Anda di halaman 1dari 23

KENDALA PENEGAKAN HUKUM KEJAHATAN MAYANTARA DAN

KEJAHATAN KOMPUTER

A. Pendahuluan

Kejahatan dunia maya (Inggris: cybercrime) adalah istilah yang mengacu


kepada aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan komputer menjadi alat,
sasaran atau tempat terjadinya kejahatan. Termasuk ke dalam kejahatan dunia
maya antara lain adalah penipuan lelang secara online, pemalsuan cek, penipuan
kartu kredit/carding, confidence fraud, penipuan identitas, pornografi anak, dll.
Walaupun kejahatan dunia maya atau cybercrime umumnya mengacu kepada
aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan komputer sebagai unsur
utamanya, istilah ini juga digunakan untuk kegiatan kejahatan tradisional di mana
komputer atau jaringan komputer digunakan untuk mempermudah atau
memungkinkan kejahatan itu terjadi.

Kemajuan teknologi telah berkembang sedemikian pesatnya. Teknologi


yang merupakan produk dari modernitas telah mengalami lompatan yang luar
biasa. Karena sedemikian pesatnya, pada gilirannya manusia, sang krator
teknologi itu sendiri kebingungan mengedalikannya. Bahkan bias dikatakan
teknologi berbalik arah mengendalikan manusia. Sebuah revolusi tengah
berlangsung dan kita berada di dalamnya. Sebagaimana revolusi-revolusi yang
lain, revolusi ini juga membawa perubahan-perubahan yang cepat, cenderung
menjungkirbalikkan tatanan-tatanan yang telah lama mapan dan membongkar
paradigma-paradigma lama. (Abdul Wahid, 2005:59).

Revolusi yang kini kian menghebat dn belum pernah terjadi sebelumnya


dalam sejarah umat manusia ini, memiliki cirri yang menonjol, yaitu kecepatan
(akselarasi). Terjadi perlombaan mempersempit jarak, dan upaya-upaya
penaklukan ruang melalui waktu. Revolusi tersbeut adalah revolusi teknologi
informasi (TI). Revolusi TI yang diawali dengan ditemukannya peralatan yang
disebut computer, dalam prosesnya telah membentuk dunia tersendiri, yaitu yang

1
dikenal dengan sebutan dunia maya (ciber space) atau alam semu (virtual).
Disebut dunia karena pada kenyataannya web-site interconnection atau system
jaringan kelompok dalam TI telah menjadi sub system besar tersendiri, yang
merupakan miniature dunia (Tubagus Rahman Nitibaskara, 2001:1).
Hadirnya masyarakat informasi (information society) yang diyakini
sebagai salah satu agenda penting masyarakat dunia di millennium ketiga, antara
lain ditandai dengan pemanfaatan internet yang semakin meluas dalam berbagai
aktivitas kehidupan manusia,, bukan saja di Negara-negar amaju, akan tetapi juga
di Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Fenomena ini pada
gilirannnya telah menempatkan “informasi” sebagai komoditas ekonomi yang
sangat penting dan menguntungkan. Untuk merespon perkembangan ini,
Amerika Serikat sebagai pioneer dalam pemanfaatan internet telah mengubah
paradigma ekonominya dari ekonomi yang berbasis manufaktur menjadi ekonomi
yang berbasis jasa (from a manufacturing based economy to a service based
economy). Perubahan ini ditandai dengan berkurangnya peranan traditional law
materials dan semakin meningkatnya peranan the law material of a service based
economy, yakni informasi dalam perekonomian Amerika (Atip Latifulhayat,
2000:1)
Di samping itu, mengingat karakteristik internet yang tidak mengenal
batas-batas territorial dan spenuhnya beroperasi secara virtual (maya) internet
juga melahirkan aktivitas-aktivitas baru yang tidak sepenuhnya dapat diatur oleh
hukum yang berlaku saat ini (the existing law). Kenyataan ini telah menyadarkan
masyarakat akan perlunya regulasi yang mengatur mengenai aktivitas-aktivitas
yang melibatkan internet.
Eksistensi internet selain menjanjikan sejumlah harapan, namun pada saat
yang bersamaan juga melahirkan kecemasan-kecemasan baru, antara lain
munculnya kejahatan baru yang lebh canggih dalam bentuk cyber crime, misalnya
munculnya situs-situs porno dan penyerangan terhadap privacy seseorang. Pada
perkembanganya, ternyata penggunaan internet tersebut membawa sisi negative,
dengan membuka peluang munculnya tindakan-tindakan anti-sosial dan perilaku
kejahatan yang selama ini dianggap tidak mungkin terjadi. Sebagaimana sebuah

2
teori mengatakan :”crime is a product of society its self”, yang secara sederhana
dapat diartikan bahwa masyarakat itu sendirilah yang melahirkan suatu kejahatan.
Semakin tinggi tingkat intelektualitas suatu masyarakat, semakin canggih pula
kejahatan yang mungkin terjadi dalam masyarakat itu.
Selain kriminalitas yang timbul di dunia maya, beberapa budaya baru yang
mempunyai artu penting bagi kepolisian juga timbul akibat adanya dunia baru
tersebut, yaitu adanya alamat perseorangan dalam dunia tersebut yang dikenal
dengan nama e-mail (electronic mail). Pada saat ini semakin banyak orang
melakukan korespondensi melalui e-mail daripada menggunakan surat biasa
karena lebih praktis, ekonomis, cepat dan aman serta dapat dikirim dan diterima
di mana saja. Dengan begitu maka system akses kepada seseorang sekarang juga
perlu memperhatikan bentuk-bentuk budaya tersebut. Sebagia contoh banyak
dimungkinkan saksi kunci yang ingin identitasnya tidak diketahui hanya mau
memberikan informasi, melalui dunia maya.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam pendahuluan, maka
masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan kejahatan computer dan kejahatan mayatara (cyber
crime) di Indonesia?
2. kendala-kendala apa yang dihadapi oleh Polri dalam penegakan hukum
terhadap kejahatan computer dan kejahatan mayantara?

