang dimilikinya atas nama
perseroan adalah kewenangan yang melekat secara inherent pada diri dan
berkenaan dengan ini dalam Pasal 98 ayat (2) yaitu apabila anggota direksi terdiri
dari lebih dari 1 (satu) orang, maka setiap anggota direksi itu berwenang mewakili
perseroan.
bersangkutan;
perseroan.
UUPT kewajiban direksi itu dapat kita lihat di dalam Pasal 100 ayat (1) yang
a. Membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS dan risalah
rapat direksi;
Perusahaan;
85
lainnya.
Selanjutnya Pasal 101 ayat (1) menentukan anggota direksi wajib melaporkan
kepada PT mengenai saham yang dimilikinya dan/atau keluarganya dan PT lain untuk
selanjutnya dicatat dalam daftar khusus, anggota direksi yang tidak melaksanakan
secara pribadi atas kerugian PT. Kemudian kewajiban direksi yang lain adalah
sebagaimana diatur di dalam Pasal 102 adalah direksi wajib meminta persetujuan
RUPS untuk :
b. Menjadikan jaminan utang kekayaan perseroan, yang merupakan lebih dari 50%
jumlah kekayaan bersih perseroan dalam satu transaksi atau lebih, baik yang
Pasal 66 UUPT No. 40 Tahun 2007. Direksi wajib membuat dan menyampaikan
laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh Dewan Komisaris dalam jangka
waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku perseroan berakhir. Anggota
direksi diangkat oleh RUPS untuk mengurus perseroan. Dalam tugasnya melakukan
Kewajiban tersebut ditegaskan dalam Pasal 85 ayat 1 UUPT, bahwa setiap anggota
direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk
anggota direksi dalam praktik dan doktrin hukum, memiliki jangkauan yang luas,
2. Wajib melaksanakan pengurusan untuk tujuan yang wajar (duty to act for a
proper purpose)
a. Kewajiban untuk tidak mempergunakan uang dan kekayaan (money and property)
kepentingan pribadi.
Demikian luas jangkauan atau ruang lingkup makna dan aspek itikad baik
untuk bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan
tujuan perseroan, serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar Pengadilan.
Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab harus menjalankan tugas untuk
kepentingan dan usaha perseroan. Tanggung jawab direksi pada dasarnya dilandasi
oleh 2 (dua) prinsip yang penting, yaitu prinsip yang lahir karena tugas dan
kedudukan yang dipercayakan kepadanya oleh perseroan (fiduciary duty) dan prinsip
yang merujuk kepada kemampuan serta kehati-hatian tindakan direksi (duty of skill
and care), kedua prinsip ini menuntut direksi untuk bertindak secara hati-hati dan
disertai dengan itikad baik, semata-mata untuk kepentingan dan tujuan perseroan.
aktifitas yang ditugaskan kepadanya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya.89
1. Tanggung jawab internal, yaitu meliputi tugas dan tanggung jawab direksi
89
Winardi, Asas-Asas Manajemen, Alumni, Bandung, 1983, hal. 144.
88
mengalami kerugian yang disebabkan oleh kesalahan dan kelalaiannya. Begitu juga
dalam hal kepailitan yang terjadi kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan
perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap
anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut.91
menimbulkan akibat hukum bagi pengurusnya terutama bagi direksi perseroan. Ada
banyak persoalan tentang akibat hukum yang timbul dari putusan mengenai Dalam
hal terjadinya kepailitan perseroan, maka tidak secara apriori direksi bertanggung
jawab secara pribadi atas perseroan tersebut, namun sebaliknya bahwa direksi mesti
bebas dari tanggung jawab terhadap kepailitan PT. Tanggung jawab direksi yang
menimbulkan akibat hukum bagi pengurusnya terutama bagi direksi perseroan. Ada
banyak persoalan tentang akibat hukum yang timbul dari putusan mengenai kepailitan
90
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Pemahaman Perseroan Terbatas Risiko Hukum
Pemilik, Direksi, & Komisaris, PT Forum Sahabat, Jakarta, 2008, hal. 112.
91
Frans Satrio Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris
Perseroan Terbatas (PT), Visimedia, Jakarta, 2009, hal. 119.
89
kepailitan PT, apakah badan hukum itu sendiri yang akan memikul tanggung jawab
ataukah organ perseroan dalam hal ini direksi yang akan bertanggung jawab secara
1. Tanggung jawab itu timbul jika perusahaan itu melalui prosedur kepailitan.
3. Tanggung jawab itu bersifat residual, artinya tanggung jawab itu timbul jika
4. Tanggung jawab itu secara renteng artinya walaupun hanya seorang kreditur
Pengaturan lebih lanjut dari tanggung jawab direksi, dapat dilihat dari kondisi
tertentu. Pada prinsipnya direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap
dimilikinya. Hal ini karena perbuatan direksi dipandang sebagai perbuatan PT yang
merupakan subjek hukum. Namun, ada beberapa hal direksi dapat dimintai
pertanggungjawabannya secara pribadi dalam kepailitan PT. Pasal 97 ayat (3) dan
ayat (4) mengatur tentang tanggung jawab direksi atas kerugian perseroan yang
Anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian yang
a) Bersalah;
Jika anggota direksi lalai melaksanakan kewajiban dan melanggar apa yang
dilarang atas pengurusan, dan kelalaian atau pelanggaran itu menimbulkan kerugian
terhadap perseroan, maka anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi
perseroan.
Dalam hal anggota direksi terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih, maka Pasal 97
ayat (4) menegakkan prinsip penerapan tanggung jawab secara tanggung renteng.
