Anda di halaman 1dari 4

Efektivitas Pelaksanaan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Pasca

Disyahkannya KUHPidana Terbaru


Oleh:
Patar Mangimbur Permahadi,SH.,MH.
I. Pendahuluan

Pada tanggal 06 Desember 2022 dalam rapat paripurna DPR-RI telah mensyahkan Rancangan
Undang-Undang Kitab Hukum Pidana menjadi Undang-Undang. Didalam draf final RKUHP yang
diterima Tempo, ada sejumlah pasal penjelasan yang mengatur Penarikan Barang Tanpa Hak
sebagaimana yang dimaksud dalam Buku Bagian IV Pasal 524 KUHPidana yang menyatakan
sebagai berikut:

1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak
kategori V, Setiap Orang yang:
a. Menarik sebagian atau seluruh Barang miliknya atau Barang milik orang lain untuk
keperluan pemiliknya, dari orang lain yang mempunyai hak gadai, hak menahan, hak
pungut hasil, atau hak pakai atas Barang tersebut;
b. Menarik sebagian atau seluruh Barang miliknya atau Barang milik orang lain untuk
keperluan pemiliknya, dari perjanjian utang hak atas tanggungan atas Barang
tersebut, dengan merugikan orang yang berpiutang hak atas tanggungan tersebut;
c. Menarik sebagian atau seluruh Barang yang olehnya dibebani ikatan panen, atau
untuk yang memberi ikatan menarik suatu Barang yang oleh orang lain dibebani
ikatan panen dengan merugikan pemegang ikatan tersebut; atau
d. Menarik sebagian atau seluruh Barang miliknya atau untuk keperluan pemilik
dari ikatan kredit atas Barang tersebut dengan merugikan pemegang kredit.
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 481 berlaku juga bagi Tindak Pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Bila mencermati ketentuan Pasal 524 Huruf (d) KUHPidana yang pada pokoknya adanya
larangan penarikan barang yang menjadi ikatan dalam kredit merupakan norma hukum baru dalam
pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yang berkaitan dengan pelaksanaan titel eksekutorial pada
sertifikat jaminan fidusia yang kita ketahui dalam hal pelaksanaan eksekutorial objek jaminan
fidusia secara khusus diatur dalam Pasal (15) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia.

Dalam Jaminan fidusia terdapat eksekusi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dalam hal
pemberi fidusia (debitur) berada dalam keadaan cidera janji (wanprestasi) dimana Pemberi fidusia
wajib menyerahkan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi
jaminan fidusia (Vide Pasal 30UUJF).Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia diatur di dalam pasal
29 sampai dengan pasal 34 undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Mengenai Eksekutorial Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Ketentuan Pasal 15


ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor: 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia juga sudah pernah
dilakukan judicial review hal tersebut sebagaimana berdasarkan Putusan Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020 Jo. Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2/PUUXIX/2021 tertanggal 31 Agustus 2021 yang pada
pokoknya menegaskan “sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada
kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek
yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam
pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan
pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”..

Dimasukkannya larangan eksekusi atau penarikan barang dalam ikatan kredit didalam Pasal
524 KUHPidana yang mana sebelumnya juga terkait eksekusi jaminan fidusia juga telah pernah
diuji melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 18/PUU-XVII/ 2019
tertanggal 6 Januari 2020 Jo. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2/PUUXIX/2021
tertanggal 31 Agustus 2021, maka timbul permasalahan hukum tentang “ Bagaimana Efektivitas
Pelaksanaan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Pasca Disyahkannya KUHPidana Terbaru”.

