Anda di halaman 1dari 156

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI TERHADAP

KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS (PERSERO) (STUDI


TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NO. 05/PAILIT/2012/PN/NIAGA.SMG)

TESIS

Oleh

FENTY RISKA
127011079/M.Kn

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI TERHADAP
KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS (PERSERO) (STUDI
TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NO. 05/PAILIT/2012/PN/NIAGA.SMG)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada


Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Oleh

FENTY RISKA
127011079/M.Kn

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
Judul Tesis : PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI
TERHADAP KEPAILITAN PERSEROAN
TERBATAS (PERSERO) (STUDI TERHADAP
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.
05/PAILIT/2012/PN/NIAGA.SMG)
Nama Mahasiswa : FENTY RISKA
Nomor Pokok : 127011079
Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Sunarmi, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum) (Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Tanggal lulus : 19 Nopember 2015


Telah diuji pada
Tanggal : 19 Nopember 2015

PANITIA PENGUJI TESIS


Ketua : Prof. Dr. Sunarmi, SH, MHum
Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum
2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
4. Dr. Dedi Harianto, SH, MHum
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : FENTY RISKA
Nim : 127011079
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI TERHADAP
KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS (PERSERO)
(STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NO. 05/PAILIT/2012/PN/NIAGA.SMG)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.

Medan,
Yang membuat Pernyataan

Nama : FENTY RISKA


Nim : 127011079
ABSTRAK

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan
dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.
Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas
harta kekayaan debitur pailit oleh kurator. Debitur yang mempunyai dua atau lebih
kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya
sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Masalah yang dibahas
dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimana akibat hukum putusan pailit terhadap
Perseroan Terbatas, apakah direksi secara pribadi dapat dipailitkan sejalan dengan
kepailitan PT, bagaimana tanggung jawab direksi terhadap kepailitan PT.
Jenis penelitian tesis ini menggunakan penelitian yuridis normatif, yang bersifat
deskriptif analitis, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji
ketentuan Perundang-undangan yang berlaku di bidang hukum kepailitan dan PKPU
sebagaimana termuat di dalam Undang-Undang No.37 Tahun 2004 dan Undang-Undang
No. 40 tahun 2007 tentang PT.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa akibat hukum yang terpenting dari
pernyataan pailit adalah bahwa organ PT demi hukum kehilangan haknya untuk berbuat
bebas terhadap harta kekayaannya, begitu pula hak untuk mengurusnya. Namun PT tidak
kehilangan hak-hak dan kecakapannya untuk mengadakan persetujuan-persetujuan, akan
tetapi perbuatan-perbuatannya tersebut tidak mempunyai akibat hukum atas kekayaannya
yang tercakup dalam budel kepailitan. Direksi secara pribadi dapat dipailit oleh para
krediturnya dengan cara mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga, apabila
terdapat kesalahan direksi dalam pengambilan keputusan yang mengakibatkan terjadinya
kepailitan PT, dengan catatan PT telah terlebih dahulu dinyatakan pailit melalui suatu
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van geweijsde).
Pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Semarang yang telah memutuskan menyatakan pailit PT. Indonesia Antique adalah
karena PT Indonesia Antique terbukti di Pengadilan mempunyai dua kreditur dan tidak
mampu membayar hutang-hutangnya kepada kreditur yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih yang berjumlah dua hutang sekaligus, sehingga telah memenuhi ketentuan
sebagaimana termuat di dalam Pasal 2 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU mensyaratkan “Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur
dan tidak membayar sedikitnya satu utangnya yang telah jatuh waktunya dan dapat
dipailitkan. Disamping itu Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik
Indonesia menyatakan bahwa, Tanah-tanah yang disita dalam putusan pailit Pengadilan
Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang tersebut adalah terbukti milik/aset dari PT
Indonesia Antique yang merupakan jaminan untuk pembayaran hutang-hutang PT.
Indonesia Antique kepada para krediturnya dan oleh karena itu telah terikat ke dalam aset
budel pailit.

Kata Kunci : Pertanggungjawaban Direksi, PT dan Kepailitan

i
ABSTRACT

Bankruptcy is a public confiscation upon the Bankrupt Debtor’s whole


property which management and settlement are carried out by a Curator under the
direction of the Supervisory Judge. The main purpose of bankruptcy declaration is to
make shares among creditors upon the bankrupt debtor’s property by the curator.
Debtors that have two or more creditors and are unable to pay at least one of the
creditors its debts which past due and are collectable, are declared to be bankrupt by
the Court’s Verdict. The problems discussed in this research were the consequences
of Bankruptcy Declaration by the court on PT. (Limited Liability Company), whether
or not the board of directors could be made personally liable for its debts as the
company was declared to be bankrupt, and what responsibilities the directors had
toward its bankruptcy.
This was a normative juridical research with descriptive analysis which
reviewed the provisions on the Acts applicable in Bankruptcy Law and PKPU
(Postponement of Debt Payment Obligation) as stipulated in Law No.37/ 2004 and
Law No.40/ 2007 about PT.
The results showed that the most important legal consequence of bankruptcy
declaration was that the organization of the company lost its rights in controlling and
managing its property. However, it did not lose its rights and capacity to make
agreements, yet its actions were void upon its property as stipulated in Bankrupt
Estates. The board of directors could be made personally liable for its debts by the
creditors through the application for bankruptcy petition to the Commercial Court, in
case there were errors made by the directors in making decisions that led to its
bankruptcy, with notes that it had been declared to be bankrupt by a Court Verdict
(inkracht van geweijsde). The consideration of the Commercial Judges at the District
Court of Semarang declaring PT. Indonesia Antique to be bankrupt was that it was
proved to have two creditors and to be unable to pay the creditors its debts that past
due and were collectable, thus, it met the provision stipulated in Article 2 of Law No.
37/ 2004 about Bankruptcy and PKPU that presupposes, “Debtors that have two or
more creditors and are unable to pay at least one of the creditors its debts which past
due and are collectable, are declared to be bankrupt”. In addition, the considerations
of the Supreme Court judicial panel of the Republic of Indonesia stated that, all land
confiscated in Bankruptcy Verdict by the Commercial Court at District Court of
Semarang was proved to be the proprietary/ assets of PT. Indonesia Antique that
were used as the collateral for the debts payment of PT. Indonesia Antique to its
creditors, and was, therefore, bound to the assets of Bankrupt Estates.

Keywords: Liability of Board of Directors, PT (Limited Liability Company), and


Bankruptcy

ii
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah penulis sampaikan kehadirat ALLAH SWT karena

hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini

dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI TERHADAP

KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS (STUDI TERHADAP PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG No. 05/PAILIT/2012/ PN/NIAGA.SMG)”. Penulisan

tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar

Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan

dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang

mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat Ibu Prof. Dr.

Sunarmi, SH.,M.Hum, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan

Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum, selaku Komisi Pembimbing yang

telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan

penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tesis

sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya di dalam penelitian tesis ini penulis banyak memperoleh bantuan

baik berupa pengajaran, bimbingan, arahan dan bahan informasi dari semua pihak.

iii
Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang

sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Sublihar, Ph.D selaku Pejabat Rektor Universitas Sumatera Utara,

atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn)

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada peneliti

untuk dapat menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan pada

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program

Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, atas segala dedikasi

dan pengarahan serta masukan yang diberikan kepada penulis selama menuntut

ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program

Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Sumatera Utara, yang telah

membimbing dan membina penulis dalam penyelesaian studi selama menuntut

ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Dosen serta segenap civitas akademis Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

iv
6. Kedua orangtua tercinta, Papa Syaiful Bachrie dan Mama Henny Waty atas

segala rasa sayang dan cinta yang tidak terbatas sehingga menjadi dukungan

untuk penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan

kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu

dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan, dan rezeki yang berlimpah kepada

kita semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari

sempurna, namun tidak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat

memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, November 2015


Penulis

Fenty Riska

v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI
Nama : Fenty Riska
Tempat / Tgl. Lahir : Medan, 28 April 1983
Alamat : Jl. AR. Hakim Gg. Sukmawati No. 25E Medan
20217

Status : Belum Menikah


Agama : Islam

II. PENDIDIKAN FORMAL

1. SD Negeri 064028 Medan Tahun Tamat 1996

2. SLTP Swasta Eria Medan Tahun Tamat 1999

3. SMU Swasta Eria Medan Tahun Tamat 2002

4. S1 Universitas Medan Area Tahun Tamat 2009

5. S2 Program Studi Magister Kenotariatan Tahun Tamat 2015


Fakultas Hukum USU

vi
DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT .......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR......................................................................................... iiii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
DAFTAR SINGKATAN..................................................................................... ix
DAFTAR ISTILAH ASING............................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Perumusan Masalah .................................................................... 15
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 15
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 15
E. Keaslian Penelitian...................................................................... 16
F. Kerangka Teori dan Konsepsi..................................................... 18
1. Kerangka Teori .................................................................... 18
2. Kerangka Konsepsional ....................................................... 29
G. Metode Penelitian........................................................................ 32
1. Sifat dan Jenis Penelitian ..................................................... 34
2. Sumber Data......................................................................... 35
3. Teknik Pengumpulan Data................................................... 36
4. Analisis Data ........................................................................ 36
BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP
PERSEROAN TERBATAS ............................................................ 38
A. Pengertian dan Kedudukan Hukum Perseroan Terbatas ............ 38
B. Prosedur dan Persyaratan Permohonan Kepailitan ..................... 45
C. Akibat Hukum Putusan Pailit Terhadap Perseroan Terbatas ...... 58

vii
1. Akibat Hukum Putusan Pailit Terhadap Harta Kekayaan
PT ......................................................................................... 59
2. Akibat Hukum Putusan Pailit Terhadap Kepengurusan PT. 61
3. Akibat Hukum Putusan Pailit perseroan terbatas (PT)
Terhadap Pihak Ketiga ........................................................ 68
BAB III KEPAILITAN DIREKSI SECARA PRIBADI SETELAH
TERJADINYA KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS ....... 73
A. Prosedur dan Tata Cara Pengajuan Permohonan Kepailitan....... 73
B. Kedudukan, Kewenangan, Kewajiban dan
Pertanggungjawaban Direksi Sebagai Pengurus Perseroan
Terbatas Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas ...................................................................... 78
C. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kepailitan PT .................... 96
D. Kepailitan Direksi Secara Pribadi Setelah Terjadinya
Kepailitan Perseroan Terbatas .................................................... 101
BAB IV TANGGUNG JAWAB DIREKSI TERHADAP KEPAILITAN
PERSEROAN TERBATAS............................................................. 111
A. Kasus Posisi Dalam Putusan Pengadilan Niaga No.
05/Pailit/2012/PN/NIAGA.SMG Dalam Perkara Perdata
Permohonan Pernyataan Pailit antara Kreditur (Hendrianto
Muliawan dan Agung Hariyono) Melawan PT. Indonesia
Antique dan Wahyu Hanggono................................................... 111
B. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Niaga Dalam
Putusan No. 05/Pailit/2012/PN/NIAGA.SMG pada Perkara
Perdata Permohonan Pernyataan Pailit antara Kreditur
(Hendrianto Muliawan dan Agung Hariyono) Melawan PT.
Indonesia Antique dan Wahyu Hanggono .................................. 116
C. Analisis Putusan Pengadilan Niaga No.
05/Pailit/2012/PN/NIAGA.SMG dan Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. 639K Pdt.Sus-Pailit/2013......... 128
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 133
A. Kesimpulan ................................................................................ 133
B. Saran ........................................................................................... 135
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 137

viii
DAFTAR SINGKATAN

BAPEPAM : Badan Pengawas Pasar Modal

Fv : Faillissement verordening

HAM : Hak Asasi Manusia

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia

KUH Perdata : Kitab Undang Undang Hukum Perdata

KUHD : Undang-Undang Hukum Dagang

KUHD : Undang-Undang Hukum Dagang

PHK : Pemutusan Hubungan Kerja

PKPU : Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PT : Perseroan Terbatas

RUPS : Rapat Umum Pemegang Saham

SHM : Sertifikat Hak Milik

UUPT : Undang-Undang Perseroan terbatas

ix
DAFTAR ISTILAH ASING

Bankruptcy law : Undang-undang kepailitan

Claims : Tagihan kreditur

Derivative action : Kerugian pada perseroan

Disclosure : Keterbukaan

Duty of skill and care : Kehati-hatian tindakan direks

Fiduciary duty : Perseroan kepadanya

Full responsi : Penuh tanggung jawab

Good faith : Itikad baik

Guarantor : Penjamin

Holding company : Perkumpulan perseroan

Intertional tort liability : Sengaja

Library research : Penelitian kepustakaan

Natuuralijkpersoon : Manusia

Natuurlijk persoon : Manusia pribadi

Omkering van bewijslast : Diberlakukan pembuktian terbalik

Onrechmatige daad : Perbuatan melawan hukum

Personal standi in judicio : Direksi juga bertindak mewakili perseroan

Persoon : Orang

Somatie : Surat peringatan

Tort liability : Melanggar hukum

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai

kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan,

dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar

utangnya.1

Menurut Soematri Hartono, kepailitan adalah lembaga hukum perdata Eropa

sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam hukum perdata Eropa yang tercantum

dalam Pasal-Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH

Perdata).2

Pasal 1131 : “menetapkan bahwa semua harta kekayaan debitur (si berutang) baik
benda bergerak atau benda tidak bergerak baik yang ada maupun yang baru aka ada
dikemudian hari menjadi jaminan untuk semua perikatan-perikatan pribadinya”.

Pasal 1132: “menetapkan bahwa benda-benda milik debitur tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi para krediturnya (si berpiutang) dan hasil penjualan benda-benda
milik debitur itu dibagi menurut keseimbangan (proporsional) yaitu menurut besar
kecilnya tagihan kreditur masing-masing kreditur, kecuali apabila diantara kreditur
ada alasan-alasan untuk didahulukan”

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan bahwa yang dimaksud dengan

kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan

1
Imran Nating,Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan
Harta Pailit, Edisi Revisi 2, Raja Grafindo, Jakarta, 2009, hal.2.
2
Sutarno,Aspek-aspek Hukum Prekreditan pada Bank, Alfabet, Bandung, 2003, hal.341.

1
2

pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”

Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasa1 ayat (1) adalah : “Debitur adalah

orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang

pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan”. Jadi berdasarkan hal tersebut dapat

disimpulkan bahwa dalam kepailitan ada unsur-unsur:

1) Adanya keadaan ‘berhenti membayar’ atas suatu utang.

2) Adanya permohonan pailit.

3) Adanya pernyataan pailit (oleh Pengadilan Niaga).

4) Adanya sita dan eksekusi atas harta kekayaan pihak yang dinyatakan pailit

(debitur).

5) Dilakukan oleh pihak yang berwenang,

6) Semata-mata untuk kepentingan kreditur.

Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para

kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk

menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan

menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur

dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing. Lembaga

kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi

terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu
3

membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus,

yaitu:3

1. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur


tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua
hutang-hutangnya kepada semua kreditur.
2. Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur
terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi
keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau
sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang
taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan
1132 KUH Perdata.

Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata merupakan perwujudan adanya jaminan

kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan oleh debitur

terhadap kreditur-krediturnya dengan kedudukan yang proporsional. Adapun

hubungan kedua Pasal tersebut adalah sebagai berikut. Bahwa kekayaan debitur

(Pasal 1131) merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya (Pasal 1132) secara

proporsional, kecuali kreditur dengan hak mendahului (hak Preferens).

Undang-Undang Kepailitan menyebutkan pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan

bahwa : ”Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas

sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan

putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu

atau lebih krediturnya”.

Dari uraian di atas, untuk bisa dinyatakan pailit, debitur harus telah memenuhi

tiga syarat yaitu:4

3
Imran Nating,Op.Cit, hal.9.
4
Ibid., hal.23-26.
4

1. Memiliki Minimal Dua Kreditur.

Keharusan ada dua kreditur yang disyaratkan dalam Undang-Undang

Kepailitan merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata. Karena seorang debitur tidak dapat dinyatakan pailit jika ia hanya

mempunyai seorang kreditur adalah tidak ada keperluan untuk membagi asset debitur

diantara para kreditur.

2. Harus Ada Utang

Pasal 1 ayat (6) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan : ”Utang adalah

kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata

uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan

timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau

undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan bila tidak dipenuhi memberi

hak kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur.”

3. Jatuh Waktu Dan Dapat Ditagih

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang kepailitan yang dimaksud dengan:

"utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih" adalah kewajiban untuk membayar

utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu

penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh

instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis

arbitrase.”
5

Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa debitur bisa orang-perorangan maupun

badan hukum. dalam tulisannya Imran Nating menyebutkan bahwa pihak yang dapat

dinyatakan pailit antara lain :5

1. Orang perorangan.
2. Harta peninggalan (warisan).
3. Perkumpulan perseroan (holding company).
4. Penjamin (guarantor).
5. Badan hukum.
6. Perkumpulan bukan badan hukum.
7. Bank.
8. Perusahaan efek.
9. Perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun, dan badan usaha milik negara

Pengajuan permohonan pailit dapat dilakukan oleh antara lain:6

1. Debitur sendiri.
2. Permohonan satu atau lebih krediturnya
3. Pailit bisa atas permintaan untuk kepentingan umum, pengadilan wajib
memanggil debitur.
4. Bank Indonesia, bila debiturnya bank.
5. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), bila debiturnya Perusahaan Efek,
Bursa Efek, Lembaga Kliring Dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian efek
6. Menteri Keuangan, bila debiturnya Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Dana Pension, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak
dibidang kepentingan publik.

Apabila seorang debitur telah secara resmi dinyatakan pailit maka secara

yuridis akan menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut:

1. Debitur kehilangan segala haknya untuk menguasai dan mengurus atas


kekayaan harta bendanya (asetnya), baik menjual, menggadai, dan lain
sebagainya, serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan sejak
tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
2. Utang-utang baru tidak lagi dijamin oleh kekayaannya.

5
Ibid., hal.28-36.
6
Abdul R. Saliman dkk,Hukum Bisnis Untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus, Edisi 2
Cetakan 4, Renada Media Grup, Jakarta, 2005, hal.151.
6

3. Untuk melindungi kepentingan kreditur, selama putusan atas permohonan


pernyataan pailit belum diucapkan, kreditur dapat mengajukan permohonan
kepada pengadilan untuk :
a) Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur.
b) Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha debitur,
menerima pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau penggunaan
kekayaan debitur (Pasal 10)
4. Harus diumumkan di 2 (dua) surat kabar (Pasal 15 ayat (4).7

Akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah ia tidak boleh lagi

mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang akan

mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut adalah

Kurator.Untuk menjaga dan mengawasi tugas seorang kurator, pengadilan menunjuk

seorang Hakim Pengawas, yang mengawasi perjalanan proses kepailitan (pengurusan

dan pemberesan harta pailit).8

Dikeluarkannya Undang-Undang Kepailitan oleh pemerintah harus dilihat

bukan hanya sebagai upaya yang bersifat reaktif semata-mata untuk menghadapi

krisis moneter yang melanda perekonomian Indonesia saat ini, tetapi juga harus

dilihat sebagai pembangunan hukum nasional dalam rangka penggantian sistem dan

pranata hukum warisan masa Kolonial Belanda menjadi hukum nasional Indonesia.

Perseroan Terbatas merupakan suatu artificial person, yaitu suatu badan

hukum yang dengan sengaja diciptakan, yang pada dasarnya mempunyai hak dan

kewajiban yang sama dengan manusia. Bila manusia memiliki anggota tubuh,

perseroan memiliki organ-organ seperti komisaris, direksi, dan Rapat Umum

Pemegang Saham. Hak dan kewajiban organ-organ perseroan ini tidak hanya diatur

7
Ibid., hal.153.
8
Sunarmi, Hukum Kepailitan, USU Press, Medan, 2009, hal. 16
7

oleh undang-undang, anggaran dasar, dan doktrin. Perubahan anggaran dasar

perseroan hanya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Anggaran

Dasar.9

Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan

perjanjian, yang melakukan kegiatan usaha dengan modal tertentu, yang seluruhnya

terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-

undang ini serta peraturan pelaksananya.

Perseroan terbatas sebagai badan hukum dapat dinyatakan pailit, kepailitan

Perseroan terbatas dapat memberikan akibat hukum terhadap organ-organ perseroaan

terbatas tersebut salah satunya adalah direksi. Jabatan anggota direksi dalam

pengurusan perseroan merupakan jabatan penting, karena seluruh kegiatan

operasional dari suatu perseroan terletak di tangan direksi.10 Dalam Pasal 1 ayat (4)

UUPT disebutkan bahwa direksi adalah “organ perseroan yang bertanggung jawab

penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta

mewakili perseroan baik di dalam maupun diluar pengadilan sesuai ketentuan

Anggaran Dasar”.

Dalam melakukan tugas dan wewenangnya direksi harus bertolak dari

landasan bahwa tugas dan kedudukannya diperoleh berdasarkan dua prinsip yaitu

pertama kepercayaan yang diberikan perseroan kepadanya (fiduciary duty) dan kedua

9
Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum
Perusahaan,PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.53.
10
M. Udin Silalahi, Badan Hukum Organisasi Perusahaan, Jemmars, IBLAM, Jakarta, hal.
40.
8

yaitu prinsip duty of skill and care atau kemampuan dan kehati-hatian tindakan

Direksi.11

Di dalam Undang-Undang Peseroan Terbatas, tugas dan wewenang direksi

terdapat dalam Pasal-Pasal berikut ini : Pasal 92 yaitu antara lain :

1. Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan

sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.

2. Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang

ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.

3. Direksi Perseroan terdiri atas 1 (satu) orang anggota Direksi atau lebih.

Sebagaimana telah diketahui bahwa organ perseroan terdiri dari Rapat Umum

Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris, dan Direksi. Ketiga organ ini memiliki

tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang berbeda satu sama lainnya. Direksi adalah

merupakan salah satu organ perseroan terbatas yang memiliki tugas serta bertanggung

jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan tujuan perseroan serta

mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan

anggaran dasar. Direksi mempunyai fungsi dan peranan yang sangatsentral dalam

paradigma perseroan terbatas. Hal ini karena direksi yang akan menjalankan fungsi

pengurusan dan perwakilan perseroan terbatas.12

11
Chatamarrasjid, Op.Cit., hal.71.
12
M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, Edisi
Pertama, Cet. ke-1. Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal.225.
9

Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab

penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan

maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar

pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

Menurut teori Organisme dari Otto von Gierke sebagaimana yang dikutip oleh

Syuiling (1948),

“Direksi adalah organ atau alat perlengkapan badan hukum. Seperti halnya manusia
mempunyai organ-organ, seperti tangan, kaki, mata, telinga dan seterusnya dan
karena setiap gerakan organ-organ itu dikehendaki atau diperintahkan oleh otak
manusia, maka setiap gerakan atau aktifitas Direksi badan hukum dikehendaki atau
diperintah oleh badan hukum sendiri, sehingga Direksi adalah personifikasi dari
badan hukum itu sendiri. Sebaliknya Paul Scholten dan Bregstein (1954), langsung
mengatakan bahwa Direksi mewakili badan hukum”.13

Bertitik tolak dari pendapat ketiga ahli tersebut di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa Direksi PT itu bertindak mewakili PT sebagai badan hukum.

Kapan PT memperoleh status sebagai badan hukum, menurut Pasal 7 ayat (4) UUPT

adalah “Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya

Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan”.

Pada prinsipnya direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap

perbuatan yang dilakukan untuk dan atas narna perseroan berdasarkan wewenang

yang dimilikinya. Hal ini karena perbuatan direksi dipandang sebagai perbuatan

perseroan terbatas yang merupakan subjek hukum mandiri sehingga perseroanlah

yang bertanggungjawab terhadap perbuatan perseroan itu sendiri yang dalam hal ini

13
Nindyo Pramono,Tanggung Jawab dan Kewajiban Pengurus PT (Bank Menurut UU Nomor
40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Buletin Hukum dan Kebanksentralan, Volume 5 Nomor
3 Tahun 2007, 2007, hal.15.
10

direpresentasikan oleh direksi. Narnun, dalam beberapa hal direksi dapat pula

dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi dalam kepailitan perseroan terbatas

ini.14

Pada prinsipnya direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap

perbuatan yang dilakukan atas nama perseroan yang dilakukan berdasarkan

wewenang yang dimilikinya. Hal ini karena perbuatan direksi dipandang sebagai

perbuatan perseroan terbatas yang merupakan subjek hukum. namun ada beberapa hal

direksi dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi dalam kepailitan

perseroan terbatas.15

Pasal 104 ayat (2) UUPT

“Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena
kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar
seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi
secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak
terlunasi dari harta pailit tersebut”

Pasal 104 ayat (4) menyebutkan :

Pasal 104 ayat (4) merupakan perwujudan dari asas piercing the corporate
veil dimana anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepalitan perseroan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan :
a) Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya,
b) Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh
tanggungjawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan
tujuan Perseroan.
c) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan
d) Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan”

14
M. Hadi Subhan,Op.Cit, hal.232.
15
Agus Salim Harahap,Tanggung Jawab Direksi Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas, Lex
Jurnalica, Vol.5 Nomor 3, Sekolah Tinggi Ilmu Alhikmah, Medan, www.google.com, hal.166.
11

Bukanlah hal yang mudah untuk membuktikan direksi telah melakukan

kesalahan dan/atau kelalaian sehingga menyebabkan suatu perseroan mengalami

kebangkrutan yang berujung pada kepailitan. Fenomena seperti ini sudah sejak

dahulu terjadi. Dari pengaturan ini, maka sebenarnya ada benang merah antara

tanggung jawab direksi perseroan terbatas tidak dalam pailit dan tanggungjawab

direksi dalam hal perseroan terbatas mengalami pailit.

Berbagai teori tanggung jawab direksi dapat dipakai pula untuk mengukur

tanggung jawab direksi dalam hal perseroan terbatas mengalami kepailitan. Pasal 104

Ayat (2) UUPT merupakan implikasi yuridis dari sifat kolegialitas dari direksi di

mana segenap direksi bertanggung jawab secara renteng (jointly and severely).