“Dalam hal direksi terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung
jawab sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng
Berdasarkan bunyi dari Pasal 97 ayat (4) ini, dengan demikian apabila
anggota direksi lalai atau melanggar kewajibannya mengurus perseroan secara itikad
baik dan penuh tanggung jawab, maka setiap anggota direksi sama-sama ikut
91
Indonesia baru dikenal setelah diberlakukannya UUPT 2007. Sebelumnya baik dalam
KUHD dan UUPT 1995, yang ditegakkan adalah prinsip tanggung jawab pribadi
yang digantungkan kepada faktor siapa pelaku yang melakukan kesalahan, kelalaian
atau pelanggaran, maka tanggung jawab hukumnya hanya dipikulkan kepada anggota
direksi yang melakukan kesalahan itu. Tidak dilibatkan anggota direksi yang lain
Pasal 104 ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal kepailitan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan harta pailit
tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut,
setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh
kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. Apabila direksi dapat
bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian itu, Pasal 97 ayat (5)
menyebutkan bahwa anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan
d. Telah melakukan dan menjalankan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-
hatian, dan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan
tujuan perseroan;
92
kerugian tersebut.
Hal ini sehubungan dangan bunyi Pasal 97 ayat (5) huruf d UUPT yaitu,
tersebut”. Yang dimaksud dengan “mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau
Secara umum tanggung jawab direksi meliputi beberapa hal sebagai berikut :
kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di
luar Pengadilan. Jadi selain bertanggung jawab penuh atas pengurusan, direksi juga
untuk kepentingan dan usaha perseroan, maka setiap anggota direksi wajib dengan
itikad baik (in good faith) dan penuh tanggung jawab (full responbility). Namun
apabila tidak dengan demikian, maka setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh
secara pribadi, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
hukum perseroan.”
pemegang saham perseroan melakukan gugatan untuk dan atas nama perseroan
2) Secara sendiri-sendiri melakukan gugatan langsung untuk dan atas nama pribadi
pemegang saham terhadap direksi perseroan atas setiap keputusan atau tindakan
negara yang menganut sistem Civil Law, hubungan antara direktur dengan
92
Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, hal. 70.
94
dengan direkturnya tidak terdapat suatu kontrak tertentu, tetapi oleh hukum
“dianggap” (fiksi) ada kontrak pemberi kuasa.93 Karena itu, hubungan antara direktur
tersebut, direktur tersebut ikut bertanggung jawab secara pribadi. Jika perusahaan
yang bersangkutan kemudian jatuh pailit, beban tanggung jawab tidak cukup
ditampung oleh harta perusahaan (harta pailit), maka direksi pun ikut bertanggung
kuasa tidak boleh bertindak melebihi dari kekuasaan yang diberikan kepadanya.
Seberapa jauh kekuasaan diberikan kepadanya, dapat dilihat dalam anggaran dasar
Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa : “Perbuatan hukum atas nama perseroan
yang belum memperoleh status badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua
anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris
Perseroan dan mereka semua bertanggung jawab secara tanggung renteng atas
perbuatan hukum tersebut.” Terhitung sejak pengesahan, para pendiri PT tidak lagi
bertanggung jawab secara terbatas atas tiap perikatan yang dibuat untuk dan atas
93
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hal. 93.
95
nama perseroan, dan hanya akan menanggung kerugian yang terbatas pada nilai
seluruh saham yang dimilikinya. Selama pengesahan tersebut belum diperoleh, maka
renteng atas nama perseroan. Ketiadaan pengesahan itu tidak meniadakan perseroan
yang hendak dibentuk, hanya saja sifat pertanggungjawabannya yang belum tidak
terbatas.
ahli hukum, status hukum dari PT dalam pendirian diperlakukan sama dengan atau
bertindak selaku kuasa dari para pendiri dalam menjalankan kegiatan atau usaha
perseroan. Dengan ini berarti bahwa selama harta kekayaan perseroan tidak
maka para pendiri (dan pengurus) bertanggung jawab secara pribadi untuk memenuhi
Tugas dan kewajiban direksi perseroan terhadap pihak ketiga terwujud dalam
perseroan. Pihak ketiga adalah pihak orang lain yang tidak ikut serta dalam
tahunan perseroan untuk diperiksa oleh akuntan publik sebelum perhitungan tahunan
tersebut disahkan oleh RUPS Tahunan dan segera setelah disahkan oleh rapat,
96
oleh pihak ketiga yang berkepentingan, berdasarkan pada perjanjian antara para
pihak. Dalam hal-hal yang demikian tersebut diatas, direksi berkewajiban untuk
memberikan data dan atau keterangan tersebut secara jelas, tegas, benar dan akurat.
