Anda di halaman 1dari 6

FENOMENA INTERNET DAN HUKUM SIBER

Bisnis dan transaksi elektronik (e-Business) suatu trend yang menjanjikan


Terjadinya berbagai kejahatan di dunia cyber. Isu Trust pada transaksi elektronik dalam
lingkup nasional, regional, dan global.

10 Besar ancaman keamanan informasi 2017


Prediksi ancaman keamanan dari perusahaan keamanan sistem McAfee Avert Labs:
1. Spamming
2. Video sharing yg ditunggangi malware.
3. Ponsel attack
4. Adware potentially unwanted programme (PUPs)
5. Pencurian data dan penghilangan data
6. Botsnet
7. Malware parasitik atau virus yg memodifikasi file/media penyimpanan
8. Jumlah rootkit di paltform 32 bit makin banyak
9. Kelemahan sistem
10. Identity theft pencurian password via fake website mis eBay dan yahoo.

Kriminalitas di internet ( cybercrime )


Kriminalitas siber (Cybercrime) atau kriminalitas di internet adalah tindak pidana
kriminal yang dilakukan pada teknologi internet (cyberspace), baik yang menyerang fasilitas
umum di dalam cyberspace atupun kepemilikan pribadi. Secara teknis tindak pidana tersebut
dapat dibedakan menjadi off-line crime, semi on-line crime, dan cybercrime. Masing-masing
memiliki karakteristik tersendiri, namun perbedaan utama diantara ketiganya adalah
keterhubungan dengan jaringan informasi publik (baca: internet). Cybercrime merupakan
perkembangan lebih lanjut dari kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi komputer.
Fenomena cybercrime memang harus diwaspadai karena kejahatan ini agak berbeda
dengan kejahatan lain pada umumnya Cybercrime dapat dilakukan tanpa mengenal batas
teritorial dan tidak diperlukan interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan.

Kejahatan yang terjadi di internet terdiri dari berbagai macam jenis dan cara yang bisa
terjadi. Bentuk atau model kejahatan teknologi informasi (baca pada bab sebelumnya)
Menurut motifnya kejahatan di internet dibagi menjadi dua motif yaitu :
• Motif Intelektual. Yaitu kejahatan yang dilakukan hanya untuk kepuasan diri pribadi
dan menunjukkan bahwa dirinya telah mampu untuk merekayasi dan
mengimplementasikan bidang teknologi informasi.
• Motif ekonomi, politik, dan kriminal. Yaitu kejahatan yang dilakukan untuk
keuntungan pribadi atau golongan tertentu yang berdampak pada kerugian secara
ekonomi dan politik pada pihak lain.

Kejahatan komputer juga dapat ditinjau dalam ruang lingkup sebagai berikut:
 Pertama, komputer sebagai instrumen untuk melakukan kejahatan tradisional,
 Kedua, komputer dan perangkatnya sebagai objek penyalahgunaan, dimana
data-data didalam komputer yang menjadi objek kejahatan dapat saja diubah,
dimodifikasi, dihapus atau diduplikasi secara tidak sah.
 Ketiga, Penyalahgunaan yang berkaitan dengan komputer atau data,
 Keempat, adalah unauthorized acquisition, disclosure or use of information
and data, yang berkaitan dengan masalah penyalahgunaan hak akses dengan
cara-cara yang ilegal.
Menurut Bainbridge (1993) dalam bukunya Komputer dan Hukum membagi
beberapa macam kejahatan dengan menggunakan sarana komputer :
 Memasukkan instruksi yang tidak sah,
 Perubahan data input,
 Perusakan data, hal ini terjadi terutama pada data output,
 Komputer sebagai pembantu kejahatan,
 Akses tidak sah terhadap sistem komputer atau yang dikenal dengan hacking.
Bernstein (1996) menambahkan ada beberapa keadaan di Internet yang dapat terjadi
sehubungan lemahnya sistem keamanan antara lain:
• Password seseorang dicuri ketika terhubung ke sistem jaringan dan ditiru atau
digunakan oleh si pencuri.
• Jalur komunikasi disadap dan rahasia perusahaan pun dicuri melalui jaringan
komputer.
• Sistem Informasi dimasuki (penetrated) oleh pengacau (intruder).
• Server jaringan dikirim data dalam ukuran sangat besar (e-mail bomb)
sehingga sistem macet.
Selain itu ada tindakan menyangkut masalah kemanan berhubungan dengan
lingkungan hukum:
• Kekayaan Intelektual (intellectual property) dibajak.
• Hak cipta dan paten dilanggar dengan melakukan peniruan dan atau tidak
membayar royalti.
• Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan penggunaan teknologi tertentu.
• Dokumen rahasia disiarkan melalui mailing list atau bulletin boards.
• Pegawai menggunakan Internet untuk tindakan a-susila seperti pornografi.
Sedangkan menurut Philip Renata ditinjau dari tipenya cybercrime dapat dibedakan
menjadi :
a.  Joy computing,
b.  Hacking,
c.  The Trojan Horse,
d. Data Leakage,
e.  Data Diddling,
f.  To frustate data communication atau penyia-nyiaan data komputer.
g. Software piracy yaitu pembajakan perangkat lunak terhadap hak cipta yang
dilindungi HAKI (Hak Atas Kekayaan dan Intelektual).

