Anda di halaman 1dari 9

ASPEK PERPAJAKAN DALAM PRAKTEK TRANSFER PRICING

Haykal Afdhol Bagaskara


Haykalbagas903@gmail.com
Fakultas Hukum Universitas Jember

PENDAHULUAN

Dunia kini merupakan pasar tunggal. Bahan baku, tenaga kerja dan
keterampilan teknis berdatangan dari segenap penjuru dunia. Demikian pula pasar-
pasar untuk produk dan jasa kini juga bersifat transnasional. Hal ini disebabkan
karena lingkungan bisnis yang berubah secara cepat, baik secara domestik maupun
global. Perubahan ini menuntut gerak cepat dari para pelaku bisnis untuk segera
melakukan suatu proses adaptasi atau penyesuaian mengikuti gerak langkah
perubahan lingkungan bisnis yang berubah tersebut. Dulunya sektor industri lebih
bersifat padat karya atau lebih banyak mempekerjakan tenaga-tenaga manusia
untuk melakukan proses pabrikasi. Tetapi seturut dengan perubahan lingkungan,
proses pabrikasi mulai dilakukan dengan menggunakan robot-robot yang ekstensif
dan perlengkapan yang dikendalikan oleh komputer. Sistem tradisional yang
digunakan untuk membebankan biaya ternyata juga dianggap gagal membebankan
secara akurat biaya-biaya sumber daya pendukung yang kemudian tergantikan
dengan sistem yang lebih modern, misalnya Activity Base Costing atau suatu sistem
biaya modern, dimana biaya yang timbul didasarkan pada setiap aktivitas yang
terjadi.

Hubungan perdagangan dan ekonomi khususnya di bidang permodalan


telah menimbulkan suatu perkembangan tatanan baru dalam perekonomian dunia,
yaitu munculnya unifikasi ekonomi global dengan kecenderungan ke arah
regionalisasi maupun globalisasi. Globalisasi ekonomi telah membawa dampak
semakin meningkatnya transaksi internasional atau cross border transaction.
Fenomena globalisasi ini juga secara tidak langsung mendorong maraknya
konglomerasi dan divisionalisasi/departementasi perusahaan. Dalam lingkungan
perusahaan multinasional dan konglomerasi serta divisionalisasi terjadi berbagai
transaksi antar anggota (divisi) yang meliputi penjualan barang dan jasa, lisensi hak
dan harta tak berwujud lainnya, penyediaan pinjaman dan lain sebagainya.
Transaksi-transaksi yang terjadi dalam lingkungan perusahaan seperti ini nantinya
akan menyulitkan dalam penentuan harga yang harus ditransfer. Penentuan harga
atas berbagai transaksi antar anggota atau divisi tersebut lazim disebut dengan
transfer pricing.

Arus barang, orang, jasa, dan permodalan (investasi) antar negara telah
menjadi berlipat ganda. Saat ini pergerakan modal dan dana dari satu negara ke
negara lain menjadi lebih besar dari sebelumnya. Lahirnya General Agreement on
Trade and Tariff (GATT) dan World Trade Organization (WTO) telah mengurangi
kendala-kendala dalam pergerakan barang, jasa dan modal antar negara.
Perusahaan-perusahaan tidak lagi membatasi operasinya hanya di negara sendiri,
akan tetapi merambah ke mancanegara dan menjadi perusahaan multinasional dan
transnasional. Mereka beroperasi melalui anak usaha dan cabang-cabangnya di
hampir semua negara berkembang dan pasar-pasar yang sedang tumbuh. Dalam
lingkungan perusahaan multinasional, terjadi berbagai transaksi antar anggota yang
meliputi penjualan barang dan jasa, lisensi hak dan harta tak berwujud lainnya,
penyediaan pinjaman dan sebagainya. Penentuan harga atas berbagai transaksi antar
anggota korporasi tersebut dikenal dengan sebutan transfer pricing (harga transfer).
Praktik transfer pricing ini dulunya hanya dilakukan oleh perusahaan semata-mata
hanya untuk menilai kinerja antar anggota atau divisi perusahaan, tetapi seiring
dengan perkembangan zaman praktik transfer pricing sering juga dipakai untuk
manajemen pajak yaitu sebuah usaha untuk meminimalkan jumlah pajak yang harus
dibayar.

