Anda di halaman 1dari 10

Pertemuan III

Cyber Crime Sebagai Kejahatan Transional

Cyber crime merupakan suatu kejahatan yang dapat dikatakan sebagai kerjahatan baru,
karena kejahatan siber memiliki karakteristik yang sangat khusus jika dibandingkan dengan
kejahatan-kejahatan konvensional. Cyber Crime muncul bersamaan dengan lahirnya
kemajuan teknologi informasi.

R. Nitibaskara mengatakan bahwa: Interaksi sosial yang meminimalisir kehadiran secara fisik,
merupakan ciri lain revolusi teknologi informasi. Dengan interaksi semacam ini,
penyimpangan hubungan sosial yang berupa kejahatan (crime), akan menyesuaikan
bentuknya dengan karakter baru tersebut. Ringkasnya, sesuai dengan ungkapan kejahatan
merupakan produk dari masyarakatnya sendiri (crime is a product of society its self), habitat
baru ini, dengan segala bentuk pola interaksi yang ada di dalamnya, akan menghasilkan jenis-
jenis kejahatan yang berbeda dengan kejahatan-kejahatan ini berada dalam satu kelompok
besar yang dikenal dengan istilah ”cyber crime”.1

CYBER CRIME
Berdasarkan sejarahnya tindak pidana cyber crime berawal dari negara Eropa dan Amerika
Utara pada tahun 1980-an dimana negara Eropa dan Amerika Utara mulai melakukan
kriminalisasi terhadap perbuatan baru seiring dengan penggunaan teknologi komputer dalam
melakukan tindak pidana konvensional atas dasar tersebut beberapa Negara di berbagai
belahan dunia sudah mulai mengatur tindak pidana siber seperti memasuki sistem komputer
secara illegal, merusak data dalam sistem komputer dan menyebarkan virus. Pelaku tindak
pidana siber mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk melakukan tindakpidana dari
suatu Negara yang akan mengakibatkan kerugian terhadap seseorang di beberapa tempat di
Negara lain.

Dan atas dasar hal tersebut, dalam hal memerangi kejahatan tindak kejahatan penyalagunaan
teknologi, berbagai negara dan banyak organisasi kerja sama internasional menjadikan
resolusi PBB ini sebagai acuan dalam menetapkan kebijakan pencegahan tindakan kriminal
menggunakan teknologi informasi.

Sehingga pada tanggal 04 Desember 2000 melalui sidang pleno Majelis Ulama PBB terbitlah
Resolusi PBB No. 55/63 tentang ”Memerangi Tindakan Kriminal Penyalahgunaan Teknologi
Informasi (Combating the criminal misuse ofinformation technology).

resolusi ini juga memperhatikan arus bebas mengalirnya informasi terbukti dapat memajukan
pembangunan sosial, ekonomi, pendidikan, dan kepatuhan pada asas demokrasi.
1
1
Didik M. Arief Mansur dan Alisatris Gultom dalam Sutarman, Cyber Crime Modus Operandi dan
Penanggulangannya Cetakan I, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2007, hlm. 25.
Peningkatan arus informasi ini terlaksana berkat dukungan pengembangan aplikasi teknologi
informasi dan infrastrukturjaringan telekomunikasi.

Adapun hal-hal yang ditetapkan dalam Resolusi 55/63 ini adalah:

1. Negara perlu menjamin bahwa hukum dan praktik hukum tidak melindungi pelaku
kejahatan teknologi informasi.
2. Pemerintah perlu menjalin kerja sama internasional dalam penegakan hukum,
khususnya yang menyangkut kejahatan teknologi informasi.
3. Melakukan pertukaran informasi antar-negara terutama yang berkaitan dengan
upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan teknologi informasi.
4. Menyelenggarakan pelatihan dan penyediaan peralatan yang diperlukan oleh aparat
penegak hukum dalam mencegah dan memerangi kejahatan teknologi informasi.
5. Menyediakan sistem hukum yang mampu melindungi kerahasiaan, integritas, dan
ketersediaan data dan sistem komputer dari upaya perusakan yang dilakukan oleh
pelaku kejahatan, dan jika pun masih terjadi kejahatan teknologi informasi, menjamin
CYBER CRIME

bahwa pelaku kejahatan tersebut mendapat hukuman yang semestinya;