C. Pembahasan
Untuk memberikan gambaran berikut dijelaskan beberapa hal yang
berkaitan dengan kejahatan mayantara.
1. Kejahatan Mayantara
Berkenaan dengan penggunaan istilah dan pendefinisian kejahatan computer
(computer crime) dan kejahatan mayantara (cyber crime) terhadap dikotomi
mengenai kedua bentuk kejahatan tersebut. Pandangan pertama berpendapat
bahwa kedua bentuk kejahatan tersebut adalah identik. Sedangkan pandangan

3
kedua membedakan kedua bentuk kejahatan tersebut berdasarkan modus dan
media yang digunakan.
Dikotomi Peristilahan
Identik  - Computer crime Tidak identik
- cyber crime

Computer related crime

Gambar : Skema Dikotomi computer Crime dan Cyber Crime

Pandangan yang mengidentikkan antara kejahatan computer


(computer crime) dan kejahatan mayantara (cyber crime), dapat dilihat dalam
The U.S Department of justice yang memberikan pengertian computer crime
sebagai “….any illegal act requiring knowledge of computer technology for
its perpetration, investigation or prosecution”. Pengertian lainnya diberikan
oleh Organization of European community Development yaitu : “any illegal,
unethical or uncouthorized behavior relating to the automatic processing
and/or the transmission of data”. Andi Hamzah dalam bukunya Aspek-aspek
pidana di Bidang Komputer (1989) mengatikan :” kejahatan di bidang
computer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan computer secara
illegal”. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, computer crime dirumuskan
sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan memakai
computer sebagai sarana/alat atau computer sebagai objek, baik untuk
memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain. Secara
ringkas computer crime didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum yang
dilakukan dengan menggunakan teknologi computer yang canggih
(Wisnubroto, 1999). Sedangkan yang dimaksud cyber crime adalah setiap
tindakan atau perilaku yang melanggar/melawan hukum, etika atau tanpa
kewenangan yang menyangkut pemprosesan data dan/atau pengiriman data.
Umumnya perbuatan tearsebut dilakukan dengan atau melalui perangkat
computer atau sarana digital dalam suatu dunia maya (cyber).

4
Mencermati kedua kesimpulan definisi tersebut dapat ditarik suatu
benang merah bahwa definisi mengenai kejahatan computer (computer crime)
di atas tidak menunjukkan definisi yang berbeda jika dibandingkan dengan
rumusan dalam mendefinisikan kejahatan mayantara (cyber crime).
Persamaan yang mengidentikan kedua bentuk kejahatan ini terletak pada nilai
illegal diri pribadi maupun tidak, tanpa membedakan mekanisme jaringan
yang digunakan.
Adapun pandangan kedua yang membedakan antara kejahatan
computer (computer crime) dan kejahatan mayantara (cyber crime)
berdasarkan modus dan media yang digunakan dapat ditemukan dalam
pandangan Nazura Abdul Manap sebagai berikut: “Pendefinisian secara luas,
kejahatan computer dapat meliputi lingkup luas bermacam-macam
pelanggaran, aktivitas atau isu criminal. Hal ini dikenal dengan kejahatan
yang dilakukan dengan computer sebagai alat dan melibatkan hubungan
langsung antara criminal dan computer. Contoh sebuah pegawai bank yang
tidak jujur yang secara tidak sah mentransfer uang konsumen kepada akun
tidur untuk kepentingannya sendiri atau orang yang tanpa izin memperoleh
akses terhadap computer orang lain secara langsung untuk mendown load
informasi yang terpercaya. Situasi ini membutuhkan akses langsung oleh
hacker kepada computer korban. Tidak ada saluran internet yang terlibat atau
hanya menggunakan jaringan terbatas seperti LAN (Local area network).
Sedangkan kejahatan mayantara (cyber crime) adalah kejahatan yang
dilakukan scara virtual melalui internet online. Ini berarti bahwa kejahatan
yang dilakukan dapat berkembang ke Negara lain yang berada di luar
yurisdiksi Negara tersebut (Abdul Wahid, 2005:42). Pada definisi kedua ini
dapat dilihat adanya sebuah prasarat hubungan secara langsung maupun
penggunaan system jaringan yang membedakan modus dan media saat tindak
pidana tersebut dilakukan.
Perkembangan terkini dalam pemanfaatan teknologi computer yang
sudah teritegrasi dengan dunia cyber (internet) memacu pola bergeliatnya
pengembanan bisnis dan persaingan perdagangan dunia secara pasif. Sebagai

