Anda di halaman 1dari 19

Judul Jurnal : ANALSIS UNDANG-UNDANG ITE NOMOR 19

TAHUN 2016 TENTANG CYBERCRIME MENURUT


HUKUM PIDANA ISLAM

Judul Skripsi : Efektivitas Implementasi Undang-Undang Informasi


Dan Transaksi Elektronik Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Cybercrime (Studi Analisis Undang-Undang
ITE Perspektif Hukum Pidana Islam)

Khusnul Khotimah
(Pembimbing I: E. Sugianto & Pembimbing II: Wing Redy Prayuda)
Fakultas Syariah & Ekonomi Islam
Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon
email : 97.khusnulkhotimah@gmail.com

Abstract
Cybercrime is a crime using a computer network system that is usually carried out
individually, in groups or by legal entities (corporations). This study aims to
determine and understand the effectiveness of the ITE law on cybercrime as a
whole. To find out the review of Islamic law on the punishment for criminal acts
of electronic information in Law number 19 of 2016 which has been implemented
in Indonesia. The method used in this research is qualitative by utilizing the
sociological approach of Islamic law, data collection techniques carried out by
library research (library research). The results of this study are that in Indonesia
the implementation and enforcement of cybercrime law has not been effective
because the world community, especially in Indonesia, is not very familiar with
cybercrime law enforcement. So in regards to cybercrime, regulation and
optimization of laws and regulations in Indonesia are very much needed in order
to create an opponent's forcement and legal certainty.

Keywords : Effectiveness, ITE Law, Cybercrime, Criminal Acts

Abstrak
Cybercrime merupakan suatu kejahatan dengan menggunakan sistem jaringan
computer yang biasa dilakukan secara individu, kelompok maupun badan hukum
(Korporasi). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami efektivitas
undang-undang ITE terhadap cybercrime secara menyeluruh. Tinjauan hukum
islam terhadap hukuman tindak pidana informasi elektronik dalam Undang-
undang nomor 19 tahun 2016 yang telah diterapkan di indonesia. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan memanfaatkan
pendekatan sosiologi hukum islam, teknik pengumpulan data yang dilakukan
penelitian kepustakaan (library research). Hasil dari penelitian ini adalah bahwa
di Indonesia dalam penerapan dan penegakkan hukum mengenai cybercrime ini
belum efektif disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya ialah laju pertumbuhan
cybercrime yang begitu pesat dan upaya penanggulangan yang masih kurang
maksimal mengingat masih banyaknya kasus cybercrime yang ditangani oleh
aparat kepolisian.
Kata Kunci: Efektifitas, Undang-Undang ITE, Cybercrime, Tindak Pidana
LATAR BELAKANG MASALAH
Pada era globalisasi ini ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kemajuannya
semakin pesat dan berkembang. Perkembangan IPTEK khususnya dalam bidang
telekomunikasi dianggap sebagai batu loncatan dan turut mempercepat proses
globalisasi pada berbagai aspek kehidupan.1 Namun, Perkembangan teknologi
inipun selain berdampak positif pasti juga berdampak negatif. Dampak positif dari
perkembangan teknologi informasi adalah masyarakat lebih mudah dan cepat
dalam mengakses layanan internet dan lebih mudah dalam berkomunikasi dan
menerima informasi dari masyarakat lainnya, sedangkan dampak negatif dari
perkembangan teknologi itu sendiri adalah tidak terkontrolnya sikap masyarakat
dalam menggunakan layanan internet dapat menyebabkan terjadinya kejahatan di
dunia maya salah satu kejahatannya yaitu Cybercrime.
Saat inipun telah lahir rezim baru tentang hukum yang biasa dikenal sebagai
hukum siber atau hukum telematika (law). Dalam permasalahannya hukum ini
mengatur tentang pemanfaatan terknologi informasi dan komunikasi. Dengan
demikian, yang termasuk dalam hukum cyber (Cyberlaw), hukum telematika,
hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya
(virtual world law), dan hukum mayantara. Istilah tersebut lahir karena melihat
kegiatan yang dilakukan melalui sistem jaringan computer dan sistem komunikasi
baik lingkup lokal maupun universal (internet) dengan memanfaatkan teknologi
informasi berbasis komputer maupun elektronik yang dapat dilihat secara virtual.
Dengan adanya kegiatan tersebut. Maka, Permasalahan yang mucul biasanya
terkait komunikasi, transaksi secara elektronik. Dalam permasa
Sistem elektronik yang dimaksud yaitu sistem yang digunakan untuk
penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi dan media
elektronik yang fungsinya menganalisis, menampilkan, merancang, dan mengirim
atau menyebarluaskan informasi tersebut.
Cybercrime merupakan suatu kejahatan dengan menggunakan sistem
jaringan komputer yang biasa dilakukan secara individu, kelompok maupun badan
hukum (Korporasi). Kejahatan seperti ini hanya terjadi di dunia maya yang
memiliki karakteristik yang berbeda dengan kejahatan tradisional. Yang dimaksud
dengan kejahatan tradisional ialah Kejahatan tradisional adalah kejahatan yang
dilakukan tanpa menggunakan sarana internet, telekomunikasi atau sarana
canggih. Jika dilihat dari aktivitasnya, cybercrime menitikberatkan pada
communication system, computer system dan penyerangan content milik orang
lain, baik secara personal maupun umum di dalam cyberspace.2 Dalam aspek lain
demi tercapainya kontrol hukum dalam penanggulangan cybercrime harus
dilakukan dengan pencegahan dan penegakkan hukum, apabila dibiarkan terus
menerus maka akan mengganggu keamanan baik dalam maupun luar negeri,
1
Muhammad Aulia Adnan, Tinjauan Hukum dalam E-Business Olyx76@yahoo.com.
(Diakses pada tanggal, 20 Oktober 2019 pukul 19:20)
2
https://id.wikipedia.org/wiki/Dunia_maya (Diakses tanggal 21 Oktober 2019, Pukul 20:02
WIB) cyberspace adalah media elektronik dalam jaringan komputer yang banyak di pakai untuk
keperluan komunikasi satu arah maupun timbal balik secara online (terhubung langsung). Dunia
maya ini merupakan integrasi dari berbagai peralatan teknologi komunikasi dan jaringan
komputer.
karena sebenarnya cybercrime itu telah mengganggu keamanan nasional maupun
internasional, sehingga harus diadakannya langkah-langkah strategis aparat
hukum untuk menanggulanginya.
Cybercrime secara universal tidak berbeda dengan hukum pidana Islam
baik secara karakteristiknya maupun unsur-unsurnya. Misalnya, Dalam hal
penyebaran berita bohong dan penyesatan merupakan padanan kata yang semakna
dengan penipuan. Pada tataran praktekya, hakim tersebutpun memberikan
steatmen bahwasannya situasi hukum tidak ada kejelasan. Untuk itu hakim perlu
melakukan penemuan hukum dengan cara konstruksi dan interpretasi. Hakikatnya
peraturan UU ITE ini terbatas untuk hal transaksi elektronik Nilai strategis dari
kehadiran UU ITE sesungguhnya ada pada suatu kegiatan transaksi elektronik dan
pemanfaatan untuk bidang tertentu saja. Pada dasarnya sektor ini belum
mempunyai payung hukum, tetapi untuk saat ini semakin transparan sehingga
segala bentuk transaksi elektronik dapat dijadikan alat bukti. Dari Penjelasan
diatas, dapat kita pahami bahwasannya penegakkan hukum mengenai cybercrime
ini belum terlalu jelas.
Mengapa demikian, seperti yang kita ketahui bahwasannya masyarakat
didunia terutama di Indonesia belum begitu paham dengan penegakkan hukum
cybercrime tersebut. Pada dasarnya sanksi atau hukuman yang terpapar dalam
undang-undang ini yaitu berupa sanksi pidana penjara dan pidana denda. Tetapi
kedua macam pidana ini hanya ditetapkan secara maksimum khusus saja. Pada
kenyataannya para penegak hukum yang menangani kasus cybercrime pun
memiliki hambatan dan kendala tersebut karena terganjalnya Regulasi dan
Anggaran dalam menangani kasus-kasus tersebut seperti perangkat hukum,
kurangnya SDM (Sumber Daya Manusia) yang belum mencukupi, anggaran serta
sarana dan prasanara untuk menunjang pengungkapan kasus-kasus cybercrime.3
Cybercrime tersebut tidak jauh berbeda dengan jarimah, yang membedakan
hanya pada modus operasinya atau tempat dilakukannya suatu tindak kejahatan.
Jarimah yang dimaksud diatas adalah jarimah Ta’zir. Istilah jarimah ta’zir
menurut hukum pidana Islam merupakan tindak pidana yang berupa edukatif
(Pengajaran) terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak ada saksi had dan
kifaratnya, atau dengan kata lain, ta’zir adalah hukuman yang bersifat edukatif
yang ditentukan oleh hakim. Hukuman ta’zir adalah hukuman tindak pidana/delik
yang tidak ada ketetapannya dalam nash tentang hukumannya. hakimlah yang
berhak atas penentuan hukuman yang diberikan, karena kepastian hukum belum
tentu ditentukan oleh syara’.4 Oleh karena itu, saya sebagai penulis tertarik untuk
meneliti mengenai a) Bagaimana Efektifitas Undang-undang ITE terhadap
Cybercrime? b) Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap Hukuman tindak
pidana Informasi Elektronik dalam UU Nomor 19 Tahun 2016?
LITERATUR RIVIEW