6. Mengizinkan dan melaksanakan penjagaan/perawatan dan akses kepada data
elektronik yang diperlukan dalam investigasi kejahatan teknologi informasi.
7. Menggalang kerja sama nasional antar penegak hukum dan bantuan dari para pihak
yang terkait dalam pengumpulan bukti–bukti dan investigasi terhadap kejahatan
teknologi informasi.
8. Berupaya agar masyarakat umum menyadari dan memiliki pemahaman yang
memadai terhadap diperlukannya: perlindungan terhadap data, informasi dan sistem
komputer, serta upaya bersama dalam memerangi kejahatan teknologi informasi.
9. Menganjurkan kepada semua pihak agar dalam merancang pemanfaatan teknologi
informasi, sedapat mungkin sudah memasukkan aspek dan teknis perlindungan,
deteksi, pelacakan, dan penyediaan barang bukti atas kemungkinan terjadinya
tindakan kejahatan teknologi informasi.
10. Selalu memperhatikan perlindungan terhadap kebebasan individu dan privasi serta
kapasitas pemerintah dalam memerangi tindakan kejahatan teknologi informasi.

Inti permasalahan dari resolusi tersebut sebenarnya adalah perang terhadap kejahatan
teknologi informasi dalam berbagai bentuk. Dilihat dari sasarannya, kejahatan teknologi
informasi diklasifikasikan ke dalam dua golongan.
2 1. Kejahatan yang bertujuan merusak data, informasi dan fasilitas komputer. Perusakan
situs Internet, penyebaran virus komputer, dan perusakan jaringan komputer
termasuk kelompok ini.
2. Kejahatan yang menggunakan teknologi informasi sebagai alatnya. Penjualan obat
terlarang, penipuan, pornografi, terorisme, dan pencurian data masuk ke dalam
golongan ini.

Yurisdiksi Cyber Crime Sebagai Kejahatan Transional

Sebagaimana kita ketahui bahwa cyber crime merupakan kejahatan dunia maya yang dapat
dilakukan lintas batas negara. Hal inilah yang menjadikan kekacauan dalam penentuan hukum
atau yurisdiksi negara mana yang dapat diterapkan terhadap pelaku kejahatan cyber.

Pada pertemuan pertama pada tanggal 14 Maret 2023 yang lalu telah dibahas mengenai asas-
asas dalam kejahatan cyber, diantaranya sebagai berikut:

1. protective principle yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan


negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar
wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau
pemerintah;

CYBER CRIME
2. Universality. Asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan
penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal
interest jurisdiction”.

Dalam menjawab penentuan yurisdiksi negara mana yang diterapkan bagi pelaku tindak
pidana cyber, maka terdapat prinsip-prinsip penentuan yuridiksi cyber crime, diantaranya:

1. Prinsip Teritorial (Subjective territoriality), Dapat menerapkan yuriskdiksi nasionalnya


terhadap semua orang (baik warga negara atau asing), badan hukum dan semua
benda yang berada di dalamnya. Prinsip territorial merupakan prinsip yurisdiksi yang
utama yang dilaksankan dalam melaksanakan yurisdiksi Negara
2. Prinsip Nasional Aktif, Prinsip berdasarkan pada nasionalitas atau kewarganegaraan.
Dalam hal ini nasionalitas pelaku kejahatan. Di sini kewarganegaraan pelaku menjadi
titik taut diberlakukannya yurisdiksi negara asal. Berdasarkan prinsip ini Negara
mempunyai yurisdiksi terhadap warga negaranya yang melakukan tindak pidana di
dalam yurisdiksi Negara lain.
3. Prinsip Nasional Pasif, Prinsip yang didasarkan pada kewarganegaraan dari korban
kejahatan. Berdasarkan prinsip ini sutau Negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili
pelaku tindak pidana di luar negeri yang merugikan warga negaranya.
4. Prinsip Perlindungan Hukum internasional (protectif princippal) menyatakan
bahwasannya suatu negara dapat menerapkan hukum nasionalnya kepada pelaku 3
kejahatan walupun kejahatan itu dilakukan di luar wilayah negara tersebut, yang
mana tindak pidana kejahatan yang dilakukan merupakan suatu tindakan yang dapat
mengacam kepentingan negara yang bersangkutan.
5. Prinsip Universal (universality) pada dasarnya tidak mensyaratkan adanya suatu
hubungan, sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu hukum pidana dapat
diberlakukan apabila dalam suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang
itu bertentangan dengan nilai-nilai universal dalam suatu negara dan bertentngan
dengan kepentingan masyarakat secara luas.