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pajak dan Transfer Pricing

Pengertian pajak diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 28 tahun 2007
tentang perubahan ke-tiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan yaitu “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk

2
keperluan bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Menurut Mardiasmo
(2016: 3) pengertian pajak adalah iuran yang dibayarkan oleh rakyat kepada negara
yang masuk dalam kas negara yang melaksanakan pada Undang-Undang serta
pelaksanaannya dapat dipaksakan tanpa adanya balas jasa. Iuran tersebut digunakan
oleh negara untuk keperluan pembayaran atas kepentingan umum. Sedangkan
menurut Prof. Dr. P.J.A. Andriani dalam buku Perpajakan Indonesia (2014: 3),
pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang
wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi
kembali yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas negara yang
menyelenggarakan pemerintah.

Pengertian Transfer Pricing menurut Hansen dan Mowen (2007, 440), “a


transfer price is the price charged for a component by the selling division to the
buying division of the same company”. Sementara menurut Garrison, Noreen, dan
Brewer (2010, 558), “a transfer price is the price charged when one segment of a
company provides goods or services to another segment of the same company”.
Senada dengan kedua definisi di atas, Bhimani, Horngren, Datar, dan Foster (2008,
619) mendefinisikan transfer price sebagai “the price one subunit (segment,
department, division, and so on) of an organisation charges for a product or service
supplied to another subunit of the same organisation”. Jadi, dalam konteks satu
perusahaan, transfer pricing adalah suatu kebijakan penentuan harga untuk
penjualan barang/jasa yang terjadi dalam internal satu perusahaan.

Transfer pricing didefinisikan sebagai suatu harga jual khusus yang dipakai
dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling
division) dan biaya divisi pembeli (buying division). (Henry Simamora, 1999:272).
Transfer pricing sering juga disebut dengan intercompany pricing, intercorporate
pricing, interdivisional atau internal pricing yang merupakan harga yang
diperhitungkan untuk keperluan pengendalian manajemen atas transfer barang dan
jasa antar anggota (grup perusahaan). Transfer pricing biasanya ditetapkan untuk
produk-produk antara (intermediate product) yang merupakan barang-barang dan

3
jasa-jasa yang dipasok oleh divisi penjual kepada divisi pembeli. Bila dicermati
secara lebih lanjut, transfer pricing dapat menyimpang secara signifikan dari harga
yang disepakati. Oleh karena itu transfer pricing juga sering dikaitkan dengan suatu
rekayasa harga secara sistematis yang ditujukan untuk mengurangi laba yang
nantinya akan mengurangi jumlah pajak atau bea dari suatu negara.

Jika dilihat dari sudut pandang perusahaan multinasional, transfer pricing


menurut Madura (2014, 708) adalah “policy for pricing goods sent by either the
parent or a subsidiary to a subsidiary of an MNC”. Definisi ini tidaklah jauh
berbeda dari definisi yang diberikan oleh Hansen dan Mowen, Bhimani, Horngren,
Datar, dan Foster, serta Garrison, Noreen, dan Brewer di atas. Pada intinya, transfer
pricing adalah kebijakan penentuan harga untuk penjualan barang/jasa yang terjadi
dalam internal suatu perusahaan atau suatu kelompok perusahaan. Transfer pricing
memiliki dua tujuan utama, yaitu pengukuran kinerja divisi dan penentuan beban
pajak yang optimal.

B. Risiko Transfer Pricing Terhadap Penerimaan Negara

Di beberapa negara, penerimaan negara di bidang perpajakan dianggap


sebagai salah satu sumber utama pendapatan pemerintah. Negara memberikan
beban pajak kepada warga negaranya dan orang perseorangan atau badan hukum
non-warga negara. Di Indonesia, sistem perpajakan termasuk dalam Pasal 23A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perpajakan
Indonesia cukup komprehensif untuk mengatur perpajakan transfer pricing dan
penanganan pajak. Namun, masih banyak praktik-praktik abuse of transfer pricing
di lapangan yang dapat sangat berpotensi terhadap resiko berkurangnya penerimaan
negara pada sektor pajak di Indonesia.[1] Abuse of transfer pricing atau
penyalahgunaan transfer pricing hanya dapat dilakukan oleh perusahaan
multinasional yang berkantor di berbagai negara berbeda (international transfer
pricing). Di sisi lain, domestic transfer pricing tidak secara signifikan
mempengaruhi potensi penerimaan negara pada sektor pajak terhadap suatu negara.
Hal ini dikarenakan penurunan laba atau pendapatan satu perusahaan menyebabkan

4
penambahan pendapat di perusahaan lain, sehingga hasil dari penerimaan negara
pada sektor pajak akan sama saja.