Sehingga bagi anggota direksi yang berkehendak untuk melepaskan tanggung jawab

renteng tersebut, maka anggota direksi itu wajib membuktikan mengenai hal itu.

Aspek kolegialitas atau disebut dengan tanggung jawab secara renteng bisa

menciptakan ketidakadilan dari anggota direksi yang tidak melakukan perbuatan

tertentu namun dapat dimintai pertanggungjawaban. Untuk menjembatani persoalan

ketidakadilan in, pendapat Rudhi Prasetya sangat tepat yang menyatakan bahwa

“Sebenarnya penting ketentuan dalam anggaran dasar yang mengatur


mengenai lembaga rapat direksi benar-benar diimplementasikan dan jangan
sekadar dijadikan hiasan. Agar direksi dalam mengambil keputusan benar-
benar telah dirundingkan di antara segenap anggota direksi,yang notabene di
antara mereka bertanggung jawab secara kolegial”.16

16
Ibid, hal. 167
12

Mengenai tanggung jawab direksi yang perseroannya mengalami pailit, Munir

Fuady dalam M. Hadi Subhan17 menyatakan bahwa apabila suatu perseroan pailit,

maka tak sekonyong-konyong (tidak demi hukum) pihak direksi harus bertanggung

jawab secara pribadi. Agar pihak anggota direksi dapat dimintakan tanggung jawab

pribadi ketika suatu perusahaan pailit, haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai

berikut:18

a) Terdapatnya unsur kesalahan (kesengajaan) atau kelalaian dari direksi


(dengan pembuktian biasa).
b) Untuk membayar utang dan ongkos-ongkos kepailitan, haruslah diambil
terlebih dahulu dari aset-aset perseroan. Bila aset perseroan tidak
mencukupi, barulah diambil aset direksi pribadi.
c) Diberlakukan pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) bagi anggota
direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan perseroan bukan karena
kesalahan. (kesengajaan) atau kelalaiannya.

Pada dasarnya dalam praaktik proses kepailitan dilakukan oleh pengadilan

niaga salah satunya yang telah berkekuatan hukum tetap berimbas kepada tanggung

jawab direksi pada putusan tersebut.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 05/Pailit/2012/PN/

NIAGA.SMG memutuskan pailitnya antara Kreditur (Hendrianto Muliawan dan

Agung Hariyono) melawan PT. Indonesia Antique dan Wahyu Hanggono. Hendrianto

Muliawan dan Agung Hariyono adalah para pemohon pailit yang telah mengajukan

surat pailitnya tertanggal 7 Mei 2012 terhadap para termohon pailit yaitu PT.

Indonesia Antique sebagai Termohon I yaitu perusahaan dan atau perseroan yang

didirikan berdasarkan hukum dan perundang-undangan yang bergerak di bidang

17
M. Hadi Subhan,Op.Cit, hal.236.
18
Ibid.
13

produksi dan di bidang meuble. Dalam hal ini Termohon II yaitu Saudara Wahyu

Hanggono menjabat selaku direktur di perusahaan PT. Indonesia Antique tersebut

bertindak dalam jabatannya dan juga secara pribadi telah membuat dan

menandatangani hutang piutang dengan pemohon I dengan nilai utang piutang

sebesar Rp 55.000.000,- (lima puluh lima juta rupiah), sebagaimana dimaksud dalam

perjanjian tertanggal 10 Januari 2010. Dalam perjanjian dimaksud telah disepakati

pengembalian dan atau pembayaran hutang sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta

rupiah), akan dilakukan seketika pada tanggal 10 April 2010 dan oleh karenanya

dalam hal ini telah disepakati tanggal jatuh tempo pada tanggal 10 April 2010.

Pada saat utang telah jatuh tempo, pemohon I telah meminta para termohon

untuk melakukan pembayaran atas utang dimaksud, namun demikian ternyata pada

tanggal 1 jatuh tempo para termohon belum melakukan pembayaran. Pemohon I telah

mengirimkan dua surat peringatan (somatie) kepada para termohon yaitu pada tanggal

1 April 2010 (somatie I) namun tidak diindahkan oleh termohon, selanjutnya surat

peringatan (somatie II) tanggal 2 Mei 2010 namun juga tidak diindahkan oleh para

termohon. Pemohon I juga telah melakukan serangkaian upaya penagihan yang patut,

namun para termohon tidak juga mengindahkan dan melaksanakan pembayaran.

Selain memiliki utang kepada pemohon I para termohon juga memiliki utang kepada

pemohon II sebesar Rp 90.000.000,- (sembilan puluh juta rupiah) sebagaimana

terbukti dalam perjanjian utang piutang tertanggal 15 April 2011 yang telah

disepakati pengambalian utang tersebut sebesar 90.000.000,- (sembilan puluh juta

rupiah) dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2011 secara seketika. Namun pada saat
14

jatuh tempo utang yang telah diperjanjikan yaitu 15 Oktober 2011 para termohon

tidak melaksanakan pembayaran utangnya. Pemohon II telah melakukan penagihan

kepada para termohon, namun pihak para termohon belum dapat melakukan

pembayaran dengan alasan pembayaran terdapat kesulitan berbisnis. Pemohon II juga

telah mengirimkan tiga kali surat peringatan (somatie) masing-masing tanggal 1

Nopember 2011, 7 Nopember 2011 dan 4 Nopember 2011. Meskipun para termohon

telah melakukan somatie sebanyak tiga kali dari pemohon dua ternyata hingga

didaftarkannya permohonan pernyataan pailit ini para termohon juga tidak melakukan

pembayaran kepada pemohon II.

Dari uraian kasus di atas bila dikaitkan dengan topik permasalahan penelitian

ini maka bagaimana akibat hukum putusan pailit terhadap perseroan terbatas tersebut,

apakah direksi secara pribadi dapat dipailitkan sejalan dengan kepailitan PT dan

bagaimana tanggung jawab direksi terhadap kepailitan PT tersebut.

Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini,

adalah dalam rangka untuk menyelesaikan studi di Program Magister Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara dengan judul : ”Pertanggungjawaban Direksi

Terhadap Kepailitan Perseroan Terbatas (Studi Terhadap Putusan Mahkamah

Agung No. 05/PAILIT/2012/PN/NIAGA.SMG)”


15

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, ditarik pokok permasalahan yang akan

menjadi dasar dalam penyusunan tesis ini. Perumusan masalah dalam suatu penelitian

sangat penting keberadaannya karena akan diteliti lebih jauh lagi. Adapun pokok

permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut dalam tesis ini adalah :

1. Bagaimana akibat hukum putusan pailit terhadap Perseroan Terbatas?

2. Apakah direksi secara pribadi dapat dipailitkan sejalan dengan kepailitan PT?

3. Bagaimana tanggung jawab direksi terhadap kepailitan PT?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang

hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui akibat hukum putusan pailit terhadap Perseroan Terbatas

2. Untuk mengetahui direksi secara pribadi dapat dipailitkan sejalan dengan

kepailitan PT

3. Untuk mengetahui tanggung jawab direksi terhadap kepailitan PT

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan suatu penentu apakah penelitian itu berguna

atau tidak. Bertitik tolak dari hal tersebut maka penulis menghendaki supaya

penelitian yang dilakukan dapat bermanfaat antara lain sebagai berikut :


16

1. Manfaat secara teoritis.

a. Diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang

diteliti.

b. Diharapkan dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran dan

pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum perdata pada

khususnya dan penelitian ini dapat menambah bahan terutama mengenai

hukum kepailitan dan Perseroan Terbatas.

c. Diharapkan dapat menambah referensi/ literatur sebagai bahan acuan bagi

penelitian yang akan datang apabila melakukan penelitian dibidang yang sama

dengan yang penyusun teliti.

2. Manfaat secara praktis

a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian bagi pihak-pihak

berkepentingan dalam penelitian ini.

b. Diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat umum dan pelaku

bisnis lainnya agar dapat lebih mengetahui dan memahami akibat hukum

terhadap direksi Perseroan Terbatas yang dijatuhi putusan pailit sehingga

dapat menjadi referensi bagi semua pihak.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang

ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan magister

kenotariatan belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul “pertanggungjawaban


17

direksi terhadap kepailitan perseroan terbatas Studi: Terhadap Putusan Mahkamah

Agung Republik Indonesia No. 05/PAILIT/2012/PN/NIAGA.SMG yang telah

berkekuatan hukum tetap ini berimbas kepada tanggung jawab direksi pada putusan

tersebut, belum ada yang membahasnya.

Adapun penelitian yang berkaitan berkaitan dengan pertanggungjawaban

direksi terhadap kepailitan Perseroan Terbatas antara lain :

1. Irma Hani Nasution/NIM.047010012/M.Kn dengan judul “Sistem Tanggung

Jawab Direksi Perseroan Terbatas di Indonesia”

Rumusan masalah :

a. Bagaimana sistem pertanggungjawaban PT di Indonesia apabila terjadi

kepailitan?

b. Apakah proses kepailitan PT dapat sejalan dengan proses kepailitan direksi?

c. Bagaimna akibat hukum terjadinya kepailitan PT dan kepailitan terhadap

direksi?

2. Bornok Maria Irene P. Nababan/NIM.077021118/M.Kn dengan judul, “Analisis

Hukum Terhadap Tanggung Jawab Direksi dalam Pelepasan Aset Perseroan

Terbatas”.

Rumusan masalah :

a. Bagaimana tanggung jawab direksi terhadap PT berdasarkan prinsip-prinsip

dasar good corporate governance?

b. Bagaimana tanggung jawab direksi dalam pelepasan asset perusahaan PT?


18

c. Bagaimana akibat hukumnya terhadap pelepasan asset perusahaan PT oleh

direksi?

3. Zuwina Putri/NIM. 057011016/M.Kn dengan judul, “Pelaksanaan Tugas dan

Kewenangan Kurator dalam Kepailitan pada Perseroan Terbatas”

Perumusan masalah :

a. Bagaimana tugas dan kewenangan kurator dalam kepailitan PT?

b. Bagaimana pengurusan dan pemberesan harta pailit PT oleh kurator

berdasarkan Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan

PKPU?

Dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya dan secara akademis dapat

dipertanggungjawabkan, meskipun ada peneliti-peneliti terdahulu yang pernah

melakukan penelitian mengenai masalah pertanggungjawaban Direksi Terhadap

Kepailitan Perseroan Terbatas, namun menyangkut judul dan substansi pokok

permasalahan adalah berbeda dengan penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

a) Teori Badan Hukum

Dalam hukum perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak, yaitu sesuatu

yang mempunyai hak dan kewajiban dan disebut subyek hukum. Yang dimaksud

subyek hukum disini adalah siapa yang dapat mempunyai hak dan cakap untuk
19

bertindak di dalam hukum, atau dengan kata lain siapa yang cakap menurut hukum

untuk mempunyai hak.19

Sudah merupakan kenyataan pula, bahwa dalam ilmu hukum dan pergaulan

hidup manusia di dalam masyarakat telah diterima adanya subjek hukum lain

disamping manusia. Selanjutnya untuk membedakan dengan apa yang disebut orang

dalam artian yuridis, maka subjek hukum yang lain digunakan istilah Badan

Hukum.20Badan Hukum merupakan salah satu dari subjek hukum, karena selain

Badan Hukum terdapat subjek hukum lain yaitu manusia (natuuralijkpersoon).

Manusia (natuuralijkpersoon) sebagai subjek hukum memiliki hak dan kewajiban

dalam hukum. Manusia sebagai subjek hukum sudah dimulai sejak masih dalam

kandungan dan berakhir sampai ia meninggal dunia, hal ini sebagaimana ditegaskan

dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : “Anak yang ada dalam

kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga

kepentingan si anak menghendakinya.

Mati setelah dilahirkan, dianggaplah ia tidak pernah telah ada”. Manusia

pribadi (natuurlijk persoon) sebagai subyek hukum mempunyai hak dan mempu

menjalankan haknya yang dijamin oleh hukum yang berlaku.21Disamping manusia

pribadi sebagai pembawa hak, terdapat pula badan-badan (kumpulan manusia) yang

19
H.A.R Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional Dalam
Pusaran Kekuasaan, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 1.
20
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1975, hal.7.
21
Ibid, hal. 4.
20

oleh hukum diberi status “persoon” yang mempunyai hak dan kewajiban seperti

manusia, hal demikian kita kenal dengan sebutan Badan Hukum.

Badan Hukum sebagai pembawa hak dan tak berjiwa dapat berlaku

selayaknya manusia yang berjiwa sebagai pembawa hak,misalnya Badan Hukum

dapat melakukan persetujuan-persetujuan dan memiliki kekayaan yang sama sekali

terlepas dari kekayaan anggotaanggotanya.22

Istilah Badan Hukum sebagai subyek hukum sering disebut baik didalam

kepustakaan maupun di dalam kehidupan sehari-hari, akantetapi, sampai saat ini

belum ada peraturan perundang-undangan yang memberikan rumusan tentang Badan

Hukum tersebut. Untuk itu dapat dilihat pengertian Badan Hukum dari pendapat para

sarjana antara lain :23

1) E.M. Meijers mengatakan bahwa Badan Hukum meliputi sesuatu yang

menjadi pendukung hak dan kewajiban.

2) Logemann mengatakan bahwa Badan Hukum adalah personifikasiyaitu suatu

perwujudan atau penjelasan hak-kewajiban.

3) E.Utrecht berpendapat bahwa Badan Hukum yaitu badan yangmenurut hukum

berkuasa/berwenang menjadi pendukung hak atauBadan Hukum adalah setiap

pendukung hak yang tidak berjiwa.

4) Bothingk menyebutkan bahwa Badan Hukum hanyalah suatugambar yuridis

tentang identitas bukan manusia yang dapatmelakukan perbuatan-perbuatan.

22
Ibid, hal. 7.
23
Man .S. Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, Alumni, Bandung, 2005, hal. 128-
129.
21

5) R. Rochmat Soemitro mengemukakan bahwa Badan Hukum ialahsuatu badan

yang dapat mempunyai harta, hak dan kewajibanseperti orang pribadi.

6) Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pengertian suatu BadanHukum sebagai

suatu badan yang di samping manusiaperseorangan juga dianggap dapat

bertindak dalam hukum yangmempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan

perhubungan hukumterhadap orang lain atau badan lain.

b) Teori Pertanggungjawaban

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab adalah kewajiban

menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, dan

diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi

seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya.24 Menurut

hukum tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang

tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu

perbuatan.25 Selanjutnya menurut Titik Triwulan pertanggungjawaban harus

mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang

untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum

orang lain untuk memberi pertanggungjawabannya.26

Menurut hukum perdata dasar pertanggungjawaban dibagi menjadi dua

macam, yaitu kesalahan dan risiko. Dengan demikian dikenal dengan

24
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005.
25
Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hal.87.
26
Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka,
Jakarta, 2010, hal 48.
22

pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (lilability without based on fault) dan

pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang dikenal (lilability without fault) yang

dikenal dengan tanggung jawab risiko atau tanggung jawab mutlak (strick liabiliy).27

Prinsip dasar pertanggung jawaban atas dasar kesalahan mengandung arti bahwa

seseorang harus bertanggung jawab karena ia melakukan kesalahan karena merugikan

orang lain. Sebaliknya prinsip tanggung jawab risiko adalah bahwa konsumen

penggugat tidak diwajibkan lagi melainkan produsen tergugat langsung bertanggung

jawab sebagai risiko usahanya.

Menurut Abdulkadir Muhammad teori tanggung jawab dalam perbuatan

melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, yaitu :28

1) Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan

sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan perbuatan

sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa

yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.

2) Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan

karenakelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep kesalahan

(concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah

bercampur baur (interminglend).

3) Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa

mempersoalkan kesalahan (stirck liability), didasarkan pada perbuatannya

27
Ibid. hal. 49.
28
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010,
hal. 503.
23

baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan

kesalahannya tetap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat

perbuatannya.

Istilah perbuatan melawan hukum berasal dari bahasa Belanda disebut dengan

istilah (onrechmatige daad) atau dalam bahasa inggris disebut tort. Kata (tort)

berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan dari

wanprestasi kontrak. Kata (tort) berasal dari bahasa latin (orquer) atau (tortus) dalam

bahasa Prancis, seperti kata (wrong) berasal dari bahasa Prancis (wrung) yang berarti

kesalahan atau kerugian (injury). Pada prinsipnya, tujuan dibentuknya sistem hukum

yang kemudian dikenal dengan perbutan melawan hukum tersebut adalah untuk dapat

tercapai seperti apa yang disebut oleh pribahasa latin, yaitu (juris praecepta sunt haec

honeste vivere,alterum non leadere, suum cuque tribune) artinya semboyan hukum

adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain dan memberikan orang lain

haknya.

Sebelum tahun 1919 yang dimaksud perbuatan melawan hukum adalah

perbuatan yang melanggar peraturan tertulis. Namun sejak tahun 1919 berdasar

Arrest HR 31 Januari 1919 dalam perkara Cohen melawan Lindenbaum, maka yang

dimaksud perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak

oranglain, hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, kewajiban hukum serta kepatutan

dan kesusilaan yang diterima di masyarakat.29

29
Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hal. 511.
24

Perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diatur dalam Buku

IIIKUHPerdata. Rumusan perbuatan melawan hukum terdapat pada Pasal 1365

KUHPerdata yaitu : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian

kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan

kerugian itu, mengganti kerugian tersebut” Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, yang

dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melawan hukum

yang dilakukan oleh seorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi

orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) katgori perbuatan melawan hukum,

yaitu sebagai berikut :30

1) Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.

2) Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaanmaupun

kelalaian).

3) Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Jika ditinjau dari pengaturan KUHPerdata Indonesia tentang perbuatan

melawanhukum lainya, sebagaimana juga dengan KUHPerdata di negara sistem

EropaKontinental, maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut :31

a. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian),

sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

b. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian,

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata.

30
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2010, hal. 3.
31
Ibid, hal. 3.
25

c. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat

terbatassebagaimana yang diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata.

c) Teori Bussines Judgement Rule

Jika dilihat dari perkembangan bisnis negara-negara maju bahwa tidak hanya

berpatokan terhadap bisnis saja akan tetapi juga harus memperhatikan rule (aturan)

yang terkait dengan dunia bisnis. Untuk memenuhi perkembangan dunia usaha serta

untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan praktek yang menghendaki perubahan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang PT, maka pemerintah merasa perlu

untuk melakukan perubahan dan mengganti Undang-Undang Perseroan Terbatas

tersebut dan terakhir diubah dengan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas yang biasa juga disebut dengan UUPT. Republik Indonesia

khususnya dalam ruang lingkup Hukum Perusahaan masih sangat dominan menganut

doktrin yang keberadaannya diakomodasi dan bersumber dari sistem Hukum negara

lain baik itu dari sistem Hukum Anglo Saxon maupun Eropa Kontinental.

Dalam menjalankan kepengurusan terhadap perseroan sepenuhnya adalah

tanggung jawab Direksi, yang mempunyai tanggung jawab penuh atas pengelolaan

perseroan dan tidak terhadap para pemegang saham dalam perseroan melainkan untuk

kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun

diluar pengadilan. Dengan diakomodirnya doktrin prinsip Business Judgment Rule

kedalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,

diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi Direksi dalam mengelola

perseroan sesuai tugas dan fungsinya berdasarkan prinsip Fiduciary Duty.


26

Direksi berkewajiban mengurus perseroan dengan itikad baik sebagaimana

ditegaskan didalam Pasal 97 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas, bahwa pengurusan sebagaimana dimaksud ayat (1), wajib

dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab,

setiap tindakan Direksi yang didasari oleh itikad baik dilindungi oleh undang-undang

sepanjang perbuatan tersebut dapat dibuktikan dengan cara terhindar dari perbuatan

yang menguntungkan pribadi seorang Direksidalam mengambil suatu keputusan

penting terhadap perseroan yang mengakibatkan perseroan tersebut mengalami

kerugian. Seorang Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi, jika

terbukti melanggar prinsip fiduciary duty dalam menjalankan kepengurusan perseroan

yang mengakibatkan kerugian terhadap perseroan. Dalam perkembangannya

penerapan prinsip fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam

bagi para Direksi untuk mengambil keputusan bisnisnya.

Permasalahan yang timbul adalah ketika keputusan bisnis yang diambil oleh

seorang Direksi ternyata dianggap merugikan perseroan, padahal dalam mengambil

keputusan tersebut, Direksi melakukannya dengan itikad baik, yaitu adanya tuntutan

perseroan terhadap Direksi yang menuntut pertanggung jawaban Direksi secara

pribadi atas kerugian yang dialami oleh perseroan, yang dikarenakan tindakannya

dalam melaksanakan pengurusan perseroan dianggap mengakibatkan kerugian dalam

hal ini melanggar prinsip fiduciary duty yang diamanahkan oleh perseroan kepada

Direksinya. Ada kecenderungan bahwa penerapan doktrin business judgment rule


27

terhadap Direksi yang dianggap melanggar prinsip fiduciary duty dalam perseroan ini

belum berjalan sebagaimana mestinya.

Dalam kepailitan seluruh harta benda debitur di peruntukan bagi pembayaran

tagihan-tagihan kreditur maka jika harta bendanya itu tidak mencukupi untuk

memenuhi kewajiban atas semua tanggungan itu, tentu harta benda itu harus dibagi di

antara para kreditur menurut perbandingan tagihan mereka masing-masing.32

Pembagian harta kekayaan pailit ini dimaksudkan untuk menjamin kepentingan para

kreditur. Hukum yang memberikan perlindungan terhadap kreditur dari kreditur

lainnya berupaya mencegah salah satu kreditur memperoleh lebih banyak dari

kreditur lainnya dalam pembagian harta kekayaan, sedangkan perlindungan dari

kreditur yang tidak jujur diperoleh dengan mewajibkan debitur mengungkap secara

penuh maupun secara priodik. Sementara itu, apabila debitur berada dalam keadaan

susah dapat ditolong maka debitur dimungkinkan untuk dapat di keluarkan secara

terhormat dari permasalahan utangnya.33

Hukum kepailitan dari sifatnya sebagai hukum yang memaksa dan berlaku

secara kolektif yaitu : “A Collective process in that individual creditors are not able

to enforce their debts independently of the other creditors”.34

32
Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan.
Mandar Maju, Bandung, 1999. hal. 2.
33
Zulkarnain Sitompul, Pola Penyelesaian Utang Tantangan Bagi Pemaharuan Undang-
Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU , Makalah disampaikan dalam lokakarya
Mengenai Tantangan Perubahan Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU ,
Medan 7 Desember 2001, Kerjasama FH UI, Pascasarjana USU dan University of sout Carolina.
34
Sunarmi, Hukum Kepailitan edisi 2. PT. Soft Media. 2010. hal. 30.
28

Dalam kepailitan dan PKPU, Hakim Pengawas memiliki peranan yang sangat

penting dalam kepailitan. Peranan itu mulai berlaku setelah diucapkan putusan

pernyataan pailit. Hakim Pengawas mengawasi pekerjaan Kurator dalam rangka

melakukan tugas pengurusan dan pemberesan. Tindakan pengawasan yang dilakukan

Hakim Pengawas dituangkan dalam bentuk penetapan atau berita acara rapat.

Penetapan tersebut bersifat final and biding dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu,

kecuali Undang–Undang menentukan lain. Penetapan tersebut sebagai dasar Kurator

dalam menjalankan tugas-tugasnya mengurus dan membebaskan harta debitur pailit.

Dalam pemberesan dan pengurusan harta pailit, sebaiknya Hakim Pengawas

mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit secara arif, bijaksana dan cermat.

Dalam artian tidaklah boleh merugikan salah satu pihak, apakah itu debitur atau

kreditur dalam pemberesan dan pengurusan harta pailit. Teori mengenai keadilan

sangatlah sinkron dengan penulisan tesis ini. Dengan adanya rasa keadilan yang

dikedepankan, maka Hakim Pengawas dapat menjalankan tugas tidak berat sebelah,

sehingga tidak akan merugikan salah satu pihak.

Teori mengenai keadilan ini menurut Aristoteles ialah perlakuan yang sama

bagi mereka yang sederajat di depan hukum, tetap menjadi urusan tatanan politik

untuk menentukan siapa yang harus diperlakukan sama atau sebaliknya.Pendapat

yang sama juga dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, dalam pembuatan hukum

fungsinya sebagai pengatur kehidupan bersama manusia, oleh karena itu hukum harus

melibatkan aktifitas dengan kualitas yang berbeda-beda. Pembuatan hukum

merupakan awal dari bergulirnya proses pengaturan tersebut, ia merupakan


29

momentum yang dimiliki keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh

hukum. Dia juga mengatakan hukum sebagai perwujudan nilai-nilai yang

mengandung arti, bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan

nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.35 R. Soekardono menyebutkan bahwa

kepailitan adalah penyitaan umum atas harta kekayaan si pailit bagi kepentingan

semua penagihnya, dalam artian secara kolektif memaksimalkan kesejahteraan

kelompok.36

Hal-hal yang telah diuraijan di atas maka dapat menjawab permasalahan yang

diajukan dipergunakan pendekatan dengan kerangka teori. Kerangka berfikir menjadi

konsep kedilan dan perlindungan yang seimbang terhadap kepentingan kreditur dan

debitur dalam hukum kepailitan sebaga paradigma filosofis. Selanjutnya paradigma

yang bersifat konstan ini diinteraksikan dengan potensi yang dimiliki Indonesia dan

perkembangan situasi dan kondisi yang berupa kelemahan-kelemahan yang terdapat

dalam hukum kepailitan baik dari segi subtansi maupun dalam praktek serta kondisi

perdagangan nasional dan global.

