Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

EKSEKUSI JAMINAN

OLEH :
ANGELIA KRISAL LORENSIA TJANGKUNG

211003741020562

MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS 17 AGUTUS 1945
SEMARANG
BAB I

Pendahuluan

A.    Latar Belakang

Dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang


Jaminan Fidusia adalah: “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda
bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak
bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia,
sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya”

            Dalam Jaminan Fidusia, apabila debiturnya melakukan seuatu


wanprestasi maka krediturnya, dapat melakukan eksekusi terhadap objek
jaminan fidusia tersebut tetapi harus adanya cara-cara tertentu terhadap
pengeksekusian objek jaminananya, oleh karena itu, penulis tertarik untuk
membahas tentang bagaimana proses pengeksekusian jaminan fidusia di
Indonesia, dengan judul “Eksekusi Jaminan Fidusia di Indonesia”.

B.    Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:

1.     Pengertian Eksekusi Jaminan Fidusia

2.     Cara Eksekusi Jaminan Fidusia

C.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan pembuatan makalah ini adalah :

1.   Memberitahukan kepada pembaca pengertian eksekusi jaminan fidusia

2.   Menberitahukan kepada pembaca tentang cara eksekusi jaminan fidusia di


Indonesia
BAB II

Pembahasan

A.    Pengertian Jaminan Fidusia

Istilah fidusia berasal dari bahasa Belanda, yaitu fiducie, sedangkan


dalam bahasa inggris disebut fiduciary transfer of ownership, yang artinya
kepercayaan. Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 42  Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia, yaitu:

“Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan


ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya yang diadakan tersebut
tetap dalam penguasaan pemilik benda itu.”

Yang diartikan dengan pengalihan hak kepemilikan adalsh pemindahan hak


kepemilikan dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia atas dasar
kepercayaan, dengan syarat bahwa benda yang menjadi objeknya tetap berada
di tangan pemberi fidusia.

Di samping istilah fidusia, dikenal juga istilah jaminan fidusia. Istilah jaminan
fidusia ini dikenal dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia adalah:

“Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan
yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap
berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya”.

Unsur-Unsur Jaminan Fidusia adalah:

1.     Adanya hak jaminan;


2.     Adanya objek, yaitu benda bergerak baik yang berujud maupun yang tidak
berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yag tidak dibebani
hak tanggungan. Ini berkaitan dengan pembebanan jaminan rumah susun.

3.     Benda menjadi objek jaminan tetap berada dalam penguasaan pemberi


fidusia; dan

4.     Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur.

B.    Eksekusi Jaminan Fidusia

Eksekusi jaminan fidusia merupakan penyitaan dan penjualan benda


yang menjadi objek jaminan fidusia, diatur dalam Pasal 29 sampai dengan
Pasal 34 UU Nomor 42 Tahun 1999  tentang Jaminan Fidusia. Yang menjadi
penyebab timbulnya eksekusi jaminan fidusia ini adalah karena debitur atau
pemberi fidusia cedera janji atau tidak memenuhi prestasinya tepat pada
waktunya kepada penerima fidusia, walaupun mereka telah diberikan somasi.
[1]

Dalam ketentuan Pasal 29 Undang-undang Fidusia merupakan suatu ketentuan


bersyarat, yang baru berlaku apabila syarat yag disebutkan sudah terpenuhi.
yaitu syarat, bahwa “debitur  atau  pemberi fidusia sudah cidera janji. yang
dimaksud dengan cidera janji adalah tidak memenuhi kewajiban perikatannya
dengan baik dan sebagaimana mestinya.

Pasal 29 Undang-undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa apabila debitur


atau Pemberi Fidusia cidera Janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek
jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara:

a.        Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima Fidusia

b.       Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan


penerima-fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutannya dari hasil penjualan; dan

c.        Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan


pemberi dan penerima-fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh
harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.[2]
Jadi prinsipnya adalah bahwa penjualan benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia harus melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan
dapat diperoleh harga yang paling tinggi. Namun, demikian dalam hal
penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan
harga tertinggi yang menguntungkan baik Pemberi Fidusia ataupun Penerima
Fidusia, maka dimungkinkan penjualan di bawah tangan asalkan hal tersebut
disepakati oleh Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia dan syarat jangka waktu
pelaksanaan penjualan tersebut dipenuhi[3]

Ada dua kemungkinan dari hasil pelelangan atau penjualan barang jaminan
fidusia, yaitu:

1.       hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia wajib


mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia.

2.       hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur atau


pemberi fidusia tetap bertanggung jawab atas utang yang belum dibayar.

Ada 2 janji yang dilarang dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia,
yaitu:

1.       Janji melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan


fidusia dengan cara yang bertentangan dengan Pasal 29 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999, dan

2.       Janji yang memberi kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki


benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitur cedera janji.

