Anda di halaman 1dari 14

YURISDIKSI KEJAHATAN SIBER: BORDERLESS

Jhos Franklin Kemit (1312100154)

Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Jfranklink11@gmail.com

Vany Agatha H (1312100207)

Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Vanyaagatha11@gmail.com

Abstact

Information and communication technology has had both positive and negative impacts, significantly
influencing the behavior of society and the global civilization. Moreover,the development of information
technology has enabled the world to be more efficiently and economically connected, without borders. Currently,
cyber law, internationally referred to as the legal framework concerning the use of information technology, is
used interchangeably with the term “telematics law”. The term “telematics law”is used in this article based on
the idea that telematics, when associated with “virtual space,” encounters challenges in terms of evidentiary
enforcement. Speaking issues in the realm of telematics or the virtual space, various types of cybercrime have
emerged, exploiting the current advancements that allow internet users to bypass the jurisdictional boundaries
of their respective countries. Jurisdictional issues on the internet are related to law enforcement between nations
or on global scale. Due to the vast and widespread potential locus delicti in cybercrime, the implementation of
jurisdiction is not an easy matter.

Key Word: Cybercrime, Jurisdiction, International, Locus Delicti.

Abstrak

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memiliki dampak positif dan negatif yang
signifikan pada perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global. Kemajuan ini telah
memungkinkan terjadinya keterhubungan dunia yang lebih efisien dan tanpa batas. Di era ini, hukum
siber atau cyber law telah digunakan secara internasional untuk mengatur penggunaan teknologi
informasi, juga dikenal sebagai hukum telematika. Dalam konteks ini, istilah hukum telematika
digunakan karena tantangan pembuktian dalam penegakan hukum di dunia maya dapat menjadi
kompleks. Dalam ranah telematika atau dunia maya, muncul berbagai jenis kejahatan yang
memanfaatkan kemajuan teknologi saat ini, memungkinkan pengguna internet untuk melampaui
batas yurisdiksi negara mereka. Masalah yurisdiksi di internet terkait dengan penegakan hukum
lintas negara atau global, dan penerapannya bukanlah hal yang mudah karena potensi locus delicti
(tempat terjadinya kejahatan) dalam kejahatan siber yang luas dan tersebar.

Kata Kunci: Kejahatan Siber, Yurisdiksi, Internasional, Locus Delicti.

Pendahuluan

Dampak Covid-19 pada saat ini masih terasa hingga sekarang yang dimana
masyarakat yang dihimbau untuk tidak kontak fisik atau bertemu langsung untuk
menghindari penyebaran virus covid-19 yang banyak memakan korban jiwa. Masyarakat
yang membutuhkan biaya dalam penghidupan dirinya atau keluarganya banyak beralih
beraktifitas secara daring atau online melalui jaringan internet dan juga masyarakat banyak
yang beralih berselancar didalam internet untuk mencari hiburan. Dari peralihan aktifitas
tersebut aktifitas dunia dapat disebut dengan “Web of the world” pada saat komunikasi
antarmanusia menggunakan komunikasi bergerak atau benda bergerak seperti smartphone,
laptop, komputer yang terkoneksi dengan internet yang dapat menghubungkan dunia fisik
kedalam suatu jaringan.1

"Web of the world" merupakan metafora untuk menggambarkan dua sisi yang
berbeda, karena selain memberikan kontribusi pada peningkatan kesejahteraan, kemajuan,
dan peradaban manusia, internet juga menjadi sarana yang efektif untuk kegiatan yang
melanggar hukum. Akses yang mudah dilakukan dari berbagai tempat di seluruh dunia
menyebabkan kerugian dapat dialami oleh siapa saja, termasuk pihak yang tidak memiliki
hubungan langsung. Sebagai contoh, pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan
online. Selain itu, masalah pembuktian menjadi faktor penting karena data elektronik dapat
dipalsukan, disadap, dan rentan diubah, kemudian dikirim ke seluruh dunia dalam
hitungan detik. Dampaknya terjadi dengan cepat dan bisa sangat merusak.2

Kegiatan dunia maya atau lebih dikenal sebagai kegiatan siber, dapat dianggap
sebagai tindakan hukum yang nyata, meskipun dilakukan secara virtual. Dalam konteks
hukum, ruang siber tidak lagi memperhatikan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional
dalam mengkategorikan sesuatu sebagai objek perbuatan. Jika pendekatan tersebut diambil,
akan timbul banyak ketidakpastian dalam hukum. Kegiatan siber merupakan kegiatan
virtual yang memiliki dampak yang sangat nyata. Meskipun buktinya bersifat elektronik.
Oleh karena itu pelaku kegiatan siber juga harus dikategorikan sebagai orang yang secara
nyata melakukan perbuatan hukum.

Metode

Dalam penulisan artikel ini, kami menerapkan metode deskriptif analitis dengan
menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan ini didukung oleh data bahan
primer, sekunder, dan tersier yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, literatur
hukum, dan buku-buku terkait. Untuk mengumpulkan data, kami menggunakan teknik
studi kepustakaan yang fokus pada hukum siber dan hukum internasional.

