Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MAKALAH CYBER LAW

KELOMPOK IV
Dosen Pengampu :
Yanti Kirana

Disusun Oleh
Nama :
Nama :
Nama :
Nama :
Nama :
Nama :
Nama :
Nama :
Nama :
Nama :
Nama :
Nama :
Nama :
Nama :

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM PAINAN
2023

0
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadirnya masyarakat informasi (information society) yang

diyakini sebagai salah satu agenda penting masyarakat dunia di era

milenium antara lain ditandai dengan pemanfaatan Internet yang semakin

meluas dalam berbagai akiivitas kehidupan manusia, bukan saja di negara-

negara maju tapi juga di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Banyak orang yang mengatakan bahwa dunia cyber (cyberspace) tidak dapat

diatur.

Cyberspace adalah dunia maya dimana tidak ada lagi batas ruang

dan waktu. Padahal ruang dan waktu seringkali dijadikan acuan hukum. Jika

seorang warga Indonesia melakukan transaksi dengan sebuah perusahaan

Inggris yang menggunakan server di Amerika, dimanakah (dan kapan)

sebenarnya transaksi terjadi? Hukum mana yang digunakan?

Maka disinilah diperlukan aturan hukum yang menjebatani

adanya permasalahan terkait alat teknologi informasi dimana kejahatan tidak

dilakukan secara langsung namun menggunakan media alat berupa

teknologi informasi, dengan demikian diperlukannya aturan hukum yang

tegas untuk dapat menindaknya. Cyberlaw merupakan salah satu topik yang

hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Hukum Siber atau Cyber Law, adalah

istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah

lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi, hukum dunia

1
maya. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan

pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual. Cyber law erat kaitannya

dengan upaya pencegahan tindak pidana dan penanganan tindak pidana.

Cyber law adalah aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi aspek orang

perorangan atau subjek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan

teknologi internet yang dimulai pada saat memasuki dunia maya.

Setiap negara yang memfasilitasi kehidupan bernegara dengan

penggunaan sistem elektronik dan internet yang maju, secara tidak langsung

perkembangan cyber law di dalamnya turut maju. Karena erat kaitannya

dengan upaya pencegahan tindak pidana dan penanganan tindak pidana

maka cyber law menjadi dasar hukum dalam proses penegakan hukum

terhadap kejahatan elektronik. Kehadiran cyber law di Indonesia sudah

diinisiasi sebelum 1999. Di masa itu, cyber law adalah perangkat hukum

yang menjadi dasar dan peraturan yang menyinggung transaksi elektronik.

Pendekatan dengan perangkat hukum ini dimaksudkan agar ada pijakan

yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya.

Banyaknya berbagai kejahatan dan pelanggaran hukum dalam

pemanfaatan teknologi maka dibuat sebuah undang-undang sebagai dasar

hukum atas segala kejahatan dan pelanggaran yang terjadi. Secara garis

besar terdapat lima pembahasan cyber law di setiap negara, yaitu : (1)

Information security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau

penerima dan integritas dari pesan yang mengalir melalui internet, dalam hal

ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik. (2)

2
Online transaction yang meliputi penawaran, jual beli, pembayaran hingga

pengiriman barang melalui internet. (3) Right in electronic information,

mengenai hak cipra dan hak-hak yang muncul bagi pengguna maupun

penyedia konten. (4) Regulation information content, perangkat hukum

yang mengatur sejauh mana konten yang dialirkan melalui internet. (5)

Regulation online contact, tata krama dalam berkomunikasi dan berbisnis

melalui internet termasuk perpajakan, restriksi ekspor-impor kriminalitas

dan yurisdiksi hukum.

Dengan demikian perlu adanya edukasi dini terkait cyber law

berikut kejahatan dunia maya atau cyber crime, meliputi Ruang Lingkup

Cyber Law, Komponen dari Cyber law, dan juga arah Kebijakan Hukum

yang diambil Pemerintah dan aparat penegak hukum Terhadap Kejahatan

Penyalahgunaan Informasi Dunia Maya atau yang biasa diistilahkan sebagai

Cyber Crime.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Perkembangan Hukum Siber atau Cyber Law Di

Indonesia?

2. Bagaimana Dampak Positif dan Negatifnya UU ITE sebagai kebijakan

hukum terhadap (Cyber Crime) Di Indonesia ?

C. Tujuan Makalah

1. Untuk dapat mengetahui sejauh mana perkembangan dari hukum siber

atau cyber law di Indonesia.