2. Kerangka Konsepsional

Dalam penelitian ini untuk menemukan atau mendapatkan pengertian atau

penafsiran dalam tesis ini, maka berikut ini adalah definisi operasional sebagai

batasan tentang objek yang diteliti:

35
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum : Perkembangan, Metode dan Pilihan Hukum,
Universitas Muhamadyah, Surakarta. 2004. hal. 60.
36
Sunarmi, Op. Cit hal. 22.
30

a. Kepailitan adalah suatu sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang

pengurusan dan pemberesannya di lakukannya oleh Kurator di bawah

pengawasan sebagai mana diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 1 butir

Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Pasal 1 butir 1

ini secara tegas menyatakan bahwa “kepailitan adalah sita umum, bukan sita

individual”, karena itu disyaratkan dalam Undang-Undang 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan PKPU bahwa untuk mengajukan permohonan pailit

harus memiliki 2 (dua) atau lebih kreditur. Seorang kreditur yang hanya

memiliki 1 (satu) kreditur tidak dapat dinyatakan pailit karena hal ini

melanggar prinsip sita. Apabila hanya satu kreditur maka yang berlaku adalah

sita individual, dan penuntutannya melalui gugatan perdata biasa, bukan

melalui permohonan pailit.37

b. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau

Undang-Undang yang dapat di tagih di muka pengadilan.38

c. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-

Undang yang dapat di tagih di muka pengadilan.39

d. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan dalam atau dapat dinyatakan dalam

jumlah uang baik dalam mata uang rupiah atau asing, baik secara langsung

maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontiniu, yang timbul karena

37
Sunarmi, Op. Cit, hal. 29
38
Pasal 1 Ayat (2) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
39
Pasal 1 Ayat (3) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
31

perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila

tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya

dari harta kekayaan debitur.40

e. Kurator adalah balai harta peninggalan atau perseorangan yang diangkat oleh

pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah

pengawas sesuai dengan Undang-Undang.41

f. Hakim Pengawas adalah hakim yang di tunjuk oleh pengadilan dalam putusan

pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.42

g. Pemberesan harta pailit adalah jika dalam rapat pencocokan piutang tidak

ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian tidak diterima, atau

pengesahan perdamaian telah ditolak berdasarkan putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam

keadaan insolven.43

h. Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum

yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,

melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam

40
Pasal 1 Ayat (7) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
41
Pasal 1 Ayat (5) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
42
Pasal 1 Ayat (8) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
43
Pasal 178 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan.
32

saham dan memenui persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang serta

peraturan pelaksanaannya.44

i. Organ perseroan adalah rapat umum pemegang saham, direksi, dan dewan

komisaris.45

j. Rapat umum pemegang saham, yang disebut (RUPS), adalah organ

perusahaan perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan

kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam

undang-undang ini dan atau anggaran dasar.46

k. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh

akan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan

maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun

diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.47

l. Dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan

pengawasan secara umum dan atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta

memberi nasehat kepada direksi.48

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji/menganalisis data sekunder yang berupa

44
Pasal 1 ayat (1) UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
45
Pasal 1 ayat (2) UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
46
Pasal 1 ayat (4) UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
47
Pasal 1 ayat (5) UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
48
Pasal 1 ayat (6) UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
33

bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memahami hukum

sebagai seperangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem Perundang-

Undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia.49

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan ini mencakup:

1. Penelitian terhadap asas-asas hukum .

2. Penelitian terhadap sistematika hukum.

3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.

4. Perbandingan hukum.

5. Sejarah hukum.50

Penelitian hukum normatif dapat disebut juga sebagai penelitian hukum yang

meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Penelitian normatif selalu

mengambil isu dari hukum sebagai sistem norma yang digunakan untuk memberikan

justifikasi preskriptif tentang suatu peristiwa hukum. Penelitian dilakukan dengan

maksud memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah suatu

peristiwa sudah benar atau salah serta bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut

hukum.

Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari

penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data

dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa aspek-aspek hukum di Indonesia,

49
Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hal. 14.
50
Bambang Sunggono, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali, Jakarta, 2009, hal. 8
34

peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya ilmiah, bahan kuliah, putusan

pengadilan, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan

pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai

keterkaitan peraturan.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang

merupakan prosedur penelitian untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika

keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan yang juga dalam penelitian

hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu

hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukumnya itu sendiri.

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu

masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas

terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian

metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk

memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.51

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dimana pendekatan

terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan

yang berlaku mengenai hukum kepailitan bagi perusahaan pada umumnya maupun

dewan direksi pada khususnya yang termuat di dalam Undang-Undang No. 37 Tahun

2004 tentang Kepailitan serta Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

51
Lukman Hadi Darmanto, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007,
hal. 9
35

Terbatas. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah dari

penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang

permasalahan yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta

yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan

dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut.52

Penarikan kesimpulan diawali dengan analisa terhadap uraian-uraian yang

bersifat umum (deduktif) untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus

(induktif).

2. Sumber Data

Sumber-sumber data dalam penelitian dapat berasal dari data sekunder yang

dibedakan menjadi bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tertier yaitu :

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan Perundang-Undangan di bidang hukum

kepailitan yaitu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan pembayaran utang, dan KUH Perdata, UUPT.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar

hukum serta bahan dokumen-dokumen lainya yang berkaitan dengan Peranan

Hakim Pengawas Dalam Pemberesan Harta Pailit Dalam Kepailitan.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum,
52
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Normatif, UI Press, Jakarta, 2001, hal. 30
36

kamus hukum, jurnal atau surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan

dengan materi penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data

sekunder melalui pengkajian terhadap, peraturan, peraturan Perundang-Undangan,

literatur, tulisan-tulisan pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan

dan putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan

data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data. 53 Di dalam

penelitian hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya berarti kegiatan untuk

mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis, sistematisasi yang

berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk

memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.54 Sebelum dilakukan analisis,

terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang

dikumpulkan baik melalui studi dokumen. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan

dianalisis dan disistematisasikan secara kualitatif yang artinya menjelaskan dengan

kalimat sendiri semua kenyataan yang terungkap dari data sehingga menghasilkan

53
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hal
106.
54
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal 25.
37

klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini,

dengan tujuan untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan yang dibahas

dalam penelitian ini yaitu masalah pertanggung jawaban direksi terhadap kepailitan

perseroan terbatas.
38

BAB II

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP


PERSEROAN TERBATAS

A. Pengertian dan Kedudukan Hukum Perseroan Terbatas

Perseroan Terbatas (PT) merupakan bentuk usaha yang paling diminati,

karena pertanggung jawaban yang bersifat terbatas, perseroan juga memberikan

kemudahan bagi pemilik (pemegang saham) untuk mengalihkan perusahaannya

kepada setiap orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada

perusahaan tersebut. Kata “perseroan” menunjuk kepada modal yang terdiri atas sero

(saham). Sedangkan kata “terbatas” menunjuk kepada tanggung jawab pemegang

saham yang tidak melebihi nilai nominal saham yang diambil bagian dan dimilikinya.

Ketentuan perundang-undangan PT saat ini dapat dilihat pada Undang-Undang No 40

Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. 55

Undang-Undang PT mendefenisikan Perseroan Terbatas sebagai: “Badan

hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, yang melakukan kegiatan usaha

dengan modal tertentu, yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi

persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang serta peraturan pelaksanaanya”.56

55
Habib Adjie, Status Badan Hukum, Prinsip-prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan
Terbatas, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 42
56
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010, hal. 7

38
39

Dari batasan yang diberikan tersebut ada lima hal pokok yang dapat

diketahui :

1. Perseroan Terbatas merupakan suatu badan hukum

2. Didirikan berdasarkan perjanjian.

3. Menjalankan usaha tertentu

4. Memiliki modal yang terbagi dalam saham-saham.

5. Memenuhi persyaratan Undang-Undang.

Menurut Pasal 7 ayat (1) UUPT, menyatakan bahwa, “Perseroan didirikan

oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta Notaris yang dibuat dalam bahasa

Indonesia. Ini mempertegas kembali makna perjanjian sebagaimana diatur dalam

ketentuan umum mengenai perjanjian yang ada dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata. Perjanjian pendirian PT yang dilakukan oleh para pendiri ditulis

dalam akta Notaris yang disebut dengan “akta pendirian”. Akta pendirian pada

dasarnya mengatur berbagai macam hak-hak dan kewajiban para pihak pendiri

perseroan dalam mengelola dan menjalankan perseroan tersebut. Hak-hak dan

kewajiban tersebut disebut dengan “anggaran dasar” perseroan, sebagaimana

ditegaskan dalam Pasal 8 ayat 1 UUPT.

Undang-undang Perseroan Terbatas mewajibkan pengesahan akta pendirian

suatu PT disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM, sebelum PT tersebut dapat

memiliki status badan hukum, yang memiliki hak dan kewajiban dan harta kekayaan
40

tersendiri.57 Saat pengesahan tersebut merupakan satu-satunya saat mulai berlakunya

sifat kemandirian.

Keberadaan status badan hukum baru diperoleh oleh perseroan apabila

memperoleh pengesahan dari pejabat yang berwenang, yang memberikan hak-hak,

kewajiban dan harta kekayaan pribadi para pendiri dan pemegang saham, maupun

pengurusnya. Menurut Pasal 157 ayat (3) UUPT mengatakan bahwa, “Perseroan

yang telah berbadan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam

jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya UUPT ini wajib menyesuaikan

anggaran dasarnya dengan ketentuan UUPT”.

Dengan demikian secara teoritis, sejak diundangkan UUPT, para pemilik PT

dianggap sudah tahu konsekuensinya apabila tidak disesuaikan dengan UUPT, PT

tersebut dapat dibubarkan oleh pengadilan. Didalam Pasal 157 ayat (4) dikatakan,

“Perseroan yang tidak menyesuaikan anggaran dasar dalam jangka waktu yang

ditentukan dapat dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan atas permohonan

kejaksaan atau pihak yang berkepentingan”. Kalau suatu PT tidak menyesuaikan

anggaran dasar dalam jangka waktu setahun, maka secara otomatis perseroan

dinyatakan tidak mempunyai legalitas sebagai badan hukum. Sebagai badan hukum,

perseroan memenuhi unsur-unsur badan hukum seperti yang ditentukan dalam UUPT.

Unsur-unsur tersebut adalah :58

57
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, Rajawali Pers,
Jakarta, hal. 44
58
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 234
41

1. Organisasi yang teratur

2. Harta kekayaan sendiri

3. Melakukan hubungan hukum sendiri

4. Mempunyai tujuan sendiri

Sesuai UUPT, status badan hukum diperoleh sejak akta pendirian disahkan

oleh Menteri Kehakiman. Ini berarti secara prinsipnya pemegang saham tidak

bertanggung jawab secara pribadi atas seluruh perikatan yang dibuat oleh dan atas

nama perseroan dengan pihak ketiga, dan oleh karenanya tidak bertanggung jawab

atas setiap kerugian yang diderita oleh suatu perseroan. Para pemegang saham

tersebut hanya bertanggung jawab atas penyetoran penuh dari nilai saham yang telah

diambil bagian olehnya.

Sedikit berbeda dengan ketentuan UUPT Tahun 1999, bahwa pada saat

perseroan belum memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman, PT belum

memiliki pemegang saham, yang dikenal hanyalah pendiri yang namanya tercantum

dalam akta pendirian PT) yang diwajibkan untuk melakukan penyetoran atas modal

yang telah dijanjiakan untuk melakukan penyetoran atas modal yang telah dijanjikan

dalam akta pendirian perseroan dan pengurus perseroan. Sebelum PT memperoleh

pengesahan dari Menteri, dalam perseroan sebenarnya terjadi suatu hubungan

persekutuan dengan firma diantara para pendiri dan pengurus perseroan yang

melakukan tindakan atau perbuatan hukum dengan pihak ketiga, untuk dan atas nama
42

perseroan.59 Apabila PT telah mendapat pengesahan dari Menteri, maka setiap

tindakan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus dan atau pendiri PT

sebagai tindakan dan perbutan hukum PT, dan karenanya akan mengikat PT sebagai

suatu badan hukum.60

Perseroan Terbatas sebagai subjek hukum yang telah berbadan hukum,

mempunyai kekayaan terpisah dari kekayaan perseroannya yang juga dapat

dinyatakan pailit. Dengan pernyataan pailit, organ badan hukum tersebut akan

kehilangan hak untuk mengurus kekayaan badan hukum. Pengurusan harta kekayaan

badan hukum yang dinyatakan pailit beralih kepada kurator. Selanjutnya dalam Pasal

113 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menyatakan

bahwa apabila yang dinyatakan pailit suatu PT, koperasi dan badan hukum lainnya,

maka pengurus yang mempunyai kewajiban untuk mempertanggung jawabakan

kepailitan tesebut.

Sebagai badan hukum, pada prinsipnya PT dapat memiliki segala hak dan

kewajiban yang dapat dimiliki oleh setiap orang perorangan, dengan pengecualian

hal-hal yang bersifat pribadi yang hanya mungkin dilaksanakan oleh orang-

perorangan. Guna melaksanakan segala hak dan kewajiban yang dimilikinya, maka

PT telah mempunyai fungsi dan tugas masing-masing didalam organ PT yang

berbeda satu dan yang lainya. Organ-organ tersebut dikenal dengan sebutan : Rapat

umum pemegang saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris.

59
Harianto Mustari, Pertanggung Jawaban Direksi Terhadap Kepailitan Perseroan Terbatas,
Mitra Ilmu, Surabaya, 2012, hal. 16
60
Ibid, 18
43

Apabila masing-masing organ dapat berperan baik, maka perseroan akan

berjalan dengan baik, dan para pemegang saham PT akan terjamin kepentingannya

dalam PT tersebut.

1. Rapat Umum Pemegang Saham

Rapat umum pemegang saham, yang selanjutnya disebut RUPS, merupakan

organ perseroan yang paling tinggi dan berkuasa untuk menentukan arah dan tujuan

PT. RUPS memiliki segala wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi dan

Komisaris PT.61

RUPS mempunyai hak untuk memperoleh segala macam keterangan yang

diperlukan yang berkaitan dengan kepentingan dan jalannya perseroan.

2. Direksi

Direksi merupakan badan pengurus PT yang paling tinggi, serta yang berhak

dan berwenang untuk menjalankan suatu perusahaan, bertindak untuk dan atas nama

PT, baik didalam maupun diluar pengadian. Direksi bertanggung jawab penuh atas

kepengurusan dan jalannya PT untuk kepentingan dan tujuan PT.

Direksi berkewajiban untuk mengelola jalannya suatu perusahaan dengan

baik. Dewan komisaris bertugas untuk mengawasi jalannya pengelolaan perseroan

Direksi, serta pada kesempatan-kesempatan tertentu turut membantu Direksi dalam

menjalankan tugasnya. Sedangkan Rapat umum peegang saham PT, berfungsi untuk

61
Robintan Sulaiman & Joko Prabowo, Lebih Jauh Tentang Kepailitan, Jakarta, 2000 Pusat
Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, hal. 11
44

melaksanakan secara menyeluruh atas setiap pemenuhan kewajiban dari Direksi dan

Komisaris PT atas aturan yang ditetapkan.62

Keanggotaan Direksi dalam PT, diangkat melalui RUPS, untuk jangka waktu

yang telah ditentukan dalam anggaran dasar, serta menurut tata cara yang ditentukan

dalam anggaran dasar PT. untuk pertama kalinya sususnan keanggotaan direksi

dicantumkan dalam Akta pendirian PT. Didalam menjalankan tugasnya Direksi

diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan konsekuensi bahwa setiap tindakan dan

perbuatan yang dilakukan oleh direksi akan dianggap dan diperlukan sebagai

tindakan dan perbuatan PT, sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang

ditentukan dalam anggaran dasar PT.

Selama Direksi tidak melakukan pelanggaran atas anggaran dasar PT, maka

PT yang akan menanggung semua akibat dari perbuatan direksi tersebut. Sedangkan

bagi tindakan-tindakan Direksi yang merugikan PT yang dilakukannya diluar batas

dan kewenangan yang diberikan kepadanya oleh anggaran dasar, tidak diakui oleh

PT, maka Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas setiap tindakannya diluar

batas kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar PT.

3. Dewa Komisaris

Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas komisaris meliputi dua

pengertian, yaitu organ PT yang lazim dikenal dengan dewan komisaris dan anggota

dewan komisaris.

62
Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Dreksi Atas Kepailitan Perseroan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003, hal 9.
45

UUPT memberikan hak sepenuhnya kepada pendiri maupun pemegang saham

PT untuk menentukan sendiri wewenang dan kewajiban komisaris dalam PT.

Didalam UUPT menugaskan bahwa komisaris bertugas untuk mengawasi

kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan PT serta memberikan nasihat kepada

Direksi PT. Pada komisaris diberikan kewenangan untuk menyetujui atau tidak

menyetujui tindakan-tindakan tertentu yang akan dilakukan oleh Direksi PT,

termasuk untuk menyetujui laporan tahunan yang akan disampaikan kepada

pemegang saham untuk dibahas dalam RUPS tahunan PT.

Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan

tugas untuk kepentingan PT. segala kesalahan dan kelalaian oleh Komisaris dalam

melaksanakan tugasnya, mempunyai pertanggung jawaban secara pribadi dari

komisaris bersangkutan kepada PT dan pemegang saham PT.

B. Prosedur dan Persyaratan Permohonan Kepailitan

Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang

mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh

pengadilan. Dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat

membayar utangnya.63

Ini berarti bahwa sebelum adanya suatu keputusan pernyataan pailit oleh

pengadilan , seorang debitur tidak dapat dinyatakan berada dalam keadaan pailit.

63
Rudy Lontoh, Penyelesaian Utang Melalui Pailit Atau Penundaan Pembayaran Utang,
Alumni, Bandung, 2001, hal. 2
46

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menyebutkan

bahwa, “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim

pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”.

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

PKPU menyebutkan bahwa, “Kreditur adalah orang yang mempunyai hutang karena

perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan”. Selanjutnya

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU

menyebutkan bahwa, “Debitur adalah orang yang mempunyai hutang karena

perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka

pengadilan”. Selanjutnya di dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa, “Debitur pailit adalah debitur

yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan”, sedangkan Pasal 1 ayat (5)

Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan

bahwa, “Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang

diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di

bawah pengawas hakim pengawas sesuai dengan undang-undang ini”.

Dalam setiap proses kepailitan suatu PT, pihak kreditur merupakan salah satu

pihak di samping pihak peruahaan tersebut sebagai pihak debitur. Pihak kreditur itu

sendiri terdiri dari beberapa kelompok sebagai berikut :


47

1. Kreditur separatis.

2. Kreditur preferens yang bukan separatis.

3. Kreditur konkuren.64

Dengan adanya pengumuman putusan pailit tersebut, maka berlakulah

ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari ketentuan tersebut

jelas syarat dinyatakan pailit diantaranya “debitur telah berhenti membayar utang-

utangnya”.

Pengertian telah berhenti menunjukan bahwa keadaan tidak mampu

membayar diprediksi yang bersangkutan memang tidak memiliki dana atau tidak

mencukupi untuk melunasi utangnya, sedangkan tidak mau membayar kemungkinan

dana yang bersangkutan sebenarnya ada atau cukup untuk melakukan kewajibannya,

hanya debitur kemungkinan mempunyai pertimbangan tertentu sehingga tidak

melakukan pembayaran. 65

Oleh karena itu kemungkinan terjadi asset PT sebenarnya melebihi dari

cukup, mungkin juga berlimpah tetapi berhenti membayar utangnya, sehingga

dinyatakan dalam keadaan pailit dengan putusan pengadilan. Berkenaan dengan

ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

PKPU tersebut, yang perlu diketahui adalah kepada Pengadilan Niaga mana

permohonan itu harus dialamatkan dan meliputi tempat kedudukan hukum terakhir

64
Jamin Ginting, Hukum Perseroan Terbatas (Undang-Undang No. 40 Tahun 2007), Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 65
65
Munir Fuady, Perseroan Terbatas, Paradigma Baru, Jakarta, 2003, hal. 216
48

Debitur. Dalam hal debitur adalah PT, maka yang harus mengajukan permohonan

pailit adalah direksi perusahaan tersebut, namun harus berdasarkan keputusan RUPS.

Debitur yang dimohonkan kepailitan harus memiliki persyaratan. Pasal 1

Faillissement verordening (Fv.) sebelum dirubah menyebutkan syarat, bahwa

debitur“ dalam keadaan telah berhenti membayar hutang-hutangnya”, sedangkan

dalam Pasal 2 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU

mensyaratkan “Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak

membayar sedikitnya satu utangnya yang telah jatuh waktunya dan dapat ditagih”.

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa tidak ada dasar hukum dalam

peraturan hukum kepailitan untuk menolak pemohon pernyataan pailit yang diajukan

oleh kreditur separatis terhadap debitur semata-mata karena ia adalah kreditur

separatis. Permohonan kepailitan dapat dilakukan sendiri maupun atas permintaan

seseorang atau 2 krediturnya, dan harus diajukan oleh seseorang penasihat hukum

yang memiliki ijin praktek.66 Permohonan pailit dapat diajukan kepengadilan, dengan

mendaftarkan permohonan melalui panitera pengadilan. Panitera mendaftarkan

permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan

diajukan. Pengadilan mempelajari permohonan tersebut dan paling lambat 2 x 24 jam

atau 2 (dua) hari sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, harus telah

menetapkan hari persidangan.

66
Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum
Perusahaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 118
49

Sidang pemeriksaan diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20

(dua puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan

debitur dan berdasar alasan yang cukup, pengadilan dapat menunda penyelenggaraan

sidang sampai dengan paling lama 25 (dua puluh lima) hari terhitung sejak tanggal

permohonan didaftarkan. Pemeriksaan permohonan kepailitan dilakukan dalam

sidang tertutup.

Pada saat proses pemeriksaan berlangsung, atau selama putusan atas

permohonan pailit, sebelum ditetapkan, maka setiap kreditur atau kejaksaan dapat

mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk :

1. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur, atau

2. Menunjuk kurator sementara untuk :

a. Mengawasi pengelolaan usaha debitur

b. Mengawasi pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau pengagunan

kekayaan debitur yang dalam rangka kepailitan memerlukan persetujuan

kurator.67

Permohonan pernyataan kepailitan dapat diajukan debitur, jika persyaratan

kepailitan tersebut telah terpenuhi yaitu :

1. Debitur Tersebut Mempunyai Dua Atau Lebih Kreditur

Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan PKPU, salah satu syarat yang harus dipenuhi ialah debitur harus mempunyai dua

atau lebih. Keharusan dua kreditur yang disyaratkan dalam Undang-Undang


67
Raharyu Hartini, Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang, 2008, hal. 39
50

Kepailitan merupakan pelaksanaan dari Pasal 1132 KUH Perdata. Alasan mengapa

seseorang debitur tidak dapat dinyatakan pailit jika ia hanya mempunyai seorang

kreditur adalah bahwa tidak ada keperluan untuk membagi asset debitur diantara para

kreditur. Kreditur berhak dalam perkara ini atas semua asset debitur (PT).

Jika debitur hanya memiliki satu kreditur, maka seluruh harta kekayaan yang

dinyatakan pailit menjadi jaminan atas pelunasan utang debitur (PT) tersebut dan

tidak diperlukan pembagian secara pari passu pro rata parte, dan terhadap debitur

tidak dapat dituntut pailit karena hanya mempunyai satu kreditur. Walaupun banyak

tagihannya, bukan pengajuan permohonan kepailitan terhadap debitur yang harus

ditempuh, tetapi gugatan biasa, dengan atau tanpa sitaan serta eksekusi biasa yang

spesifik terhadap debitur.68

Jadi yang dititik beratkan dalam kepailitan bukan berapa banyak

piutang/tagihan yang dipunyai satu kreditur terhadap satu Debitur, tetapi berapa

banyak jumlah kreditur dari debitur yang bersangkutan. Ketentuan mengenai adanya

syarat dua kreditur atau lebih kreditur di dalam permohonan pernyataan pailit, maka

terhadap definisi mengenai kreditur harus diketahui terlebih dahulu. Undang-

Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tidak memberikan

defenisi yang jelas mengenai kreditur. Pengertian kreditur dapat dilihat dari

penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

PKPU yaitu yang dimaksud dengan kreditur dalam ayat ini adalah baik kreditur

konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen. Khusus mengenai kreditur


68
Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta 2007, hal 5
51

separatis dan kreditur preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan

pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta

debitur dan haknya untuk didahulukan. Bilamana terdapat sindikasi kreditur maka

masing-masing kreditur adalah kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka

2 Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. 69

Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan yang baru ini, maka kreditur

separatis dan kreditur peferen dapat tampil sebagai kreditur konkuren tanpa harus

melepaskan hak-hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas

piutangnya, tetapi bahwa benda yang menjadi agunan tidak cukup untuk melunasi

utang debitur pailit.

2. Harus Ada Utang

Syarat lain yang harus dipenuhi bagi seorang pemohon pernyataan pailit ialah

harus adanya utang. Undang-Undang Kepailitan tidak menentukan apa yang

dimaksud dengan utang. Dengan demikian, para pihak yang terkait dengan suatu

permohonan pailit dapat berselisih mengenai ada atau tidak adanya utang.

Pada umumnya Undang-undang Kepailitan atau bankruptcy law yang

berkaitan dengan utang debitur (debt) atau piutang atau tagihan kreditur (claims).

Seorang kreditur mungkin saja memiliki lebih dari satu piutang atau tagihan yang

berbeda-beda itu diperlukan pula secara berbeda-beda didalam proses kepailitan.

Menurut Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

69
Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti
ndang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 TentangPerubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan.
Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 23
52

PKPU menentukan, “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak

membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih,

dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud

dalam Pasal tersebut”.

Menurut Pasal 1233 dan 1234 KUH Perdata menyatakan bahwa utang adalah

kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam

mata uang Indonesia ataupun mata uang asing, baik secara langsung ataupun yang

akan timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh

debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat

pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.70

Tujuan dari pada Undang-Undang Kepailitan adalah untuk mewujudkan

penyelesaian masalah utang piutang secara cepat, adil, terbuka dan efektif.Undang-

Undang Kepailitan telah mengatur tata cara pengurusan tagihan, tetapi dalam praktek

banyak ditemui berbagai kesulitan. Syarat lain untuk mengajukan perkara kepailitan

adalah adanya utang yang jatuh tempo yang dapat ditagih yang jatuh tempo yang

belum dibayar lunas serta memiliki kekurangan-kekurangan dua kreditur. Adanya

suatu utang akan dibuktikan oleh kreditur bahwa debitur mempunyai utang yang

dapat ditagih karena sudah jatuh tempo ataupun karena dimungkinkan oleh

perjanjiannya untuk dapat ditagih. Menyadari telah timbulnya kesimpang siuran

mengenai pengertian utang karena tidak diberikannya defenisi atau pengertian

70
Widjanarko, Dampak Implementasi Undang-Undang Kepailitan Terhadap Sektor
Perbankan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 8, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999,
hal. 73.
53

mengenai apa yang dimaksud dengan ”utang”. Menurut Perpu No 1 Tahun 1998,

UU No 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan pembayaran utang

(Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU) telah memberikan

defenisi atau pengertian mengenai utang sesuai dengan Pasal 1 angka 6.71

Dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan PKPU dijabarkan bahwa yang dimaksud dengan utang dalam hukum kepailitan

adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik

dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun

yang akan timbul dikemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau Undang-

Undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak

kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.