Hasil Dan Pembahasan

I. Kejahatan Siber

Penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi dengan niat jahat untuk


melakukan kejahatan dan menyebabkan kerugian bagi orang lain, dikenal sebagai
cybercrime. Cybercrime merupakan bentuk kejahatan yang relatif baru dalam era modern
ini, yang muncul seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dibandingkan dengan kejahatan konvensional, cybercrime merupakan jenis


kejahatan yang relatif baru. Ronni R. Nitibaskara berpendapat bahwa interaksi sosial yang
sering terjadi dalam bentuk virtual atau dunia maya, tanpa melibatkan interaksi fisik
langsung, adalah salah satu karakteristik revolusi teknologi informasi. Oleh karena itu,
1
Ahmad Ramli, “Teknologi Informasi, Eksistensi Hak Kekayaan Intlektual, dan Urgensi Hukum Siber (Cyber
Law) dalam Sistem Hukum Nasional.” PT Refika Aditama, Bandung, 2010.,hlm. 1-3.
2
Maman Budiman, “Kejahatan Korporasi Indonesia”, Setara Press, Malang, 2020. Hlm. 8-15.
penyimpangan dari interaksi virtual ini dalam bentuk kejahatan siber akan beradaptasi
dengan karakteristik baru tersebut.3

Pada rentang waktu antara 1983 dan 1988, Organisasi Kerjasama Ekonomi dan
Pembangunan (OECD) melakukan upaya internasional pertama dalam memerangi
kejahatan siber yang tidak pidana.

Beberapa tindakan yang diusulkan untuk dijadikan kejahatan dalam hukum pidana nasional
adalah sebagai berikut:

1. Melakukan manipulasi data komputer atau program komputer, seperti memasukkan,


mengubah, menghapus, atau menyembunyikan data dengan maksud ilegal untuk
mentransfer dana atau aset lainnya, Pemalsuan dan menggangu sistem komputer
lainnya.
2. Melanggar hak eksklusif atas program komputer yang dilindungi dengan sengaja
untuk kepentingan komersial.
3. Mengakses atau menyadap sistem komputer atau telekomunikasi tanpa izin dari
pihak yang bertanggung jawab atas sistem tersebut, baik melalui pelanggaran sistem
keamanan maupun untuk tujuan jahat lainnya.

Pada tahun 1990, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi dalam


Kongres PBB ke-8 mengenai Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Pelaku yang
menyuarakan pentingnya pemantauan terhadap kejahatan terkait komputer. Resolusi
tersebut mendorong negara-negara untuk meningkatkan upaya mereka dalam melawan
kejahatan terkait komputer dengan mengimplementasikan tindakan-tindakan berikut ini:

1. Mengubah undang-undang pidana dan prosedur hukum pidana nasional agar sesuai
dengan perkembangan zaman dan memastikan bahwa mereka efektif dalam
menangani kejahatan siber.
2. Meningkatkan langkah-langkah keamanan komputer dan tindakan pencegahan,
sambil mempertimbangkan isu-isu terkait privasi, penghormatan terhadap hak asasi
manusia, kebebasan individu, dan mengatur penggunaan serta pemanfaatan
komputer.
3. Memberikan pendidikan kepada masyarakat dan aparat penegak hukum mengenai
permasalahan kejahatan terkait komputer serta kesadaran akan pentingnya
pencegahan kejahatan tersebut.
4. Menyelenggarakan pelatihan yang memadai bagi hakim, aparat penegak hukum,
dan pejabat yang bertanggung jawab dalam usaha pencegahan, penyelidikan,
penuntutan, dan pengadilan kasus-kasus kejahatan siber.
5. Membangun kemitraan dengan organisasi-organisasi terkait untuk mengintegrasikan
nilai-nilai etika dalam pengajaran dan pelatihan di bidang informatika sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari kurikulum dan etika profesional.

3
Admad M. Ramli, “Perkembangan Cyber Law Global dan Implikasinya Bagi Indonesia” , Telematika
Indonesia, Jakarta, 2004, Hlm. 5-6
G8, yang terdiri dari Kanada, Jerman, Prancis, Italia, Jepang, Inggris, Amerika
Serikat, dan Rusia, merupakan sebuah kelompok negara-negara industri. G8 mencapai
kesepakatan mengenai sepuluh prinsip dalam upaya melawan kejahatan teknologi tinggi, di
antaranya adalah:

1) Tidak ada tempat perlindungan bagi individu yang menyalahgunakan teknologi


informasi.

2) Penyelidikan dan penuntutan terhadap pelaku kejahatan siber internasional harus


dilakukan dengan koordinasi antara negara-negara yang terkait, tanpa memperhatikan
yurisdiksi di mana kerugian terjadi.

3) Aparat penegak hukum harus menerima pelatihan yang memadai dalam menangani
kejahatan siber.

4) Sistem hukum harus melindungi kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data dan
sistem dari kerusakan yang disebabkan oleh kejahatan siber, serta menjamin
adanyasanksi administratif, perdata,dan pidana terhadap tindakan tersebut.

5) Sistem harus memungkinkan pengamanan data elektronik dan akses cepat ke data
elektronik yang penting dalam keberhasilan investigasi kejahatan.

6) Rezim bantuan timbal balik harus memastikan perolehan dan pertukaran bukti
dengan cepat dalam kasus kejahatan siber internasional.

