Anda di halaman 1dari 14

TUGAS UAS “MAKALAH”

Kebijakan Hukum Pidana dalam penanggulangan Cyber


Terorisme

Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliyah Hukum Pidana dan Perkembangan


Teknologi

Dosen : Dr. Iskandar Wibawa, S.H., M.Hum

Oleh:
DWI SOFIANA, S.H
NIM : 202002007

MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS MURIA KUDUS
TAHUN 2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kebijakan hukum pidana merupakan kebijakan dari negara melalui
badan badan yang berwenang untuk menerapkan peraturan-peraturan yang
dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan
apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang
dicita- citakan.
Cyber artinya kejahatan, di masa modern ini. Kejahatan marak
terjadinya melalui teknologi. Salah satu kejahatan yang baru saat ini yaitu
mengenai cyber terorism yang dilakukan oleh orang-orang atau oknum
yang tidak bertanggunng jawab. Perlunya pemahaman mengenai cyber
terorism, agar masyarakat dapat memfilter manfaat teknologi. Lalu apa
yang dimaksud dengan cyber terosrim dan bagaimana kebijakan hukum
pidana dalam menanggulanginya.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas maka dapat disimpulkan
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Kebijakan Hukum Pidana?
2. Apa yang dimaksud dengan Cyber Terorism?
3. Bagaimana Hukum Pidana dalam penanggulangan Cyber Terorisme?

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Kebijakan Hukum Pidana


Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris policy atau dalam bahasa
Belanda politie. Secara umum kebijakan dapat diartikan sebagai prinsip-
prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah dalam
mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-
masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-
undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan suatu tujuan yang
mengarah.
Upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai
kesejahteraan masyarakat (social welfare) pada hakikatnya merupakan bagian
integral dari kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan .1
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari
politik hukum maupun politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum”
adalah : Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.2
Menurut Moeljatno, hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan
hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan
aturan untuk :

1
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai, Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2013, hlm. 32
2
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Rajawali pers, Jakarta, 2012, hlm. 44-48.

2
 Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi yang telah melanggar larangan tersebut;
 Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi sanksi
pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
 Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut. 3
Menurut C. S. T. Kansil, hukum pidana adalah peraturan atau
hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-
kejahatan terhadap kepentingan umum, dan bagi pelanggarnya diancam
dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan dan siksaan dengan
tujuan untuk menimbulkan efek jera pada penerima sanksi tersebut.

2. Cyber Terorism
Istilah cyberterror merupakan istilah yang cukup baru. Federal
Bureau of Investigation (FBI) mendefinisikan cyberterror sebagai,
penggunaan kekuatan yang melanggar hukum atau kekerasan terhadap orang
atau properti untuk mengintimidasi atau memaksa pemerintahan, penduduk
sipil, atau segmen daripadanya, sebagai kelanjutan dari tujuan politik atau
sosial menggunakan/ melalui eksploitasi dari sistem untuk menyerang target.
Definisi tentang cyberterrorism dikemukakan oleh James A. Lewis
yang mendefinisikan cyberterrorism sebagai perangkat jaringan komputer
untuk mematikan infrastruktur nasional yang cukup penting (seperti energi,
transportasi, bekerjanya pemerintahan) atau untuk mengganggu (coerce) atau
mengintimidasi sebuah pemerintahan atau kelompok warga negara (civilian
population)