Pendapat tentang Cyberlaw


Munculnya kejahatan diinternet pada awalnya banyak terjadi pro-kontra
terhadap penerapan hukum yang harus dilakukan. Hal ini direnakan saat itu sulit
untuk menjerat secara hukum para pelakunya karena beberapa alasan. Alasan yang
menjadi kendala seperti sifat kejahatannya bersifat maya, lintas negara, dan sulitnya
menemukan pembuktian.
Hukum yang ada saat itu yaitu hukum tradisional banyak memunculkan pro-kontra,
karena harus menjawab pertanyaan bisa atau tidaknya sistem hukum tradisional
mengatur mengenai aktivitas-aktivitas yang dilakukan di Internet. Karena aktifitas di
internet memiliki karakteristik;
• Pertama, karakteristik aktivitas di Internet yang bersifat lintas-batas, sehingga
tidak lagi tunduk pada batasan-batasan teritorial.
• Kedua, sistem hukum traditional (the existing law) yang justru bertumpu pada
batasan-batasan teritorial dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab
persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat aktivitas di Internet.
Kemunculan Pro-kontra mengenai masalah diatas ini sedikitnya terbagai menjadi tiga
kelompok, yaitu :
• Kelompok pertama secara total menolak setiap usaha untuk membuat aturan hukum
bagi aktivitas-aktivitas di Internet yang didasarkan atas sistem hukum
tradisional/konvensional.
• Kelompok kedua berpendapat sebaliknya, bahwa penerapan sistem hukum tradisional
untuk mengatur aktivitas-aktivitas di Internet sangat mendesak untuk dilakukan.
• Kelompok ketiga tampaknya merupakan sintesis dari kedua kelompok di atas. Mereka
berpendapat bahwa aturan hukum yang akan mengatur mengenai aktivitas di Internet
harus dibentuk secara evolutif dengan cara menerapkan prinsip-prinsip common law
yang dilakukan secara hati-hati dan dengan menitik beratkan kepada aspek-aspek
tertentu dalam aktivitas cyberspace yang menyebabkan kekhasan dalam transaksi-
transaksi di Internet.

Pada hakekatnya, semua orang akan sepakat (kesepakatan universal) bahwa segala bentuk
kejahatan harus dikenai sanksi hukum, menurut kadar atau jenis kejahatannya. Begitu juga
kejahatan Teknologi Informasi apapun bentuknya tergolong tindakan kejahatan yang harus
dihukum, pertanyaan yang sering diajukan adalah apakah perundangan di Indonesia sudah
mengatur masalah tersebut?.
Mas Wigrantoro dalam naskah akademik tentang RUU bidang Teknologi Informasi
menyebutkan, terdapat dua kelompok pendapat dalam menjawab pertanyaan ini, yaitu :
 Kelompok pertama berpendapat bahwa hingga saat ini belum ada perundangan yang
mengatur masalah kriminalitas penggunaan Teknologi Informasi (cybercrime), dan
oleh karenanya jika terjadi tindakan kriminal di dunia cyber sulit bagi aparat penegak
hukum untuk menghukum pelakunya.
 Kelompok kedua beranggapan bahwa tidak ada kekosongan hukum, oleh karenanya
meski belum ada undang – undang yang secara khusus mengatur masalah cybercrime,
namun demikian para penegak hukum dapat menggunakan ketentuan hukum yang
sudah ada.
Pendapat dua kelompok di atas mendorong diajukannya tiga alternatif pendekatan dalam
penyediaan perundang-udangan yang mengatur masalah kriminalitas Teknologi Informasi,
yaitu :
 Alternatif pertama adalah dibuat suatu Undang – Undang khusus yang
mengatur masalah Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi
 Alternatif kedua, memasukkan materi kejahatan Teknologi Informasi ke dalam
amandemen KUHP yang saat ini sedang digodok oleh Tim Departemen
Kehakiman dan HAM
 Alternatif ketiga, melakukan amandemen terhadap semua undang – undang
yang diperkirakan akan berhubungan dengan pemanfaatan Teknologi
Informasi