Pengertian mengenai utang di dalam hukum kepailitan Indonesia mengikuti

setiap perubahan aturan kepailitan yang ada. Didalam Faillissement sverordening

tidak diatur tentang pengertian utang. Tetapi penjelasan Pasal 1 ayat 1 Undang-

Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU hanya menyebutkan bahwa

utang yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini,

adalah utang pokok atau bunganya. Berdasarkan pengertian utang, permohonan

pernyataan kepailitan dikabulkan apabila debitur mempunyai dua kreditur dan tidak

membayar membayar lunas sedikitnya satu utang yang teah jatuh waktu dan dapat

71
Parwoto Wignjo Sumarto, Hukum Kepailitan Selayang Pandang, PT. Tatanusa, Jakarta,
2003, hal. 168
54

ditagih. Dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan sendiri

maupun atas permintaan satu atau lebih krediturnya.

Di samping prinsip utang menganut konsep utang dalam arti luas, utang yang

dijadikan dasar mengajukan kepailitan harus memenuhi unsur sebagai berikut:

1. Utang tersebut telah jatuh tempo

2. Utang tersebut dapat ditagih

3. Utang tersebut tidak dibayar

Dengan jangka waktu yang sudah diperjanjikan atau terdapat hal-hal lain di

mana utang tersebut dapat ditagih sekalipun belum jatuh tempo. Utang yang belum

jatuh tempo dapat ditagih dengan menggunakan acceleration clause atau accelaration

provision”. Suatu utang dapat ditagih jika utang tersebut bukan utang yang timbul

dari perikatan alami. Perikatan yang pemenuhannya tidak dapat dituntut di muka

pengadilan dan yang lazimnya disebut perikatan alami (natuurlijke verbintenis) tidak

dapat digunakan sebagai alasan untuk mengajukan permohonan pailit.

Sedangkan maksud dari ditegaskannya bahwa utang dalam kepailitan

merupakan utang yang tidak dibayar lunas adalah untuk memastikan bahwa utang

yang telah dibayar akan tetapi belum melunasi kewajiban maka utang tersebut bisa

dijadikan dasar untuk mengajukan kepailitan. Penegasan ini karena sering terjadi

akal-akalan dari debitur yakni debitur tetap melakukan pembayaran akan tetapi

besarnya angsuran pembayaran tersebut masih jauh dari yang seharusnya. Hal ini

berangkat dari pengalaman pelaksanaan peraturan kepailitan lama yakni dalam

faillessement verordening (fv), dimana dalam fv mensyaratkan bahwa debitur telah


55

berhenti membayar utang dan jika debitur masih membayar utang walaupun hanya

sebagian dan masih jauh kata lunas, maka hal itu tidak dapat dikatakan debitur telah

berhenti membayar.

Dalam acara proses kepailitan prinsip utang tersebut sangat menentukan, oleh

karena tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara kepailitan akan bisa diperiksa.

Walaupun telah ada kepastian penafsiran utang dalam revisi Undang-Undang

Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 dimana utang didefenisikan dalam arti luas yang

berarti telah pararel dengan konsep KUH Perdata, akan tetapi perubahan konsep

utang ini menjadi terdistorsi ketika dikaitkan dengan hakikat kepailitan dalam

Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang hanya bertujuan

untuk mempermudah mempailitkan subjek hukum dimana syarat kepailitan hanyan

memiliki dua variabel, yakni adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih

kembali serta memiliki setidak-tidaknya dua kreditur.

Sehingga kemudahan mempailitkan subjek hukum seakan dipermudah lagi

dengan konsep utang dalam arti luas tersebut, dan kelemahan UU ini sering disalah

gunakan, dimana kepailitan bukan sebagai instrumen hukum untuk melakukan

distribusi asset debitur akan tetapi digunakan sebagai alat untuk menagih utang atau

bahkan untuk mengancam subjek hukum kendatipun tidak berkaitan dengan utang.

3.Utang Yang Jatuh Tempo Dan Dapat Ditagih

Suatu utang telah jatuh tempo dan harus dibayar jika utang tersebut telah

jatuh tempo atau sudah waktunya untuk dibayar. Dalam perjanjian biasanya diatur

kapan suatu utang harus dibayar. Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang
56

debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan

pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut

tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada kreditur

sesuai dengan peraturan pemerintah.

Didalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan PKPU menyebutkan syarat untuk dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan

yaitu :

1. Terdapatnya minimal 2 (dua) kreditur

2. Debitur tidak mampu membayar utang

3. Utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih

Syarat yang ada pada poin ketiga, menunjukan bahwa adanya utang yang

telah jatuh tempo dan dapat ditagih menunjukan bahwa kreditur sudah mempunyai

hak untuk menuntut deditur untuk memenuhi prestasinya. Suatu utang dikatakan

sebagai utang yang telah jatuh waktu atau utang yang expired, yaitu utang dengan

sendirinya menjadi utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Penagihan disini

diartikan suatu pemberitahuan oleh pihak Kreditur bahwa pihak Kreditur ingin

supaya Debitur melaksanakan janjinya, yaitu dengan segera atau pada suatu waktu

yang disebut dalam pemberitahuan itu. Menurut Jono, ”hak ini menunjukan adanya

utang yang harus lahir dari perikatan sempurna yaitu adanya schuld dan haftung

Ketentuan adanya syarat utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih suatu

utang dikatakan sebagai utang yang telah jatuh tempo yaitu utang yang dengan
57

sendirinya menjadi utang yang telah dapat ditagih. Sedangkan utang yang telah dapat

ditagih belum tentu merupakan utang yang telah jatuh waktu.72

Pengertian jatuh tempo mempunyai pengertian batas waktu pembayaran

atau penerimaan sesuatu dengan yang ditetapkan sudah lewat waktu atau kadaluarsa.

Pengaturan suau utang jatuh tempo dan dapat ditagih dan juga wanprestasi dari salah

satu pihak dapat mempercepat jatuh tempo utang yang diatur didalam perjanjian.

Ketika terjadi jatuh tempo utang telah diatur pembayarannya, maka pembayaran

utang dapat dipercepat dan menjadi jatuh tempo dan dapat ditagih seketika itu juga

sesuai dengan syarat dan ketentuan perjanjian.

Dalam praktek pengadilan niaga muncul beberapa kriteria debitur tidak

membayar utangnya antara lain :

b. Ketika debitur tidak membayar utangnya karena berhenti membayar utangnya.

c. Debitur tidak membayar utangnya ketika debitur tidak membayar seketika dan

sekaligus lunas kepada para krediturnya.

d. Debitur membayar utang ketika debitur berhenti melakukan pembayaran tidak

memenuhi kewajibannya sebagaimana telah diperjanjikan.

e. Debitur tidak melakukan pembayaran atas utangnya meskipun terhadap

perjanjian awal yang telah dilakukan amandemen.73

72
M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prisip Norma Dan Praktek Di Pengadilan. Surabaya
2007, hal. 47
73
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002, hal. 71
58

Menurut ketentuan Pasal 138 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan PKPU, kreditur yang piutangnya dijaminkan dengan hak tanggungan,

gadai ataupun hak agunan atas kebendaan lainnya dan dapat membuktikan bahwa

sebagian piutangnya tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil

penjualan barang agunan, dapat meminta hak-hak yang dimiliki kreditur konkuren

atas bagian piutangnya tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas barang

yang menjadi agunan piutangnya.

C. Akibat Hukum Putusan Pailit Terhadap Perseroan Terbatas

Akibat yang terpenting dari pernyataan pailit adalah bahwa organ PT demi

hukum kehilangan haknya untuk berbuat bebas terhadap harta kekayaannya, begitu

pula hak untuk mengurusnya. Ia tidak boleh lagi melakukan kepengurusan PT dengan

sekehendaknya sendiri dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan itikad buruk

untuk merugikan para Kreditur, ia dapat dituntut pidana. Jadi dapat ditarik

kesimpulan, bahwa PT hanya kehilangan haknya untuk berbuat bebas terhadap

kekayaannya dan haknya untuk mengurusnya, tidak kehilangan hak-hak dan

kecakapannya untuk mengadakan persetujuan-persetujuan, namun demikian

perbuatan-perbuatannya tidak mempunyai akibat hukum atas kekayaannya yang

tercakup dalam kepailitan.

Apabila PT melanggar ketentuan tersebut, maka perbuatannya tidak mengikat

kekayaannya tersebut, kecuali perikatan yang bersangkutan mendatangkan

keuntungan bagi budel pailit. Sejak putusan pernyataan pailit diucapkan oleh
59

Pengadilan Niaga, pengurusan dan pemberesan budel pailit ditugaskan kepada

kurator.

1. Akibat Hukum Putusan Pailit Terhadap Harta Kekayaan PT

Jika suatu perusahaan sebagai kreditur mempailitkan perusahaan atau ikut

sebagai kreditur dalam suatu kepailitan debiturnya, maka oleh hukum hal ini

dianggap hanya sebagai salah satu cara menagih hutang dari debiturnya. Sehingga

tidak banyak berpengaruh dari segi hukum kepada kreditur yang nota bene suatu

perusahaan terbuka.74

Akan tetapi jika yang dipailitkan suatu perusahaan terbuka, maka beberapa

akibat hukum yang akan terjadi adalah ssebagai berikut:

1. Terkena kewajiban pelaporan kepada Bapepam dan mengumumkan kepada

publik tentang adanya permohonan pailit tersebut.

2. Sebelum pelaporan dilakukan, pihak yang mengetahui adanya informasi tentang

kepailitan terkena peraturan-peraturan ketentuan tentang insider trading

3. Terkena ketentuan tentantang suspensi dan delisting dari bursa efek dimana

saham diperjualbelikan sesuai dengan ketentuan bursa yang bersangkutan.

Kepailitan mengakibatkan seluruh benda berada dalam sitaan umum sejak saat

putusan pernyataan pailit diucapkan kecuali :

a. Benda yang sehubungan dengan pekerjaan, perlengkapan di dalam PT yang

digunakan.

74
Munir Fuady, Hukum Kepailitan 1998 Dalam Teori Dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999, hal. 90
60

b. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannnya sendiri sebagai

penggajian dari sesuatu jasa, gaji ataupun dana pensiun, sejauh yang ditentukan

oleh hakim pengawas.

c. Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberi

nafkah menurut UU.

Didalam Pasal 1 ayat (1) UUPT menegaskan bahwa perseroan terbatas adalah

badan hukum. Dengan statusnya sebagai badan hukum maka berarti perseroan

berkedudukan sebagai subyek hukum yang mampu mendukung hak dan

kewajibannya sebagaimana halnya dengan orang dan mempunyai harta kekayaan

tersendiri terpisah dari harta kekayaan para pendirinya, pemegang saham, dan para

pengurusnya.

Sebagaimana ditetapkan Pasal 21 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan PKPU, kepailitan meliputi seluruh kekayaan PT pada saat putusan

pailit ditetapkan dan juga mencakup semua kekayaan yang diperoleh PT selama

berlangsungnya kepailitan. Dari konsekuensi Pasal tersebut maka setiap dan seluruh

peserikatan antara debitur (PT) yang dinyatakan pailit oleh pihak ketiga yang

dilakukan sesudah pernyataan pailit tidak akan dan tidak dapat dibayar dari harta

pailit kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta

kekayaan itu.

Oleh karena itu maka gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk

memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit. Dalam hal debitur pailit hanya

dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk pencocokan. Apabila pencocokan tidak
61

disetujui, maka pihak yang tidak setuju pencocokan tersebut dapat mengambil alih

kedudukan debitur pailit dalam gugatan yang sedang berlangsung ersebut. Meskipun

gugatan tersebut hanya memberikan akibat hukum dari pencocokan tersebut, namun

hal itu sudah cukup dapat dijadikan sebagai salah satu bukti yang dapat mecegah

berlakunya daluwarsa atas hak dalam gugatan tersebut.

Pernyataan pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan

tersebut menguntungkan harta PT yang sudah pailit (Pasal 25 Undang-Undang 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU). Tuntutan mengenai hak atau kewajiban

yang menyangkut harta pailit harus diajukan kepada kurator. Maka apabila tuntutan

tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap PT pailit, penghukuman tersebut

tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit (Pasal 26 Undang-Undang 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU).

Perseroan Terbatas yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak perdata

untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukan ke dalam harta

pailit.Hal ini menunjukan bahwa debitur tidaklah dibawah pengampuan dan tidak

kehilangan kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum menyangkut dirinya,

kecuali apabila perbuatan hukum itu menyangkut perusahaan dan pengalihan harta

benda yang telah ada.

2. Akibat Hukum Putusan Pailit Terhadap Kepengurusan PT

Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan

atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia baik
62

sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai

kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

Ada beberapa perbedaan PT yang sudah pailit dalam melaksanakan kegiatan

usahanya jika dibandingkan dengan PT tidak dalam keadaan pailit, yakni organ-organ

pengurus dalam melakukan kegiatan untuk dan atas nama PT adalah kurator.75

Kurator inilah yang menjalankan tindakan pengurusan PT tersebut. Namun

demikian tidak menutup kemungkinan kurator masih tetap memanfaatkan organ

direksi dalam pengurusan PT selama masih dalam kepailitan. Banyak pendapat yang

mengatakan bahwa dengan pailitnya PT, maka kewenangan Direksi saja yang beralih

kepada kurator. Proposisi ini misalnya kewenangan kurator untuk Melakukan Rapat

Umum Pemegang Saham (RUPS) dan tanpa persetujuan komisaris. Hal ini berarti

didalam kewenangan kurator tercakup semua kewenangan organ PT.

Dengan beralihnya kewenangan dari direksi kepada kurator untuk mengelola

perseroan maka konsekuensi dari hal itu adalah bahwa kurator adalah juga bertindak

sebagai direksi sehingga tugas dan kewajiban serta tanggung jawab direksi perseroan

menjadi tugas dan tanggung jawab kurator.76 Setelah kurator menentukan pilihannya

di dalam memaksimalkan nilai harta pailit, baik dengan cara menjualnya maupun

dengan cara melanjutkan usaha debitur pailit, maka hal yang selanjutnya dilakukan

adalah pembagian aset.

75
Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, Rajawali Pers,
Jakarta, hal. 65
76
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum & Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas,
Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 6
63

Pada prinsipnya, aset baru akan dibagi-bagi kepada kreditur setelah seluruh

aset debitur terjual dan menjadi cash, yaitu apabila cash (uang tunai) sudah cukup

tersedia untuk membayar utang-utangnya. Undang-Undang Kepailitan menetukan

bahwa setelah melakukan pencocokan utang, maka dibayarkan jumah utang mereka

atau segera setelah daftar pembagian penutup memperoleh hukum tetap, maka

berakhirlah kepailitan.

Badan hukum itu bukan makhluk hidup sebagaimana halnya manusia. Badan

hukum tidak mempunyai daya pikir dan kehendak. Oleh karena itu PT tidak dapat

melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri. PT harus bertindak dengan

perantaraan orang-orang biasa, akan tetapi orang yang bertindak itu tidak bertindak

untuk dirinya melainkan untuk dan atas pertanggungan gugat badan hukum.77

Pertanggung jawaban PT merupakan pertanggung jawaban secara timbal

balik, maka yang dijatuhi putusan kepailitan adalah perseroannya, bukan

pengurusnya, sepanjang direksi atau pegawai lainnya bertindak atas pertanggungan

secara badan hukum. Menurut Pasal 90 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995

tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan, dalam hal kepailitan PT terjadi karena

kesalahan atau kelalaian direksi,78 dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk

menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi secara

tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu.

77
Ali Rido, Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan
Koperasi, Yayasan Wakap, Alumni, Bandung, 2010, hal. 17
78
Ibid, hal. 35
64

Dalam hal kepailitan terhadap Perseroan Terbatas yang menjadi permasalahan

yang esensial adalah apakah Perseroan Terbatas tersebut tetap dapat beroperasi atau

demi hukum akan bubar. Dalam kepailitan badan hukum Perseroan Terbatas,

beroperasi atau tidaknya perseroan setelah putusan pailit dibacakan tergantung pada

cara pandang kurator terhadap prospek usaha perseroan pada waktu yang akan

datang. Hal ini dimungkinkan karena berdasar ketentuan di dalam Pasal 104 Undang-

Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

Berdasarkan Pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kepailitan

Badan Hukum Perseroan Terbatas di Indonesia tidak secara otomatis membuat

perseroan kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai harta kekayaan

perseroan tersebut karena kepailitan PT menurut hukum Indonesia tidak

menyebabkan terhentinya operasional PT. Akan tetapi dalam hal perusahaan yang

dilanjutkan ternyata tidak berprospek dengan baik, maka hakim pengawas akan

memutuskan untuk menghentikan beroperasinya PT dalam permohonan seorang

Kreditur. Setelah perseroan tersebut dihentikan, maka Kurator mulai menjual aktiva

boedel pailit tanpa memerlukan bantuan/persetujuan PT yang pailit.

Akan tetapi Pasal tersebut di atas tidak berlaku apabila di dalam rapat

pencocokan piutang tidak ditawarkan perdamaian atau jika rencana perdamaian yang

ditawarkan tidak diterima atau pengesahan perdamaian ditolak sehingga demi hukum

harga pailit berada dalam keadaan insolvensi. Dengan demikian eksistensi PT yang

dipailitkan segera berakhir dengan percepatan pemberesan proses likuidasi tersebut.

Eksistensi yuridis dari PT yang telah dipailitkan adalah masih tetap ada eksistensi
65

badan hukummnya. Dengan dinyatakan pailit tidak mutatis mutandis badan hukum

PT menjadi tidak ada. Suatu argumentasi yuridis mengenai roposisi ini setidaknya

ada dua landasan, yang pertama kepailitan terhadap PT tidak mesti berakhir dengan

likuidasi dan pembubaran badan PT. kedua adalah proses kepailitan PT, maka PT

tersebut masih dapat melakukan transaksi hukum terhadap pihak kedua, di mana

tentunya yang melakukan perbuatan hukum perseroan tersebut adalah kurator

sehingga tidak mungkin jika badan hukum perseroan telah tiada.

Didalam PT yang dalam status insolvensi masih eksis badan hukumnya, hanya

saja PT dalam likuidasi tidak boleh menjalankan bisnis baru melainkan hanya

menjalankan dalam penyelesaian tugas-tugasnya dalam rangka proses pemberesan

dan likuidasi tersebut dan tidak bisa melakukan kegiatan diluar tugasnya. Hal ini

ditegaskan dalam Pasal 119 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa dalam hal

perseroan bubar, maka PT tidak dapat melakukan melakukan perbuatan hukum

kecuali diperlukan dalam proses insolvensi.

Kepailitan Perseroan Terbatas (PT) sebagai suatu lembaga apabila terjadi

karena kesalahan atau kelalaian Direksi, maka setiap anggota Direksi secara tanggung

renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut (Direksi bertanggung jawab yang

sesuai dengan Pasal 92 UUPT.

Adapun kewenangan Direksi PT demi hukum berakhir dengan

dipailitkannnya PT tersebut, dimana kewenangan direksi beralih kepada kurator

sepanjang kewenangan direksi berkaitan dengan kepengurusan dan perbuatan

pemilikan harta kekayaan PT yang pailit. Mengenai peran direksi dalam PT pailit,
66

Fred B.G Tumbuan mengatakan bahwa dalam mencermati tugas antara direksi PT

pailit mempunyai tugas mengusahkan tercapainnya maksud dan tujuan PT pailit.

Kriteria tanggung jawab direksi :

a. Tanggung jawab itu hanya timbul jika perusahaan itu melalui prosedur

kepailitan;

b. Harus ada kesalahan/kelalaian;

c. Tanggung jawab itu bersifat residual, artinya tanggung jawab itu timbul jika

nanti ternyata aset perusahaan yang diambil itu tidak cukup;

d. Tanggung jawab itu secara renteng artinya walaupun hanya seorang direktur

yang bersalah, direktur lain dianggap turut bertanggung jawab;

e. Presumsi bersalah dengan beban pembuktian terbalik.

Jadi Jadi dalam hal badan usaha yang berbentuk badan hukum sebagai pelaku

usaha jatuh pailit, maka seluruh kekayaan badan usaha tersebut yang menjadi

tanggungan utang-utangnya. Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa kepailitan

tersebut akibat kesalahan atau kelalaian direksi, maka secara tanggung renteng setiap

anggota direksi ikut bertanggung jawab secara pribadi terhadap kerugian badan usaha

jika nanti aset perusahaan tidak cukup untuk membayar tagihan-tagihan Kreditur.

Rapat Umum Pemegang Saham mempunyai kekuasaan tertinggi dalam

perseroan yang diserahkan kepada direksi dan komisaris dalam menjalankan tugasnya

dan wewenangnya. Meskipun dikatakan sebagai organ perseroan yang memegang

kekuasaan tertinggi, tidak berarti ia lebih tinggi dari organ lainnya. Untuk bisa

mengukur tanggung jawab dari pemegang saham, harus dilihat apa kewenangan yang
67

dimiliki oleh pemegang saham. UUPT memberikan wewenang kepada pemegang

saham menggunakan konsep residu (teori sisa) yakni bahwa wewenang pemegang

saham adalah RUPS mempunyai segala wewenang yang tidak diberikan kepada

direksi dan komisaris dalam batasan UU dan anggaran dasar.

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) mempunyai tanggung jawab :

a. Pemegang saham hanya bertanggung jawab pada saham yang dimiliki dan tidak

bertanggung jawab terhadap secara pribadi.

b. Pemegang saham akan dituntut bila, karena itikad buruk baik langsug maupun

tidak langsung memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi.

c. Pemegang saham terlibat dalam perbuatan melawan hukum oleh perseroan.

d. Pemegang saham baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum

menggunakan kekayaan perseroan tidak cukup untuk melawan hutang perseroan.

Organ PT yang cukup penting lainnya adalah komisaris. UUPT menentukan

keberadaan komisaris merupakan keharusan dalam sebuah PT tersebut. Berbeda

dengan ketentuan sebelum UUPT, yakni dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang (KUHD) yang tidak mengharuskan adanya lembaga komisaris ini, walaupun

dalam prakteknya kebanyakan PT yang didirikan berdasarkan ketentuan-ketentuan

KUHD tersebut pada waktu itu terdapat lembaga komisaris.

Lembaga komisaris menurut UUPT merupakan lembaga PT yang independen

dari pengaruh kepentingan pemegang saham. Komisaris bertugas demi kepentingan

PT itu sendiri. Hal ini berbeda dengan konsep yang lama yang terdapat dalam KUHD

dimana komisaris adalah mewakili kepentingan pemegang saham. Didalam Pasal 98


68

ayat (1) UUPT secara tegas menyebutkan bahwa komisaris wajib dengan itikad baik

dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan untuk kepentingan usaha

PT.

Fungsi komisaris sebagaimana diatur dalam UUPT mempunyai tugas

mengawasi kebijaksanaan direksi dalam menjalankan PT serta memberikan nasihat

kepada direksi. Dalam anggaran dasar PT juga sering menyatakan hal yang sama

mengenai tugas komisaris. UUPT tidak mengatur lebih lanjut bagaimana cara

melaksanakan pengawasan tersebut. Didalam keputusan dikatakan bahwa

pengawasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh atasan untuk melakukan

penilaian terhadap hasil pekerjaan bawahan yang harus seuai dengan yang ditetapkan

sebelumnya.

Apabila terjadi sutu penyimpangan, perlu dilakukan tindakan untuk

memperbaikinya. Penilaian terhadap bawahan hanya dapat dilakukan apabila tersedia

informasi yang diperlukan. Yang jelas selama komisaris bertindak sebagaimana

layaknya direksi PT, maka seluruh hubungan hukum direksi perseroan berlaku juga

bagi diri komisaris tersebut, termasuk pula pertanggung jawaban secara pribadi.79

3. Akibat Hukum Putusan Pailit perseroan terbatas (PT) Terhadap Pihak


Ketiga

Kepailitan mempunyai peranan untuk menyelesaikan bermacam-macam

tagihan yang diajukan oleh kreditur yang masing-masing mempunyai kepentingan

yang berbeda. Proses kepailitan mempunyai sasaran utama untuk mengatur

79
Moenaf. H. Regar, Dewan Komisaris Peranannya Sebagai Organ Perseroan, Bumi Aksara,
Jakarta, 2000, hal. 64
69

pertentangan-pertentangan yang saling berkaitan diantara kelompok yang berbeda

yang masing-masing mempunyai klaim atas asset-aset dan penghasilan debitur pailit.

Sehingga upaya penyelesaian kewajiban pembayaran utang, hukum kepailitan

dianggap sebagai ketentuan yang lebih mengutamakan kepentingan kreditur.

Bagi para kreditur yang tidak memegang jaminan, adanya kepailitan dapat

memberikan manfaat berupa pengurangan biaya bagi para kreditur pada umumnya

dalam mengajukan tagihan kepada debitur. Penagihan secara kolektif diharapkan

dapat mengurangi biaya yang mungkin timbul seandainya penagihan diadakan secara

individu oleh masing-masing kreditur. Kreditur preferen juga dapat merasakan

manfaat yang timbul dari kepailitan. Bagi kreditur preferen, kepailitan dapat

meningkatkan pengumpulan asset debitur pailit.

