Anda di halaman 1dari 13

TUGAS PAJAK INTERNASIONAL

Alokasi Biaya Administrasi dan Umum (Overhead Cost)


Pada Transfer Pricing

Dosen Pengampu : Chaidir Djohar, S.IP., M.M


Disusun oleh Kelompok 3 :

1. Danang Satria (2016121930)


2. Febry Teguh Pratama (2016121344)
3. Sari Devi Ginting (2016120717)
4. Sekar Dwi Andyanti (2016121121)
5. Suci Indah Sari (2016121302)

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada era globalisasi ini, dunia ini seperti tanpa batas. Perusahaan sudah tidak lagi

membatasi operasinya hanya di negara sendiri, tetapi menambah kegiatan operasinya berbagai

lintas negara dan menjadi perusahaan multinasional dan transnasional. Perusahaan tersebut

beroperasi melalui anak perusahaan dan cabang-cabangnya diberbagai negara.

Fenomena globalisasi ini secara tidak langsung mendorong meluasnya konglomerasi

(penggabungan perusahaan-perusahaan dengan produk dan jasa yang tidak saling berhubungan)

dan divisionalisasi/departementasi perusahaan. Pada lingkungan perusahaan multinasional,

konglomerasi serta divisonalisasi terjadi berbagai transaksi antar anggota (divisi) yang mencakup

penjualan barang dan jasa, lisensi hak dan harta tak berwujud lainnya, penyediaan pinjaman dan

lain sebagainya. Transaksi-transaksi tersebut yang terjadi dalam lingkungan seperti ini nantinya

akan menyulitkan dalam penentuan harga yang harus ditransfer. Penentuan harga atas berbagai

transaksi antar anggota/divisi disebut dengan transfer pricing.

Praktik transfer pricing ini dulunya hanya digunakan perusahaan hanya sekedar menilai

kinerja antar anggota/divisi perusahaan, tetapi seiring berjalannya waktu praktik transfer pricing

ini sering juga digunakan untuk manajemen pajak yaitu sebuah usaha untuk menggeser beban

pajak dari negara dengan tarif pajak yang tinggi ke negara dengan tarif pajak rendah. Pergeseran

ini diyakini dapat menghilangkan potensi penerimaan pajak suatu negara.

Transfer pricing merupakan isu klasik di bidang perpajakan, khususnya menyangkut

transaksi internasional yang dilakukan oleh korporasi multinasional. Dari sisi pemerintahan,

transfer pricing diyakini mengakibatkan berkurang atau hilangnya potensi penerimaan pajak
suatu negara karena perusahaan multinasional cenderung menggeser kewajiban pajaknya dari

negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi (high tax countries) ke negara yang

menerapkan tarif pajak rendah (low tax countries). Di pihak lain dari sisi bisnis, perusahaan

cenderung berupaya meminimalkan biaya-biaya (cost efficiency) termasuk didalamnya

meminimalisasi pembayaran pajak perusahaan (corporate income tax). Bagi korporasi

multinasional, perusahaan berskala global, transfer pricing dipercaya menjadi salah satu strategi

yang efektif untuk memenangkan persaingan dalam memperebut sumber-sumber daya yang

terbatas.

Alokasi biaya merupakan salah satu isu penting bagi perpajakan ataupun transfer

pericing. Perusahaan afiliasi yang berada di negara yang mempunyai tarif pajak yang relatif

tinggi, akan cenderung meningkatkan atau meninggikan biaya seperti imbalan atas jasa teknik,

dan imbalan atas jasa lainnya sehingga keuntungannya kecil dan pajak yang dibayar juga kecil.

Transfer pricing dapat terjadi dalam satu grup perusahaan dan antar perusahaan yang terikat

dalam hubungan istimewa.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa landasan teori yang digunakan dalam alokasi biaya administrasi dan umum pada

transfer pricing?

2. Bagaimana cara penanganan kasus dalam alokasi biaya administrasi dan umum pada

transfer pricing?
1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui landasan teori yang digunakan dalam alokasi biaya administrasi dan

umum pada transfer pricing

2. Untuk mengetahui cara penanganan kasus dalam alokasi biaya administrasi dan umum

pada transfer pricing

1.4 Manfaat Penelitian

1. Untuk memberi pengetahuan kepada pembaca mengenai landasan teori yang digunakan

dalam alokasi biaya administrasi dan umum pada trenasfer pricing

2. Untuk memberi pengetahuan kepada pembaca mengenai penanganan kasus dalam alokasi

biaya administrasi dan umum pada transfer pricing


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Akuntansi Positif

Teori akuntansi positif ini merupakan penjelasan atau penalaran untuk menunjukkan

secara ilmiah kebenaran pernyataan atau fenomena akuntansi, seperti apa adanya sesuai fakta.