keadaan tertentu tanggung jawab terbatas ini menjadi tidak terbatas atau menjadi
tanggung jawab pribadi ataupun tanggung renteng sesama anggota direksi, hal ini
Piercing The Corporate Viel berasal dari sistem hukum anglo saxon yang
hukum Eropa Continental (Perancis dan Belanda).94 Piercing The Corporate Viel
mengajarkan bahwa suatu badan hukum bertanggung jawab secara hukum hanya
terbatas harta badan hkum tersebut, tetapi dalam hal-hal tertentu batas tanggung
94
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hal. 7
97
menjadi tidak terbatas. Beberapa contoh fakta yang mestinya dapat diterapkan
doktrin Piercing The Corporate Viel adalah permodalan yang tidak layak,
badan hukum.95
2. Ultra Vires
dalam anggaran dasar, maka direksi telah melanggar asas ultra vires dan dengan
demikian harus bertanggung jawab sampai harta pribadinya. Pihak ketiga yang
berhubungan usaha dengan perseroan tersebut tetap sah dan dilindungi tanpa
memerhatikan Ultra Vires. Ultra Vires adalah perbuatan yang berada di luar
kecakapann bertindak (tidak termasuk dalam maksud dan tujuan PT). Dengan
kata lain ultravires mengandung arti bahwa perbuatan tertentu itu hakikatnya
adalah sah (dalam hubungannya dengan pihak lain) tetapi ternyata di luar
kecakapan bertindak PT. Sebagaimana diatur dalam anggaran dasar atau berada di
anggaran dasar, seperti disebutkan dalam Pasal 92 ayat (2) UUPT, bahwa Direksi
95
Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hal. 161
96
Ali Rido, Doktrin-Doktrin Modern Hukum Perusahaan, Kesaint Blanc Publishing, 2011,
hal.19
98
yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini
dan/atau anggaran dasar. Setiap kelalaian atau kesalahan yang dilakukan seorang
pribadi atas setiap kerugian perseroan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 97 ayat (3)
UUPT. Perumusan Pasal tersebut berarti bahwa anggota direksi wajib melaksanakan
tugasnya dengan penuh itikad baik (in good faith) dan dengan penuh tanggung jawab
(and with full sens of responsibility). Selama hal tersebut dijalankan, para anggota
direksi tetap mempunyai tanggung jawab yang terbatas yang merupakan ciri utama
dari suatu perseroan terbatas. Namun apabila hal tersebut dilanggar, artinya direksi
bersangkutan lalai atau bersalah dalam menjalankan tugasnya, maka yang berlaku
Para direksi melalui prinsip the business judgment rule yaitu aturan yang
melindungi para direktur dari tanggung jawab pribadi apabila mereka bertindak
berdasarkan itikad baik (in good faith) dan dapat dipercaya bahwa tindakan yang
diambil oleh direktur tersebut adalah yang terbaik untuk kepentingan perseroan (the
97
Zainal Asiqin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Rajawali
Press, Jakarta, 2011, hal. 42
98
Syarif Bastaman, Tanggung Jawab Direksi, Komisaris, PT dan Beberapa Prinsip-Prinsip
di Dalam Buku PT No. 40 Tahun 2007, Bina Ilmu, Jakarta, 2012, hal. 51
99
Pada dasarnya business judgment rule terbagi dalam dua hal yaitu :
sebagai itikad baik dengan informasi yang cukup dan diolah secara cakap
berdasarkan kemampuan.
direksi sah dan mengikat sepanjang hal itu memang menjadi kewenangannya,
maka pengadilan tidak akan ragu-ragu untuk melindungi direksi sehingga luput dari
sanksi yang bukan seharusnya untuk dirinya. Di dalam ketentuan Pasal 97 ayat (5)
Undang-Undang No. 40 tahun 2007 menyatakan bahwa, “Anggota direksi tidak dapat
dan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan
Dalam hal kepailitan terjadi kesalahan atau kelalaian direksi dan harta pailit tidak
cukup untuk membayar seluruh kerugian perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap
anggota direksi secara tangung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban
99
Kartono, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Hutang Berdasarkan Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2009, hal. 28
100
yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. Ketentuan tersebut di atas juga berlaku
bagi anggota direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota
direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan.
dimana PT. Indonesia Antique dan Wahyu Hanggono secara pribadi yang bertindak
selaku direktur dinyatakan pailit oleh para krediturnya, dipandang bahwa Wahyu
Hanggono sebagai direktur telah lalai / salah dalam menjalankan usahanya sehingga
menimbulkan kerugian bagi perusahaan dan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.
Oleh karena itu Wahyu Hanggono secara pribadi juga dituntut oleh para krediturnya
untuk dinyatakan pailit sehingga tanggung jawab Wahyu Hanggono selaku direktur
yang telah salah atau lalai dalam menjalankan perusahaan, adalah bertanggung jawab
Pertanggung jawaban pribadi direksi dalam hal melunasi seluruh kewajiban (hutang
perusahaan) dengan menggunakan harta / aset pribadinya adalah pada saat adanya
menggunakan harta / asetnya apabila harta / aset perusahaan tidak mencukupi untuk
membayar / melunasi hutang-hutang perseroan tersebut. Sejak saat itu maka aset atau
101
harta direksi secara pribadi wajib diberikan oleh direksi tersebut untuk melunasi
hutang perusahaan. Disamping itu direksi secara pribadi juga dapat dimohonkan pailit
ke Pengadilan Niaga oleh kreditur minimal 2 (dua) kreditur, dan apabila permohonan
pailit tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka harta/aset debitur
tersebut.
pelunasan atas utang-utang dari PT tersebut maka direksi secara pribadi dapat pula
Pengadilan Niaga. Hal ini bertujuan agar harta / aset dari direksi secara pribadi dapat
Hal ini disebabkan karena Hari Hanggono selaku direktur telah salah / lalai dalam
atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) Undang-
Undang No. 40 Tahun 2007 tersebut di atas”. Selanjutnya Pasal 95 ayat (2) Undang-
dimaksud pada Pasal 95 ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan
perseroan, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai
dengan ketentuan yang dimaksud pada Pasal 95 ayat (2) Undang-Undang No. 40
Tahun 2007. Dalam hal direksi terdiri dari 2 (dua) anggota atau lebih, maka tanggung
jawab tersebut berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi. Anggota
direksi tidak dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian perseroan apabila dapat
membuktikan :
tersebut.100
100
Siti Sunarto Hartono, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, FH UGM,
Yogyakarta, 2009, hal. 57
103
Direksi adalah salah satu organ PT yang memiliki tugas serta tanggung jawab
penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan tujuan perseroan serta mewakili
perseroan baik di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggra dasar.
