Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi baik secara
institusional maupun intelektual dalam kriminologi menunjukan terjadinya
hubungan-hubungan dialektis antara pengetahuan dan pemikiran dengan
realitas sosial, serta juga tahap-tahap pencapaian hasil-hasil yang
diantisipasikan dalam praktik sosial bidang pengetahuan ilmiah ini.
Kriminologi masa lalu beranjak dari pemahaman yang dangkal mengenai
kejahatan, padahal kejahatan tak hanya bisa ditilik dari segi fenomenalnya
saja, melainkan merupakan aspek yang tidak terpisah dari konteks politik,
ekonomi, dan sosial masyarakatnya.
Kejahatan sebagai suatu gejala adalah selalu kejahatan dalam
masyarakat dan merupakan bagian dari keseluruhan proses-proses sosial
produk sejarah dan senantiasa terkait pada proses-proses ekonomi yang
begitu mempengaruhi hubungan antar manusia. Pemahaman kejahatan
pada masa lampau seringkali kehilangan makna oleh karena meninggalkan
konsep total masyarakat.
Kebutuhan akan teknologi jaringan komputer semakin meningkat.
Selain sebagai media penyedia informasi, melalui intenet pula kegiatan
komunitas komersial menjadi bagian terbesar dan pesat pertumbuhannya
serta menembus berbagai batas Negara. Bahkan melalui jaringan ini
kegiatan pasar di dunia bisa diketahui selama 24 jam. Melalui dunia
internet atau disebut juga cyber space, apapun dapat dilakukan. Segi
positif dari dunia maya ini tentu saja menambah trend perkembangan
teknologi dunia dengan segala bentuk kreatifitas manusia. Namun dampak
negaif pun tidak bisa dihindari. Tatkala pornografi marak dimedia internet,
masyarakat pun tak bisa berbuat banyak. Seiring dengan perkembangan
teknologi internet, menyebabkan munculnya kejahatan yang disebut

1
dengan cyber crime atau kejahatan melalui jaringan internet. Munculnya
beberapa kasus cyber crime di Indonesia, seperti pencurian kartu kredit,
hacking beberapa situs, menyadap transmisi data orang lain, misalnya
email dan memanipulasi data dengan cara menyiapkan perintah yang tidak
dikehendaki ke dalam programmer Komputer. Sehingga dalam kejahatan
computer dimungkinkan adanya delik formil dan delik materil. Delik
formil adalah perbuatan seseorang yang memasuki Komputer orang lain
tanpa ijin, sedangkan delik materil adalah perbuatan yang menimbulkan
akibat kerugian bagi orang lain. Adanya cyber crime telah menjadi
ancaman stabilitas, sehingga pemerintah sulit mengimbangi teknik
kejahatan yang dilakukan dengan teknoligo computer, khususnya jaringan
internet dan intranet
Perkembangan yang pesat dari teknologi telekomunikasi dan
teknologi komputer menghasilkan internet yang multifungsi.
Perkembangan ini membawa kita ke ambang revolusi keempat dalam
sejarah pemikiran manusia bila ditinjau dari konstruksi pengetahuam umat
manusia yang dicirikan dengan cara berfikir yang tanpa batas. Internet
merupakan symbol material embrio masyarakat global. Internet membuat
globe dunia, seolah-olah menjadi seperti hanya selebar daun kelor. Era
informasi ditandai dengan aksesibilitas informasi yang amat tinggi. Dalam
era ini, informasi merupakan komoditi utama yang diperjual belikan
sehingga akan muncul berbagai network dan information company yang
akan memperjual belikan berbagai fasilitas bermacam jaringan dan
berbagai basis data informasi tentang berbagai hal yang dapat diakses oleh
pengguna dan pelanggan. Tentunya jika kita melihat bahwa informasi itu
sendiri telah menjadi komoditi maka upaya untuk melindungi asset
tersebut sangat diperlukan. Salah satu upaya perlindungan adalah melalui
hukum pidana, baik dengan bersaranakan penal maupun non penal.
Persoalan cybercrime, tidak ada kekosongan hukum, ini terjadi jika
digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini
yang mestinya dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi

2
perbuatan-perbuatan yang berdimensi baru yang secara khusus belum
diatur dalam undang-undang. Persoalan menjadi lain jika ada keputusan
politik untuk menetapkan cybercrime dalam perundang-undangan
tersendiri di luar KUHP atau undang-undang khusus lainnya. Sayangnya
dalam persoalan mengenai penafsiran ini, para hakim belum sepakat
mengenal kateori beberapa perbuatan. Misalnya carding, ada hakim yang
menafsirkan masuk dalam kateori penipuan, ada pula yang memasukkan
dalam kategori pencurian. Untuk itu sebetulnya perlu dikembangkan
pemahaman kepada para hakim mengenai teknologi informasi agar
penafsiran mengenai suatu bentuk cybercrime ke dalam pasal-pasal dalam
KUHP atau undang-undang lain tidak membingungkan.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dibuat rumusan masalah :
1. Apa yang dimaksud dengan cybercrime?
2. Bagaimana penyelesaian kasus cybercrime dalam hal penipuan?

3
BAB II
ANALISIS KASUS

A. Studi Pustaka
Cyber crime memiliki induk cyber space merupakan sebagai
sebuah dunia komunikasi yang berbasis komputer. Dalam hal ini, cyber
space dianggap sebagai sebuah realitas baru dalam kehidupan manusia
yang dalam bahasa sehari-hari dikenal dengan internet. Realitas baru ini
dalam kenyataanya terbentuk melalui jaringan komputer yang
menghubungkan antarnegara atau antarbenua yang bebasis protokol .
sistem kerjanya dikatakan bahwa cyber space (internet) telah mengubah
jarak dan waktu menjadi tidak terbatas. Internet digambarkan sebagai
kumpulan jaringan komputer yang terdiri dari sejumlah jaringan yang
lebih kecil yang mempunyai sistem jaringan yang berbeda-beda.
Akan tetapi, kemajuan teknologi informasi (internet) dan segala
bentuk manfaat di dalamnya membawa konsekuensi negatif tersendiri di
mana semakin mudahnya para penjahat untuk melakukan aksinya yang
semakin merisaukan masyarakat. Penyalahgunaan yang terjadi di dalam
cyber space inilah yang kemudian dikenal sebagai cyber crime atau dalam
literatur disebut computer crime.
Jenis-jenis cyber crime berdasarkan motifnya dapat tebagi dalam
beberapa hal :
1. Cybercrime sebagai tindakan kejahatan murni
Dimana orang yang melakukan kejahatan yang
dilakukan secara di sengaja, dimana orang tersebut secara
sengaja dan terencana untuk melakukan pengrusakkan,
pencurian, tindakan anarkis, terhadap suatu system informasi
atau system computer.
2.   Cybercrime sebagai tindakan kejahatan abu-abu
Dimana kejahatan ini tidak jelas antara kejahatan
criminal atau bukan karena dia melakukan pembobolan tetapi

4
tidak merusak, mencuri atau melakukan perbuatan anarkis
terhadap system informasi atau system computer tersebut.
3.   Cybercrime yang menyerang individu
Kejahatan yang dilakukan terhadap orang lain dengan
motif dendam atau iseng yang bertujuan untuk merusak nama
baik, mencoba ataupun mempermaikan seseorang untuk
mendapatkan kepuasan pribadi. Contoh : Pornografi,
cyberstalking, dll
4.   Cybercrime yang menyerang hak cipta (Hak milik) :
Kejahatan yang dilakukan terhadap hasil karya
seseorang dengan motif menggandakan, memasarkan,
mengubah yang bertujuan untuk kepentingan pribadi/umum
ataupun demi materi/nonmateri.
5.   Cybercrime yang menyerang pemerintah :
Kejahatan yang dilakukan dengan pemerintah sebagai
objek dengan motif melakukan terror, membajak ataupun
merusak keamanan suatu pemerintahan yang bertujuan untuk
mengacaukan system pemerintahan, atau menghancurkan suatu
Negara.
Cybercrime  merupakan kejahatan yang dilakukan dengan dan
memanfaatkan teknologi, sehingga pencegahan dan penanggulangan
dengan sarana penal tidaklah cukup. Untuk itu diperlukan sarana lain
berupa teknologi itu sendiri sebagai sarana non penal. Teknologi itu
sendiripun sebetulnya belum cukup jika tidak ada kerjasama dengan
individu maupun institusi yang mendukungnya.  Pengalaman negara-
negara lain membuktikan bahwa kerjasama yang baik antara pemerintah,
aparat penegak hukum, individu maupun institusi dapat menekan
terjadinya cybercrime.
Tidak ada jaminan keamanan di cyberspace, dan tidak ada sistem
keamanan computer yang mampu secara terus menerus melindungi data
yang ada di dalamnya. Para hacker akan terus mencoba untuk