Teori akuntansi positif berupaya menjelaskan sebua proses yang menggunakan kemampuan,

pemahaman, dan pengetahuan akuntansi, serta penggunaan keibijakan akuntansi yang paling

sesuai untuk menghadapi kondisi tertentu dimasa mendatang.

Pemerintah akan mewajibkan suatu perusahaan untuk membayar pajak yang sesuai

dengan laba yang didapat diperusahaan, sehingga hal ini tentunya membuat perusahaan merasa

mendapatkan tekanan karena harus secara rutin membayar pajak kepada negara yang dapat

membuat laba perusahaan menurun. Maka dari itu, manager perusahaan akan cenderung untuk

memilih melakukan transfer pricing ke grup pembahasannya yang ada di negara agar pajak yang

dibayar oleh perusahaan bisa seminimal mungkin. Beban pajak yang akan dibayar perusahaan

akan semakin kecil dan pendapatan perusahaan pun akan tetap meningkat.

Dalam penelitian ini, teori akuntansi positif berhubungan dengan alokasi biaya

administrasi dan umum pada transfer pricing dimana alokasi biaya merupakan salah satu

pemahaman akuntansi mengenai perusahaan afiliasi yang berada di negara yang mempunyai tarif

pajak yang relatif tinggi, akan cenderung meningkatkan atau meninggikan biaya seperti imbalan

atas jasa teknik.


2.1 Definisi Transfer Pricing

Transfer pricing adalah kebijakan suatu perusahaan dalam menentukan harga transfer

suatu transaksi antar pihak yang dipengaruhi hubungan istimewa. Transfer pricing sendiri

sebenarnya adalah istilah yang netral, namun sering transfer pricing dikonotasikan sebagai

praktik penghindaran pajak yang dilakukan para pihak yang dipengaruhi hubungan istimewa.

Ada beberapa pengertian tentang Transfer Pricing yang di kemukakan oleh para ahli,
diantaranya:
1. Gunadi
Transfer pricing merupakan jumlah harga atas penyerahan barang atau imbalan atas
penyerahan jasa yang telah di sepakati oleh kedua belah pihak dalam transaksi bisnis
finansial maupun transaksi lainnya.
2. Darussalam dan Danny Septriadi
Transfer pricing merupakan bagian dari suatu kegiatan usaha dan perpajakan yang bertujuan
untuk memastikan apakah harga yang diterapkan dalam transaksi antara perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa telah didasarkan atas prinsip harga pasar wajar (arm’s
length price principle)
3. Mohammad Zain
Harga transfer merupakan harga yang diperhitungkan untuk mengendalian manajemen atas
transfer barang dan jasa antar-pusat pertanggungjawaban laba atau biaya, termasuk
determinasi harga untuk barang, imbalan atas jasa, tingkat bunga pinjaman, beban atas
persewaan dan metode pembayaran serta pengiriman uang.

Dengan demikian, manipulasi transfer pricing dapat dilakukan dengan cara memperbesar
biaya atau memperkecil penjualan melalui mekanisme harga transfer dengan tujuan untuk
mengurangi pembayaran pajak. Sehingga, manipulasi transfer pricing terjadi dengan cara
menetapkan harga transfer menjadi “terlalu besar atau terlalu kecil” dengan maksud untuk
memperkecil jumlah pajak yang terutang.8 Karena dengan memperkecil jumlah pajak yang
terutang, keuntungan yang diterima oleh perusahaan multi-nasional akan semakin besar.
2.3 Transfer Pricing di Indonesia

Sebenarnya praktek transfer pricing ini sudah banyak dilakukan oleh banyak perusahaan.

Hanya saja, tidak terlalu terasa efek pengurangan pajaknya apabila dilakukan antar divisi dalam

satu perusahaan yang sama. Lain halnya apabila transfer pricing itu digunakan untuk menilai

kinerja divisi. Pertanyaan yang timbul adalah mengapa transfer pricing tidak terlalu berarti dari

sisi pajak apabila dipraktekkan pada divisi yang sama dalam satu perusahaan. Jawabannya,

adalah hal ini disebabkan karena praktek transfer pricing akan memberikan hasil maksimal

dalam hal ini meminimalkan jumlah pajak yang terutang, apabila timbul pengenaan tarif yang

berbeda. Oleh karena itu apabila praktek tersebut dilakukan antar divisi tidak memberikan hasil

yang maksimal, karena tarif pajak yang berlaku sama.