3
Agus Raharjo, Cyber Crime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 132

3
Cyberterrorism merupakan tindak pidana yang dilakukan melalui
komputer yang mengakibatkan kekerasan, kematian dan/atau kehancuran,
dan menciptakan teror untuk tujuan memaksa pemerintah untuk mengubah
kebijakannya.4
Untuk memahami cyberterrorism, harus dipelajari komponen dan
menganalisa pertanyaanpertanyaan seperti siapa, apa, bagaimana, dimana,
mengapa, dan kapan. Berikut diuraikan satu persatu pertanyaan di tersebut.
a. Pelaku (Actors)
Colarik menegaskan, There is no cyber terrorism without terrorism,
period. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pelaku
cyberterrorism merupakan para teroris. Mereka melancarkan kegiatan
terornya dengan menggunakan fasilitas siber. Penggunaan computer
sebagai alat dan sasaran serangan merupakan bentuk penggunaan
kekerasan dan intimidasi, khususnya untuk tujuan politik.
b. Tools (Alat)
Terjadinya cyber terrorism tersebut tentunya dengan premise dasar
bahwa infrastruktur penting sebuah negara lebih tergantung pada
pemanfaatan jaringan komputer untuk bekerjanya. Para pelaku atau
kelompok pelaku melakukan serangan secara masif untuk melakukan
penetrasi terhadap jaringan keamanan komputer dan menghilangkan
atau mematikan fungsi-fungsi pentingnya;
c. Sasaran (Targets)
Negara-negara pada seluruh wilayah didunia pada saat ini sangat
tergantung pada sistem informasi. Sistem informasi merupakan
kebutuhan dasar bagi suatu negara untuk melayani kepentingan
publik. kepada rakyat nya. Maka serangan cyberterrorism selalu
menargetkan sasarannya pada critical information infrastructure.
Adapun beberapa infrastruktur informasi yang cukup penting yang

4
Ufran, Kebijakan Antisipatif Hukum Pidana Untuk Penanggulangan Cyberterrorism,
Fakultas Hukum Universitas Mataram, MMH, Jilid 43 No.4, Oktober 2014, hlm. 530

4
menjadi sasaran serangan cyberterrorism adalah 1. Agriculture; 2.
Food; 3. Water; 4. Public health; 5. Emergency services; 6.
Government; 7. Defense industrial base; 8. Information and
telecommunications; 9. Energy; 10. Transportation; 11. Banking and
finance; 12. Chemical industry and hazardous materials; 13. Postal
and shipping; 14. Real estate;
d. Motif
Secara umum ada beberapa motif kenapa internet sering menjadi alat
atau sasaran tempat terjadinya kejahatan. Menurut Phillip W. Brunst
ada beberapa motivasi umum kenapa kejahatan dilakukan di internet.
Adapun beberapa faktorfaktor yang menjadi motivasinya yaitu: 1),
Location Independence, 2) Speed, 3) Anonymity, 4) Internationality,
dan 5), Cost-Benefit Ratio. Lebih lanjut Brunst menjelaskan lima
bentuk motivasi tersebut berlaku bagi kejahatan cyberterrorism atau
bagi kejahatan dunia siber biasa lainnya. Perbedaanya bisa diketahui
atau diamati sehubungan dengan agenda yang mendasarinya. Tujuan
utama teroris adalah melahirkan ketakutan, membuat kepanikan
ekonomi atau mendiskriminasi lawan politik. Tujuan lainnya bisa jadi
adalah terlepas dari motif utama seperti menurunkan pendapatan
moneter atau pengumpulan informasi (baik untuk konvensional atau
serangan elektronik). Sebagai catatan penting, serangan di internet
merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk mencpai tujuan. Isu
terkait dengan ini adalah kesulitan untuk mendeteksi niat teroris di
balik aksinya di internet. Dalam perspektif obyektif murni, untuk
menggali alasan atau motivasi pelaku serangan sangat sulit dibedakan
antara cybercrime biasa dan cyberterrorism sulit untuk membuat.
Untuk analisa ini akan sangat tergantung dari penelusuran kasus dan
interkoneksi anatara factorfaktor sehingga bisa diidentifikasi sebagai
cyberterrorism sebagaimana dijelaskan;
e. Waktu Serangan (Timing)

5
Dari motif kenapa internet menjadi pilihan sebagai alat atau sasaran
serangan oleh teroris yang dijelaskan di atas, maka konsekuens
logisnya serangan bisa dilakukan kapan saja. Selain faktor-faktor
tersebut, maka wwaktu serangan akan sangat ditentukan oleh
momentum yang tepat agar ketakutan bisa menyebar luas di kalangan
masyarakat. Dengan kata lain, waktu serangan akan berkorelasi
dengan tujuan, kemampuan dan faktor rentannya sistema keamanan
dari jaringan yang dijadikan alat atau sasaran serangan.5

