Anda di halaman 1dari 10

ETIKA PROFESI

Dosen Pengajar

Lily Wulandari

Nama

Handre Giarmansyah

Kelas

3DC02

Tulisan Mengenai

Pengaturan dan Regulasi


Cyber Law, Computer Crime Act Malaysia,COECOCC

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan saya
kesehatan,kemampuan akal serta pikiran sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang
diberikan oleh Ibu Lily Wulandari yang mana mata kuliah yaitu Etika Profesi (Softskill)
dengan tepat waktu . Dengan adanya makalah serta pembahasan didalamnya saya
mengharapkan agar dapat lebih memahami tentang Cyber Law.
Saya menyadari bahwa makalah ini belum sepenuhnya dapat dijadikan sebagai suatu
bahan untuk pembahasan yang lebih luas lagi. Namun saya sudah berusaha secara maksimal
untuk dapat menyajikan yang terbaik dan inilah yang dapat saya sajikan. Saya sangat
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang sifatnya membangun motivasi saya
agar lebih baik lagi dalam membuat suatu karya tulisan ilmiah selanjutnya. Semoga tulisan
ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya.

DAFTAR ISI

Kata
Pengantar............................................................................................................................2
Daftar Isi.....................................................................................................................................3
Cyber Law..................................................................................................................................4
Computer
Crime
Malaysia..............................................................................................................7

Act

COECOCC........................................................................................................................................9
Kesimpulan
dan
Pustaka................................................................................................10

Daftar

Cyber Law
Cyber Law adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya) yang umumnya
diasosiasikan dengan internet. Cyber law merupakan aspek hukum yang ruang lingkupnya
meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang
menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan
memasuki dunia cyber atau maya.
Cyber law merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh suatu negara tertentu, dan
peraturan yang dibuat itu hanya berlaku kepada masyarakat negara tersebut. Jadi, setiap
negara mempunyai cyber law tersendiri.
Istilah hukum cyber diartikan sebagai padanan kata dari Cyber Law, yang saat ini secara
internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan TI. Istilah lain
yang juga digunakan adalah Hukum TI (LAW of Information Teknologi), Hukum Dunia
Maya (Virtual World Law) dan Hukum Mayantara.
Secara akademis, terminologi cyber law belum menjadi terminologi yang umum.
Terminologi lain untuk tujuan yang sama seperti The Law of The Internet, Law and The
Information Superhighway, Information Technology Law, The Law of Information, dan
sebagainya.
Di Indonesia sendiri tampaknya belum ada satu istilah yang disepakati. Dimana istilah yang
dimaksud sebagai terjemahan dari cyber law, misalnya, Hukum Sistem Informasi, Hukum
Informasi, dan Hukum Telematika (Telekomunikasi dan Informatika). Secara yuridis, cyber
law tidak sama lagi dengan ukuran dan kualifikasi hukum tradisional. Kegiatan cyber
meskupin bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakn dan perbuatan hukum yang
nyata. Kegiatan cyber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat
buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula
sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.
Menurut Indonesian Defense University, definisi cyber law adalah hukum terkait dengan
proses dan resiko teknologi pada cyber space. Dari perspektif teknologi, cyber law digunakan
untuk membedakan mana cyber activity yang bersifat legal dan mana yang tergolong tindak
kejahatan dunia maya (cyber crime) atau pelanggaran kebijakan (policy violation). Cyber law
dibutuhkan karena dasar atau fondasi dari hukum di banyak negara adalah ruang dan
waktu. Sementara itu, internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu.
Saat ini Indonesia memiliki satu regulasi terkait dengan transaksi elektronik yaitu UU
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tetapi dikalangan peminat dan pemerhati,
masalah hukum yang berkaitan dengan internet di Indonesia masih menggunakan istilah
cyber law. Dimana hukum yang sudah mapan seperti kedaulatan dan yuridiksi tidak
mampu lagi merespon persoalan-persoalan dan karakteristik dari internet dimana para pelaku

yang terlibat dalam pemanfaatan internet tidak lagi tunduk pada batasan kewarganegaraan
dan kedaulatan suatru negara.