Prinsip dan Pendekatan Hukum


Dengan adanya kejahatan-kejahatan dan kendala-kendala hukum bidang teknologi
informasi seperti yang dibahas pada sub bab sebelumnya saat ini telah lahir suatu rezim
hukum baru yang dikenal dengan Hukum Siber. Istilah hukum siber diartikan sebagai
padanan kata dari Cyber Law, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah
hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang juga
digunakan adalah hukum Teknologi Informasi (Law of Information Technology) Hukum
Dunia Maya (Virtual World Law) dan Hukum Mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir
mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual.
Dalam ruang siber pelaku pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena hukum
dan pengadilan Indonesia belum memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan hukum
yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi akibatnya justru
memiliki implikasi hukum di Indonesia.

Latar belakang hukum siber


Dampak negatif yang serius karena berkembangnya teknologi informasi terutama
teknologi internet harus segera ditangani dan ditanggulangi dengan segala perangkat yang
mungkin termasuk perangkat perundangan yang bisa mengendalikan kejahatan dibidang
teknologi informasi. Sudah saatnya bahwa hukum yang ada harus bisa mengatasi
penyimpangan penggunaan perangkat teknologi informasi sebagai alat bantunya, terutama
kejahatan di internet (cybercrime) dengan menerapkan hukum siber (cyberlaw).
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang siber maka dapat
dikemukakan beberapa teori sebagai berikut :
 Pertama The Theory of the Uploader and the Downloadr Berdasarkan teori ini, suatu
negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang
diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya.
 Kedua adalah teori The Law of the Server. Pendekatan ini memperlakukan server di
mana webpages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data
elektronik.
 Ketiga The Theory of International Spaces. Ruang siber dianggap sebagai the fourth
space.
Pengertian Hukum Siber
Di Indonesia sendiri tampaknya belum ada satu istilah yang disepakati atau paling
tidak hanya sekedar terjemahan atas terminologi cyber law. Sampai saat ini ada beberapa
istilah yang dimaksudkan sebagai terjemahan dari cyber law, misalnya, Hukum Sistem
Informasi, Hukum Informasi, dan Hukum Telematika (Telekomunikasi dan Informatika).
Istilah (Indonesia) manapun yang akan dipakai tidak menjadi persoalan. Yang penting,
didalamnya memuat atau membicarakan mengenai aspek-aspek hukum yang berkaitan
dengan aktivitas manusia di Internet. Oleh karena itu dapat dipahami apabila sampai saat ini
di kalangan peminat dan pemerhati masalah hukum yang berikaitan dengan Internet di
Indonesia masih menggunakan istilah cyber law.

Ruang Lingkup Cyber Law


Jonathan Rosenoer dalam Cyber law, the law of internet mengingatkan tentang ruang lingkup
dari cyber law diantaranya :
 Hak Cipta (Copy Right)
 Hak Merk (Trademark)
 Pencemaran nama baik (Defamation)
 Fitnah, Penistaan, Penghinaan (Hate Speech)
 Serangan terhadap fasilitas komputer (Hacking, Viruses, Illegal Access)
 Pengaturan sumber daya internet seperti IP-Address, domain name
 Kenyamanan Individu (Privacy)
Asas dalam Hukum Siber