5
media promosi, ekspansi pemasaran, pelayanan dan penyelenggaraan
transaksi on line, hingga perluasan pasar bisnis global, ternyata internet
mampu menjadi sarana yang handal dengan biaya yang relative rendah. Hal
inilah yang menarik para pegiat bisnis untuk mengoptimalkan media internet,
sehingga harapan perolehan profit yang terus meningkat dapat dicapai.
Namun dibalik hangar-bingar pemanfaatan dunia cyber sebagia medis
bisnis, tumbuh pula varian kejahatan baru di bidang bisnis dan ekonomi yang
juga menggunakan fasilitas internet untuk melancarkan aksinya. Meskipun
hingga saat ini tidak ada definisi yang diterima secara umum mengenai istilah
kejahatan ekonomi (economic crime) atau kejahatan bisnis (business crimes),
namun sebuah rumusan definisi tentang kejahatan ekonomi berikut dapat saja
digunakan sebagai pijakan secara umum. Kejahatan ekonomi (economic
crimes) atau kejahatan bisnis (business crimes) disebut sebagai kejahatan yang
dilakukan karena atau untuk motif-motif ekonomi (crime undertaken for
economic motives). Berdasarkan kajian pustaka dari beberapa literature dan
penelitian tedahulu, perkembangan kejahatan ekonomi di bidang cyber ini
menunjukkan garis linear terhadap pemanfaatan media dan teknologi
informasi di dunia cyber dalam kancah bisnis dan perdagangan global.
Tengok saja ketika perdagangan konfensional antar Negara sudah berubah kea
rah electronic commerce (e-commerce), munculnya kesadaran melindungi
intangible asset sebagai kekayaan intelektual di dunia bisnis, penggunaan
dunia cyber dalam on-line banking dan mekanisme penyelesaian sengketa
bisnis yang bersifat virtual (on line dispute resolution), hingga mudahnya
berkomunikasi bisnis dan perdagangan cia VoIP, e mail maupun chatting,
maka serbuan kejahatan bisnis melalui penyalahgunaan fasilitas internetpun
bermunculan. Sebagia contoh p[erbuatan—perbuatan yang dapat
dikategorikan sebagia business crimes, meliputi bankruptcy frauds, bribery,
embexelement and theft, false claim against the government, food, drug and
cosmetics offences, violation of securities laws, monopolies and antitrust
offences, and computer crimes (Hoeber dalam Sunaryati Hartono (1985:3)).

6
Menurut Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, jika ketentuan-
ketentuan yang ada sekarang dapat dipakai untuk menangani kasus cyber
crime, maka pelaksanaannya berbeda dengan penegakan hukum di dunia
biasa, khususnya yang harus dilakukan aparat kepolisian. Senjata utamanya
bukan senjata api atau pentungan, meklainkan ketrampilan teknis dalam
bidang teknologi informasi. Untuk menanggulangi cyber crime, maka sesuai
dengan pendapat Soerjono Soekanto (1987) tentang factor-faktor yang
berperan dalam penegakan hukum yaitu :
a. Adanya aturan
b. Adanya lembaga yang akan yang menjalankan aturan
c. Adanya fasilitas yang mendukung pelaksanaan peraturan
d. Adanya kesadaran hukum dari masyarakat yang terkena peraturan itu.
Maka keempat factor itu perlu dilihat dengan paradigma baru, yaitu
paradigma cyber. Menurut Fattah (1997), kearah mana kejahatan berkembang
sulit diramalkan karena banyak factor penyebab yang bertumpuk disitu.
Sehingga penanganan kejahatanpun menjadi bersifat spekulatif dan
controversial. Sedangkan menurut Andi HAmzah (1996), kejahatan-kejahatan
sifatnya netral untuk dilarang artinya netral diliaht dari ideology, interes dan
wawasan suatu bangsa, , misalnya kejahatan computer maka seharusnya
diancam dengan pidana atau dengan kata lain diserahkan kepada hukum
pidana untuk ditanggulangi. Sedangkan menurut Jan Smits (1991), dunia
jurisdis tidak mengenal masalah perkembangan teknik. Tantangan bagi para
ahli hukum memang bukan tertuju pada pendalaman alat-alat teknis. Mereka
tidak perlu mendalami alat-alat Bantu itu dan memang yang lebih diperlukan
adalah materi yang berkenaan dengan hukum (pidana). Para ahli hukum
memfokuskan perhatian pada masalah tindakan yang harus diberikan untuk
menghadapi pelanggaran-pelanggaran.
Jadi hukum mempunyai alat untuk menghadapi hamper semua
kasus hukum seiring dengan perkembangan dan kemutahiran peradaban baru
ini.

7
2. Perkembangan Kejahatan computer dan Kejahatan Mayantara (cyber
crime) di Indonesia.
Pada bab sebelumnya telah dikemukakan bahwa semua perumusan
atau batasan yang diberikan mengenai kejahatan computer (computer crime),
penyalahgunaan computer (computer misuse) maupun kejahatan mayantara
(cyber crime), secara umum dapat disimpulkan sebagai perbuatan atau
tindakan yang dilakukan dengan menggunakan computer sebagai alat/sarana
untuk melakukan tindak pidana, atau justru computer itu sendiri menjadi
objek dari tindak pidana. Dengan demikian pandangan terhadap kedua jenis
kejahatan yang melibatkan computer mengalami defiasi artikulasi cakupan
secara sempit dan luas. Dalam arti sempit kejahatan computer adalan suatu
perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan teknologi computer yang
canggih. Sedangkan dalam arti luas kejahatan komnputer merupakan suatu
perbuatan melawan hukum yang tidak hanya menggunakan teknologi
computer yang canggih, namun melibatkan pula jaringan global informasi dan
perangkat elektronik computer dan non computer yang mampu mengakses
jaringan untuk melancarkan aksi pelanggaran hukum tersebut. Berpijak dari
definisi tersebut,d alam pembahasan penelitian ini perkembangan klejahatan
computer dan kejahatan mayantara tidak dipandang sebagai sesuatu yang
parsial namun merupakan sebuah rangkaian yang menunjukkan luasan
cakupan perkembangannya.
Selanjutnya untuk mengetahui perkembangan suatu obyek yang
diamati dalam penelitian, indikator pembanding mutlak diperlukan untuk
mendeteksinya. Oleh sebab itu berkenaan dengan perkembangan kejahatan
computer dan kejahatan mayantara, selain menggunakan indicator
pembanding pemanfaatan teknologi informasi pada masa awal
berkembangnya sebuah teknologi hingga munculnya sebuah modus baru
dalam kejahatan computer dan kejahatan mayantara, peneliti juga
menggunakan indikaotr persebaran lingkup kejahatan yang menggunakan
aplikasi dunia maya oleh pelaku cyber crime dari waktu ke waktu. Sehingga
sesuai dengan namanya, alur berfikir pengungkapan kejahatan jenis ini