3
https://news.detik.com/berita/d-2714416/penanganan-kasus-cyber-crime-terganjal-regulasi-
dan-anggaran ( diakses pada 24 Oktober 2019, Pukul 22:01 WIB)
4
Rokhmadi, Reaktualisasi Hukum Pidana Islam (Kajian Tentang Formulasi Sanksi
Hukum Pidana Islam), (Semarang: Departemen Agama IAIN Walisongo Semarang, Pusat
Penelitian, 2005), h.56.
Penelitian tentang cybercrime atau biasa disebut sebagai kejahatan dunia maya
bukanlah hal yang baru. Berikut beberapa karya yang terdokumentasikan terkait
permasalahan yang dikaji, yaitu pertama, penelitian yang dilakukan oleh Dharma
Aryyaguna dalam penelitiannya yang berjudul “Tinjauan Kriminologis Terhadap
Kejahatan Penipuan Berbasis Online”. Hasil yang peneliti peroleh dari penelitian
ini adalah bahwa Sulitnya untuk menghilangkan atau mengurangi laju
pertumbuhan cybercrime yang dikarenakan beberapa faktor yakni: faktor
ekonomi, faktor lingkungan, faktor sosial budaya, dan faktor intelektual.
Dan yang kedua, Skripsi Nia Chusnafahira (2017) dalam penelitiannya yang
berjudul “CyberProstitution Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif”
Hasil penelitiannya adalah penulis menganalisis mengenai penegakkan hukum
cybercrime di Indonesia, dilihat dari pembahasannya hanya membahas terkait
cybercrime prostitusi dan pandangan hukum islamnya saja tidak berkaitan dengan
analisis penulis.
Dari kedua topik penelitian yang telah dipaparkan di atas, ternyata belum
ada yang membahas mengenai cybercrime secara khusus jelas sekali perbedaanya
dengan penelitian ini Sedangkan, peneliti menganalisis mengenai efektifitas
implementasi Cybercrime di Indonesia. Perbedaan di sini dengan penulis yaitu
dari segi redaksi judul dan pembahasan mengenai suatu permasalahan kasus
penipuan bisnis online dan meneliti tentang cara mengurangi laju pertumbuhan
Cybercrime. serta penulis menganalisis mengenai penegakkan hukum cybercrime
di Indonesia, dilihat dari pembahasannya hanya membahas terkait cybercrime
prostitusi dan pandangan hukum islamnya saja tidak berkaitan dengan analisis
penulis.
METODELOGI PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan penulis menggunakan penelitian kepustakaan
(library research). Penelitian kepustakaan digunakan untuk mendapatkan teori-
teori dari literatur-literatur yang telah diakui kualitasnya. Data-data tersebut
dikumpulkan, baik data primer maupun data sekunder. Selanjutnya, data-data
tersebut dikutip menggunakan kutipan langsung maupun kutipan tidak langsung.
Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian kualitatif. Metode
penelitian kualiatif adalah pendekatan yang diadasarkan pada pengumpulan,
analisis, dan interpretasi data berbentuk narasi serta visual (bukan angka) untuk
memperoleh pemahaman mendalam dari fenomena yang terjadi di masyarakat.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua
pendekatan yaitu Pendekatan Yuridis Normatif digunakan untuk menganalisis
berbagai ketentuan dalam Undang-Undang ITE. Undang-undang tersebut dapat
dipandang sebagai sumber yuridis terhadap kejahatan dunia maya cybercrime dan
Pendekatan sosiologis untuk menganalisis berbagai fenomena atau gejala sosial
yang berkaitan dengan cybercrime. Pendekatan sosiologis digunakan untuk
menelusuri aspek eksternal sanksi pidana dari cybercrime. Meskipun penelitian ini
murni kajian teks dalam undang-undang sebagaimana tersebut, penelitian ini
diharapkan memberikan gambaran lebih komprehensif.
Sumber data merupakan subjek dari mana data dapat diperoleh dengan rinci
dan komprehnesif yang menyangkut objek yang diteliti. Adapun sumber data
dalam penelitian ini merupakan perkataan, perbuatan dari responden yang terdiri
dari cybercrime. Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan
langsung di lapangan oleh peneliti yang bersangkutan. Dalam penelitian ini
menjadi data primer adalah penjelasan mengenai Efektifitas Implementasi
Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Cybercrime (Studi Analisis Terhadap Undang-Undang Tentang
Cybercrime Perspektif Hukum Pidana Islam). Data ini biasanya diperoleh dari
perpustakaan atau penelitian terdahulu. Dalam hal ini yang menjadi data sekunder
adalah mengenai Efektifitas Implementasi Undang-Undang Informasi Dan
Transaksi Elektronik Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Cybercrime (Studi Analisis
Terhadap Undang-Undang Tentang Cybercrime Perspektif Hukum Pidana Islam).
Teknik Pengumpulan Data dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan
digunakan untuk mendapatkan teori-teori dari literatur-literatur yang telah diakui
kualitasnya. Data-data tersebut dikumpulkan, baik data primer maupun data
sekunder. Selanjutnya, data-data tersebut dikutip menggunakan kutipan langsung
maupun kutipan tidak langsung.
Penelitian ini menggunakan analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.
Selain dengan menganalisis data, peneliti juga perlu mendalam kepustakaa guna
menginformasikan teori atau untuk menjastifikasikan adanya teori baru yang
ditemukan.5