7) Akses elektronik lintas batas oleh aparat penegak hukum terhadap informasi yang
dapat diakses oleh publik tidak memerlukan persetujuan atau izin dari negara di mana
data tersebut diperoleh atau berada.

8) Harus ada pengembangan dan implementasi standar forensik untuk mendapatkan


dan mengesahkan data elektronik dalam proses penyelidikan dan penuntutan.

9) Sistem informasi dan telekomunikasi harus dirancang untuk membantu mencegah


dan mendeteksi penyalahgunaan jaringan, serta dapat digunakan untuk melacak dan
mengidentifikasi pelaku kejahatan serta mengumpulkan bukti.

10) Kegiatan dalam bidang ini harus dikoordinasikan dengan forum internasional lain
yang relevan untuk menghindari tumpang tindih.

Pada tahun 2001, Dewan Eropa (CoE) mengusulkan Konvensi tentang Kejahatan
Siber yang didorong oleh Uni Eropa. Konvensi tentang Kejahatan Siber 2001 adalah
peraturan internasional pertama yang mengatur tindak pidana siber dan menjadi acuan
dalam pengaturan tindak pidana siber dalam hukum nasional.

Jonathan Rosenoer dalam bukunya "Cyber Law: The Law of Internet"


menggambarkan cakupan hukum siber.

Ruang lingkup hukum siber


 Hak Cipta  Tanggung Jawab Pidana
 Merek Dagang  Procedural Issues (Jurisdiction, investigation,
evidence, etc)
 Pencemaran nama baik  Kontrak Elektronik
 Ujaran kebencian  Pornografi
 Hacking, viruses, illegal  Pencurian Data
access
 Regulasi Sumber daya  Perlindungan Konsumen
Internet
 Privasi  E-Commerce, E-Goverment
 Kewajiban Keberatan

Jenis-jenis Kejahatan Siber meliputi:


1. Akses Tanpa Izin
2. Konten Ilegal
3. Penyebaran Virus
4. Hacking dan Cracker
5. Penculikan Data

Saat ini, istilah kejahatan siber merujuk pada tindak kejahatan yang dilakukan
melalui dunia maya (cyberspace) dengan menggunakan perangkat seperti komputer,
smartphone, laptop, dan teknologi lainnya. Kejahatan siber adalah bentuk kejahatan baru
dan canggih yang bersifat lintas negara dan tidak terbatas oleh batas yurisdiksi suatu negara.
Hal ini mendorong komunitas internasional untuk bekerja sama dalam upaya pencegahan
kejahatan siber dan mengadopsi langkah-langkah preventif.

II. Yurisdiksi

Jurisdiction atau yurisdiksi, yang berasal dari bahasa Latin "yurisdictio", memiliki
makna sebagai berikut:

a. Yurisdiksi adalah kepemilikan yang ditentukan oleh hukum.


b. Yurisdiksi adalah hak yang didasarkan pada hukum.
c. Yurisdiksi adalah kekuasaan yang ditentukan oleh hukum.
d. Yurisdiksi adalah kewenangan yang berdasarkan pada hukum.

Yurisdiksi merupakan prinsip dasar dalam kedaulatan negara. Suatu negara diakui
berdaulat dengan memiliki yurisdiksinya sendiri. Menurut Hans Kelsen, prinsip hukum "Par
in Parem Non Habet Imperium" menyatakan bahwa suatu negara tidak dapat menjalankan
yurisdiksi pengadilan terhadap tindakan negara lain kecuali negara tersebut memberikan
persetujuan. Selain itu, pengadilan yang didirikan berdasarkan perjanjian internasional tidak
dapat mengadili tindakan negara yang tidak menjadi anggota perjanjian internasional
tersebut. Selanjutnya, pengadilan suatu negara tidak memiliki wewenang untuk
mempertanyakan legitimasi tindakan negara lain yang dilakukan di wilayah negara
tersebut.

Mengklasifikasikan Yurisdiksi

1. Yurisdiksi Teritorial
Penerapan undang-undang pidana suatu negara sesuai dengan Pasal 2 KUHP
mencakup Prinsip Teritorial, yang berarti bahwa tindak pidana yang dilakukan di wilayah
Indonesia dapat dikenakan hukuman. Berdasarkan prinsip ini, negara memiliki
yurisdiksinya terhadap semua individu, baik warga negara asing maupun badan hukum,
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 KUHP. Pendapat Hakim Lord Macmillan mengenai
Prinsip Teritorial menyatakan bahwa negara memiliki yurisdiksi terhadap semua individu,
objek, serta perkara pidana atau perdata dalam batas wilayahnya, yang menjadi simbol
kedaulatan negara.

2. Yurisdiksi Individual

Pada pasal 3 dan 5 KUHP yang dipahami sebagai prinsip nasional aktif bahwa suatu
negara dapat mengadili atau memberikan perlindungan dipromatik terhadap warga
negaranya yang melakukan tindak pidana diluar batas kedaulatan negaranya berasal.