5
menaklukkan sistem keamanan yang paling canggih, dan merupakan
kepuasan tersendiri bagi hacker  jika dapat membobol sistem keamanan
komputer orang lain.  Langkah yang baik adalah dengan selalu
memutakhirkan sistem keamanan computer dan melindungi data yang
dikirim dengan teknologi yang mutakhir pula. Dengan contoh negara yang
bekerja sama dengan instansi terkait yang mengurusi permasalahan dengan
internet ataupun komputer :
1. Kepolisian Nasional Swedia dan Norwegia bekerjasama dalam
memutakhirkan daftar situs child pornography  dengan bantuan
ISP di Swedia. Situs-situs tersebut dapat diakses jika mendapat
persetujuan dari polisi.
2. Mengikuti langkah Norwegia dan Swedia, ISP di Denmark mulai
memblok situs  child pornography  sejak Oktober 2005. ISP di
sana bekerjasama dengan Departemen Kepolisian Nasional yang
menyediakan daftar situs untuk diblok. ISP itu juga bekerjasama
dengan NGO Save the Children Denmark. Selama bulan
pertama, ISP itu telah memblok 1.200 pengakses setiap hari.

Sebenarnya Internet Service Provider (ISP) di Indonesia juga telah


melakukan hal serupa, akan tetapi jumlah situs yang diblok belum banyak
sehingga para pengakses masih leluasa untuk masuk ke dalam situs
tersebut, terutama situs yang berasal dari luar negeri. Untuk itu ISP perlu
bekerjasama dengan instansi terkait untuk memutakhirkan daftar situs
child pornography yang perlu diblok. Faktor penentu lain dalam
pencegahan dan penanggulangan cybercrime dengan sarana non penal
adalah persoalan tentang etika. Dalam berinteraksi dengan orang lain
menggunakan internet, diliputi oleh suatu aturan tertentu yang dinamakan
ettiquette atau etika di internet. Meskipun belum ada ketetapan yang baku
mengenai bagaimana etika berinteraksi di internet, etika dalam berinteraksi
di dunia nyata (real life) dapat dipakai sebagai acuan.

6
Meski Indonesia menduduki peringkat pertama dalam  cybercrime 
pada tahun 2004, akan tetapi jumlah kasus yang diputus oleh pengadilan
tidaklah banyak.  Dalam hal ini angka dark number cukup besar dan data
yang dihimpun oleh Polri juga bukan data yang berasal dari investigasi
Polri, sebagian besar data tersebut berupa laporan dari para korban.  Ada
beberapa sebab mengapa penanganan kasus cybercrime di Indonesia tidak
memuaskan:
1. Ketersediaan dana atau anggaran untuk pelatihan SDM sangat
minim sehingga institusi penegak hukum kesulitan untuk
mengirimkan mereka mengikuti pelatihan baik di dalam maupun
luar negeri.
2.  Ketiadaan Laboratorium Forensik Komputer di Indonesia
menyebabkan waktu dan biaya besar.
3.  Citra lembaga peradilan yang belum membaik, meski berbagai
upaya telah dilakukan.  Buruknya citra ini menyebabkan orang
atau korban enggan untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian.
4.  Kesadaran hukum untuk melaporkan kasus ke kepolisian
rendah.  Hal ini dipicu oleh citra lembaga peradilan itu sendiri
yang kurang baik, faktor lain adalah korban tidak ingin
kelemahan dalam system komputernya diketahui oleh umum,
yang berarti akan mempengaruhi kinerja perusahaan dan web
masternya.
5.  Upaya penanganan cybercrime  membutuhkan keseriusan
semua pihak mengingat teknologi informasi khususnya internet
telah dijadikan sebagai sarana untuk membangun masyarakat
yang berbudaya informasi.  Keberadaan undang-undang yang
mengatur cybercrime memang diperlukan, akan tetapi apalah
arti undang-undang jika pelaksana dari undang-undang tidak
memiliki kemampuan atau keahlian dalam bidang itu dan
masyarakat yang menjadi sasaran dari undang-undang tersebut