8
berkembang secara linier seiring dengan perkembangan tekbologi computer
dan inovasi yang berlangsung di dunia cyber itu sendiri.
Mencermati perkembangan teknologi computer dari generasi ke generasi
pada table di atas, dapat dilihat bahwa dari masa ke masa teknologikomputer
mengalami penyempurnaan dari segi pemanfatan perangkat keras yang
semakin ringkas, aplikasi yang terfokus dan lebih memberikan perhatian
kepad apengguna (user), ukuran dan akselerasi akses yang semakin ringan dan
cepat, volume kapasitas memori yang semakin besar, peningkatan fungsi
pemprograman yang semakin cerdas, hinggadaya tahan produk yang teruji
kehandalannya. Dapat dilihat pula bahwa di samping perangkat keras
(hardware) yang terus berbenah, di sisi lain bermacam aplikasi perangkat
lunak (software) yang memberi daya dukung pada pemanfaatan aplikasi
computer tidak kalah dalam memutahirkan inovasi. Sehingga saat ini
bermacam aplikasi mulai dari program standar pengetikan dan perhitungan ala
perkantoran, hingga aplikasi rekayasa animasi tiga dimensi dan analisis
statistic aritmatik yang rumit hingga digunakan dengan sangat mudah.
Perpaduan perangkat keras dan perangkat lunak pada sebuah produk
teknologi computer menghasilkan sinergi yang semakin berganda ketika
masing-masing komponen tersebut terhubung dalam sebuah jaringan
informasi dan komunikasi global yang disebut internet. Bahkan bahkan
perkembangannya internet telah mengalami proses pemutahiran yang sangat
luar biasa. Saat ini menurut para pakar dan pengamat teknologi infomrasi (TI),
internet telah memasuki generasi kedua. Kondisi semacam ini membuka
peluang tidak hanya bagi hal-hal yang positif seperti perluasan transaksi
bisnis, dan peningkatan perdagangan di dunia maya yang kita kenal dengan
aktifitas e-commerce tetapi juga berpeluang membuka celah untuk melakukan
bermacam aktivitas criminal bagi para pelakunya. Pada bagan di bawah ini
diuraikan tentang cirri-ciri dan perbandingan antara internet genreasi pertama
dengan internet generasi kedua.
Kejahatan computer dan kejahatan mayantara (cyber crime) dalam
perkemabngannya menunjukkan kerumitannya, baik dalam tataran kualitas

9
maupun kuantitasnya. Ditemukan jenis dan modus kejahatan computer dan
kejahatan mayantara yang dahulu hanya dilakukan di dunia nyata, saat ini
sudah merambah ke dunia maya, seperti penipuan dan pengancaman melalui
fasilitas internet. Terdapat pula lompatan besar beberapa jenis kejahatan yang
sebelumnya tidak ditemui pada masa awal pemanfaatan teknologi informasi
pada internet generasi pertama, tiba-tiba muncul pada internet generasi kedua
karena membutuhkan supporting system yang memang hanya tersedia pada
internet generasi kedua, seperti carding, deface, web trap dsb. Selain itu
tampak pula bahwa cyber crime dalam modus operandinya menggunakan
kekinian teknologi informasi. Karakteristik ini mengharuskan pelaku untuk
mempunyai pengetahuan dan senantiasa mengikuti perkembangan inovasi
dunia teknologi informasi. Sifat inilah yang membedakannya dengan
karakteristik kejahatan konvensional lainnya.
Perkembangan lingkup kejahatan yang berhubungan erat dengan
penggunaan teknologi yang berbasis utama computer dan jaringan
telekomunikasi ini dalam perkembangannya yang terkini telah merambah
kearah kegiatan bisnis yang berlangsung di dunia maya. Dapat dicermati
bahwa kejahatan di sector bisnia yang memanfaatkan fasilitas dunia maya
mulai marak ketika dunia mulai mengenalkan metode baru perdagangan via
internet, tanpa harus bertatap muka, ukup bertukar informasi dan data, inilah
yang disebut dengan e-commerce atau perdagangan elektronik . pada awalnya
electronic commerce (E-commerce) bergerak dalam bidang retail seperti
perdagangan CD atau buku lewat situs dalam world wide web (www). Tapi
saat ini e-commerce sudah melangkah jauh menjangkau aktivitas-aktivitas di
bidang perbankan dan jasa asuransi yang meliputi antara lain account inquries,
loan transaction dan sebagainya. Sampai saat ini belum ada pengertian yang
tunggal mengenai e-commerce dan tampaknya e-commerce ini merupakan
salah satu aktivitas cyberspace yang berkembang sangat pesat dan agresif.
Secara singkat e-commerce dapat dipahami sebagai transaksi
perdagangan baik barang maupun jasa lewat media elektronik. Dalam
oeprasionalnya e-commerce ini dapat berbentuk B to B (business to business)

