PEMBAHASAN
Penyelundupan hukum adalah suatu perbuatan yang dilakukan di suatu negara asing
dan diakui sah di negara asing itu, akan dapat dibatalkan oleh forum atau tidak diakui oleh
forum jika perbuatan itu dilaksanakan di negara asing yang bersangkutan, dengan tujuan untuk
menghindarkan diri dari aturan – aturan lex fori yang akan melarang perbuatan semacam itu
dilaksanakan di wilayah forum. (memilih hukum asing untuk dipakai, dan perbuatan hukum
yang dilakukan dilarang oleh hukum nasional, dan dampaknya yaitu tidak diakui negara).92
Ketertiban umum dan penyelundupan hukum mempunyai hubungan yang erat. Kedua-
keduanya bertujuan agar supaya hukum nasional dipakai dengan mengenyampingkan hukum
asing. Hukum asing dinyatakan tidak berlaku jika dipandang sebagai penyelundupan hukum.
Kedua-keduanya hendak mempertahankan hukum nasional terhadap kaidah-kaidah hukum
asing. Perbedaan antara ketertiban umum dan penyelundupan hukum adalah bahwa pada yang
pertama kita saksikan bahwa pada umumnya suatu hukum nasional dianggap tetap berlaku,
sedangkan dalam penyelundupan hukum kita, hukum nasional tetap berlaku itu dan dianggap
tepat pada suatu periwtiwa tertentu saja, yaitu ada seseorang yang untuk mendapatkan
berlakunya hukum asing telah melakukan tindakan yang bersifat menghindarkan pemakaian
hukum nasional itu. Jadi hukum asing dikesampingkan karena penyelundupan hukum, akan
mengakibatkan bahwa untuk hal-hal lainnya akan selalu boleh dipergunakan hukum asing itu.
Dalam hal-hal khusus, kaidah asing tidak akan dipergnakan karena hal ini dimungkinkan
(pemakaian hukum asing ini) oleh cara yang tidak dapat dibenarkan.93
92
Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (1977). Op. Cit. hlm. 148
93
Ibid.
94
Ibid. hlm. 149.
B. Contoh Penyelundupan Hukum
Dalam buku Sudargo Gautama ada beberapa contoh mengenai penyelundupan hukum
yang terbagi atas contoh perkawinan dan contoh perceraian, antara lain :
1. Contoh Perkawinan
a. Perkawinan Gretna Green
Greetna green adalah sebuah desa yang terletak di Skotlandia. Merupakan tempat
dimahna berlangsungnya pernikahan bagi orang-orang Inggris yang tidak memiliki persetujuan
orang tua. Terkenal dengan sebutan “ The Blacksmith of Gretna Green” yaitu hakim
perdamaian dihadapan siapa harus diucapkan untuk menikah.95
2. Contoh Perceraian
a. Peristiwa Helene Bohlau97
Helene Bohlau, seorang evangeliste. Seorang pria tanpa kewarganegaraan yang
dilahirkan di Petersburg, telah menikah pada tahun 1863 di Helgoland (wilayah Inggris)
dengan seseorang wanita Saksen yang dilahirkan juga di Petersburg pada tahun 1884.
Kemudian mereka bertempat tinggal di Berlin dan mempunyai seorang anak. Pada tahun 1886
sang suami pergi ke kota Konstatinopel disertai evangelist Helene Bohlau. Disana pria tersebut
masuk Islam dan menjadi warganegara Turki. Karena berubahnya agama pria tersebut maka
perkawinannya bubar. Pada akhir tahun 1886 ia mengirim surat tak ke alamat istrinya di Berlin
dan tahun 1887 ia menikah dengan Helene Bohlau di Konstatinopel dan kembali ke Jerman
dimana ia hidup bersama di Munchen sejak 1888. Setelah tahun 1900 istri pertama mengajukan
gugatan agar perkawinan pertamanya masih dianggap sah, diajukan ke Oberlandesgericht di
Muncen dan kemudian kembali lagi ke Bayerische Oberste Landesgericht serta kembali lagi
ke Oberlandesgericht di Muncen. Dalam keputusan yang pertama Oberlandesgericht Muncen
menolak untuk menerima perceraian secara surat talak, karena dianggap bertentangan dengan
ordre public pasal 30 EGBGB. Akan tetapi Bayerische Oberste Landesgericht menanggap
pendirian ini kurang tepat tidak pertentangan dengan ordre public. Kemudian OLG Munchen
juga menolak adanya pelanggaran ketertiban umum dan tuntutan dari pihak istri yang pertama.
b. Peristiwa De Ferrari
Ny. Ferarri melepaskan diri dari ikatan perkawinan dengan melakukan naturalisasi
kembali menjadi kewarganegaraan Prancis. Ia melakukannya demi bercerai dengan suaminya
yang menikah menurut hukum Italia. Dimana italia tidak mengenal perceraian pada saat itu.98
95
Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (1977). Op. Cit. hlm. 149
96
Ibid. hlm. 150.
97
Ibid. hlm. 160
98
Ibid. hlm. 165.