TUJUAN CYBER LAW


Cyber law sangat dibutuhkan, kaitannya dengan upaya pencegahan tindak pidana, atau pun
penanganan tindak pidana. Cyber law akan menjadi dasar hukum dalam proses penegakan
hukum terhadap kejahatan-kejahatan dengan sarana elektronik dan komputer, termasuk
kejahatan pencucian uang dan kejahatan terorisme.
RUANG LINGKUP CYBER LAW
Pembahasan mengenai ruang lingkup cyber law dimaksudkan sebagai inventarisasi atas
persoalan-persoalan atau aspek-aspek hukum yang diperkirakan berkaitan dengan
pemanfaatan internet. Secara garis besar ruang lingkup cyber law ini berkaitan dengan
persoalan-persoalan atau aspek hukum dari :
1.

e-commerce

2.

Trademark/Domain Names

3.

Privacy and security on the Internet

4.

Copyright

5.

Defamation

6.

Content Regulation

7.

Disptle Settlement, dan sebagainya.

TOPIK-TOPIK CYBER LAW


Secara garis besar ada lima topik dari cyber law di setiap negara yaitu :
Information Security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan
integritas dari pesan yang mengalir melalui Internet. Dalam hal ini diatur masalah
kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.
1.
Onl-line Transaction: meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai pengiriman
barang melalui internet.
2.
Right in Electronic Informatio:
pengguna maupun penyedia content.

soal hak cipta dan hak-hak yang muncul bagi

3.
Regulation Information Content: sejauh mana perangkat hukum mengatur content
yang dialirkan melalui internet.
4.
Regulation On-line Contact: tata krama dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui
internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas dan yurisdiksi hukum.
5

KOMPONEN-KOMPONEN CYBER LAW


1.
Tentang yurisdiksi hukum dan aspek-aspek terkait; komponen ini menganalisa dan
menentukan keberlakuan hukum yang berlaku dan diterapkan di dalam dunia maya itu.
2.
Tentang landasan penggunaan internet sebagai sarana untuk melakukan kebebasan
berpendapat yang berhubungan dengan tanggung jawab pihak yang menyampaikan, aspek
accountability, tanggung jawab dalam memberikan jasa online dan penyedia jasa pendidikan
melalui jaringan internet.
3.
Tentang aspek hak milik intelektual dimana adanya aspek tentang patent, merk
dagang, merk dagang rahasia yang diterapkan serta berlaku di dalam dunia cyber.
4.
Tentang aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan hukum yang berlaku di
masing-masing yurisdiksi negara asal dari pihak yang mempergunakan atau memanfaatkan
dunia maya sebagai bagian dari sistem atau mekanisme jasa yang mereka lakukan.
5.

Tentang aspek hukum yang menjamin keamanan dari setiap pengguna internet.

6.
Tentang ketentuan hukum yang memformulasikan aspek kepemilikan dalam internet
sebagai bagian dari nilai investasi yang dapat dihitung sesuai denga prinsip-prinsip keuangan
atau akuntansi.
7.
Tentang aspek hukum yang memberikan legalisasi atau internet sebagai bagian dari
perdagangan atau bisnis usaha.
ASAS-ASAS CYBER LAW
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa
digunakan, yaitu :
1.
Subjective Territoriality: yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan
berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di
negara lain.
2.
Objective Territorialit: yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum
dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat rugi bagi
negara yang bersangkutan.
3.
Nationality: yang menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk
menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
4.
Passive Nationality: yang menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan
korban.

5.
Protective Principle: yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan
negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar
wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah.
6.
Universality: asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan
penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai universal interest
jurisdiction. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setip negara berhak untuk
menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga
mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity), misalnya
penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas
yurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti komputer,
cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan
asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam
hukum internasional.
Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan
pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang
cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and
passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant
(online) phenomena and physical location.
TEORI-TEORI CYBER LAW
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka dapat dikemukakan
beberapa teori sebagai berikut :
1.
The Theory of the Uploader and the Donwloader: berdasarkan teori ini, suatu negara
dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang diperkirakan
dapat bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap
orang untuk uploading kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam wilayah
negara, dan melarang setiap oran dalam wilayahnya untuk dowloading kegiatan perjudian
tersebut. Minnesota adalah salah satu negara bagian Amerika yang pertama menggunakan
yurisdiksi ini.
2.
The Theory of Law of the Server: pendekatan ini memperlakukan server dimana
webpages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data elektronik.
Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford University tunduk
pada hukum California. namun teori ini akan sulit digunakan apabila uploader berada dalam
yurisdiksi asing.
3.
The Theory of International Spaces: ruang cyber dianggap sebagai the fourth space.
Yang menjadi analogi adalah tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat
internasional, yakni Sovereignless Quality.