10
atau B to C ( business to comsumers). Khusus untuk yang terakhir (B to C)
karena pada umumnya posisi konsumen tidak sekuat perusahaan dapat
menimbulkan beberapa persoalan yang menyebabkan para konsumen perlu
hati-hati dalam melakukan transaksi melalui internet. Persoalan tersebut
antara lain menyangkut masalah mekanisme pembayaran (payment
mechanism) dan jaminan keamanan dalam bertransaksi (security risk),
maupun personalan jaminan keamanan dalam e-commerce pada umumnya
menyangkut transfer informasi mengenai data-data credit card dan data-data
individual konsumen.
Pada perkembangan selanjutnya, tidak hanya terbatas pada transaksi dan
aplikasi e-commerce namun berbagai aspek yang berhubungan dengan
perdagangan di dunia maya juga mulai terimbas oleh kejahatan yang terjadi di
ranah maya. Salah satu fenomena yang menonjol adalah kejahatan bisnis yang
menyangkut hak atas kekayaan intelektual orang yang terkait dengan bisnis..
Kejahatan ini dikenal sebagai offense against intellectual property. Yaitu
kejahatan yang ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki
pihak lain di internet. Sebagai contoh adalah peniruan tampilan pada web page
suatu situs milik orang lain secara illegal, penyiaran suatu informasi di
internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain dan sebagainya.
Varian lain yang tidak kalah menghebohkan adalah pembajakan software
yang sempat menjadi tren dewasa ini. Pihak produsen software dapat
kehilangan profit karena karyanya dapat dibajak melalui down load dari
internet dan dicopy ke dalam CD-Room yang selanjutnya diperbanyak secara
illegal tanpa seizing pencipta atau pemegang royaltinya.
Bentuk-bentuk kejahatan lain seperti yang cukup popular dilakukan
akhir-akhir ini antara lain credit card fraud, stock exchange fraud, banking
fraud, child pornography, dan drug trafficking hanyalah sebagian kecil
indicator perkembangan modus kejahatan di sector bisnis via internet, yang
justru semakin mengukuhkan bahwa lingkup kejahatan di sector e-commerce
dan bisnis dunia maya semakin berkembang dan berkembang.

11
3. Kendala-kendala yang dihadapi oleh POLRI dalam penegakan hukum
terhadap kejahatan computer dan kejahatan mayantara
a. Kesadaran Hukum Masyarakat
Proses penegakan hukum pada dasarnya merupakan upaya
mewujudkan keadilan dan ketertiban di dalam kehidupan masyarakat.
Melalui system peradilan pidana dan system pemidanaan, pada dasarnya
hak-hak warga Negara yang terganggu akibat perbuatan melawan hukum
seseorang akan diseimbangkan kembali. Cyber crime maupun computer
crime adalah perbuatan yang tercela dan melanggar kepatutan di dalam
masyarakat serta melanggar hukum, sekalipun hingga saat ini sukar untuk
menemukan norma hukum yang secara khusus mengatur cyber crime dan
computer crime. Oleh karena itu peran masyarakat dalam upaya
penegakan hukum terhadap cyber crime dan computer crime adalah
penting untuk menentukan sifat yang dapat dicela dan melanggar
kepatutan masyarakat dari suatu perbuatan cyber crime dan computer
crime.
Hingga saat ini kesadaran hukum masyarakat Indonesia dalam
merespon aktivitas cyber crime dan computer crime masih dirasakan
kurang. Hal ini disebabkan antara lain oleh kurangnya pemahaman dan
pengetahuan (lock of information) masyarakat terhadap jenis kejahatan
cyber crime dan computer crime. Lack of information ini menyebabkan
upaya penanggulangan cyber crime dan computer crime mengalami
kendala. Dalam hal ini kendala yang dimaksud berkenaan dengan
penataan hukum dan proses pengawasan (controlling) masyarakat
terhadap setiap aktivitas yang diduga berkaitan dengan cyber crime dan
computer crime. Kendala yang pertama yaitu mengenai proses penataan
terhadap hukum, jika masyarakat Indonesia memiliki pemahaman yang
benar akan tindak pidana cyber crime dan computer crime, maka baik
secara langsung maupun tidak langsung masyarakat akan membentuk
suatu pola penataan. Pola penataan ini dapat didasarkan karena rasa takut
terhadap akibat ancaman pidana yang dikenakan bila melakukan perbuatan

12
cyber crime dan computer crime, atau pola penataan ini tumbuh atas
kesadaran mereka sendiri sebagai masyarakat hukum. Melalui pemahaman
yang komperhensif mengenai cyber crime dan computer crime peran
masyarakat menjadi sangat penting dalam upaya pengawasan, sehingga
ketika masyarakat mengalami lack of information, maka kendala kedua
yaitu peran pengawasan masyarakat akan menjadi mandul pola.
Kesadaran Hukum Masyarakat
Cyber crime Pola penataan Penegakan Hukum
Computer crime Law enforcement
Pola pengawasan

Factor Pengaruh Kesadaran Hukum masyarakat terhadap


Penegakan Hukum Computer Crime dan Cyber Crime

Lain halnya dengan delik-delik konvensional, seperti pencurian,


perkosaan atau pembunuhan, masyarakat secara umum telah mengetahui
apa yang dimaksud dengan bermacam kejahatan konvensional tersebut,
sehingga ketika ada warga masyarakat yang dicurigai akan melakukan
pencurian, perkosaan atau pembunuhan, masyarakat sekitar dapat
mengantisipasinya, atau jika telah terjadi suatu tindak pidana konvensional
dalam suatu masyarakat, warga sekitar segera melaporkan kepada aparat
kepolisian setempat. Pola pengenalan dan upaya pencegahan yang dapat
dilakukan masyarakat terhadap tindak pidana konvensional ini
menunjukkan bahwa tingkah laku criminal adalah tingkah laku yang
dipelajari (learning process), sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa
hal yang sama juga dapat dilakukan terhadap kejahatan computer dan
kejahatan mayantara. Hal ini sejalan dengan teori differencial association
yang mengemukakan bahwa tingkah laku criminal adalah sama dengan
tingkah laku non criminal, yang diperoleh melalui proses belajar.
Sehingga untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat, dibutuhkan
pula proses pengenalan dan pembelajaran berkenaan dengan kejahatan
computer dan kejahatan mayantara yang marak saat ini. Beberapa prinsip