Pengertian Cybercrime
Secara etimologi cybercrime berasal dari 2 buah kata, yaitu cyber dan Crime. Jika
dilihat dari kamus Berbahasa Indonesia-Inggris cyber memiliki arti maya
sedangkan crime memiliki arti kejahatan.6 Menurut Dictionary of Contemporary
English, crime adalah an offence which is punishable by law (suatu kejahatan
yang dihukum oleh hukum), illegal activity in general (kegiatan ilegal pada
umumnya), atau a badimmoral, or dishonourable act (tidak terhormat, tidak
bermoral, atau tindakan yang buruk).7 Secara kebahasaan cybercrime semakna
dengan “kejahatan dunia maya” atau “kejahatan mayantara”.8
Kejahatan dunia maya (cybercrime) merupakan sebuah istilah yang mengacu
pada aktivitas yang berkaitan dengan kejahatan komputer atau jaringan komputer
yang dijadikan sebagai sarana atau alat maupun tempat terjadinya kejahatan.
Dengan demikian, cybercrime yaitu suatu bentuk yang timbul karena adanya
faktor pemanfaatan teknologi komputer (Internet). Perkembangan sangat pesat
dalam pemanfaatan jasa internet mengakibatkan terjadinya kejahatan tersebut.
Dengan meningkatnya jumlah permintaan terhadap akses internet, maka kejahatan
5
Elvinaro Ardianto, Metodologi penelitian untuk Public Relations Kuantitatif dan Kualitatif
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2010), 2.
6
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Cet. XXV; Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003),155.
7
Longman Group, Longman dictionary of Contemporary English (Ed. VIII; England: [t.tp],
1998), 155.
8
Secara kebahasaan cyber crime sering disamakan dengan “kejahatan mayantara” atau
“kejahatan dunia maya”. Penjelasan lebih lanjut bisa dilihat dalam bukunya Abdul Wahid dan
Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara(Cybercrime),(Cet. I; Bandung: Refika Aditama, 2005),
39.
terhadap penggunaan teknologi informatika semakin meningkat mengikuti
perkembangan dari teknologi itu sendiri.
Sedangkan menurut terminologi , diambil dari pendapat para pakar adalah
sebagai berikut :
Menurut Muladi dalam bukunya yang ditulisnya bersama Barda Nawawi Arief,
“Bunga Rampai Hukum Pidana” melihat cybercrime dengan pendekatan
computercrime (Kejahatan komputer).Bahwasannya cybercrime sesungguhnya
berbeda dengan hal tersebut.9
Pendapat senada juga dinyatakan oleh Agus Raharjo, bahwa istilah
cybercrime sampai saat ini belum ada kesatuan pendapat bahkan tidak ada
pengakuaninternasional mengenai istilah baku, tetapi ada yang menyamakan
istilah cybercrime dengan computercrime.
Indra Safitri mengemukakan, cybercrime (kejahatan dunia maya) adalah jenis
kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa
batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi
yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari
sebuah informasi yang disampaikan dan diakses oleh pelanggan internet.10
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka yang dimaksudkan dengan cybercrime
adalah kejahatan yang dilakukan oleh seseorang, kelompok maupun korporasi
dengan menggunakan sarana komputer dan alat telekomunikasi lainnya seperti
handphone sebagai dampak negatif dari perkembangan aplikasi internet
Karakteristik Cybercrime
Hukum di Indonesia selalu dituntut agar dapat menyesuaikan dengan perubahan
sosial yang terjadi. Perubahan sosial terjadi karena kemajuan teknologi terjadi
telah mengubah pandangan manusia tentang berbagai kegiatan yang selama ini
hanya dimonopoli oleh aktivitas fisik belaka. Internet juga mengubah konsep
jarak dan waktu secara drastis sehingga seolah-olah dunia menjadi kecil dan tak
terbatas.11
Berdasarkan beberapa literature serta praktiknya, cybercrime memiliki
beberapa karaktristik, yaitu:
1. Perbuatan yang dilakukan secara illegal, tanpa hak atau tidak etis terjadi dalam
ruang/wilayah siber/cyber (cyberspace), sehingga tidak dapat dipastikan
yurisdiksi Negara mana yang berlaku terhadapnya.
2. Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan apapun yang
terhubung dengan internet.
3. Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian materiil maupun immateriil
(waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat, kerahasiaan informasi)
yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan kejahatan konvensional.

9
Agus Raharjo, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi. (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2002). 227-228.
10
https://business.fortunecity.com/buffett/842/art180199_tindak pidana.htm. (Diakses pada
tanggal, 25 januari 2020)
11
Agus Rahardjo, Cybercrime-Pemahaman Dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi. (Bandung: Citra Aditya Bakti), 59.
4. Pelakunya adalah orang yang menguasai pengunaan internet beserta
aplikasinya.
5. Perbuatan tersebut sering dilakukan secara transnasional/melintasi batas
Negara.12
Berdasarkan penjelasan diatas maka kita dapat mengetahui apa saja
karaktristik cybercrime tersebut seperti baik perbuatannya maupun pelakunya.
Bentuk-Bentuk Cybercrime
Dengan penjelasan di atas dapat kita ketahui kriteria bentuk-bentuk kejahatan
yang ada di dalam cybercrime. Jika disederhanakan kriteria bentuk-bentuk
tersebut ada dua yaitu:
a. Adanya pemalsuan dan/atau perusakan data input dengan maksud untuk
megubah output.
b. Penjahat (pelaku) melakukan penetrasi ke dalam komputer dan selanjutnya
mengubah susunan program dengan tujuan menghasilkan output yang berbeda
dari aslinya atau memperoleh masukan (input) yang benar.13

Jenis-Jenis Cybercrime
Dalam kenyataannya, penyalahgunaan internet yang dilakukan sangat beragam
atau bermacam-macam. Berikut ini beberapa jenis-jenis cybercrime yang telah
terjadi dan telah dirasakan oleh masyarakat baik tua maupun muda. Seperti
kejahatan dalam e-commerce, hacker, dan merusak situs milik Negara
sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Sutarman, antara lain:

a) E-Commerce
Kegiatan perdagangan yang dilakukan melalui layanan elektronik, dalam
hal ini melalui sarana internet, baik sistem promosi, sistem transaksi, system
pembayaran. Dengan hadirnya e-commerce, perdagangan dapat dilakukan
sangat efektif, karena public dapat mengakses suatu toko dari rumah masing-
masing, tanpa harus memasuki toko atau perusahaan tersebut.
b) Hacker
Hacker adalah orang yang memasuki atau mengakses jaringan computer
secara tidak sah (tanpa izin) dengan suatu alat dan program tertentu, bertujuan
untuk merusak, merubah data dengan menambah atau mengurangi.Kejahatan
yangdilakukan hacker berdampak terhadap kerusakan jaringan komputer,
tetapi unsur-unsur kejahatan dimaksud belum terjangkau oleh undang-
undang. Kalau kejahatan konvensional, seperti memasuki pekarangan orang
lain tanpa izin sudah jelas aturannya sebagaimana yang tertuang dalam Pasal
167 KUHP. 14
a. Merusak Situs Milik Negara