Direksi mempunyai fungsi dan peranan yang sangat sentral dalam paradigma
perseroan terbatas hal ini karena Direksi yang menjalankan kepengurusan dan
Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab harus menjalankan
tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Direksi dapat digugat secara pribadi ke
kelalaiannya. Begitu juga dalam kepailitan yang terjadi karena kesalahan atau
kelalaian direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat
kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung
yang telah dinyatakan pailit diakibatkan perbuatan para direksi yang telah bersalah
101
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan Perusahaan dan Asuransi, Alumni,
Bandung, 2009, hal. 20
104
atau lalai dalam menjalankan tugasnya tersebut maka kreditur dapat melakukan
tuntutan atas harta kekayaan direksi secara pribadi agar dapat terpenuhi seluruh
pailit, maka kreditur yang telah jatuh tempo piutangnya tersebut (minimal 2 kreditur)
dapat pula mengajukan gugatan pailit kepada direksi secara pribadi, apabila direksi
secara pribadi tidak bertanggung jawab atas hutang-hutang PT yang telah dinyatakan
pailit oleh pengadilan tersebut, setelah seluruh harta kekayaan PT ternyata tidak
2. Prinsip itikad baik untuk bertindak semata-mata demi kepentingan dan tanggung
sebenarnya milik atau diperuntukkan bagi perseroan (no secret profit rule
detail merupakan hal yang tidak mudah. Berdasarkan prinsip tersebut di atas direksi
dapat menggunakan konsep yang dikenal sebagai the business judgement rule, yang
merupakan suatu prinsip yang memberikan perlindungan bagi direksi atas dakwaan
judgement rule direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawab secara pribadi,
keputusan bisnis yang dibuat berdasarkan itikad baik semata-mata untuk kepentingan
perusahaan.
Demikian juga tanggung jawab direksi dalam hal terjadi kepailitan adalah
kewenangan yang dimiliki. Hal ini karena perbuatan direksi dipandang sebagai
perseroan yang bertanggung jawab terhadap perbuatan perseroan sendiri yang dalam
hal ini dipresentasikan oleh direksi. Namun dalam beberapa hal direksi dapat pula
102
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran Hutang, Pradnya Paramitha, Jakarta,
2008, hal. 71
106
Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang PT menyebutkan
dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kelalaian
atau kesalahan direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh
kewajiban perseroan dalam kepailiatn tersebut setiap anggota direksi secara tanggung
renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang terlunasi dari harta pailit
tersebut. Bukan hal yang mudah untuk membuktikan bahwa direksi telah melakukan
Munir Fuady menyatakan bahwa, “Apabila suatu perseroan pailit, maka sekonyong-
konyong (tidak demi hukum) pihak direksi harus bertanggung jawab secara pribadi.
Agar dapat dimintakan pertanggung jawaban pribadi ketika perusahaan pailit harus
pembuktian biasa)
dahulu dari asset-aset perseroan. Bila asset tidak mencukupi barulah diambil asset
pribadi direksi.
103
Artomo Rooseno, Hukum Kepailitan dan Pertanggung Jawaban Direksi Berdasarkan
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, Eresco, Bandung, 2012, hal. 18
107
dimana kurator langsung meminta pertanggung jawaban pribadi terhadap direksi atau
mengatur hal ini demikian juga dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
PT. Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad) bisa dijadikan alternatif untuk meminta pertanggung jawaban direksi yang
melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang
tersebut”. Dengan demikian gugatan kepada direksi secara pribadi dapat diajukan
oleh para kreditur dengan menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata dalam meminta
pertanggung jawaban direksi secara pribadi dalam hal pelunasan pembayaran hutang
PT yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan, dimana harta kekayaan PT tersebut
tidak mencukupi untuk melunasi seluruh hutang yang dimiliki PT terhadap para
dari direksi atas kesalahan atau kelalaian dari direksi yang mengakibatkan terjadinya
kerugian terhadap PT merupakan dasar diajukannya gugatan ganti rugi tersebut oleh
para kreditur tersebut. Namun demikian dapat pula diajukan gugatan kepailitan
kepada direksi secara pribadi apabila direksi tidak memiliki itikad baik untuk
bertanggung jawab secara pribadi dalam hal pelunasan utang PT yang telah
dinyatakan pailit tersebut, dan harta kekayaan PT yang tela dinyatakan pailit tersebut
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pengajuan gugatan kepailitan wajib
terlebih dahulu dilakukan terhadap PT oleh minimal dua orang kreditur karena PT
tersebut telah mempunyai dua hutang yang jatuh tempo namun PT tidak
Pengajuan gugatan kepailitan terhadap direksi secara pribadi dapat dilakukan oleh
para kreditur minimal dua oarng kreditur apabila harta kekayaan PT secara
pribadi oleh para krediturnya bertujuan agar harta kekayaan direksi secara pribadi
terhadap pra krediturnya agar direksi secara pribadi dapat digugat ke Pengadilan
Niaga untuk dinyatakan pailit maka harus dapat dibuktikan bahwa direksi dalam
perusahaan yang baik terdapat kesalahan dari direksi dalam pengambilan keputusan
109
sehingga mengakibatkan terjadinya kepailitan PT. Hal ini harus dapat dibuktikan oleh
yang baik dan terbukti pula bahwa kesalahan pengambilan keputusan yang dilakukan
direksi turut bertanggung jawab atas kepailitan PT dan Pengadilan Niaga dapat
dalam budel pailit PT agar dapat melunasi seluruh hutang-hutang PT kepada para
krediturnya. 104
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pengajuan pernyataan pailit direksi
secara pribadi dapat dilakukan oleh para krediturnya, apabila PT selaku badan hukum
telah dipailitkan terlebih dahulu oleh Pengadilan Niaga dan telah memiliki hukum
yang tetap (inkracht van gewijsde). Pengajuan permohonan pernyataan pailit direksi
secara pribadi oleh para krediturnya disebabkan karena harta kekayaan PT tidak
hukum pengajuan pernyataan pailit direksi secara pribadi ke Pengadilan Niaga oleh
104
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri PT, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2014, hal. 36
110
pribadi oleh para krediturnya tersebut ke Pengadilan Niaga adalah agar harta
kekayaan direksi secara pribadi dapat disita oleh Pengadilan Niaga dan dimasukkan
ke dalam harta budel pailit PT sehingga mencukupi untuk membayar seluruh hutang-
BAB IV
Hendrianto Muliawan dan Agung Hariyono adalah para pemohon pailit yang
telah memasukan surat pailitnya tertanggal 7 Mei 2012 terhadap para termohon pailit
yaitu PT. Indonesia Antique sebagai Termohon I yaitu perusahaan dan atau perseroan
produksi dan di bidang meuble, dimana dalam hal ini Termohon II yaitu Saudara
tersebut bertindak dalam jabatannya dan juga secara pribadi telah membuat dan
sebesar Rp 55.000.000,- (lima puluh lima juta rupiah), sebagaimana dimaksud dalam
pengembalian dan atau pembayaran hutang sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah), akan dilakukan seketika pada tanggal 10 April 2010 dan oleh karenanya
dalam hal ini telah disepakati tanggal jatuh tempo pada tanggal 10 April 2010.