Selain itu, akar penyebab timbulnya risiko adalah kurangnya sumber daya
manusia di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak untuk memahami pengertian
transfer pricing, sehingga sangat minim pemeriksaan yang dapat dilakukan
terhadap perusahaan multinasional juga sangat terbatas. Padahal secara globalisasi
jumlah prospek pasar Indonesia semakin terbuka bagi investor dunia. Sistem
perpajakan di Indonesia menganut prinsip self-assessment memungkinkan Wajib
Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajaknya
sendiri. Maka itu, kualitas pemeriksaan yang dihasilkan juga cukup
memprihatinkan. Jika, Wajib Pajak mengajukan banding atas jumlah ketetapan
pajak yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak ke Pengadilan Pajak, mereka
Sebagian besar tidak dapat mempertahankan argumen akibat mengalami kekalahan
kurang kuat dibandingkan argumen yang disampaikan oleh Wajib Pajak atau
konsultannya. Hal ini akan mengurangi tingkat penerimaan negara kembali.

Oleh karena itu, dalam hal ini Pemerintah, Kementerian Keuangan dan
Ditjen Pajak dapat melakukan hal-hal berikut untuk mengurangi dan meminimalkan
risiko hilangnya penerimaan negara akibat penyalahgunaan transfer pricing dalam
perpajakan:

a) Meningkatkan keahlian sumber daya manusia yang ahli dalam bidang transfer
pricing. Untuk itu, diberikan pelatihan yang tidak hanya berfungsi bagi
pemeriksa pajak, tetapi juga kepada kepala seksi dan kepala kantor pajak.
Perlu peningkatan pelatihan transfer pricing bagi pegawai khususnya fiskus
yang bekerja pada perusahaan multinasional yang terdaftar dalam Kantor
Pelayanan Pajak (KPP).
b) Menerapkan Mutual Agreement Procedure (MAP). Implementasi dilakukan
untuk lebih fokus kepada negara lain. Saat ini belum ada negara yang
memiliki kesepakatan bersama dengan Indonesia, namun diharapkan dengan
adanya penerapan MAP akan menghasilkan kesepakatan yang saling

5
menguntungkan di antara kedua negara dan penerimaan pajak yang diperoleh
bagi yang menjalankan kesepakatan harus lebih adil oleh kedua negara.
c) Penerapan Advance Pricing Agreement (APA) kepada wajib pajak maupun
negara lain. Bermaksud untuk menyelaraskan sistem perpajakan Indonesia
dengan perkembangan perpajakan internasional. Mekanisme APA sendiri
memberikan wewenang kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk
menutup kesepakatan harga transfer (APA) dengan wajib pajak yang
bersangkutan (unilateral) atau dengan negara terkait (bilateral).
d) Memperkuat institusi yang khusus mengurusi tentang transfer pricing
e) Meningkatkan kualitas dan kuantitas database serta accessibility terhadap
database tersebut.
C. Penegakan Hukum Transfer Pricing di Indonesia

Peraturan tentang transfer pricing secara umum diatur dalam Pasal 18 UU


Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Pasal 18 ayat (3) UU
PPh menyebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berwenang untuk
menentukan kembali besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa
(arm’s length principle) dengan menggunakan metode perbandingan harga antara
pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau
metode lainnya. Aturan lebih lanjut dan detail tentang transfer pricing termuat
dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 43 Tahun 2010 yang diubah dengan Peraturan
Dirjen Pajak Nomor 32 Tahun 2011. Di dalam aturan ini disebutkan pengertian
arm’s length principle yaitu harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa ditentukan oleh kekuatan
pasar, sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar

Aturan perpajakan di Indonesia sudah cukup komprehensif mengatur


tentang praktik-praktik transfer pricing dan bagaimana perlakuan perpajakannya.
Walaupun begitu, di lapangan masih banyak terjadi praktik-praktik abuse of
transfer pricing yang sangat merugikan bagi penerimaan pajak. Hal ini semakin

6
banyak jumlah perusahaan multinasional yang beraktifitas di Indonesia dan
semakin terbukanya perekonomian dunia serta menariknya pasar Indonesia di mata
investor dunia. Maka itu di Indonesia, transfer pricing termasuk sebagai bentuk
perlawanan. Menurut Suandy (2011), perlawanan terhadap pajak merupakan
hambatan yang terjadi atau ada dalam upaya pemungutan pajak. Bentuk perlawanan
pajak dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) jenis yakni secara aktif ini merupakan
serangkaian usaha yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk tidak membayar pajak
atau mengurangi jumlah pajak yang seharusnya dibayar, sedangkan secara pasif ini
berkaitan erat dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat di negara yang
bersangkutan.