12
Abdul wahid dan M. Labib, ,Kejahatan Mayantara(Cybercrime),(Cet. I; Bandung: Refika
Aditama, 2005), 67.

13
Merry Magdalena dan Maswigrantoro Roes Setyadi, cyberlaw tidak perlu takut,
(Yogyakarta: Andi, 2007), 38.
14
Sutarman, Cyber Crime Modus Operandi dan Penanggulangannya (Cet. I; Yogyakarta:
Laksbang Pressindo, 2007), 67.
Kejahatan jenis ini dinilai sangat merugikan negara, karena di
samping data data penting, dokumen rahasia negara dapat terbongkar
yang akan mengacam eksistensi negara. Hal ini pernah terjadi pada kasus
pembobolan situs KPU tahun 2004 yang dilakukan oleh Tersangka Dani
Firmansyah pada situs KPU, https://tnp,kpu.go.id/n yang dilakukan pada
tanggal 17 April 2004, dengan mengubah tampilan beberapa nama partai
menjadi nama lain, menyerang server KPU tersebut di atas dengan cara
Struktured Query Language (SQL) Injection (menyerang dengancara
memberi perintah melalui program SQL) dan berhasil menembus situs
KPU.

b. Pelanggaran Isi Situs Web


Melihat kenyataan ini dipastikan cybercrime akan terus berkembang
pesat seiring dengan berkembang pesatnya teknologi informasi (TI).
Dengan demikian maka, jenis-jenis kejahatan yang terjadi di dunia maya
(cybercrime) menurut Ahmad M. Ramli dan kawan-kawannya adalah
sebagai berikut:
Pertama, pelanggaran isi situs web. Jenis pelanggaran ini ada 2 (dua),
yaitu:
1. Pornografi; dan
2. Pelanggaran Hak Cipta.
Kedua, pelanggaran dalam perdagangan secara elektronik (e-commerce).
Yang termasuk dalam pelanggaran ini adalah:
a. Penipuan online;
b. Penipuan pemasaran berjenjang online; dan
c. Penipuan kartu kredit.
Ketiga, pelanggaran lainnya, seperti:
a) Recreational hacker
b) Cracker atau criminal minded hacker
c) Political hacker
d) Denial of Service Attack (DoS)
e) Viruses
f) Pembajakan (Piracy)
g) Fraud
h) Phising
i) Perjudian (Gambling); dan
j) CyberStalking.15

Sejarah Ruang Lingkup Cybercrime


Pada dasarnya ruang lingkup cybercrime terjadi karena beberapa hal , antara lain :
1. Komputer sebagai instrumen untuk melakukan kejahatan dunia maya

15
Ahmad M. Ramli, Pager Gunung dan Indra Apriadi, Menuju Kepastian Hukum di Bidang
Informasi dan Transaksi Elektronik (Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika RI, 2005),
62-66.
2. Komputer dan perangkatnya sebagai objek penyalahgunaan, dimana data-data
didalam komputer yang menjadi objek kejahatan dapat saja diubah,
dimodifikasi, dihapus, atau diduplikasi secara tidak sah
3. Penyalahgunaan yang berkaitan dengan komputer atau data
4. Unauthorized acquisition, disclosure or use of information and data, yang
berkaitan dengan masalah penyalahgunaan hak akses dengan cara-cara yang
ilegal.
PEMBAHASAN DAN DISKUS
Efektivitas Implementasi Undang-Undang Ite Terhadap Cybercrime
Cybercrime ini memiliki ciri khas yang berbeda dengan kejahatan lainnya, seperti
Para pelaku menguasai teknologi informasi (Baik tua maupun muda). Sementara
ini kasus yang sudah terbukti pelakunya itu merupakan anak-anak muda bahkan
remaja, bahkan hal itu dilakukan karena hanya sekedar coba-coba semata.16
Sementara itu, menurut Ahmad M. Ramli teknologi informasi saat ini
menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi
peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi
sarana efektif untuk melakukan perbuatan melawan hukum.17 Alasan itulah yang
menjadi alasan pembenaran bahwa “di mana ada masyarakat, di situ ada
kejahatan”.18
Peribahasa lain menyatakan bahwa “ubi societis, ibi ius” (di mana ada
masyarakat di situ ada hukum) juga ikut membenarkan, bahwa kriminalitas yang
terjadi sejatinya adalah cermin riil kehidupan masyarakat, bahwa ada tali-temali
antara hukum masyarakat, dan kriminalitas. Masyarakat membutuhkan hukum,
karena masyarakat mencita-citakan kehidupan yang damai, tertib, nyaman atau
agar hak-haknya tidak diganggu oleh yang lain. Demikian itu merupakan
terjemahan dari kepentingan fundamental masyarakat yang sebenarnya
menempatkan antara kejahatan dengan hukum dalam posisi vis a vis (saling
berlawanan).19
Ruang maya banyak menawarkan berbagai macam informasi global yang
dijual oleh kapitalis-kapitalis untuk mendapatkan keuntungan dengan
menghalalkan berbagai cara, dan parahnya mereka juga mempunyai maksud dan
tujuan untuk menghancurkan ketahanan baik moral, ideologi bahkan agama
agama bangsa lain di muka bumi yang berbeda dengan mereka.20
Demikian juga dengan kehadiran cybercrime dalam realitas perkembangan
teknologi informasi menjadi sebuah implementasi negatif dan membahayakan
bagi perkembangan itu sendiri, karena kehadirannya tidak dikehendaki. Namun

16
Sutantu, Hermawan Sulistiyo dan Tjuk Sugiarto dalam Sutarman, Cybercrime: Modus
Operandi dan Penanggulangannya (Cet. I; Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2007), 32.
17
Achmad Sodiki dalam Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara
(Cybercrime) (Cet. I; Bandung: Refika Aditama, 2005), vii.
18
Achmad Sodiki dalam Abdul Wahid dan Mohammad Labib,(Cet. I; Bandung: Refika
Aditama, 2005), viii.
19
Achmad Sodiki dalam Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara
(Cybercrime) (Cet. I; Bandung: Refika Aditama, 2005), vii.
20
Sutarman, Cyber Crime Modus Operandi dan Penanggulangannya (Cet. I; Yogyakarta:
Laksbang Pressindo, 2007), 29.
demikian, hal tersebut tidak dapat ditolak karena hal itu sudah menjadi suatu
bagian dari sisi mata uang. Menolak cybercrime, sama saja dengan menolak suatu
perkembangan teknologi informasi. Hal ini cukup beralasan dengan adanya
pribahasa di atas, “di mana ada masyarakat, di situ ada kejahatan”.
Hal terpenting adalah bagaimana kejahatan itu dapat diminimalisir. Oleh
karena itu, aturan hukum biasa tampil dan dapat berperan menjadi panglima
dalam memberantas tindakan-tindakan yang melawan hukum. Kasus-kasus
cybercrime apabila dilakukan sebelum lahirnya Undang-Undang ITE, pelakunya
didakwa dengan peraturan hukum pidana konvensional. Perbuatan pidana yang
digunakan untuk menjerat pelakunya adalah seperti penipuan, kecurangan,
pencuriaan, perusakan, dan lain-lain yang pada intinya dilakukan secara langsung
oleh pelaku tersebut. Jika dilakukan dengan memanfaatkan sarana komputer
(internet) saat sekarang telah dapat diterapkan dengan pasal pasal yang terdapat
dalam Undang-Undang ITE tercantum dalam Bab 7 untuk “Perbuatan yang
Dilarang” (Pasal 27-37) dan dalam Bab 11 untuk “Ketentuan Pidana” (Pasal 45-
52).21
Dengan demilian, UU ITE dalam hal mengimplementasikan Cybercrime ini
belum efektif, karena banyak sekali hal-hal yang menjadikan UU ITE ini belum
efektif, antara lain, Secara umum masyarakat memandang UU ITE masih hanya
sebagai formalitas sesaat, yang mana peraturan dan perundang-undang yang
disusun, hanya berlaku jika ada kasus yang mencuat dan laju pertumbuhan
cybercrime yang begitu pesat serta upaya penanggulangan yang masih kurang
maksimal mengingat masih banyaknya kasus cybercrime yang ditangani oleh
aparat kepolisian. Maka dari itu salah satu solusi agar UU ITE tersebut efektif
dalam lingkungan masyarakat, maka perlu diadakannya sosialisasi UU ITE pada
masyarakat juga memiliki peran penting. Seperti edukasi kepada masyarakat dapat
dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan mengkampanyekan internet
sehat lewat media, membagikan software untuk memfilter situs-situs bermuatan
porno dan kekerasan.22 Dikarenakan kasus cybercrime meningkat maka, solusi
untuk mengefektifka/menurunkan kasus tersebut yaitu menerapkan hukuman yang
lebih bagi pelaku tindak pidana cybercrime.

Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Terjadinya Cybercrime


ada faktor lainnya yang menjadi penyebab dari tindak pidana cybercrime, antara
lain :
a) Kesadaran Hukum Masyarakat
Pada dasarnya, kesadaran hukum dalam masyarakat dalam merespon
aktivitas cybercrime masih dirasakan kurang. Hal tersebut dikarenakan
kurangnya pemahaman serta pengetahuan (lack of information) masyarakat
21
Niniek Suparni, Cyberspace: Problematika dan Antisipasi Pengaturannya (Cet. I; Jakarta:
Sinar Grafika, 2009),112-113.
22
https://www.kompasiana.com/arifdimasyuniyanto/58355f07b593731b08bbf4ca/uu-ite-
sudah-efektifkah?page=all hal. 1
terhadap berbagai macam kejahatan yang ada dalam cybercrime. Lack of
information tersebutlah telah menyebabkan upaya dalam penanggulangan
cybercrime mengalami kendala, dalam hal ini kendala yang berkenaan
dengan penaatan hukum dan proses pengawasan (controlling) masyarakat
terhadap setiap aktivitas yang diduga berkaitan dengan cybercrime. Mengenai
kendala yang pertama yaitu mengenai proses penaatan terhadap hukum. Jika
masyarakat di Indonesia memiliki pemahaman yang benar akan tindak pidana
cybercrime, maka baik secara langsung maupun tidak langsung
masyarakatakan membentuk suatu pola penaatan. Pola penaatan ini dapat
berdasarkan karena ketakutan akan ancaman pidana yang dikenakan bila
melakukan perbuatan cybercrime atau pola penaatan ini tumbuh atas
kesadaran mereka sendiri sebagai masyarakat hukum.23
Dengan demikian, kesadaran akan hukum pada masyarakat ini masih
kurang karena kurangnya pemahaman serta pengetahuan mengenai kejahatan
cybercrime yang menyebabkan penanggulangan kejahatan tersebut terhambat.
b) Faktor Keamanan
Pelaku kejahatan (cybercrime) akan merasa aman ketika sedang
menjalankan "aksinya". Hal tersebut tidak lain dikarenakan internet lazim
relatif di tempat-tempat tertutup, misalnya di kamar, rumah, dan perpustakaan
tempat-tempat lainnya. Akibatnya, banyak pelaku yang melakukan kejahatan
tersebut sangat jarang orang mengetahuinya. Hal tersebut dikarenakan
kejahatan tersebut bersifat konvensional, yang menjadi penyebab dimana
para pelaku akan mudah diketahui secara fisik ketika secara fisik ketika
sedang melakukan aksinya.
c) Faktor Penegak Hukum
Kenyaatan aparat penegak hukum yang ada di berbagai daerah pun belum
siap untuk mengantisipasi maraknya kejahatan ini karena masih banyak
lembaga kepolisian didaerah baik Polres Maupun Polsek, belum dilengkapi
dengan jaringan internet. Perlu diketahui, dengan teknologinya yang
sedemikian canggih, memungkinkan kejahatan dilakukan disatu daerah namun
akibat yang ditimbulkan dapat terjadi didaerah lain, bahkan hingga ke luar
negeri. Jangankan menyelidiki dan menyidik kasus cybercrime, mengenal
internet pun belum tentu aparat penegak hukum mengetahuinya (khususnya
untuk penegak hukum di daerah).24

23
Andi Amrullah dalam Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta:
Rajawali Pers, 1980), h. 125-126.
24
Dalam laporan hasil penelitian PPITK-PTIK yang berjudul “Tindak Pidana Teknologi
Komunikasi Informasi Cybercrime dan Upaya Penanggulangnnya”, Jakarta Desember 2003,
dinyatakan bahwa dari sejumlah 42 orang responden yang pernah mengikuti pendidikan kursus
komputer, hanya ada 1 (satu) orang yang mempunyai kualifikasi sebagai programer dan sisanya
sebagai operator saja. Lebih lanjut dinyatakan bahwa secara mayoritas, pengetahuan yang dimiliki
oleh penyidik terbatas pada modus operandi cybercrime yang berkaitan erat dengan delik
konvensional. Sedangkan untuk modus operandi cybercrime yang tergolong new category of
crimes seperti cyber terrorism atau hacking, hanya ada 2 (dua) orang penyidik dari 110 responden
sekitar sebesar 0,18% saja yang memenuhi kualifikasi. Selain penyidik-penyidik yang bekerja di
Polda Metro Jaya, para penyidik lain pada umumnya belum mempunyai pengalaman yang cukup
dalam hal penanganan kasus cybercrime sampai ke tingkat pengadilan dan divonis.
Dengan demikian, faktor kurangnya pengetahuan internet pada lembaga
kepolisian di daerah-daerah juga menjadi penghambat upaya penanggulangan
cybercrime tersebut.
Modus Operasi Terjadinya Cybercrime
Modus kejahatan dalam cybercrime sulit dimengerti oleh orang-orang yang tidak
menguasai pengetahuan teknologi informasi. Sebab, salah satu karakter pokok
cybercrime adalah penggunaan sarana teknologi informasi dalam modus
operasinya. Sifat inilah yang membuat cybercrime berbeda dengan tindak pidana
lainnya (konvensional).25
Kasus kejahatan yang sering kali terjadi di Indonesia, berikut adalah
modus-modus yang sering dilakukan oleh para pelaku cybercrime, antara lain:
a) Pencurian Nomor Kredit
Modus/penyalahgunaan jenis ini sering terjadi. Penyalahgunaan jenis ini
merupakan kasus terbesar yang biasa terjadi dalam dunia bisnis internet di
Indonesia. Penyalahgunaan kartu kredit orang lain tidaklah rumit dan biasa
dilakukan secara fisik atau online dengan cara memperoleh nama dan kartu
keredit orang lain dan biasanya dapat diperoleh diberbagai tempat seperti
hotel, rumah makan, dan tempat lainya yang menggunakan pembayaran
dengan kartu kredit lalu dimasukan kedalam aplikasi pembelian di internet.

