Anda di halaman 1dari 3

Kepastian Hukum Terhadap Perjanjian Kerjasama Antar Perusahaan Pasca Merger

Oleh:
PATAR MANGIMBUR PERMAHADI,SH.,MH.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata merger adalah penggabungan dua
atau lebih perusahaan di bawah satu pemilikan. Arti lainnya dari merger adalah
pengambilalihan seluruh aktiva dan pasiva yang dimiliki suatu perusahaan untuk digabungkan
dengan perusahaan yang mengambil alih atau perusahaan yang baru.
Sebagaimana berdasarkan Ketentuan Pasal 109 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubahPasal 1 angka 9 UU 40/2007 menegaskan:
”Penggabungan adalah Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu
Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang
mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena
hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan
hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum”.
Berdasarkan Ketentuan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa akibat
hukum diantaranya:
1. aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum
kepada Perseroan yang menerima penggabungan;
2. pemegang saham Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri karena
hukum menjadi pemegang saham Perseroan yang menerima Penggabungan atau
Perseroan hasil Peleburan;
3. status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
Sebagaimana berdasarkan ketentuan Pasal (122) UU Nomor: 40/2007 tentang Perseroan
Terbatas ditegaskan: ”berakhirnya perseroan tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu”.
Likuidasi yang dimaksud dalam ketentuan tersebut diatas adalah tindakan penyelesaian
seluruh aset dan kewajiban sebagai akibat pembubaran suatu perusahaan oleh para
likuidator. Proses likuidasi termasuk menyelesaikan penjualan harta perusahaan, penagihan
hutang, pelunasan utang, dan penyelesaian sisa harta pemilik perusahaan.
Dalam hal perusahaan melakukan merger, perusahaan tersebut harus mendapatkan persetujuan
Direksi yang diputuskan dan/atau ditetapkan berdasarkan Rapat Umum Pemegang saham (RUPS)
melalui musyawarah dan mufakat dan dihadiri paling sedikit 1/3 (satu pertiga) bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali anggaran dasar menentukan
jumlah kuorum yang lebih besar (Vide Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 89 UU Nomor: 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas).
Sebagaimana berdasarkan ketentuan Pasal 127 UU Nomor: 40/2007 tentang Perseroan Terbatas
ditegaskan bahwa
”Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau
Pemisahan wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) Surat
Kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari Perseroan yang akan
melakukan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS”.
Sebagaimana berdasarkan ketentuan Pasal 128 ayat (1) UU Nomor: 40/2007 tentang Perseroan
Terbatas ditegaskan sebagai berikut:
”Rancangan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan yang telah
disetujui RUPS dituangkan ke dalam akta Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau
Pemisahan yang dibuat di hadapan notaris dalam bahasa Indonesia”.
Akta Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan yang telah disetujui RUPS
haruslah mendapatkan persetujuan menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawabnya di
bidang hukum dan hak asasi manusia untuk dicatat dalam daftar perseroan.
Berdasarkan Uraian tersebut diatas, maka ”bagaimana Legalitas Perusahaan Yang Merger?”
Apabila proses merger yang dilakukan Gottwald Port Tecnology, Gmbh telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas maka perusahaan yang digabungkan dan telah memiliki nama baru maka
secara hukum perusahaan baru memiliki legalitas yang sah secara hukum.

Selanjutnya bagaimana Legalitas Perjanjian Kerjasama Antar Perusahaan antara pasca


merger?.
Berdasarkan uraian analisa hukum diatas, diketahui bahwa dua perusahaan atau lebih melakukan
penggabungan maka status badan hukum perseroan tersebut menjadi berakhir karena hukum
dengan demikian segala hak dan kewajiban diantaranya segala perikatan serta aktiva dan pasiva
perseroan tersebut beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan.

Perlu dicatat, meskipun perjanjian kerjasama tersebut dapat dikatakan beralih otomatis karena
hukum dan tidak membutuhkan suatu dokumen peralihan, dalam praktik biasanya para pihak
terkait melakukan perubahan nama pihak dalam perjanjian sebagaimana mestinya untuk
mencegah kebingungan mengenai keberlakuan perjanjian yang dimaksud.
Berdasarkan hal tersebut, maka Surat Perjanjian kerjasama antar perusahaan pasca merger,
secara otomatis beralih kepada Perseroan yang menerima penggabungan akan tetapi guna
mencegah kebingungan pelaksanaan kewajiban sebagaimana yang telah diatur didalam
perjanjian kerjasama tersebut maka terhadap perjanjian tersebut perlu dilakukan perubahan
(Addendum) Subjek baru d.h.i nama baru perusahaan yang merger. Artinya antara perusahaan
yang melakukan perjanjian kerjasama sebelum merger tidak diperlukan Perjanjian baru akan
tetapi diperlukan perubahan subjek dalam perjanjian awal tersebut yang dikenal dengan istilah
”addendum Perjanjian”
Adapun dokumen yang harus dilengkapi adalah:
1. Perjanjian awal;
2. Akta RUPS Perseroan;
3. Akta Perubahan Pasca Merger;
4. SK Kemenkumham tentang Perubahan akta pasca merger.
Landasan Hukum:
1. Kamus Besar Bahasa Indonesia
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan
Pengambilalihan Perseroan Terbatas

Anda mungkin juga menyukai