Pada saat utang telah jatuh tempo pemohon I telah meminta para termohon
untuk melakukan pembayaran atas utang dimaksud, namun demikian ternyata pada
tanggal 1 jatuh tempo para termohon belum melakukan pembayaran. Pemohon I telah
111
112
mengirimkan dua surat peringatan (somatie) kepada para termohon yaitu pada tanggal
1 April 2010 (somatie I) namun tidak diindahkan oleh termohon, selanjutnya surat
peringatan (somatie II) tanggal 2 Mei 2010 namun juga tidak diindahkan oleh para
termohon. Pemohon I juga telah melakukan serangkaian upaya penagihan yang patut,
Selain memiliki utang kepada pemohon I para termohon juga memiliki utang kepada
terbukti dalam perjanjian utang piutang tertanggal 15 April 2011 yang telah
rupiah) dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2011 secara seketika. Namun pada saat
jatuh tempo utang yang telah diperjanjikan yaitu 15 Oktober 2011 para termohon
kepada para termohon, namun pihak para termohon belum dapat melakukan
Nopember 2011, 7 Nopember 2011 dan 4 Nopember 2011. Meskipun para termohon
telah melakukan somatie sebanyak tiga kali dari pemohon dua ternyata hingga
didaftarkannya permohonan pernyataan pailit ini para termohon juga tidak melakukan
Berdasarkan uraian di atas maka terdapat fakta hukum bahwa para pemohon
berjumlah 2 (dua) orang nyata dan terang bahwa para termohon mempunyai hutang
kepada 2 (dua) orang pemohon yang mengajukan pernyataan pailit yang hutangnya
113
telah jatuh tempo. Selain itu bahwa para termohon juga memiliki hutang pula kepada
kreditur lain yaitu kepada Aryo Hidayat Adiseno dan Hanafi. Rincian tagihan /
piutang dari Aryo Hidayat Adiseno dan Hanafi dimaksud baru dapat diketahui secara
persidangan.
pernyataan pailit yang diajukan oleh Pemohon I dan Pemohon II ini telah memenuhi
syarat sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU yang menyatakan bahwa, debitur yang mempunyai dua atau
lebih kreditur dan tidak dan tidak membayar lunas sedikitnya 1 utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas
terpenuhinya syarat dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas, maka menurut hukum
permohonan pernyataan pailit tersebut haruslah dikabulkan hal mana sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa
persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
telah terpenuhi”.
114
tentang Kepailitan dan PKPU, maka dengan ini para pemohon mengusulkan pula
kepada Ketua Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang qq. Majelis
Hakim yang memeriksa perkara aquo mengangkat seorang kurator yaitu Ibu Endang
Srikarti Handayani, Kurator dan Pengurus yang telah terdaftar di Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia RI No. AHU.AH.04.03-35 tanggal 30 April 2008 yang
kuasa pemohon I dan pemohon II memohon kepada Ketua Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Semarang qq. Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus
perkara aquo berkenan menjatuhkan putusan dalam perkara aquo sebagai berikut :
secara pribadi yang beralamat Jl. Semeru IV No. 23 Tegalharjo, Surakarta, Jawa-
yang terdaftar di Departemen Hukum dan Hak Asasi Republik Indonesia No.
115
20 Pondok Bambu Jakarta Timur selaku Kurator dalam perkara Kepailitan ini.
Jawaban kuasa hukum dari Tergugat I dan Tergugat II yaitu PT. Indonesia
Antique dan Wahyu Hanggono sebagai direktur PT. Indonesia Antique dalam
1. Dalam menjalankan usahanya dibidang produksi dan jual beli meuble baik
dengan itikad baik untuk kemajuan bisnis perusahaan dengan tetap menjaga
2. Dalam perjalanan perusahaan terdapat naik turun tingkat penjualan secara bisnis
yang dipandang sebagai suatu hal wajar, dan sejak tahun 2010 perusahaan PT.
terhadap pihak ketiga baik dari institusi perbankan maupun dari pribadi selaku
relasi bisnis.
3. Dalam hal ini para termohon mengakui dan tidak menyangkal bahwa pada kurun
waktu bulan Januari 2010 telah meminjam uang kepada Pemohon I sebesar Rp
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan janji akan dikembalikan pada 10
April 2010, namun dikarenakan kesulitan bisnis maka para Termohon belum
pada tanggal 15 April 2010 juga telah meminjam uang kepada Pemohon II
kesulitan secara bisnis, maka para Termohon belum juga dapat mengembalikan
pinjaman dimaksud.
4. Para Termohon sejak awal tidak pernah memiliki itikad yang tidak baik untu tidak
dan lain hal karena adanya kesulitan bisnis yang dialami oleh para termohon, serta
saat ini terdapat tagihan para termohon kepada pihak yang belum terbayarkan
5. Kesulitan bisnis yang dialami oleh para termohon merupakan hal yang nyata
bahkan selain kepada para Pemohon terdapat pinjaman kepada pihak lain pribadi
maupun kepada pihak bank, yaitu salah satunya PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk.
