Berdasarkan pihak yang terlibat di dalamnya, transaksi ini dapat dikelompokkan menjadi
dua jenis, yaitu :
= Intercompany transfer pricing
Transaksi yang terjadi antara dua perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa.
= Intracompany transfer pricing
Transaksi yang terjadi antar divisi dalam suatu perusahaan.
Transfer pricing dapat dilakukan pada suatu perusahaan dalam suatu negara (domestic transfer pricing), maupun
dengan negara yang berbeda (international transfer pricing).
Transfer pricing meliputi beberapa aspek, di antaranya :
Harta Berwujud
Harta berwujud merujuk pada semua aset fisik bisnis, yang dapat meliputi persediaan (bahan mentah, barang
setengah jadi & barang jadi, serta barang dagangan lainnya), mesin & peralatan, inventaris, tanah & bangunan,
barang modal & bidang keperluan usaha lainnya.
Penyerahan Jasa
Dari aspek harga transfer, penyerahan jasa kepada pihak yang mempunyai hubungan
istimewa dapat berkisar dari yang sederhana, seperti jasa rutin akuntansi dan legal, jasa teknis antar
perusahaan, hingga pengiriman karyawan.
Contoh Kasus
PT Abadi Jaya Esa yang berkedudukan di negara Malaysia memiliki anak perusahaan di Indonesia, yaitu PT Abadi
Jaya Makmur. Untuk memproduksi mainan yang dijual di Indonesia, PT Abadi jaya Makmur mengimpor bahan baku
dari Abadi Jaya Esa.
Jika harga wajar bahan baku tersebut misalnya US$10/buah, dalam transaksi antara PT Abadi Jaya Esa
dan PT Abadi Jaya Makmur harga bahan baku yang sama dijual dengan harga US$30/buah. Maka, harga yang di-
markup terjadi karena prinsip harga pasar wajar (Arm’s Length Price Principle). Mengapa perusahaan menerapkan
prinsip ini ?
Untuk menghindari pemungutan pajak di Indonesia dari keuntungan yang didapat oleh PT
Abadi Jaya Makmur, maka dikenakan harga bahan baku setinggi-tingginya sehingga revenue yang tercatat
kecil . Tidak jarang perusahaan juga tercatat rugi untuk menghindari pengenaan pajak.
keuntungan Perusahaan lebih memilih dialirkan ke anak perusahaan lainnya dibanding
harus dipotong untuk membayar pajak.
Motivasi Transfer Pricing di Indonesia
Karena adanya beberapa motif yang diketahui pemerintah tentang manipulasi harga ini, perusahaan diwajibkan
oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan transaksi afiliasi di dalam dan luar
negeri.
Hal ini dilakukan untuk menyusun dan menyerahkan Dokumen Penetapan Harga Transfer sesuai dengan kebijakan
pelaporan yang ditetapkan.
Ada beberapa hal yang menjadi motivasi dilaksanakannya manipulasi harga ini di
Indonesia, di antaranya.
Pengurangan objek pajak.
Penurunan pengaruh depresiasi.
Pelonggaran pengaruh pembatasan kepemilikan luar negeri.
Menguatkan tuntutan kenaikan harga atau proteksi terhadap saingan impor.
Memperkecil akibat pembatasan dan ketidakpastian atas risiko kegiatan usaha perusahaan luar negeri.
TRANSFER PRICING KEPATUHAN PAJAK SEMAKIN MUDAH
Bayangkan bila pengelolaan pajak, transaksi bisnis dan payroll karyawan Anda dapat dilakukan melalui satu aplikasi
terintegrasi, kepatuhan pajak akan jadi semakin mudah
Dimensi dalam Transfer Pricing dan Tujuannya bagi Perusahaan
Transfer pricing merupakan kebijakan perusahaan dalam menentukan harga transfer atas
transaksi barang, jasa, harta tidak berwujud maupun transaksi finansial yang menjadi aktivitas perusahaan.
Dapat juga diartikan sebagai besaran harga yang dibebankan satuan usaha individual pada perseroan multi satuan
usaha atas transaksi yang terjadi di antara mereka.
Setiap satuan usaha menggunakan konsep ini jika usaha tersebut dijadikan sebagai pusat laba, serta
memiliki tanggung jawab atas laba yang berasal dari penanaman modal.
Melalui penerapan transfer pricing, perusahaan dapat melakukan pelaporan rugi sehingga tidak harus
membayar pajak.
Perusahaan diwajibkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan transaksi afiliasi di dalam dan
luar negeri. Hal ini dilakukan untuk menyusun dan menyerahkan Dokumen Penetapan Harga Transfer sesuai
dengan kebijakan pelaporan yang ditetapkan.
Kemungkinan transfer pricing dapat terjadi antar perusahaan, baik dalam anggota perusahaan tersebut
maupun dengan pihak-pihak yang mempunyai keterikatan istimewa di dalam dan luar negeri.
Dimensi Dalam Transaksi Transfer Pricing
Dimensi Netral
Transaksi transfer pricing diartikan sebagai strategi, taktik serta motif pengurangan beban
pajak. Jadi transfer pricing adalah penetuan harga atau imbalan berkaitan dengan penyerahan
barang, jasa, maupun pengalihan teknologi antar perusahaan yang memiliki relasi istimewa.