13
penting yang menumbuhkan kesadaran hukum bagi masyarakat antara lain
:
1) Tingkah laku criminal (dalam hal ini cyber crime dan computer crime)
dapat dipelajari dan merupakan proses pembelajaran.
2) Tingkah laku criminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan
orang lain melalui suatu proses komunikasi.
3) Bagian penting dari mempelajari tingkah laku criminal terjadi dalam
kelompok intim.
4. Mempelajari tingkah laku criminal, mencakup didalamnya mengenai
teknik melakukan kejahatan dan motivasi/dorongan atua alas an
pembenar seseorang melakukan tindak pidana.
5. Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan
perundang-undangan, maupun melalui aspek psykologis menyukai
atau tidak menyukai dalam melakukan tindak pidana.
6. Seseorang menjadi”deliquent’ karena penghayatan terhadap peraturan
perundangan lebih suka melanggar daripada menaatinya.
7. Asosiasi differensial ini bervariasi bergantung dari frekuensi, duration,
priority dan intensity.
8. Proses mempelajari tingkah laku kriminil melalui pergaulan dengan
pola criminal dan anti criminal melibatkan semua mekanisme yang
berlaku dalam setiap proses belajar.
9. Sekalipun tingkah laku criminal merupakan pencerminan dari
kebutuhan-kebutuhan umum dan lain-lain, akan tetapi tingkah laku
kriminil tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan
nilaiu-nilai tadi, oleh karena tingkah laku non criminal pun merupakan
pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama.

b. Faktor Keamanan
Rasa aman tentunya akan dirasakan oleh pelaku kejahatan (cyber
crime) pada saat sedang menjalankan “aksinya”. Hal ini tidak lain karena
internet lazim digunakan di tempat-tempat yang relative tertutup, seperti di

14
rumah, kamar, tempat kerja, perpustakaan, bahkan di warung internet
(warnet). Aktifitas yang dilakukan oleh pelaku di tempat-tempat tersebut
sulit untuk diketahui oleh pihak luar. Artinya pada saat pelaku sedang
melakukan tindak pidana/kejahatan, sangat jarang orang luar
mengetahuinya. Hal ini sangat berbeda dengan kejahatan-kejahatan yang
sifatnya konvensional, yasng pelakunya akan mudah diketahui secara fisik
ketika sedang melakukan ‘aksinya’. Begitu pula ketika sang pelaku sedang
berkasi di tempat terbuka, tidak mudah orang lain mengetahui aksinya.
Misalnya di warnet yang tanpa menyekat ruangan, sangat sulit bagi orang
awam untuk mengetahui bahwa seseorang sedang melakukan tindak
pidana. Orang lain akan beranggapan bahwa pelaku sedang menggunakan
computer untuk kepentingan biasa, padahal sebenarnya ia sedang
melakukan tindak kejahatan. Kondisi ini akan membuat sang pelaku
semakin berani. Disamping itu, apabila pelaku telah melakukan tindak
pidana, maka dengan mudah pelaku dapat menghapus semua jejak
kejahatan yang telah dilakukan, mengingat internet menyediakan fasilitas
proxy server untuk mengelabui lokasi akses, maupun menghapuskan
data/file yang ada. Akibatnya pada saat pelaku tertangkap sukar bagi
aparat penegak hukum untuk menemukan bukti-bukti kejahatan.
Dalam hal ini lagi-lagi peran masyarakat maupun diri pribadi si pelaku
turut menjadi factor yang menentukan kadar rasa aman dalam melakukan
suatu tindak pidana. Menurut kacamata kriminologi, rasa aman atau tidak
dapat diukur dari dua factor, yaitu factor luas (masyarakat) maupun factor
dalam (diri pribadi). Teori yang mengemukakan hal ini adalah theory of
social control and containment. Teori ini mengetengahkan bahwa
pembahasan delikuensi dan kejahatan dikaitkan dengan variable-variabel
yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan,
kelompok dominant. Teori ini memandang bahwa manusia hakekatnya
merupakan makhluk yang mempunyai moral murni. Oleh karena itu setiap
individu bebas melakukan sesuatu. Kebabasan ini akan membawa pada
pilihan antara taat pada hukum atau melanggar aturan hukum. Berkaitan

15
dengan teori control ini, dapat dibedakan dua macam control yaitu
personal control dan social control. Yang dimaksud dengan personal
control yaitu kemampuan orang untuk tidak mencapai kebutuhannya
dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Sementara itu, yang dimaksud social control yaitu kemampuan kelompok
social atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk melaksanakan norma-
norma atau peraturan-peraturan menjadi efektif. Sehingga dapat ditarik
benang merah bahwa factor keamanan inipun sangat dipengaruhi
bagaimana personal control dan social control memainkan perannya dalam
pencegahan tindak pidana kejahatan computer dan kejahatan mayantara
sebagaimana tergambar dalam skema berikut.

Personal Control

Cyber crime Penegakan Hukum


Rasa Aman dalam Melakukan
Computer crime Law enforcement
Tindak pidana
Social control

Gambar : Skema
Faktor Keamanan Melakukan Tindak Pidana Terhadap
Penegakan Hukum Computer Crime dan Cyber Crime

c. Faktor Penegak hukum


Factor penegak hukum sering menjadi penyebab maraknya kejahatan
cyber crime dan computer crime. Hal ini dilatarbelakangi masih sedikitnya
aparat penegak hukum yang memahami seluk beluk teknologi informasi
(internet), sehingga pada saat pelaku tindak pidana ditangkap, aparat
penegak hukum masih mengalami kesulitan untuk menemukan alat bukti
yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku.terlebih apabila kejahatan
yang dilakukan memiliki system pengoperasian yang sangat rumit.
Permasalahan kesiapan sumber daya manusia dalam menghadapi varian
modus baru kejahatan computer dan kejahatan mayantara di tingkatan
POLRI ini semakin terasa di lingkup daerah. Hal ini tidak lain karena