Oleh karena itu berkaitan dengan pemohonan pernyataan pailit yang diajukan
oleh para pemohon, maka dengan ini para termohon menyerahkan putusan yang
terbaik dan yang paling adil dari Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada
Melawan PT. Indonesia Antique dan Wahyu Hanggono antara lain mendasarkan
117
pertimbangan hukumnya pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan bahwa, “Debitur yang mempunyai
dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu hutang yang telah
jatuh waktu dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”. Dari
rumusan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU tersebut diperoleh pemahaman bahwa komponen penting dalam
hukum kepailitan adalah adanya kreditur, adanya debitur, adanya utang serta utang
Pengertian mengenal apakah yang dimaksud dengan utang serta utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih sebagaimana dimaksud didasarkan kepada
dan PKPU yang memberikan batasan bahwa, “Utang” adalah kewajiban yang
dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia
maupun mata uang asing, baik secara langsung, maupun yang akan timbul kemudian
hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang atau yang wajib
dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU
menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan “Utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih” adalah kweajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena
diperjanjikan, karena penegasan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang,
para termohon yaitu T1 II-1. T1 II-2 para termohon adalah sebagai subjek hukum
yaitu termohon I berbentuk perseroan terbatas dengan nama PT. Indonesia Antique
dan dapat bertindak selaku pihak dalam perbuatan hukum tertentu, termasuk dalam
pengertian itu untuk membuat suatu perjanjian yang dalam implementasinya diwakili
direksi (bukti I1 II-1). Memperhatikan bukti P1-2, PI-3, PII-3 menunjukan telah
terjadi hubungan hukum perjanjian hutang piutang antara Pemohon I dan Pemohon II
setelah memperhatikan dan mencermati bukti-bukti yang ada menyatakan bahwa para
yang diperjanjikan dalam surat perjanjian. Para pemohon tidak dapat melunasi
utangnya dan memperhatikan bukti PI-4, PI-5, PI-6 tertanggal 15 April 2010, 2 Mei
2010, berupa surat somatie / peringatan dari Pemohon I kepada para Termohon agar
tanggal surat tersebut dan bukti PII-4, PII-5, PII-6 berupa surat somatie / peringatan
dari Pemohon II pada para Termohon tertanggal 1 Nopember 2011 dan 7 Nopember
2011 agar para termohon segera membayar dan mengembalikan utangnya selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari sejak tanggal surat tersebut sedangkan bukti PII-5 somatie ke
119
sejak tanggal surat tersebut, namun sampai dengan perkara ini diajukan oleh
Pemohon I dan Pemohon II, para Termohon tetap tidak melaksanakan kewajibannya.
para termohon mempunyai utang dan para termohon berkewajiban untuk membayar
sejumlah utang kepada pemohon I dan pemohon II atas dasar perjanjian utang
piutang, yang merupakan kreditur dari termohon dimana utang tersebut telah jatuh
tempo dan tidak dapat dibayar oleh termohon. Atas dasar utang yang telah jatuh
tempo dari dua orang kreditur yang tidak dapat dibayar oleh debitur yaitu Termohon I
dan Termohon II maka Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang dalam
Termohon I dan Termohon II sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU telah terpenuhi oleh karena termohon
telah dinyatakan pailit maka sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-
Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU harus diangkat kurator dan
berdasarkan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan PKPU menyatakan bahwa, “Kurator yang diangkat sebagaimana dimaksud pada
Pasal 15 ayat (1) harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan
debitur atau kreditur dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dari penundaan
menunjuk Ifa Sudewi, Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang
sebagai Hakim Pengawas. Amar putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
hukumnya.
1.561.000.000 (satu juta lima ratus enam puluh satu ribu rupiah).
tertanggal 8 Juni 2012 selain menyatakan pailit PT. Indonesia Antique dan Wahyu
Hanggono (secara pribadi) harta / aset dari PT. Indonesia Antique (dalam pailit) dan
1. Sebidang tanah dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 1671 atas nama
Djowo Semito Atmojo seluas 2.000 m2 yang terletak di Dk. Sambirembe, Kel.
2. Sebidang tanah dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 500 atas nama
3. Sebidang tanah dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 6590 atas nama
Djowo Semito Atmojo seluas 2.830 m2yang terletak Jl. Sumeni Kroyo,
Karangmalang, Sragen.
4. Sebidang tanah dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 68 atas nama Djowo
Semito Atmojo seluas 725 m2yang terletak Jl. Sragen Kulon No. 96 Sragen.
5. Sebidang tanah dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 1062 atas nama
Djowo Semito Atmojo seluas 215 m2 yang terletak Jl. Sragen Kulon No. 96
Sragen.
6. Sebidang tanah dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 1331 atas nama
Djowo Semito Atmojo seluas 367m2 yang terletak Jl. Sreagen Kulon No. 96
Sragen.
7. Sebidang tanah dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 5243 atas nama
Djowo Semito Atmojo seluas 76 m2yang terletak Jl. Sragen Kulon No. 96
Sragen
8. Sebidang tanah dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 1698 atas nama
Djowo Semito Atmojo seluas 2000 m2yang terletak Jl. Dk. Sambirembe, Kel.
