Anda di halaman 1dari 4

SOLUSI DALAM PENERAPAN EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA

Haykal Afdhol Bagaskara


Haykalbagas903@gmail.com
Fakultas Hukum Universitas Jember

Jaminan Fidusia sudah diterapkan seja lama di Indonesia yaitu mulai


zaman kolonial Belanda di Indonesia yang merupakan suatu bentuk jaminan yang
lahir dari yurisprudensi. Jaminan Fidusia ini sering digunakan dalam skala yang
luas dalam transaksi pinjam-meminjam karena prosesnya yang mudah, sederhana,
dan cepat. Di lain hal, jaminan Fidusia ini tidak atau masih memiliki kelemahan
dalam sisi tidak menjamin adanya kepastian hukum. Pasal 1 angka 2 UU No. 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menjelaskan mengenai pengertian Jaminan
Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi
fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.

Pelaksanaan praktik fidusia seperti yang sudah dijelaskan bahwa jaminan


fidusia ini merupakan jamianan yang memberikan kemudahan bagi pihak yang
menggunakannya, khususnya bagi pemberi fidusia. Karena jaminan fidusia ini
sifat dan landasannya berdasarkan kepercayaan dan tidak didaftarkan, hal ini
berakibat terhadap kurang menjaminnya pihak yang menerima fidusia. Pemberi
fidusia mungkin saja menjamin benda yang telah dibebani dengan fidusia kepada
pihak lain tanpa sepengetahuan penerima fidusia. Sebelum Undang-Undang No.
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terbentuk, pada umumnya benda yang
menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda
dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin, dan
kendaraan bermotor. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan perkembangan
zaman, maka menurut UU Jaminan Fidusia ini menjelaskan mengenai objek
jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas yaitu benda bergerak yang

1
berwujud maupun yang tak berwujud, dan benda tak bergerak yang tidak dapat
dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana ditentukan dalam UU No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan.

Dalam praktiknya terdapat kelemahan yaitu pelaksanaan eksekusi yang


dilakukan oleh kreditur melalui jasa debt collector kadangkala menimbulkan
masalah baru antara kreditur dengan debitur. Hal ini dikarenakan cara debt
collector dalam mengeksekusi barang jaminan fidusia dengan cara yang kurang
etis dan tidak halal (kekerasan), intimidasi, atau bahkan dengan menggunakan
cara perampasan barang jaminan fidusia di jalan. Hal ini lah yang menimbulkan
perlawanan dari pihak debitur. Aksi penarikan atau eksekusi jaminan fidusia yang
dilakukan oleh debt collector di jalanan masih kerap terjadi. Padahal, Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 sudah memberikan peringatan
tentang tindakan sewenang-wenang, ancaman fisik maupun psikis yang dilakukan
oleh kreditur atau kuasanya. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak
melarang penarikan jaminan fidusia jika debitur melakukan wanprestasi.
Mahkamah Konstitusi hanya menyatakan jika debitur tidak suka rela
menyerahkan objek jaminan fidusia, kreditur harus mengajukan permohonan
eksekusi ke pengadilan.

Debt collector ini sudah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia.
Namun, masih saja terjadi kejadian mengenai cara-cara debt collector yang tidak
manusiawi dan menjadi catatan penting bahwa masalah pokok mengenai cara debt
collector melakukan kerjanya menjadi momok tersebdiri yang tidak dapat
dipisahkan dalam praktik eksekusi jaminan fidusia. Bukan lagi mengenai proses
eksekusinya, tetapi lebih ditekankan kepada bagaimana cara perusahaan dalam
melakukan atau menjalankan eksekusinya. Perusahaan dalam ketentuan UU
Jaminan Fidusia harus diarahkan untuk taat dalam menerapkan asas hukum yang
baik dan benar, bukan hanya sekedar mengalihfungsikan tanggung jawab pada
keanggotaan perusahaan dan pertanggung jawaban kemudia beralih pada anak

2
buah. Hal ini menjadi suatu problematika pokok dalam hal eksekusi jaminan
fidusia.

Selama ini yang menerima manfaat terbesar Penerimaan Negara Bukan


Pajak (PNBP) dari pendaftaran sertifikat fidusia adalah Kementerian Hukum dan
HAM, tetapi nyaris tidak ada bantuan dari Kementerian untuk membantu proses
eksekusi jika kreditur mengalami kesulitan melakuka eksekusi objek jaminan
fidusia.Keikutsertaan aparat pemerintahan dalam melakukan eksekusi jaminan
fidusia bukan dilarang sama sekali. Contohnya dalah juru sita pajak yang dikenal
dalam UU No. 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No. 19 Tahun 1997
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. UU ini memungkinkan pemerintah
melaksanakan titel eksekutorial. Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2000
menyebutkan Surat Paksa yang disertai irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai kekuatan hukum eksekutorial dan
kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Pasal 10 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2000 menjelaskan
mengenai surat paksa ini memiliki kekuatan eksekutorial, maka pemberitahuan
kepada penunggak pajak oleh juru sita pajak dilaksanakan dengan cara
membacakan isi surat paksa, dan kedua belah pihak menandatangani berita acara
sebagai pernyataan bahwa surat paksa telah diberitahukan.

Perlibatan pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Hukum dan HAM
dalam problematika eksekusi jaminan fidusia yang timbul di lapangan lebih pas
daripada melibatkan debt collector. Pasal 30 UU No. 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia menjelaskan bahwa pemberi fidusia wajib menyerahkan benda
yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan
fidusia. Penjelasan pasal ini memberikan hak kepada penerima fidusia untuk
mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan jika perlu dapat
meminta bantuan pihak yang berwenang. Jika hendak memberikan kewenangan
kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk membantu eksekusi, maka harus
ada perubahan pada UU Jaminan Fidusia.

3
Solusinya bagi kreditur adalah tetap berpacu pada Pasal 29 dan 30 UU
Jaminan Fidusia. Pada Pasal 29 mengatur tentang tiga cara eksekusi benda
jaminan fidusia. Pertama, yaitu pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2). Kedua, penjualan benda yang menjadi objek
jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum
serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Ketiga,
penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan
penerima fidusia jika dengan cara ini dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan para pihak. Dalam hal pemberi fidusia tidak menyerahkan benda
yang menjadi objek jaminan fidusia pada wakyu eksekusi dilaksanakan, penerima
fidusia berhak mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan apabila
perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.

Hal-hal mengenai solusi atas eksekusi jaminan fidusia tentunya perlu


direspon melalui adanya perubahan pola penegakan hukum yang menempatkan
budaya hukum dapat ditekankan sebagai wujud mereaktivasi kembalinya
program-program yang sifatnya bersinergi terkait eksekusi dalam penerapan
jaminan fidusia. Disinilah pola sosialisasi harus dijalankan terus menerus agar
pelaksanaan jaminan fidusia dalam proses eksekusi dapat terlaksana dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai