Resume Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Fidusia
Resume Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Fidusia
dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (yang selanjutnya
disebut Undang-Undang Jaminan Fidusia). Ketentuan yang pertama berubah adalah Pasal 15
“Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.”
Dalam pasal tersebut, yang dirubah oleh Mahkamah Konstitusi ialah berkaitan dengan frasa
“kekuatan eksekutorial” dan “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap”.
Berkaitan dengan frasa “kekuatan eksekutorial” dan “sama dengan putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap” di dalamnya terkandung makna bahwa sertifikat fidusia
mempunyai kekuatan eksekusi tanpa disyaratkan adanya putusan pengadilan yang didahului
oleh adanya gugatan secara keperdataan dan pelaksanaan eksekusinya diperlakukan sama
sebagaimana halnya terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
eksekutorial” dan “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam
Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia tersebut tidak mencerminkanya adanya
perlindungan hukum yang seimbang kepada debitur. Disatu sisi kreditur dapat melakukan
eksekusi terhadap objek Jaminan Fidusia tersebut apabila Debitur wanprestasi, tapi di sisi lain
debitur tidak dapat membela dirinya atas dugaan wanprestasi dan kesempatan untuk
Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa frasa “kekuatan eksekutorial” dan “sama
dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” berdampak bahwa adanya
tindakan secara sepihak yang dilakukan kreditur secara sepihak melakukan eksekusi yang
berpotensi menimbulkan adanya tindakan sewenang-wenang dan dilakukan dengan cara yang
Mahkamah Konstitusi berpendapat pula terkait frasa “cidera janji” sebagaimana tertera
Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia merupakan ketentuan lebih lanjut dari
mempertanyakan siapa yang berhak untuk melakukan penilaian terhadap “cidera janji”. Hal
ini menimbulkan masalah adanya ketidakpastian hukum perihal kapan sesungguhnya debitur
telah melakukan “cidera janji”, sehingga kekuasaan untuk menilai apakah debitur cidera janji
untuk sebagian. Sehingga Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Fidusia bertentangan dengan
UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
“terhadap perjanjian jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji
(wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi
jaminan fidusia, maka mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat
jaminan fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap" seperti yang diatur dalam Pasal 196 HIR. Selain
itu juga Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia bertentangan dengan UUD NRI
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya
cidera janji tidak ditentukan sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara
kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera
janji”.
Implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah apabila nantinya ada
perjanjian utang piutang yang dijaminkan oleh debitur kepada kreditur dengan jaminan fidusia
dan selanjutnya debitur “cidera janji” atau keberatan secara sukarela objek yang menjadi
jaminan fidusia, kreditur tidak dapat melakukan eksekusi seperti biasanya tanpa kesepakatan
oleh debitur bahwa ia “cidera janji” atau tanpa kesukarelaan debitur menyerahkan objek yang
menjadi jaminan fidusia. Sehingga untuk mengkesekusi objek jaminan fidusia terhadap
debitur yang tidak sepakat bahwa ia melakukan “cidera janji” dan debitur yang keberatan
secara sukarela menyerahkan objek yang menjadi jaminan fidusia, harus mengajukan
berkaitan dengan cidera janji, adanya cidera janji tidak ditentukan sepihak oleh kreditur
melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum
yang menentukan telah terjadinya cidera janji. Sehingga untuk menentukan cidera janji yang
pihak debitur tidak menyepakatinya, harus melalui mekanise upaya hukum yang menentukan
Pada Putusan Mahkamah Konstitusi ini yang menjadi Pokok Permohonan ialah Pasal 15
ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia, yang berbunyi :
“(2) Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
(3) Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda
yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.”
Para pemohon disini mendalilkan Pasal tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945, yang
Menurut Pemohon definisi frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan Frasa “sama dengan
untuk secara langsung mengeksekusi objek fidusia dalam hal dianggap telah melakukan
wenangan oleh kreditur dalam melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusianya.
Pemaknaan Kedua, frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan
Jaminan Fidusia dilakukan sama seperti prosedur dan mekanisme eksekusi sebagaimana
pelaksanaan eksekusi terhadap putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Menurut
Pemohon, dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia, seharusnya diatur
lebih lanjut bagaimana prosedur eksekusi itu dapat dilaksanakan agar sesuai juga dengan
mekanisme eksekusi atas putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap seperti yang
dijelaskan dalam Pasal 196 Herzien Inlandsch Reglement (yang selanjutnya disebut HIR)
yang berbunyi :
“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu
dengan damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan,
maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama
pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang
dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo
yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari”
Pemaknaan ketiga, frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan
dihadapan hukum.
dengan “kekuatan eksekutorial” dalam konteks eksekusi objek fidusia dan frasa “sama
dengan putusan pengadilan” ketika dihadapkan Sertifikat Jaminan Fidusia sama dengan
Putusan Pengadilan, telah menunjukan ketiadaan konsep dan mekanisme yang jelas
sehingga mengabaikan prosedur hukum dalam penentuan apakah debitur melakukan
apabila debitur “cidera janji”, kreditur mempunyai hak untuk menjual Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaanya sendiri. Dalam ketentuan ini, Pemohon
berpendapat ketentuan ini tidak menjelaskan indikator kapan debitur dikatakan “cidera
janji”, sehingga hal tersebut menimbulkan hak subyektif Kreditur untuk melakukan
mengabaikan prinsip “due process of law” yang berarti bertentangan dengan Pasal 1 ayat
Ketentuan ini menurut pemohon juga telah bertentangan dengan prinsip persamaan
dihadapan hukum sebagaimana ketentuan pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD
NRI 1945, karena ketentuan ini dirasa mengabaikan pengakuan, jaminan, perlindungan
dan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Karena ketentuan ini menunjukan ketidak
setaraan dihadapan hukum antara kreditur dan debitur. Hal tersebut dikarenakan kreditur
diberikan hak ekslusif untuk melakukan eksekusi terhadap objek fidusia tanpa melalui
hukum yang jelas tanpa memberikan kesempatan debitur untuk menguji kebenaranya
Frasa “cidera janji” telah bertentangan dengan prinsip perlindungan jaminan atas
hak milik.
fidusia beserta prosedur untuk mementukan bahwa suatu tindakan itu telah masuk dalam
kategori “cidera janji” berpotensi menyebabkan terambilnya hak milik pribadi seseorang
bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI 1945.