Penerapan Yurisdiksi Cyber Crime sebagai Kejahatan Transional di Indonesia

Sehubungan dengan yurisdiksi cyber crime sebagai kejahatan transional, Negara Indonesia
telah memiliki paying hukum terkiat peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur
mengenai kejahatan siber dan didalamnya termuat aturan mengenai yurisdiksi yang telah
memiliki asas universal yaitu Undang-Undang Nomor: 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor: 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal
tersebut dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal (2) Undang-Undang Nomor: 19 tahun 2016
CYBER CRIME

tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor: 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik yang menyatakan:

”Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum
Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah
hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan
Indonesia”.

Selanjutnya Pasal 37 Undang-Undang Nomor: 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas


Undang-undang Nomor: 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal
tersebut dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal (2) Undang-Undang Nomor: 19 tahun 2016
tentang P`erubahan atas Undang-undang Nomor: 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik yang menyatakan:

”Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap
Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia”.

Selain daripada itu mengenai Yurisdiksi terhadap kejahatan cyber juga diatur dalam Undang-
Undang No. 1 tahun 2023 tentang KUHPidana (KUHPidana baru), hal tersebut dapat kita lihat
4 dalam ketentuan Pasal (333) huruf (c) yang menyatakan
”Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling
banyak kategori VI, Setiap Orang yang: (c) tanpa hak atau melampaui wewenangnya
menggunakan atau mengakses Komputer atau sistem elektronik, baik dari dalam maupun
luar negeri untuk memperoleh informasi dari Komputer atau sistem elektronik yang
dilindungi oleh negara”;

Meskipun demikian yurisdiksi tersebut memiliki keterbatasan sehingga dibutuhkan suatu


perjanjian internasional dibidang cyber. Perjanjian internasional sebagaimana dimaksud tidak
terbatas pada perjanjian ektradisi dan perjanjian timbal balik antar negara yang dituangkan
ke dalam suatu undang-undang.

Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, dan untuk kerja
sama penyidikan dan penuntutan, termasuk pembekuan dan penyitaan asset, dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana
(mutual assistance in criminal matters). Perbedaan kedua bentuk perjanjian kerja sama
penegakan hukum tersebut adalah, bahwa perjanjian ekstradisi untuk tujuan penyerahan

CYBER CRIME
orang (pelaku tindak pidana), sedangkan perjanjian MLAT’s untuk tujuan perbantuan dalam
proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang peradilan pidana termasuk
pengusutan, penyitaan dan pengembalian asset hasil tindak pidana. Permintaan penyerahan
pelaku tindak pidana (ekstradisi) tidak serta merta merupakan pengembalian asset hasil
tindak pidana yang dibawa pelaku tindak pidana yang bersangkutan. Kedua bentuk perjanjian
tersebut harus saling melengkapi dan bukan dilihat secara terpisah.

Di lintas regional (ASEAN) bentuk konkret dari kerjasama yang dilakukan guna menanggulangi
tindak pidana pidana di bidang siber telah dilakukan pemerintah Indonesia, diantaranya:

1. ASEAN Plan Of Action To Combat Transnational Crimes yang ditandatangani pada


tahun 1999 Kerjasama tersebut, mencakup kerjasama pernberantasan terorisme,
perdagangan obat terlarang, pencucian uang, penyelundupan dan perdagangan
senjata ringan dan manusia, bajak laut, tindak pidana internet dan tindak pidana
ekonomi intemasional.
2. Traktat Bantuan Hukum Timbal Balik di Bidang pidana (Treaty on Mutual Legal
Assistance in Criminal Matter/MLAT), Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik di
bidang pidana (MLAT) telah ditandatangani oleh semua negara anggota ASEAN di
Kuala Lumpur, Januari 2006. Traktat ini melandasi kerjasama ASEAN di bidang hukum
pidana Indonesia telah meratifikasi MLAT melalui Undang-Undang Nomor l5 Tahun
2008. Perjanjian ini dibentuk oleh pemerintah Brunei Darussalam, Kamboja, 5
Indonesia,Laos, Malaysia, Filipina, Singapura dan Vietnam.
Sengketa-sengketa di ruang siber juga terkait dengan Hukum Perdata Internasional
Di Era globalisasi saat ini ditandai oleh semakin transparannya dunia. Seakan-akan dunia atau
negara-negara yang berdaulat tanpa ada pembatas lagi diantara satu negara-dengan negara
lainnya. Hal ini disebabkan oleh kemajuan perkembangan sarana teknologi komunikasi dan
elektronika.2
Perkembangan sarana teknologi tersebut juga berdampak pada bisnis perdagangan yaitu
dalam kontrak transaksi yang dilakukan secara elektronik yang digunakan para pelaku bisnis.
Pengunaan sarana teknologi elektronik dalam transaksi, yang kemudian lebih dikenal sebagai
transaksi elektronik. Pengunaan istilah dan pengertian transaksi elektronik tidak terdapat
keseragaman3. Dalam hukum positif Indonesia, istilah dan pengertian transaksi elektronik
dimuat dalam UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