7
tidak mendukung tercapainya tujuan pembentukan hukum
tersebut.
Dalam dunia internasional, cybercrime diatur pertama kali dalam
Konvensi Hungaria yang diselenggarakan oleh Council of Europe
Convention on Cybercrime. Konvensi ini mengandung kebijakan kriminal
yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cybercrime, baik
melalui undang-undang maupun kerjasama internasional.
Selanjutnya, konvensi Palermo diselenggarakan untuk
meningkatkan kerjasama dengan semua negara di dunia untuk memerangi
kejahatan transnasional yang terorganisir. Konvensi ini berisikan
kejahatan-kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan
transnasional/lintas negara dan salah satunya terdapat kejahatan dunia
maya/cybercrime..

B. Analisis Kasus
1. Kasus
TANGERANG- Tiga pelaku cyber crime jaringan internasional,
asal Nigeria yakni Igue to Chuku Augistin (32), Ohakguherbert (32) dan
mahasiswa Universitas Paramita, Karawaci Devi Irnasari (27), tertangkap
di Kompleks Villa Serpong, Blok D III No 10, Rt 59/10, Jalan Purimoro
III, Jelupang, Kota Tangerang Selatan (Tangsel).
Penangkapan pertama ketiga pelaku cyber crime itu, langsung
dipimpin Kasat Cyber Crime Polda Metro Jaya AKBP Hermawan. Dari
tangan tersangka, petugas berhasil mengamankan sejumlah barang bukti
seperti laptop, modem dan handphone yang digunakan untuk melakukan
transaksi jual-beli lewat internet.
Kasat Cyber Crime POlda Metro Jaya AKBP Hermawan
mengatakan, pelaku sangat menguasai internet dan mempunyai jaringan
yang terorganisir dengan baik. Bukan hanya di Indonesia, tetapi dibantu
oleh orang asing juga tentang bagaimana menata dan mengatur strategi
menarik orang agar orang terpengaruh mengikuti keinginan mereka.

8
"Jadi intinya mereka ini melakukan penipuan melalui internet
dengan menawarkan macam-macam barang dan jasa. Mau itu handphone,
laptop dan barang yang lebih besar pun mereka melayani seperti kamera.
Dan orang yang sudah memberikan uang, bahkan ada yang sampai ratusan
juta barangnya tidak pernah sampai," jelasnya, Selasa (15/3/2011).
Dalam melakukan transaksinya, tersangka menggunakan acoount
sosial facebook dan jejaring sosial lainnya yang tersedia di internet. Kedua
Warga Negara Asing (WNA) itu, datang ke Indonesia dengan
menggunakan visa sebagai pengusaha. Sedang tersangka lainnya, warga
Negara Indonesia (WNA) berperan sebagai penghubung yang tugasnya
meyakinkan pembeli.
"Untuk menipu korban, tersangka menggunakan HP. Saya yakin
jika dihubungkan dengan nomor hendphone dan normor rekening yang
ada kasus ini akan terungkap. Kita masih mendalami kasus ini, karena
baru pertama kali ditangkap," terangnya.
Ditambahkan, peran tersangka WNI dalam kasus cyber crime itu
cukup besar. Karena keahlian berbahasa Indonesia dan bahasa Inggrisnya
yang baik lah, tersangka yang mengaku masih kuliah itu meyakinkan
pembelinya lewat handphone.

