Anda di halaman 1dari 9

Nama : Shafira Putri Anggita

NPM : 110110170305
Kelas : Hukum Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (Cyber Law)
(D)
Dosen : Dr. Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M in IT Law, FCBArb
Dr. Ranti Fauza Mayana, S.H.
Prita Amalia, S.H., M.H.

Kajian Terhadap Buku Pak Dr. Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M in IT Law, FCBArb
“Cyber Law 4.0”

Bagian I, Sub-Bab B:

“Cyber Law 1.0 : Hukum, Legislasi, dan Regulasi Cyber Law 1.0”

A. Latar belakang
Suatu kebiasaan dan praktik terus menerus yang berevolusi menjadi lembaga
hukum dikenal dalam Sejarah Hukum dengan Lex Mercatoria atau Hukum Para Pedagang.
Lex Mercatoria secara independen melembagakan kedaulatan yurisdiksional dan
memberikan keyakinan bagi para pelaku komersial tentang keadilan hakiki dalam
hubungan transaksional mereka. Hal dimaksud memiliki identifikasi yang serupa dengan
pembentukan norma untuk arus informasi yang melalui teknologi dan jaringan komunikasi
dalam membentuk lembaga hukum Lex Informatica atau Hukum Informasi. Lex
Informatica harus dipahami sebagai kebutuhan yang secara sadar penting dan perlu diakui
oleh pembuat kebijakan dan pengaturan di setiap negara.1 Saat ini, informasi merupakan
komoditi yang memiliki nilai ekonomi tinggi karena tidak semua pihak mampu untuk
memproses suatu data yang mentah menjadi suatu informasi yang sesuai dengan
kebutuhannya.2 Lex Informatica memiliki 3 (tiga) bentuk karakteristik khusus untuk

1
Dr. Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M in IT Law, FCBArb, Cyber Law 4.0, Bandung: Logoz Publishing, 2019, hlm. 2
2
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, PT Raja Grafindo Perkasa, Jakarta 2003, hlm. 3.
menetapkan kebijakan pengelolaan informasi dan penyusunan regulasi dalam masyarakat
informasi:3
1. Lex Infromatica sebagai regulasi teknologi tidak memiliki kebergantungan pada
batas-batas wilayah nasional;
2. Lex Informatica memungkinkan kustomisasi regulasi dengan berbagai
keberagaman mekanisme teknis;
3. Lex Informatica sebagai regulasi teknologi memperoleh kemanfaatan dari
integrasi penegakan mandiri dan pemantauan terhadap kepatuhan internal

Definisi hukum telekomunikasi, konten multimedia dan informatika yang disingkat


telematika, dan di berbagai referensi dikenal dengan cyber law, adalah keseluruhan asas-
asas, norma atau kaidah lembaga-lembaga, institusi-institusi dan proses yang mengatur
kegiatan virtual yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi,
memanfaatkan konten multimedia dan infrastruktur telekomunikasi.4 Lahirnya cyber law
di berbagai negara disebabkan oleh era digital saat ini memiliki kemajuan teknologi dan
ilmu pengetahuan yang telah berkembang dengan sangat pesat. Kemajuan teknologi dan
ilmu pengetahuan tersebut telah mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan manusia
yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.5

Dalam hal tersebut, Lex Informatica menjadi sumber kebijakan dan regulasi
pengelolaan informasi yang berada di jaringan global. Lex Informatica menyediakan
instrumen yang berguna dalam merumuskan regulasi dengan menyesuaikan untuk situasi
tertentu. Lex Informatica memungkinkan koeksistensi berbagai kebijakan pengelolaan
informasi dalam ekosistem yang heterogen dan dapat mengakselerasi regulasi teknologi
yang mewujudkan fleksibilitas arus informasi sehingga dapat memaksimalkan kebijakan
publik serta menjamin nilai-nilai ketertiban umum.6 Teknologi informasi saat ini menjadi
pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan

3
Joel R. Reidenberg, Lex Informatica: The Formulation of Information Policy Rules through Technology, dalam
Danrivanto Budhijanto, Op.Cit., hlm. 3
4
Tasya Safiranita Ramli, dkk, Prinsip-pinsip Cyber Law pada Media Over the top E-commerce berdasarkan
Transformasi Digital di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 16 , No.3, September 2019, hlm. 39
5
Ahmad M Ramli, Disrupsi Digital Ekonomi Kreatif, Bandung: PT. Alumni, 2018, hlm. 27
6
Danrivanto Budhijanto, Op.Cit., hlm. 4
peradaban manusia, teknologi informasi ini juga dapat menjadi sarana lain untuk
perbuatan-perbuatan melawan hukum atau kejahatan siber (cyber crime).