Disamping itu kepailitan juga mempunyai dampak menguntungkan bagi

kreditur terutama bagi kreditur lain yang mempunyai tagihan besar khususnya

kreditur konkuren, mempunyai kekhawatiran bahwa dengan adanya kepailitan maka

utang debitur pada mereka tidak dapat ditagih karena asset debitur tidak seimbang

dengan jumlahnya. Berbeda dengan perbuatan hukum yang dilakukan debitur dengan

pihak ketiga dalam jangka waktu lebih dari 1 tahun sebelum putusan pailit , dimana

kurator pailit, maka yang wajib membuktikannya adalah kurator.

Adapun akibat-akibat hukum dari putusan pailit terhadap harta kekayaan

debitur maupun harta kekayaan kreditur adalah sebagai berikut :80

1. Putusan Pailit Dapat Dijalankan Terlebih Dahulu


80
M. Hadi Subhan, Op.Cit
70

Putusan pengadilan merupakan serta merta dan dapat dijalankan terlebih

dahulu, meskipun terhadap putusan pailit dan dilakukan suatu upaya hukum lebih

lanjut. Apabila putusan paiit dibatalkan sebagai akibat adanya upaya hukum tersebut,

segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator

menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan, maka tetap ah dan mengikat

bagi debitur.

2. Sitaan Umum

Harta kekayaan debitur yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum

(public attachement, gerechtelijk beslag) beserta apa yang diperoleh selama

kepailitan. Dalam Pasal 21 UUK-PKPU dijelaskan bahwa kepailitan meliputi seluruh

kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu

yang diperoleh selama kepailitan.

Sita umum terhadap harta kepailitan tidak memerlukan suatu tindakan khusus

untuk melakukan sitaan tersebut. Dengan adanya sitaan umum tersebut, maka harta

pailit dalam status dihentikan dari segala transaksi dan perbuatan hukum lainnya

sampai harta pailit tersebut diurus oleh kurator. Dalam sitaan hukum perdata yang

secara khusus dilakukan dengan suatu tindakan hukum tertentu. Dengan demikian

sitaan umum terhadap harta pailit adalah terjadi demi hukum.

3. Kehilangan Wewenang Dalam Harta Pailit

Debitur pailit demi hukum kehilangan haknya untuk mengurus dan melakukan

perbuatan kepemiikan terhadap harta kekayaan yang termasuk dalam pailit.

Kehilangan hak bebasnya tersebut hanya terbatas pada harta kekayaan dan tidak
71

terhadap status pribadinya. Debitur yang dalam status pailit, tidak hilang hak-hak

keperdataannya serta hak-hak selaku warga negara seperti hak politik dan hak privat

lainnya.

4. Perikatan Setelah Pailit

Segala perikatan debitur yang telah mendapatkan putusan pailit tidak dapat

dibayar dari harta pailit. Apabila dilanggar oleh yang pailit, maka perbuatan tidak

mengikat kekayaannya tersebut, kecuali perikatan tersebut mendatangkan keuntungan

terhadap harta pailit.

Ketentuan ini sering sekali diselundupi dengan membuat perikatan yang di-

antedateer (ditanggali mundur ke belakang) dan bahkan sering terjadi adanya

kreditur fiktif untuk kepentingan si debitur pailit.

5. Penetapan Putusan Pengadilan Sebelumnya

Pernyataan pailit juga berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan

pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum

kepailitan, harus diberhentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang

dapat dilaksanakan termasuk juga dengan menyandera debitur.

Semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan

hakim pengawas harus memerintahkan pencoretannya. Akibat putusan pailit ini

merupakan konsekuensi dari adanya akibat sitaan umum. Dengan adanya sitaan

umum tersebut maka segala sesuatu yang berhubungan dengan harta kekayaan/harta

pailit harus dihentikan sementara demi hukum dari semua transaksi yang ada.
72

6. Hubungan Kerja Dengan Para Pekerja Perusahaan Pailit.

Pekerja yang bekerja pada debitur dapat memutuskan hubungan bekerja dan

sebaliknya kurator dapat memberhentikan dengan mengindahkan jangka waktu

menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang berakun, dengan

pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan

paling singkat 45 (empat puluh lima) hari sebelumnnya.

Ketentuan ini tidak sejalan dengan ketentuan hukum perburuhan yang ada. Ini

tidak memiliki konsep pemutusan hubungan kerja (PHK) yang komperhensif. Ketidak

komperhensif konsep PHK dalam UU ini adalah tidak membedakan PHK demi

hukum, PHK daro pengusaha dan PHK oleh buruh.


73

BAB III

KEPAILITAN DIREKSI SECARA PRIBADI SETELAH TERJADINYA


KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS

A. Prosedur dan Tata Cara Pengajuan Permohonan Kepailitan

Proses permohonan dan putusan pernyataan pailit diatur dalam Pasal 6 sampai

dengan Pasal 11 UUK-PKPU. Permohonan pernyataan pailit kepada ketua

Pengadilan Niaga dan Panitera wajib mendaftarkan permohonan tersebut. Menurut

Pasal 6 ayat (3) UUK mewajibkan panitera untuk menolak pendafataran permohonan

pernyataan pailit bagi instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat

(4), dan ayat (5).

1. Menurut Pasal 2 UUK-PKPU permohonan pailit dapat diajukan oleh :

Debitur adalah perusahaan bukan bank yang bukan perusahaan efek, yang

dapat mengajukan permohonan pailit adalah :

a. Debitur

b. Seorang atau lebih dari kreditur

c. Kejaksaan

2. Dalam perusahaan bank, yang dapat mengajukan kepailitan adalah Bank

Indonesia.

3. Dalam perusahaan efek, yang dapat mengajukan permohonan kepailitan adalah

BAPEPAM

73
74

4. Dalam PT yang dapat mengajukan permohonan kepailitan adalah Direksi PT,

namun berdasarkan keputusan RUPS. Menurut Pasal 5 UUK permohonan itu

harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktek.

Dalam jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal permohonan

pernyataan pailit didaftarkan, sidang pemeriksaan atas permohonan pailit

diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal

permohonan pailit didaftarkan. Dalam hal permohonan pemohonan pernyataan pailit

yang diajukan oleh debitur sendiri yang berbentuk hukum, PT terdapat dalam

ketentuan Pasal 104 ayat (1) UU No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Menurut ketentuan tersebut direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit

atas perseroan sendiri kepada pengadilan niaga sebelum mendapat persetujuan RUPS,

dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

Pengadilan Niaga wajib meminta kepada Advokat yang memiliki perseroan

debitur agar menyampaikan putusan RUPS yang dimaksud. Pengadilan niaga wajib

menolak permohonan pernyataan pailit oleh debitur yang berbentuk PT apabila

pernyataan pailit tidak didasarkan keputusan RUPS.

Menurut ketentuan Pasal 69 ayat (3) UUPT yang lama, debitur adalah suatu

PT dan permohonan pernyataan pailit diajukan oleh direksi perusahaan debitur

tersebut.Direksi perusahaan debitur tersebut dapat mengajukan permohonan pailit ke

pengadilan niaga agar perusahaan tersebut dinyatakan pailit berdasarkan keputusan

RUPS. Didalam Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU


75

memang tidak mewajibkan bagi hakim untuk memanggil atau meminta persetujuan

atau sekurang-kurangnya mendengar pendapat para Kreditur yang lain (dalam hal

permohonan kepailitan diajukan oleh seorang atau beberapa Kreditur). Namun

demikian sebaliknya pula, Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

PKPU tidak melarang apabila hakim memanggil para Kreditur yang lain untuk

dimintai pendapat atau persetujuan mereka itu sehubungan dengan permohonan

kepailitan.

Demi memperoleh keputusan kepailitan yang fair, seyogianya hakim sebelum

memutuskan permohonan pernyataan pailit , baik yang diajukan oleh Debitur (PT),

oleh seorang atau lebih Kreditur, atau oleh Kejaksaan demi kepentingan umum,

terlebih dahulu memanggil dan meminta pendapat para Kreditur, terutama para

Kreditur yang menguasai sebagian besar jumlah utang Debitur yang bersangkutan.

Sikap hakim yang demikian ini sejalan dengan ketentuan Pasal 244 Undang-Undang

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU mengenai hak Debitur untuk memohon

kepada Pengadilan Niaga agar Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan PKPU dicabut dan memberikan keputusannya, hakim yang bersangkutan harus

mendengar para Kreditur dan memanggil mereka.81

Setiap permohonan kepailitan, baik yang diajukan oleh debitur sendiri

maupun oleh pihak ketiga diluar debitur harus diajukan melalui pengacara yang

memiliki ijin di pengadilan. Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1) bahwa setiap

81
E. Suherman, Faillissement (Kepailitan), Binacipta, Bandung, 2010, hal. 17.
76

permohonan pernyataan pailit yang diajukan kepada pengadilan melalui panitera,

untuk selanjutnya diproses berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Didalam Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU

menyatakan bahwa khusus untuk perkara-perkara yang berhubungan dengan masalah

kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, pengadilan niaga memeriksa

dan memutuskan perkara pada tingkat pertama dengan hakim majelis. Selama

putusan atas permohonan pernyataan pailit belum ditetapkan, setiap kreditur atau

kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan. Walaupun demikian,

permohonan penyitaan tesebut akan dikabulkan oleh pengadilan jika penyitaan

tersebut ternyata dikabulkan.

Undang-undang kepailitan mengenal hak banding yang diberikan sesuai

dengan Pasal 8 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU,

sehingga hanya upaya hukum kasasi yang dapat diajukan oleh pihak yang keberatan

atau tidak puas dengan putusan peradilan tingkat pertama (Pengadilan Niaga).

Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan oleh pengadilan, debitur

yang dinyatakan pailit tidak lagi diperkenankan untuk melakukan pengurusan atas

harta kekayaan yang dinyatakan pailit.

Ketika PT dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, debitur demi

hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang

termasuk dalam harta pailit. Untuk mengurus harta pailit tersebut, menurut Pasal 15

Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, pengadilan niaga

mengangkat kurator dan sekaligus mengangkat pula seorang hakim pengawas.


77

Dalam rangka pelaksanaan pencocokan piutang, dalam Pasal 116 Undang-

Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, tugas kurator dalam

pencocokan piutang adalah :

a. Mencocokan perhitungan piutang yang diserahkan oleh kreditur dengan

catatan yang telah dibuat sebelumnya dan keterangan debitur pailit.

b. Berunding dengan kreditur jika terdapat keberatan terhadap penagihan yang

diterima.

Dalam hal demikian kurator diwajibkan untuk segera memberitahukan

penetapan surat-surat tersebut kepada kreditur yang dikenal dan mengiklankan dalam

surat kabar yang termaksud dalam Pasal 13 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan PKPU. Segala tagihan yang ada harus dimasukan kepada kurator

dengan memasukan suatu perhitungan yang menunjukan sifat dan jumlah piutang

disertai dengan bukti-bukti atau salinan dari bukti-bukti tersebut. Kurator

berkewajiban untuk melakukan pencocokan antara perhitungan-perhitungan yang

dimasukan dengan catatan dan keterangan-keterangan yang ada pada debitur yang

dinyatakan pailit. Setelah itu kurator memilah-milah antara piutang yang disetujui dan

dibantah. Seluruh piutang-piutang yang disetujui dimasukan dalam daftar piutang-

piutang yang diakui, sedangkan piutang-piutang yang dibantah dimasukan dalam

suatu daftar tersendiri yang memuat alasan-alasan pembantahannya.

Pemberesan boedel pailit dilakukan oleh kurator. Terhitung sejak tanggal

putusan pernyataan pailit diucapkan segala pelaksanaan pengurusan dan pemberesan

harta pailit. Selanjutnya pelaksanaan pemberesan atas harta pailit diserahkan oleh
78

kurator yang diangkat oleh pengadilan, dengan diawasi oleh seorang hakim pengawas

yang ditunjuk oleh pengadilan. Pengangkatan harus ditetapkan dalam putusan

pernyataan pailit tersebut. Pemberesan yang dilakukan oleh kurator bersifat seketika,

dan berlaku saat itu pula terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, meskipun

terhadap putusan kemudian diajukan kasasi atau peninjauan kembali.

Setelah berakhirnya kepailitan, menurut Pasal 166 dan Pasal 202 Undang-

Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (PKPU), demikian juga hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 207,

debitur berhak untuk memasukkan permohonan rehabilitasi kepada pengadilan yang

telah mengucapkan putusan pernyataan pailit. Pengadilan tidak akan menerima

permohonan debitur, kecuali jika pada surat permohonan tersebut dilampirkan bukti

yang menyatakan bahwa kreditur diakui sudah memperoleh pembayaran secara

memuaskan.

B. Kedudukan, Kewenangan, Kewajiban dan Pertanggungjawaban Direksi


Sebagai Pengurus Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Pengaturan mengenai direksi diatur dalam Bab VII dari Pasal 92 sampai

dengan Pasal 107 UUPT No. 40 Tahun 2007. Tidak ada suatu rumusan yang jelas dan

pasti mengenai kedudukan direksi dalam suatu PT. Direksi merupakan badan

pengurus perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk

menjalankan perusahaan. Direksi menurut UUPT merupakan satu organ yang di

dalamnya terdiri dari satu atau lebih anggota yang dikenal dengan sebutan Direktur.
79

Dalam hal perseroan memiliki lebih dari satu anggota direktur disebut dewan direksi,

maka salah satu anggota direksi tersebut diangkat sebagai Direktur Utama (Presiden

Direktur).82

Direksi atau pengurus perseroan adalah alat perlengkapan perseroan yang

melakukan kegiatan perseroan dan mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar

Pengadilan. Dengan kata lain, direksi mempunyai ruang lingkup tugas sebagai

pengurus perseroan. Pengangkatan direksi dilakukan oleh RUPS, akan tetapi untuk

pertama kali pengangkatannya dilakukan dengan mencantumkan susunan dan nama

anggota direksi di dalam akta pendiriannya. Beberapa Pakar dan Ilmuwan hukum

merumuskan kedudukan direksi dalam perseroan sebagai gabungan dari dua macam

persetujuan/perjanjian, yaitu :

1. Perjanjian pemberian kuasa, di satu sisi.

2. Perjanjian kerja/perburuhan, di sisi lainnya.83

Merumuskan kedudukan direksi dalam dua hubungan hukum bukan masalah,

sepanjang kedua hubungan hukum tersebut dapat diterapkan secara konsisten dan

sejalan. Dalam hubungan hukum yang dirumuskan untuk direksi di atas di satu sisi,

direksi sebagai penerima kuasa dari perseroan untuk menjalankan perseroan sesuai

dengan kepentingannya untuk mencapai tujuan perseroan sebagaimana telah

digariskan dalam anggaran dasar perseroan, dan di sisi lain di perlakukan sebagai

82
Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Persekutuan Perdata Persekutuan
Firma dan Persekutuan Komanditer, Alumni, Bandung, 2010, hal. 35
83
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1999, hal. 97.
80

karyawan perseroan, dalam hubungan atasan dan bawahan dalam perjanjian

perburuhan yang mana berarti direksi tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu

yang bukan tugasnya. Disinilah sifat pertanggungjawaban renteng dan

pertanggungjawaban pribadi direksi menjadi sangat relevan, dalam hal direksi

melakukan penyimpangan atas kuasa dan perintah perseroan untuk kepentingan

perseroan.

Sedangkan syarat untuk menjadi anggota direksi menurut ketentuan Pasal 79

ayat (3) adalah : “Yang dapat diangkat menjadi anggota direksi adalah orang

perseorangan yang mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah

dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan

bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, atau orang yang pernah

dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dalam

waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan”

Seperti tersebut di atas bahwa tugas direksi adalah mengurus perseroan seperti

tersebut di dalam penjelasan resmi dari Pasal 79 ayat (1) UUPT yang meliputi

pengurusan sehari-hari dari perseroan, akan tetapi undang-undang tidak memberikan

secara rinci seperti apakah pengurusan yang dimaksud. Dalam hukum di Negeri

Belanda tindakan pengurusan yang bersifat sehari-hari yang merupakan perbuatan-


81

perbuatan yang rutin yang dinamakan sebagai daden van beheren84akan tetapi tugas

tersebut dapat dilihat di dalam anggaran dasar yang umumnya berkisar pada hal :85

1. Mengurus segala urusan.

2. Menguasai harta kekayaan perseroan.

3. Melakukan perbuatan seperti dimaksud dalam Pasal 1796 KUHPerdata yaitu :

a. Memindahtangankan hipotik barang-barang tetap.

b. Membebankan hipotik pada barang-barang tetap.

c. Melakukan perbuatan lain mengenai hak milik.

d. Mewakili perseroan di dalam dan di luar Pengadilan.

4. Dalam hal berhubungan dengan pihak ke-3, baik secara bersama-sama atau

masing-masing mempunyai hak mewakili perseroan mengenai hal dalam bidang

usaha yang menjadi tujuan perseroan.

Ruang lingkup kewenangan direksi dalam pengurusan perseroan yang

diamanatkan oleh UUPT No. 40 Tahun 2007 sangatlah luas dan menunjukkan ciri

suatu sistem. Sistem yang digunakan untuk menunjukkan pengertian skema atau

metode pengaturan organisasi atau susunan sesuatu metode tata cara. 86 Mengenai

kewenangan direksi sebagaimana ketentuan ayat (3), direksi mewakili perseroan

adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam undang-

undang dan Anggaran Dasar atau keputusan RUPS.


84
Rudhy Prasetya, Maatschap, Firma dan Persekutuan Komanditer, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2004, hal. 19.
85
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 63.
86
Tatang M. Amirin, Pokok-pokok Teori Sistem, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1996, hal.
7.
82

Adapun kewenangan direksi perseroan demi hukum berakhir dengan

dipailitkannya perseroan tersebut, dimana kewenangan direksi tersebut beralih

kepada kurator sepanjang kewenangan direksi berkaitan dengan pengurusan dan

perbuatan pemilikan harta kekayaan perseroan pailit. Agar direksi sebagai organ

perseroan yang mengurus perseroan sehari-hari dapat mencapai prestasi terbesar

untuk kepentingan perseroan, maka ia harus diberi kewenangan-kewenangan tertentu

untuk mencapai hasil yang optimal dalam mengurus perseroan. Dari kewenangan

yang diberikan, ia perlu diberi tanggung jawab untuk mengurus perseroan. Hal ini

berarti dalam membicarakan kewenangan direksi, diperlukan pemahaman tentang

tanggung jawab.

Apa yang dimaksud dengan tanggung jawab itu. Tanggung jawab adalah

kewajiban seseorang individu (direksi) untuk melaksanakan aktivitas yang ditugaskan

kepadanya sebaik mungkin, sesuai dengan kemampuannya.87 Tanggung jawab dapat

berlangsung terus atau dapat berhenti apabila tugas tertentu yang dibebankan

kepadanya telah selesai dilaksanakan. Dalam perseroan biasanya antara wewenang

dan tanggung jawab seorang direksi harus mempunyai tingkatan yang sama. Dengan

demikian, wewenang seorang direksi memberikan kepadanya kekuasaan untuk

membuat serta menjalankan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan bidang

tugasnya yang telah ditetapkan dan tanggung jawab dalam bidang tugasnya tersebut

87
Tatang M. Amirin, Pokok-pokok Teori Sistem, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1996, hal.
7.
83

menimbulkan kewajiban baginya untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut dengan

jalan menggunakan wewenangan yang ada untuk mencapai tujuan perseroan.

Jadi dalam perseroan, tanggung jawab direksi timbul apabila direksi yang

memiliki wewenang atau direksi yang menerima kewajiban untuk melaksanakan

pengurusan perseroan, mulai menggunakan wewenangnya tersebut. Agar wewenang

atau kewajiban direksi tersebut dilaksanakan untuk kepentingan perseroan sesuai

dengan maksud dan tujuan perseroan, maka idealnya wewenang itu dapat

dilaksanakan sesuai dengan wewenang yang ada.

Apabila direksi bertindak melampaui wewenang yang diberikan kepadanya

tersebut, direksi tersebut ikut bertanggung jawab secara pribadi. Jika perusahaan yang

bersangkutan kemudian jatuh pailit, beban tanggung jawab tidak cukup ditampung

oleh harta perusahaan (harta pailit), maka direksi pun ikut bertanggung jawab secara

renteng.88

Dalam hal kewenangan mengurus perseroan, direksi diberikan kewenangan

untuk mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar Pengadilan untuk dan atas

nama perseroan kewenangan ini ditegaskan pada Pasal 1 angka (5) dan Pasal 99 ayat

(1). Sehubungan dengan kewenangan direksi, M. Yahya Harahap, membaginya ke

dalam 3 (tiga) hal, yaitu :

a. Kualitas kewenangan direksi mewakili perseroan tidak terbatas dan tidak

bersyarat. Artinya dalam hal bertindak untuk perseroan direksi tidak perlu

88
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1994, hal. 93.
84

mendapatkan kuasa dari perseroan sebab kuasa yang dimilikinya atas nama

perseroan adalah kewenangan yang melekat secara inherent pada diri dan

jabatan direksi berdasarkan undang-undang.

b. Setiap anggota direksi berwenang mewakili perseroan. Ketentuan UUPT yang

berkenaan dengan ini dalam Pasal 98 ayat (2) yaitu apabila anggota direksi terdiri

dari lebih dari 1 (satu) orang, maka setiap anggota direksi itu berwenang mewakili

perseroan.

c. Dalam hal tertentu anggota direksi tidak berwenang mewakili perseroan.

Yaitu, sesuai dengan Pasal 99 UUPT dalam hal :

1. Terjadi perkara di Pengadilan antara perseroan dengan anggota direksi yang

bersangkutan;

2. Anggota direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan

perseroan.

Wewenang direksi erat kaitannya dengan kewajiban direksi, maka dalam

UUPT kewajiban direksi itu dapat kita lihat di dalam Pasal 100 ayat (1) yang

menyatakan bahwa kewajiban direksi itu adalah :

a. Membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS dan risalah

rapat direksi;

b. Membuat laporan tahunan sebagaimana dimaksud Pasal 66 dan dokumen

keuangan perseroan sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Dokumen

Perusahaan;
85

c. Memelihara seluruh daftar, risalah dan dokumen keuangan dan dokumen

lainnya.

Selanjutnya Pasal 101 ayat (1) menentukan anggota direksi wajib melaporkan

kepada PT mengenai saham yang dimilikinya dan/atau keluarganya dan PT lain untuk

selanjutnya dicatat dalam daftar khusus, anggota direksi yang tidak melaksanakan

kewajiban tersebut dan menimbulkan kerugian PT, ia akan dipertanggungjawabkan

secara pribadi atas kerugian PT. Kemudian kewajiban direksi yang lain adalah

sebagaimana diatur di dalam Pasal 102 adalah direksi wajib meminta persetujuan

RUPS untuk :

a. Mengalihkan kekayaan perseroan;

b. Menjadikan jaminan utang kekayaan perseroan, yang merupakan lebih dari 50%

jumlah kekayaan bersih perseroan dalam satu transaksi atau lebih, baik yang

berkaitan satu sama lain maupun tidak.

Kewajiban direksi membuat laporan tahunan telah diperintahkan juga oleh

Pasal 66 UUPT No. 40 Tahun 2007. Direksi wajib membuat dan menyampaikan

laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh Dewan Komisaris dalam jangka

waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku perseroan berakhir. Anggota

direksi diangkat oleh RUPS untuk mengurus perseroan. Dalam tugasnya melakukan

mengurus perseroan, diwajibkan mengurus perseroan berdasarkan prinsip itikad baik.

Kewajiban tersebut ditegaskan dalam Pasal 85 ayat 1 UUPT, bahwa setiap anggota

direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk

kepentingan dan usaha perseroan. Dengan berlandaskan itikad baik, undang-undang


86

bermaksud agar setiap anggota direksi dapat menghindari perbuatan yang

menguntungkan kepentingan pribadi dengan merugikan kepentingan perseroan.

Makna itikad baik dalam konteks pelaksanaan pengurusan perseroan oleh

anggota direksi dalam praktik dan doktrin hukum, memiliki jangkauan yang luas,

antara lain sebagai berikut :

1. Wajib dipercaya (fiduciary duty)

2. Wajib melaksanakan pengurusan untuk tujuan yang wajar (duty to act for a

proper purpose)

3. Wajib patuh menaati peraturan perundang-undangan (statutory duty)

4. Wajib loyal terhadap perseroan (loyalty duty)

5. Wajib menghindari benturan kepentingan (avoid conflict of interest)

Ruang lingkup kewajiban anggota direksi menghindari benturan kepentingan

dalam melaksanakan pengurusan perseroan, meliputi :

a. Kewajiban untuk tidak mempergunakan uang dan kekayaan (money and property)

perseroan untuk kepentingan pribadinya.

b. Mempergunakan informasi perseroan untuk kepentingan pribadi.

c. Tidak mempergunakan posisi untuk memperoleh keuntungan perusahaan untuk

kepentingan pribadi, seperti menerima sogokan atau suap.

d. Tidak menahan atau mengambil sebagian dari keuntungan perusahaan untuk

kepentingan pribadi.

e. Dilarang melakukan transaksi antara pribadinya dengan perseroan.

f. Larangan bersaing dengan perseroan.


87

Demikian luas jangkauan atau ruang lingkup makna dan aspek itikad baik

pengurusan perseroan yang wajib dilaksanakan anggota direksi. Direksi dituntut

untuk bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan

tujuan perseroan, serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar Pengadilan.

Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab harus menjalankan tugas untuk

kepentingan dan usaha perseroan. Tanggung jawab direksi pada dasarnya dilandasi

oleh 2 (dua) prinsip yang penting, yaitu prinsip yang lahir karena tugas dan

kedudukan yang dipercayakan kepadanya oleh perseroan (fiduciary duty) dan prinsip

yang merujuk kepada kemampuan serta kehati-hatian tindakan direksi (duty of skill

and care), kedua prinsip ini menuntut direksi untuk bertindak secara hati-hati dan

disertai dengan itikad baik, semata-mata untuk kepentingan dan tujuan perseroan.