Semarang tersebut maka seluruh asset dari PT. Indonesia Antique dalam Pailit
maupun aset dari Wahyu Hanggono secara pribadi (dalam pailit) berada dalam
122
Pengawas Ifa Sudewi. Atas putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Semarang yang telah menyita harta / asset dari PT. Indonesia Antique (dalam pailit)
dan Wahyu Hanggono secara pribadi (dalam pailit) maka Djawa Semito Atmadja
Mahkamah Agung atas penyitaan aset-aset dari PT. Indonesia Antique (dalam pailit)
maupun Wahyu Hanggono secara pribadi (dalam pailit) yang menurut Djawa Semito
Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi Djawa Semito
perkara dalam tingkat kasasi yang ditetapkan sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta
rupiah). Dalil-dalil gugatan yang diajukan pemohon dalam memori kasasi pada
tertanggal 14 Juni 2012 yang pada pokoknya menyatakan agar supaya tanah-tanah
dan bangunan serta segala sesuatu yang melihat di atasnya yang tercatat dan atas
a. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1671 atas nama Djowo Semite Atmojo
b. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 500 atas nama Djowo Semite Atmojo
c. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 6590 atas nama Djowo Semite Atmojo
Sragen;
d. Sertifikat Hak Milim (SHM) Nomor 68 atas nama Djowo Semite Atmojo
e. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1062 atas nama Djowo Semite Atmojo
f. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1331 atas nama Djowo Semite Atmojo
g. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 5243 atas nama Djowo Semite Atmojo
h. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1698 atas nama Djowo Semito Atmojo
Kasasi/Penggugat telah membeli kembali tanah-tanah SHM Nomor 500 dan SHM
124
Nomor 6590 atas nama Penggugat, namun demikian atas ., SHM Nomor 68. SHM
Nomor 1062, SHM Nomor 1331 dan SHM Nomor 5243, oleh Termohon Kasasi
atas tanah-tanah yang telah dijual oleh Termohon Kasasi I kepada Termohon
lain melakukan pencatatan peralihan Sertifikat Hak Milik atas nama Penggugat/
4. Bahwa oleh karenanya berdasar hal-hal tersebut, jelas dan nyata tindakan para
yang pada pokoknya sebagaimana tersebut di atas, Judex Facti yang memeriksa dan
1. Bahwa yang menjadi pemnasalahan dalam permohonan gugatan lain lain adalah
sebagai berikut:
Penggugat agar supaya tanah-tanah dan bangunan serta segala sesuatu yang
b. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1671 atas nama Djowo Semite Atmojo
c. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 500 atas nama Djowo Semito Atmojo
d. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 6590 atas nama Djowo Semito Atmojo
Sragen;
e. Sertifikat Hak MHik (SHM) Nomor 68 atas nama Djowo Semito Atmojo
f. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1062 atas nama Djowo Semito Atmojo
g. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1331 atas nama Djowo Semito Atmojo
h. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 5243 atas nama Djowo Semito Atmojo
i. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1698 atas nama Djowo Semito Atmojo
Sehingga dibuat lagi Surat Pernyataan Penggugat dan Wahyu Hanggono (Dalam
Pailit) tanggal 14 Juni 2012 yang pada pokoknya menyatakan tanah dan bangunan
2. Bahwa Penggugat telah membeli kembali tanah-tanah SHM Nomor 500 dan SHM
Nomor 6590 atas nama Penggugat dan Tergugat-I( telah menjuai sebtdang tanah
yaitu SHM Nomor 68, SHM Nomor 1062, SHM Nomor 1331, SHM Nomor 5243
Jual beli yang dibuat oleh Roestanty Notaris/PPAT di Sragen tanggal 20 Februari
2013 dan Penggugat telah meminta pemblokiran kepada Tergugat-III, namun hal
adalah :
1. Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah merteiiti
secara saksama memori kasasi tanggal 2 Oktober 2013 dan kontra memori
Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang
Pasal 69 ayat (1) Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004), maka tidak beralasan
Niaga Smg. tanggal 25 September 2013 dalam perkara ini tidak bertentangan
diajukan oleh Pemohon Kasasi Djawa Semito Atmadja tersebut harus ditolak;
3. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dan Pemohon Kasasi ditolak,
Pemohon Kasasi harus dihukum untuk membayar biaya peifcara dalam tingkat
kasasi ini;
Nomor 5 Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan Undang Undang Nomor 3
telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan
dan PKPU dimana berdasarkan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa debitur
yang mempunyai dan atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan balit dengan putusan
pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau
lebih krediturnya. Di dalam hal ini PT. Indonesia Antique dan Wahyu Hanggono
sebagai direktur dari PT. Indonesia Antique telah melakukan perjanjian pinjam
meminjam uang (utang piutang) kepada dua kreditur yakni Hendryanto Muliawan
dan Agung Haryono masing-masing sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
tanggal 10 Januari 2010 dan pada tanggal 15 April 2011. Pengembalian utang dari
PT. Indonesia Antique yang dilakukan oleh Wahyu Hanggono sebagai direktur dalam
surat perjanjian untuk Pemohon I tanggal 10 April 2010 dan untuk Pemohon II
15 Oktober 2011. Akan tetapi pada saat utang telah jatuh tempo untuk pemohon I ,
membayar / melunasi utangnya. Demikian pula setelah utang bagi Pemohon II juga
telah jatuh tempo dan dapat ditagih pada tanggal 15 Oktober 2011, PT. Indonesia
melakukan pembayaran / pelunasan utangnya. Dua kreditur dengan dua piutang yang
129
telah jatuh tempo namun tidak mampu dibayar oleh debitur salah satunya /
melunasinya, maka hak ini telah dapat diajukan permohonan pailit ke Pengadilan
Di samping itu setelah debitur dinyatakan pailit maka Majelis Hakim juga
telah menunjuk kurator maupun hakim pengawas juga dinilai sudah tepat dan sesuai
dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU dimana disebutkan bahwa, “Dalam putusan pernyataan pailit
harus diangkat kurator dan seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim
pengadilan”. Ketentuan tersebut juga telah sesuai dengan Pasal 15 ayat (3) Undang-
dimaksud pada ayat (1) harus independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan
dengan debitur atau kreditur, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari tiga perkara”. Independen yang
dimaksud dalam hal ini adalah bahwa kelangsungan keberadaan kurator tidak
tergantung pada debitur atau kreditur, dan kurator tidak memiliki kepentingan
tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tersebut. Oleh karena itu, putusan
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang telah tepat dan benar dengan
telah dinyatakannya pailit PT. Indonesia Antique sesuai dengan ketentuan Pasal 2
130
ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU dan juga
Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang dipandang telah sesuai dengan ketentuan
2004 tentang Kepailitan dan PKPU sehingga putusan Pengadilan Niaga tersebut telah
Semito Atmadja yang menggugat harta / aset dari PT. Indonesia Antique (dalam
pailit) dan Wahyu Hanggono secara pribadi (dalam pailit) juga dipandang telah sesuai
kepailitan yaitu Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
pengelolaan / pemberesan kurator sebagai harta pailit merupakan harta / aset dari
PT”. Indonesia Antique (dalam pailit) dan juga harta / aset Wahyu Hanggono secara
pribadi (dalam pailit), sehingga pemohon kasasi yakni Djawa Semito Atmadja tidak
memiliki kewenangan dalam melakukan gugatan terhadap harta / asset milik PT.