3. Yurisdiksi Perlindungan

Pasal 4 KUHP mengatur bahwa peraturan hukum pidana Indonesia berlaku


terhadap tindak pidana yang merugikan kepentingan hukum negara Indonesia, baik
dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun oleh pihak asing di luar wilayah Indonesia.
Berdasarkan ketentuan tersebut, beberapa contoh tindak pidana yang merugikan
kepentingan hukum negara Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Tindak kejahatan yang melanggar keamanan, integritas, atau reputasi Presiden dan
Wakil Presiden RI.
2. Tindak kejahatan yang melibatkan pemalsuan mata uang dan materai yang
digunakan oleh pemerintah Indonesia.
3. Tindak kejahatan yang melibatkan pemalsuan surat-surat hutang atau sertifikat
utang yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia.
4. Tindak kejahatan yang melibatkan pembajakan kapal laut dan pesawat udara yang
merupakan milik Indonesia.

4. Yurisdiksi Universal

Dalam upaya menjaga keamanan dan ketertiban dunia, setiap negara memiliki
tanggung jawab bersama untuk ikut serta. Prinsip ini juga diterapkan dalam undang-
undang hukum pidana Indonesia, seperti yang diatur dalam Pasal 438 dan 444 KUHP, yang
mengancamkan pidana yang berat terhadap tindakan pembajakan kapal..

Dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (4) KUHP juga terdapat ketentuan mengenai
yurisdiksi universal, yaitu ketika suatu kejahatan mengancam kepentingan dan keselamatan
warga sipil Indonesia serta melibatkan kepentingan-kepentingan negara lain yang
dilindungi oleh ketentuan pidana tersebut. Dalam konteks internasional, terdapat tiga jenis
yurisdiksi yang diakui, yaitu: yurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction
to prescribe), yurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan yurisdiksi
untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate). Terkait dengan penentuan hukum yang
berlaku, ada beberapa prinsip yang umum digunakan.
1. Prinsip territorialitas subjektif adalah ketentuan bahwa berlakunya hukum
ditentukan oleh lokasi di mana tindakan dilakukan, dan penyelesaian tindak pidana
dapat dilakukan di negara yang berbeda.
2. Prinsip territorialitas objektif menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah
hukum di negara di mana akibat utama tindakan tersebut terjadi.
3. Asas kewarganegaraan adalah prinsip bahwa hukum yang berlaku didasarkan pada
kewarganegaraan pelaku.
4. Asas kewarganegaraan pasif adalah prinsip bahwa hukum yang berlaku didasarkan
pada kewarganegaraan korban.
5. Asas perlindungan adalah prinsip bahwa hukum yang berlaku ditentukan oleh
keinginan negara untuk melindungi kepentingan negaranya dari kejahatan yang
dilakukan di luar wilayahnya.
6. Asas universalitas adalah prinsip bahwa kejahatan lintas negara yang dianggap
sangat serius, seperti pembajakan dan terorisme (kejahatan terhadap kemanusiaan),
tunduk pada yurisdiksi semua negara.

Yurisdiksi Kejahatan Siber

Banyaknya masalah hukum yang muncul dalam pengungkapan kejahatan di dunia


maya oleh aparat penegak hukum, terutama dalam kasus kejahatan siber yang melibatkan
unsur asing, menimbulkan kompleksitas terkait yurisdiksi atau kewenangan suatu negara
dalam menangkap, menahan, menuntut, dan mengadili pelaku kejahatan tersebut. Hal ini
dapat mengganggu kepentingan beberapa negara yang terlibat dalam kasus tersebut.

Yurisdiksi memiliki peran yang sangat penting dalam pengungkapan kejahatan siber
yang bersifat internasional. Dengan adanya kejelasan mengenai yurisdiksi, suatu negara
dapat dikenal dan diakui memiliki kedaulatan penuh. Kekuasaan ini juga harus dihormati
oleh negara lain sebagaimana mereka menghormati kekuasaan atau kedaulatan negara lain.

Yurisdiksi mencakup kekuasaan pengadilan, yaitu lingkup kekuasaan kehakiman


dalam hal peradilan, hak dan kewajiban, serta tanggung jawab di suatu negara atau wilayah,
serta kekuasaan hukum secara umum. Yurisdiksi melibatkan kompetensi atau kekuasaan
hukum terhadap subjek hukum, termasuk individu, benda, atau peristiwa hukum di negara
yang merdeka, termasuk wilayah darat, laut, dan udara.

Yurisdiksi konvensional suatu negara diakui oleh hukum internasional dengan


batasan geografis tertentu. Namun, teknologi informasi dan transaksi elektronik bersifat
internasional dan tanpa batas, sehingga belum ada kejelasan mengenai yurisdiksi suatu
negara terkait tindakan preventif dan represif terhadap kejahatan siber yang bersifat tanpa
batas.

Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-undang No. 11


Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur bahwa pemerintah
Indonesia memiliki yurisdiksi untuk menutup akses atau sistem informasi yang melanggar
undang-undang. Selain itu, penyidik memiliki kewenangan dalam melakukan penyelidikan
dan penyitaan terhadap instrumen yang diduga terlibat dalam kejahatan siber, sebagaimana
diatur dalam Pasal 43 ayat (3), (4), (5) huruf h, dan (7a).
JENIS-JENIS YURISDIKSI

Menurut Masaki Harmano ada tiga jenis yaitu yurisdiksi tradisional sebagai landasan
analisa tentang permasalahan dalam yurisdiksi kejahatan siber.4

1. Yurisdiksi Legislatif

Yurisdiksi legislatif adalah kewenangan suatu negara dalam membuat undang-


undang untuk kepentingan masyarakat, dengan memperhatikan kepastian hukum dan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat saat ini. Dalam konteks kejahatan siber yang
melintasi batas negara, sering kali terjadi kebingungan mengenai negara mana yang
memiliki wewenang terhadap aktivitas yang dilakukan oleh individu di dunia maya,
sehingga muncul masalah seperti "pilihan hukum" atau "choice of law".