Tanggung jawab berarti kewajiban seorang individu untuk melaksanakan aktifitas-

aktifitas yang ditugaskan kepadanya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan yang

dimilikinya.89

Tanggung jawab direksi dibedakan dalam :

1. Tanggung jawab internal, yaitu meliputi tugas dan tanggung jawab direksi

perseroan dan pemegang saham perseroan;

89
Winardi, Asas-Asas Manajemen, Alumni, Bandung, 1983, hal. 144.
88

2. Tanggung jawab eksternal, yang berhubungan dengan tugas dan tanggung

jawab direksi kepada pihak ketiga yang berhubungan hukum langsung

maupun tidak langsung dengan perseroan.90

Direksi dapat digugat secara pribadi ke Pengadilan Negeri jika perseroan

mengalami kerugian yang disebabkan oleh kesalahan dan kelalaiannya. Begitu juga

dalam hal kepailitan yang terjadi kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan

perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap

anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut.91

Kepailitan PT baik secara langsung ataupun tidak langsung akan

menimbulkan akibat hukum bagi pengurusnya terutama bagi direksi perseroan. Ada

banyak persoalan tentang akibat hukum yang timbul dari putusan mengenai Dalam

hal terjadinya kepailitan perseroan, maka tidak secara apriori direksi bertanggung

jawab secara pribadi atas perseroan tersebut, namun sebaliknya bahwa direksi mesti

bebas dari tanggung jawab terhadap kepailitan PT. Tanggung jawab direksi yang

perusahaaannya mengalami pailit, pada prinsipnya adalah sama dengan tanggung

jawab direksi yang perusahaan tidak mengalami pailit.

Kepailitan PT baik secara langsung ataupun tidak langsung akan

menimbulkan akibat hukum bagi pengurusnya terutama bagi direksi perseroan. Ada

banyak persoalan tentang akibat hukum yang timbul dari putusan mengenai kepailitan

90
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Pemahaman Perseroan Terbatas Risiko Hukum
Pemilik, Direksi, & Komisaris, PT Forum Sahabat, Jakarta, 2008, hal. 112.
91
Frans Satrio Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris
Perseroan Terbatas (PT), Visimedia, Jakarta, 2009, hal. 119.
89

PT salah satunya adalah mengenai sejauh mana pertanggungjawaban terhadap adanya

kepailitan PT, apakah badan hukum itu sendiri yang akan memikul tanggung jawab

ataukah organ perseroan dalam hal ini direksi yang akan bertanggung jawab secara

pribadi. Adapun kriteria tanggung jawab direksi adalah sebagai berikut :

1. Tanggung jawab itu timbul jika perusahaan itu melalui prosedur kepailitan.

2. Harus ada kesalahan atau kelalaian.

3. Tanggung jawab itu bersifat residual, artinya tanggung jawab itu timbul jika

nanti ternyata asset perusahaan yang diambil ini tidak cukup.

4. Tanggung jawab itu secara renteng artinya walaupun hanya seorang kreditur

yang bersalah, direktur lain dianggap turut bertanggung jawab.

5. Presumsi bersalah dengan pembuktian terbalik.

Pengaturan lebih lanjut dari tanggung jawab direksi, dapat dilihat dari kondisi

tertentu. Pada prinsipnya direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap

perbuatan yang dilakukan atas nama perseroan berdasarkan wewenang yang

dimilikinya. Hal ini karena perbuatan direksi dipandang sebagai perbuatan PT yang

merupakan subjek hukum. Namun, ada beberapa hal direksi dapat dimintai

pertanggungjawabannya secara pribadi dalam kepailitan PT. Pasal 97 ayat (3) dan

ayat (4) mengatur tentang tanggung jawab direksi atas kerugian perseroan yang

timbul dari kelalaian menjalankan tugas pengurusan perseroan, yang dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :


90

1) Anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi.

Anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian yang

dialami perseroan apabila :

a) Bersalah;

b) Lalai menjalankan tugasnya melaksanakan pengurusan perseroan.

Seperti yang sudah dijelaskan, dalam melaksanakan pengurusan perseroan,

anngota direksi wajib melakukannya dengan itikad baik (good faith).

Jika anggota direksi lalai melaksanakan kewajiban dan melanggar apa yang

dilarang atas pengurusan, dan kelalaian atau pelanggaran itu menimbulkan kerugian

terhadap perseroan, maka anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi

atas kerugian perseroan tersebut.

2) Anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian

perseroan.

Dalam hal anggota direksi terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih, maka Pasal 97

ayat (4) menegakkan prinsip penerapan tanggung jawab secara tanggung renteng.

Ketentuan Pasal 97 ayat (4) UUPT tersebut adalah :

“Dalam hal direksi terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung

jawab sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng

bagi setiap anggota direksi”.

Berdasarkan bunyi dari Pasal 97 ayat (4) ini, dengan demikian apabila

anggota direksi lalai atau melanggar kewajibannya mengurus perseroan secara itikad

baik dan penuh tanggung jawab, maka setiap anggota direksi sama-sama ikut
91

memikul tanggung jawab secara tanggung renteng terhadap kerugian yangdialami

perseroan. Penerapan tanggung jawab terhadap direksi secara tanggung renteng di

Indonesia baru dikenal setelah diberlakukannya UUPT 2007. Sebelumnya baik dalam

KUHD dan UUPT 1995, yang ditegakkan adalah prinsip tanggung jawab pribadi

yang digantungkan kepada faktor siapa pelaku yang melakukan kesalahan, kelalaian

atau pelanggaran, maka tanggung jawab hukumnya hanya dipikulkan kepada anggota

direksi yang melakukan kesalahan itu. Tidak dilibatkan anggota direksi yang lain

secara tanggung renteng.

Pasal 104 ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal kepailitan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan harta pailit

tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut,

setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh

kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. Apabila direksi dapat

membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya tidak

bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian itu, Pasal 97 ayat (5)

menyebutkan bahwa anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan :

c. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

d. Telah melakukan dan menjalankan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-

hatian, dan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan

tujuan perseroan;
92

e. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak

langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian perseroan;

f. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya

kerugian tersebut.

Hal ini sehubungan dangan bunyi Pasal 97 ayat (5) huruf d UUPT yaitu,

“telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian

tersebut”. Yang dimaksud dengan “mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau

berlanjutnya kerugian”, termasuk juga langkah-langkah untuk memperoleh informasi

mengenai tindakan pengurusan yang dapat mengakibatkan kerugian antara lain

melalui forum rapat direksi.

Secara umum tanggung jawab direksi meliputi beberapa hal sebagai berikut :

1. Tanggung Jawab Direksi dalam PT.

Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk

kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di

luar Pengadilan. Jadi selain bertanggung jawab penuh atas pengurusan, direksi juga

bertindak mewakili perseroan (persona standi in judicio). Dalam menjalankan tugas

untuk kepentingan dan usaha perseroan, maka setiap anggota direksi wajib dengan

itikad baik (in good faith) dan penuh tanggung jawab (full responbility). Namun

apabila tidak dengan demikian, maka setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh

secara pribadi, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan

tugasnya sebagaimana yang dibebankan dan diwajibkan kepadanya.


93

2. Tanggung Jawab Direksi kepada Perseroan dan Pemegang Saham.

Tugas dan pertanggungjawaban direksi kepada perseroan dan pemegang

saham perseroan dimulai sejak perseroan memperoleh status badan hukum

sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan : “Perseroan memperoleh status badan

hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai pengesahan badan

hukum perseroan.”

Setiap kesalahan atau kelalaian anggota direksi dalam menjalankan

kewajibannya terhadap perseroan dan pemegang saham perseroan, memberikan hak

kepada pemegang saham untuk :92

1) Secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, yang mewakili jumlah sepersepuluh

pemegang saham perseroan melakukan gugatan untuk dan atas nama perseroan

terhadap direksi perseroan, yang atas kesalahan dan kelalaiannya telah

menyebabkan kerugian pada perseroan (derivative action);

2) Secara sendiri-sendiri melakukan gugatan langsung untuk dan atas nama pribadi

pemegang saham terhadap direksi perseroan atas setiap keputusan atau tindakan

direksi perseroan yang merugikan pemegang saham.

3. Tanggung Jawab Renteng antar sesama Anggota Direksi Perseroan.

Menurut sistem hukum di Indonesia, demikian juga hukum di kebanyakan

negara yang menganut sistem Civil Law, hubungan antara direktur dengan

92
Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, hal. 70.
94

perusahaan adalah bersifat kontraktual. Artinya, sungguhpun antara perusahaan

dengan direkturnya tidak terdapat suatu kontrak tertentu, tetapi oleh hukum

“dianggap” (fiksi) ada kontrak pemberi kuasa.93 Karena itu, hubungan antara direktur

dengan perusahaan tidak merupakan hubungan antara “trustee” dengan “beneficiary”

seperti dalam Anglo Saxon.

Apabila direktur bertindak melampaui wewenang yang diberikan kepadanya

tersebut, direktur tersebut ikut bertanggung jawab secara pribadi. Jika perusahaan

yang bersangkutan kemudian jatuh pailit, beban tanggung jawab tidak cukup

ditampung oleh harta perusahaan (harta pailit), maka direksi pun ikut bertanggung

jawab secara renteng. Sebagai konsekuensi yuridisnya, direktur sebagai pemegang

kuasa tidak boleh bertindak melebihi dari kekuasaan yang diberikan kepadanya.

Seberapa jauh kekuasaan diberikan kepadanya, dapat dilihat dalam anggaran dasar

perusahaan yang bersangkutan.

Dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa : “Perbuatan hukum atas nama perseroan

yang belum memperoleh status badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua

anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris

Perseroan dan mereka semua bertanggung jawab secara tanggung renteng atas

perbuatan hukum tersebut.” Terhitung sejak pengesahan, para pendiri PT tidak lagi

bertanggung jawab secara terbatas atas tiap perikatan yang dibuat untuk dan atas

93
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hal. 93.
95

nama perseroan, dan hanya akan menanggung kerugian yang terbatas pada nilai

seluruh saham yang dimilikinya. Selama pengesahan tersebut belum diperoleh, maka

pendiri (dan sekalian pengurusnya) bertanggung jawab sepenuhnya secara tanggung

renteng atas nama perseroan. Ketiadaan pengesahan itu tidak meniadakan perseroan

yang hendak dibentuk, hanya saja sifat pertanggungjawabannya yang belum tidak

terbatas.

Berdasarkan pada sifat pertanggungjawaban renteng tersebut, oleh kalangan

ahli hukum, status hukum dari PT dalam pendirian diperlakukan sama dengan atau

sebagaimana layaknya suatu persekutuan dengan firma, dimana para pengurus

bertindak selaku kuasa dari para pendiri dalam menjalankan kegiatan atau usaha

perseroan. Dengan ini berarti bahwa selama harta kekayaan perseroan tidak

mencukupi untuk menutupi seluruh kewajiban perseroan (dalam pendirian) tersebut,

maka para pendiri (dan pengurus) bertanggung jawab secara pribadi untuk memenuhi

seluruh kewajiban yang belum terlunasi.

4. Tanggung Jawab Direksi kepada Pihak Ketiga.

Tugas dan kewajiban direksi perseroan terhadap pihak ketiga terwujud dalam

kewajiban direksi untuk melakukan keerbukaan (disclosure) terhadap pihak ketiga

atas setiap kegiatan perseroan yang dianggap dapat mempengaruhi kekayaan

perseroan. Pihak ketiga adalah pihak orang lain yang tidak ikut serta dalam

perjanjian. Direksi perseroan diwajibkan untuk menyerahkan hasil perhitungan

tahunan perseroan untuk diperiksa oleh akuntan publik sebelum perhitungan tahunan

tersebut disahkan oleh RUPS Tahunan dan segera setelah disahkan oleh rapat,
96

diumumkan untuk kepentingan pihak ketiga. Khusus untuk PT terbuka, direksi

perseroan juga diwajibkan untuk mengumumkan setiap maksud dan rencana

penyelenggaraan RUPS. Ketentuan tersebut diatas tidak menutup adanya

kemungkinan permintaan pemberian data dan atau keterangan mengenai perseroan

oleh pihak ketiga yang berkepentingan, berdasarkan pada perjanjian antara para

pihak. Dalam hal-hal yang demikian tersebut diatas, direksi berkewajiban untuk

memberikan data dan atau keterangan tersebut secara jelas, tegas, benar dan akurat.

C. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kepailitan PT

Pada dasarnya pertanggungjawaban direksi adalah terbatas, akan tetapi dalam

keadaan tertentu tanggung jawab terbatas ini menjadi tidak terbatas atau menjadi

tanggung jawab pribadi ataupun tanggung renteng sesama anggota direksi, hal ini

terutama berkaitan dengan konsep-konsep di bawah ini :

1. Piercing The Corporate Viel

Piercing The Corporate Viel berasal dari sistem hukum anglo saxon yang

diterapkan oleh Negara-negara Inggris dan Amerika, kemudian dalam

perkembangannya piercing the coporate viel tersebut masuk ke dalam sistem

hukum Eropa Continental (Perancis dan Belanda).94 Piercing The Corporate Viel

mengajarkan bahwa suatu badan hukum bertanggung jawab secara hukum hanya

terbatas harta badan hkum tersebut, tetapi dalam hal-hal tertentu batas tanggung

jawab tersebut dapat ditembus (piercing) sehingga tanggung jawab tersebut

94
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hal. 7
97

menjadi tidak terbatas. Beberapa contoh fakta yang mestinya dapat diterapkan

doktrin Piercing The Corporate Viel adalah permodalan yang tidak layak,

penggunaan dana perusahaan secara pribadi, ketiadaan formalitas eksistensi

perusahaan dan adanya unsur-unsur penipuan dengan cara menyalahgunakan

badan hukum.95

2. Ultra Vires

Apabila direksi telah melanggar kewenangannya sebagaimana telah diwajibkan

dalam anggaran dasar, maka direksi telah melanggar asas ultra vires dan dengan

demikian harus bertanggung jawab sampai harta pribadinya. Pihak ketiga yang

berhubungan usaha dengan perseroan tersebut tetap sah dan dilindungi tanpa

memerhatikan Ultra Vires. Ultra Vires adalah perbuatan yang berada di luar

kecakapann bertindak (tidak termasuk dalam maksud dan tujuan PT). Dengan

kata lain ultravires mengandung arti bahwa perbuatan tertentu itu hakikatnya

adalah sah (dalam hubungannya dengan pihak lain) tetapi ternyata di luar

kecakapan bertindak PT. Sebagaimana diatur dalam anggaran dasar atau berada di

luar ruang lingkup maksud dan tujuannya.96

UUPT menyerahkan sepenuhnya ultra vires kepada pengaturan di dalam

anggaran dasar, seperti disebutkan dalam Pasal 92 ayat (2) UUPT, bahwa Direksi

berwenang menjalankan pengurusan Perseroan Terbatas sesuai dengan kebijakan

95
Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hal. 161
96
Ali Rido, Doktrin-Doktrin Modern Hukum Perusahaan, Kesaint Blanc Publishing, 2011,
hal.19
98

yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini

dan/atau anggaran dasar. Setiap kelalaian atau kesalahan yang dilakukan seorang

anggota Direksi mengakibatkan anggota direksi tersebut bertanggung jawab secara

pribadi atas setiap kerugian perseroan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 97 ayat (3)

UUPT. Perumusan Pasal tersebut berarti bahwa anggota direksi wajib melaksanakan

tugasnya dengan penuh itikad baik (in good faith) dan dengan penuh tanggung jawab

(and with full sens of responsibility). Selama hal tersebut dijalankan, para anggota

direksi tetap mempunyai tanggung jawab yang terbatas yang merupakan ciri utama

dari suatu perseroan terbatas. Namun apabila hal tersebut dilanggar, artinya direksi

bersangkutan lalai atau bersalah dalam menjalankan tugasnya, maka yang berlaku

Pasal 97 ayat (3) tersebut.97

Para direksi melalui prinsip the business judgment rule yaitu aturan yang

melindungi para direktur dari tanggung jawab pribadi apabila mereka bertindak

berdasarkan itikad baik (in good faith) dan dapat dipercaya bahwa tindakan yang

diambil oleh direktur tersebut adalah yang terbaik untuk kepentingan perseroan (the

best interests of the corporation).98

97
Zainal Asiqin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Rajawali
Press, Jakarta, 2011, hal. 42
98
Syarif Bastaman, Tanggung Jawab Direksi, Komisaris, PT dan Beberapa Prinsip-Prinsip
di Dalam Buku PT No. 40 Tahun 2007, Bina Ilmu, Jakarta, 2012, hal. 51
99

Pada dasarnya business judgment rule terbagi dalam dua hal yaitu :

1. Business judgment rute, merupakan konsep dimana direksi harus bertindak

sebagai itikad baik dengan informasi yang cukup dan diolah secara cakap

berdasarkan kemampuan.

2. Business judgmenet doctrine, yang merupakan konsep dimana tindakan

direksi sah dan mengikat sepanjang hal itu memang menjadi kewenangannya,

atau tidak bersifat ultra vires (diluar kewenangan perseroan). 99

Apabila para direksi bekerja berdasarkan business judgment rule tersebut

maka pengadilan tidak akan ragu-ragu untuk melindungi direksi sehingga luput dari

sanksi yang bukan seharusnya untuk dirinya. Di dalam ketentuan Pasal 97 ayat (5)

Undang-Undang No. 40 tahun 2007 menyatakan bahwa, “Anggota direksi tidak dapat

dipertanggung jawabkan atas setiap kerugian apabila dapat dirugikan a. kerugian

tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, b. telah melakukan pengurusan

dan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan

tujuan perseroan, c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun

tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, d. telah

mengambil tindakan untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya kerugian tersebut”.

Dalam hal kepailitan terjadi kesalahan atau kelalaian direksi dan harta pailit tidak

cukup untuk membayar seluruh kerugian perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap

anggota direksi secara tangung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban

99
Kartono, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Hutang Berdasarkan Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2009, hal. 28
100

yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. Ketentuan tersebut di atas juga berlaku

bagi anggota direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota

direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit

diucapkan.

Di dalam kasus permohonan pailit No. 05/Pailit/2012/PN/NIAGA.SMG

dimana PT. Indonesia Antique dan Wahyu Hanggono secara pribadi yang bertindak

selaku direktur dinyatakan pailit oleh para krediturnya, dipandang bahwa Wahyu

Hanggono sebagai direktur telah lalai / salah dalam menjalankan usahanya sehingga

menimbulkan kerugian bagi perusahaan dan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.

Oleh karena itu Wahyu Hanggono secara pribadi juga dituntut oleh para krediturnya

untuk dinyatakan pailit sehingga tanggung jawab Wahyu Hanggono selaku direktur

yang telah salah atau lalai dalam menjalankan perusahaan, adalah bertanggung jawab

secara pribadi dalam melunasi seluruh kewajiban (utang perusahaan) dengan

menggunakan harta/asset pribadinya yang telah dinyatakan berada dalam

pengelolaan/pemberesan kurator di bawah pengawasan hakim pengawas.

Pertanggung jawaban pribadi direksi dalam hal melunasi seluruh kewajiban (hutang

perusahaan) dengan menggunakan harta / aset pribadinya adalah pada saat adanya

putusan pengadilan yang mengatakan bahwa kepailitan perseroan tersebut akibat

adanya kesalahan direksi. Dengan adanya kesalahan direksi yang menyebabkan

kepailitan perseroan maka direksi bertanggung jawab secara pribadi dengan

menggunakan harta / asetnya apabila harta / aset perusahaan tidak mencukupi untuk

membayar / melunasi hutang-hutang perseroan tersebut. Sejak saat itu maka aset atau
101

harta direksi secara pribadi wajib diberikan oleh direksi tersebut untuk melunasi

hutang perusahaan. Disamping itu direksi secara pribadi juga dapat dimohonkan pailit

ke Pengadilan Niaga oleh kreditur minimal 2 (dua) kreditur, dan apabila permohonan

pailit tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka harta/aset debitur

dapat disita dalam melunasi hutang-hutang perseroan yang mengalami kepailitan

tersebut.

Dengan demikian dapat dikatakan di dalam suatu kepailitan PT apabila

harta/asset dari PT tersebut tidak mencukupi untuk melakukan pembayaran /

pelunasan atas utang-utang dari PT tersebut maka direksi secara pribadi dapat pula

dipaiitkan oleh para kuratornya melalui suatu permohonan pernyataan pailit ke

Pengadilan Niaga. Hal ini bertujuan agar harta / aset dari direksi secara pribadi dapat

pula diletakkan di bawah kewenangan kurator dan pengawasan hakim pengawas

untuk digunakan dalam melakukan pelunasan terhadap utang-utang dari PT tersebut.

Hal ini disebabkan karena Hari Hanggono selaku direktur telah salah / lalai dalam

menjalankan perusahaan sehingga menimbulkan kerugian bagi perusahaan dan

perusahaan dinyatakan pailit oleh para krediturnya.

C. Kepailitan Direksi Secara Pribadi Setelah Terjadinya Kepailitan Perseroan


Terbatas

Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas menyatakan bahwa, “Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk

kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud tujuan Perseroan”. Pasal 95

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 menyatakan bahwa, “Direksi bertanggung jawab


102

atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) Undang-

Undang No. 40 Tahun 2007 tersebut di atas”. Selanjutnya Pasal 95 ayat (2) Undang-

Undang No. 40 Tahun 2007 menyebutkan bahwa, “Pengurusan sebagaimana

dimaksud pada Pasal 95 ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan

itikad baik dan penuh tanggung jawab”.

Setiap anggota direksi bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian

perseroan, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai

dengan ketentuan yang dimaksud pada Pasal 95 ayat (2) Undang-Undang No. 40

Tahun 2007. Dalam hal direksi terdiri dari 2 (dua) anggota atau lebih, maka tanggung

jawab tersebut berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi. Anggota

direksi tidak dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian perseroan apabila dapat

membuktikan :

1. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya

2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk

kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

3. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung

atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian.

4. Telah melakukan tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian

tersebut.100

100
Siti Sunarto Hartono, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, FH UGM,
Yogyakarta, 2009, hal. 57
103

Direksi adalah salah satu organ PT yang memiliki tugas serta tanggung jawab

penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan tujuan perseroan serta mewakili

perseroan baik di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggra dasar.

Direksi mempunyai fungsi dan peranan yang sangat sentral dalam paradigma

perseroan terbatas hal ini karena Direksi yang menjalankan kepengurusan dan

perwakilan perseroan terbatas, ketentuan normatif dalam Undang-Undang Perseroan

Terbatas maka fungsi direksi adalah melakukan pengurusan dan perwakilan.

Pengurusan berkaitan dengan tugas-tugas internal suatu Perseroan Terbatas untuk

kepentingan dalam rangka pencapaian maksud tujuan perseroan sedangkan

perwakilan adalah berkaitan dengan tugas mewakili perseroan dalam berinteraksi

dengan pihak ketiga maupun mewakili di luar dan di dalam perusahaan.

Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab harus menjalankan

tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Direksi dapat digugat secara pribadi ke

Pengadilan Negeri jika perseroan mengalami kerugian yang disebabkan karena

kelalaiannya. Begitu juga dalam kepailitan yang terjadi karena kesalahan atau

kelalaian direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat

kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung

renteng atas kerugian tersebut.101

Apabila harta kekayaan PT tidak cukup untuk membayar hutang perusahaan

yang telah dinyatakan pailit diakibatkan perbuatan para direksi yang telah bersalah

101
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan Perusahaan dan Asuransi, Alumni,
Bandung, 2009, hal. 20
104

atau lalai dalam menjalankan tugasnya tersebut maka kreditur dapat melakukan

tuntutan atas harta kekayaan direksi secara pribadi agar dapat terpenuhi seluruh

hutang-hutang dari pada perusahaan tersebut. Apabila harta kekayaan PT tersebut

tidak cukup dalam melunasi hutang-hutang kepada kreditur setelah PT dinyatakan

pailit, maka kreditur yang telah jatuh tempo piutangnya tersebut (minimal 2 kreditur)

dapat pula mengajukan gugatan pailit kepada direksi secara pribadi, apabila direksi

secara pribadi tidak bertanggung jawab atas hutang-hutang PT yang telah dinyatakan

pailit oleh pengadilan tersebut, setelah seluruh harta kekayaan PT ternyata tidak

mencukupi untuk membayar hutang-hutang tersebut.

Prinsip manajemen perseroan yang baik yang telah diakomodasi dalam

ketentuan undang-undang Perseroan Terbatas masih harus dijabarkan secara detail

dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Ketentuan dalam Undang-Undang

tersebut hanya menjelaskan tanggung jawab Direksi secara umum berdasarkan

hubungan kepercayaan (fiduciary of relationship) antara Direksi dan perseroan. Jika

diperjelas hubungan tersebut mengandung tiga faktor penting yaitu :

1. Prinsip kehati-hatian dalam bertindak (duty of skill and care)

2. Prinsip itikad baik untuk bertindak semata-mata demi kepentingan dan tanggung

jawab perseroan (duty of loyality).


105

3. Prinsip tidak mengambil keuntungan pribadi atas suatu kesempatan yang

sebenarnya milik atau diperuntukkan bagi perseroan (no secret profit rule

doctrine of corporate opportunity).102

Menentukan keadaan direksi dianggap melanggar prinsip tersebut secara

detail merupakan hal yang tidak mudah. Berdasarkan prinsip tersebut di atas direksi

dapat menggunakan konsep yang dikenal sebagai the business judgement rule, yang

merupakan suatu prinsip yang memberikan perlindungan bagi direksi atas dakwaan

pelanggaran ketiga prinsip tersebut. Dengan menggunakan prinsip the business

judgement rule direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawab secara pribadi,

sekalipun tindakannya merugikan perseroan, asalkan tindakannya dilakukan sebagai

keputusan bisnis yang dibuat berdasarkan itikad baik semata-mata untuk kepentingan

perusahaan.

Demikian juga tanggung jawab direksi dalam hal terjadi kepailitan adalah

sama dengan tanggung jawab direksi yang perusahaannya tidak mengalami

kepailitan. Prinsipnya direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap

perbuatan yang dilakukannya untuk dan atas nama perusahaan berdasrkan

kewenangan yang dimiliki. Hal ini karena perbuatan direksi dipandang sebagai

perbuatan perseroan terbatas yang merupakan subyek hukum mandiri sehingga

perseroan yang bertanggung jawab terhadap perbuatan perseroan sendiri yang dalam

hal ini dipresentasikan oleh direksi. Namun dalam beberapa hal direksi dapat pula

102
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran Hutang, Pradnya Paramitha, Jakarta,
2008, hal. 71
106

dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi dalam kepailitan perseroan terbatas.

Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang PT menyebutkan

dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kelalaian

atau kesalahan direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh

kewajiban perseroan dalam kepailiatn tersebut setiap anggota direksi secara tanggung

renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang terlunasi dari harta pailit

tersebut. Bukan hal yang mudah untuk membuktikan bahwa direksi telah melakukan

kesalahan / kelalaian sehingga menyebabkan suatu perseroan mengalami

kebangkrutan yang berujung pada kepailitan.

Mengenai tanggung jawab direksi yang perseroannya, mengalami kepailitan,

Munir Fuady menyatakan bahwa, “Apabila suatu perseroan pailit, maka sekonyong-

konyong (tidak demi hukum) pihak direksi harus bertanggung jawab secara pribadi.

Agar dapat dimintakan pertanggung jawaban pribadi ketika perusahaan pailit harus

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut” :103

1. Terdapatnya unsur kesalahan (kesengajaan) atau kelalaian dari direksi (dengan

pembuktian biasa)

2. Untuk membayar utang dan ongkos-ongkos kepailitan haruslah diambil terlebih

dahulu dari asset-aset perseroan. Bila asset tidak mencukupi barulah diambil asset

pribadi direksi.

103
Artomo Rooseno, Hukum Kepailitan dan Pertanggung Jawaban Direksi Berdasarkan
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, Eresco, Bandung, 2012, hal. 18
107

3. Diberlakukan pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) bagi anggota direksi

yang membuktikan bahwa kepailitan perseroan bukan karena kesalahan

(kesengajaan) atau kelalaiannya.

Permasalahan berikutnya adalah mengenai mekanisme permintaan

pertanggung jawaban direksi yang karena kesalahannya atau karena kelalaiannya

menyebabkan perseroan tersebut pailit. Apakah prosedur hukum gugatan permohonan

pailit terhadap PT dapat digabungkan dengan permohonan palit terhadap direksi,

dimana kurator langsung meminta pertanggung jawaban pribadi terhadap direksi atau

diperlukan suatu acara gugatan di pengadilan? Undang-undang Kepailitan tidak

mengatur hal ini demikian juga dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang

PT. Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige

daad) bisa dijadikan alternatif untuk meminta pertanggung jawaban direksi yang

telah melakukan kesalahan sehingga mengakibatkan kerugian pihak ketiga.

Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan bahwa, “Setiap perbuatan yang

melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang

yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian

tersebut”. Dengan demikian gugatan kepada direksi secara pribadi dapat diajukan

oleh para kreditur dengan menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata dalam meminta

pertanggung jawaban direksi secara pribadi dalam hal pelunasan pembayaran hutang

PT yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan, dimana harta kekayaan PT tersebut

tidak mencukupi untuk melunasi seluruh hutang yang dimiliki PT terhadap para

krediturnya tersebut. Kewajiban untuk bertanggung jawab secara tanggung renteng


108

dari direksi atas kesalahan atau kelalaian dari direksi yang mengakibatkan terjadinya

kerugian terhadap PT merupakan dasar diajukannya gugatan ganti rugi tersebut oleh

para kreditur tersebut. Namun demikian dapat pula diajukan gugatan kepailitan

kepada direksi secara pribadi apabila direksi tidak memiliki itikad baik untuk

bertanggung jawab secara pribadi dalam hal pelunasan utang PT yang telah

dinyatakan pailit tersebut, dan harta kekayaan PT yang tela dinyatakan pailit tersebut

tidak mencukupi untuk membayar hutang-hutangnya kepada kreditur.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pengajuan gugatan kepailitan wajib

terlebih dahulu dilakukan terhadap PT oleh minimal dua orang kreditur karena PT

tersebut telah mempunyai dua hutang yang jatuh tempo namun PT tidak

melaksanakan kewajibannya dalam melakukan pembayaran terhadap hutang tersebut.

Pengajuan gugatan kepailitan terhadap direksi secara pribadi dapat dilakukan oleh

para kreditur minimal dua oarng kreditur apabila harta kekayaan PT secara

keseluruhan tidak mencukupi untuk melunasi hutang-hutang PT tersebut kepada para

krediturnya. Tujuan pengajuan gugatan pernyataan pailit terhadap direksi secara

pribadi oleh para krediturnya bertujuan agar harta kekayaan direksi secara pribadi

dapat disita dan dimasukkan ke dalam harta budel pailit PT.

Dalam upaya melakukan pelunasan hutang-hutang PT secara keseluruhan

terhadap pra krediturnya agar direksi secara pribadi dapat digugat ke Pengadilan

Niaga untuk dinyatakan pailit maka harus dapat dibuktikan bahwa direksi dalam

melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan asas-asas pengurusan atau pengelolaan

perusahaan yang baik terdapat kesalahan dari direksi dalam pengambilan keputusan
109

sehingga mengakibatkan terjadinya kepailitan PT. Hal ini harus dapat dibuktikan oleh

para krediturnya di Pengadilan Niaga dalam proses pemeriksaan persidangan.

Apabila ternyata direksi dalam melaksanakan tugasnya melakukan pengurusan dan

pengelolaan PT menyimpang dari asas-asas pengelolaan dan pengurusan perusahaan

yang baik dan terbukti pula bahwa kesalahan pengambilan keputusan yang dilakukan

oleh direksi mengakibatkan terjadinya kepailitan PT maka dapat dinyatakan bahwa

direksi turut bertanggung jawab atas kepailitan PT dan Pengadilan Niaga dapat

melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan pribadi direksi untuk dimasukkan ke

dalam budel pailit PT agar dapat melunasi seluruh hutang-hutang PT kepada para

krediturnya. 104

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pengajuan pernyataan pailit direksi

secara pribadi dapat dilakukan oleh para krediturnya, apabila PT selaku badan hukum

telah dipailitkan terlebih dahulu oleh Pengadilan Niaga dan telah memiliki hukum

yang tetap (inkracht van gewijsde). Pengajuan permohonan pernyataan pailit direksi

secara pribadi oleh para krediturnya disebabkan karena harta kekayaan PT tidak

mencukupi untuk membayar / melunasi hutang-hutang PT terhadap pra krediturnya

tersebut. Disamping itu terdapat kesalahan pengambilan keputusan yang dilakukan

oleh direksi yang mengakibatkan terjadinya kepailiatn PT yang dijadikan dasar

hukum pengajuan pernyataan pailit direksi secara pribadi ke Pengadilan Niaga oleh

para krediturnya. Tujuan mengajukan permohonan pernyataan pailit direksi secara

104
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri PT, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2014, hal. 36
110

pribadi oleh para krediturnya tersebut ke Pengadilan Niaga adalah agar harta

kekayaan direksi secara pribadi dapat disita oleh Pengadilan Niaga dan dimasukkan

ke dalam harta budel pailit PT sehingga mencukupi untuk membayar seluruh hutang-

hutang PT kepada para krediturnya tersebut.


111

BAB IV

TANGGUNG JAWAB DIREKSI TERHADAP KEPAILITAN


PERSEROAN TERBATAS

A. Kasus Posisi Dalam Putusan Pengadilan Niaga No.


05/Pailit/2012/PN/NIAGA.SMG Dalam Perkara Perdata Permohonan
Pernyataan Pailit antara Kreditur (Hendrianto Muliawan dan Agung
Hariyono) Melawan PT. Indonesia Antique dan Wahyu Hanggono

Hendrianto Muliawan dan Agung Hariyono adalah para pemohon pailit yang

telah memasukan surat pailitnya tertanggal 7 Mei 2012 terhadap para termohon pailit

yaitu PT. Indonesia Antique sebagai Termohon I yaitu perusahaan dan atau perseroan

yang didirikan berdasarkan hukum dan perundang-undangan yang bergerak di bidang

produksi dan di bidang meuble, dimana dalam hal ini Termohon II yaitu Saudara

Wahyu Hanggono menjabat selaku direktur di perusahaan PT. Indonesia Antique

tersebut bertindak dalam jabatannya dan juga secara pribadi telah membuat dan

menandatangani hutang piutang dengan pemohon I dengan nilai utang piutang

sebesar Rp 55.000.000,- (lima puluh lima juta rupiah), sebagaimana dimaksud dalam

perjanjian tertanggal 10 Januari 2010. Dalam perjanjian dimaksud telah disepakati

pengembalian dan atau pembayaran hutang sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta

rupiah), akan dilakukan seketika pada tanggal 10 April 2010 dan oleh karenanya

dalam hal ini telah disepakati tanggal jatuh tempo pada tanggal 10 April 2010.

Pada saat utang telah jatuh tempo pemohon I telah meminta para termohon

untuk melakukan pembayaran atas utang dimaksud, namun demikian ternyata pada

tanggal 1 jatuh tempo para termohon belum melakukan pembayaran. Pemohon I telah

111
112

mengirimkan dua surat peringatan (somatie) kepada para termohon yaitu pada tanggal

1 April 2010 (somatie I) namun tidak diindahkan oleh termohon, selanjutnya surat

peringatan (somatie II) tanggal 2 Mei 2010 namun juga tidak diindahkan oleh para

termohon. Pemohon I juga telah melakukan serangkaian upaya penagihan yang patut,

namun para termohon tidak juga mengindahkan dan melaksanakan pembayaran.

Selain memiliki utang kepada pemohon I para termohon juga memiliki utang kepada

pemohon II sebesar Rp 90.000.000,- (sembilan puluh juta rupiah) sebagaimana

terbukti dalam perjanjian utang piutang tertanggal 15 April 2011 yang telah

disepakati pengambalian utang tersebut sebesar 90.000.000,- (sembilan puluh juta

rupiah) dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2011 secara seketika. Namun pada saat

jatuh tempo utang yang telah diperjanjikan yaitu 15 Oktober 2011 para termohon

tidak melaksanakan pembayaran utangnya. Pemohon II telah melakukan penagihan

kepada para termohon, namun pihak para termohon belum dapat melakukan

pembayaran dengan alasan pembayaran terdapat kesulitan berbisnis. Pemohon II juga

telah mengirimkan tiga kali surat peringatan (somatie) masing-masing tanggal 1

Nopember 2011, 7 Nopember 2011 dan 4 Nopember 2011. Meskipun para termohon

telah melakukan somatie sebanyak tiga kali dari pemohon dua ternyata hingga

didaftarkannya permohonan pernyataan pailit ini para termohon juga tidak melakukan

pembayaran kepada pemohon II.

Berdasarkan uraian di atas maka terdapat fakta hukum bahwa para pemohon

berjumlah 2 (dua) orang nyata dan terang bahwa para termohon mempunyai hutang

kepada 2 (dua) orang pemohon yang mengajukan pernyataan pailit yang hutangnya
113

telah jatuh tempo. Selain itu bahwa para termohon juga memiliki hutang pula kepada

kreditur lain yaitu kepada Aryo Hidayat Adiseno dan Hanafi. Rincian tagihan /

piutang dari Aryo Hidayat Adiseno dan Hanafi dimaksud baru dapat diketahui secara

pasti apabila yang bersangkutan dipanggil dan dimintai keterangannya dalam

persidangan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas kuasa hukum pemohon dalam permohonan

pernyataan pailitnya mewakili para termohon menyatakan bahwa permohonan

pernyataan pailit yang diajukan oleh Pemohon I dan Pemohon II ini telah memenuhi

syarat sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan PKPU yang menyatakan bahwa, debitur yang mempunyai dua atau

lebih kreditur dan tidak dan tidak membayar lunas sedikitnya 1 utang yang telah jatuh

waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas

permohonanya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.

Mengingat para pemohon pailit telah dapat membuktikan secara sederhana

terpenuhinya syarat dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas, maka menurut hukum

permohonan pernyataan pailit tersebut haruslah dikabulkan hal mana sesuai dengan

ketentuan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan PKPU yang menyatakan bahwa, “Permohonan pernyataan pailit haruslah

dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa

persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)

telah terpenuhi”.
114

Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan PKPU, maka dengan ini para pemohon mengusulkan pula

kepada Ketua Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang qq. Majelis

Hakim yang memeriksa perkara aquo mengangkat seorang kurator yaitu Ibu Endang

Srikarti Handayani, Kurator dan Pengurus yang telah terdaftar di Departemen Hukum

dan Hak Asasi Manusia RI No. AHU.AH.04.03-35 tanggal 30 April 2008 yang

beralamat di Jl. Pahlawan Revolusi No. 20 Pondok Bambu Jakarta Timur.

Berdasarkan pada fakta-fakta hukum sebagaimana diuraikan tersebut di atas,

kuasa pemohon I dan pemohon II memohon kepada Ketua Pengadilan Niaga pada

Pengadilan Negeri Semarang qq. Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus

perkara aquo berkenan menjatuhkan putusan dalam perkara aquo sebagai berikut :

1. Menerima dan mengabulkan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh

para pemohon untuk seluruhnya.

2. Menyatakan para pemohon yaitu PT. Indonesia Antique yang beralamat di

Rt.2/Rw.5 Gatak, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah dan Wahyu Hanggono

secara pribadi yang beralamat Jl. Semeru IV No. 23 Tegalharjo, Surakarta, Jawa-

Tengah Pailit dengan segala akibat hukumnya.

3. Menunjuk dan mengangkat Hakim Pengawas dalam perkara Kepailitan ini

menurut pertimbangan Pengadilan.

4. Menunjuk dan mengangkat Endang Srikarti Handayani Kurator dan Pengurus

yang terdaftar di Departemen Hukum dan Hak Asasi Republik Indonesia No.
115

AHU.AH.04.03-35 tangagl 30 April 2008, beralamat di Pahlawan Revolusi No.

20 Pondok Bambu Jakarta Timur selaku Kurator dalam perkara Kepailitan ini.

5. Menghukum Para Termohon Pailit untuk membayar seluruh biaya perkara.

Jawaban kuasa hukum dari Tergugat I dan Tergugat II yaitu PT. Indonesia

Antique dan Wahyu Hanggono sebagai direktur PT. Indonesia Antique dalam

persidangan menyatakan bahwa :

1. Dalam menjalankan usahanya dibidang produksi dan jual beli meuble baik

Termohon I maupun Termohon II melakukan tugas dan kewajibannya didasari

dengan itikad baik untuk kemajuan bisnis perusahaan dengan tetap menjaga

hubungan dan etika bisnis dengan pihak ketiga.

2. Dalam perjalanan perusahaan terdapat naik turun tingkat penjualan secara bisnis

yang dipandang sebagai suatu hal wajar, dan sejak tahun 2010 perusahaan PT.

Indonesia Antique berjalan kurang baik sehingga memerlukan pinjaman modal

terhadap pihak ketiga baik dari institusi perbankan maupun dari pribadi selaku

relasi bisnis.

3. Dalam hal ini para termohon mengakui dan tidak menyangkal bahwa pada kurun

waktu bulan Januari 2010 telah meminjam uang kepada Pemohon I sebesar Rp

50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan janji akan dikembalikan pada 10

April 2010, namun dikarenakan kesulitan bisnis maka para Termohon belum

dapat mengambalikan pinjman dimaksud. Para termohon juga mengakui bahwa

pada tanggal 15 April 2010 juga telah meminjam uang kepada Pemohon II

sebesar Rp 90.000.000,- (sembilan puluh juta rupiah) dengan janji akan


116

dikembalikan pada tanggal 15 Oktober 2012, namun dikarenakan terdapat

kesulitan secara bisnis, maka para Termohon belum juga dapat mengembalikan

pinjaman dimaksud.

4. Para Termohon sejak awal tidak pernah memiliki itikad yang tidak baik untu tidak

membayar pinjmanan dimaksud. Belum dibayarkannya pinjaman dimaksud satu

dan lain hal karena adanya kesulitan bisnis yang dialami oleh para termohon, serta

saat ini terdapat tagihan para termohon kepada pihak yang belum terbayarkan

dalam jumlah yang cukup besar di dalam ekspor meuble ke Spanyol.

5. Kesulitan bisnis yang dialami oleh para termohon merupakan hal yang nyata

bahkan selain kepada para Pemohon terdapat pinjaman kepada pihak lain pribadi

maupun kepada pihak bank, yaitu salah satunya PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk.

Oleh karena itu berkaitan dengan pemohonan pernyataan pailit yang diajukan

oleh para pemohon, maka dengan ini para termohon menyerahkan putusan yang

terbaik dan yang paling adil dari Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada

Pengadilan Negeri Semarang.

B. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Niaga Dalam Putusan No.


05/Pailit/2012/PN/NIAGA.SMG pada Perkara Perdata Permohonan
Pernyataan Pailit antara Kreditur (Hendrianto Muliawan dan Agung
Hariyono) Melawan PT. Indonesia Antique dan Wahyu Hanggono

Dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada

Pengadilan Negeri Semarang yang memeriksa dan memutuskan perkara tuntutan

pernyataan pailit antara Kreditur (Hendrianto Muliawan dan Agung Hariyono)

Melawan PT. Indonesia Antique dan Wahyu Hanggono antara lain mendasarkan
117

pertimbangan hukumnya pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan bahwa, “Debitur yang mempunyai

dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu hutang yang telah

jatuh waktu dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas

permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”. Dari

rumusan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan PKPU tersebut diperoleh pemahaman bahwa komponen penting dalam

hukum kepailitan adalah adanya kreditur, adanya debitur, adanya utang serta utang

yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Pengertian mengenal apakah yang dimaksud dengan utang serta utang yang

telah jatuh waktu dan dapat ditagih sebagaimana dimaksud didasarkan kepada

ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan PKPU yang memberikan batasan bahwa, “Utang” adalah kewajiban yang

dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia

maupun mata uang asing, baik secara langsung, maupun yang akan timbul kemudian

hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang atau yang wajib

dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk

mendapat pemenuhannya dari harat kekayaan debitur, sementara menurut penjelasan

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU

menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan “Utang yang telah jatuh waktu dan dapat

ditagih” adalah kweajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena

telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana


118

diperjanjikan, karena penegasan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang,

maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase.

Setelah Majelis Hakim Pengadilan Niaga mencermati secara seksama bukti

para termohon yaitu T1 II-1. T1 II-2 para termohon adalah sebagai subjek hukum

yaitu termohon I berbentuk perseroan terbatas dengan nama PT. Indonesia Antique

dan dapat bertindak selaku pihak dalam perbuatan hukum tertentu, termasuk dalam

pengertian itu untuk membuat suatu perjanjian yang dalam implementasinya diwakili

direksi (bukti I1 II-1). Memperhatikan bukti P1-2, PI-3, PII-3 menunjukan telah

terjadi hubungan hukum perjanjian hutang piutang antara Pemohon I dan Pemohon II

dengan para pemohon. Selanjutnya majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya

setelah memperhatikan dan mencermati bukti-bukti yang ada menyatakan bahwa para

termohon mempunyai utang kepada pemohon masing-masing sebesar

Rp 50.000.000,- dan Rp 90.000.000,- dan selanjutnya juga adalah utang keuntungan

yang diperjanjikan dalam surat perjanjian. Para pemohon tidak dapat melunasi

utangnya dan memperhatikan bukti PI-4, PI-5, PI-6 tertanggal 15 April 2010, 2 Mei

2010, berupa surat somatie / peringatan dari Pemohon I kepada para Termohon agar

para Termohon merealisasikan komitmen terkait dengan utang-utangnya yang harus

dibayar kepada para pemohon selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung sejak

tanggal surat tersebut dan bukti PII-4, PII-5, PII-6 berupa surat somatie / peringatan

dari Pemohon II pada para Termohon tertanggal 1 Nopember 2011 dan 7 Nopember

2011 agar para termohon segera membayar dan mengembalikan utangnya selambat-

lambatnya 7 (tujuh) hari sejak tanggal surat tersebut sedangkan bukti PII-5 somatie ke
119

II agar para termohon mengembalikan hutangnya paling lambat 2x 24 jam terhitung

sejak tanggal surat tersebut, namun sampai dengan perkara ini diajukan oleh

Pemohon I dan Pemohon II, para Termohon tetap tidak melaksanakan kewajibannya.

Dari uraian fakta hukum di atas dalam pertimbangan hukumnya Majelis

Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang berkesimpulan bahwa

para termohon mempunyai utang dan para termohon berkewajiban untuk membayar

sejumlah utang kepada pemohon I dan pemohon II atas dasar perjanjian utang

piutang, yang merupakan kreditur dari termohon dimana utang tersebut telah jatuh

tempo dan tidak dapat dibayar oleh termohon. Atas dasar utang yang telah jatuh

tempo dari dua orang kreditur yang tidak dapat dibayar oleh debitur yaitu Termohon I

dan Termohon II maka Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang dalam

pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit dari

Termohon I dan Termohon II sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU telah terpenuhi oleh karena termohon

telah dinyatakan pailit maka sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-

Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU harus diangkat kurator dan

seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan. Selanjutnya

berdasarkan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan PKPU menyatakan bahwa, “Kurator yang diangkat sebagaimana dimaksud pada

Pasal 15 ayat (1) harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan

debitur atau kreditur dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dari penundaan

kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara”. Di dalam pertimbangan


120

hukumnya Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang

memutuskan mengangkat kurator yang sesuai dengan permohonan Pemohon I dan

Pemohon II yaitu Endang Srikarti Handayani.

Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang

menunjuk Ifa Sudewi, Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang

sebagai Hakim Pengawas. Amar putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

Semarang selengkapnya adalah :

1. Menerima dan mengabulkan permohonan pailit Pemohon I dan Pemohon II

2. Menyatakan para termohon yaitu PT. Indonesia Antique dan Wahyu

Hanggono secara pribadi sebagai direktur Pailit dengan segala akibat

hukumnya.

3. Menghukum para termohon Pailit membayar biaya perkara sebesar Rp

1.561.000.000 (satu juta lima ratus enam puluh satu ribu rupiah).

Berdasarkan putusan Pengadilan Niaga No. 05/Pailit/2012/PN. Niaga/Smg

tertanggal 8 Juni 2012 selain menyatakan pailit PT. Indonesia Antique dan Wahyu

Hanggono (secara pribadi) harta / aset dari PT. Indonesia Antique (dalam pailit) dan

Wahyu Hanggono secara pribadi (pailit) berada di bawah pengelolaan dan

pemberesan di bawah pengawasan kurator Endang Srikarti Handayani dan Hakim

Pengawas Ifa Sudewi yang berupa :

1. Sebidang tanah dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 1671 atas nama

Djowo Semito Atmojo seluas 2.000 m2 yang terletak di Dk. Sambirembe, Kel.

Sambirembe, Kec. Kalijambe Kab. Sragen.


121

2. Sebidang tanah dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 500 atas nama

Djowo Semito Atmojo seluas 1.095 m2yang terletak Kabupaten Sragen

3. Sebidang tanah dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 6590 atas nama

Djowo Semito Atmojo seluas 2.830 m2yang terletak Jl. Sumeni Kroyo,

Karangmalang, Sragen.

4. Sebidang tanah dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 68 atas nama Djowo

Semito Atmojo seluas 725 m2yang terletak Jl. Sragen Kulon No. 96 Sragen.

5. Sebidang tanah dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 1062 atas nama

Djowo Semito Atmojo seluas 215 m2 yang terletak Jl. Sragen Kulon No. 96

Sragen.

6. Sebidang tanah dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 1331 atas nama

Djowo Semito Atmojo seluas 367m2 yang terletak Jl. Sreagen Kulon No. 96

Sragen.

7. Sebidang tanah dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 5243 atas nama

Djowo Semito Atmojo seluas 76 m2yang terletak Jl. Sragen Kulon No. 96

Sragen

8. Sebidang tanah dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 1698 atas nama

Djowo Semito Atmojo seluas 2000 m2yang terletak Jl. Dk. Sambirembe, Kel.

Sambirembe Kec. Kalijambe, Kab. Sragen

Berdasarkan putusan palilit dari Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

Semarang tersebut maka seluruh asset dari PT. Indonesia Antique dalam Pailit

maupun aset dari Wahyu Hanggono secara pribadi (dalam pailit) berada dalam
122

pengelolaan dan pemberesan kurator Endang Srikarti Handayani dan di bawah

Pengawas Ifa Sudewi. Atas putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

Semarang yang telah menyita harta / asset dari PT. Indonesia Antique (dalam pailit)

dan Wahyu Hanggono secara pribadi (dalam pailit) maka Djawa Semito Atmadja

yang merupakan ayah kandung dari Wahyu Hanggono mengajukan kasasi ke

Mahkamah Agung atas penyitaan aset-aset dari PT. Indonesia Antique (dalam pailit)

maupun Wahyu Hanggono secara pribadi (dalam pailit) yang menurut Djawa Semito

Atmadja merupakan miliknya yang sah seluruhnya.

Pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung tersebut telah diputuskan oleh

Mahkamah Agung melalui putusan No. 639K Pdt.Sus-Pailit/2013 Majelis Hakim

Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi Djawa Semito

Atmadja dan menghukum pemohon kasasi / penggugat untuk membayar biaya

perkara dalam tingkat kasasi yang ditetapkan sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta

rupiah). Dalil-dalil gugatan yang diajukan pemohon dalam memori kasasi pada

pokoknya antara lain adalah :

1. Bahwa Penggugat/Pemohon Kasasi telah diberi janji-janji oleh Termohon Kasasi

l/Tergugat I yang akan membantu Penggugat menyelesaikan urusan Pailit PT.

