Anda di halaman 1dari 71

MAKALAH TEKNOLOGI INFORMASI KOMPUTER

CYBERCRIME

DI SUSUN OLEH :

AZRA AMALIA RAMADHANI

10823166

1MA06

UNIVERSITAS GUNADARMA
KATA PENGANTAR

Perkembangan masyarakat zaman sekarang ini semakin maju dan di


dukung oleh pertumbuhan teknologi telekomunikasi, hingga ikatan antar
negara sudah bersifat mendunia sehingga menghasilkan tatanan dunia
baru. Demikian ini tidak dapat dipungkiri bahwa dampaknya terhadap
perkembangan masyarakat Indonesia yang sedang membangun di era
reformasi itu telah dihadapkan dengan berbagai krisis, baik politik,
ekonomi, dan sosial budaya, dan ini harus ditangani agar bangsa dan
negara Indonesia tetap dipandang keberadaannya di antara bangsa-bangsa
di dunia.

Teknologi informasi memegang peran yang penting, baik di masa kini


maupun masa yang akan datang. Internet adalah salah satu bagian dari
perkembangan teknologi informasi yang telah membuka cakrawala baru
dalam kehidupan manusia. Internet dapat diartikan sebuah ruang
informasi dan komunikasi yang menembus batas-batas antarnegara dan
mempercepat penyebaran ilmu pengetahuan serta mempermudah segala
kegiatan yang dilakukan manusia. Walaupun begitu, setiap sisi positif pasti
memiliki sisi negative. Internet berlaku dalam hal ini banyak kejahatan
yang dapat terjadi dalam cyberspace yang dinamakan cybercrime. Saat ini,
kata "aman" belum dapat kita rasakan dalam dunia cyber. Berbagai
penanggulangan yang dianggap efektif masih dilakukan hingga saat ini,
walaupun tidak menghindari para pelaku Cybercrime, setidaknya dapat
mengecilkan kemungkinan seseorang menjadi salah satu korban dari
Cybercrime atau penanggulangan saat Cybercrime terjadi.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................... 2


DAFTAR ISI ....................................................................................... 3
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................ 4
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah..................................................................... 6
1.3 Tujuan ......................................................................................... 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 8
2.1 Pembangunan Hukum Pidana ............................................ 8
BAB 3 PEMBAHASAN .................................................................. 16
3.1 Pengertian CyberCrime ......................................................... 16
3.2 Motif CyberCrime dan Jenis jenis cybercrime .................... 32
3.3 Pengaturan Hukum Mengenai Cyber Crime dalam
Pusaran Teknologi Informasi Berbasis Komputer yang
Dihubungkan dengan Internet ................................................... 39
3.5 Pencegahan dan Penanggulangan CyberCrime................. 60
BAB 4 PENUTUP ............................................................................. 67
4.1 Kesimpulan .............................................................................. 67
4.2 Saran.......................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 71
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Teknologi Informasi dan Komunikasi, sehingga telah menjadi isu yang


sangat meresahkan yaitu terjadinya kejahatan yang dilakukan di dunia
maya atau sekarang ini dikenal dengan istilah cybercrime. Cybercrime
adalah tindak kriminal yang dilakukan dengan menggunakan teknologi
komputer sebagai alat kejahatan utama. Merupakan kejahatan yang
memanfaatkan perkembangan teknologi komputer khususnya internet.

Perkembangan teknologi di bidang komputer dewasa ini melanda hampir


seluruh belahan dunia, yang diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi yang
tinggi di dunia dan menyebabkan perkembangan dalam dunia bisnis sudah
makin mengglobal. Atas dasar tersebut, seiring dengan pesatnya
perkembangan dibidang teknologi informatika, telah merubah paradigma
dengan hadirnya cyber space, yang merupakan imbas dari jaringan
komputer global, termasuk di dalamnya jaringan internet.

Transformasi digital yang semakin berkembang di era revolusi industri


4.0 ini, menuntut penguasaan teknologi informasi dan komunikasi
(TIK), termasuk di KPU. Penerapan TIKtelah dituangkan dalam
peraturan dan keputusan KPU tentang Sistem Pemerintahan Berbasis
Elektronik (SPBE). Namun, dengan mencermati peningkatan
cybercrimedan kesenjangan digital di Indonesia, perlu dipertimbangkan
upaya antisipasi. Penelitian ini membahas tentang keamanan siber dan
kompetensi SDM yang dibutuhkan dalam mengantisipasi permasalahan
cybercrimedan kesenjangan digital. Sejak tahun 2004, KPU telah menjadi
korban cybercrime berulang kali. Pengalaman tersebut menjadi
pembelajaran dalam upaya menyukseskan Pemilu dan Pemilihan
Serentak Tahun 2024, dengan dukungan penerapan TIK di semua lini. Di
sisi lain, kesenjangan digital termasuk kompetensi SDM, mempunyai
kontribusi yang siginifikan terhadap keberhasilan penerapan TIK. Melalui
studi kepustakaan dengan metode penelitian kualitatif, dapat diketahui
tantangan penerapan TIK di KPU sehingga dapat diantisipasi sejak
awal. Tantangan ini berupa meningkatnya cybercrime, akses internet yang
tidak merata, serta kompetensi SDM yang belum memadai. Hasil
penelitian ini memberikan rekomendasi bahwa cybercrimedan
kesenjangan digital, dapat diantisipasi dengan penguatan keamanan
siber melalui panduan dan audit keamanan siber, peningkatan
kompetensi SDM, kerjasama dengan pemangku kepentingan terkait, dan
evaluasi berkala.

Meskipun perkembangan teknologi informasi sangat pesat, namun


perkembangan yang ada tidak selamanya digunakan untuk kepentingan
yang positif, namun juga sering disalahgunakan untuk hal-hal yang negatif.
Sejatinya, perkembangan teknologi informasi berbasis komputer yang
terhubung melalui jaringan internet sering dijadikan sebagai sarana serta
media untuk melakukan kejahatan. Misalnya melakukan pencemaran
nama baik terhadap seseorang atau mungkin juga transaksi bisnis
prostitusi online yang sekarang marak diberitakan.

Beberapa kasus kejahatan yang terjadi dipicu oleh maraknya pengunaan


email, ebanking, ecommerce di Indonesia. Semakin maraknya kasus
cybercrime yang terjadi terutama di Indonesia telah menarik perhatian
pemerintah untuk segera memiliki undangundang yang bisa digunakan
untuk bisa menjerat para pelaku kejahatan di dunia maya. Dalam tataran
kebijakan, penanganan cyber crime berbeda dengan penanganan kejahatan
lainnya. Pemerintah umumnya dapat dengan mudah mengendalikan dan
menerapkan hukum di dalam wilayah kedaulatan negaranya. Namun tidak
demikian terhadap aktifitasaktifitas on-line yang letak atau lokasinya
secara fisik dapat berubah sewaktu-waktu, bahkan hanya dapat
dibayangkan.

Berbagai kejahatan telah terjadi di dunia maya ini, kasus-kasus tersebut


tentu saja merugikan dan berdampak negatif, kejahatan dunia maya
semacam ini tidak hanya mencakup Indonesia, tetapi juga mencakup
seluruh dunia. Beberapa kejahatan yang terjadi disebabkan oleh maraknya
penggunaan e-mail, e-banking dan e-commerce di Indonesia. Semakin
banyaknya kasus cybercrime (khususnya di Indonesia) telah menarik
perhatian pemerintah untuk segera memberlakukan undang-undang yang
dapat digunakan untuk menjebak pelaku kejahatan di dunia maya.
Pemerintah Indonesia sendiri telah memasukkan UU Cybercrime (UU
Siber) ke dalam UU ITE Nomor 11 Tahun 2008, dan berharap dengan
adanya UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 dapat mengatasi, mengurangi, dan
menghentikan pelaku kejahatan di dunia maya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Pengertian CyberCrime
2. Jenis Jenis dan motif CyberCrime
3. Sudut pandang Hukum Mengenai Cyber Crime
4. Pencegahan dan Penanggulangan Cybercrime
1.3 Tujuan

1. Menjelakan Pengertian CyberCrime


2. Untuk Mengetahui dan memahami lebih lanjut mengenai jenis jenis
dan motif CyberCrime
3. Menjelaskan tentang Hukum Mengenai Cyber Crime dalam Pusaran
Teknologi Informasi Berbasis Komputer yang Dihubungkan dengan
Internet
4. Mengetahui bagaimana mencegah dan menanggulangi masalah
CyberCrime
BAB 2
TINJAUAN PUSTALA

2.1 Pembangunan Hukum Pidana

Penggunaan hukum pidana untuk penanggulangan kejahatan


perlu memperhatikan fungsi hukum pidana yang subsider, yaitu
hukum pidana baru digunakan apabila upaya-upaya lainnya
diperkirakan kurang memberi hasil yang memuaskan atau
kurang sesuai. Akan tetapi kalau hukum pidana akan tetap
dilibatkan, maka hendaknya dilihat dalam hubungan
keseluruhan politik kriminal atau istilah yang lazim digunakan
dalam kongres PBB IV 1970 adalah planning for social defence
yang harus merupakan bagian yang integral dari rencana
pembangunan nasional (Sudarto, 1981 : 104). Diperlukan suatu
pendekatan yang sistematik terhadap kebijakan penanggulangan
kejahatan yang merupakan satu kesatuan dengan kebijakan
pembangunan nasional, mulai dari keseluruhan penentuan
hukum pidana subtantive dan hukum acara pidana, meliputi
proses dekriminalisasi, depenalisasi, dan diversi baik mengenai
pembaharuan prosedurnya yang menjamin dukungan warga
masyarakat maupun mengadakan tinjauan terhadap keberadaan
semua kebijakan dengan memperhitungkan akibatnya, demikian
pula penetapan hubungan yang erat antara sistem peradilan
pidana dengan sektor-sektor pembangunan lainnya.

Pembangunan nasional ataupun pengembangan masyarakat


mestinya berparadigma peningkatan kualitas kehidupan. Istilah
Hiroshi Ishikawa, sehubungan dengan obyek/sasaran
pembangunan, dinyatakan It is expected to cover aspect of
human life, including not only economic life but also the social,
cultural, and spiritual life economic life (Hiroshi Ishikawa, 1984 :
18). Mengenai pembangunan manusia, dalam Guiding Principles
for Prevention and Criminal Justice in The Context Development
and a New International Economic Order dinyatakan perlunya
hal itu meliputi pencegahan kejahatan sebagai salah satu tujuan
pokok dalam pembentukan suatu tatanan ekonomi internasional
baru. Dalam kerangka ini kebijakan pencegahan kejahatan dan
peradilan pidana harus memperhitungkan sebabsebab
struktural, yang mencakup sebabsebab sosial ekonomi,
ketidakadilan, yang memosisikan kejahatan sering merupakan
suatu gelaja (United Nations, 1968 : 6).

Posisi hukum pidana merupakan bagian yang integral dari


perencanaan pembangunan nasional, dikemukakan Konggres
PBB di Venezuela, Konggres PBB VII 1985 di Milan. Dari
sebagian pernyataan-penyataan dapat dipahami bahwa
pembangunan itu sendiri pada hakikatnya tidak bersifat
kriminogen. Namun demik ian pembangunan dapat bersifat
kriminogen, apabila pem bangunan it u s endiri t idak
direncanakan secara rasional, timpang atau tidak seimbang,
mengabaikan nilai-nilai kultural, dan moral, serta tidak
mengandung strategi perlindungan masyarakat yang integral.
Ini berarti kebijakan hukum pidana dapat bersifat kriminogen
apabila tidak direncanakan secara rasional timpang atau tidak
seimbang, mengabaikan nilai-nilai kultural, dan moral serta
tidak mengadung strategi perlindungan masyarakat yang
integral. (Barda Nawawi Arief 1986 : 55-57).

Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana bagian


dari politik kriminal, juga harus merupakan bagian yang integral
dengan politik sosial yaitu kebijakan mencapai kesejahteraan
sosial dan perlindungan masyarakat. Berkaitan dengan masalah
ini, dalam pembukaan UUD 1945 termasuk sebagai Tujuan
Nasional, yang dinyatakan anatar lain : melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum. Ini menunjukkan
bahwa persoalan perlindungan masyarakat dan upaya
penciptaan kesejahteraan masyarakat sudah merupakan ide
dasar yang dituangkan dalam UUD 1945. dengan demikian hal
itu menjadi kewajiban bagi pemerintah maupun seluruh
masyarakat merealisasikan dengan cara melaksanakan
pembangunan nasional. Dengan demikian menjadi penting
faktor ke amanandan ketertiban masyarakat yang berarti
masyarakat terbebas dari kekhawatiran merajalelanya kejahatan,
sehingga ini perlu tercakup dalam kebijakan pembangunan
berkaitan d engan perlindungan sosial. Perwujudannya berupa
upaya penanggulangan kejahatan dan peningkatan kualitas
kehidupan yang terkandung di dalamnya faktor keamanan,
bebas dari rasa takut karena kejahatan.