3. Kebijakan Hukum Pidana dalam penanggulangan Cyber


Terorisme
A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab “Undang-Undang Hukum Pidana yang disingkat KUHP
merupakan sistem induk bagi peraturan-peraturan hukum pidana di
Indonesia. Meskipun KUHP ini merupakan buatan penjajah Belanda
namun untuk saat ini karena belum ada perubahan atau penerimaan atas
pembaharuan KUHP yang telah dilakukan oleh para ahli hukum pidana
Indonesia yang telah diupayakan sejak tahun 1963 maka KUHP yang ada
ini harus tetap dipergunakan demi menjaga keberadaan hukum pidana itu
sendiri dalam masyarakat Indonesia.” Perumusan “tindak pidana di
dalam KUHP kebanyakan masih bersifat konvensional dan belum secara
langsung dikaitkan dengan perkembangan cyber terorism yang
merupakan bagian dari cyber crime. Di samping itu, mengandung
berbagai kelemahan dan keterbatasan dalam mengahadapi perkembangan
teknologi dan high tech crime yang sangat bervariasi.” Berkaitan
“dengan hal itu, apakah KUHP dapat digunakan dalam menanggulangi
tindak pidana CT yang merupakan bagian dari cyber crime, berikut
identifikasinya:
a. Kejahatan terhadap ketertiban umum Bab V Pasal 168 ayat 1,2,dan 3;

5
Urfan, Loc. Cit., hlm. 532.

6
b. Kejahatan terhadap nyawa Bab XIX Pasal 340;
c. Pencurian Bab XXII Pasal 362;
d. Pemerasan dan pengancaman Bab XXIII Pasal 368.”
Berkaitan “dengan permasalahan tersebut, jika KUHP ingin
digunakan untuk menanggulangi tindak pidana cyber terorism haruslah
diperhatikan terlebih dahulu batasan-batasan atau ruang lingkup dan
unsur- unsur/bentuk-bentuk cyber terorism yang telah penulis uraikan,
sehingga dapat dikatakan sebagai tindak pidana cyber terorism.” Unsur-
unsur “tersebut antara lain: Serangannya melalui dunia maya bermotivasi
politik yang dapat mengarah pada kematian luka-luka; Menyebabkan
ketakutan atau merugikan secara fisik atas tekhik serangan dari dunia
maya tersebut; Serangannya serius untuk melawan atau ditujukan ke
infrastruktur informasi kritis seperti keuangan, energi, transportasi dan
operasi pemerintah; Serangan yang mengganggu sarana yang tidak
penting, bukan dikategorikan sebagai aksi cyber terrorism; dan Serangan
itu tidaklah semata-mata dipusatkan pada keuntungan moneter.”

B. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi


Kualifikasi delik “yang diatur dalam Undang- Undang
Telekomunikasi mengenai cyber terorism diatur dalam Pasal 47-59 yang
dikualifikasikan sebagai kejahatan.
Berdasarkan ketentuan pidana dari Pasal 47 sampai dengan Pasal
59, beberapa Pasal di antaranya dapat diidentifikasi unsur tindak
pidananya sebagai berikut:
- Pasal 47 dengan unsur tindak pidana: penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi yang tanpa izin dari menteri;
- Pasal 50 dengan unsur tindak pidana: melakukan perbuatan tanpa
hak, tidak sah atau memanipulasi, akses ke jaringan telekomunikasi
dan/atau akses kejasa telekomunikasi dan/atau akses ke jaringan ke
telekomunikasi khusus;