C. Perbuatan Melawan Hukum
Dinamakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan
hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi
juga aturan-aturan hukum tidak tertulis, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat.
Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum itu,
antara lain kerugian-kerugian dan perbuatan itu harus ada hubungannya yang langsung,
kerugian itu disebabkan karena kesalahan pembuat. Kesalahan adalah apabila pada pelaku ada
kesengajaan atau kealpaan (kelalaian).99
Masalah-masalah HPI yang dapat timbul dari perkara-perkara HPI antara lain :100
a. Berdasarkan sistem hukum mana penentuan kualitas suatu perbuatan sebagai
perbuatan melawan hokum harus ditentukan.
b. Berdasarkan sistem hukum mana penetapan ganti rugi harus ditentukan.
Teori Lex Loci Delicti Commissi atau singkatan lex loci delictii merupakan kaidah atau
teori yang tertua dan umum diterima sejak lama tanpa menentukan tantangan sedikitpun. Teori
Lex Loci Delicti Commissi atau teori prinsip yang dominerend paling berpengaruh. Penentuan
kualitas suatu perbuatan sebagai PMH atau tidak harus dilakukan berdasarkan hukum dari
tempat perbuatan itu dilakukan atau terjadi termasuk penetapan tentang perikatan-perikatan
yang terbit dari perbuatan itu (penetapan ganti rugi dan sebagainya) harus diatur berdasarkan
hukum dari tempat timbulnya akibat perbuatan hukum. Hukum ini menentukan baik mengenai
syarat-syaratnya maupun juga sampai sejauh manakah akibat-akibat dari padanya (tidak
diadakan perbedaan antara syarat-syarat untuk perbuatana melanggar hukum dan akibat –
akibat hukumnya).
99
Perbuatan Melawan Hukum http://andina-sari.blogspot.co.id/2010/06/pmh.html diakses pada tanggal 28 Juni 2010.
100
Ibid.
101
Ibid.
2. Hukum yang Berlaku Menurut Teori Lex Fori.
Lex Fori juga menentukan kopetensi hakim. Pendapat demikian pernah dianut pula di
Negara-negara lain seperti Inggris Perancis dahulu. Bahwa penentuan kualitas suatu hukum
forum sebagai PMH harus ditentukan oleh hukum forum (lex fori) termasuk penerapan hak
dan tanggungjawab dari para pihak yang terlibat. Dengan pemakaian asas ini dijauhkan lex loci
delicti antara lain karena locus sukar untuk ditentukan, sedangkan pemakaina lex loci diperoleh
kepastian hukum.
3. Hukum yang Berlaku Menurut Teori Lex Fori yang Dikombinasikan Dengan Lex Loci
Delicti Commissi.
Pendirian HPI Inggris mengenai PMH memperlihatkan dua unsure terpenting yang
harus dipenuhi untuk dapat berhasil suatu tuntutan kerugian dihadapan Hakim Inggris untuk
perbuatan-perbuatan di luar negeri yaitu syarat actionability dan justifiability. Syarat
actionability berarti bahwa seorang penggugat dihadapan pengadilan Inggris harus dapat
membuktikan bahwa tindakan sengketa tergugat apabila dilakukannya di dalam wilayah
Inggris akan merupakan suatu perbuatan tort pula yang membawa kewajiban membayar ganti
rugi, sedangkan syarat justifiable mengaitkan suatu kepada lex locus delicti. Perbuatan yang
disengketakan harus juga merupakan PMH di tempat dimana ia dilakukan. Kedua syarat
tersebut hampir mendekati pemakaian dari lex fori akan tetapi dengan sedikit perlunakan untuk
melindungkan tergugat yang perbuatannya adalah justifiable pada tempat dimana
dilakukannya.
4. Hukum yang Berlaku Menurut Teori Lex Loci Delicti Commissi Dengan Pelembutan.
Pada latar belakang semua keberatan–keberatan yang diajukan terhadap teori klasik
mengenai Lex Loci Delicti Commissi Nampak ketidakpuasan dengan sifat kaku (rigide) yang
mengakibatkan dipergunakan kaidah klasik itu secara werktuiglijk (automaticsh) oleh pihak
hakim sebagai hard and fast rule tanpa memperlihatkan keadaan sekitarnya peristiwa
bersangkutan, tak adanya souplesse atau soepelheid. Dengan demikian diperoleh suatu system
yang soepel. Hakim tak terikat kepada kaidah penunjuk yang kaku melainkan ia bias selalu
mengadakan perubahan seperlunya dalam nuanceling dan evaluasi beratnya tiap-tiap titik taut
yang bersangkutan. Sang hakim dapat memperlihatkan antaranya: tempat dimana
dilangsungkan, tempat dimana dilaksanakan hubungan hukum, kewarganegaraan para pihak,
tempat kediaman mereka sebagainya. Semua ini dapat ditentukan untuk tiap peristiwa, khusus
(individueel,bijzonder), satu dan lain dalam hubungan dengan sengketa yang timbul antara para
pihak yang berkontrak. Sistem yang berlaku untuk hukum kontrak ini dapat juga dipergunakan
bagi PMH.