16
masih banyak institusi kepolsian di daerah baik di Polres terlebih di
tingkat polsek, belum dilengkapi dengan jaringan internet. Perlu diketahui
dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, memungkinkan
kejahatan dilakukan di satu daerah namun akibat yang ditimbulkan dapat
terjadi di daerah lain, bahkan hingga ke luar negeri. Sehingga dari sebuah
kasus, anggota POLRI dihadapkan dengan turunan permasalahan lain
seperti masalah yurisdiksi, cara penyidikan dan pelacakan pelaku,
penemuan alat bukti cyber hingga kekuatan alat bukti, dan pembuatan
berita acaranya yang notabene belum ada paying diilustrasikan bahwa
hubungan antara kesiapan aparat penegak hukum terhadap peningkatan
kejahatan computer dan kejahatan mayantara adalah berbanding terbalik
sebagaimana dapat dilihat dalam diagram berikut.
X : Kesiapan SDM POLRI

Y : Tingkat Kejahatan Komputer


dan kejahatan mayantara

Gambar :
Diagram Hubungan Kesiapan POLRI dan Tingkat Kejahatan

Melalui diagram tersebut, tergambar bahwa semakin siap aparat


maka akan menurunkan tingkat kejahatan computer dan kejahatan
mayantera, demikian pula sebaliknya, ketika kesiapan aparat menurun maka
kejahatan computer dan kejahatan mayantara semakin meningkat. Hal ini
dapat dipahami karena factor kesiapan aparat penegak hukum merupakan
factor penekan dalam menghadapi maraknya kejahatan computer dan
kecakapan sumber daya manusia dan sumber daya teknologi POLRI dalam
mengendus pontensi dan peluang terjadinya tindak pidana dengan kemajuan
teknologi informasi terkini.

17
d. Faktor Ketiadaan Peraturan Hukum
Preubahan-perubahan social dan perubahan-perubahan hukum tidak
selalu berlangsung bersama-sama, artinya pada keadaan-keadaan tertentu
perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsure-unsur
lainnya dari masyarakat. Begitu pula dengan perkembangan hukum di tengah-
tengah teknologi informasi sangat dirasakan jauh tertinggal.
Di Indonesia cyber crime dan computer crime memang sulit untuk
dinyatakan atau dikategorikan sebagai tindak pidana karena terbentur oleh
asas legalitas. Dalam konteks upaya penegakan hukum terhadap pelaku cyber
crime, tentunya asas ini cenderung sangat membatasai penegak hukum di
Indonesia untuk melakukan aturan undang-undang yang mengatur cyber crime
dan computer crime, belum tersedia. Apalagi asas legalitas ini tidak
membolehkan adanya suatu analogi untuk menentukan perbuatan pidana.
Keadaan seperti inilah yang disebut dengan istilah anomie, yaitu keadaan
normlessness yang menunjukkan kepada total absence of norms, atau disebut
pula deregulation menunjukkan pada fanability of norms to control or
regulate behaviour. Teori anomie ini oleh Durkhein diyakini bahwa jika
sebuah masyarakat yang sederhana berkembang menuju masyarakat modern
dan kota, maka kedekatan inti (intimacy) yang dibutuhkan untuk melanjutkan
satu set norma-norma umum (a common set of rules) akan runtuh. Kelompok-
kelompok menjadi teprisah-pisah dan dalam ketiadaan satu set aturan umum,
tindakan-tindakan dan harapan-harapanb orang di satu sector mungkin
bertentangan dengan tindakan an harapan orang lain. Dengan tidak dapat
diprediksikannya perilaku yang demikian, system tersebut secara bertahap
akan runtuh, dan masyarakat itu berada dalam kondisi anomie (Topo Santoso,
2002:59). Inilah yang tejradi ketika tatanan teknologi mendahului hukum
dengan begitu pesat sedangkan aturan hukum semakin tertinggal dan
kehilangan jangkauannya. Tatanan hukum konvensional pidana mateiil dalam
KUHP sangat sulit menjangkau kejahatan computer dan kejahatan mayantara
yang berkembang luas dengan bermacam variannya dan mempunyai efek
lintas ruang dan waktu serta batas territorial Negara. Sehingga keadaan tanpa

18
hukum seakan tercipta bagi para pelaku tindak pidana kejahatan computer dan
kejahatan mayantara karena ketiadaan hukum yang mengatur tindakannya
tersebut. Efek domino yang terjadi adalah tidak adanya rasa takut untuk
berbuat merugikan terhadap orang lain di dunia maya, yang pada akhirnya
memunculkan bermacam varian baru dalam kejahatan computer dan kejahatan
mayantara yang semakin sulit ditanggulangi oleh ‘tangan hukum’.

Hukum convention cyber crime


masyar
crime akat computer crime

Teknologi

Gambar….Perbandingan Percepatan Hukum dan Teknologi


Namun demikian meskipun penerapan asas legalitas ini tidak boleh
disimpangi, tetapi dalam tataran praktis asas ini tidak diterapkan secara tegas atau
diperkenankan untuk terdapat pengecualian. Dalam era demokrasi, perumusan
peraturan hukum harus mempertimbangkan secara komprehensif beragam dimensi
persoalan. Semua aspirasi dan berbagai kepentingan harus diselaraskan dan
diserasikan agar kekosonga hukum tidak terjadi.