Pendayagunaan hukum pidana tercermin dalam kebijakan


perundangundangan yang memfokuskan permasalahan sentral
menyangkut penetapan perbuatan apa yang seharusnya
dijadikan sebagai tindak pidana, dan sanksi pidana apa yang
sebaiknya dikenakan. Dalam hukum pidana materiil kedua hal
tersebut termasuk perhatian terhadap orang/ pelakunya, dalam
hal ini mengenai masalah pertanggungjawaban. Oleh karena itu,
dalam hukum pidana materiil dikenal masalah pokok yang
menyangkut perbuatan/tindak pidana, pertanggungjawaban
dan sanksi pidana.

Penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana dalam


undang-undang tidak lain merupakan proses kriminalisasi.
Permasalahan yang muncul menyangkut tolok ukur. Dalam hal
ini biasanya yang menjadi tolok ukur dalam kriminalisasi adalah
kebencian masyarakat, kerugian, korban yang ditimbulkan dari
perbuatan itu, keseimbangan antara biaya dan hasilnya,
kemampuan bagi aparat, dan perbuatan tersebut menghambat
pencapaian tujuan negara. Dikaitkan dengan kejahatan
berdimensi baru yang terkait dengan teknologi informasi
nampaknya dapat dikatakan memenuhi tolok ukur tersebut.

Masalah pertanggungjawaban juga menyangkut pelakunya


mempunyai kesalahan atau tidak, sehubungan dengan hal itu
dikenal dalam hukum pidana Asas Tiada Pidana Tanpa
Kesalahan

(Geen Straf Zonde Schuld). Asas ini tentu sulit jika diterapkan
pada korporasi, karena umumnya yang dikenal kesalahan
terdapat pada orang. Oleh karena itu untuk mengantisipasi
kejahatan berdimensi baru dengan melihat sifat dan bentuknya
maka perlu digunakan asas pertanggungjawaban yang lain,
berdasarkan fakta penderitaan yang ditimbulkan terhadap si
korban, yang dikenal sebagai Asas Res ipsa Loquitur (fakta
sudah berbicara lain). Dalam hal ini doktria yang diterapkan
terhadap pertanggungjawaban korporasi adalah Strict Liability
(pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan), dan Vicarious
Liability (pertanggungjawaban pidana yang dibebankan pada
seseorang atas peruatan orang lain).pertimbangan yang
mendasari hal ini karena akibat kejahatan berdimensi baru yang
dapat merusak kepentingan masyarakat luas, menyerang
keselamatan orang banyak, mencermarkan lingkungan hidup.

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam


menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana
(tindak pidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang
dapat dipidana). Jadi pada hakikatnya, kebijakan kriminalisasi
merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy)
dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) sehingga
termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy).

Pengaturan hukum prospeknya tidak hanya mengacu pada


hukum nasional, melainkan juga mengacu pada kecenderungan-
kecenderungan yang diakui oleh masyarakat beradab di dunia.
Dalam kerangka hukum nasional, maka diperlukan
pembaharuan hukum dengan memperhatikan aspirasi
suprastruktur, infrastruktur, ekspertis dan aspirasi masyarakat
internasional, serta ditambah dengan proses legal drafting yang
berkualitas.

Termasuk akibat samping dari perkembangan teknologi


memunculkan adanya kejahatan komputer, kejahatan internet
(cyber crime) yang dapat juga berkaitan dengan kejahatan di
bidang ekonomi, khususnya dimanfaatkan dalam kejahatan di
bidang perbankan. Beberapa jenis kejahatan komputer dapat
dicarikan pengaturannya sebagai delik dalam KUHP. Walaupun
sebenarnya hal itu tidak cocok benar, karena masih terdapat
persoalan mengenai penafsiran.

Tindak pidana di bidang teknologi informasi, dikenal pula


kejahatan siber/ dunia maya, hubungannya dengan
penanggulangan kejahatan, workshop mengenai computer
related crime yang diselenggarakan dalam Kongres PBB X April
2000 menyatakan bahwa negara-negara anggota harus berusaha
melakukan harmonisasi ketantuanketentuan yang berhubungan
dengan kriminalisasi, pembuktian, dan prosedur (States should
seek harmonization of the relevant provision on criminalization
evidence and procedure). Jadi masalahnya bukan sekedar
bagaimana membuat kebijakan hukum pidana (kebijakan
kriminalisasi/formulasi/ legislasi) di bidang penanggulangan
kejahatan dunia maya, tetapi bagaimana ada harmonisasi
kebijakan penal di berbagai negara. Ini berarti, kebijakan
kriminalisasi tentang masalah cyber crime bukan semata-mata
masalah kebijakan nasional (Indonesia), tetapi juga terkait
dengan kebijakan regional dan internasioanal.

Kebijakan menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana


disebut juga sebagai kebijakan kriminalisasi termasuk dalam
kebijakan perundangundangan yang selalu mendapat perhatian.
Hal ini sehubungan dengan kenyataan bahwa tindak pidana /
kejahatan ditentukan oleh undangundang,maka dapat dikatakan
undangundang itulah menciptakan kejahatan. Undang-undang
memberikan wewenang dan dasar legitimasi kepada penegak
hukum untuk menyatakan apakah perbuatan seseorang
merupakan kejahatan atau tidak. Ini bukan berarti undang-
undang bersifat krimonogen, melaink an han ya memberi cap
perbuatan sebagai kejahatan. Akan tetapi undang-undang dapat
merupakan faktor kriminogen apabila tidak konsisten dengan
kenyataan, terpisah dengan perasaan dan nilai-nilai masyarakat,
sehingga muncul sikap tidak percaya mengenai efektivitas sistem
hukum tersebut (Barda Nawawi Arief, 1988-4-5). Perumusan
suatu tindak pidana dalam undang-undang perlu
diperhitungkan masak -masak berkaitan dengan tujuan
efektivitas atau kemudahan untuk penerapannya secara baik. Di
dalam kepustakaan dikenal adanya jenis-jenis perumusan tindak
pidana. Pertama perumusan tindak pidana dalam undang-
undang yang menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang.
Dengan melakukan perbuatan sebagaimana tercantum dalam
rumusan itu dianggap tindak pidana telah selesai dilakukan,
yang disebut sebagai perumusan secara formil (delik formil).
Kedua perumusan tindak pidana yang menitikberatkan pada
akibat yang dilarang, bila akibat yang dilarang ini benar-benar
terjadi barulah dianggap tindak pidana selesai dilakukan yang
disebut sebagai perumusan secara materiil (delik materiil)
(Bambang Poernomo, 1978:95).
Gambar 1. Kerangka Pemikira
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Pengertian CyberCrime

Cybercrime atau kejahatan berbasis komputer, adalah kejahatan


yang melibatkan komputer dan jaringan (network). Komputer
mungkin telah digunakan dalam pelaksanaan kejahatan, atau
mungkin itu sasarannya. Cybercrimes dapat didefinisikan
sebagai: "Pelanggaran yang dilakukan terhadap perorangan atau
sekelompok individu dengan motif kriminal untuk secara
sengaja menyakiti reputasi korban atau menyebabkan kerugian
fisik atau mental atau kerugian kepada korban baik secara
langsung maupun tidak langsung, menggunakan jaringan
telekomunikasi modern seperti Internet (jaringan termasuk
namun tidak terbatas pada ruang Chat, email, notice boards dan
kelompok) dan telepon genggam (Bluetooth / SMS / MMS)".
Cybercrime dapat mengancam seseorang, keamanan negara atau
kesehatan finansial.

Secara umum yang dimaksud dengan kejahatan komputer atau


kejahatan di dunia maya (Cybercrime) adalah: ”upaya memasuki
dan atau menggunakan fasilitas komputer atau jaringan
komputer tanpa ijin dan dengan melawan hukum dengan atau
tanpa menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada
fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan
tersebut.Kejahatan komputer mencakup berbagai potensi
kegiatan ilegal. Umumnya, kejahatan ini dibagi menjadi dua
kategori : (1) kejahatan yang menjadikan jaringan komputer dan
divais secara langsung menjadi target; (2) Kejahatan yang
terfasilitasi jaringan komputer atau divais, dan target utamanya
adalah jaringan komputer independen atau device.

Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi


informasi berbasis komputer berkembang sangat pesat di tengah
masyarakat. Masyarakat kemudian dimanjakan dengan
perkembangan teknologi ini. Betapa tidak, untuk berbelanja
masyarakat tidak perlu harus pergi ke pasar-pasar atau ke pusat
perbelanjaan untuk membeli sesuatu barang yang dibutuhkan.
Tinggal klik barang langsung datang. Masyarakat sangat
dimudahkan dan terbantu dengan kehadiran teknologi informasi
berbasis komputer. Perkembangan teknologi di bidang
komputer dewasa ini melanda hampir seluruh belahan dunia,
yang diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi di
dunia dan menyebabkan perkembangan dalam dunia bisnis
sudah makin mengglobal. Atas dasar tersebut, seiring dengan
pesatnya perkembangan dibidang teknologi informatika, telah
merubah paradigma dengan hadirnya cyber space, yang
merupakan imbas dari jaringan komputer global, termasuk di
dalamnya jaringan internet.

Meskipun perkembangan teknologi informasi sangat pesat,


namun perkembangan yang ada tidak selamanya digunakan
untuk kepentingan yang positif, namun juga sering
disalahgunakan untuk hal-hal yang negatif. Sejatinya,
perkembangan teknologi informasi berbasis komputer yang
terhubung melalui jaringan internet sering dijadikan sebagai
sarana serta media untuk melakukan kejahatan. Misalnya
melakukan pencemaran nama baik terhadap seseorang atau
mungkin juga transaksi bisnis prostitusi online yang sekarang
marak diberitakan.” “Tingginya perkembangan informasi dan
besarnya arus cyber media yang sangat cepat, maka setidaknya
ada dua masalah krusial yang bisa dilihat dalam hal ini. Pertama,
persoalan cyber crime. Jika dianalisis lebih jauh, istilah cyber
crime merupakan tindakan pidana kriminal yang dilakukan
pada teknologi internet melalui proses penyerangan atas fasilitas
umum di dalam cyber space maupun data pribadi yang besifat
penting maupun dirahasiakan. Ia serupa petir yang
meruntuhkan gaya simentris dalam kebenaran sebuah data
maupun informasi. Model kejahatan tindak pidana di atas dapat
dibedakan menjadi off-line crime, semi on-line, dan cyber crime.
Tindakan ini masing-masing memiliki karakteristik tersendiri
yang khas. Potret kejahatan tersebut acapkali dilakukan atas dua
hal yakni motif intelektual yakni kejahatan yang dilakukan
hanya untuk kepuasan sendiri, dan telah mampu merekayasa
dan mengimplementasikan bidang teknologi informasi, dan
yang kedua adalah motif ekonomi dimana kejahatankejahatan
tersebut digunakan untuk mencari keuntungan pribadi dan
kelompok tertentu yang merugikan orang lain secara ekonomi.
Kedua, adalah kejahatan cyber sabotage. Sebuah kejahatan baru
yang mulai ‘dikekalkan’ dengan membuat gangguan, perusakan,
atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau
sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet.

“Dua kejahatan tersebut tentu merupakan ancaman nyata bagi


keselamatan ekonomi, sistem sosial dan sebagainya. Sebab dunia
maya adalah dunia dimana ruangruang diskursif hadir tanpa
batas. Cyber media adalah perangkat yang menggunakan gugus
the free market of ideas. Ketika semua orang berhak berkomentar
dan menelurkan gagasan tanpa batas maka disanalah kejahatan
akan lahir. Sebab kebebasan akan melahirkan gaya kejahatan
yang baru, dan begitupun seterusnya.

Isu seputar jenis kejahatan ini telah menjadi sangat populer,


terutama seputar hacking, pelanggaran hak cipta, penyadapan
yang tidak beralasan dan pornografi. Ada pula masalah privasi
pada saat informasi rahasia dicegat atau diungkapkan, secara sah
atau tidak. Debarati Halder dan K. Jaishankar lebih jauh
mendefinisikan cybercrime dari perspektif gender dan
mendefinisikan “cybercrime against women” sebagai “Kejahatan
yang ditargetkan pada wanita dengan motif untuk secara sengaja
menyakiti korban secara psikologis dan fisik, menggunakan
jaringan telekomunikasi modern seperti internet dan telepon
genggam".

