Anda di halaman 1dari 11

Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal

a. Definisi Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal


Laporan keuangan komersial adalah laporan yang disusun dengan prinsip akuntansi
bersifat netral atau tidak memihak. Laporan keuangan fiskal adalah laporan yang disusun
khusus untuk kepentingan perpajakan dengan mengindahkan semua peraturan perpajakan.
Hal - hal yang perlu tercakup dalam laporan keuangan fiskal terdiri dari:

1. Neraca fiskal;
2. Perhitungan laba rugi dan perubahan laba yang ditahan;
3. Penjelasan laporan keuangan fiskal;
4. Rekonsiliasi laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal;
5. Ikhtisar kewajiban pajak.
b. Wajib pajak diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang
dilampiri oleh laporan keuangan.

b. Hubungan Antara Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal


c. Laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal memiliki peraturan atau
prinsip masing – masing dalam menentukan biaya. Jika laporan keuangan komersial
disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan untuk memberikan informasi mengenai
kinerja perusahaan dalam jangka waktu tertentu, maka laporan keuangan fiskal disusun
berdasarkan peraturan pajak yang digunakan untuk menentukan besarnya pajak yang harus
dibayar perusahaan, sehingga terjadi perbedaan antara laporan keuangan komersial dan
laporan keuangan fiskal.

Untuk mencocokan perbedaan yang terdapat dalam laporan keuangan komersial dan
laporan keuangan fiskal maka perlu dilakukan rekonsiliasi fiskal / koreksi fiskal. Secara
umum ada dua cara untuk menyusun laporan keuangan fiskal. Pertama, pendekatan
terpisah (separated approach) dimana wajib pajak membukukan segala transaksi atau
informasi berdasarkan prinsip pajak untuk penghitungan PPh terutang dan berdasarkan
prinsip akuntansi untuk keperluan komersial. Tapi pendekatan ini sangat jarang digunakan
karena memakan banyak biaya dan tenaga.

Sebagian besar wajib pajak memilih pendekatan kedua, extra-compatible approach dimana
wajib pajak membukukan semua transaksi atau informasi hanya berdasarkan prinsip
akuntansi, kemudian pada akhir tahun wajib pajak melakukan koreksi terhadap laporan
keuangan komersial tersebut agar sesuai dengan Undang - Undang Pajak Penghasilan yang
dapat digunakan untuk menghitung besarnya PPh terutang. Jadi laporan keuangan
komersial terkait erat dengan laporan keuangan fiskal karena laporan keuangan komersial
digunakan oleh wajib pajak sebagai dasar melakukan rekonsiliasi fiskal untuk
menghasilkan laporan keuangan fiskal.

c. Perbedaan Konsep Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal

Perbedaan konsep laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal


terdapat pada:
1. Perbedaan mengenai konsep penghasilan atau pendapatan
Penghasilan (Income) menurut IAI (2007:13), adalah ”Kenaikan manfaat ekonomi
selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aset
atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak
berasal dari kontribusi penanam modal”. Dari sisi fiskal, konsep penghasilan tidak
jauh berbeda dengan konsep akuntansi, yaitu : Segala tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima / diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari Luar Indonesia yang bisa dikonsumsi atau menambah kekayaan
Wajib Pajak dengan nama dan dalam bentuk apapun. Lebih lanjut fiskal
membedakan penghasilan tersebut menjadi tiga kelompok yang sesuai dengan UU
No 36 Tahun 2008 Pasal 4 Tentang Pajak Penghasilan, yaitu:
a. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak Penghasilan
b. Penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan Final
c. Penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan
Pengelompokan penghasilan tersebut akan berakibat adanya perbedaan mengenai
konsep penghasilan antara SAK dan Fiskal. Penghasilan yang bukan objek pajak
berarti atas penghasilan tersebut tidak dikenakan pajak (tidak menambah laba fiskal),
lebih jelasnya tentang pengelompokkan penghasilan tersebut diuraikan dalam UU No
36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat 1,2 & 3 Tentang Pajak Penghasilan.

2) Perbedaan Konsep Beban (Biaya)


Beban (expense) menurut IAI (2007:13), diartikan sebagai “Penurunan manfaat
ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya
aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak
menyangkut pembagian kepada penanam modal”. Sisi Fiskal sendiri, mengartikan
Beban sebagai biaya untuk menagih, memperoleh dan memelihara penghasilan atau
biaya yang berhubungan langsung dengan perolehan penghasilan. Perbedaan inilah
yang menyebabkan pihak fiskus sering berbeda pendapat dengan wajib pajak dalam
hal menentukan beban/biaya yang boleh atau tidak boleh dikurangkan sehingga harus
dikeluarkan/tidak boleh diperhitungkan sebagai pengurangan penghasilan. Misalnya
penafsiran atas bunyi undang - undang yang menyatakan bahwa biaya yang dapat
dikurangkan dari penghasilan adalah meliputi biaya untuk menagih, memelihara dan
mempertahankan penghasilan. Wajib pajak sendiri sering diharuskan untuk
memberikan sumbangan baik yang wajib maupun tidak wajib, dan kadang kala tidak
disertai dengan bukti-bukti yang mendukung. Kemudian wajib pajak menganggap
biaya yang dikeluarkan tersebut dapat dibiayakan karena dikeluarkan sehubungan
dengan kelancaran usaha, sedangkan pihak fiskus menganggap biaya tersebut
termasuk hibah, bantuan dan sumbangan yang tidak boleh dikurangkan.