7
- Pasal 52 dengan unsur tindak pidana: memperdagangkan, membuat,
merakit, memasukan dan/atau menggunakan perangkat komunikasi di
wilayah Indonesia tanpa memenuhi syarat tekhnis dan ijin;
- Pasal 53 dengan unsur tindak pidana: pengunaan spektrum frekwensi
radio dan orbit satelit tanpa ijin pemerintah dan tidak sesuai dengan
peruntukannya dan saling menganggu;
- Pasal 55 dengan unsur tindak pidana: melakukan perbuatan yang
menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap
penyelenggaraan telekomunikasi;
- Pasal 56 dengan unsur tindak pidana: melakukan penyadapan
informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi; dan
- Pasal 57 dengan unsur tindak pidana: tidak menjaga kerahasiaan
infomasi yang dikirim dan/atau diterima oleh pelanggan.”
Mengenai “unsur sifat melawan hukum, dalam Undang-Undang
Telekomunikasi tersebut tidak disebutkan secara tegas, namun demikian
unsur ‘sifat melawan hukum’ tersebut dapat dilihat pada perumusan
seperti dirumuskan dalam Pasal 47 sampai dengan Pasal 57, sehingga
dapat disimpulkan bahwa dengan tidak disebutkannya secara tegas unsur
sifat melawan hukum terlihat ada kesamaan ide dasar antara UU
Telekomunikasi dengan Konsep KUHP baru yang sekarang tengah
disusun yang menentukan bahwa meskipun unsur sifat melawan hukum
tidak dicantumkan secara tegas, tetapi suatu delik harus tetap dianggap
bertentangan dengan hukum.”
Disamping itu walaupun kata “dengan sengaja” tidak
“dicantumkan secara tegas, namun jika dilihat dari unsur-unsur tindak
pidana yang ada, maka tindak pidana yang dilakukan didasarkan pada
unsur kesengajaan (dolus). Jika dilihat dari unsur-unsur perbuatan yang
dilarang seperti disebutkan di atas maka dapat diidentifikasikan
perbuatan yang dilarang (unsur tindak pidana) yang erat kaitannya
dengan penyalahgunaan internet untuk tujuan cyber terorism yaitu
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 berupa Setiap orang dilarang

8
melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi: a) akses
ke jaringan telekomunikasi; dan atau b) akses kejasa telekomunikasi; dan
atau, c) akses ke jaringan telekomunikasi khusus, (Terkait dengan aksi
kejahatan CT yang berbentuk Unathorized acces to computer system and
service); Pasal 38 berupa Setiap orang dilarang melakukan perbuatan
yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap
penyelenggaraan telekomunikasi, (Terkait dengan aksi kejahatan Cyber
sabotaje and extortion);
Pasal 50 berupa melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah atau
memanipulasi, akses ke jaringan telekomunikasi dan/atau akses ke jasa
telekomunikasi dan/atau akses ke jaringan ke telekomunikasi khusus’,
(Terkait dengan aksi kejahatan Unathorized acces to computer system
and service); dan
Pasal 52 berupa memperdagangkan, membuat, merakit,
memasukan dan/atau menggunakan perangkat komunikasi di wilayah
Indonesia tanpa memenuhi syarat tekhnis dan ijin (Terkait dengan aksi
kejahatan Carding).” Berdasarkan ketentuan yang telah
dikriminalisasikan dalam Undang-undang Telekomunikasi tersebut,
nampak adanya kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang
berhubungan dengan penyalahgunaan penggunaan internet, yang
berbentuk tindak pidana cyber terorism.6

C. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan


Transaksi Elektronik
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal dalam Bab XI mengenai
ketentuan pidana dalam UU ITE, maka dapat diidentifikasikan beberapa
perbuatan yang dilarang (unsur tindak pidana) yang erat kaitannya

6
Dwila Annisa Rizki Amalia, Mujiono Hafidh Prasetyo, Kebijakan Hukum Pidana
Dalam Upaya Penanggulangan Cyber Terorism, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Program
Studi Magister Hukum Universitas Diponegoro, Volume 3, Nomor 2, Tahun 2021, hlm. 232

9
dengan tindak pidana cyber terorism pada tiap-tiap pasalnya sebagai
berikut:
- Pasal 30 dengan unsur tindak pidana : megakses, menerobos,
menjebol Sistem Komputer atau Sistem Elektronik milik orang lain
secara illegal. (Terkait dengan aksi kejahatan cyber terorism yang
berbentuk unauthorized acces to computer system dan service);
- Pasal 31 dengan unsur tindak pidana: melakukan intersepsi/
penyadapan secara illegal atas Informasi Elektronik dan/atau Sistem
Ellektronik dalam suatu komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu
milik orang lain. (terkait dengan aksi kejahtan Hacking);
- Pasal 32 dengan unsur tindak pidana: melakukan transmisi merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik milik orang lain atau milik publik. (Terkait dengan aksi
kejahatan cyber terorism yang berbentuk cyber sabotage dan
extortion);
- Pasal 33 dengan unsur tindak pidana : melakukan tindakan apa pun
secara illegal yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik menjadi
tak bisa bekerja. (Terkait dengan aksi kejahatan cyber terorism yang
berbentuk unauthorized acces to computer system dan service);
- Pasal 34 dengan unsur tindak pidana : memperoduksi, menjual
mengadakan untuk digunakan, mengimpor, menyediakan perangkat
lunak komputer untuk tujuan kesusilaan atau eksploitasi seksual
terhadap anak, penyadapan, merusak, dan menghilangkan suatu
Informasi Elektronik dan/atau dokumen Elektronik dan/atau milik
publik. (Terkait dengan aksi kejahatan CT yang berbentuk Hacking,
Cyber saborage dan extortion);
- Pasal 35 dengan unsur tindak pidana : melakukan perubahan,
penciptaan, perusakan, penghilangan dan memanipulasi data
Informasi Elektronik/ Dokumen Elektronik dengan tujuan Informasi