1. Subjective territoriality, hal ini menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan


berdasarkan tempat perbuatan yang dilakukan dan penyelesaian tindak pidana
dilakukan di negara lain.
2. Objective territoriality, menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum akibat
sebuah perbuatan terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara
yang bersangkutan.
3. Nationality, menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk menentukan
hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
4. Passive nationality, menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
5. Protective principle, menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara
untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar
wilayahnya yang umumnya dihunakan jika korban adalah negara atau pemerintah.
6. Universality, asas ini memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum
kasus-kasus cyber. Asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak menangkap dan
menghukum para pelaku pembajakan, lalu kemudian asas ini diperluas hingga
mencakup kejahatan terhadap kemanusiaan dan terus dikembangkan untuk kejahatan
sangat serius berdasarkan perkembangan hukum internasional.
Dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis jurisdiksi, yaitu :
 jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe),
 jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan
 jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).
Asas Universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan
hukum kasus-kasus siber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction

Relasi Hukum Siber dan Hukum di Indonesia


Melakukan pengkajian terhadap perundangan nasional yang memiliki kaitan langsung
maupun tidak langsung dengan munculnya persoalan hukum akibat transaksi di internet
seperti : UU hak cipta, UU merk, UU perlindungan konsumen, UU Penyiaran dan
Telekomunikasi, UU Perseroan Terbatas, UU Penanaman Modal Asing, UU Perpajakan,
Hukum Kontrak, Hukum Pidana dll.

Perangkat Hukum Internasional


Dalam rangka upaya menanggulangi cyber crime Resolusi Kongres PBB VII/1990 mengenai
“Computer related crime” mengajukan beberapa kebijakan antara lain :
1. Menghimbau negara anggota untuk mengintensifkan upaya –upaya penanggulangan
penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah –
langkah berikut :
 Melakukan moderinasi hukum pidana material dan hukum acara pidana.
 Mengembangkan tindakan pencegahan dan pengamanan komputer.
 Melakukan langkah untuk membuat peka warga masyarakat, aparat terhadap
pentingnya pencegahan kejahatan.
 Melakukan training bagi para hakim, pejabat dan aparat hukum tentang cyber
crime.
 Memperluas rules of ethics dalam penggunaan komputer melalui kurikulum
informasi,
 Mengadopsi kebijakan perlindungan korban cyber crime sesuai deklarasi PBB.
2. Menghimbau negara anggota meningkatkan upaya Penanggulangan cyber crime
3. Merekomendasikan kepada komite pengendalian dan pencegahan kejahatan PBB
(Committee on Crime Prevention and Control) untuk : Menyebarluaskan pedoman
dan standar untuk membantu negara anggota menghadapi cyber crime,
mengembangkan penelitian dan analisis untuk menemukan cara baru menghadapi
cyber crime dimasa datang.

Perumusan Kebijakan Hukum Siber di Indonesia


Ada dua model yang diusulkan oleh Mieke untuk mengatur kegiatan di cyber space, yaitu :
 Model ketentuan Payung (Umbrella Provisions), Model ini dapat memuat materi
pokok saja dengan memperhatikan semua kepentingan (seperti pelaku usaha,
konsumen, pemerintah dan pemegak hukum), Juga keterkaitan hubungan dengan
peraturan perundang – undangan.
 Model Triangle Regulations sebagai upaya mengantisipasi pesatnya laju kegiatan di
cyber space. Upaya yang menitikberatkan permasalahan prioritas yaitu pengaturan
sehubungan transaksi online, pengaturan sehubungan privacy protection terhadap
pelaku bisnis dan konsumen, pengaturan sehubungan cyber crime yang memuat
yuridiksi dan kompetensi dari badan peradilan terhadap kasus cyber space.

Kebijakan IT di Indonesia (cont)


Dalam moderinisasi hukum pidana, Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dalam seminar cyber
crime 19 maret 2003 mengusulkan alternatif:
1. Menghapus pasal – pasal dalam UU terkait yang tidak dipakai lagi
2. Mengamandemen KUHP
3. Menyisipkan hasil kajian dalam RUU yang ada
4. Membuat RUU sendiri misalnya RUU Teknologi Informasi
Upaya tersebut tampaknya telah dilakukan terbukti dengan mulai disusunnya RUU
KUHP yang baru (konsep tahun 2000).Di samping pembaharuan KHUP di Indonesia juga
telah ditawarkan alternatif menyusun RUU sendiri, antara lain RUU yang disusun oleh tim
dari pusat kajian cyber law UNPAD yang diberi title RUU TI draft III.

Anda mungkin juga menyukai