Adanya hubungan istimewa merupakan faktor penyebab utama timbulnya praktek

transfer pricing. Hubungan istimewa adalah hubungan kepemilikan antara satu perusahaan

dengan perusahaan lain dan hubungan ini terjadi karena adanya keterkaitan, pertalian atau

ketergantungan satu pihak dengan pihak yang lain yang tidak terdapat pada hubungan biasa,

faktor kepemilikan atau penyertaan, adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan

teknologi, adanya hubungan darah atau karena perkawinan merupakan faktor penyebab utama

timbulnya hubungan istimewa. Oleh karena itu faktor hubungan istimewa akan menjadi penting

dalam menentukan besarnya penghasilan dan/atau biaya yang akan dibebankan untuk

menghitung penghasilan kena pajak. Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Perpajakan No. 10 Tahun

1994 menyebutkan bahwa hubungan istimewa ada apabila :

a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung sebesar 25%

(dua puluh lima persen) atau lebih pada wajib pajak lain, atau hubungan antara Wajib
Pajak dengan penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua Wajib Pajak

atau lebih yang disebut terakhir; atau

b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya, atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di

bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau

c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus

dan/atau kesamping satu derajat.

Praktek transfer pricing ini dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan atau

dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu Wajib Pajak ke Wajib Pajak yang lainnya, yang

dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak terutang atas Wajib Pajak-Wajib

Pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut. Sebenarnya kekurang-wajaran yang bisa

timbul karena adanya praktek transfer pricing dapat terjadi antar Wajib Pajak dalam negeri atau

antara Wajib Pajak dalam Negeri dengan pihak luar negeri, terutama yang berkedudukan di Tax

Haven Countries (negara yang tidak memungut/memungut pajak lebih rendah dari Indonesia).

adanya praktek transfer pricing dapat terjadi atas :

1. Harga penjualan

2. Harga pembelian

3. Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost)

4. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder

loan)

5. Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen,

imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya

6. Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang

mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar


7. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak

mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company atau

reinvoicing center)

2.4 Kasus dan Cara Menangani

PT ADARO INDONESIA (PT Adaro Energy Tbk) adalah perusahaan batubara kedua

terbesar di Tanah Air yang memiliki produk andalan Enviro Coal, batubara berkalori rendah dan

ramah lingkungan. Perusahaan yang punya cadangan batubara mencapai 928 juta ton dengan

luas pertambangan 34.940 hektare

PT Adaro Indonesia diduga telah melakukan penggelapan pajak dengan cara transfer

pricing. Sebab, Adaro telah melakukan manipulasi penggelapan pajak dengan transaksi jual beli

batubara secara tidak wajar (tidak sesuai dengan harga batubara pasaran Internasional) kepada

perusahaanya Coaltrade Services International Pte. Ltd asal Singapura

Pada tahun 2005, Adaro menjual batubara ke perusahaan Coaltrade dari Singapura

sebesar US$26 per ton, sementara harga pasar US$48 per ton. Sedangkan pada 2006, Adaro

menjual batubara ke Coaltrade US$29 per ton, sementara harga internasional mencapai US$40

per ton. Dengan volume penjualan 2005 mencapai 26 juta ton lebih dan 2006 mencapai 34 juta

ton, terdapat selisih antara harga jual ke Coaltrade dan harga jual internasional masing-masing

US$589,9 juta (Rp5,8 triliun dengan kurs rata-rata 2005 sebesar Rp9.800/US$) tahun 2005 dan

US$363,1 juta (Rp3,3 triliun dengan kurs rata-rata 2006 Rp9.096/US$) tahun 2006.

Jika dihitung berdasarkan harga pasar, total pendapatan pada 2005 mestinya berjumlah

US$ 1,287 miliar dan 2006 US$ 1,371 miliar. Berarti, ada selisih penjualan Adaro dengan

penjualan berdasarkan harga pasar. Jika dirupiahkan mencapai Rp 9,121 triliun. Belum lagi

kerugian negara dari potensi royalti 13,5% yang nilai berkisar Rp 1,231 triliun. Akibat transfer
pricing yang terjadi pada tahun 2005-2006 lalu diperkirakan ada Rp 9 triliun dari hasil penjualan

yang disembunyikan. Sehingga kerugian negara terkait pajak dan royalti diperkirakan mencapai

Rp 4-5 triliun. Royalti adalah nilai yang harus dibayar sesuai harga jual. Adanya dugaan transfer

pricing yang memperkecil nilai jual mengakibatkan royalti yang harus dibayarkan otomatis juga

turun.