Sengketa-sengketa di ruang siber juga terkait dengan Hukum Perdata Internasional, antara
lain menyangkut masalah kompetensi forum yang berperan dalam menentukan kewenangan
forum (pengadilan dan arbitrase) penyelesaian kasus-kasus perdata internasional (HPI).
CYBER CRIME

Terdapat dua prinsip kompetensi dalam HPI:


1. The principle of basis of presence, yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan
untuk mengadili ditentukan oleh tempat tinggal tergugat.
2. Principle of effectiveness, yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan ditentukan
oleh di mana harta benda tergugat berada.
Prinsip kedua ini penting untuk diperhatikan berkenaan dengan pelaksanaan putusan
pengadilan asing (foreign judgement enforcement).
Asas kompetensi ini harus dijadikan dasar pemilihan forum oleh para pihak dalam transaksi
e-commerce. Kekecualian terhadap asas ini dapat dilakukan jika ada jaminan pelaksanaan
putusan asing, misalnya melalui konvensi internasional.
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang siber maka dapat dikemukakan
beberapa teori sebagai berikut:
1. The Theory of the Uploader and the Downloader. Berdasarkan teori ini, suatu negara
dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang
diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya, suatu negara

2
Nindyo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, h. 145.
3
Mariam Darus Badrulzaman, Kontrak Dagang Elektronik Tinjauan Dari Aspek Hukum Perdata, Dalam
Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h. 283, selanjutnya disebut Mariam
Darus Badrulzaman I, ----Mengunakan istilah Kontrak dagang Elektronik, disamping terdapat istilah lain,
6 yaitu WEB Contract, E-Commerce…..Demikian juga pendapat Sutan Remy Syahdeini, E-Commerce
Tinjauan Dari Presfektif Hukum Dalam Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001,
h. 333, selanjutnya disebut Sutan Remy Sjahdeini I, ----Electronic Commerce, atau disingkat E-
Commerce meliputi seluruh spektrum kegiatan bisnis.
dapat melarang setiap orang untuk uploading kegiatan perjudian atau kegiatan
perusakan lainnya dalam wilayah negara, dan melarang setiap orang dalam
wilayahnya untuk downloading kegiatan perjudian tersebut. Minnesota adalah salah
satu negara bagian pertama yang menggunakan yurisdiksi ini.
2. The Teori of the Law of the Server. Pendekatan ini memperlakukan server di mana
webpages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data elektronik,
Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford University
tunduk pada hukum California. Namun teori ini akan sulit digunakan apabila uploader
berada dalam yurisdiksi asing.
3. The Theory of International Spaces. Ruang siber dianggap sebagai the fourth space.
Yang menjadi analogi adalah tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat
internasional, yakni sovereignless quality.
Contoh Kasus Perdata dalam Transaksi Eletronik di Indonesia
Kasus transaksi bisnis perdagangan dimana dalam melakukan kerjasama didahului dengan
adanya perjanjian secara elektronik. Perjanjian dapat dilakukan secara internasional atau

CYBER CRIME
multilateral. Perjnjian tersebut kesepakatan tertulis tersebut mengikat bagi para pihak yang
melakukan perjanjian.
Lalu bagaimana pembuktian perjanjian transaksi elektronik tersebut sebagai alat bukti?
Dalam pembuktian transaksi elektronik dikenal prinsip Unicitral Model Law. Prinsip ini yang
kemudian digunakan dalam menyelesaikan kasus transaksi elektronik. Sehingga kasus
tersebut dapat diselesaikan dengan suatu persamaan dalam pembuktian. Pembuktian dengan
menggunakan data elektronik pada mulanya belum dianggap sah dalam pembuktian. Namun,
sekarang data eletronik menjadi nilai bukti yang sama setelah Unicitral Model Law
diterapkan.
Apakah yang dimaksud Unicitral Model law?
UNCITRAL Model law on Electronic Signature merupakan salah satu instrumen yang sangat
penting dalam Electronic Commerce,karena pada saat sekarang ini negara – negara di dunia
sudah menggunakan sarana elektonik signature dalam melakukan transaksi maupun kontrak
– kontrak elektronik.
UNCITRAL membuat model laws yang dapat diadopsi oleh negara - negara anggota PBB yang
bertujuan agar aspek - aspek hukum yang terkandung dalam perdagangan internasional
tersebut dapat diakomodasi secara mudah.