B. Topik Kajian : Hukum, Legislasi, dan Regulasi Cyberlaw 1.0


Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, negara
Indonesia merupakan negara hukum, sehingga dalam menjalankan negaranya, kita harus
selalu mengedepankan hukum yang bertujuan untuk menjaga ketertiban. Menurut Mochtar
Kusumaatmadja, Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam
masyarakat, tidak hanya sebagai suatu perangkat kaidah-kadiah dan asas-asas, tetapi juga
lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan kaidah-kadiah dan asas-asas
tersebut dalam kenyataan. Mengingat fungsi hukum yang bersifat konservatif, artinya
bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan
dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun. Karena
disinipun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi, dan diamankan. Akan tetapi,
masyarakat yang sedang membangun, yang dalam definisi kita berarti masyarakat yang
sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian saja, ia harus dapat
membantu proses perubahan masyarakat itu.7 Dalam lex informatica, kedudukan hukum
dalam ranah telematika membawa implikasi bagi perubahan yang terjadi di masyarakat.
Perubahan sosial yang timbul tersebut harus menempatkan hukum sebagai sandaran
kerangka untuk mendukung usaha-usaha perubahan yang terjadi dalam masyarakat.8
Cyberlaw merupakan rezim hukum yang dapat dikatakan baru, dimana didalamnya
memiliki berbagai aspek hukum yang multidisipliner. Cyberlaw atau Hukum
Telekomunikasi konten multimedia dan informatika yang disingkat telematika,
menunjukkan sifat konvergentif dari communication, computing, content, dan community
sehingga dapat terlihat bahwa cyber law membahas segi teknologi dan informasi secara
konvergensi. Salah satu konvergensi di bidang telematika adalah aktivitas di dalam dunia
siber yang berimplikasi luas pada seluruh aspek kehidupan. Persoalan yang kemudian
muncul adalah bagaimana agar dalam pemanfaatannya tidak terjadi banyak singgungan
yang nantinya malah menimbulkan persoalan hukum, mengingat aktivitas dalam dunia

7
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta,
Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, hlm. 11
8
Maskun, Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hlm. 10
siber tersebut tidak lagi dibatasi oleh teritorial suatu negara serta aksesnya yang dapat
dilakukan dengan mudah dari seluruh penjuru dunia. Meskipun konvergensi tersebut dapat
memberikan kemudahan, bukan berarti tidak akan muncul permasalahan hukum di
dalamnya. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya berbagai penggunaan yang
menyimpang atas berbagai bentuk teknologi informasi sehingga teknologi informasi ini
dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan kejahatan ataupun sasaran kejahatan.
Hukum telematika diartikan sebagai padanan kata dari cyber law yang saat ini
secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan
teknologi informasi. Definisi Hukum Telematika, atau yang dikenal dengan cyber law,
adalah keseluruhan asas-asas, norma atau kaidah lembaga-lembaga, institusi-institusi dan
proses yang mengatur kegiatan virtual yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi
informasi dan komunikasi. Cyberlaw adalah aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi
aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subjek hukum yang memanfaatkan
teknologi internet dan memasuki dunia maya atau yang lebih sering disebut sebagai cyber
space. Kegiatan siber, meskipun bersifat virtual, dapat dikategorikan sebagai tindakan dan
perbuatan hukum yang nyata. Cyber world atau dunia siber didefinisikan sebagai dunia
tanpa batas fisik, sehingga legislasi nasional dan internasional yang mengaturnya memiliki
sifat yurisdiksi virtual karena multibahasa, multikultural, multireligi, dan multilateral.9
Istilah cyber law digunakan dilandasi dengan pemikiran bahwa cyber jika
diidentikan dengan dunia maya akan menghadapi beberapa persoalan ketika terjadi suatu
kejahatan siber mengenai pembuktian dan penegakan hukumnya. Hal tersebut disebabkan
karena dalam dunia siber, perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam dunia maya
diasumsikan sebagai sesuatu yang tidak terlihat dan semu. Oleh karena itu, dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hak dan kebebasan melalui
penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi harus dilakukan dengan
mempertimbangkan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Hukum, Legislasi, dan regulasi terhadap Cyber Law dalam konteks Lex Informatica