2. Yurisdiksi Untuk Mengadili

Yurisdiksi untuk mengadili didefinisikan sebagai wewenang negara untuk


melakukan proses pemeriksaan acara pada seseorang pang patut diduga sebagai orang yang
melakukan kejahatan siber. Pada yurisdiksi ini, masalah yang muncul adalah “choice of
forum”

3. Yurisdiksi Untuk Melaksanakan

Yurisdiksi untuk melaksanakan wewenang negara untuk melaksanakan eksekusi


terhadap pelaku kejahatan untuk melakukan penghukuman, baik memalui pengadilan atau
pengenaan sanksi adnistratif atau tuntutan untuk membayar ganti rugi.

Masaki harmano membedakan pengertian yurisdiksi siber dari sudut pandang dunia
virtual (maya) dari sudut hukum. Dari sudut dunia maya, yurisdiksi siber sering diartikan
sebagai (Kekuasaan sistem operator dan para user atau pengguna untuk menetapkan aturan
dan melaksanakannya pada komunitas pengguna (users) di ruang virtual. Dari sudut
hukum, yurisdiksi siber adalah kekuasaan secara fisik oleh pemerintah dan kewenangan
mengadili terhadap pengguna internet atau terhadap aktivitas mereka di ruang siber.

Menurut kutipan Masaki Harmano yang disebutkan oleh Barda Nawawi Arief,
terdapat tiga wilayah yurisdiksi yang terkait dengan pengaturan dan pelaksanaan
pengawasan di dunia maya atau ruang siber. Ketiga kategori yurisdiksi tersebut meliputi
yurisdiksi legislatif, yurisdiksi yudisial, dan yurisdiksi eksekutif. Dalam konteks ini, negara
memiliki kekuasaan untuk membuat undang-undang yang berkaitan dengan ruang siber,
menjalankan sistem peradilan untuk menyelesaikan sengketa yang muncul, dan
melaksanakan tindakan eksekutif untuk mengawasi dan menegakkan hukum terkait dengan
peristiwa, objek, dan individu yang berada di ruang siber.5
4
Masaki Harmano, “Comparative Study in The Approach to Jurisdiction In Cyberspac” Chapter: The
Principle of Juridiction,, hal.I. lihat dalam.Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2006.,hal.27-28.

5
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2003, Hal 253.
Berdasarkan tiga yurisdiksi oleh Masaki Harmano tersebut, bahwa perbuatan yang
bertentangan dengan UU ITE ketika warganegara Indonesia melakukan tindak pidana diluar
Indonesia (Asas Nasioanlitas aktif) tanpa akibat yag dirasakan di Indonesia. Masalah yang
dibahas dalam kutipan tersebut terkait dengan yurisdiksi yudisial dan yurisdiksi eksekutif
dalam konteks ruang siber. Yurisdiksi yudisial mencakup kekuasaan untuk mengadili dan
menetapkan hukum, sedangkan yurisdiksi eksekutif melibatkan pelaksanaan putusan dan
tindakan terkait. Kedua yurisdiksi ini sangat terkait dengan kedaulatan wilayah dan hukum
masing-masing negara. Setiap negara memiliki kebebasan dalam menentukan konstitusi dan
sistem hukumnya sendiri, dan tidak dapat memaksakan hukumnya kepada negara lain yang
bertentangan dengan kedaulatan dan konstitusi negara tersebut. Oleh karena itu, aturan
hukum hanya berlaku di negara yang bersangkutan. Dalam mengatasi kejahatan siber,
penting adanya kesepakatan internasional dan kerjasama antara negara-negara untuk
bekerja sama dalam menangani kejahatan siber..

Dalam tulisannya yang berjudul "Jurisdiction in Cyberspace: A Theory of International


Spaces,"6 Darrel Menthe menyebutkan tentang keberadaan wilayah teritorial yang tunduk
pada hukum internasional yang disebut "ruang internasional" atau "international spaces."
Saat ini, ada tiga jenis ruang internasional yang disebutkan, yaitu Antartika, angkasa luar,
dan lautan luas. Dalam konteks dunia maya atau ruang siber, yurisdiksi menghadapi
tantangan dalam hal konsep pengadilan domestik dan pengadilan asing yang serupa.
Berbeda dengan yurisdiksi tradisional yang melibatkan dua atau tiga yurisdiksi yang saling
bertentangan, dalam kasus kejahatan siber, hukum yang berlaku cenderung bersifat
universal dan tidak terbatas pada wilayah tertentu.

Pengakuan Darrel Menthe terhadap pembedaan tiga jenis Yurisdiksi yang diakui
secara internasional, yaitu: jurisdiction to prescibe (yurisdiksi legislatif), jurisdiction to adjudicate
(yurisdiksi yudikatif), dan jurisdiction to enforce (yurisdiksi eksekutif).7

Dalam kegiatan dunia maya, Darrel Menthe mengatakan bahwa yurisdiksi di dunia
maya membutuhkan prinsip-prinsip jelas dan yang berakar dari hukum internasional, dan
hanya melalui prinsip-prinsip yurisdiksi dalam hukum internasional ini negara-negara
dapat dihimbau untuk mengadopsi pemecahan yang sama terhadap pertanyaan mengenai
yurisdiksi internet.

Beberapa teori Darrel Menthe yang berlaku di Amerika Serikat tentang dunia maya.

1. The Theory of The Uploader and The Downloader


Dalam teori ini penguna daripada jaringan internet dalam dunia maya yang
diklasifikasikan ada dua hal utama yang dilakukan untuk saling berinteraksi yaitu
uploader sebagai pihak yang memberikan informasi kedalam dunia maya dan
downloader yaitu pihak yang mengakses informasi, atau pengguna melakukan
6
Darrel Menthe, Jurisdiction in Cyberspaces : A Theory of International Spaces, diakses di
http://www.mttlr.org/vlogfour/menthe.html, hlm. 2. Cf. Walker, Clive, Andrew Ashworth, the
criminal law review, special Edition, Sweet and Maxwell, 1998, hlm. 51 dst. Cf. Koop, Bert-Jaap,(ed.),
ICT Law and Internationalisation, A Survey Of Government Views, Kluwer Law International, 2000, hlm. 40-
dst.
7
Darrel Menthe, Jurisdiction in Cyberspaces : A Theory of International Spaces, diakses di
http://www.mttlr.org/vlogfour/menthe.html
keduanya dalam interaksinya dalam dunia maya. Suatu negara dapat membatasi
atau melarang terhadap kegiatan uploader dan downloader jika menggangu atau
bertentangan dengan kepentingan negara.
2. The Theory of The Law of The Server
Menurut teori ini, sebuah halaman web yang dihosting oleh server di Stanford
University dianggap berada di lokasi fisik dan tunduk pada hukum California.
Namun, penerapan teori ini menjadi sulit karena seringkali pengguna yang
mengunggah konten berada di yurisdiksi asing atau mentransmisikan data secara
anonim, sehingga lokasinya sulit untuk diketahui.
3. The Theory of International Spaces
Menurut teori ini, hukum dalam dunia maya dianggap sebagai lingkungan hukum
yang terpisah dan independen dari hukum konvensional. Setiap negara memiliki
kedaulatan yang sama di dalamnya. Dalam teori ini, Darrel Menthe mengusulkan
bahwa dunia maya harus diakui sebagai "Ruang Keempat" (Fourth Space). Dalam
hukum internasional, ada pemahaman tentang ruang dimensi luar angkasa sebagai
"ruang dimensi keempat," di mana kegiatan yang terjadi di sana diatur secara kolektif
oleh negara-negara. Analogi ini diterapkan pada kegiatan di dunia maya, di mana
semua kegiatan di dalamnya diatur secara bersama oleh negara-negara..

David R. Jhonson dan David G. Post dalam artikelnya berjudul “And How Should the Internet
Be Governet?” memberikan 4 kriteria yaitu:8

1. Badan-badan pengadilan atau pejabat yang berwewenang sebagai pelaksana kontrol


(the exixting judicial forums)
2. Penguasa Nasional melakukan kesepakatan internasional mengenai “the governance of
cyberspace”
3. Pembentukan suatu organisasi internasional baru ( A New International Organization)
yang secara khusus menangani masalah-masalah di dunia internet
4. Pemerintah/ pengaturan tersendiri (self-governance) oleh para pengguna internet.

Jhonson dan Post berpendapat bahwa ruang siber harus dibedakan dengan prinsip-
prinsip tradisional (due Process and Personal Jurisdiction), yang jika dipersamakan akan
mengacaukan apabila diterapkan. Dengan perkembangan jaman hukum konvensional
menjadi tidak dapat mengikuti untuk memberklakukan peraturan konvensional yang oleh
karena hal itu dibutuhkan peraturan penyimpangan atau hukum khusus. Ruang siber harus
diberlakukan secara terpisah dari dunia nyata dengan menerapkan hukum yang berbeda
untuk ruang siber.

Cristoper Doran berpendapat bahwa pandangan Jhonson dan Post tidak dapat
diteapkannya yurisdiksi personal terhadap para terdakwa internet, bukanlah pandangan
yang menonjol dan berpengaruh. Demikian juga dengan Masaki harmano berpendapat
bahwa ide Jhonson dan Post tidak terwujud dalam kenyataan.menurut Masaki Harmano,
sekalipun banyak kasus kasus hukum yang berhubungan dengan dunia siber, namun
pengadilan-pengadilan di Amerika serikat telah menerima pendekatan tradisional terhadap
sengkata yurisdiksi ruang siber daripada membuat aturan baru mengenai hukum siber.
8
David R. Jhonson and David Post, “Law And Borders: The Rise Of Law In Cyberspace”, 481 Standford law
Review 1996, hlm. 1367.
Penyelesaian masalah yurisdiksi dalam dunia maya menjadi sulit karena tidak ada
satu negara pun yang memiliki wewenang tunggal untuk menetapkan yurisdiksi di ruang
siber. Hal ini disebabkan oleh kesulitan dalam menentukan lokasi geografis yang jelas dari
wilayah ruang siber itu sendiri.