Dengan adanya kesenjangan harga mengenai transfer pricing telah


memaksa Pemerintah Indonesia untuk memberlakukan Peraturan Anti
Penghindaran Pajak (Anti Avoidance Rule/AAR) yang terintegrasi dalam UU PPh.
AAR tersebut harus memberikan definisi yang jelas tentang acceptable tax
avoidance, unacceptable tax avoidance, dan tax evasion, sehingga pertimbangkan
pajak transfer pricing dengan harga yang melanggar prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha dapat digolongkan sebagai tindakan yang ilegal. Selain itu, sanksi
terhadap pelaku transfer pricing harus diatur secara jelas dan tegas di dalam
Peraturan Anti Penghindaran Pajak.

Transfer prising sering terjadi di Indonesia. Salah satu kasus yang pernah
terjadi pada tahun 2013 yakni kasus dari PT. Nestle (11/07/2013) dimana
Perusahaan Nestle melakukan Transfer Pricing (harga transfer) yaitu bertujuan
untuk meningkatkan laba pusat, sehingga terjadi perputaran uang yang cukup besar
dalam siklus laporan keuangan perusahaan Nestle. Konsep transfer pricing lebih
mementingkan kepentingan perusahaan internal dibandingkan dengan kepentingan
perusahaan eksternal sesuai dengan tujuannya yaitu ingin meningkatkan laba pusat.
Alasan lain perusahaan Nestle melakukan transfer pricing adalah untuk menekan
biaya. Baik itu biaya perolehan produk maupun beban pajak.

Uraian kasus di atas memperlihatkan bahwa transfer pricing merupakan


salah satu skema yang sangat rawan untuk dijadikan jalan pintas dalam memperoleh

7
laba. Hal ini dikejutkan dengan data yang dikeluarkan oleh Organization for
Economic and Development (OECD) bahwa 60% dari total perdagangan dunia
terindikasi melakukan praktik transfer pricing.

PENUTUP

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung. Dalam manajemen pajak, terdapat praktik
yang disebut transfer pricing dan ini dulunya hanya dilakukan oleh perusahaan
semata-mata hanya untuk menilai kinerja antar anggota atau divisi perusahaan,
tetapi seiring dengan perkembangan zaman praktik transfer pricing sering juga
dipakai untuk meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar. Perpajakan
Indonesia cukup komprehensif untuk mengatur perpajakan transfer pricing dan
penanganan pajak. Namun, masih banyak praktik-praktik abuse of transfer pricing
di lapangan yang dapat sangat berpotensi terhadap resiko berkurangnya penerimaan
negara pada sektor pajak di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah mengurangi dan
meminimalkan risiko hilangnya penerimaan negara dengan meningkatkan keahlian
sumber daya manusia yang ahli dalam bidang transfer pricing, menerapkan Mutual
Agreement Procedure (MAP), memperkuat institusi yang khusus mengurusi
tentang transfer pricing, meningkatkan kualitas dan kuantitas database serta
accessibility terhadap database tersebut, dan penerapan Advance Pricing Agreement
(APA) kepada wajib pajak maupun negara lain. Dengan adanya jumlah yang cukup
besar perusahaan multinasional yang beraktifitas di Indonesia dan semakin
terbukanya perekonomian dunia serta menariknya pasar Indonesia di mata investor
dunia ini menimbulkan banyak resiko. Maka itu di Indonesia, transfer pricing
termasuk sebagai bentuk perlawanan.

Sebagai bentuk penekanan timbulnya transfer pricing negatif di Indonesia,


tindakan pemerintah seharusnya perlu meningkatkan penerapan dalam sistem APA
maupun MAP. Penggunaan sistem tersebut sangat efektif menangani untuk
mengurangi atau menghindari beban pajak yang dilakukan oleh perusahaan
multinasional.

8
DAFTAR ISI

Firdaus, A. A. (2017). Kajian Strategi Djp Untuk Meminimalkan Praktik Transfer


Pricing Sebagai Optimalisasi Pendapatan Negara (Studi Pada KPP Madya
Makassar). Alauddin Makassar.

Nurhayati, I. D. (2013). Evaluasi Atas Perlakuan Perpajakan Terhadap Transaksi


Transfer Pricing Pada Perusahaan Multinasional Di Indonesia. Jurnal
Manajemen dan Akuntansi, 31- 47.

Rika Henda Safitri, & Bunga Aulia. (2017). Optimalisasi Peran Behavioral
Accounting Guna Penerapan Dalam Praktik Transfer Pricing. Sustainable
Business Practice.

Santoso, I. (2004). Advance Pricing Agreement Dan Problematika Transfer Pricing


Dari Perspektif Perpajakan Indonesia. Jurnal Akuntansi & Keuangan, 123-
139.

Wildan, M. (2020, September 24). Peran Penting Transfer Pricing Dalam Konteks
Perpajakan, Seperti Apa?

Anda mungkin juga menyukai