9
Ibid., hlm. 13
diperlukan sebagai instrumen pembatas yang akan membantu hukum itu sendiri untuk
mencapai tujuannya dalam memelihara ketertiban masyarakat. Kemajuan teknologi di
Indonesia merupakan hal yang tidak dapat terelakkan, perubahan karakter sosial dan
budaya masyarakat sebagai akibat dari perkembangan telematika juga merupakan fakta
yang tidak dapat dihindarkan. Dampaknya dapat diprediksi bahwa masyarakat akan
menjadi semakin tidak terkendali sehingga menyentuh titik kriminalisasi dari apa yang
diperoleh akibat perkembangan teknologi informasi tersebut. Namun sebagai Negara
hukum, semua perbuatan hukum yang dilakukan haruslah diatur daalam suatu regulasi
yang jelas yang telah dilegislasikan oleh lembaga Legislatif bersama Pemerintah. Oleh
karena itu, hukum lahir sebagai instrumen yang memiliki kekuatan mengikat (legally
bound) bagi para pihak di dalamnya yang dilengkapi pula dengan mekanisme sanksi
sebagai alat pemaksa. Sejalan dengan pendapat Prof. Mochtar Kusumaatmadja yang
memandang hukum harus dapat membantu pembangunan masyarakat, maka keberadaan
regulasi terkait pemanfaatan teknologi informasi merupakan hal yang sangat amat penting
agar masyarakat tetap bisa menikmati perkembangan teknologi informasi dengan adanya
kepastian hukum terhadap segala perbuatan yang dilakukan melalui teknologi tersebut.
Filosofi perlu adanya norma yang mengatur penggunaan telematika adalah tidak
lain untuk memberikan arahan bagi manusia untuk bertingkah laku. Norma hukum ini
diharapkan dapat menjadi ‘rambu’ bagi setiap masyarakat di negara yang akan
memanfaatkan kemajuan teknologi informasi itu sendiri. Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang
pertama di Indonesia di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai
produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan dasar
pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.10
Undang-Undang ini kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Selain itu, ada pula Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang
Telekomunikasi dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang
merupakan aturan utama terkait dengan konvergensi telematika. Undang-Undang

10
Dr. Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M. in IT Law, FCBArb., Cyberlaw dan Revolusi Industri 4.0, Bandung: Logoz
Publishing, 2019, hlm. 11
Penyiaran dan Undang-Undang ITE yang merupakan peraturan perundang-undangan
untuk masalah sosial, pada kenyataannya bisa dengan mudah dipisahkan dengan Undang-
Undang Telekomunikasi yang mengatur masalah-masalah teknis.11
C. Kasus relevan
Selama 6 (enam) tahun terakhir, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan
Sipil (Dukcapil) Kementerian dalam Negeri (Kemendagri) memberikan akses data
kependudukan kepada 1.227 perusahaan swasta dan instansi pemerintah, tanpa persetujuan
dari rakyat yang memiliki dan berhak atas data pribadinya tersebut. Salah satu perusahaan
yang mendapatkan akses data pribadi ini adalah Perusahaan pembiayaan Grup Astra yang
menjalin kerja sama dengan Dukcapil Kemendagri. Pada kerja sama ini, Grup Astra
mendapat akses Nomor Induk Kependudukan (NIK), Data Kependudukan dan Kartu
Tanda Penduduk Elektronik (KTP-El) yang dimanfaatkan untuk menunjang layanan
pembiayaan. Dua anak perusahaan dari PT Astra International Tbk yang mendapatkan
manfaat dari kerja sama tersebut yakni PT Federal International Finance (FIF) yang
bergerak di bidang pembiayaan sepeda motor dan PT Astra Multi Finance (AMF) yang
bergerak di bidang pembiayaan perabot rumah tangga dan elektronik.
Memasuki abad informasi ini, data pribadi merupakan suatu aset atau komoditi
bernilai tinggi.12 Negara melindungi privasi dan data pribadi masyarakat sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi.” Meskipun belum ada perangkat Undang-Undang yang secara
khusus mengatur mengenai pemanfaatan teknologi informasi dalam rangka perlindungan
data pribadi, namun mengacu pada pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, dijelaskan bahwa setiap informasi melalui media elektronik yang