Computer crime act (Malaysia)


TINGKAT penyalahgunaan jaringan internet di Indonesia sudah mencapai tingkat yang
memprihatinkan. Akibatnya, Indonesia dijuluki dunia sebagai negara kriminal internet.
Karena itu, tak heran, apabila saat ini, pihak luar negeri langsung menolak setiap transaksi di
internet menggunakan kartu kredit yang dikeluarkan perbankan Indonesia.
7

Maraknya kejahatan di dunia maya (cyber crime) merupakakan imbas dari kehadiran
teknologi informasi (TI), yang di satu sisi diakui telah memberikan kemudahan-kemudahan
kepada manusia. Namun demikian, di sisi lainnya, kemudahan tersebut justru sering dijadikan
sebagai alat untuk melakukan kejahatan di dunia maya (cyber crime) seperti yang sering kita
saksikan belakangan ini.
Pornografi, penggelapan, pencurian data, pengaksesan ke suatu sistem secara ilegal
(hacking), pembobolan rekening bank, perusakan situs internet (cracking), pencurian nomor
kartu kredit (carding), penyediaan informasi yang menyesatkan, transaksi barang ilegal,
merupakan contoh-contoh cyber crime yang sering terjadi dan merugikan banyak pihak.
Oleh karena itu, untuk mencegah merajalelanya cyber crime, maka perlu dibuat aturan hukum
yang jelas untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dunia maya. Bahkan, dengan
pertimbangan bahwa pengembangan teknologi informasi dapat menimbulkan bentuk-bentuk
kejahatan baru, terutama dalam penyalahgunaan teknologi informasi, akhirnya pada 4
Desember 2001 yang lalu, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan resolusi No.
55/63.
Dalam resolusi tersebut disepakati bahwa semua negara harus bekerja sama untuk
mengantisipasi dan memerangi kejahatan yuang menyalahgunakan teknologi informasi. Salah
satu butir penting resolusi menyebutkan, setiap negara harus memiliki undang-undang atau
peraturan hukum yang mampu untuk mengeliminir kejahatan tersebut.
Implementasi resolusi ini mengikat semua negara yang menjadi anggota PBB termasuk
Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia harus segera melakukannya, apalagi saat ini, Indonesia
masuk dalam daftar 10 besar negara kriminal internet. Pemerintah harus segera berupaya
untuk segera merealisasikan undang-undang yang mengatur secara detil tentang TI yang di
dalamnya juga mencakup masalah cyber crime. Kehadiran UU tersebut sangat penting untuk
memulihkan citra Indonesia di dunia Internasional.
Dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, Indonesia tergolong sangat lamban dalam
mengantisipasi perkembangan TI. Sejak 1996, Singapura sudah memiliki beberapa perangkat
hukum yang berkaitan dengan pemanfaatan TI, di antaranya: "The Electronic Act 1998,
Electric Communication Privacy Act 1996.
Sedangkan, peraturan undang-undang (UU) TI sudah dimiliki negara jiran Malaysia sejak
tahun 1997, yaitu dengan dikeluarkannya "Computer Crime Act 1997, "Digital Signature
Act 1997, serta "Communication and Multimedia Act 1998.
Karena belum adanya UU khusus tentang TI, maka selama ini, para pelaku tindak pidana
teknologi informasi (cyber crime) di Indonesia hanya bisa dijerat dengan pasal-pasal yang
ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta perangkat UU lainnya,
seperti UU Telekomunikasi, Undang-Undang Hak Cipta, dan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen.
Padahal, berdasarkan data Polri, perkembangan cyber crime di Indonesia sangat pesat.
Sebagai contoh, sejak Januari-September 2002, pihak Polri telah berhasil mengungkap 109
kasus tindak pidana TI yang dilakukan oleh 124 tersangka WNI yang melakukan aksinya di
berbagai kota di Indonesia.