Pada faktanya, cybercrime telah menimbulkan begitu banyak


korban dan kerugian moril dan materil. Korban dapat berupa
netizen (penghuni cyberspace) dan masyarakat umum. Namun
pada negara berkembang dengan ketimpangan digital seprti
Indonesia, tak menganggapnya sebagai bentuk kejahatan. Seperti
halnya kehidupan nyata, ada yang hitam dan ada yang putih, ada
yang berperan seperti pahlawan, dan ada pula yang seperti
penjahat. Untuk memahami cybercrime, kita juga harus
memahami apa yang disebut dengan hacker, cracker dan lainnya.
Lebih detailnya adalah sebagai berikut:
1. Hacker

Menurut Ustadiyanto definisi hacker adalah orangorang yang


ahli dalam bidangnya. Hacker ialah orang orang yang doyan
mempelajari komplikasi sistem komputer dan melakukan
eksperimen. Mereka cerdas dan mahir untuk menyusup ke
dalam jaringan komunikasi suatu pranata di dunia maya. Peretas
ini anti sensor, anti penipuan, dan memaksakan hasrat orang
lain. Mereka bertaut prinsip bahwa hacker bermaksud
meningkatkan keamanan jaringan internet. Mereka memuliakan
etika atau norma yang berlangsung di dunia maya. Contohnya,
jika ada sebuah perusahaan perbankkan mengatakan tentang
jaringan sistem komunikasinya sangat rumit dan mustahil untuk
diretas serta tak akan ada yang berhasil menembus. Maka hacker
akan menghadapi tantangan tersebut, dan selepas berhasil
mereka akan memperingatkan alangkah lemahnya sistem
informasi perusahaan itu. Oleh karena itu, tak sedikit dari
mereka yang berakhir dengan direkrut perusahaan untuk
mengamankan sistem informasi dan komunikasi di dunia maya.

2. Cracker

Di dunia maya, ada beberapa sisi menakutkan dari hacker.


Mereka disebut cracker. Para cracker secara ilegal menyusup,
menembus, serta merusak situs web, dan sistem keamanan
jaringan internet hanya untuk tujuan hiburan dan keuntungan.
Setelah berhasil menghancurkan situs sebuah perusahaan,
mereka merasa bangga. Serangan cracer juga sangat luar biasa.
Ada sekitar 100 serangan cracker dalam sehari. Info tersebut
diperoleh dari Kementerian Pertahanan Amerika Serikat di
Pentagon.

3. Carder

Carder merupakan orang yang melakukan cracking, ialah


pembobolan kartu kredit untuk mencuri nomor kartu orang lain
dan menggunakannya untuk keuntungan pribadi. Umumnya
yang menjadi korban adalah mereka yang memiliki kartu kredit
dalam jumlah besar. Menurut hasil penelitian kejahatan carding,
pada tahun 2002 Indonesia menduduki peringkat kedua setelah
Ukraina.
4. Deface

Deface merupakan suatu gerakan menyusup ke suatu situs,


kemudian mengganti tampilan halaman situs untuk maksud
tertentu. Indonesia pernah diserang para deface yang mengubah
situs TNI. Tampilan gambar Burung Garuda Pancasila diganti
dengan lambang palu arit. Tampilan homepage Polri juga diubah
menjadi gambar wanita telanjang.

5. Phreaker

Merupakan seseorang yang melaksanakan cracking yang


berkenaan dengan jaringan telepon, sehingga dapat melakukan
panggilan secara gratis kemana saja. Di Indonesia, kasus seperti
ini pernah terjadi pada beberapa warung telepon.

Contoh perbuatan yang dilakukan oleh hacker dan cracker,


antara lain (Golose, 2006).

a. pencurian dan penggunaan account internet milik orang lain

b. pengubahan halaman web yang dikenal dengan istilah deface.

c. pembajakan dapat dilakukan dengan mengeksploitasi lubang


keamanan. Salah satu langkah yang dilakukan cracker sebelum
masuk ke server yang ditargetkan adalah melakukan
pengintaian. Cara yang dilakukan adalah dengan melakukan
portscanning atau probing untuk melihat servisservis apa yang
saja yang tersedia di server target. Contoh hasil scanning dapat
menunjukkan bahwa server target menjalankan program web
server Apache, mail server Sendmail, dan seterusnya.

d. penyebaran virus ke komputer. Penyebaran dilakukan dengan


menggunakan e-mail, seringkali orang yang sistem e-mail-nya
terkena virus tidak sadar akan hal itu. Virus ini dikirimkan ke
tempat lain melalui e-mail-nya. Kasus virus ini sudah cukup
banyak seperti virus Mellisa, I Love You, dan SirCam.

e. DoS attack merupakan serangan yang bertujuan untuk


melumpuhkan target (hang, crash) sehingga tidak dapat
memberikan layanan. Serangan ini tidak melakukan pencurian,
penyadapan, ataupun pemalsuan data, tetapi dengan hilangnya
layanan, target tidak dapat memberikan servis sehingga ada
kerugian finansial.
f. Kejahatan yang berhubungan dengan nama domain. Nama
domain digunakan untuk mengidentifikasikan perusahaan dan
merk dagang. Banyak orang mencoba menarik kentungan
dengan mendaftarkan domain nama perusahaan orang lain
kemudian berusaha menjualnya dengan harga yang lebih mahal.
Istilah yang sering digunakan adalah cybersquatting.

Sasaran kejahatan cyber crime dapat dikelompokkan menjadi


katagori sebagai berikut (Hinea, 2005)

a. Cyber crime yang menyerang individu (Against Person)

Sasaran jenis kejahatan ini ditujukan kepada perorangan atau


individu yang memiliki sifat atau kriteria tertentu sesuai tujuan
penyerangan tersebut. Salah satu contoh kejahatan ini adalah
pornografi yang merupakan kegiatan yang dilakukan dengan
membuat, memasang, mendistribusikan, dan menyebarkan
material yang berbau pornografi, cabul serta mengekspos hal-hal
yang tidak pantas (Hinea, 2005).

b. Cyberstalking

Kegiatan yang dilakukan untuk mengganggu atau melecehkan


seseorang dengan memanfaatkan komputer, misalnya dengan
menggunakan e-mail yang dilakukan secara berulang-ulang
seperti halnya teror di dunia cyber.

c. Cyber-Tresspass

Kegiatan yang dilakukan melanggar area privasi orang lain


seperti misalnya web hacking, breaking ke PC, probing, port
scanning.

d. Cyber crime menyerang hak milik (Against Property)


Cyber crime yang dilakukan untuk mengganggu atau
menyerang hak milik orang lain. Beberapa contoh kejahatan jenis
ini misalnya pengaksesan komputer secara tidak sah melalui
dunia cyber, pemilikan informasi elektronik secara tidak
sah/pencurian informasi, carding, cybersquating, hijacking, data
forgery dan segala kegiatan yang bersifat merugikan hak milik
orang lain.

e. Cyber crime menyerang pemerintah (Against Goverment)

Cyber crime Against Government dilakukan dengan tujuan


khusus penyerangan terhadap pemerintah. Kegiatan tersebut
misalnya cyber terrorism sebagai tindakan yang mengancam
pemerintah termasuk juga cracking ke situs resmi pemerintah
atau situs militer.

Gambar 2. Kasus Kejahatan Dunia Maya yang Menyerang


Website Pemerintah

Situs Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia diretas dan


informasinya bocor pada tahun 2004. Sang hacker, Dani
Firmansyah, ditangkap pada 22 April 2004. Ia mengaku
tertantang untuk meretas situs tersebut setelah pejabat KPU
menyatakan bahwa sistem teknologinya kuat dan tidak mungkin
diretas. Peristiwa itu terjadi di Pusat Tabulasi Pemilu Hotel KPU
Borobudur Jakarta Pusat pada 17 April 2004. Dani menggunakan
Cross Site Scripting (XSS) dan SQL Injection untuk menguji
sistem keamanan server tnp.kpu.go.id di gedung PT Danar.
Insiden peretasan menyoroti pentingnya langkah-langkah
keamanan dunia maya untuk situs web pemerintah. KPU telah
menerapkan regulasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
untuk mencegah kejahatan dunia maya. Namun demikian, masih
terdapat kelemahan pada sistem keamanan teknologi informasi
yang dapat dimanfaatkan oleh para hacker (Effendi, 2022).

Selanjutnya pada tahun 2013 terjadi serangan siber antara


Indonesia dan Australia. Serangan tersebut diprakarsai oleh
seorang hacker Indonesia yang bertanggung jawab atas serangan
tersebut dan menuntut permintaan maaf dari Australia. Peretas
menargetkan situs web pemerintah Australia dan bank sentral.
Menanggapi hal tersebut, Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kemkominfo) RI mengeluarkan pernyataan yang
menghimbau para hacker Indonesia untuk tidak menyerang
Australia. Namun, peretas melanjutkan serangannya hingga
Australia meminta maaf kepada Indonesia. Insiden tersebut
menyebabkan ketegangan antara kedua negara dan
menimbulkan kekhawatiran bahwa hal itu dapat menyebabkan
perang dunia maya antara Indonesia dan Australia (Kominfo,
2013). Perang dunia maya antara Indonesia dan Australia pada
tahun 2013 dipicu oleh tuduhan bahwa pemerintah Australia
memata-matai pemerintah Indonesia. Konflik meningkat ketika
peretas Indonesia yang berafiliasi dengan Anonymous
menyerang sejumlah situs web yang berbasis di Australia,
termasuk situs web Australian Secret Intelligence Service (ASIS),
antara 8 dan 11 November. Warga Australia diduga membalas
pada 15 November. Perang dunia maya terjadi di tengah
ketidaksepakatan antara Indonesia dan Australia atas pencari
suaka dan terungkapnya penyadapan pejabat Indonesia oleh
Australia (Lestari, 2021). Perang dunia maya antara Indonesia
dan Australia pada tahun 2013 merupakan contoh bagaimana
keamanan dunia maya dapat berdampak pada hubungan
internasional. Sejak saat itu, kedua negara menjalin kerja sama
keamanan siber melalui dialog kebijakan untuk mencegah
konflik di masa depan.

Kasus selanjutnya adalah Tiket.com dan Citilink yang diserang


oleh sekelompok hacker remaja dan satu orang berusia 27 tahun.
Hacker ini berhasil membobol akun situs jual beli tiket online
Tiket.com di server Citilink. Mereka menggunakan username
dan password yang didapatkan dengan cara meretas situs
Tiket.com untuk memasuki server Citilink. Setelah mendapatkan
kode booking tiket pesawat, mereka menjualnya melalui akun
Facebook pribadi mereka dengan harga diskon 30-40%. Akibat
dari serangan ini, Tiket.com mengalami kerugian sebesar Rp
4.124.000.982 dan Citilink merugi Rp 1.973.784.434. Pelaku telah
meraup keuntungan sampai Rp 1 milyar rupiah (CNN Indonesia,
2017).

Kasus keempat, pada Mei 2021 BPJS Kesehatan, kebocoran data


di mana 279 juta catatan warga negara Indonesia bocor dan dijual
di forum online. Pelanggaran tersebut pertama kali dilaporkan di
media sosial dan BPJS Kesehatan segera merespons dengan
menangguhkan semua kemitraan pertukaran data. Investigasi
diluncurkan oleh polisi, BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara),
dan tim sistem operasi keamanan untuk melacak sumber
kebocoran (e-Media DPR RI, 2021). Pelanggaran data telah
menimbulkan kekhawatiran tentang risiko keamanan nasional.
Dewan Pengawas BPJS Kesehatan juga telah menyatakan
keprihatinan atas masalah tersebut.

Kemudian pada Juli 2021, ditemukan kebocoran data pada


aplikasi e-HAC, yaitu kartu elektronik yang diperlukan untuk
bepergian selama pandemi Covid-19. Kebocoran tersebut
disebabkan oleh lemahnya protokol keamanan. Diperkirakan 1,3
juta pengguna aplikasi e-HAC Kemenkes terkena dampak
pembobolan data tersebut, dengan data yang bocor sekitar 2 GB.
Bocoran tersebut juga mengungkap data dari 226 rumah sakit di
Indonesia, termasuk nama, alamat, dan kapasitasnya (Direktorat
Sistem Informasi dan Teknologi UNIDA, 2021). Pada 24 Agustus,
BSSN melakukan verifikasi laporan dan mematikan server e-
HAC. Pada 25 Agustus lalu, Kemenkes membahas celah
keamanan pada aplikasi e-HAC. VPNMentor menemukan
bahwa tidak hanya pengguna aplikasi eHAC yang terkena
pembobolan data, tetapi juga seluruh infrastruktur terkait e-HAC
Kemenkes, rumah sakit, dan pejabat yang menggunakan aplikasi
tersebut. Data yang bocor tersebut antara lain informasi
penumpang seperti dokumen identitas, nomor paspor, dan foto
serta nomor KTP Elektronik yang digunakan saat pembelian tiket
dan tujuan hotel. Namun, pada 9 September, penyelidikan polisi
tidak menemukan bukti data pengguna diambil dari server
eHAC. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan
menyatakan data pengguna aman dan terlindungi dalam
aplikasi PeduliLindungi yang telah terintegrasi dengan sistem
eHAC (Kominfo, 2021).

Selanjutnya situs Sekretariat Kabinet Republik Indonesia


setkab.go.id diretas pada 30 Juli 2021. Peretas adalah dua remaja
yang ditangkap polisi pada 5-6 Agustus 2021. Para peretas adalah
anggota komunitas bernama Padang BlackHat dan telah meretas
sekitar 650 situs secara total. Motif meretas situs Sekretariat
adalah untuk mencari keuntungan dengan menjual skrip pintu
belakang dari situs yang ditargetkan. Kedua hacker tersebut
dijerat dengan pasal 46 ayat (1) UU No.11/2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman
hukuman maksimal enam tahun penjara dan/atau denda Rp 1
miliar (USD). 69.000). Namun, mereka dialihkan ke program
rehabilitasi alih-alih dituntut karena masih di bawah umur.
Sekretariat menegaskan bahwa tidak ada dokumen rahasia di
situsnya dan hanya berisi informasi tentang kegiatan presiden
dan pemerintah (Maharani, 2021).