11
Wawan Ridwan dan Iwan Krisnadi, Regulatory Impact Analysis terhadap Rancangan Undang-Undang
Konvergensi Teknologi Informasi dan Komunikasi, InComTech, Jurnal Telekomunikasi dan Komputer, Vol. 2, No. 2,
2011, hlm. 25
12
Shinta Dewi, Cyber Law: Aspek Data Privasi Menurut Hukum Internasional, Regional, dan Nasional, Bandung:
Widya Padjadjaran, hlm. 9
menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang
bersangkutan, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan yang lebih khusus.
Lebih lanjut, setiap orang yang haknya dilanggar dapat menuntut terhadap kerugian yang
dialaminya.13 Dalam kasus ini, perbuatan Dukcapil yang memberikan informasi berupa
data pribadi masyarakat kepada PT Astra diatur dalam BAB VII mengenai Perbuatan yang
Dilarang tepatnya Pasal 32 ayat (2) UU ITE yang menyatakan bahwa, “Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun memindahkan
atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem
Elektronik Orang lain yang tidak berhak.” Oleh sebab itu, perbuatan Dukcapil dapat
dikenai ketentuan pidana sesuai pasal 48 ayat (2) UU ITE yang berbunyi, “Setiap Orang
yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).”

D. Kesimpulan
Lex Informatica menjadi sumber kebijakan dan regulasi pengelolaan informasi
yang berada di jaringan global. Lex Informatica juga dapat menyediakan instrumen yang
berguna dalam merumuskan regulasi dengan menyesuaikan untuk situasi tertentu.
Konvergensi cyber law setelah lahirnya lex informatica atau yang disebut cyber law 1.0
berimplikasi luas pada seluruh aspek kehidupan. Persoalan yang kemudian muncul adalah
bagaimana agar dalam pemanfaatannya tidak terjadi banyak singgungan yang nantinya
malah menimbulkan persoalan hukum, mengingat aktivitas dalam dunia siber tersebut
tidak lagi dibatasi oleh teritorial suatu negara serta aksesnya yang dapat dilakukan dengan
mudah dari seluruh penjuru dunia.
Kemajuan teknologi di Indonesia merupakan hal yang tidak dapat terelakkan,
perubahan karakter sosial dan budaya masyarakat sebagai akibat dari perkembangan
telematika juga merupakan fakta yang tidak dapat dihindarkan. Oleh karena itu, hukum
lahir sebagai instrumen yang memiliki kekuatan mengikat (legally bound) bagi para pihak
di dalamnya yang dilengkapi pula dengan mekanisme sanksi sebagai alat pemaksa. Dengan

13
Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Lembaran
Negara RI Tahun 2016.
adanya norma hukum, diharapkan setiap orang yang memanfaatkan kemajuan teknologi
informasi dalam era Cyber Law 1.0 ini dapat menggunakannya dengan bijak dan terarah
agar terciptanya ketertiban dan turut membangun masyarakat ke arah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Dr. Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M in IT Law, FCBArb. 2019. Cyber Law 4.0. Bandung:
Logoz Publishing.

Edmon Makarim. 2003. Kompilasi Hukum Telematika. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa.

Ahmad M Ramli. 2018. Disrupsi Digital Ekonomi Kreatif, Bandung: PT. Alumni.

Mochtar Kusumaatmadja. Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,


Bandung: Binacipta, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi, Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran.

Maskun. 2013. Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.

Dr. Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M. in IT Law, FCBArb. 2019. Cyberlaw dan Revolusi
Industri 4.0. Bandung: Logoz Publishing.

Shinta Dewi. Cyber Law: Aspek Data Privasi Menurut Hukum Internasional, Regional, dan
Nasional. Bandung: Widya Padjadjaran.

Sumber Jurnal

Tasya Safiranita Ramli, dkk. 2019. Prinsip-pinsip Cyber Law pada Media Over the top E-
commerce berdasarkan Transformasi Digital di Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.
16 , No.3.

Wawan Ridwan dan Iwan Krisnadi. 2011. Regulatory Impact Analysis terhadap Rancangan
Undang-Undang Konvergensi Teknologi Informasi dan Komunikasi. InComTech, Jurnal
Telekomunikasi dan Komputer, Vol. 2, No. 2.

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
dan Lembaran Negara RI Tahun 2016.

Anda mungkin juga menyukai