Adanya kasus transfer pricing antara PT. Adaro Indonesia dengan anak perusahaanya

yaitu Coaltrade services International Pte Ltd, telah menunjukan bahwa adanya indikasi

penyalahgunaan sistem harga transfer yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Namun praktik

yang dilakukan oleh perusahaan, khususnya perusahaan multinasional sering tidak sesuai dengan

apa yang seharusnya mereka lakukan atau tidak sesuai dengan mekanisme sistem harga transfer

yang sesungguhnya. Dimana perusahaan melakukan praktik transfer pricing ini hanya untuk

menghindari pungutan pajak dalam negeri supaya penghasilan perusahaan atau pemegang saham

menjadi lebih tinggi. seharusnya transfer pricing dilakukan untuk tujuan perusahaan Namun

dalam kasus Adaro ini praktik transfer pricingnya dilakukan untuk memfasilitasi para pemegang

saham untuk mendapatkan keuntungan sebesar besarnya, bukan untuk memfasilitasi perusahaan

mendapatkan keuntungan. Ketika para individu atau pemegang saham ini hanya memfokuskan

pada keuntungan individu tanpa memperhatikan keuntungan perusahaan, maka tujuan dari

dilaksanakanya sistem harga transfer inipun menjadi tidak bisa dicapai serta sistem harga transfer

yang dijalankan pun menjadi disfungsional

Timpangnya harga transfer yang dilakukan antara Adaro dengan anak perusahaanya

apabila dibandingkan dengan harga pasar batubara secara internasionla sebenarnya juga telah

melanggar UU perpajakan yang berlaku di indonesia. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Perpajakan No. 11 Tentang Pajak Pertambahan Nilai mengatur tentang transaksi yang
berhubungan dengan transfer pricing. Pasal ini berbunyi : Dalam hal harga jual atau penggantian

dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka harga jual atau penggantian dihitung atas dasar harga

pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan. Oleh

karena itu, sebenarnya dibutuhkan peran langsung dari pemerintah untuk mencegah terjadinya

kasus Adaro ini di perusahaan-perusahaan besar di indonesia lainya.

Dalam hal ini, pemerintah seharusnya semakin ketat dalam melakukan pengawasan

terhadap sitem harga transfer yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di indonesia . Adanya

berbagai undang-undang yang mengatur mekanisme harga tranfer antar anak perusahaan yang

masih dalam satu grup perusahaan seharusnya bisa mempermudah pemerintah unutk mencegah

kasus adaro ini terulang. Ketika seluruh elemen baik itu elemen dari pemerintah, ataupun

perusahaan telah berkomitmen menjalankan kewajibanya masing-masing maka akan sangat

mmudah untuk mencegah sistem harga transfer yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan di

dalam negeri menjadi disfungsional serta mencegah praktik penghindaran pajak yang dilakukan

oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri melalu transaksi yang tidak wajar (non arm’s length

price).

Praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri

memalaui transaksi yang tidak wajar (non arm’s length price) misalanya seperti yang

dilakukan PT Adaro Indonesia telah memberikan efek negative bagi negara Indonesia, karena

apabila dibiarkan secara terus menerus akan menyebabkan negara menderita kehilangan

pendapatan pajak dengan jumlah yang cukup signifikan. Dari berkurangnya pendapatan pajak itu

sendiri saja sudah akan memberikan dampak bagi pertumbuhan ekonomi negara Indonesia,

belum lagi dampak-dampak tidak langsung yang kemudian muncul seperti berkurangnya dana

untuk pelayanan masyarakat, berkurangnya dana bantuan/ subsidi dari pemerintah. Selain dari
penghindaran pajak kerugian yang ditanggung oleh masyarakat Indonesia dari praktik semacam

ini dapat dikatakan tidak sebanding, karena masyarakat Indonesia yang dalam kasus contoh ini

juga diposisikan sebagai salah satu pasar target dari perusahaan tersebut hanya menjadi layaknya

sapi perah yang tidak mendapatkan imbalan.


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Transfer pricing adalah kebijakan suatu perusahaan dalam menentukan harga transfer

suatu transaksi antar pihak yang dipengaruhi hubungan istimewa. Transfer pricing memiliki

beberapa kekurang-kewajaran salah satunya seperti alokasi biaya administrasi dan umum

(overhead cost). Alokasi biaya merupakan salah satu isu penting bagi perpajakan ataupun

transfer pericing. Perusahaan afiliasi yang berada di negara yang mempunyai tarif pajak yang

relatif tinggi, akan cenderung meningkatkan atau meninggikan biaya seperti imbalan atas jasa

teknik, dan imbalan atas jasa lainnya sehingga keuntungannya kecil dan pajak yang dibayar juga

kecil.

Anda mungkin juga menyukai