Kedua macam perjanjian tersebut adalah batal demi hukum, Artinya bahwa
dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.[4]

C.    Cara Eksekusi Jaminan Fidusia

Eksekusi Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara-cara berikut ini:

a)     Eksekusi langsung dengan titel eksekutorial yang berarti sama


kekuatannya dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Eksekusi ini dibenarkan oleh Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang
Jarninan Fidusia karena menurut pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 42
Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, sertifikat Jaminan Fidusia menggunakan
irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berarti
kekuatannya sama dengan kekuatan putusan pengadilan yang bersifat tetap.
Irah-irah ini memberikan titel eksekutorial dan berarti akta tersebut tinggal
dieksekusi tanpa harus melalui suatu putusan pengadilan. Karena itu, yang
dimaksud dengan fiat eksekusi adalah eksekusi atas sebuah akta seperti
mengeksekusi suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan pasti, yakni
dengan cara meminta fiat dari ketua pengadilan dengan cara memohon
penetapan dari ketua pengadilan untuk melakukan eksekusi. Ketua pengadilan
akan memimpin eksekusi sebagaimana dimaksud dalam HIR.[5]

b)     Eksekusi Berdasarkan Grosse Sertifikat Jaminan Fidusia

Berdasarkan ketentuan Pasal 196 ayat (3) Herzein Inlandsch Reglement


(“HIR”), Kreditur harus mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan,
agar dilaksanakan eksekusi atas benda jaminan berdasarkan titel eksekusitorial
sertifikat jaminan fidusia. Ketua akan memanggil debitur/pemberi fidusia dan
memerintahkan agar debitur/pemberi fidusia memenuhi kewajibannya
sebagaimana mestinya. Setelah waktu tersebut lampau dan debitur/pemberi
fidusia tetap tidak memenuhi kewajibannya secara sukarela, maka ketua akan
memerintahkan kepada juru sita untuk menyita benda jaminan.

Pelaksanaan eksekusi dilakukan dengan menjual barang jaminan di muka


umum (secara lelang) atau dengan cara yang oleh ketua pengadilan dianggsp
baik.[6]

c)     Eksekusi Berdasarkan Parate Eksekusi

Pelaksanaan Parate Eksekusi tidak melibatkan pengadilan maupun Juru sita.


Apabila dipenuhi syarat pada pasal 29 ayat (1b) Undang-Undang Fidusia, yaitu:
“penjualan Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia atas kekuasaan
Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan”. Kreditur bisa lagsung menghubungi juru
lelang dan meminta agar benda jaminan di lelang. Dalam parate eksekusi,
harus selalu dilaksanakan melalui atau penjualan di muka umum atau lelang.
Eksekusi melalui parate eksekusi  mempunyai akibat, yaitu bahwa kreditur
yang melaksanakan eksekusi berdasarkan parate eksekusi, tidak bisa menuntut
perlindungan berdasarkan ketentuan Pasal 200 H.I.R., karena ketentuan
tersebut hanya berlaku untuk pelaksanaan keputusa hakim. Konsekuensinya
kalau penghuni rumah yang dilelang tidak mau meninggalkan rumah yang
bersangkutan, maka yang berkepentingan harus menggugatnya di muka
Pengadilan melalui gugatan pengosongan biasa.[7]

d)     Penjualan di Bawah Tangan

Pelaksanaan penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan


kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak di lakukan setelah
lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi
fidusia dan penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan
diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang
bersangkutan. Jadi pada prinsipnya pelaksanaan penjualan dibawah tangan di
lakukan oleh pemberi fidusiasendiri, selanjutnya hasil penjualan tersebut di
serahkan kepada penerima fidusia (pihak kreditor/bank) untuk melunasi
hutang pemberi fidusia (debitor).[8]

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Adapun kesimpulan dalam makalah ini adalah:

1.     Eksekusi jaminan fidusia merupakan penyitaan dan penjualan benda yang


menjadi objek jaminan fidusia.

2.     Pengeksekusian jaminan fidusia dapat dilakukan dengan beberapa cara


yaitu:

a.   Eksekusi langsung dengan titel eksekutorial yang berarti sama kekuatannya


dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
b.   Eksekusi Berdasarkan Grosse Sertifikat Jaminan Fidusia

c.   Eksekusi Berdasarkan Parate Eksekusi

d.   Penjualan di Bawah Tangan.

B.    Saran

Saya selaku penyusun sangat menyadari masih jauh dari sempurna dan
tentunya banyak sekali kekurangan dalam pembutan makalah ini.Hal ini
disebabkan karena masih terbatasnya kemampuan kami.

Oleh karena itu, Saya selaku pembuat makalah ini sangat mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun.Kami juga mengharapkan makalah ini
sangat bermanfaat untuk kami khususnya bagi pembaca.

Daftar Pustaka

Salim. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: Raja


Grafindo Persada.

Satrio, J. 2002. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusis.   Bandung:


Citra Aditya Bakti.

Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang


Yayasan, Jaminan Fidusia, Jabatan Notaris, Advokad,dan Peraturan
Pelaksanaannya Tahun 2009. Jakarta: Tamita Utama.

Widjaja, Gunawan.,  Ahmad Yani. 2000. Jaminan Fidusia. Jakarta: Raja Grafindo


Persada.

file:///C:/Users/user/Desktop/data%20rahmi/h.jaminan/EKSEKUSI%20OBYEK
%20JAMINAN%20FIDUSIA%20-%20MelissaCute.htm

http://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CBsQ
[1]. Salim HS. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia,  (Jakarta: Raja
Grafinda Persada, 2004), hal. 49

[2] . Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang


Yayasan, Jaminan Fidusia, Jabatan Notaris, Advokad,dan Peraturan
Pelaksanaannya Tahun 2009. (Jakarta: Tamita Utama, 2009), hal.124

[3] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani.  Jaminan Fidusia,  (Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 2000). hal. 152.

[4] . Salim HS, Perkembangan Hukum...., hal.91

[5].file:///C:/Users/user/Desktop/data%20rahmi/h.jaminan/EKSEKUSI
%20OBYEK%20JAMINAN%20FIDUSIA%20-%20MelissaCute.htm

[6] .J.Satrio. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia. (Bandung: Citra


Aditya Bakti: 2002). hal.319

[7] Ibid., hal.321

[8].http://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CBsQ

Anda mungkin juga menyukai