3
2. Untuk dapat mengetahui dampak positif dan negatifnya uu ite sebagai

kebijakan hukum terhadap (cyber crime) di indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Ruang Lingkup Cyber Law

Pembahasan mengenai ruang lingkup ”cyber law” dimaksudkan

sebagai inventarisasi atas persoalan-persoalan atau aspek-aspek hukum yang

diperkirakan berkaitan dengan pemanfaatan Internet. Secara garis besar

ruang lingkup ”cyber law” ini berkaitan dengan persoalan-persoalan atau

aspek hukum dari :

1) E-Commerce, yaitu pemanfaatan internet dalam transaksi jual beli.

2) Trademark/ Domain Names, yaitu hak merek dagang atau cap dagang

yang memiliki pengertian sebagai jenis kekayaan intelektual berupa

nama atau simbol yang dikaitkan dengan produk atau jasa tertentu.

3) Privacy and Security on the Internet, yaitu privasi internet yang

melibatkan hak atau mandat privasi pribadi mengenai penyimpanan,

penggunaan kembali, penyediaan kepada pihak ketiga, dan

menampilkan informasi yang berkaitan dengan diri sendiri melalui

Internet.

4) Copyright, yaitu Hak cipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur,

mengumumkan atau memperbanyak penggunaan hasil penuangan

gagasan, hasil ciptaan atau informasi tertentu atau memberi izin untuk

4
itu dengan tidak mengurangi pembatasan menurut peraturan Undang-

undang yang berlaku.

5) Defamation, yaitu pencemaran nama baik atau defamasi merupakan

komunikasi kepada satu orang atau lebih yang bertujuan untuk

memberikan stigma negatif atas suatu peristiwa yang dilakukan oleh

pihak lain berdasarkan atas fakta palsu yang dapat memengaruhi

penghormatan, wibawa, atau reputasi seseorang.

6) Content Regulation, yaitu pengaturan konten yang terfokus dengan

mengawasi dan mengatur lalu-lintas informasi dan komunikasi

berdasarkan kategori tertentu yang perlu disepakati bersama.

7) Hacking, Viruses, Illegal Access, yaitu penyerangan terhadap

computer/ optik lain, pencurian data pribada seseorang baik bernilai

materil dan non-materil, termasuk juga dalam mengakses data pribadi

seseorang secara ilegal atau tanpa persetujuan pemiliknya.

B. Komponen-Komponen dan Asas-Asas Cyber Law

Komponen dari Cyber law :

1) Pertama, tentang yurisdiksi hukum dan aspek-aspek terkait komponen

ini menganalisa dan menentukan keberlakuan hukum yang berlaku dan

diterapkan di dalam dunia maya itu.

2) Kedua, tentang landasan penggunaan internet sebagai sarana untuk

melakukan kebebasan berpendapat yang berhubungan dengan

tanggung jawab pihak yang menyampaikan, aspek accountability,

5
tangung jawab dalam memberikan jasa online dan penyedia jasa

internet (internet provider), serta tanggung jawab hukum bagi penyedia

jasa pendidikan melalui jaringan internet.

3) Ketiga, tentang aspek hak milik intelektual dimana adanya aspek

tentang patent, merek dagang rahasia yang diterapkan serta berlaku di

dalam dunia cyber.

4) Keempat, tentang aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan

hukum yang berlaku di masing-masing yurisdiksi negara asal dari

pihak yang mempergunakan atau memanfaatkan dunia maya sebagai

bagian dari sistem atau mekanisme jasa yang mereka lakukan.

5) Kelima, tentang aspek hukum yang menjamin keamanan dari setiap

pengguna internet.

6) Keenam, tentang ketentuan hukum yang memformulasikan aspek

kepemilikan dalam internet sebagai bagian dari nilai investasi yang

dapat dihitung sesuai dengan prinisip-prinsip keuangan atau akuntansi.

7) Ketujuh, tentang aspek hukum yang memberikan legalisasi atas

internet sebagai bagian dari perdagangan atau bisnis usaha.

Asas-asas Cyber Law

Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa

asas yang biasa digunakan, yaitu :

1) Subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum

ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian

tindak pidananya dilakukan di negara lain.

6
2) Objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku

adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan

memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang

bersangkutan.

3) Nationality, yang menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi

untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.

4) Passive Nationality, yang menekankan terhadap jurisdiksi berdasarkan

kewarganegaraan korban.

5) Protective Principle, yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan

atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari

kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya

digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah.

6) Universality, ssas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait

dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga

sebagai “universal interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini

menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan

menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas

sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes

against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara

dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini

mungkin dikembangkan, namun perlu dipertimbangkan bahwa

penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius

berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional.

7
Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru

yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat

berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai

suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara

radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant

(online) phenomena and physical location.

C. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Penyalahgunaan

Informasi Dunia Maya

“Salah satu kemajuan terknologi informasi yang diciptakan pada

akhir abad ke-20 adalah internet. Jaringan komputer-komputer yang saling

terhubung membuat hilangnya batas-batas wilayah. Dunia maya

menginternasionalisasi dunia nyata. Dunia cyber yang sering disebut dunia

maya menjadi titik awal akselerasi distribusi informasi dan membuat dunia

internasional menjadi  tanpas batas. “Teknologi informatika saat ini menjadi

pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan

kesejahteraan, kemajuan peradaban dunia, sekaligus menjadi sarana efektif

melawan hukum.

Maka untuk menghadapi sifat melawan hukum yang terbawa

dalam perkembangan informasi data di dunia maya. Diperlukan sebuah

perlawanan dari hukum positif yang ada. “Suatu perbuatan tidak dapat

dipidana, kecuali  berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan

pidana yang telah ada sebelumnya” hal ini adalah asas legalitas yang

8
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukum pidana merupakan salah

satu instrumen dalam menghadapi perbuatan melawan hukum. Maka perlu

dikaji lebih mendalam secara teoritik bagaimana kebijakan hukum pidana

yang dalam faktanya sering kalah satu langkah dengan tindak pidana. Dalam

hal ini terhadap kejahatan penyalahgunaan informasi data di dunia cyber.

Sesuai Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 1 angka 1 bahwa : “Informasi

elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik termasuk tetapi tidak

terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, poto, electronic data

interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, atau

sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang

telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu

memahaminya.

Pada awalnya kebutuhan akan Cyber Law di Indonesia berangkat

dari mulai banyaknya transaksi-transaksi perdagangan yang terjadi lewat

dunia maya. Atas transaksi-transaksi tersebut, sudah sewajarnya konsumen,

terutama konsumen akhir(end-user) diberikan perlindungan hukum yang

kuat agar tidak dirugikan, mengingat transaksi perdagangan yang dilakukan

di dunia maya sangat rawan penipuan. Dan dalam perkembangannya, UU

ITE yang rancangannya sudah masuk dalam agenda DPR sejak hampir

sepuluh tahun yang lalu, terus mengalami penambahan disana-sini,

termasuk perlindungan dari serangan hacker, pelarangan penayangan

9
content yang memuat unsur-unsur pornografi, pelanggaran kesusilaan,

pencemaran nama baik, penghinaan dan lain sebagainya.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang

bisa disingkat dengan UU ITE yang diterbitkan pada 25 Maret 2008 dengan

cakupan meliputi globalisasi, perkembangan teknologi informasi, dan

keinginan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Undang-Undang ini

merupakan undang-undang yang dinilai mempunyai sisi positif dan negatif,

antara lain sebagai berikut :

1) Sisi Positif UU ITE

Berdasarkan dari pengamatan para pakar hukum dan politik UU

ITE mempunyai sisi positif bagi Indonesia. Misalnya memberikan peluang

bagi bisnis baru bagi para wiraswastawan di Indonesia karena

penyelenggaraan sistem elektronik diwajibkan berbadan hukum dan

berdomisili di Indonesia. Otomatis jika dilihat dari segi ekonomi dapat

mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain pajak yang dapat menambah

penghasilan negara juga menyerap tenaga kerja dan meninggkatkan

penghasilan penduduk. UU itu juga dapat mengantisipasi kemungkinan

penyalahgunaan internet yang merugikan, memberikan perlindungan hukum

terhadap transaksi dan sistem elektronik serta memberikan perlindungan

hukum terhadap kegiatan ekonomi misalnya transaksi dagang.

Penyalahgunaan internet kerap kali terjadi seperti pembobolan situs-situs

tertentu milik pemerintah.

10
Kegiatan ekonomi lewat transaksi elektronik seperti bisnis lewat

internet juga dapat meminimalisir adanya penyalahgunaan dan penipuan.

UU itu juga memungkinkan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di luar

Indonesia dapat diadili. Selain itu, UU ITE juga membuka peluang kepada

pemerintah untuk mengadakan program pemberdayaan internet. Masih

banyak daerah-daerah di Indonesia yang kurang tersentuh adanya internet.

Undang-undang ini juga memberikan solusi untuk dapat meminimalisir

penyalahgunaan internet.

2) Sisi Negatif UU ITE

Selain memiliki sisi positif UU ITE ternyata juga terdapat sisi

negatifnya. UU ITE dianggap banyak oleh pihak bahwa undang-undang

tersebut membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan

menghambat kreativitas dalam berinternet. Padahal sudah jelas bahwa

negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk mengeluarkan

pendapat. Undang-undang ini menimbulkan suatu polemik yang cukup

panjang. Maka dari itu muncul suatu gagasan untuk merevisi undang-

undang tersebut.