Kejahatan dunia maya dapat berdampak signifikan pada


individu dan bisnis. Kejahatan dunia maya seperti pencurian
identitas, penipuan, dan pelanggaran data dapat menyebabkan
kerugian finansial, kerusakan reputasi, dan tekanan emosional
bagi individu. Bisnis juga rentan terhadap kejahatan dunia maya,
dengan potensi kerugian finansial akibat pencurian data atau
serangan ransomware. Selain itu, bisnis dapat dikenai denda
peraturan jika gagal mematuhi undang-undang perlindungan
data (Nugroho & Chandrawulan, 2022). Karena itu, penting bagi
individu dan bisnis untuk mengambil langkah-langkah untuk
melindungi diri dari kejahatan dunia maya.

Para karakter hacker biasanya tak berasal dari kaum bawah,


mereka biasanya ialah orang-orang terpelajar, yang setidaknya
mengenyam pendidikan sampai tingkat tertentu dan bisa
menggunakan ataupun mengoperasikan komputer. Para craker
juga termasuk orang yang berpendidikan, tidak buta teknologi,
mampu menurut finansial, serta tidak termasuk dalam
masyarakat kelas bawah. Kejahatan seperti ini dapat
diklasifikasikan sebagai “white collar crime” (kejahatan kerah
putih). Jo Ann L. Miller, membagi pelakunya menjadi 4 (empat)
kategori:

1. Organizational occupational crime

Penjahat melakukan tindakan ilegal atau merugikan orang lain


lewat jaringan internet buat kepentingan atau keuntungan suatu
perusahaan. Pelaku biasanya adalah para eksekutif.

2. Government occupational crime

Melakukan suatu tindakan yang ilegal melalui internet, namun


dengan persetujuan atau perintah dari negara (pemerintah),
Pelakunya sendiri ialah pejabat (birokrat) meski dalam banyak
kasus bilamana hal tersebut terkuak, maka akan dibantah.

3. Professional occupational crime

Beragam pekerjaan yang melakukan kejahatan secara disengaja


(malpraktik).

4. Individual occupational crime


Ialah para pengusaha, pemilik modal atau orang-orang
independen lainnya yang melakukan perbuatan menyimpang,
walaupun tingkat sosial ekonominya mungkin tidak tinggi.
Dalam aspek pekerjaannya.

Di antara negara berkembang, Indonesia merupakan salah satu


negara yang lambat mengikuti perkembangan teknologi
komunikasi modern. Indonesia kurang memprioritaskan
pengembangan teknologi dan penguasaan strategi. Yang
terjadi saat itu adalah transfer teknologi dari negara maju
tidak otomatis dikuasai oleh negara berkembang seperti
Indonesia. Sungguh ironis, karena pada sekitar tahun 1980
Indonesia merupakan negara Asia Tenggara yang memiliki
satelit komunikasi pertama kali. Namun sekarang Singapura
dan Malaysia yang saat itumasih menyewa satelit Palapa dari
Indonesia, sudah menjadi negara maju berbasis teknologi
komunikasi modern.11Walaupun masih ada kontroversi, bisa
dikatakan bahwa Indonesia ialah negara dengan kesenjangan
digital yang cukup besar. Kesenjangan digital bisadijelaskan
sebagai adanya kesenjangan antara mereka yang bisa
menggunakan teknologi komunikasi dan mereka yang tidak
bisa. Selain kesenjangan tingkat pendidikan dan ekonomi di
Indonesia, akses teknologi komunikasi Indonesia juga belum
merata. Ketimpangan,kurangnya informasi dan
telekomunikasi dapat dibagi menjadi beberapa kategori.
Tentunya yang paling banyak dikunjungi adalah yang paling
dekat dengan pusat informasi komunitas (masyarakat).Terlepas
dari kesenjangan digital, kejahatan dunia maya (cybercrime) di
Indonesia masih merajalela. Kasus yang paling sering terjadi
adalah pembobolan kartu kredit oleh para hacker hitam.
Mereka dapat menggunakan kartu kredit orang lain untuk
mendapatkan apa pun yang mereka butuhkan, mulai dari
berlian, radar laut, corporate software, computer server, Harley
Davidson, hingga senjata M-16. Kejahatan tersebut biasa
disebut dengan (credit card fraud) atau carding. Indradi
memaparkan 12 carding ialah penipuan terhadap kartu kredit
apabila pelaku mengerti nomor kartu kredit seseorang yang
masih berlaku, kemudian pelaku dapat membeli
perlengkapan secara online dan mengirimkan tagihan
kepada pemilik asli kartu kredit tersebut, pelaku carding
biasa disebut carder. Dalam kejahatan ini, pemilik kartu kredit
akan kehilangan uangnya karena orang lain menggunakannya
untuk berbelanja dengan mencuri rekening kartu kreditnya.
Pencurian akun ini bisa dilakukan dengan cara membobol
keamanan toko online tempat pembelian dilakukan. Apalagi
jika keamanan toko online tersebut tidak kuat, maka akun
kartu kredit yang kemungkinan dibajak oleh para pelaku
carding(carder) akan bertambah.Berdasarkan kasus dan
keadaan cybercrime yang berlangsung di Indonesia, bisa
terlihat bahwa cybercrimemelahirkan ancaman serius bagi
departemen keamanan non tradisional. Di Indonesia, kejahatan
cyber crime merupakan salah satu kejahatan tertinggi di
dunia. Istilah keamanan disebut sebagai kemampuan negara
untuk mendeskripsikan konsep ancaman dengan
mengedepankan aspek militer dalam penyelesaiannya.
Seperti yang dikatakan oleh Walt, penelitian keamanan
adalah fenomena perang yang ditegaskan sebagai, “the study of
threat, use, and control of military force”.13Namun, setelah
tuntasnya perang dingin, makna dari istilah keamanan
mengalami perubahan, keamanan meliputi sudut-sudut yang
lebih luas, semacam masalah lingkungan hidup, hak asasi
manusia, ekonomi, sosial masyarakat, budaya, dan sebagainya.
Perubahan makna dan konsep keamanan ini disebabkan oleh
berbagai perkembangan, seperti tren global. Revolusi di bidang
teknologi komunikasi menunjukkan salah satu tren
perkembangan, perubahan ini memungkinkan jarak dapat
dihilangkan dan didukung oleh fasilitas transportasi dunia
yang semakin kompleks. Situasi iniakan berdampak pada
perkembangan problematis masalah politik global, termasuk
masalah keamanan.

3.2 Motif CyberCrime dan Jenis jenis cybercrime

Ada beberapa motif CyberCrime :

1. Cyber crime menyerang individu, yaitu kejahatan yang


menyerang individu seseorang dengan motif dendam atau
iseng yang bertujuan untuk merusak nama baik, mencoba
ataupun mempermainkan seseorang utnuk mendapatkan
kepuasan pribadi, contohnya : pornografi dan cyberstalking.
2. Cyber crime yang menyerang hak cipta atau hak milik,
yaitu kejahatan yang dilakukan terhadap hasil karya orang
lain dengan motif menggandakan, memasarkan, mengubah
yang bertujuan untuk kepentingan pribadi atau umum
ataupun demi materi maupun nonmateri.

3. Cyber crime yang menyerang pemerintah, yaitu kejahatan


yang dilakukan dengan pemerintah sebagai objek dengan
motif melakukan terror, membajak ataupun merusak
keamanan suatu pemerintahan yang bertujuan untuk
mengacaukan system pemerintaha, atau menghancurkan
suatu Negara.

4. Cyber crime sebagai tindak kejahatan murni, dimana orang


yang melakukan kejahatan dilakukan secara disengaja,
dimana orang tersebut seara sengaja dan terencana utnuk
melakukan pengerusakkan, pencurian, tindakan anarkis
terhadap suatu system informasi ataupun system computer.

5. Cyber crime sebagai tindak kejahatan abu-abu, dimana


kejahatan ini tidak jelas antara kejahatan criminal atau bukan,
karena dia melakukan pembobolan tetapi tidak merusak,
mencuri ataupun melakukan perbuatan anarkis terhadap
system informasi ataupun system computer. Ini yang biasa
dilakukan oleh para hacker, dimana seorang hacker biasanya
memasuki system jaringan ataupun system computer dengan
tujuan untuk mengetahui apakah system tersebut aman tau
tidak, tidak ada yang dirusak oleh para hacker, mereka murni
menguji system yang nantinya akan bisa membuat perbaikan
bagi system yang di hack.
Dalam beberapa literatur, cybercrime umumnyadianggap
sebagai computer crime. The U.S. Department of Justice
mendefinisikan kejahatan komputer sebagai: “...any illegal act
requiring knowledge of computer technology for its perpe-
tration, investigation, or prosecution”. Organization of
European Community Development membagikan definisi
lain,yaitu: “any illegal, un-ethical or unauthorized behavior
relating to the automatic processing and/or the
transmission of data”. Hamzahmendefinisikansebagai
“kejahatan di bidang pc secara universal bisa
dimaksud bagaikan pemakaian pc secara ilegal”.Dari
penafsiran di atas, Wisnubrotomengartikan kejahatan PC
bagaikan perbuatan melawan hukum yang dicoba dengan
memakai pc bagaikan fasilitas/ perlengkapan PC bagaikan
objek, baik buat memperoleh keuntungan ataupun tidak,
dengan merugikan pihak lain. Singkatnya, kejahatan
komputer didefinisikan sebagai tindakan ilegal yang
dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer yang
kompleks. Selain itu, sejak kejahatan dilakukan di dunia
maya melalui internet, muncul istilah cybercrime.Untuk
sebagian besar warga yang terbiasa memakai media
teknologi komunikasi, cybercrimetidaklah sebutan yang
asing.

Cybercrime ataupun kejahatan dunia maya ialah fenomena


yang tidak dapat disangkal. Tidak nampak tetapi nyata.
Permasalahan cybercrimeyang bermacam-macam terus
menjadi bertambah tiap harinya, paling utama di negara yang
belum terdapat kepastian hukum di bidang teknologi
komunikasi modern (convergence).Meskipun mereka tak
ingin dipanggil sebagai penjahat karena perbuatannya,
namun mereka tidak berbeda dengan penjahat. Karena
teknologi komunikasi ini punya kekuatan yang luar biasa
untuk mengubah prilaku komunikasi manusia,
tehnologi ini selain ada manfaatberwujud kemudahan
komunikasi, juga memiliki sisi yang gelap. Salah satu contoh
kerugian tehnologi adalah memudahkan para “penjahat”
untuk melakukan kejahatan. Penjahat dunia maya
(cybercrime) bisa memangsa korbannya, itu adalah
kemungkinan dari kemajuan tehnologi itu sendiri.Raharjo
meyakini bahwa kejahatan merupakan fenomena sosial
yang sudah ada di dunia mulai awal pada kehidupan
manusia. Kejahatan yang lebih maju (modern) adalah
suatu bentuk pengubahan kejahatan dari bentuk asli
karena tehnologi komunikasi.8Wajah kejahatan juga sudah
diperhalus dengan sedemikian rupa, kejahatan konvensional
di dunia nyata timbul ke dunia maya dengan cara virtual.
Pada faktanya, cybercrimetelah menimbulkan begitu banyak
korban dan kerugian moril dan materil. Korban dapat berupa
netizen(penghuni cyberspace) dan masyarakat umum.
Namun pada negara berkembang dengan ketimpangan
digital seprti Indonesia, tak menganggapnya sebagai
bentuk kejahatan.

Jenis jenis kejahatan CyberCrime

1. Illegal acces/Unauthorized Access to Computer System


and Service. (Akses tidak sah ke sistem komputer dan jasa)
adalah suatu bentuk kejahatan yang dilakukan dengan cara
merentas atau memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem
jaringan komputer secara tidak sah, atau tanpa izin atau tanpa
sepengetahuan dari si pemilik sistem jaringan komputer yang
dimasukinya.

2. Illegal Contents.
Merupakan suatu modus kejahatan cybercrime dengan cara
memasukkan data atau informasi ke Internet tentang sesuatu
hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap
melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.

3. Data Forgery.
Adalah modus kejahatan dalam dunia maya yang dilakukan
dengan cara memalsukan data pada dokumen-dokumen
penting yang tersimpan sebagai scripless document melalui
internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada dokumen-
dokumen e-commerce dengan membuat seolaholah terjadi
“salah pengetikan” yang pada akhirnya akan
menguntungkan si pelaku, karena korban akan memasukkan
data pribadi dan nomor kartu kredit yang patut diduga akan
disalah gunakan oleh si pelaku.

4. Cyber Espionage (Spionase Cyber).


Adalah suatu kejahatan yang modusnya menggunakan
jaringan internet, untuk melakukan kegiatan mata-mata
terhadap pihak lain, dengan cara memasuki sistem jaringan
komputer (computer network system) pihak yang menjadi
sasarannya.
5. Cyber Sabotage and Extortion (Sabotase dan Pemerasan
Dunia Maya).
Dalam kejahatan ini modus yang dilakukan biasanya dengan
membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap
suatu data, program computer atau sistem jaringan komputer
yang terhubung dengan internet. Dimana, biasanya kejahatan
ini dilakukan dengan cara menyusupkan suatu logic bomb,
virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga
data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak
dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya atau
berjalan namun telah dikendalikan sesuai yang diinginkan
oleh si pelaku.

6. Offense Against Intellectual Property (Pelanggaran


Terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual).
Kejahatan ini modus operasinya ditujukan terhadap hak atas
kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain di internet.
Sebagai suatu contoh; peniruan tampilan pada suatu web
page situs milik orang lain secara illegal.
7. Infringements of Privacy (Infringements privasi).
Modus pada kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap
keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada formulir
data pribadi yang tersimpan secara computerized, yang
apabila diketahui oleh orang lain, maka dapat merugikan
korban secara materiil maupun immaterial, seperti bocornya
nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, dan lain sebagainya.

8. Kasus Penyebaran atau Ujaran Kebencian (Hate Speech)


Hate speech atau ujaran kebencian adalah perilaku verbal dan
tindakan simbolis atau kegiatan komunikatif lainnya yang
secara sengaja mengekspresikan tindakan antipati kepada
seseorang atau sekelompok orang.

9. Kasus Penyebaran Berita Bohong (Hoax)


Manipulasi berita yang sengaja dilakukan dan bertujuan
untuk memberikan pengakuan atau pemahaman yang salah.
Di dalam berita hoaks terdapat penyelewengan fakta yang
membuatnya menjadi menarik perhatian. Sesuai dengan
tujuannya, untuk mendapat perhatian.

Dibandingkan dengan kejahatan konvensional,


cybercrimememiliki karakteristik yang unik yaitu :
1.Perbuatan yang dilakukan secara ilegal, tanpa hak atau
tidak etis tersebut terjadi di ruang atau dunia maya,
sehingga tidak mungkin untuk menentukan yurisdiksi
hukum negara mana yang berlaku untuk tindakan
tersebut. 2.Perbuatan tersebut dilakukan dengan
menggunakan (perangkat) apapun yang dapat tersambung
ke internet. 3.Kerugian material maupun non-material yang
disebabkan oleh tindakan-tindakan ini seringkali lebih
besar daripada kejahatan tradisional.4.Pelakunya ialah orang
yang dapat menguasai penggunaan internet dan
aplikasinya.5.Perbuatan tersebut acapkali dilakukan secara
transnasional.
3.3 Pengaturan Hukum Mengenai Cyber Crime
dalam Pusaran Teknologi Informasi Berbasis
Komputer yang Dihubungkan dengan Internet

Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku


mayarakat dan peradaban manusia secara global. Di samping itu,
perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia
menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan
sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi
informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain
memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan
dan peradaban manusia, sekaligus menjadi arena efektif perbuatan
melawan hukum. Perkembangan jaringan internet memunculkan
dampak negatif, sebagaimana dikemukakan oleh Roy Suryo,
seorang pakar tekhnologi informasi, dalam penelitiannya
menyatakan: “Kejahatan cyber (cyber crime) kini marak di lima kota
besar di Indonesia dan dalam taraf yang cukup memperhatikan serta
yang dilakukan oleh para hacker yang rata-rata anak muda yang
keliatannya kreatif, tetapi sesunggunya mereka mencuri nomor
kartu kredit melalui internet”. Cyber crime dibagi menjadi 2
kategori, yakni cyber crime dalam pengertian sempit dan dalam
pengertian luas. Cyber crime dalam pengertian sempit adalah
kejahatan terhadap sistem komputer, sedangkancyber crime dalam
arti luas mencakup kejahatan terhadap sistem atau jaringan
komputer dan kejahatan yang menggunakan sarana komputer.
Melihat fakta hukum sebagaimana yang ada pada saat ini, dampak
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah
disalahgunakan sebagai sarana kejahatan ini menjadi teramat
penting untuk diantisipasi bagaimana kebijakan hukumnya,
sehingga cyber crime yang terjadi dapat dilakukan upaya
penanggulangannya dengan hukum pidana, termasuk dalam hal ini
adalah mengenai sistem pembuktiannya. Dikatakan teramat penting
karena dalam penegakan hukum pidana dasar pembenaran
seseorang dapat dikatakan bersalah atau tidak melakukan tindak
pidana, di samping perbuatannya dapat dipersalahkan atas
kekuatan undang-undang yang telah ada sebelumnya (asas
legalitas), juga perbuatan mana didukung oleh kekuatan bukti yang
sah dan kepadanya dapat dipertanggungjawabkan (unsur
kesalahan). Pemikiran demikian telah sesuai dengan penerapan asas
legalitas dalam hukum pidana (KUHP), yakni sebagaimana
dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP "Nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali" atau dalam istilah
lain dapat dikenal, "tiada tindak pidana, tidak ada pidana, tanpa
adanya aturan hukum pidana terlebih dahulu".

Bentuk-bentuk cyber crime pada umumnya yang dikenal dalam


masyarakat dibedakan menjadi 3 (tiga) kualifikasi umum, yaitu:

1. Kejahatan dunia maya yang berkaitan dengan kerahasiaan,


integritas dankeberadaan data dan sistem computer

2. Kejahatan dunia maya yang menggunakan komputer sebagai


alatkejahatan

3. Kejahatan dunia maya yang berkaitan dengan isi atau muatan data
atau sistem komputer.

Cyber crime meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai


tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis dalam
hal ruang cyber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk kategorikan
sesuatu dengan ukuran dalam kualifikasi hukum konvensional
untuk dijadikan obyek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang
ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari
jerat hukum. Kegiatan cyber adalah kegiatan virtual yang
berdampak sangat nyata, meskipun alat buktinya bersifat elektronik.
Dengan demikian, subyek pelakunya harus dikualifikasikan pula
sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.
Sebenarnya dalam persoalan cyber crime, tidak ada kekosongan
hukum, ini terjadi jika digunakan metode penafsiran yang dikenal
dalam ilmuhukum dan ini yang mestinya dipegang oleh aparat
penegak hukum dalam mengahadapi perbuatan-perbuatan yang
berdimensi baru yang secara khusus belum di atur dalam undang-
undang. Persoalan menjadi lain jika ada keputusan politik untuk
menetapkan cyber crime dalam perundang-undangan tersendiri di
luar KUHP atau undang-undang khusus lainya. Sayangnya dalam
persoalan mengenai penafsiran ini, para hakim yang menafsirkan
masuk dalalm kategori penipuan, ada pula yang memasukkan
dalam kategori pencurian.Untuk itu sebetulnya perlu
dikembangkan pemahaman kepada para hakim mengenai teknologi
informasi agar penafsiran mengenai suatu bentuk cyber crime ke
dalam pasal-pasal dalam KUHP atau undang-undang laintidak
membingungkan.

Penegakan hukum tentang cyber crime terutama di Indonesia


sangatlah dipengaruhi oleh lima faktor yaitu undang-undang,
mentalitas aparat penegak hukum, perilaku masyarakat, sarana dan
kultur. Hukum tidak bisa tegak dengan sendirinya, selalu
melibatkan manusia di dalamnya dan juga melibatkan tingkah laku
manusia di dalamnya. Hukum juga tidak bisa tegak dengan
sendirinya tanpa adanya penegak hukum. Penegak hukum tidak
hanya dituntut untuk professional dan pintar dalam menerapkan
norma hukum tapi juga berhadapan dengan seseorang bahkan
kelompok masyarakat yang diduga melakukan kejahatan.

Pada kejahatan cyber, biasanya pelakunya adalah orang-orang yang


pastinya memiliki suatu pengetahuan dan kemampuan yang sangat
mumpuni dalam bidang ilmu komputer. Mereka para pelaku
biasanya memahami mengenai pemograman computer secara
canggih dan ahli, bahkan para pelaku bisa menganalisis kerja sistem
yang ada pada komputer. Mampu menelaah celah pada sistem yang
ada dan kemudian melakukan tindak kejahatan. “Secara umum
proses penyidikan kejahatan cyber crime sama dengan proses
penyidikan kejahatan konvensional lainnya. Bedanya hanya dari
segi proses penangkapan pelaku kejahatan beserta koordinasi
dengan pihak-pihak tertentu.

Terlihat bahwa penanganan tindak kejahatan cyber crime sedikit


rumit dibandingkan kejahatan konvensional, sebab terlebih dahulu
harus berkoordinasi dengan beberapa pihak tertentu untuk
mendapatkan kepastian bahwa hal tersebut benar-benar merupakan
tindak kejahatan pidana atau bukan. Sementara dalam menetapkan
tersangka kejahatan cyber crime, memiliki tingkat kesulitan yang
lebih rendah dibanding kejahatan konvensional, dengan melihat
barang bukti berupa nomor handphone atau alamat sosial media
yang dimiliki pelaku dan tentunya dengan barang bukti tersebut
maka akan tertuju secara langsung kepada pihak yang melakukan
tindakan kejahatan.
Dalam mengantisipasi kejahatan dalam jaringan teknologi informasi
berbasis internet, pemerintah telah mengeluarkan atau membuat
peraturan yang mengatur tentang kejahatan dunia maya ini. Hal ini
ditandai dengan lahirnya Undang-Undang tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE ini merupakan rujukan
khusus apabila terjadi kasus kejahatan cyber. Lahirnya hukum ITE
(Cyberlaw) di negara kita “disebabkan adanya aspek hukum yang
dilakukan oleh subjek hukum yang memanfaatkan internet mulai
pada saat “online” hingga memasuki dunia maya. Kemudian
lahirlah hukum sistem informasi, hukum informasi, dan hukum
telematika.

Dengan demikian, untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan


cyber, negara sudah mengundangkan suatu undang-undang. Hal ini
dapat kita lihat dalam ketentuan hukum yaitu Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dengan
demikian maka payung hukum kita untuk menangani cyber crime
adalah UU ITE tersebut diatas.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dipersepsikan


sebagai cyberlaw hingga mampu menjadi harapan untuk dapat
mengatur rotasi kegiatan dan segala urusan dunia teknologi dan
internet termasuk di dalamnya memberi punishment terhadap
pelaku cybercrime. Mengingat bahwa cybercrime bisa kita
simpulkan sebagai kejahatan yang menggunakan teknologi
informasi sebagai fasilitas: pembajakan, pornografi, pemalsuan/
pencurian kartu kredit, penipuan lewat email (fraud), email spam,
perjudian online, pencurian account internet, terorisme, isu sara,
situs yang menyesatkan, dan sebagainya.

Beberapa ketentuan pasal yang mengatur mengenai kejahatan


dalam teknologi informasi berbasis internet yang disambungkan
melalui komputer seperti

a) Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten


illegal, yang terdiri dari :

1. kesusilaan (Pasal 27 ayat (1) UU ITE)

2. perjudian (Pasal 27 ayat (2) UU ITE)

3. penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3) UU


ITE)

4. pemerasan atau pengancaman (Pasal 27 ayat (4) UU ITE)

5. berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen


(Pasal 28 ayat (1) UU ITE)

6. menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat


(2) UU ITE);

7. mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau


menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (Pasal 29 UU ITE);

b) Dengan cara apapun melakukan akses illegal (Pasal 30 UU ITE).

c) Intersepsi illegal terhadap informasi atau dokumen elektronik


dan sistem elektronik (Pasal 31 UU ITE).

Kemudian ada juga tindak pidana yang berhubungan dengan


gangguan (interferensi) yaitu: gangguan terhadap sistem elektronik
(system interference–Pasal 33 UU ITE). Kemudian juga terdapat
dalam Pasal 35 nya yaitu: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa
hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan,
perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-
olah data yang otentik.

Pengaturan hukum cyber sangat dibutuhkan dalam upaya


penegakan hukum atas kejahatan yang terjadi dalam perkembangan
teknologi informasi. Sebab bagaimanapun cyber crime merupakan
suatu perbuatan melawan hukum, dimana perbuatan tersebut
dilakukan dengan menggunakan sarana internet dengan
kecanggihan teknologi komputer. Kejahatan dunia maya atau cyber
crime lebih cenderung aktifitasnya dengan menggunakan komputer
atau jaringan internet, sehingga mempermudah orang melakukan
suatu kejahatan meskipun dengan jarak yang sangat jauh sekali.

Oleh sebab itulah, dengan kecanggihan teknologi komputer yang


dihubungkan dengan internet, cyber crime tidak terhalang oleh
ruang dan waktu. Dari itulah, dalam upaya penegakan hukum
khususnya dalam wilayah hukum pidana, hukum cyber akan
menjadi dasar hukum dalam semua proses penegakan hukum atas
seluruh kejahatan teknologi informasi. Bagaimanapun masyarakat
harus dapat hidup dengan baik dan jauh dari perbuatan-perbuatan
yang merugikan orang lain.

Dalam hukum pidana, sesuatu yang dikatakan sebagai kejahatan


apabila tindakan jahat tersebut dirumuskan dalam suatu delik atau
tindak pidana, dan bagi pelanggarnya dapat dijatuhi pidana. Istilah
tindak pidana atau strafbaarfeit di dalam bahasa Belanda ialah
Strafbaar “dapat dihukum” dan Feit “sebagian dari suatu
kenyataan”. Menurut beberapa ahli hukumdapat disebutkan
sebagai berikut: 1. HAZEWINKEL SURINGA, strafbaarfeit
merupakan suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu
telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan
dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum
pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa
yang terdapat didalamnya. 2. POMPE, strafbaarfeit merupakan
suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undangundang
telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 3. SIMONS,
strafbaarfeit merupakan suatu tindakan melanggar hukum yang
telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-
undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum.

Menurut SIMONS, bahwa strafbaarfeit dirumuskan sebagai berikut:


1. Untuk adanya suatu strafbaarfeit disyaratkan bahwa harus
terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan
oleh undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau
kewajiban semacam itu telahdinyatakan sebagai suatu tindakan
yang dapat dihukum; 2. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum,
maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik
seperti yang dirumuskan dalam undang-undang, dan 3. Setiap
strafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban
menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu
tindakan melawan hukum atau merupakan suatu “onrechtmatige
handeling” Pada intinya bahwa suatu perbuatan yang dilakukan
serta melawan hukum namun dilanggar oleh seseorang, maka
perbuatan yangbersangkutan dapat dikenakan suatu sanksi pidana
menurut suatu peraturan yang berlaku. Cyber Crime merupakan
jenis baru dalam duniakriminal. KUHP memiliki yurisdiksi yang
jelas bahwa sesuai Pasal 2 KUHP menyebutkan bahwa ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi
setiap orang yang melakukan sesuatu delik di Indonesia. Hal ini
menurut saya menjadi hambatan dalam penegakan kejahatan siber
(cyber crime) karena bisa jadi pelakunya melakukan kejahatan
tersebut di luar Indonesia sedangkan korbannya adalah orang
Indonesia. Sedangkan apabila sebaliknya, negara kita seakan tidak
mampu karena belum adanya perjanjian mutual legal assistant
dalam bidang hukum pidana (ekstradisi).

Mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),


pengertian secara luas mengenai tindak pidana siber ialah semua
tindak pidana yang menggunakan sarana atau dengan bantuan
Sistem Elektronik. Itu artinya semua tindak pidana konvensional
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sepanjang
dengan menggunakan bantuan atau sarana Sistem Elektronik seperti
pembunuhan, perdagangan orang, dapat termasuk dalam kategori
tindak pidana siber dalam arti luas.20 Namun, hukum pidana
(KUHP) menurut sebagian berpendapat tidak dapat menjangkau
kejahatan ini, sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa
hukum pidana positif dapat menjangkau kejahatan ini. Untuk
membahas cyber crime dalam perspektif hukum pidana maka saya
akan mengkaitkan dengan delik yang diatur dalam KUHP. Ada
beberapa contoh tindak pidana cyber crime yang dapat saya berikan,
diantaranya: 1. Pencurian Pasal 362: Barang siapa mengambil barang
sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam
karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima Tahun
atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Ketentuan
Pasal di atas dapat digunakan dalam kasus pencurian nomor kartu
kredit orang lain dengan menggunakan internet untuk melakukan
transaksi. Setelah barang dikirimkan, penjual tidak
dapatmencairkan uangnya karena pemilik kartu bukanlah orang
yang melakukan transaksi. 2. Penipuan Pasal 378: Barang siapa
dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat
palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan
piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling
lama empat tahun. Ketentuan pasal di atas dapat digunakan untuk
kasus penipuan dengan seolah-olah menawarkan dan menjual suatu
produk atau barang dengan memasang iklan di salah satu website
sehingga orang tertarik untuk membelinya lalu mengirimkan uang
kepada pemasang iklan. Tetapi, pada kenyataannya, barang tersebut
tidak ada. Hal tersebut diketahui setelah uang dikirimkan dan
barang yang dipesankan tidak datang sehingga pembeli tersebut
menjadi tertipu. 3. Pemerasan dan PengancamanPasal 335 (1)
Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun aau denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa secara
melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak
melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan,
sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan,
atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain
maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang
itu sendiri maupun orang lain; 2. barang siapa memaksa orang lain
supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu
dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis. (2) Dalam
hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya
dituntut atas pengaduan orang yang terkena. Ketentuan pasal di atas
dapat digunakan dalam kasus pengancaman dan pemerasan yang
dilakukan melalui e-mail yang dikirimkan oleh pelaku untuk
memaksa korban melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh pelaku dan jika tidak dilaksanakan akan membawa
dampak yang membahayakan. Hal ini biasanya dilakukan karena
pelaku mengetahui rahasia korban. 4. Pencemaran nama baik Pasal
311 ayat (1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran
ataupencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa
yangdituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan
dilakukanbertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia
diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama
empat tahun. Ketentuan Pasal di atas dapat digunakan pada Kasus
pencemaran nama baik dengan menggunakan media Internet.
Modusnya adalah pelaku menyebarkan email kepada teman-teman
korban tentang suatu cerita yang tidak benar atau mengirimkan
email ke suatu mailing list sehingga banyak orang mengetahui cerita
tersebut. 5. Judi online Pasal 303 ayat (1) butir 1 (1) Diancam dengan
pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling
banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat
izin: Dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan
untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau
dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu; Pasal
303 KUHP dapat dikenakan untuk menjerat permainan judi yang
dilakukan secara online (ex: judi bola online) di Internet dengan
penyelenggara dari Indonesia. 6. Pornografi Pasal 282: Barang siapa
menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum
tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar
kesusilaan, atau barang siapa dengan maksud untuk disiarkan,
dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin
tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam
negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau
memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan
atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya
atau menunjukkannya sebagai bias diperoleh, diancam dengan
pidana penjarapaling lama satu tahun enam bulan atau pidana
denda paling tinggiempat ribu lima ratus rupiah. Dapat dikenakan
untuk penyebaran pornografi maupun website porno yang banyak
beredar dan mudah diakses di Internet. Walaupun berbahasa
Indonesia, sangat sulit sekali untuk menindak pelakunya karena
mereka melakukan pendaftaran domain tersebut diluar negeri
dimana pornografi yang menampilkan orang dewasa bukan
merupakan hal yang ilegal. kasus penyebaran foto atau film pribadi
seseorang yang vulgar di Internet, misalnya kasus terdahulu antara
Sukma Ayu-B’jah dan kasus Ariel. 7. Hacking Pasal 406: Barang
siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan,
merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan
barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah. Pasal di atas dapat digunakan pada kasus deface atau
hacking yang membuat sistem milik orang lain, seperti website atau
program menjadi tidak berfungsi atau dapat digunakan
sebagaimana mestinya.
Dari beberapa contoh kasus yang dikaitkan dengan tindak pidana
cyber crime maka sebenarnya masih terdapat beberapa kekurangan
dalam upaya penegakan hukumnya, pada kenyataannya sangsi
yang dikenakan apabila menggunakan KUHP memang ringan.
Padahal beberapa kasus yang terjadi mengakibatkan kerugian yang
besar sehingga tidak sepadan dengan akibat yang ditimbulkan.
Disamping itu, delik yang berkaitan dengan cyber crime dalam
KUHP membutuhkan penafsiran yang luas, padahal hukum pidana
menganut asas legalitas yang nantinya berpengaruh dalam upaya
menjerat pelaku, apakah perlu dengan penafsiran secara luas
mengingathukum pidana hanya menerima penafsiran secara otentik
saja.

Secara yuridis, cyber crime hingga saat ini belum memiliki definisi
yang baku. Sebagian berpendapat cyber crime identik dengan
computer crime namun ada pula yang berpendapat berbeda.
Alasannya adalah tidak semua cyber crime tersebut menggunakan
komputer sebagai alat, namun bias menggunakan juga alat yang
lain. Permasalahan yurisdiksi juga mempengaruhi kinerja aparat
penegak hukum untuk melakukan proses peradilan karena cyber
crime melintasi batas teritorial bahkan di luar teritorial negara.
Hukum pidana belum mampu memberikan keefektifan dalam
penegakan hukumnya, karena pasal yang terdapat dalam KUHP
yang berkaitan dengan cyber crime sangsi yang dikenakan cukup
ringan. Padahal beberapa kasus yang terjadi mengakibatkan
kerugian yang besar sehingga tidak sepadan dengan akibat yang
ditimbulkan. Cyber crime dalam KUHP memerlukan penafsiran
yang luas sebagai jalan menuju kepastian hukum.
Selain itu, kebijakan kriminalisasi yang tertulis dalam golongan
cyber crimetelah dirumuskan dalam RKUHP yang terdapat pada
Buku Kedua (Bab VIII): Tindak Pidana yang membahayakan
keamanan Umum bagi Orang, Barang, Lingkungan Hidup.
Bagian Kelima: Pasal 373-379 tentang Tindak Pidanaterhadap
Informatika dan Telematika, yang mengatur tindak pidana illegal
access, illegal interception, data interferencedan system
interference, penyalahgunaan nama domain, dan pornografi anak.
Dalam pembahasan perkembangan hukum pidana yang akan
datang,penyelesaian dan pencegahan cybercrimekudu diimbangi
dengan penertiban dan pengembangan seluruh sistem hukum
pidana, yang mencakup pembangunan struktur, budaya, serta
substansi hukum pidana. Dalam kondisi demikian, kebijakan
hukum pidana menempati letak yang strategis dalam
perkembangan hukum pidana modern. Kebijakan hukum pidana
berniat untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan semua orang.

Berikut tindakan kejahatan dunia maya (cybercrime) yang di atur


dalam Undang-undang No. 11Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik dan Undang-undang No. 19Tahun 2016
tentang Perubahan atas Undang-undang No 11Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagai berikut:

1.Tindakan yang melanggar kesusilaan.

Pada Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 11Tahun 2008


disebutkan bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
membagikan atau menyebarkan atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik yang memiliki isi
yang melanggar kesusilaan”. Namun perbuatan
membagikan/menyebarkan/membuat konten informasi
elektronik/dokumen elektronik yang melanggar kesopanan
(kesusilaan) tidak dijelaskan dengan sendirinya dalam Undang-
undang No. 11Tahun 2008. Pelanggaran etika/kesusilaan melalui
media internet sendiri merujuk pada KUHP. Dalam konteks
perbuatan yang melanggar kesusilaan melalui media elektronik,
dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun
2008 mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik,
termasuk pornografi onlinedan prostitusi online. Jika kejahatan ini
dilakukan terhadap anak-anak, maka akan menjadi semakin
serius. Salah satu permasalahan yang diakibatkan oleh
perkembangan teknologi informasi melalui jaringan internet
adalah banyaknya situs yang menampilkan adegan porno.
Tampaknya saat ini, sangat sulit melindungi Internet dari
gangguan pedagang hiburan yang menjual pornografi.

2.Perjudian

Perjudian online diatur pada Pasal 27 ayat (2) Undang-


undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam peraturan
ini juga sama disebutkan bahwa:“Setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak membagikan/menyebarkan/membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik/dokumen elektronik yang
mempunyai muatan perjudian”. 3.Penghinaan atau pencemaran
nama baik

Pencemaran nama baik ataupun penghinaan di dunia maya


merupakan larangan yang diatur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-
undang No. 11Tahun 2008,yang berbunyi : “Setiap Orang dengan
sengaja, dan tanpa hak membagikan/menyebarkan/membuat
dapat diaksesnya informasi elektronik/dokumen elektronik yang
mempunyai muatan penghinaan atau pencemaran nama baik.”
Pembuat undang-undang menyamakan antara penghinaan dan
pencemaran. Penghinaan sendiri ialah sebuah perbuatan,
sedangkan salah satu bentuk penghinaan ialah pencemaran.

Pembuat undang-undang sendiri kelihatannya mau mengarahkan


perbuatan penghinaan dari media internet tersebut sebagai
pencemaran. Dalam Bab XVI Buku II mengatur tentang perbuatan
penghinaan dan pencemaran. Kejahatan penghinaan terdiri dari
penghinaan umum dan penghinaan khusus. Penghinaan umum
mengacu pada obyek harga diri dan derajat orang pribadi, termasuk
juga pencemaran. Sedangkan penghinaan khusus mengacu pada
penghinaan yang memiliki obyek harga diri, kehormatan dan
nama baik terbuka (umum).16Tindakan penghinaan ataupun
pencemaran dapat ditemukan di berbagai kolom komentar
di dunia maya, terutama ketika korban memindai identitas,
foto, atau video pribadinya. Pelaku juga dapat menulis teks yang
menghina atau memfitnah di dinding pernyataan untuk membuat
pernyataan atau menghubungkan pernyataan tersebut dengan
korban.