D. Penutup
1. Kesimpulan
Dari paparan tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Pesatnya kejahatan computer dan kejahatan mayantara berkembang secara
linier seiiring dengan perkembangan teknologi computer dan inovasi yang
berlangsung di alam dunia cyber. Perkembangan teknologi computer yang
sudah memasuki generasi kelima, dan perkembangan teknologi computer
yang memasuki generasi ke dua, semakin memberikan kemudahan bagi setiap
orng untuk mengakses bermacam informasi di dunia maya, tidak terbatas pula

19
bagi para pelaku kejahatan computer dan kejahatan mayantara untuk
menjalankan aksinya. Pada akhirnya muncullah bermacam varian kejahatan
computer dan kejahatan mayantara dengan modusnya yang terus berkembang,
serta cakupan yang lebih luas. Jikalau pada awal perkembangan teknologi
informasi hanya terbatas pada akses illegal, pada perkembangan terkini,
cakupan kejahatan dan kejahatan mayantara sudah memasuki ranah system
keamanan computer dan bahkan memasuki kegiatan bisnis di dunia maya
yang dikenal dengan e-commerce fraud, tax, stock exchange fraud hingga
intellectual property right fraud.
b. mengenai kendala-kendala yang dihadapai aparat penegak hukum khususnya
POLRI dalam memberantas aksi kejahatan computer dan kejahatan mayantara
pada prinsipnya sama dengan menemukan factor pendorong laju pertumbuhan
computer crime maupun cyber crime di Indonesia. Terdapat empat macam
factor yang menjadi kendala penegakan hukum kejahatan computer dan
kejahatan mayantara yaitu:
a. Faktor kesadaran hukum masyarakat, yang dapat dijelaskan melalui teori
differencial association.
b. Faktor keamanan yang dapat dijelaskan melalui teori social control and
containment.
c. Faktor Penegakan Hukum yang dapat dijelaskan melalui teori diagram
hubungan kesiapan aparat penegak hukum dengan tingkat perkembangan
kejahatan computer dan kejahatan mayantara.
d. Faktor ketiadaan peraturan hukum yang dapat dijelaskan melalui teori anomie.

2. Saran
Bebeapa msaran yang dapat penulis sampaiakan adalah :
a. Mengingat masih minimnya kesadaran hukum sebagian masyarakat kita akan
akses negative pemanfaatan computer dan dunia mayantara sebagai sasaran
kejahatan, maka dipandang perlu digalakkannya usaha-usaha sosialisasi dan
edukasi mengenai arti penting teknologi informasi dengan segala peluang dan
resiko yang menggelayutinya. Sehingga diharapkan tumbuh rasa peka dan

20
kesadaran dikalangan masyarakat, yang pada akhirnya terbentuk pola
penataan dan control social terhadap potensi terjadinya kejahatan computer
dan kejahatan mayantara.
b. diperlukan kesatuan cara pandang antara masyarakat, pemerintah dan aparat
penegak hukum bahwa kejahatan computer dan kejahatan mayantara
merupakan jenis tindak pidana yang harus mendapat prioritas penanganan
secara khusus karena sifatnya yang merusak dalam sekala yang lebih luas
(borderless) dan memberi efek nyata seketika (real time). Penanganan khusus
ini dapat dikembangkan sejalan dengan perkembangan terkini teknologi dalam
tataran praktis maupun melalui prioritas pembahasan rancangan undang-
undang telematika (cyber law) dalam tataran yuridis.
c. Perlu diupayakan adanya forum komunikasi secara berkesinambungan antara
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sebagai wahana tukar menukar
informasi maupun kebijakan yang dilakukan instansi masing-masing dalam
memerangi kejahatan computer dan kejahatan mayantara.

21
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid dan Mohammad Labib, 2005, Kejahatan Mayantara (cyber


crime), Bandung, Refika Aditama.

Agus Raharjo, 2002. Cyber Crime Pemahaman dan Upaya Pencegahan


Kejahatan Berteknologi, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Andi Hamzah, 1989, Aspek-aspek Segi Pidana Di Bidang Komputer, Jakarta,


Sinar Grafika.

___________, 1996, Hukum Pidana yang Berkaitan dengan computer,


Jakarta, Sinar Grafika.ber Crime : Sebuah Fenomena di Dunia Maya,
http:/.com

Asril Sitompul, 2001, Hukum Internet Pengenalan mengenai Masalah Hukum


di Cyber Space, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Atip Latifulhayat, 2000. Cyber Law dan Urgensinya Bagi Indonesia, Makalah
pada Seminar tentang Cyber Law, Jakarta 29 Juli 2000.

Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni.

__________, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya


Bakti.

Ellen Podgar, 1993, White Collar Crime, St. Paul.Minn, west Publishing Co.

Heru Supratomo, 1996, Hukum dan computer, Bandung, Alumni.

Jan Smits, 1991, Komputer : Suatu Tantangan Baru di Bidang Hukum


(pengantar), Surabaya, Airlangga University Press

Lexy J. Moleong, 1993, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT


Remaja Rosdakarya.

Mieke Komar Kantaatmaja, 2002. Cyber Crime Suatu Pengantar, Bandung,


UNPAD (ELIPS).

Roy Suryo, 2000, Mendesak: Cyber Law untuk Indonesia, Makalah pada
diskusi yang diadakan oleh disinfolahta Mabes Polri pada bulan Juli
tahun 2000.

22
Soeharto, 2002, Kekuatan Hukum Pembuktian Secara Elektronik, makalah
Seminar, Jakarta 10 Juli 2002.

Soerjono Soekanto, 1983, Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat,


Bandung, Alumni.

Susan W Brenner, 2001, Virtual crime: the issues, California Criminal Law
review, Edisi 11, http:/www.boalt.org/CCLR/V4.

Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, 2001, Ketika Kejahatan Berdaulat,


Sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi, Jakarta ,
Penerbit Peradaban.

Yusril Ihza Mahendra, 2000, Regulasi Cyberspace di Indonesia, Disampaikan


pada Seminar nasional “REgulasi Cyberspace di Indonesia, yang
diselenggarakan oleh yayasan Cipta bangsa, tanggal 29 Juli 2000.

Harian Bisnis Indonesia, 7 Juli tahun 2011.

Harian Kompas, 11 Agustus 1999.

23

Anda mungkin juga menyukai