b) Memasuki, Memodifikasi, atau Merusak Homepage (Hacking)


Menurut John S Tumiwa pada umumnya tindakan para hacker di
Indonesia belum separah hacker luar negeri. Karena mereka hanya sebatas
masuk ke suatu situs komputer orang lain yang rentan penyuspan sedangkan,
di luar negeri sudah memasuki system perbankan dan merusak data base.
c) Penyerangan Situs atau Email melalui Virus
Modus yang sering terjadi adalah mengirim virus melalui email.
Menurut RM Roy M. Suryo diluar negeri kejahatan ini diberi hukuman yang
berat. Berbeda dengan di Indonesia Karena belum ada peraturan yang
menjangkaunya.26
Dengan demikian, dari pernyataan di atas bahwa banyaknya modus atau
penyalahgunaan yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan tindak pidana
cybercrime di Indonesia sulit diatasi dan dikarenakan belum adanya peraturan
yang menjangkaunya dan untuk hukumannya pun masih rendah tidak seperti di
luar negeri.
Penanggulangan Cybercrime Berdasarkan Perundang-undangan di Indonesia
Pada dasarnya kejahatan selalu melekat dengan perkembangan dan peradaban
manusia. Menurut Saparinah Sadli kejahatan ialah perilaku yang menyimpang
karena setiap bentuk masyarakat tidak akan pernah ada masyarakat yang sepi akan
kejahatan.27
25
Abdul Wahid dan Muhammad Labib, Kejahatan Mayantara (cybercrime) (Refika
Aditama, Bandung, 2005), hal. 41.
26
Warta Ekonomi No.9 5 Maret 2001 hal.12
27
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana (Bandung: Alumni,
1998), 148.
Dengan demikian, upaya penanggulangan kejahatan yang sebenarnya
merupakan usaha yang terus menerus dan terus berkesinambungan. Semakin
majunya peradaban manusia, sebagai implikasi dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, muncul berbagai jenis kejahatan berdimensi baru,
yang termasuk didalamnya cybercrime. Sejalan dengan itu diperlukan upaya
penanggulangan untuk menjamin ketertiban dalam masyarakat. Dalam perspektif
hukum, upaya ini direalisasikan dengan hukum pidana. Hukum pidana diharapkan
mampu memenuhi ketertiban masyarakat.
Unsur-Unsur Pidana Dalam Cybercrime
Sebagaimana dalam azas-azas hukum pidana umum di dunia nyata hukum pidana
mengatur banyak hal tentang kepentingan publik di atas kepentingan pribadi.
Hukum pidana mengatur sanksi bagi pelaku tindak pidana dengan hukum badan.
Sama halnya di dalam dunia siber (mayantara) unsur-unsur yang ada dalam tindak
pidana di bidang ini tidak berbeda, karena yang membedakan hanya modus
operasi dan di dalam dunia yang berbeda yakni dunia siber. Unsur-unsur tindak
pidana dibagi atas 2 (dua), antara lain:
1. Unsur subyektif, artinya unsur subyektif suatu tindak pidana pelaku dengan
maksud atau memang sudah dari awal bermaksud melakukan suatu tindakan
melawan hukum. Jadi yang menjadi titik tolak dari jenis kejahatan ini adalah
dari pelaku tindak pidana.
2. Unsur obyektif, artinya obyek tindak pidana tersebut bukan setatus miliknya,
dan dilakukan melawan hak atau tanpa dan hak mengambil alih, menguasai
dan menimbulkan hak atas obyek tersebut.28

Pembuktian Cybercrime Dalam Hukum Pidana Di Indonesia


Dalam setiap kasus cybercrime, Proses penegakan hukum tidak dapat begitu saja
dilepaskan dengan dalih kesulitan pada proses pembuktian. Apalagi jika terhadap
perbuatan cybercrime tersebut telah dapat dikenakan delik-delik konvensional
yang ketentuannya jelas dan tegas. Upaya yang dapat ditempuh adalah
penelusuran bukti bukti yang berkaitan dengan perbuatan pelaku cybercrime
melalui jalur KUHAP. Artinya, di sini kita tetap menggunakan alat-alat bukti
berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa. Minimalnya, kesalahan pelaku dapat terbukti dengan sekurang-
kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah.29

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hukuman Tindak Pidana Informasi


Elektronik Dalam UU Nomor 19 Tahun 2016
Tindak Pidana Islam
Dalam hukum islam tindak pidana biasa disebut sebagai jarimah. Jarimah
adalah larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan suatu ukuman
28
Adami Chazawi. 2002. Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta: Raja Grafindo
Persada Hal. 57
29
Pasal 183 KUHAP.
seperti had atau ta’zir. Larangan yang dimaksud adalah manakala manusia
mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak dibolehkan/ tidak diperintahkan Allah
tetapi malah di kerjakan. Sedangkan kata-kata “syara” memiliki pengertian
segala sesuatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh suatu
syara’, baik ia berbuat ataupun tidak berbuat tetap dianggap sebagai jarimah,
kecuali manakala adanya pengancaman maka diberi hukuman. Menurut para
fuqaha, hukuman tersebut biasanya disebut dengan kata-kata “ajziyah” atau
mufradnya“ jaza”. Pengertian jarimah tersebut tidak berbeda dengan pengertian
tindak pidana, (peristiwa pidana, delik) pada hukum pidana positif.30
Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur umum dan unsur khusus pada jarimah itu ada perbedaan. Unsur umum
jarimah ancamannya hanya satu dan sama pada setiap jarimah, sedangkan unsur
khusus bermacam-macam serta berbeda-beda pada setiap jenis tindak pidana
(jarimah). Apabila ada Seseorang yang melakukan tindak pidana harus memenuhi
syarat-syarat yaitu, antara lain:
1. Berakal
2. Cukup umur
3. Mempunyai kemampuan bebas (mukhtar)
Syarat-syarat tertentu harus terdapat pada pelaku dalam kedudukannya
sebagai orang yang bertanggung jawab dan pada perbuatan yang diperintahkan.
Syarat-syarat untuk pelaku mukallaf ada dua macam, yaitu:
a. Pelaku sanggup memahami nash-nash syara’ yang berisi hukum taklifi.31
b. Pelaku orang yang pantas dimintai pertanggungjawaban dan dijatuhi
hukuman.32
Dari segi situasi zaman, jarimah itu dibagi:
1. Jarimah biasa ialah jarimah yang diperbuat dalam keadaan biasa (normal)
2. Jarimah politik ialah jarimah yang dilakukan dalam keadaan perang
saudara atau dalam keadaan pemberontakan.33
Berdasarkan uraian diatas dari pembagian jarimah dalam hukum islam,
oleh karena itu cybercrime tergolong dalam jarimah ta’zir. Hal tersebut
berdasarkan pada ketidakadaan ayat atau teks Al-Quran terhadap
permasalahan tersebut. Namun, apabila ditelusuri lebih jauh, maka dapat
ditemukannya jarimah dalam kategori jarimah hudud, seperti :
a. Tuduhan berbuat zina (pencemaran nama baik),
b. Perjudian atau undian

30
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : PT. Bulan bintang, 1967), 1.
31
Hukum Taklifi adalah salah satu tuntunan dari Allah yang berkaitan atas perintah dalam
mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan hal yang baik dan buruk.
https://materibelajar.co.id/macam-macam-hukum-taklifi/ (diakses pada 01 maret 2020, pukul
08.30 WIB)
32
Makhrus Munajat, Hukum pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit TERAS,
2009), hlm. 11, Lihat juga, Moh Khasan, Reformulasi Teori Hukuman Tindak Pidana Korupsi
Menurut Hukum Islam, (Semarang: Akfimedia, 2011), hal. 22.

