Anda di halaman 1dari 4

Renvoi Dalam Hukum Perdata Internasional

Konsepsi renvoi sesungguhnya merupakan penyimpangan terhadap suatu alur pikir dalam
HPI yang selalu diarahkan untuk menetapkan sistem hukum yang diberlakukan (Lex Causae).
Pada prakteknya, pengadilan dapat memutuskan perkara HPI dengan berdasarkan kaidah-kaidah
hukum intern lex fori atau sistem hukum lain selain lex causae apabila diyakini mampu
memberikan putusan yang lebih baik dan adil. Secara umum renvoi adalah penunjukan kembali
atau penunjukan lebih lanjut oleh kaidah-kaidah HPI dari suatu sistem hukum asing yang
ditunjuk oleh kaidah HPI Lex Fori.

Kata penunjukkan dari penunjukkan kembali mempunyai pengertian:

1. Penunjukkan yang dimaksud ke arah kaidah-kaidah hukum intern ( sachnormen ) saja dari
suatu sistem hukum tertentu disebut: sachnormverweisung.

2. Penunjukkan yang diarahkan ke sistem hukum asing, termasuk kaedah-kaedah HPI dari sistem
hukum asing tersebut: gesamtverweisung.

Doktrin renvoi tidak dapat digunakan di semua jenis perkara HPI. Terutama dalam
perkara-perkara yang bersentuhan dengan transaksi-transaksi bisnis dan setiap tindakan pilihan
hukum. Di dalam Pasal 15 Konvensi Roma 1980, renvoi tegas-tegas ditolak dalam penyelesaian
perkara-perkara HPI dalam bidang kontrak/perjanjian. Masalah-masalah HPI yang masih dapat
diselesaikan dengan doktrin Renvoi adalah masalah validitas pewarisan, tuntutan-tuntutan atas
benda-benda tetap di negara asing, perkara-perkara menyangkut benda bergerak, dan masalah
dalam lapangan hukum keluarga.

hukum yang sifatnya supra nasional, maka renvoi tidak dapat digunakan karena kaidah
HPI semacam itu memiliki kekuatan hukum yang tidak menghiraukan pembuat undang-undang
untuk mengoper atau menolak renvoi. Jika kaidah-kaidah HPI semacam ini berasal dari tata
tertib hukum yang lebih tinggi daripada tata tertib pembuat undang-undang nasional, maka HPI
yang bersifat supra nasionalah yang berlaku.

Berkenaan dengan renvoi, tidak semua penulis setuju dengan adanya renvoi dengan
beberapa alasan, yaitu:
1.Renvoi dianggap tidak logis

Hal ini didasarkan pada suatu penunjukan kembali secara terus menerus, maka yang ada
adalah suatu permasalahan yang menggantung karena tidak ada pihak yang mau menanganinya
dan terus saling melakukan suatu penunjukkan kembali. Pendapat kalangan penulis yang
menolak renvoi ini lantas dibantah oleh pihak yang pro renvoi dengan alasan bahwa baik yang
menerima atau yang menolak dua-duanya secara selogis mungkin. Dalam kenyataannya tidak
akan ditemui adanya suatu penujukkan tiada akhir melainkan hanya ada satu kali renvoi/
penujukkan kembali.

2.Renvoi merupakan penyerahan kedaulatan legislatif sendiri dan bukan HPI dari negara
asing.

3.Renvoi membawa ketidak pastian hukum

Jika renvoi diterima, maka yang ada kemudian adalah penyelesaian HPI itu yang samar-
samar, tidak kokoh dan tidak stabil sebagai hukum. Akan tetapi menurut kubu yang pro renvoi
mangatakan bahwa justru jika tidak ada renvoi, maka yang ada adalah ketidakpastian itu sendiri.

Sementara itu, alasan-alasan yang digunakan oleh para penulis yang pro dengan adanya
renvoi adalah sebagai berikut:

1.Renvoi memberikan keuntungan praktis

Jika sebuah renvoi itu diterima, maka hukum intern sendiri dari sang hakim yang akan
digunakan dan tentunya hal ini akan memberikan keuntungan praktis bagi hakim.

2.Jangan bersifat lebih raja daripada raja itu sendiri

Justru dengan adanya renvoi, chauvinisme juridis dapat dihindari dan merupakan suatu
penghormatan pada hukum asing yang bertautan dengan kasus yang ada. 3.Keputusan-keputusan
yang berbeda.