D. Perkembangan Cyber law di Indonesia

Inisiatif untuk membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai

sebelum tahun 1999. Fokus utama waktu itu adalah pada “payung hukum”

yang generik dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan

“payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh

11
undang-undang dan peraturan lainnya. Karena sifatnya yang generik,

sehingga diharapkan rancangan undang-undang tersebut cepat diresmikan

dan kita bisa maju ke yang lebih spesifik. Namun pada kenyataannya hal ini

tidak terlaksana. Dimana dalam perjalanannya ada beberapa masukan

sehingga hal-hal lain pun masuk ke dalam rancangan “cyberlaw” Indonesia.

Beberapa hal yang mungkin masuk antara lain adalah hal-hal

yang terkait dengan kejahatan di dunia maya (cybercrime), penyalahgunaan

penggunaan komputer, hacking, membocorkan password, electronic

banking, pemanfaatan internet untuk pemerintahan (e-government) dan

kesehatan, masalah Hak kekayaan intelektual, penyalahgunaan nama

domain, dan masalah privasi. Penambahan isi disebabkan karena belum ada

undang-undang lain yang mengatur hal ini di Indonesia sehingga ada ide

untuk memasukkan semuanya ke dalam satu rancangan.

Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini

yang terkait dengan teritori. Misalkan seorang hacker dari sebuah negara

Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Dapatkah

hukum kita menjangkau sang penyusup ini? Salah satu pendekatan yang

diambil adalah jika akibat dari aktivitas hackingnya terasa di Indonesia,

maka Indonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Apakah kita akan

mengejar hacker ini ke luar negeri? Nampaknya hal ini akan sulit dilakukan

mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kita. Yang dapat

kita lakukan adalah menangkap hacker ini jika dia mengunjungi Indonesia.

Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan/ hak untuk mengunjungi

12
sebuah tempat di dunia. Sehingga dapat dikatan perkembangan Cyber Law

di Indonesia sendiri belum bisa dikatakan maju. Hal ini diakibatkan oleh

belum meratanya pengguna internet di seluruh Indonesia. Berbeda dengan

Amerika Serikat yang menggunakan telah internet untuk memfasilitasi

seluruh aspek kehidupan mereka. Oleh karena itu, perkembangan hukum

dunia maya di Amerika Serikat pun sudah sangat maju.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Mengenai pembahasan dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan

beberapa hal, sebagai berikut :

1. Sejauh ini perkembangan Cyber Law di Indonesia sendiri belum bisa

dikatakan maju. Hal ini diakibatkan oleh belum meratanya pengguna

internet di seluruh wilayah Indonesia, juga dipengaruhi dari rendahnya

tingkat kesadaran masyarakat dalam penggunaan teknologi informasi

dan komunikasi, khususnya media internet secara benar menurut

ketentuan hukum yang ada.

2. Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektonik (UU ITE), karena dirasa undang-undang yang

telah ada tidak sesuai diterapkan dalam permasalahan-permasalahan

yang terjadi dalam dunia maya khususnya terhadap kejahatan siber

atau yang biasa diistilahkan sebagai Cyber Crime. UU ITE mempunyai

sisi positif bagi Indonesia. Misalnya memberikan peluang bagi bisnis

baru bagi para wirausahawan di Indonesia karena dalam

penyelenggaraan sistem elektronik diwajibkan berbadan hukum dan

berdomisili di Indonesia. UU itu juga dapat mengantisipasi

kemungkinan penyalahgunaan internet yang merugikan, memberikan

perlindungan hukum terhadap transaksi dan sistem elektronik serta

14
memberikan perlindungan hukum terhadap kegiatan ekonomi misalnya

dalam transaksi dagang.

3. Selain memiliki sisi positif UU ITE ternyata juga terdapat sisi

negatifnya. UU ITE dianggap banyak oleh pihak bahwa undang-

undang tersebut membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan

pendapat, dan menghambat kreativitas dalam berinternet. Padahal

sudah jelas bahwa negara menjamin kebebasan setiap warga negara

untuk mengeluarkan pendapat.

15
DAFTAR PUSTAKA

Didik M. Arif, Mansur dan Elisataris Ghultom. 2010. Cyber Law: Aspek Hukum

Teknologi Informasi. Bandung: Refika Aditama

Maskun. 2013. Kejahatan siber cybercrime: suatu pengantar. Jakarta: Kencana

Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, cybercrimes, cyberlaw tinjauan aspek hukum

pidana. Jakarta: Tata Nusa

Suharyanto, Budi. 2013. Tindak Pidana Teknologi Informasi (cybercrime) urgensi

pengaturan dan celah hukumnya. Depok: Rajagrafindo Persada

Widodo. 2009. Sistem Pemidanaan dalam Cyber Crime. Yogyakarta: Laksbang

Mediatama

Peraturan Perundang-Undagan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia tentang ITE (Informasi Dan Transaksi

Elektronik) Nomor 11 Tahun 2008

16

Anda mungkin juga menyukai