33
Marsum, Jinayat( Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Perpustakaan UII, 2003), 10.
c. Pencurian, dan
d. Penipuan.
Kasus-kasus lainnya yang telah disebutkan dalam jarimah hudud tidak
dalam pembahasannya, karena kasus-kasus tersebut lebih fokus dengan
perbuatan pidananya saja yang harus melibatkan kontak fisik secara langsung.
Sedangkan bentuk jarimah yang lainnya terjadi tanpa melibatkan kontak
fisik. Cybercrime secara umum lebih menitikberatkan jenis kasus-kasus
pidana tidak secara langsung terjadinya kontak fisik, sehingga kasus-kasus
yang melibatkan kontak fisik tidak terakomodir. Antara lain:
a. Jarimah zina
b. Pemberontakan,
c. Meminum khamar
d. Penodongan dan perampokan
e. Pemberontakan, dan
f. Riddah (murtad).
Dalam kasus kejahatan carding (kejahatan kartu kredit) Pasal 30 ayat
(1), (2), dan (3) dalam Undang-Undang ITE yang menjadi dasar hukum
Terhadap kasus ini,ada beberapa kemungkinan yang dapat dilakukan oleh
pelakukejahatan carding, yaitu pencurian atau penggelapan. Pelaku dapat di
katakana sebagai pencurian karena ia mengambil barang/hak orang lain
secara tidak sah. Obyek pencurian dapat bermacam-macam.
Sering kali data komputer lebih menarik, karena berisi rahasia yang
sangat bernilai untuk dijual. Manipulasi juga sering dijadikan untuk mencari
keuntungan baik uang ataupun barang.Salah satu contoh kasus petugas
komputer perusahaan mencari sejumlah barang dengan mengubah data
komputer yang berisi daftar barang. Dengan perubahan data tersebut,
dimaksudkan untuk menghilangkan sejumlah barang sehingga pelaku dapat
memiliki barang tanpa terlihat dalam laporan bulanan. Biasanya sesudah
berlangsung lama kehilangan baru dapat diketahui.34 Contoh yang lain
misalnya, dengan modus electronic piggyhacking,35 Pencurian software,36
penyalahgunaan cash-card.37

Sanksi Pidana Cybercrime dalam Hukum Pidana Islam


Berikut adalah penjelasan mengenai sanksi sanksi pidana cybercrime yang
ada dalam islam, yaitu :
34
Niniek Suparni, Cyberspace: Problematika dan Antisipasi Pengaturannya (Cet. I; Jakarta:
Sinar Grafika, 2009), 155.
35
Electronic Piggyhacking ialah modus pencurian dengan menyembunyikan terminal atau
alat penghubung ke dalam sistem komputer secara diam-diam. Dengan melalui terminal tersebut,
data komputer dapat dipelajari atau ditransfer untuk dicuri apabila komputer sedang tidak
dipergunakan.
36
Pencurian Software ialah mengambil data komputer secara tidak sah atau menggelapkan
tanpa mengambil disket (hard disk) atau carrier yang berisi data. Dengan memasuki sistem
komputer secara melawan hukum, pelaku mentransfer data ke dalam komputernya di tempat lain
atau membuat copy data komputer tertentu.
37
Penyalahgunaan Cash-Card adalah mengambil uang dari mesin otomatis seperti cash
dispenser atau automatic teller machine (ATM) melebihi dana yang ada atau dananya sudah tidak
ada, di mana penyerahan uang oleh ATM tanpa menipu atau memanipulasi data komputer, yaitu
dengan menggunakan password atau PIN yang sah.
1) Penipuan
Sanksi pidana penipuan sebagaimana penjelasan tersebut di atas,
bahwa kejahatan penipuan dilihat dari ruh syariat, menipu adalah
membohongi. Berlaku dusta merupakan ciri munafik. Sifat pembual,
pendusta, pembohong dan penipu adalah karakter yangmelekat bagi orang
munafik. Munafik seperti dinyatakan dalam firman Allah swt Qs. Al-
Nisa’/4: 145
ِ َ‫ار َولَن تَ ِج َد لَهُ ْم ن‬
‫صي ًر‬ ِ ْ‫ِإ َّن ْٱل ُم ٰنَفِقِينَ فِى ٱلدَّر‬
ِ َّ‫ك ٱَأْل ْسفَ ِل ِمنَ ٱلن‬
Terjemahan:
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada
tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali
tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.(Qs. Al-
Nisa’/4: 145)38

Ayat tersebut memberikan penilaian kepada orang munafik lebih


membahayakan dari pada orang kafir. Jika merampas atau merampok
harta hukumannya seperti hukuman orang kafir, yaitu hukuman mati,
maka hukuman terhadap orang munafik minimal sama dengan hukuman
yang ditentukan terhadap perampok. Berdasarkan hal tersebut, apabila
pelaku tindak pidana penipuan disamakan dengan perbuatan perampok,
maka sanksi hukumannya adalah dibunuh yang kemudian disalib, atau
dipotong tangan dan kakinya, atau dibuang. Hal ini dilakukan atas dasar
besar kecilnya efek yang ditimbulkan dari tindakan tersebut. Apabila
dilihat dari sudut pandang cybercrime, maka hukuman pokok pada tindak
pidana tersebut bisa berupa ta’zir, karena hakim memiliki otoritas
terhadapnya.
2) Kesusilaan
Tindak pidana ta’zir adalah keseluruhan tindak pidana yang terdapat
dalam nash Alquran dan hadis, tetapi tidak ditetapkan sanksi pidananya.
Karena tindak pidana kesusilaan muncul di dunia cyber, maka tindak
pidana ini juga ditetapkan oleh penguasa, karena modus oprandinya yang
dinilai baru.39 Kewenangan untuk memberikan sanksi diberikan kepada
para legislator untuk merumuskannya.