4.Pemerasan atau pengancaman

Pada Pasal 27 ayat (4) Undang-undang No. 11Tahun 2008 melarang


pemerasan atau pengancaman di dunia maya. Dalam pasal
tersebut dijelaskan: “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa
hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau
pengancaman”.Pasal 368 (1) KUHP mencantumkan
kualifikasi perbuatan yang terhitung pemerasan atau pengancaman,
yaitu:“Setiap orang yang bermaksud untuk menguntungkan
dirinya sendiri atau orang lain secara melawan hukum (ilegal),
memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu milik orang
tersebut maupun orang lain secara keseluruhan maupun
sebagian dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan atau
menciptakan hutang maupun menghapus hutang, akan dihukum
karena pemerasan dan dapat dijatuhi hukuman hingga 9 tahun
penjara.

5.Penguntitan (cyberstalking)

Undang-undang No. 11Tahun 2008 Pasal 29 mengaturbahwa:


“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan
Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik yang berisi
ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara
pribadi”.Ketentuan mengenai informasidan transaksi elektronik
dalam Pasal 29 mengatur mengenai tindakan pelecehan, ancaman,
atau tindakan lain yang dilakukan untuk menimbulkan
ketakutan, termasuk kata-kata atau tindakan tertentu.
Ketentuan tersebut serupa dengan pengaturan cyberstalkingdi
Amerika Serikat, Kanada, Inggis dan negara lainnya. Tindakan
ini dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
komukasi, semisal dengan mail bombs, unsolicited hate mail,
obsence or threatening email, dan yang lainnya.176.Penyebaran
berita palsu (hoax)Penyebaran berita palsu diatur dalam Undang-
undang No. 11/2008 Pasal 28 ayat (1), berbunyi : “Setiap orang
dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong/palsu serta menyesatkan, yang mengakibatkan kerugian
konsumen dalam Transaksi Elektronik.

7.Ujaran kebencian
Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur tentangpidana
tersebut, yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa
hak menyebarkan informasi yang dirancang untuk menimbulkan
kebencian atau permusuhan individu/kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan
(SARA)”.

8.Akses illegal

Undang-undang No. 11Tahun 2008, dalam Pasal 30 mengatur


sebagai berikut:

a.Siapapun yang dengan sengaja, tanpa hak atau melawan


hukum (ilegal) mengakses Komputer atau Sistem Elektronik orang
lain dengan cara apapun.

b.Siapapun dengan sengaja, tanpa hak atau melawan hukum


(ilegal) mengakses (membuka) Komputer atau Sistem Elektronik
dengan cara apapun dengan maksud untuk memperoleh
Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik.

c.Siapapun yang melanggar, menerobos, melampaui, atau


menjebol sistem pengamanan dengan sengaja, tanpa hak atau
melawan hukum (ilegal) mengakses Komputer atau Sistem
Elektronik.”

Berbagai upaya dapat diambil untuk menyelesaikan kejahatan


Internet, baik secara premetif, preventif, maupun represif. Upaya
premetif dapat dijalankan dengan meratifikasi kesepakatan cyber
crimeinternasional kedalam sistem hukum diIndonesia.
Kesepakatan Dewan Eropa ialah salah satu wujud kesepakatan
internasional, dan sebagian kovenannya telah diratifikasi kedalam
sistem perundang-undangan di Indonesia. Penanggulangan cyber
crimesecara preventif dapat dijalankan dengan cara
mengembangkan pengamanan, meningkatkan energi guna fitur
komputer, kemampuan dan kedisplinan dalam memakai fitur
tersebut di dunia maya. Aktifitas tersebut bisa berbentuk aksi yang
dapat dijalankan baik secara individu, kebijakan nasional, ataupun
global. Sementara itu tindakan penanggulangan cybercrimesecara
represif dapat dilaksanakan dengan menjerat para pelaku tindak
pidana untuk ditangani sesuai dengan undang-undang. Undang-
undang menentukan kepentingan korban dengan memberikan
restitusi, kompensasi, ataupun asistensi yang merupakan
tanggung jawab pelaku dengan Negara sebagai penyedianya.

Upaya untuk melindungi korban tindak pidana merupakan


usaha untuk memulihkan kerugian yang sudah di dapat oleh
korban. Perihal ini bakal lebih masuk akal jika korban terlibat
atau ikut serta dalam proses penyelesaian kasus pidana.
Penegakan hukum adalah upaya pembangunan berkelanjutan yang
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram,
tertib, dan dinamis bagi negara dan lingkungan negara dalam
lingkungan pergaulan dunia yang merdeka
(independen).22Dimasa mendatang, penegakan hukum
pidana hendaknya lebih memperhatikan kepada sistem keadilan
restoratif, ini merupakan solusi yang adil untuk mengaitkan pelaku,
korban, keluarganya, serta pihak lain yang terlibat dalam tindak
pidana untuk bersama-sama berupaya menyelesaikan tindak
pidana tersebut. Hal itu berdasarkan surat keputusan bersama
antara Pimpinan Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia (HAM), Menteri Sosial, dan Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, yang
menekankan pemulihan ke keadaan semula.

Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana Cyber


Crime dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia

Tindakan penegak hukum terhadap pelaku tindak pidana dunia


maya adalah untuk melindungi pengguna cyberspace dari para
cracker yang menggunakan media internet dalam melakukan
kejahatannya. Meskipun Indonesia belum memiliki “cyberlaw”
yang secara khusus menargetkan kepentingan korban, namun
Indonesia tetap perlu tindakan hukum dengan menggunakan
hukum yang ada sebelumnya seperti: perundang-undangan,
yurisprudensi maupun konvensi-konvensi Internasional yang
sudah diratifikasi untuk melindungi kepentingan penduduk dunia
maya di Indonesia.

Berbagai upaya dapat diambil untuk menyelesaikan kejahatan


Internet, baik secara premetif, preventif, maupun represif. Upaya
premetif dapat dijalankan dengan meratifikasi kesepakatan cyber
crime internasional kedalam sistem hukum di Indonesia.
Kesepakatan Dewan Eropa ialah salah satu wujud kesepakatan
internasional, dan sebagian kovenannya telah diratifikasi kedalam
sistem perundangundangan di Indonesia. Penanggulangan cyber
crime secara preventif dapat dijalankan dengan cara
mengembangkan pengamanan, meningkatkan energi guna fitur
komputer, kemampuan dan kedisplinan dalam memakai fitur
tersebut di dunia maya. Aktifitas tersebut bisa berbentuk aksi yang
dapat dijalankan baik secara individu, kebijakan nasional, ataupun
global. Sementara itu tindakan penanggulangan cybercrime secara
represif dapat dilaksanakan dengan menjerat para pelaku tindak
pidana untuk ditangani sesuai dengan undangundang. Undang-
undang menentukan kepentingan korban dengan memberikan
restitusi, kompensasi, ataupun asistensi yang merupakan tanggung
jawab pelaku dengan Negara sebagai penyedianya.

Upaya untuk melindungi korban tindak pidana merupakan usaha


untuk memulihkan kerugian yang sudah di dapat oleh korban.
Perihal ini bakal lebih masuk akal jika korban terlibat atau ikut serta
dalam proses penyelesaian kasus pidana. Penegakan hukum adalah
upaya pembangunan berkelanjutan yang bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, tertib, dan dinamis
bagi negara dan lingkungan negara dalam lingkungan pergaulan
dunia yang merdeka (independen).

Dimasa mendatang, penegakan hukum pidana hendaknya lebih


memperhatikan kepada sistem keadilan restoratif, ini merupakan
solusi yang adil untuk mengaitkan pelaku, korban, keluarganya,
serta pihak lain yang terlibat dalam tindak pidana untuk bersama-
sama berupaya menyelesaikan tindak pidana tersebut. Hal itu
berdasarkan surat keputusan bersama antara Pimpinan Mahkamah
Agung RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Menteri
Sosial, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak RI, yang menekankan pemulihan ke keadaan semula.
3.5 Pencegahan dan Penanggulangan CyberCrime

Pertama, penting untuk menggunakan password yang kuat dan


berbeda untuk setiap akun, serta menghindari berbagi informasi
pribadi secara publik di media sosial atau forum online. Kedua,
instal program antivirus dan firewall yang andal di komputer dan
perangkat seluler untuk melindungi dari malware dan serangan
hacker. Selanjutnya, selalu periksa URL sebelum mengklik tautan
untuk memastikan keamanannya, terutama dalam pesan email atau
pesan teks yang mencurigakan. Penggunaan jaringan WiFi yang
aman juga dianjurkan, terutama saat melakukan transaksi keuangan
atau mengakses informasi pribadi. Waspada terhadap pesan
phishing yang meminta informasi pribadi, serta perbarui perangkat
lunak secara teratur untuk mengatasi kelemahan keamanan. Pilihan
untuk menggunakan layanan keamanan online juga dapat
dipertimbangkan. Terakhir, penting untuk memahami hak privasi
dan aturan privasi yang berlaku untuk layanan online yang
digunakan agar dapat mengontrol dan melindungi data pribadi
dengan lebih baik.

Tindak pidana cybercrime memakan korban dengan jumlah sangat


besar, terutama dari segi finansial. Kebanyakan dari korban hanya
bisa menyesali apa yang sudah terjadi. Mereka berharap bisa belajar
banyak dari pengalaman mereka saat ini, dan yang perlu dilakukan
sekarang adalah mencegah kemungkinan-kemungkinan yang dapat
merugikan kita sebagai pelaku IT. Pencegahan tersebut dapat
berupa:
1. Educate user (memberikan pengetahuan baru tentang Cyber
Crime dan dunia internet)

2. Use hacker’s perspective (menggunakan pemikiran hacker untuk


melindungi sistem anda)

3. Patch system (menutup lubang-lubang kelemahan pada sistem)

4. Policy (menetapkan kebijakan dan aturan untuk melindungi


sistem Anda dari orang-orang yang tidak berwenang)

5. IDS (Intrusion Detection System) bundled with IPS (Intrusion


Prevention System)

6. Firewall. (keamanan jaringan yang memantau dan menyaring lalu


lintas jaringan yang masuk dan keluar)

7. AntiVirus (program komputer yang digunakan untuk mencegah,


mendeteksi, dan menghapus perangkat perusak.

Salah satu cara untuk membuat masalah keamanan lebih mudah


ditangani adalah dengan membuat sebuah unit untuk melaporkan
kasus keamanan. Dengan munculnya “sendmail worm” (sekitar
tahun 1988), masalah keamanan semacam ini mulai dikenali di luar
negeri, ketika worm menutup sistem email Internet era itu.
Selepasnya dibentuk sebuah (CERT) Computer Emergency
Response Team, sejak itu di negara lain juga mulai membentuk
CERT untuk dijadikan point of contact guna orang untuk
mengadukan problem kemanan. IDCERT merupakan CERT
Indonesia.

Beberapa langkah penting yang harus diambil dalam menanggapi


Cybercrime adalah :
1.Melakukan pembaruan hukum pidana nasional dan hukum
acara, sesuai dengan kesepakatan internasional yang terkait
dengan kejahatan tersebut.

2.Meningkatkan sistem keamanan jaringan komputer nasional


sesuai dengan standar internasional.

3.Meningkatkan pengetahuandan keahlian aparat penegak hukum


dalam upaya pencegahan, investigasi, dan penuntutan kasus-
kasus yang berkaitan dengan cybercrime.

4.Meningkatkan kesadaran warga negara tentang masalah


cybercrimedan pentingnya mencegah kejahatan itu terjadi.

5.Meningkatkan kerjasama dari berbagai negara, baik kerja sama


bilateral, regional maupun multilateral dalam upaya mengatasi
cybercrime, termasuk melalui perjanjian ekstradisi dan perjanjian
bantuan timbal balik (mutual assistance treaties).

Dalam mengurangi upaya pelaku untuk melakukan peretasan,


maka keamanan siber mempunyai peran penting untuk
melindungi data siber. Keamanan siber atau cyber security
memiliki tiga komponen utama(Siagian et.al, 2018:6). Komponen
keamanan siber untuk memandu kebijakan keamanan informasi
dalam sebuah organisasi yaitu confidentiality(kerahasiaan),
integrity(integritas), dan availability(ketersediaan). Dalam
perlindungan data siber di KPU, maka panduan keamanan siber
harus diperhitungkan dan dilakukan secara berkelanjutan.
Hal ini tentunya membutuhkan kompetensi SDM yang
memadai.Selain cybercrime, dalam penerapan TIK untuk Pemilu
dan Pemilihan Serentak Tahun 2024 mendatang, hal yang harus
dicermati juga adalah kesenjangan digital. Definisi terkait
kesenjangan digital, telah dikemukakan para ahli. Salah satunya
menurut Manuel Castells (2002), yang berpendapat bahwa
kesenjangan digital sebagai ketidaksamaan akses terhadap internet
di masyarakat (Hadiyat, 2014:83). Hargittai (2003) berpendapat
kesenjangan digital juga merupakan kesenjangan antara mereka
yang memiliki akses dan dapat memiliki kemampuanuntuk
menggunakan TIK, dengan mereka yang tidak memiliki
kemampuan untuk menggunakannya (Windasari dan Surendro,
2011:71).