Dimensi Pejoratif
Dimensi pejoratif memberikan penjelasan bahwa transaksi transfer pricing merupakan
salah satu usaha mengurangi beban pajak melalui penggeseran laba ke perusahaan yang memperoleh
besaran laba lebih kecil. Sehingga jumlah pajak yang dibebankan lebih rendah.
Memahami Konsep Dasar Transfer Pricing
LEBIH dari 60% nilai perdagangan dunia dihasilkan dari transaksi yang berhubungan dengan perusahaan
multinasional dengan menggunakan skema transfer pricing. Skema yang biasa dilakukan oleh perusahaan multinasional dalam praktik
transfer pricing adalah dengan cara mengalihkan laba mereka dari negara yang tarif pajaknya tinggi ke negara yang tarif pajaknya lebih rendah.
Lalu apa itu transfer pricing ?
Dalam buku transfer pricing (Darussalam, Danny Septriadi dan Bawono Kristiaji, 2013) dijelaskan bahwa secara
konsep transfer pricing dapat diaplikasikan untuk tiga tujuan yang berbeda.
Pertama, dari sisi hukum perseroan, transfer pricing dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi dan sinergi antara perusahaan dengan
pemegang sahamnya (Wolfgang Schon, 2014).
Kedua, dari sisi akuntansi manajerial, transfer pricing dapat digunakan untuk memaksimumkan laba suatu perusahaan melalui penentuan harga barang
atau jasa oleh suatu unit organisasi dari suatu perusahaan kepada unit organisasi lainnya dalam perusahaan yang sama.
Ketiga, yaitu dari perspektif perpajakan, transfer pricing adalah suatu kebijakan harga dalam transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa. Arnold dan McIntyre menjelaskan harga transfer adalah harga yang ditetapkan oleh wajib pajak pada saat menjual,
membeli, atau membagi sumber daya dengan afiliasinya.
Kendati demikian, transfer pricing seringkali dikonotasikan sebagai suatu yang tidak baik dan bermakna
‘pejorative’ yakni pengalihan atas penghasilan kena pajak dari suatu perusahaan dalam suatu grup perusahaan multinasional ke perusahaan lain dalam
grup perusahaan yang sama di negara yang memiliki tarif pajak lebih rendah. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mengurangi total beban pajak dari
grup perusahaan multinasional tersebut.
Makna ‘pejorative’ tersebut mengacu pada apa yang disebut sebagai manipulasi transfer pricing, abuse of transfer pricing, transfer mispricing dan
sebagainya. Manipulasi transfer pricing dapat didefinisikan sebagai kegiatan menetapkan harga transfer menjadi
terlalu besar atau terlalu kecil dengan maksud untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang.
Hubungan Istimewa & Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan
Istimewa
Di Indonesia sendiri aturan mengenai transfer pricing secara umum diatur dalam Pasal
18 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Pasal tersebut menyebutkan bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan kena pajak bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
Aturan lebih lanjut dan detail tentang transfer pricing juga dituangkan dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32
Tahun 2011. Di dalam aturan tersebut disebutkan pengertian arm’s length principle yaitu
harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa ditentukan
oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar.
TRANSFER PRICING DAN HUBUNGAN ISTIMEWA DALAM
PERPAJAKAN
Konsep hubungan istimewa diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak
Penghasilan dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang
menyatakan bahwa hubungan istimewa dianggap ada apabila :
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah
25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang
disebut terakhir;
Wajib pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan
yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau terdapat hubungan keluarga baik sedarah
maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui
manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan;
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang
sama. Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang berada dalam pengusaan yang sama tersebut.
Penentuan hubungan istimewa dan kewajaran transaksi afiliasi untuk Wajib Pajak yang
menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum dan
pertambangan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 33A ayat (4) UU PPh adalah berdasarkan ketentuan
kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku sampai
dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud.
C. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s Length Principle/ALP)
Bahwa transaksi antara pihak-pihak yang independen adalah transaksi yang mencerminkan kekuatan
pasar (market force) dan mencerminkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle).
Mengingat bahwa transaksi afiliasi yang melibatkan Wajib Pajak dengan pihak afiliasinya
dapat digunakan sebagai alat untuk menghindarkan pajak, maka Direktur Jenderal Pajak diberi kewenangan
untuk menguji penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) pada transaksi afiliasi tersebut.
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan
serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak
dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen,
metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak
yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa.
Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun
pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak
berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai
dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan
istimewa.
Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan harga antara
pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method),
metode biaya-plus (cost-plus method), atau metode lainnya seperti metode pembagian laba (profit split method) dan
metode laba bersih transaksional (transactional net margin method).
Dengan demikian, Pemeriksaan transfer pricing terhadap transaksi afiliasi pada hakikatnya adalah suatu
pengujian atas penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha pada transaksi afiliasi
tersebut.
Pedoman Pemeriksaan Pajak terkait hubungan istimewa disusun untuk menguji penerapan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) pada transaksi afiliasi (affiliated transactions).
Terimakasih