3) Pemerasan atau Pengancaman


Pemerasan yang disertai pengancaman pada dasarnya mengambil
harta atau pemindahan hak kepemilikan harta benda milik orang lain
dalam penguasaannya tanpa transaksi yang sah disertai dengan
pemaksaan. Penodongan lebih lazim dipakai terhadap tindak pidana yang
dilakukan di luar rumah, sedangkan perampokan dilakukan di dalam

38
Departemen Agama RI., Alquran dan Terjemahnya (Bandung, PT Syaamil Cipta Media,
2004 ), 101.
39
Kasus zina/video mesum dalam konteks Undang-Undang ITE di tempatkan pada
pembuktian rekaman yang dijadikan sebagai barang bukti. Untuk itu, rekaman video porno/mesum
dapat diuji kebenarannya melalui seorang ahli di bidang IT di laboratorium forensik
komunikasi/telematika.
rumah atau kantor. Sehingga sanksi hukumnya dapat dijatuhi berdasarkan
ketentuan pokok dalam pencurian dan perampokan, yaitu dibunuh yang
kemudian disalib, atau pidana amputasi tangan dan kaki yang merupakan
sebagai sanksi pidana pokok tindak pidana ta’zir. Akan tetapi, dengan
melihat kenyataan terhadap perbuatan pidana yang dilakukannya sanksi
hukumnya dapat berupa hukuman yang lebih ringan, seperti :
a. Pidana cambuk
b. Pidana penjara
c. Pidana denda
d. Pidana pengawasan dan lain-lain
e. Bebas dari segala tuntutan hukum.
Penjatuhan hukuman tentu setelahmelalui proses peradilan (persidangan)
dan memenuhi syarat-syaratnya.
4) Pengrusakan
Tindak pidana pengerusakan dalam hukum pidana Islam
dikelompokkan dalam tindak pidana atas selain jiwa. Akan tetapi, tindak
pidana pengrusakan dalam cybercrime tidak menyangkut pengrusakan
yang berkaitan anggota badan, melainkan dokumen elektronik atau
sejenisnya.
5) Pencurian
Karena sanksi pidana ditetapkan berdasarkan tingkat berat dan
ringannya kejahatan dan tingkat efek yang terjadi pada korban, maka
sanksinya pun beraneka ragam. Mengingat Indonesia merupakan negara
berasaskan Pancasila yang mengacu pada hukum positif dan
memberlakukan Undang-Undang ITE sebagai undang-undang yang
mengatur cybercrime bukan hukum pidana Islam, maka sanksi yang telah
ditetapkan secara maksimal dalam hukum pidana Islam dapat diturunkan
menjadi sanksi jarimah ta’zir, yakni sanksi hukumannya diserahkan
kepada penguasa atau hakim untuk menyelesaikan perkara-perkara yang
berkaitan dengan cybercrime karena penguasa atau hakim memiliki
otoritas terhadap penetapan sanksinya, yaitu penjara dan denda.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan 2 (dua) macam, yaitu
pertama, Efektivitas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan Undang-Undang yang bukan
pertama yang secara khusus mengatur tindak pidana siber di Indonesia. UU ITE
dalam hal mengimplementasikan Cybercrime ini belum efektif, karena banyak
sekali hal-hal yang menjadikan UU ITE ini belum efektif, antara lain, Secara
umum masyarakat memandang UU ITE masih hanya sebagai formalitas sesaat,
yang mana peraturan dan perundang-undang yang disusun, hanya berlaku jika ada
kasus yang mencuat dan laju pertumbuhan cybercrime yang begitu pesat serta
upaya penanggulangan yang masih kurang maksimal mengingat masih banyaknya
kasus cybercrime yang ditangani oleh aparat kepolisian. Hal ini disadari oleh
Indonesia bahwa keterbatasan perundang-undangan konvensial yang dimiliki sulit
untuk menjawab masalah ini, sehingga memandang perlu untuk menyesuaikan
hukumnya untuk tetap menjaga kedaulatan negara serta kepentingan negara dan
warganya.
Kedua, Sanksi atau hukuman untuk para pelaku cybercrime menurut hukum
pidana islam adalah ta’zir dengan melalui vonis di pengadilan. Dalam penegakkan
hukum mengenai cybercrime ini belum terlalu jelas. Bahwasannya masyarakat
didunia terutama di Indonesia belum begitu paham dengan penegakkan hukum
cybercrime tersebut. Pada dasarnya sanksi atau hukuman yang terpapar dalam
undang-undang ini yaitu berupa sanksi pidana penjara dan pidana denda. Tetapi
kedua macam pidana ini hanya ditetapkan secara maksimum khusus saja.

DAFTAR PUSTAKA
A. Jazuli, Hukum Pidana Islam Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Amrullah, Andi dan Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta:
Rajawali Pers, 1980.
Ardianto, Elvinaro. Metodologi penelitian untuk Public Relations Kuantitatif dan
Kualitatif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2010
Arief, Barda Nawawi. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2003.
Aryaguna, Adhi Dharma. “Tinjauan Kriminologis Terhadap Kejahatan Penipuan
Berbasis”, Skripsi, Universitas Hasanudin Makassar, 2017.

Departemen Agama RI., Alquran dan Terjemahnya. Bandung, PT Syaamil Cipta


Media, 2004.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta : PT. Bulan bintang,
1967.
https://business.fortunecity.com/buffett/842/art180199_tindak pidana.htm.
(Diakses pada tanggal, 25 januari 2020)
https://id.wikipedia.org/wiki/Dunia_maya (Diakses tanggal 21 Oktober 2019,
Pukul 20:02 WIB)
https://news.detik.com/berita/d-2714416/penanganan-kasus-cyber-crime-
terganjal-regulasi-dan-anggaran( diakses pada 24 Oktober 2019, Pukul
22:01 WIB)
Makarim, Edmon. Kompilasi Hukum Telematika. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003.
Mansur, Didik M. Arief dan Elisatris Ghutom, Cyberlaw-Aspek Hukum Teknologi
Informasi, Bandung: Refika aditama, 2005.
Marsum, Jinayat( Hukum Pidana Islam), Yogyakarta: Perpustakaan UII, 2003.
Masyhuri, Khaerul Taqiyuddin. Metode Penelitian: Prosedur dan Teknik menyusun
Skripsi Makalah dan Book Raport. Cirebon: STAIN Cirebon, 2002.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni,
1998.
Munajat, Makhrus. Hukum pidana Islam di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit TERAS,
2009
Prastya, Okgit Rahmat. “Paya Direktorat Kriminal Khusus Subdit Cybercrime
Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Cybercrime Yang Berkaitan
Dengan Pornografi Dan Pornoaksi (Studi Polda Lampung).” Skripsi,
Universitas Lampung, 2016.
Raharjo, Agus. Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi.Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
Ramli, Ahmad M, Pager Gunung dan Indra Apriadi, Menuju Kepastian Hukum di
Bidang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jakarta: Departemen
Komunikasi dan Informatika RI, 2005.
Rokhmadi, Reaktualisasi Hukum Pidana Islam (Kajian Tentang Formulasi Sanksi
Hukum Pidana Islam). Semarang: Departemen Agama IAIN Walisongo
Semarang, PusatPenelitian, 2005.
Sutantu, Hermawan Sulistiyo dan Tjuk Sugiarto. Cybercrime: Modus Operandi dan
Penanggulangannya. Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2007.
Sutarman, Cybercrime Modus Operandi dan Penanggulangannya Yogyakarta:
Laksbang Pressindo, 2007.
Wahid, Abdul dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cybercrime),
Bandung: Refika Aditama, 2005.
Widodo, Sistem Pemidanaan dalam CyberCrime: Alternatif Ancaman Pidana Kerja
Sosialdan Pidana Pengawasan Bagi Pelaku CyberCrime. Yogyakarta:
Laksbang Mediatama, 2009.
Warta Ekonomi No.9 5 Maret 2001 hal.12

Anda mungkin juga menyukai