Molnar (2003) mengemukakan ada tiga tipe kesenjangan digital,


yaitu access divideatau kesenjangan digital tahap awal yang
merujuk pada kesenjangan antara masyarakat yang memiliki
akses dan yang tidak memiliki akses. Berikutnya usage divideatau
kesenjangan digital primer yang merujuk pada perbedaan
penggunaan TIK antara masyarakat yang memiliki akses pada
TIK. Kesenjangan selanjutnya adalah quality of use divideatau
kesenjangan digital lapis kedua yang fokus pada perbedaan
kualitas penggunaan TIK pada masyarakat yang menggunakan TIK
dalam keseharian (Hadiyat, 2014:83).Menurut Ariyanti (2013),
terdapat empat faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan
digital, yaitu infrastruktur, skill, konten bahasa, dan kurang efisien
dalam pemanfaatan internet (Oktavianoor, 2020:10-11). Infastruktur
meliputi fasilitas pendukung, serta sarana dan prasarana dalam
penggunaan TIK. Tidak hanya berupaperalatan komputer, tetapi
fasilitas ini meliputi juga jaringan internet dan listrik. Berikutnya,
terkait skillatau kemampuan dan kompetensi individu dalam
menggunakan TIK. Kesenjangan digital karena skilltidak hanya
dipengaruhi faktor pendidikan, namunjuga fasilitas untuk
pengembangan kompetensi tersebut. Konten bahasa, menjadi
faktor penyebab kesenjangan digital, karena bahasa asing lebih
banyak digunakan dalam TIK. Karenanya, bila terdapat perbedaan
bahasa, akan memerlukan waktu lebih lama dalam
pemahaman. Terakhir, pemanfaatan internet yang kurang
efisien. Kebutuhan akan penggunaan internet cenderung
berbeda antara masyarakat urban dan rural. Masyarakat urban
cenderung telah menggunakan TIK sebagai salah satu alat
pelengkap dalam menunjang pekerjaan, sehingga selalu
updateterhadap perkembangan teknologi terbaru. Sedangkan
masyarakat rural, secara umum lebih banyak menggunakan
teknologi untuk berkomunikasi. Penerapan TIK di KPU untuk
Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024, merupakan salah satu
upaya untuk menyukseskan pelaksanaannya. Penyelenggaraan
pemilu yang baik dan berkualitas akan meningkatkan derajat
kompetisi yang sehat, partisipatif, dan keterwakilan yang makin
kuat dan dapat dipertanggungjawabkan (Subiyanto, 2020:362).
Penggunaan berbagai sistem informasi sesuai dengan SPBE KPU,
telah menjadi pertimbangan utama dalam mendukung
kesuksesan pemilu dan pemilihan. Namun, meningkatnya
cybercrimesecara umum serta adanya kesenjangan digital, menjadi
salah satu tantangan yang harus dihadapi KPU. Sejak awal, KPU
harus mempunyai pemetaan terkait cybercrimedan kesenjangan
digital, sehingga mampu melakukan upaya antisipasi.

Sekalipun telah ada sebagian pasal yang dapat menjebloskan


para pelaku kejahatan cyberke penjara. Namun masih terdapat
kendala-kendala dalam penerapannya di lapangan, di antaranya
sebagai berikut:
1.Perangkat hukum yang belum memadai

Terhadap pasal-pasal yang ada dalam KUHP, para penyidik


(terutama Polri) menganalogikan (mengumpamakan) dan
mempersamakan, serta sepikiran bahwa kudu dibuat Undang-
Undang yang khusus mengelola cybercrime.

2.Kemampuan penyidik

Secara umum, pengetahuan dan pemahaman pengoperasian


komputer penyidik Polri terhadap hacker komputer, serta
kemampuan menyelidiki kasus-kasus tersebut masih sangat
minim.

Beberapa faktor yang sangat berpengaruh (determinan) adalah:

1.Kurangnya pengetahuan tentang computer

Pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik dalam


menangani kasus-kasus cybercrimemasih terbatas.

2.Faktor sistem pembuktian yang menyulitkan para penyidik,


antara lain:

a.Alat bukti

Permasalahan yang dihadapi di dalam penyidikan terhadap


cybercrimemenyangkut persoalan alat bukti, antara lain bertautan
dengan ciri kejahatan cybercrimeitu sendiri, ialah: target ataupun
media cybercrimemerupakan informasi ataupun sistem pc
(sistem internet) yang dapat dengan gampang diganti, dihapus
ataupun dirahasiakan oleh pelaku kejahatan. Cybercrimebiasanya
dilangsungkan dengan sedikit saksi. Kebalikannya, saksi korban
kerapkali terletak jauh di luar negara sehingga menyulitkan
penyidik untuk melaksanakan pengecekan saksi serta pengajuan
hasil investigasi.

b.Fasilitas komputer forensikGuna menunjukkan jejak para hacker


serta cracker ketika melakukan aksinya, terpenting yang berkaitan
dengan program serta informasi pc, fasilitas yang dimiliki Polri
kurang mencukupi sebab tidak adanya komputr forensik.
Sarana ini dibutuhkan guna menampilkan informasi digital
dan merekam serta menaruh fakta dalam bentuk soft copy
(gambar, program, dan lain-lain.). Dalam kasus ini Polri masih
belum memiliki sarana forensic computing yang memadai.
Sarana perhitungan forensik yang hendak dibangun oleh
kepolisian diharapkan bisa memberikan tiga layanan penting,
meliputi : pengumpulan barang bukti (evidence collection),
forensic analysis, dan expert witness.
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Beberapa bentuk kejahatan yang berhubungan erat dengan


penggunaan teknologi informasi yang berbasis utama komputer dan
jaringan telekomunikasi seperti misalnya pencemaran nama baik
yang dilakukan melalui media sosial berbasis internet. Kejahatan
yang dilakukan dengan menyusup ke dalam suatu sistem jaringan
komputer secara ilegal tidak atas sepengetahuan dari pemilik sistem
jaringan komputer yang dimasukinya. Atau kejahatan dengan
menggunakan dan atau memalsukan data atau informasi ke internet
tentang suatu hal yang tidak benar, tidak pantas dan dapat dianggap
melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Ada juga
bentuk kejahatan dalam pusaran teknologi informasi dengan
menyebarkan berita-berita bohong yang tidak jelas sumbernya
namun diumumkan lewat media sosial. Tujuannya untuk
menjatuhkan atau membuat seseorang menjadi terhina atau
merendahkan martabat dan wibawa seseorang.

Indonesia menghadapi tantangan dalam menerapkan hukum siber


melalui UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE). Masalah utama adalah terminologi yang mempengaruhi
interpretasi dan kontroversi terkait UU ITE. Meskipun UU ITE telah
digunakan untuk menangani kejahatan siber seperti penyebaran
konten negatif dan hoax, penerapannya kontroversial karena
dianggap terlalu luas dan berpotensi mengekang kebebasan
berekspresi. Masih ada kendala dalam penegakan hukum siber di
Indonesia karena kurangnya SDM dan teknologi yang memadai.
Oleh karena itu, perlu peningkatan kesadaran keamanan siber,
edukasi, dan penegakan hukum yang lebih efektif untuk mengatasi
ancaman cybercrime. Ancaman-ancaman ini dapat merusak data,
mencuri informasi sensitif, mengganggu layanan, dan bahkan
membahayakan keamanan nasional.

Widodo mengatakan bahwa, cybercrimediartikan sebagai


kegiatan seseorang, sekelompok orang, Badan Hukum yang
memakai komputer bagaikan fasilitas melakukan kejahatan,
dan sebagai sasaran (target). Dalam pengertian lain Wisnubroto
mengartikan kejahatan komputer sebagai perbuatan melawan
hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer sebagai
sarana/alat komputer sebagai objek, baik untuk mendapatkan
keuntungan maupun tidak, dengan merugikan pihak lain.Sifat
kejahatan cybercrime dapat diklasifikasikan menjadi :1.Cyber
crimesebagai tindakan kriminal.2.Cyber crimesebagai kejahatan
“abu-abu”.Teknologi komunikasi memiliki kekuatan yang luar
biasa dalam mengubah perilaku komunikasi manusia, selain
membawa manfaat berupa kemudahan komunikasi, teknologi juga
dapat membawa kerugian, salah satunya memudahkan para
“penjahat” untuk melakukan kejahatan.

Kemajuan teknologi memungkinkan penjahat dunia maya


(cybercrime) memangsa korbannya. Beberapa kejahatan
cybercrimeyang umum terjadi adalah hacker, cracker, carding,
deface, dan phreaker. Para pelaku hacker biasanya bukan berasal
dari kaum bawah, mereka umumnya merupakan orang-
orang terpelajar, yang paling tidak mengenyam pembelajaran
resmi hingga tingkatan tertentu serta bisa memakai ataupun
mengoperasikan pc. Para crakerpula merupakan orang yang
berpendidikan, tidak buta teknologi, sanggup secara finansial,
serta tidak tercantum dalam warga kelas dasar.Berdasarkan kasus
dan kondisi cybercrimeyang terjadi di Indonesia, dapat
terlihat bahwa cybercrimemerupakan ancaman serius bagi
departemen keamanan non tradisional. Di Indonesia, kejahatan
penggunaan perangkat komputer dan internet (cybercrime)
merupakan salah satu kejahatan tertinggi di dunia. Sistem hukum
Indonesia tidak secara spesifik mengatur tentang hukum siber
(cybercrime).

Namun beberapa undang-undang telah mengatur pencegahan


kejahatan siber, seperti Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi, Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta, Undang-undang No. 15 Tahun 2003tentang Pemberantasan
Terorisme, serta Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.Dalam pembahasan
perkembangan hukum pidana dimasa mendatang,
penanggulangan dan pencegahan cybercrimekudu diimbangi
dengan pembenahan serta pengembangan seluruh sistem hukum
pidana, yang meliputi pembangunan struktur, budaya, serta
substansi hukum pidana. Dalam kondisi demikian, kebijakan
hukum pidana menempati posisi yang strategis dalam kemajuan
hukum pidana modern. Serta penegakan hukum pidana
hendaknya lebih memperhatikan kepada sistem keadilan
restoratif (Restorative Justice), sepertinya ini merupakan solusi
yang adil untuk mengaitkan pelaku, korban, keluarganya, serta
pihak lain yang terlibat dalam tindak pidana untuk bersama-sama
berupaya menyelesaikan tindakpidana tersebut.
4.2 Saran

Sebagai saran dari penelitian ini bahwa perlunya keseriusan


pemerintah dalam memperkuat penegakan hukum pelaku
cybercrime di Indonesia dan perlunya peningkatan edukasi
terhadap masyarakat tentang cara melindungi diri dari kejahatan
dunia maya. Langkah preventif agar Masyarakat terhindar dari
cybercrime meliputi penggunaan password yang kuat, instalasi
antivirus dan firewall, pemeriksaan URL sebelum mengklik tautan,
penggunaan jaringan WiFi aman, waspada terhadap pesan phishing,
pembaruan perangkat lunak, pertimbangan penggunaan layanan
keamanan online, dan pemahaman aturan privasi yang berlaku
guna melindungi data pribadi dan mengurangi risiko terhadap
serangan siber.

Negara-negara anggota dihimbau untuk meningkatkan kegiatan


internasional dalam penanggulangan cyber crime , serta harmonisasi
ketantuan-ketentuan yang berhubungan dengan kriminalisasi,
pembuktian, dan prosedur (harmonisasi kebijakan penal di berbagai
negara).

Sehubungan dengan karakteristik cyber world yang menembus


batas (borderless) dan berpotensi melibatkan yurisdiksi negara-
negara, maka perlu dipertimbangkan untuk mengadopsi
kebijakankebijakan untuk perlindungan korban dan menjerat
pelaku yang berada diluar jangkauan yurisdisksi nasional, yakni
dapat dengan mengakulturasikan cyber crime ke dalam perjanjian
ekstradisi.
DAFTAR PUSTAKA

https://jurnal.uns.ac.id/yustisia/article/view/8718

https://journal.universitassuryadarma.ac.id/index.php/jsi/article/view/18

https://ejournal.ipdn.ac.id/konstituen/article/view/3208

https://openjournal.unpam.ac.id/index.php/SKD/article/view/2339

https://ejurnal.ung.ac.id/index.php/JIN/article/view/815/0

https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jatayu/article/download/3808
9/18895/0

https://jurnalfsh.uinsby.ac.id/index.php/qanun/article/download/1132/8
25

https://proceeding.unesa.ac.id/index.php/sniis/article/download/133/11
9/423

https://ojs.unsulbar.ac.id/index.php/j-law/article/view/2811

https://journal.umy.ac.id/index.php/ijclc/article/view/11264

Anda mungkin juga menyukai