2. Analisis
Kasus penipuan Online pada prinsipnya sama dengan penipuan
konvensional. Yang membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya
yakni menggunakan sistem elektronik. Penipuan Online juga dapat
dirumuskan sebagai suatu kejahatan secara hukum karena tindakan yang
dilakukan dapat merugikan seseorang dan juga peraturan ini tercantum
dalam hukum pidana dan bagi pelakunya dikenakan sanksi hukuman yang
jelas. Dalam instrumen hukum nasional, pelaku dalam kasus tersebut
melanggar pasal 378 KUHP yang memuat tentang tindakan penipuan dan
berbunyi sebagai berikut :

9
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, memakai nama/ keadaan palsu dengan
tipu muslihat agar memberikan barang membuat utang atau menghapus
utang diancam karena penipuan dengan pidana penjara maksimum 4
tahun.”

Selain itu, kasus tersebut juga melanggar UU Informasi dan


Transaksi Elektronik No. 19 Tahun 2016 pasal 28 yang berisi:

“(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
Transaksi Elektronik.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan


informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan
atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

Berdasarkan objek kriminologi, pelaku kejahatan adalah 2 warga


negara Nigeria yakni Igue Chuku Augistin dan Ohakguherbert bekerjasama
dengan 1 Warga Negara Indonesia yakni mahasiswa Universitas Paramita,
Karawaci bernama Devi Irnasari yang menjalankan aksi kejahatannya di
Indonesia. Target yang menjadi korban dalam kejahatan yang mereka
lakukan adalah warga negara Indonesia. Disamping itu, kejahatan ini juga
terjadi dan bertempat di Indonesia. Hal ini dapat dikarenakan faktor kurang
ketatnya keamanan dalam jual beli online di indonesia. Selain itu, faktor
masyarakat indonesia kurang selektif dalam bertransaksi online yang mana
masyarakat indonesia mudah tertarik dengan tawaran-tawaran yang mereka
jajakan, seperti menawarkan barang dengan harga yang tergolong sangat
murah serta faktor lainnya pada jaman yang semakin modern ini untuk
melakukan transaksi sangat mudah dilakukan tanpa harus bertatap muka
langsung.

10
Pelaku sangat menguasasi internet dan mempunyai jaringan yang
terorganisasi dengan baik, yang dibantu oleh oranga asing tentang cara
menata dan mengatur strategi menarik orang agar orang terpengaruh
mengikuti keinginan mereka. Kejahatan ini dilakukan dengan cara
menawarkan macam-macam barang dan jasa seperti handphone, laptop dan
barang yang lebih besar pun mereka melayani seperti kamera dengan
maksud untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya melalui media
internet. Dalam hal ini, tersangka menggunakan akun sosial Facebook dan
jejaring sosial lainnya yang tersedia di internet untuk menjalankan aksinya,
serta setiap tersangka memiliki tugasnya masing-masing seperti kedua
tersangka warga negara asing itu berperan sebagai pengusaha dan
tersangka warga negara indonesia berperan sebagai penghubung yang
tugasnya meyakinkan pembeli. Tersangka menipu korban dengan
menggunakan Handphone dengan berpura-pura menjual barang. Setelah
itu, tersangka menata dan mengatur strategi menarik korban agar
terpengaruh untuk membeli barang yang telah tersangka jajakan dan jika
mendapat respon positif itulah yang menjadi target penipuan.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

12
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adang, Yesmil Anwar, 2010, Kriminologi, Bandung: PT Refika Aditama

Maskun, 2012, Kejahatan Siber Cyber Crime Suatu Pengantar, Makasar:


Kencana.

M.Ramli, Ahmad, 2004, Cyber Law & Haki dalam Sistem Hukum Indonesia,
Bandung: Redaksi Refika Aditama

Sunarno, 2009, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik, Jakarta: PT Rineka


Cipta

Widodo, 2009, Sistem Pemidanaan dalam Cyber Crime, Malang Medio: CV.
Aswaja Pressindo

Internet

Anonim, Kejahatan Dunia Maya,


https://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_dunia_maya, diakses pada tanggal
27 November 2017 jam 21.35 WIB

Marada Manurung, Makalah kriminologi,


http://marada08128.blogspot.co.id/2013/02/makalah-kriminologi.html,
diakses pada tanggal 27 November 2017 jam 22.15 WIB

13

Anda mungkin juga menyukai