7
Prinsip Unicitral Model Law terdiri dari functional equivalence approach (pendekatan yang
secara fungsinya sama) dan technology neutrality approach (pendekatan kenetralan suatu
teknologi).4 Adapun hal-hal diatur dalam Unicitral Model law adalah sebagai berikut:

a) Electronic signatures adalah data dalam bentuk elektronik yang berkaitan atau secara
logikal berhubungan dengan pesan data, yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi si pemilik tanda tangan yang berkaitan dengan pesan data dan
sebagai tanda persetujuan pemilik tanda tangan atas informasi yang terdapat di
dalam pesan data tesebut.
b) Certificate adalah pesan data atau bentuk lain yang dapat membuktikan hubungan
antara pemilik tanda tangan dan data tanda tangan tersebut.
c) Data Message adalah pengiriman, penerimaan dan penyimpanan informasi melalui
cara – cara elektonik, optik atau cara – cara lainnya seperti electronic data
interchange (EDI), elektonik mail, telegram, telex atau telecopy.
d) Signatory adalah orang yang memiliki tanda tangan dan bertindak atas dirinya sendiri
CYBER CRIME

atau atas diri orang lain yang digantikannya.


e) Certification Service Provider adalah pihak yang melakukan verifikasi terhadap
identitas pemilik tanda tangan elektronik.
f) Relying party adalah pihak – pihak yang bertindak atas dasar tanda tangan elektronik
tersebut.

salah satu daripada tujuan utama pembentukan Model Law ini, yaitu menggalakkan aturan-
aturan hukum yang seragam dalam penggunaan jaringan komputer guna transaksi-transaksi
komersial.5 Berdasarkan hal tersebut Model Law dapat dikatakan hanya menjadi pedoman
untuk membantu negara-negara di dalam membuat perundangan nasionalnya.

Di Indonesia secara Konvensional mengenai kontrak diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata
serta Pasal 1338KUHPerdata, namun menindaklanjuti perkembangan teknologi dalam hal
berkontrak secara elektronik di Indonesia di undangkanlah UU No. 19 tahun 2016 tentang
perubahan Undang-Undang Nomor: 11 tahun 2008 tentang ITE hal tersebut dapat kita lihat
dalam Pasal (1) ayat (17) Undang-Undang Nomor: UU No. 19 tahun 2016 tentang perubahan

4
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan ke-5.
8 2013, hlm. 170.
5
UNCITRAL, Model Law on Electronic Commerce with Guide to Enactment, 1996, with additional article
5 bis as adopted in 1998, yang disahkan oleh Majelis Umum PBB dengan Resolusi No. 51/162 tanggal
16 Desember 1998
Undang-Undang Nomor: 11 tahun 2008 tentang ITE yang secara tegas menyatakan ”Kontrak
Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik” .

Lalu Bagaimana Pilihan Hukum dalam Penyelesaian Sengketa terhadap Perjanjian Kontrak
Secara Eletronik di Indonesia?
Dalam Pasal 18 ayat (2) dan (3) Undangundang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UUITE) pada dasarnya telah mengatur hukum yang berlaku dalam
penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan perjanjian secara
elektronik
Pasal 18 ayat (2) menyatakan bahwa "para pihak memiliki kewenangan untuk memilih
hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya".
Kemudian Pasal 18 ayat (3) menegaskan bahwa ”'Jika para pihak tidak melakukan pilihan
hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada
asas-asas Hukum Perdata Internasional.
Asas hukum perdata international adalah sebagai berikut:

CYBER CRIME
1. asas lex rei sitae atau lex situs, mengatur tentang benda-benda tidak bergerak
di tempat benda tersebut berada;
2. asas lex domicili, mengatur tentang hak dan kewajiban subjek hukum
berdasarkan tempat tinggalnya; dan
3. asas lex loci contractus, mengatur tentang perjanjian-perjanjian mengikuti
hukum di mana tempat pembuatannya.

Anda mungkin juga menyukai