Untuk menghindari adanya ketidak pastian hukum dalam bentuk keputusan yan berbeda-
beda atas perkara yang sama pada dua sistem hukum yang terkait. yang tercantum secara tidak
langsung dalam pasal 16 sampai 18 AB.
Adapun beberapa yurisprudensi yang berkaitan dengan renvoi di Indonesia adalah
sebagai berikut:

1.Perkara orang Armenia Nasrani tahun 1928

2.Perkara palisemen seorang British India tahun 1925

Renvoi juga diatur dalam konvensi-konvensi internasional meliputi :

1.Persetujuan Den Haag tentang HPI tahun 1951, 1955

Diterima suatu konsep untuk mengatur “perselisihan” antara prinsip nasionalitas dan
domisili yang lantas ditindak lanjuti pada tanggal 15 Juni 1955 dengan ditetapkannya konvensi
yang bersangkutan.

Pasal 1 mengatur bahwa apabila suatu negara di mana orang yang dipersoalkan menganut
sistem domisili, memakai sistem nasionalitas sementara negara asal orang itu memakai sistem
domisili, maka tiap negara peserta menggunakan Sachornen daripada domisili.

2.Persetujuan hukum uniform HPI negara-negara Benelux 1951

Macam-Macam Renvoi :

1. Remission, yaitu penunjukan balik dari hukum yang seharusnya berlaku (lex causae) berdasar
ketentuan lex fori kepada ketentuan lex fori tersebut. Renvoi akan timbul bilamana hukum asing
yang ditunjuk lex fori menunjuk kembali kepada lex fori tadi.

2. Transmission, yaitu proses renvoi oleh kaidah HPI asing kearah suatu system hukum asing
lain. Asas-asas HPI

Asas-asas HPI

1. Lex Rei Sitae ( Lex Situs ): hukum yang berlaku atas suatu benda adalah hukum dari tempat
dimana benda itu terletak atau berada bisa benda bergerak, berwujud, atau tak berwujud.
2. Lex Loci Contractus: terhadap perjanjian yang bersifat HPI berlaku kaidah hukum dari tempat
pembuatan perjanjian/ tempat dimana perjanjian ditandatangani.

3. Lex Loci Solutionis: hukum yang berlaku adalah tempat dimana isi perjanjian dilaksanakan.

5. Lex Domicile: hukum yang berlaku adalah tempat seseorang berkediaman tetap/ permanent
home.

6. Lex Patriae: hukum yang berlaku adalah dari tempat seseorang berkewarganegaraan. 7. Lex
Loci Forum: hukum yang berlaku adalah tempat perbuatan resmi dilakukan. Perbuatan resmi
adalah pendaftaran tanah, kapal dan gugatan perkara itu diajukan dan perbuatan hukum yang
diajukan.

Contoh Kasus Renvoi 

Dua WN Swiss (Paman dan saudara sepupu perempuan) berdomisili di Moskow Rusia dan
menikah di Rusia. Menurut HPI Rusia, perkawinan harus berdasarkan hukum Rusia, menurut HPI Swiss
(Psl 7f NAG) perkawinan yang dilakukan di luar negeri menurut hukum yang berlaku di sana, dianggap
sah. Disisi lain hukum intern (nasional) Swiss (Psl 100 ZGB) perkawinan antara Paman dan sepupu
perempuan dilarang, ketentuan ini tidak berlaku karena perkawinan dilakukan di Luar Negeri, jadi
sebenarnya secara tidak sengaja telah terjadi “penyeludupan hukum”; Suami istri ini pindah domisili ke
Hamburg, terjadi perselisihan pihak istri mengajukan gugatan cerai, pihak paman (suami) mengajukan
permohonan kepada Hakim supaya perkawinan mereka di Rusia dianggap batal adanya karena
melanggar Pasal 100 ZBG Hukum Swiss; Hakim di Jerman yang mengadili tidak menggunakan pasal 100
ZBG, tetapi hakim menerima apa yang dinamakan “penunjukan lebih lanjut” (Weiter-verweisung). HPI
Jerman berdasarkan prinsip Nasionalitas menyatakan hukum nasional WN Swiss yang berlaku bagi WN
Swiss tersebut, termasuk penunjukan HPI Swiss (Psal 7f NAG) yang menunjuk lebih jauh pada hukum
dimana perkawinan dilakukan ic hukum Rusia, maka Hakim Jerman menganggap perkawinan sah, dan
“penunjukan lebih jauh” diterima dalam praktek HPI Jerman.

Anda mungkin juga menyukai