Indonesia Antique dan membujuk Penggugat bersama-sama dengan Wahyu

Hanggono (secara pribadi dalam pailit) untuk menanda-tangani Surat Pernyataan

tertanggal 14 Juni 2012 yang pada pokoknya menyatakan agar supaya tanah-tanah

dan bangunan serta segala sesuatu yang melihat di atasnya yang tercatat dan atas

nama hak milik Penggugat yang berupa:


123

a. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1671 atas nama Djowo Semite Atmojo

seluas ± 2000. M2 yang terletak di Dk. Sambirembe, Kel. Sambirembe,

Kec. Kalijambe, Kab. Sragen;

b. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 500 atas nama Djowo Semite Atmojo

seluas ± 1095 M2 yang terletak di Sragen;

c. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 6590 atas nama Djowo Semite Atmojo

seluas ± 2830 M2 yang terletak di Jalan Sumeni Kroyo, Karangmalang,

Sragen;

d. Sertifikat Hak Milim (SHM) Nomor 68 atas nama Djowo Semite Atmojo

seluas ± 725 M2 yang terletak di Jalan Sragen Kulon Nomor 96 Sragen;

e. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1062 atas nama Djowo Semite Atmojo

seluas ± 215 M2 yang terletak di Jalan Sragen Kulon Nomor 96 Sragen;

f. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1331 atas nama Djowo Semite Atmojo

seluas ± 367 M2 yang terletak di Jalan Sragen Kulon Nomor 96 Sragen;

g. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 5243 atas nama Djowo Semite Atmojo

seluas ± 78 M2 yang terletak di Jalan Sragen Kulon Nomor 96 Sragen;

h. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1698 atas nama Djowo Semito Atmojo

seluas ± 2000 M2 yang terletak di Dk. Sambirembe, Kel. Sambirembe,

Kel. Kalijambe, Kab. Sragen;

adalah bagian dari Asset/harta PT Indonesia Antique;

2. Bahwa kemudian atas janji-janji Termohon Kasasi I tersebut, Pemohon

Kasasi/Penggugat telah membeli kembali tanah-tanah SHM Nomor 500 dan SHM
124

Nomor 6590 atas nama Penggugat, namun demikian atas ., SHM Nomor 68. SHM

Nomor 1062, SHM Nomor 1331 dan SHM Nomor 5243, oleh Termohon Kasasi

l/Tergugat I telah dijual kepada Termohon Kasasi II walaupun

Penggugat/Pemohon Kasasi telah memberikan sejumlah pembayaran kepada

Termohon Kasasi l/Tergugat I;

3. Bahwa atas hal tersebut, Penggugat/Pemohon Kasasi mengajukan pemblokiran

atas tanah-tanah yang telah dijual oleh Termohon Kasasi I kepada Termohon

Kasasi II, namun demikian atas upaya pemblokiran tersebut, Tergugat

HI/Termohon Kasasi bersikap ambivalen Tergugat 111 dalam hal menolak

pemblokiran yang diajukan Penggugat/Pemohon Kasasi, namun pada sisi yang

lain melakukan pencatatan peralihan Sertifikat Hak Milik atas nama Penggugat/

Pemohon Kasasi kepada Tergugat II/Termohon Kasasi II;

4. Bahwa oleh karenanya berdasar hal-hal tersebut, jelas dan nyata tindakan para

Tergugat/para termohon Kasasi adalah merupakan perbuatan melawan hukum;

Bahwa namun demikian atas dalil-dalil gugatan Pemohon Kasasi/ Penggugat

yang pada pokoknya sebagaimana tersebut di atas, Judex Facti yang memeriksa dan

mengadili gugatan lain-lain Kepalilitan Nomor 05/Pailit/2012/PN Niaga Semarang

tertanggal 25 September 2013 menyimpulkan;

1. Bahwa yang menjadi pemnasalahan dalam permohonan gugatan lain lain adalah

sebagai berikut:

a. Bahwa Penggugat mendalilkan Tergugat-I dengan janji-janji akan membantu

Penggugat menyelesaikan urusan Pailit PT Indonesia Antique dan membujuk


125

Penggugat agar supaya tanah-tanah dan bangunan serta segala sesuatu yang

melihat di atasnya berupa:

b. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1671 atas nama Djowo Semite Atmojo

seluas ± 2000 M2 yang terletak di Dk. Sambirembe, Kel. Sambirembe, Kec.

Kalijambe, Kab. Sragen;

c. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 500 atas nama Djowo Semito Atmojo

seluas ± 1095 M2 yang terletak di Sragen;

d. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 6590 atas nama Djowo Semito Atmojo

seluas ± 2830 M2 yang terletak di Jalan Sumeni Kroyo, Karangmalang,

Sragen;

e. Sertifikat Hak MHik (SHM) Nomor 68 atas nama Djowo Semito Atmojo

seluas ± 725 M2 yang terletak di Jalan Sragen Kulon Nomor 96 Sragen;

f. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1062 atas nama Djowo Semito Atmojo

seluas ± 215 M2 yang terletak di Jalan Sragen Kuion Nornor 96 Sragen;

g. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1331 atas nama Djowo Semito Atmojo

seluas ± 367 M2 yang terletak di Jalan Sragen Kulon Nomor 96 Sragen;

h. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 5243 atas nama Djowo Semito Atmojo

seluas ± 78 M2 yang terletak di Jalan Sragen Kulon Nomor 96 Sragen;

i. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1698 atas nama Djowo Semito Atmojo

seluas ± 2000 M2 yang terletak di Dk. Sambirembe, Kel. Sambirembe, Kel.

Kalijambe, Kab. Sragen;


126

Sehingga dibuat lagi Surat Pernyataan Penggugat dan Wahyu Hanggono (Dalam

Pailit) tanggal 14 Juni 2012 yang pada pokoknya menyatakan tanah dan bangunan

beserta segaian sesuatu sebagaimana tersebut di atas adalah bagian dari

Asset/harta PT Indonesia Antique;

2. Bahwa Penggugat telah membeli kembali tanah-tanah SHM Nomor 500 dan SHM

Nomor 6590 atas nama Penggugat dan Tergugat-I( telah menjuai sebtdang tanah

yaitu SHM Nomor 68, SHM Nomor 1062, SHM Nomor 1331, SHM Nomor 5243

yang kesemuanya atas nama Penggugat kepada Tergugat-III sebagaimana Akta

Jual beli yang dibuat oleh Roestanty Notaris/PPAT di Sragen tanggal 20 Februari

2013 dan Penggugat telah meminta pemblokiran kepada Tergugat-III, namun hal

tersebut ditolak Tergugat-III;

3. bahwa berdasarkan uraian-uraian di atas, maka para Tergugat telah melakukan

perbuatan melawan hukum;

Dalam pertimbangan hukummnya majelis hakim Mahkamah Agung Republik

Indonesia dalam putusan No. 639K Pdt.Sus-Pailit/2013 menyebutkan antara lain

adalah :

1. Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah merteiiti

secara saksama memori kasasi tanggal 2 Oktober 2013 dan kontra memori

masing-masing tanggal 10 Oktober 2013 dihubungkan dengan pertimbangan

Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang

telah tepat dan benar yaitu dengan telah dilaksanakannya pemberesan/penguasaan

oleh Tergugat l/Termohon Kasasi I sebagai Kurator sesuai Putusan Nomor


127

05/Pailit/2012/PN Niaga Smg. (sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 185 Jo.

Pasal 69 ayat (1) Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004), maka tidak beralasan

lagi untuk mengajukan gugatan a quo;

2. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata putusan

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor 05/PaB/ 2012/PN

Niaga Smg. tanggal 25 September 2013 dalam perkara ini tidak bertentangan

dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang

diajukan oleh Pemohon Kasasi Djawa Semito Atmadja tersebut harus ditolak;

3. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dan Pemohon Kasasi ditolak,

Pemohon Kasasi harus dihukum untuk membayar biaya peifcara dalam tingkat

kasasi ini;

4. Memperhatikan Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang

Nomor 5 Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan Undang Undang Nomor 3

Tahun 2009, serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.


128

C. Analisis Putusan Pengadilan Niaga No. 05/Pailit/2012/PN/NIAGA.SMG dan


Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 639K Pdt.Sus-
Pailit/2013

Putusan Pengadilan Niaga No. 05/Pailit/2012/PN/NIAGA.SMG di pandang

telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan

dan PKPU dimana berdasarkan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa debitur

yang mempunyai dan atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu

utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan balit dengan putusan

pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau

lebih krediturnya. Di dalam hal ini PT. Indonesia Antique dan Wahyu Hanggono

sebagai direktur dari PT. Indonesia Antique telah melakukan perjanjian pinjam

meminjam uang (utang piutang) kepada dua kreditur yakni Hendryanto Muliawan

dan Agung Haryono masing-masing sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

dan Rp 90.000.000,- (sembilan puluh juta rupiah) masing-masing dilakukan pada

tanggal 10 Januari 2010 dan pada tanggal 15 April 2011. Pengembalian utang dari

PT. Indonesia Antique yang dilakukan oleh Wahyu Hanggono sebagai direktur dalam

surat perjanjian untuk Pemohon I tanggal 10 April 2010 dan untuk Pemohon II

15 Oktober 2011. Akan tetapi pada saat utang telah jatuh tempo untuk pemohon I ,

PT. Indonesia Antique / Wahyu Hanggono tidak melaksanakan kewajibannya dalam

membayar / melunasi utangnya. Demikian pula setelah utang bagi Pemohon II juga

telah jatuh tempo dan dapat ditagih pada tanggal 15 Oktober 2011, PT. Indonesia

Antique / Wahyu Hanggono juga tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam

melakukan pembayaran / pelunasan utangnya. Dua kreditur dengan dua piutang yang
129

telah jatuh tempo namun tidak mampu dibayar oleh debitur salah satunya /

melunasinya, maka hak ini telah dapat diajukan permohonan pailit ke Pengadilan

Niaga oleh para krediturnya.

Di samping itu setelah debitur dinyatakan pailit maka Majelis Hakim juga

telah menunjuk kurator maupun hakim pengawas juga dinilai sudah tepat dan sesuai

dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan PKPU dimana disebutkan bahwa, “Dalam putusan pernyataan pailit

harus diangkat kurator dan seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim

pengadilan”. Ketentuan tersebut juga telah sesuai dengan Pasal 15 ayat (3) Undang-

Undang No. 37 yang menyebutkan bahwa, “Kurator yang diangkat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) harus independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan

dengan debitur atau kreditur, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan

penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari tiga perkara”. Independen yang

dimaksud dalam hal ini adalah bahwa kelangsungan keberadaan kurator tidak

tergantung pada debitur atau kreditur, dan kurator tidak memiliki kepentingan

ekonomis yang sama dengan kepentingan ekonomis debitur dan kreditur.

Dalam penunjukan kurator dan hakim pengawas tersebut Majelis Hakim

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang juga telah melaksanakan

ketentuan sebagaimana termuat di dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang No. 37

tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tersebut. Oleh karena itu, putusan

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang telah tepat dan benar dengan

telah dinyatakannya pailit PT. Indonesia Antique sesuai dengan ketentuan Pasal 2
130

ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU dan juga

telah dilaksanakannya pemberesan/penguasan oleh kurator. Putusan Pengadilan

Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang dipandang telah sesuai dengan ketentuan

hukum perundang-undangan yang termuat di dalam Undang-Undang No. 37 tahun

2004 tentang Kepailitan dan PKPU sehingga putusan Pengadilan Niaga tersebut telah

sesuai dengan hukum yang berlaku.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 639K Pdt.Sus-Pailit/2013

yang telah menguatkan putusan Pengadilan Niaga No.

05/Pailit/2012/PN/NIAGA.SMG dan telah menolak gugatan pemohon kasasi Djawa

Semito Atmadja yang menggugat harta / aset dari PT. Indonesia Antique (dalam

pailit) dan Wahyu Hanggono secara pribadi (dalam pailit) juga dipandang telah sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang hukum

kepailitan yaitu Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

Bahwa dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik

Indonesia menyatakan bahwa, “Tanah-tanah yang disita dan berada di bawah

pengelolaan / pemberesan kurator sebagai harta pailit merupakan harta / aset dari

PT”. Indonesia Antique (dalam pailit) dan juga harta / aset Wahyu Hanggono secara

pribadi (dalam pailit), sehingga pemohon kasasi yakni Djawa Semito Atmadja tidak

memiliki kewenangan dalam melakukan gugatan terhadap harta / asset milik PT.

Indonesia Antique (dalam pailit) maupun harta / aset Wahyu Hanggono secara pribadi

(dalam pailit) tersebut.


131

Pengelolaan dan pemberesan dari harta / aset dari PT. Indonesia Antique

(dalam pailit) maupun harta / aset Wahyu Hanggono secara pribadi (dalam pailit)

merupakan kewenangan dari kurator dan di bawah pengawasan hakim pengawas,

untuk kemudian digunakan dalam melunasi utang dari PT. Indonesia Antique (dalam

pailit) dan Wahyu Hanggono secara pribadi (dalam pailit) kepada seluruh krediturnya

yang memiliki piutang yang telah jatuh tempo namun belum dilaksanakan

pembayaran/pelunasan oleh debitur dalam hal ini adalah PT. Indonesia Antique

(dalam pailit) maupun Wahyu Hanggono secara pribadi (dalam pailit).

Kepailitan Wahyu Hanggono secara pribadi diakibatkan karena harta / asset

dari PT. Indonesia Antique tidak mencukupi untuk melunasi seluruh utang dari PT.

Indonesia Antique (dalam pailit) kepada seluruh krediturnya. Hal ini mengakibatkan

para kreditur dari PT. Indonesia Antique (dalam pailit) juga mengajukan permohonan

pailit kepada Wahyu Hanggono secara pribadi selaku direktur dari PT. Indonesia

Antique. Konsekuensi hukum dari pailitnya Wahyu Hanggono secara pribadi adalah

harta / asset pribadi dari Wahyu Hanggono juga disita dan diletakkan di dalam

pengelolaan dan pemberesan harta pailit di bawah kewenangan kurator dan

pengawasan dari hakim pengawas. Hal ini disebabkan selaku direktur dari PT.

Indonesia Antique Wahyu Hanggono telah lalai / salah dalam menjalankan

kewenangannya selaku direktur sehingga menimbulkan kerugian dan bahkan

kepailitan dari PT. Indonesia Antique sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yakni Pasal 104 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 maka tanggung jawab

direktur karena kesalahan dan kelalaiannya yang mengakibatkan kerugian / pailitnya


132

PT adalah bahwa direktur secara pribadi wajib melunasi seluruh utang-utang PT

dengan harta / assetnya sendiri apabila harta / aset PT tidak mencukupi dalam

membayar/melunasi utang-utang PT tersebut kepada para krediturnya.


133

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Akibat hukum putusan pailit terhadap perseroan terbatas adalah bahwa PT

kehilangan haknya untuk berbuat bebas terhadap kekayaannya dan haknya untuk

mengurusnya, tidak kehilangan hak-hak dan kecakapannya untuk mengadakan

persetujuan-persetujuan, namun demikian perbuatan-perbuatannya tidak

mempunyai akibat hukum atas kekayaannya yang tercakup dalam kepailitan.

Apabila PT melanggar ketentuan tersebut, maka perbuatannya tidak mengikat

kekayaannya tersebut, kecuali perikatan yang bersangkutan mendatangkan

keuntungan bagi budel pailit. Sejak putusan pernyataan pailit diucapkan oleh

Pengadilan Niaga, pengurusan dan pemberesan budel pailit ditugaskan kepada

kurator. Hal ini berarti didalam kewenangan kurator tercakup semua kewenangan

organ PT.

2. Kepailitan direksi secara pribadi dapat dimohonkan oleh krediturnya minimal dua

kreditur setelah kepailitan perseroan telah mempunyai kekuatan hukum tetap,

apabila kepailitan perseroan tersebut disebabkan karena kesalahan / kelalaian dari

direksi dalam menjalankan perseroan sehingga mengalami kerugian, dan

harta/aset perseroan tidak mencukupi untuk melunasi hutang-hutang perseroan

kepada para krediturnya. Hal ini bertujuan untuk menyita aset direksi secara

pribadi apabila harta/aset perseroan tersebut tidak mencukupi untuk membayar

133
134

hutang-hutangnya kepada kreditur, dalam upaya agar seluruh kreditur dari

perseroan tersebut dapat memperoleh piutangnya secara keseluruhan.

3. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kepailitan PT adalah tanggung jawab terbatas

apabila direksi dalam menjalankan perseroan sesuai dengan prinsip Piercing The

Corporate Viel dan Ultra Vires dimana direksi dalam menjalankan perseroan

telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan memiliki itikad baik dan berusaha

semaksimal mungkin agar perseroan tidak mengalami kerugian. Namun apabila di

dalam menjalankan peseroan direksi salah atau lalai yang mengakibatkan

terjadinya kerugian / pailitnya perseroan maka tanggung jawab direksi menjadi

tidak terbatas yang berarti direksi juga dapat dipailitkan secara pribadi oleh

krediturnya dan harta / aset direksi secara tanggung renteng dapat digunakan

dalam melunasi seluruh kewajiban / hutang perseroan apabila harta / aset

perseroan tersebut tidak mencukupi dalam membayar / melunasi utang-utang

perseroan tersebut. Hal ini sesuai dengan Putusan Pengadilan Niaga No.

05/Pailit/2012/PN/NIAGA.SMG dalam perkara perdata permohonan pernyataan

pailit antara kreditur (Hendrianto Muliawan dan Agung Hariyono) melawan PT.

Indonesia Antique dan Wahyu Hanggono, dimana Majelis Hakim Pengadilan

Niaga Semarang telah menyatakan bahwa kepailitan PT. Indonesia Antique

adalah karena kesalahan pengurusan manajemen dan pengambilan keputusan dari

direksi Wahyu Hangono, sehingga harta / aset-aset Wahyu Hanggono secara

pribadi disita dan berada di bawah kurator sampai pengurusan kepailitan PT.

Indonesia Antique selesai dengan pembayaran seluruh hutangnya kepada kreditur.


135

Hal ini sesuai Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.

05/Pailit/2012/Niaga.Smg

B. Saran

1. Hendaknya pengurusan dan pemberesan harta pailit dari PT yang telah dinyatakan

pailit oleh pengadilan dan telah dinyatakan berkekuatan hukum tetap yang

ditugaskan kepada kurator dilakukan dalam waktu yang singkat dan tidak

berbelit-belit sesuai prosedur hukum yang berlaku di bidang kepailitan sehingga

pelaksanaan pembayaran hutang-hutang PT terhadap kreditur dapat dilakukan

sesegera mungkin sehingga dapat diketahui segera apakah harta-harta/aset PT

tersebut dapat mencukupi untuk melunasi hutang-hutangnya kepada para kreditur

dan para kreditur dapat mengambil langkah hukum apabila harta PT tidak

mencukupi dalam pelunasan pembayaran hutang-hutangnya dapat mengajukan

gugatan pailit terhadap direksi yang melakukan kesalahan dalam pengurusan

manajemen perusahaan sehingga mengakibatkan pailitnya PT tersebut.

2. Hendaknya lebih dipertegas dan diperinci secara jelas tentang tanggung jawab

direksi terhadap kepailitan PT sesuai dengan prinsip Piercing The Corporate Viel

dan Ultra Vires dan kesalahan-kesalahan apa saja yang dapat mengakibatkan

tanggung jawab direksi menjadi tidak terbatas terhadap kepailitan PT sehingga

para kreditur dapat melakukan penuntutan terhadap direksi akibat kesalahan

pengurusan manajemen PT. Hal ini disebabkan karena sangat sulit menentukan

batas tanggung jawab direksi bila dihubungkan dengan kesalahan-kesalahan


136

manajemen yang dilakukannya sehingga cukup sulit membuktikan di pengadilan

agar direksi dapat dipailitkan karena kesalahan pengurusan manajemen PT yang

dilakukannya.

3. Hendaknya apabila harta PT yang telah dinyatakan pailit tidak mencukupi dalam

pelaksanaan pelunasan pembayaran hutang-hutangnya kepada kreditur, direksi

wajib bertanggung jawab dalam pelaksanaan upaya pelunasan hutang-hutang PT

tersebut kepada krediturnya apabila direksi melakukan kesalahan dalam

pelaksanaan pengurusan manajemen PT sehingga mengakibatkan PT dinyatakan

pailit oleh pengadilan.


137

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Adjie, Habib, Status Badan Hukum, Prinsip-prinsip dan Tanggung Jawab Sosial
Perseroan Terbatas, Mandar Maju, Bandung, 2008
Ais, Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum
Perusahaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010

Ali, Chidir, Badan Hukum, Bandung, Alumni, 1975

Amirin, Tatang M., Pokok-pokok Teori Sistem, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta,


1996

Asiqin, Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia,


Rajawali Press, Jakarta, 2011

Bastaman, Syarif, Tanggung Jawab Direksi, Komisaris, PT dan Beberapa Prinsip-


Prinsip di Dalam Buku PT No. 40 Tahun 2007, Bina Ilmu, Jakarta, 2012

Budiarto, Agus, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan


Terbatas, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002

Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum


Perusahaan,PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012

Fuady, Munir,Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis (Berdasarkan


UU No. 40 Tahun 2007), Cetakan 3, Citra Aditya, Bandung, 1993

___________, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1994

___________, Hukum Kepailitan 1998 Dalam Teori Dan Praktek PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999

___________, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law, Citra Aditya Bakti,


Bandung, 2002

137
138

___________,, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, Citra Aditya


Bakti, Bandung, 2002

___________, Perseroan Terbatas, Paradigma Baru, Jakarta, 2003

___________, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya


Bakti, Bandung, 2010

Ginting, Jamin, Hukum Perseroan Terbatas (Undang-Undang No. 40 Tahun 2007),


Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007
Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005.

Harahap, Agus Salim, Tanggung Jawab Direksi Dalam Kepailitan Perseroan


Terbatas, Lex Jurnalica, Vol.5 Nomor 3, Sekolah Tinggi Ilmu Alhikmah,
Medan, www.google.com.

Harahap, M. Yahya, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta 2009

Hartini, Rahayu, Hukum Kepailitan, Universitas Muhammadiyah, Malang, 2008

Hartono, Siti Sunarto, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, FH UGM,


Yogyakarta, 2009
Irawan, Bagus, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan Perusahaan dan Asuransi, Alumni,
Bandung, 2009

Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika Jakarta 2007

Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran Hutang, Pradnya Paramitha,


Jakarta, 2008
Lontoh, Rudy, Penyelesaian Utang Melalui Pailit Atau Penundaan Pembayaran
Utang, Alumni, Bandung, 2001

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti,


Bandung, 2010.

Nating, Imran,Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan


Pemberesan Harta Pailit, Edisi Revisi 2, Raja Grafindo, 2009

Notoatmodjo, Soekidjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010
139

Pramono, Nindyo,Tanggung Jawab dan Kewajiban Pengurus PT (Bank Menurut UU


Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Buletin Hukum dan
Kebanksentralan, Volume 5 Nomor 3 Tahun 2007, 2007

Prasetya, Rudhy, Maatschap, Firma dan Persekutuan Komanditer, Citra Aditya


Bakti, Bandung, 2004

Prodjohamidjojo, Martiman, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah


Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 TentangPerubahan Atas
Undang-Undang Tentang Kepailitan. CV. Mandar Maju, 1999

Rahardjo, Satjipto, Sosiologi Hukum : Perkembangan, Metode dan Pilihan Hukum,


Universitas Muhamadyah, Surakarta. 2004

Regar, Moenaf. H., Dewan Komisaris Peranannya Sebagai Organ Perseroan, Bumi
Aksara, Jakarta, 2000

Rido, Ali, Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan
Koperasi, Yayasan Wakap, Alumni, Bandung, 2010

_______, Doktrin-Doktrin Modern Hukum Perusahaan, Kesaint Blanc Publishing,


2011

Saliman, Abdul R. dkk,Hukum Bisnis Untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus,
Edisi 2 Cetakan 4, Renada Media Grup, Jakarta, 2005

Sastrawidjaja, Man .S., Bunga Rampai Hukum Dagang, Alumni, Bandung, 2005

Silalahi, M. Udin,Badan Hukum Organisasi Perusahaan, Jemmars, IBLAM, Jakarta

Sitompul, Zulkarnain, Pola Penyelesaian Utang Tantangan Bagi Pemaharuan


Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU , Makalah
disampaikan dalam lokakarya Mengenai Tantangan Perubahan Undang-
Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU , Medan 7 Desember
2001, Kerjasama FH UI, Pascasarjana USU dan University of sout Carolina.

Sjahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No 37 Tahun


2004 Tentang Kepailitan, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002, hal. 71

Soekanto, Soerjono Dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009
140

Subhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, Edisi
Pertama, Cet. ke-1. Prenada Media Group, Jakarta, 2008

Suherman, E., Faillissement (Kepailitan), Binacipta, Bandung, 2010

Sulaiman, Robintan & Prabowo, Joko, Lebih Jauh Tentang Kepailitan, Jakarta, 2000
Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan

Sumarto, Parwoto Wignjo, Hukum Kepailitan Selayang Pandang, PT. Tatanusa,


Jakarta, 2003

Sunarmi, Hukum Kepailitan , USU Press, 2009.

________, Hukum Kepailitan edisi 2. PT. Soft Media. 2010.

Sunggono, Bambang, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali, Jakarta, 2009


Sutarno,Aspek-aspek Hukum Prekreditan pada Bank, Alfabet, Bandung, 2003,

Tilaar, H.A.R, Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional Dalam


Pusaran Kekuasaan, Jakarta, Rineka Cipta, 2003

Triwulan, Titik dan Febrian, Shinta, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi
Pustaka, Jakarta, 2010

Wicaksono, Frans Satrio, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, dan


Komisaris Perseroan Terbatas (PT), Visimedia, Jakarta, 2009

Widjaja, Gunawan, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Persekutuan Perdata


Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer, Alumni, Bandung, 2010

___________, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, Rajawali Pers,


Jakarta, 2012

Widjanarko, Dampak Implementasi Undang-Undang Kepailitan Terhadap Sektor


Perbankan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 8, Yayasan Pengembangan
Hukum Bisnis, Jakarta, 1999

Winardi, Asas-Asas Manajemen, Alumni, Bandung, 1983

Yani, Ahmad & Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1999
141

__________________________, Seri Pemahaman Perseroan Terbatas Risiko Hukum


Pemilik, Direksi, & Komisaris, PT Forum Sahabat, Jakarta, 2008

B. Perundang-undangan

Undang-Undang tentang Amandemen atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983


tentang Ketentuan-Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3587).

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 7).

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 131).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2005 tentang Perseroan Terbatas, Sinar Grafika,


Jakarta, Cetakan ke-3, 2003.

Undang-Undang No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Redaksi Aksara


Sukses, Yogyakarta. Cetakan Pertama. 2013.

Anda mungkin juga menyukai