10
dan/ atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data
yang otentik (Terkait dengan aksi kejahatan Hacking).
Mengenai unsur sifat melawan hukum, dalam UU ITE tersebut
disebutkan secara tegas, unsur sifat melawan hukum tersebut dapat dilihat
pada perumusan Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 tersebut di atas,
sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan disebutkannya secara tegas
unsur sifat melawan hukum terlihat ada kesamaan ide dasar antara UU ITE
dengan KUHP yang masih menyebutkan unsur sifat melawan hukumnya
suatu perbuatan. Berbeda dengan Konsep KUHP baru yang sekarang
tengah disusun yang menentukan bahwa meskipun unsur sifat melawan
hukum tidak dicantumkan secara tegas, tetapi suatu delik harus tetap
dianggap bertentangan dengan hukum.
Melihat berbagai ketentuan yang telah dikriminalisasikan “dalam
Undang-undang ITE tersebut, nampak adanya kriminalisasi terhadap
perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan penyalahgunaan
penggunaan di bidang teknologi Infomasi dan Transaksi Elektronik, yang
berbentuk tindak pidana cyber terorism.7

7
Dwila Annisa Rizki Amalia, Loc., Cit, hlm. 234

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang dijelaskan diatas maka penulis dapat
menyimpulkan beberapa pembahasan diantaranya :
1. Kebijakan Hukum Pidana yaitu Secara umum kebijakan dapat
diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk
mengarahkan pemerintah dalam mengelola, mengatur atau
menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat
atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan
pengaplikasian hukum/peraturan, dengan suatu tujuan yang mengarah.
Sedangkan Hukum Pidana peraturan atau hukum yang mengatur
tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap
kepentingan umum, dan bagi pelanggarnya diancam dengan hukuman.
2. Cyber Terrorism merupakan tindak pidana yang dilakukan melalui
komputer yang mengakibatkan kekerasan, kematian dan/atau
kehancuran, dan menciptakan teror untuk tujuan memaksa pemerintah
untuk mengubah kebijakannya.
3. Pada KUHP jika ingin digunakan untuk menanggulangi tindak pidana
cyber terorism haruslah diperhatikan terlebih dahulu batasan-batasan
atau ruang lingkup dan unsur- unsur/bentuk-bentuk cyber terorism.

B. Penutup
Penulis menyadari makalah ini masih mempunyai kekurangan dan
demi penyempurnaan makalah ini. Maka  kami membutuhkan kritik dan
saran yang bersifat positif atau membangun dari pembaca dan semoga
makalah ini bermanfaat untuk pembaca.

12
DAFTAR PUSTAKA

Agus Raharjo, Cyber Crime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan


Berteknologi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 132
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai, Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2013.
Dwila Annisa Rizki Amalia, Mujiono Hafidh Prasetyo, Kebijakan Hukum Pidana
Dalam Upaya Penanggulangan Cyber Terorism, Jurnal Pembangunan
Hukum Indonesia, Program Studi Magister Hukum Universitas
Diponegoro, Volume 3, Nomor 2, Tahun 2021.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Rajawali pers, Jakarta, 2012.
Ufran, Kebijakan Antisipatif Hukum Pidana Untuk Penanggulangan
Cyberterrorism, Fakultas Hukum Universitas Mataram, MMH, Jilid 43
No.4, Oktober 2014

13

Anda mungkin juga menyukai