Indonesia Antique (dalam pailit) maupun harta / aset Wahyu Hanggono secara pribadi
Pengelolaan dan pemberesan dari harta / aset dari PT. Indonesia Antique
(dalam pailit) maupun harta / aset Wahyu Hanggono secara pribadi (dalam pailit)
untuk kemudian digunakan dalam melunasi utang dari PT. Indonesia Antique (dalam
pailit) dan Wahyu Hanggono secara pribadi (dalam pailit) kepada seluruh krediturnya
yang memiliki piutang yang telah jatuh tempo namun belum dilaksanakan
pembayaran/pelunasan oleh debitur dalam hal ini adalah PT. Indonesia Antique
dari PT. Indonesia Antique tidak mencukupi untuk melunasi seluruh utang dari PT.
Indonesia Antique (dalam pailit) kepada seluruh krediturnya. Hal ini mengakibatkan
para kreditur dari PT. Indonesia Antique (dalam pailit) juga mengajukan permohonan
pailit kepada Wahyu Hanggono secara pribadi selaku direktur dari PT. Indonesia
Antique. Konsekuensi hukum dari pailitnya Wahyu Hanggono secara pribadi adalah
harta / asset pribadi dari Wahyu Hanggono juga disita dan diletakkan di dalam
pengawasan dari hakim pengawas. Hal ini disebabkan selaku direktur dari PT.
kepailitan dari PT. Indonesia Antique sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yakni Pasal 104 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 maka tanggung jawab
dengan harta / assetnya sendiri apabila harta / aset PT tidak mencukupi dalam
BAB V
A. Kesimpulan
kehilangan haknya untuk berbuat bebas terhadap kekayaannya dan haknya untuk
keuntungan bagi budel pailit. Sejak putusan pernyataan pailit diucapkan oleh
kurator. Hal ini berarti didalam kewenangan kurator tercakup semua kewenangan
organ PT.
2. Kepailitan direksi secara pribadi dapat dimohonkan oleh krediturnya minimal dua
kepada para krediturnya. Hal ini bertujuan untuk menyita aset direksi secara
133
134
apabila direksi dalam menjalankan perseroan sesuai dengan prinsip Piercing The
Corporate Viel dan Ultra Vires dimana direksi dalam menjalankan perseroan
telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan memiliki itikad baik dan berusaha
tidak terbatas yang berarti direksi juga dapat dipailitkan secara pribadi oleh
krediturnya dan harta / aset direksi secara tanggung renteng dapat digunakan
perseroan tersebut. Hal ini sesuai dengan Putusan Pengadilan Niaga No.
pailit antara kreditur (Hendrianto Muliawan dan Agung Hariyono) melawan PT.
pribadi disita dan berada di bawah kurator sampai pengurusan kepailitan PT.
05/Pailit/2012/Niaga.Smg
B. Saran
1. Hendaknya pengurusan dan pemberesan harta pailit dari PT yang telah dinyatakan
pailit oleh pengadilan dan telah dinyatakan berkekuatan hukum tetap yang
ditugaskan kepada kurator dilakukan dalam waktu yang singkat dan tidak
dan para kreditur dapat mengambil langkah hukum apabila harta PT tidak
2. Hendaknya lebih dipertegas dan diperinci secara jelas tentang tanggung jawab
direksi terhadap kepailitan PT sesuai dengan prinsip Piercing The Corporate Viel
dan Ultra Vires dan kesalahan-kesalahan apa saja yang dapat mengakibatkan
pengurusan manajemen PT. Hal ini disebabkan karena sangat sulit menentukan
dilakukannya.
3. Hendaknya apabila harta PT yang telah dinyatakan pailit tidak mencukupi dalam
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Adjie, Habib, Status Badan Hukum, Prinsip-prinsip dan Tanggung Jawab Sosial
Perseroan Terbatas, Mandar Maju, Bandung, 2008
Ais, Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum
Perusahaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010
___________, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1994
___________, Hukum Kepailitan 1998 Dalam Teori Dan Praktek PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999
137
138
Notoatmodjo, Soekidjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010
139
Regar, Moenaf. H., Dewan Komisaris Peranannya Sebagai Organ Perseroan, Bumi
Aksara, Jakarta, 2000
Rido, Ali, Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan
Koperasi, Yayasan Wakap, Alumni, Bandung, 2010
Saliman, Abdul R. dkk,Hukum Bisnis Untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus,
Edisi 2 Cetakan 4, Renada Media Grup, Jakarta, 2005
Sastrawidjaja, Man .S., Bunga Rampai Hukum Dagang, Alumni, Bandung, 2005
Soekanto, Soerjono Dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009
140
Subhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, Edisi
Pertama, Cet. ke-1. Prenada Media Group, Jakarta, 2008
Sulaiman, Robintan & Prabowo, Joko, Lebih Jauh Tentang Kepailitan, Jakarta, 2000
Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
Triwulan, Titik dan Febrian, Shinta, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi
Pustaka, Jakarta, 2010
Yani, Ahmad & Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1999
141
B. Perundang-undangan