Dalam data tersebut, Bandung menempati posisi kedua sebagai kontributor tersangka pelaku
cyber crime. Selain itu, dalam data yang sama diungkapkan pula, sekira 96% modus operandi
yang digunakan dalam 109 kasus tersebut adalah Credit Card Fraud (penipuan dengan kartu
kredit). Kemudian, jumlah korban yang dirugikan oleh kasus tersebut mencapai 109 orang,
sekira 80% dari korban tersebut merupakan warga AS.Berdasarkan paparan data Polri
tersebut, sudah seharusnya negara kita memiliki Undang-Undang Teknologi Informasi
(UUTI) sebagai bukti bahwa pemerintah memang serius dalam menangani maraknya cyber
crime di Indonesia.
Berkaitan dengan pembuatan UUTI ini, Deputi Bidang Jaringan Komunikasi dan Informasi
Cahyana Ahmadjayadi, mengatakan, saat ini pemerintah sedang menyusun Rancangan
Undang-Undang (RUU) di bidang TI yang diharapkan dalan waktu dekat ini dapat diajukan
ke DPR. RUU yang dimaksud yaitu: RUU tentang Pemanfaatan Teknologi Informasi/cyber
law (RUU PTI), yang disusun oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen
Perhubungan bekerja sama dengan Tim dari Fakultas Hukum Unpad. Dan satu lagi, RUU
tentang Tanda Tangan Elektronik (Digital Signature) dan Transaksi Elektronik (ETransaction), yang disingkat RUU IETE, disusun oleh Direktorat Jenderal Perdagangan
Dalam Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan, bekerja sama dengan tim
Lembaga Kajian Hukum Teknologi, FH UI.

Council of Europe Convention on Cyber Crime


Council of Europe Convention on Cyber Crime (Dewan Eropa Konvensi Cyber Crime), yang
berlaku mulai pada bulan Juli 2004, adalah dewan yang membuat perjanjian internasional
untuk mengatasi kejahatan komputer dan kejahatan internet yang dapat menyelaraskan
hukum nasional, meningkatkan teknik investigasi dan meningkatkan kerjasama internasional.
Council of Europe Convention on Cyber Crime berisi Undang-Undang Pemanfaatan
Teknologi Informasi (RUU-PTI) pada intinya memuat perumusan tindak pidana.
Council of Europe Convention on Cyber Crime ini juga terbuka untuk penandatanganan oleh
negara-negara non-Eropa dan menyediakan kerangka kerja bagi kerjasama internasional
dalam bidang ini. Konvensi ini merupakan perjanjian internasional pertama pada kejahatan
yang dilakukan lewat internet dan jaringan komputer lainnya, terutama yang berhubungan
dengan pelanggaran hak cipta, yang berhubungan dengan penipuan komputer, pornografi
anak dan pelanggaran keamanan jaringan. Hal ini juga berisi serangkaian kekuatan dan
prosedur seperti pencarian jaringan komputer dan intersepsi sah.
Tujuan utama adanya konvensi ini adalah untuk membuat kebijakan kriminal umum yang
ditujukan untuk perlindungan masyarakat terhadap Cyber Crime melalui harmonisasi
legalisasi nasional, peningkatan kemampuan penegakan hukum dan peradilan, dan
peningkatan kerjasama internasional.
Selain itu konvensi ini bertujuan terutama untuk:
(1) harmonisasi unsur-unsur hukum domestik pidana substantif dari pelanggaran dan
ketentuan yang terhubung di bidang kejahatan cyber.

(2) menyediakan form untuk kekuatan hukum domestik acara pidana yang diperlukan untuk
investigasi dan penuntutan tindak pidana tersebut, serta pelanggaran lainnya yang dilakukan
dengan menggunakan sistem komputer atau bukti dalam kaitannya dengan bentuk elektronik
(3) mendirikan cepat dan efektif rezim kerjasama internasional.

Kesimpulan
Pada dunia komputer untuk melakukan suatu tindakan memang terbilang sangat susah yang
mana kita tahu teknologi semakin berkembang serta banyak user user yang berperan aktif dan
tak bertanggung jawab telah memberikan dampak yang kurang baik bagi dunia komputer
oleh karena itu dibuatlah cyber law yang menangani ketentuan segala hukum didunia
komputer ini,
Perlu adanya gubrisan dari pemerintah untuk menindaklanjuti masalah seperti ini di
kemudian harinya nanti.
Antara cyber law, crime act malasia serta COECOCC,kita tahu bahwa penamaan tersebut
bertugas untuk menindak lanjuti masalah komputer ini, maka dibuatlah cyberlaw, serta crime
act malaysia ada peredaran masalah yang sering terjadi pada dunia komputer, sudah sering
terjadi namun belum ada efek jera bagi usernya maka dari itlah dibuat suatu lembaga
COECOCC yang benar menangni masalah serius ini. Pada masalah ini besar harapan untuk
dapat menangani masalah ini cyber law sebagai landasan serta COECOCC sebagai petugas
ang mampu menangani masalah ini karena computer crime act sudah merajelela dengan
bebas.
Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_siber
http://komputercrime/Cyber-crime/masalah-yang-terjadih
www.wartawarga.gunadarma.ac.id

10

Anda mungkin juga menyukai