Menghadapi masalah yurisdiksi di dunia maya, dengan memperhatikan ketentuan-


ketentuan dalam convention on cybercrime, Barda Nawawi memgemukakan prinsip-prinsip
universal dan prinsip Ubikuitas (The principle of Ubiquity), Prinsip Ubikuitas menyatakan
bahwa tindak pidana yang dilakukan di beberapa wilayah negara dan melibatkan bagian
dari wilayah teritorial negara lain harus dapat diperlakukan di bawah yurisdiksi setiap
negara yang terlibat. Prinsip Ubikuitas tersebut pernah dinyatakan dalam ”International
Meeting of Experts on The Use Of Criminal Section in the Protection of Environment,
Internationally, Domestic and regionally Di Portland, Oregon, Amerika Serikat tanggan 19-23
maret 1994.

Pandangan Soedarto.bahwa untuk menuntut seseorang di depan pengadilan perihal


tindak pidana, maka harus pasti untuk tempat dan waktu kejadian tindak pidana. Ketentuan
untuk waktu diperlukan untuk.apakah undang-undang yang terkait dapat di tetapkan
terhadap tindak pidana itu. Sedangkan ketentuan tentang tempat diperlukan untuk
menentukan daripada prinsip yurisdiksi Indonesia dan kompetensi relatif tentang
pengadilan yang berkompeten untuk mengadili tindak pidana tersebut.9

Locus Delicti yaitu tempat teradinya peristiwa pidana, yang ilmu hukum pidana dan
yurisprudensi telah mengememukakan beberapa teori, yaitu:

1. Teori Perbuatan Materiil (leer van de lichamelijke daad)

Locus delicti berdasarkan teori diatas adalah tempat dimana terdakwa melakukan
tindak pidana atau delik. Locus delicti adalah tempat dimana perbuatan terjadi supaya delik
dapat dilakukan oleh pembuat atau tersangka/terdakwa. Waktu dan tempat pelaku dalam
melakukan tindak pidana haruslah sama ketika perbuatan materiil diadakan dapat menjadi
waktu delik.

2. Teori Instrumen Atau Alat Yang Digunakan

Teori perbuatan materiil dianggap kurang bisa menyelesaikan kesulitan-kesulitan


yang timbul, dengan teori instrumen ini unsur-unsur daripada delik dapat menyelesaikan
daripada proses penyidikan dan penuntutan pada persidangan atau sebagai alat bukti
dalam persidangan.

3. Teori Akibat

Dalam menyelesaikan masalah dalam hal menentukan dimana locus Delicti itu
dilakukan. Untuk memenuhi daripada unsur-unsur tindak pidana teori terakhir adalah teori
akibat yang dimana dengan adanya waktu dan tempat, alat untuk melakukan tindak pidana
dan akibat dari tindak pidana tersebut,

9
Soedarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1991, hlm. 26-37.
Acuan untuk menentukan yurisdiksi sampai saat ini belum ada kepastian
berdasarkan teori-teori yang diungkapkan diatas sebagai acuan untuk menentukan
yurisdiksi mana kejahatan siber tersebut untuk diadili, karena kejahatan siber memang
bersifat transnasional sehingga setiap negara yang memiliki kepintingan berhak mengadili
menurut yurisdiksinya. Kejahatan siber juga harus memperhatikan dampak dan seberapa
besar kerugian yang ditimbulkannya. Penting untuk memperhatikan dampak dan tingkat
kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan siber. Kejahatan siber yang memiliki dampak
yang luas, termasuk yang terkait dengan masalah kedaulatan negara, keamanan, dan
kemanusiaan, menjadi sangat penting. Oleh karena itu, kerjasama antarnegara dan
kerjasama internasional sangat penting dalam menangani kejahatan siber tersebut. Dalam
konteks ini, pendapat beberapa ahli hukum dapat menjadi acuan dalam menentukan
yurisdiksi mana yang berwenang untuk mengadili kejahatan siber tersebut.

Menurut asas au dedere au judicare. merupakan salah satu pedoman yang dapat
dijadikan tolak ukur dalam hal penanggulangan tindak pidana internasional, secara tersurat
asas ini menyebutkan “bahwa setiap negara berkewajiban untuk berkolaborasi dengan
negara lain untuk dapat menuntut serta mengadili setiap orang yang patut diduga telah
melakukan suatu tindak pidana internasional. Tentang masalah yurisdiksi siber

Kesimpulan

Perkembangan teknologi dan internet telah menciptakan tantangan baru dalam


penegakan hukum terkait kejahatan siber. Kejahatan siber tidak mengenal batas negara dan
sering kali dilakukan oleh pelaku yang beroperasi di wilayah yang berbeda. Hal ini
menciptakan kesulitan dalam menentukan yurisdiksi yang bertanggungjawab untuk
menangani kasus-kasus tersebut. Ketika terjadi kejahatan siber, hukum yang berlaku di
wilayah satu tidak selalu bisa diterapkan di wilayah lain. Proses penyidikan dan penuntutan
menjadi rumit karena perbendaan hukum antarnegara. Selain itu, pelaku kejahatan sering
menggunakan teknologi dan alat-alat untuk menyembunyikan identitas mereka yang
membut proses penangkapan dan penuntutan menjadi lebih sulit.