II. Permasalahan Hukum


Adapun permasalahan hukum dari uraian singkat diatas adalah“ Bagaimana Efektivitas
Pelaksanaan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Pasca Disyahkannya KUHPidana
Terbaru”.
III. Landasan Hukum
Pasal 520 KUHPidana;
Undang-Undang Nomor: 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
Peraturan Kepolisian Republik Indonesia No. 8 tahun 2011 tentang Pengamanan
Eksekusi Jaminan Fidusia;
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 18/PUU-XVII/ 2019
tertanggal 6 Januari 2020;
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2/PUUXIX/2021 tertanggal
31 Agustus 2021.
IV. Tinjauan Hukum
Sebagaimana kita ketahui mengenai pembiayaan konsumen secara khusus diatur didalam
ketentuan Undang-Undang Nomor: 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mulai di
berlakukan pada tanggal 30 September 1999. Di bentuknya Undang-Undang Nomor: 42 tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia didasari untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan
hukum bagi pihak yang berkepentingan.
Adapun hal yang diatur didalam Undang-Undang Nomor: 42 tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia diantaranya adalah tentang hak eksekutorial yang dilakukan oleh penerima jaminan fidusia
hal tersebut dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 29 sampai dengan pasal 34 undang-undang
Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Dalam hal pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia secara khusus diatur dalam ketentuan
Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menyebutkan
bahwa “Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Selanjutnya pasal 15 ayat
(3) menyebutkan “apabila debitur cidera janji, penerima fiduaia mempunyai hak untuk menjual
Benda yang menjadi objek jaminan Fiduusia atas kekuasaan sendiri. Jadi apabila nasabah
wanprestasi (menunggak cicilan), perusahaan punya dasar untuk mengeksekusi jaminan fidusia
tersebut”.
Bahwa ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan (3) tersebut telah diuji melalui Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 18/PUU-XVII/ 2019 tertanggal 6 Januari 2020  jo. Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2/PUUXIX/2021 tertanggal 31 Agustus 2021
yang pada pokoknya “sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada
kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang
menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan
eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan
eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.
Selain daripada itu sebagaimana berdasarkan ketentuan Pasal 30 UUJF ditegaskan “Pemberi
Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka
pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia”, berkenaan dengan hal tersebut ketentuan Pasal 30 UUJF
juga telah dilakukan pengujian di Mahkamah Konstitusi sebagaimana berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 71/PUU-XIX/2021 tanggal 24 Februari 2021 Dalam hal ini,
Mahkamah telah menegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
2/PUU-XIX/2021 bahwa kreditur harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada
Pengadilan Negeri apabila cidera janji (wanprestasi) oleh pemberi hak fidusia (debitur) terhadap
kreditur yang masih belum diakui oleh debitur dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela
benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia.
Berdasarkan uraian diatas, maka hak eksekutorial yang dilakukan oleh penerima fidusia masih
dapat dilakukan secara sepihak apabila didalam perjanjian pembiayaan di sepakati kedua belah
pihak tentang cidera janji dan debitur bersedia mengembalikan objek jaminan fidusia apabila cidera
janji. Jika hal tersebut tidak diatur didalam perjanjian pembiayaan maka alternatifnya adalah
melakukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Negeri dimana perjanjian itu di buat.
Mengingat dalam hal eksekusi objek jaminan fidusia juga telah diatur serta larangan
melakukan penarikan barang dalam ikatan kredit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 524
Huruf (d) KUHPidana artinya penerima fidusia dilarang melakukan eksekusi barang yang menjadi
objek jaminan fidusia. Akan tetapi didalam ilmu hukum terdapat salah satu asas preferensi yang
dikenal dalam ilmu hukum.
Asas preferensi adalah asas hukum yang menunjuk hukum mana yang lebih didahulukan
(untuk diberlakukan), jika dalam suatu peristiwa (hukum) terkait atau terlanggar beberapa
peraturan. Asas prefensi tersebut dikenal dengan asas lex specialis derogat legi generali (hukum
khusus menyampingkan hukum umum).
Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto mengatakan bahwa: “Maksud dari asas
ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diberlakukan undang-undang yang menyebut
peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diberlakukan undang-
undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat mencakup
peristiwa khusus tersebut”.1
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dijelaskan bahwa didalam ikatan kredit apabila perikatan
tersebut di buat didalam suatu perjanjian pembiayaan konsumen yang memuat dan disepakati
tentang perbuatan cidera janji dan kewajiban debitur menyerahkan secara sukarela apabila terjadi
perbuatan cidera janji yang dikuatkan berdasarkan Akta Fidusia serta didaftarkan di lembaga
pendaftaran fidusia maka dalam hal hak eksekutorial secara khusus (Lex specialis) diberlakukan
Undang-Undang Nomor: 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia serta Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 18/PUU-XVII/ 2019 tertanggal 6 Januari 2020  jo. Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2/PUUXIX/2021 tertanggal 31 Agustus 2021 Jo.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 71/PUU-XIX/2021 tanggal 24 Februari 2021.
Akan tetapi apabila barang dalam ikatan kredit tersebut tidak diatur hak eksekusi apabila
cidera janji serta tidak didaftarkan secara fidusia maka berlakulah ketentuan Pasal 524 KUHPidana
yaitu tentang larangan melakukan penarikan barang dalam ikatan kredit.
Namun sangat disayangkan bila mencermati ketentuan Pasal 524 KUHPidana terbaru
tersebut mengakibatkan keraguan serta kepastian hukum bagi ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku secara khusus diantaranya Undang-Undang Nomor: 42 tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia.
V. Kesimpulan Hukum
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Sepanjang didalam perjanjian disepakati debitur dan kreditur serta diatur tentang
cidera janji serta akibat dari cidera janji maka penerima fidusia (Kreditur) dapat
melakukan eksekusi objek jaminan fidusia;

1
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1983, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Bandung: Citra Aditya
Bakti, hlm 8.
2. Sepanjang perjanjian pembiayaan tersebut dimuat didalam akta fidusia dan didaftarkan
di lembaga pendaftaran fidusia maka secara khusus eksekusi objek jaminan fidusia
berlaku Undang-Undang Nomor: 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
3. Apabila barang dalam ikatan kredit tersebut tidak diatur mengenai cidera janji serta
barang tersebut tidak didaftarkan secara fidusia maka larangan eksekusi objek jaminan
fidusia berlaku secara umum ketentuan Pasal 524 KUHPidana, maka eksekusi barang
ikatan kredit tersebut wajib melalui Pengadilan Negeri dimana ikatan kredit tersebut
disepakati.
VI. Saran Hukum
Pihak PT. Mandiri Tunas Finance dapat mengesampingkan ketentuan Pasal 524
KUHPidana sepanjang didalam melakukan pembiayaan konsumen dibuat suatu
perjanjian pembiayaan konsumen dan disepakati bersama hal-hal yang diatur didalam
perjanjian tersebut serta perjanjian tersebut wajib dimuat didalam akta fidusia serta
didaftarkan melalui lembaga pembiayaan fidusia.

Anda mungkin juga menyukai