Untuk mengatasi tantangan tersebut kerjasama internasional menjadi sangat penting.


Negara-negara harus bekerjasama untuk meningkatkan pertukaran informasi, hukum yang
berlaku, dan standar keamanan siber. Perlunya upaya kolaboratif antara lembaga penegak
hukum, pemerintah, dan sektor swasta untuk memerangi kejahatan siber, dan perlunya
upaya pemerintah untuk mengembangkan kerangka hukum yang lebih efektif dalam
menangani kejahatan siber yang melintasi batas negara. Hal ini termasuk menyusun
perjanjian bilateral atau multilateral yang memfasilitasi ekstradisi dan penuntutan pelaku
kejahatan siber. Berdasarkan konteks tersebut peran lembaga internasional seperti interpol
dan forum-forum internasional yang berkaitan dengan kejahatan siber menjadi krusial.
Mereka dapat menjadi platform untuk membagi informasi, koordinasi tindakan, dan
pengembangan kerangka kerja hukum yang lebih kokoh. Secara keseluruhan, menghadapi
kejahatan siber yang tidak mengenali batas negara membutuhkan pendekatan yang
terkoordinasi dan kolabolatif dari berbagai pihak. Hanya dari kerjasama yang kuat dan
kerangka hukum yang efektif kita dapat meningkatkan kemampuan untuk mengatasi
ancaman kejahatan siber di era yang semakin terhubung ini (Web Of The World).

Ucapan Terimakasih
Kami sangat berterima kasih kepada Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, pemberi
data, informan, dan responden atas dukungan dan kontribusinya yang berharga dalam
penulisan artikel ini. Terimakasih atas waktu, pengetahuan, dan data yang telah diberikan.
Kami menghargai upaya dan kerjasama yang telah diberikan, yang telah memungkinkan
kami untuk menyusun artikel ini dengan baik. Ucapan terimakasih yang tulus kami
sampaikan kepada semua pihak yang telah berperan dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad M. Ramli, Cyber Law dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia. Edisi ketiga,Bandung:
PT Refika Aditama.2010.

Bu, Qingxiu (2018) Extraterritirial jurisdiction vis-a-vis sovereignty in tracking transnasional


counterfeits: between a rock and a hard place. Sussex Search Online. Available:
http://sro.sussex.ac.uk/id/eprint/76457/

Borka Jerman-Blazic, Tomaz Klobucar, “A New Legal Framework for Cross-Border Data
Collection In Crime Investigation amongst Selected European Counties,”Internasional
Crimonal Journal of Cyber Criminology. Vol. 13(2): 270-289. July-December, 2019.

Xiaobing Li, Yongfeng Quin (2018) Research on Criminal Jurisdiction of Computer Cyber Crime.
Elsevier Ltd. Available: https://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0

Nehaluddin Ahmad, Norulaziemah Zulkiffle, “Jurisdiction Issues in Cyberspace: An


Overview in Respect of Brunei and Malaysia Compared to the United States System.”
Journal of Southeast Asian Research. Vol. 2022(2022), Article ID 384427.
Alexandra Perloff-Giles, “Transnasional Cyber Offenses: Overcoming Jurisdictional
Challenges,” The Yale Journal of International Law. Vol. 43:191.2017.

Yuxuan Li, “The Legal Dilemma of Criminal Jurisdiction of Cybercrime in China And The
Way to improve it,” A Holl et al. (Eds.): ICHESS 2022, ASSEHR 720, PP. 3-15, 2022.

Yuliana Surya Galih, “Yurisdiksi Hukum Pidana Dalam Dunia Maya,” Vol. 7, No.1-
Maret,2019.

Dudi Badruzaman, “Kajian Hukum Tentang Internet Mobile Dalam Upaya Pencegahan D
ampak Negatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia,” Ajidikasi: Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 3, No.2.- Desember,2019.

Yulia P., Hanna P., Iryana B., “Jurisdictional Issues In The Digital Age,” Revista de Derecho,
Vol. 10 (I) 2021.-April, 2021

Cristos Velasco, “Cybercrime Jurisdiction: Past, Present and Future,” ERA Forum,
DOI10.1007/s12027-015-0379-y. June, 2015.

Ni Luh Ketut Dewi Yani Putri, “ Konstruksi Hukum dalam Pembuktian Terhadap Kejahatan
Mayaantara,” Jurnal Kertha Semaya,Vol. 8, No. 8, E-ISSN: No 2303-0569, 2020.

Andysah Putera Utama S., “Pelanggaran Cybercrime dan Kekuatan Yurisdiksi di Indonesia,”
Jurnal Teknik dan Informatika, Vo.5, No.1-Januari, 2018.

Prasetiyo, Mukhtar Zuhdy, “Penegakan Hukum Oleh Aparat penyidik Cyber Crime dalam
Kejahatan Dunia Maya (Cybercrime) di Wilayah Hukum Polda DIY,” Indonesian
Journal of Criminal Law and Criminology, Vol. 1, No.2-Juli 2020.

Anda mungkin juga menyukai