3) Perbedaan dalam konsep Penyusutan dan Nilai Persediaan


Perbedaan dalam konsep antara akuntansi dengan peraturan perpajakan terutama
menyangkut konsep penyusutan dan penilaian persediaan barang dagangan.

a) Konsep Penyusutan
Perbedaan utama antara akuntansi dengan undang-undang perpajakan adalah
penentuan umur aktiva dan metode penyusutan yang boleh digunakan. Akuntansi
menentukan umur aktiva berdasarkan umur sebenarnya walaupun penentuan umur
tersebut tidak terlepas dari tafsiran Judgement.
Menurut IAI (2007) Akuntansi memiliki beberapa metode penyusutan yaitu:

1. Metode garis lurus (Straight line method) yaitu, menghasilkan pembebanan yang
tetap selama umur manfaat asset jika dinilai residunya tidak berubah.
2. Metode Saldo Menurun (diminishing balance method) yaitu, menghasilkan
pembebanan yang menurun selama umur manfaat asset.
3. Metode Jumlah Unit (sum of the unit method), yaitu menghasilkan pembebanan
yang menurun selama umur manfaat asset.
Ketentuan perpajakan hanya menetapkan dua metode penyusutan yang harus
dilaksanakan wajib pajak berdasarkan pasal UU No 36 tahun 2008 pasal 11 tentang
Pajak Penghasilan yaitu berdasarkan metode garis lurus dan metode saldo menurun
yang dilaksanakan secara konsisten, kemudian aktiva (harta berwujud)
dikelompokkan berdasarkan jenis harta dan masa manfaat sebagai berikut:

Penentuan masa manfaat, jenis harta, metode, serta tarif dimaksudkan untuk
memberikan keseragaman bagi wajib pajak dalam melakukan penyusutan maupun
amortisasi.

b) Konsep Nilai Persediaan


Dalam undang-undang pajak penghasilan Indonesia, persediaan dan pemakaian
persediaan untuk menghitung harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan (cost)
yang dilakukan dengan metode rata-rata (average) atau dengan metode
mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama yang dikenal dengan first in first
out (FIFO). Penggunaan metode tersebut harus dilakukan secara konsisten.
Apabila kita meninjau secara akuntansi maka ada 3 jenis metode yang dilakukan
untuk menilai persediaan yang sesuai dengan SAK No 14 tahun 2007 yaitu dengan
menggunakan rumus biaya masuk pertama keluar pertama (MPKP atau FIFO),
kemudian rata-rata tertimbang (weight average cost method) dan masuk terakhir
keluar pertama (MTKP atau LIFO). Kemudian untuk barang yang lazimnya tidak
dapat digantikan dengan barang lain (not ordinary interchangeable) dan barang serta
jasa yang dihasilkan dan dipisahkan untuk proyek khusus harus diperhitungkan
berdasarkan identifikasi khusus terhadap biayanya masing-masing.

AKUNTANSI PERPAJAKAN (KOREKSI FISKAL)

Koreksi fiskal adalah koreksi atau penyesuaian yang harus dilakukan oleh wajib pajak sebelum
menghitung Pajak Penghasilan (PPh) bagi wajib pajak badan dan wajib pajak orang pribadi
(yang menggunakan pembukuan dalam menghitung penghasilan kena pajak).

Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan perlakuan/pengakuan penghasilan maupun


biaya antara akuntansi komersial dengan akuntansi pajak.

Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :


a. Beda tetap.

Yaitu penghasilan dan biaya yang diakui dalam penghitungan laba neto untuk akuntansi
komersial tetapi tidak diakui dalam penghitungan akuntansi pajak.

Contoh penghasilan : sumbangan, Penghasilan bunga deposito.

Contoh biaya : biaya sumbangan, biaya sanksi perpajakan.

b. Beda waktu

Yaitu penghasilan dan biaya yang dapat diakui saat ini oleh akuntansi komersial, tetapi tidak
dapat diakui sekaligus oleh akuntansi pajak, biasanya karena perbedaan metode pengakuan.

Contoh penghasilan : pendapatan laba selisih kurs

Contoh biaya : biaya penyusutan, biaya sewa

Jenis koreksi fiskal adalah sebagai berikut :

a. Koreksi fiskal positif

Yaitu koreksi fiskal yang menyebabkan penambahan penghasilan kena pajak dan PPh terutang.

Contoh : Biaya PPh

b. Koreksi fiskal Negatif

Yaitu koreksi yang menyebabkan pengurangan penghasilan kena pajak dan PPh terutang.

Contoh : Penghasilan bunga deposito.

Mengapa Ada Laporan Rugi Laba Komersial dan Fiskal?

Karena adanya perbedaan pengakuan atas pendapatan maupun biaya menurut perusahaan
(selaku wajib pajak) dengan pihak Ditjen Pajak (selaku fiskus yang mewakili negara).
Sederhananya: ada pendapatan maupun biaya yang diakui sebagai pendapatan maupun biaya
oleh perusahaan tetapi tidak diakui oleh Ditjend Pajak.
Mengapa berbeda dan apa saja perbedaaanya?

Bagi perusahaan: semua pemasukan adalah pendapatan yang akan menambah laba kena pajak ,
dan semua pengeluaran adalah beban yang akan mengurangi laba kena pajak. Bagi Ditjend
Pajak: tidak semua pemasukan adalah faktor penambah laba kena pajak, ada beberapa jenis
pendapatan yang bukan merupakan faktor penambah laba kena pajak karena pendapatan
tersebut sudah dikenakan pajak bersifat final, dan tidak semua pengeluaran adalah faktor
pengurang laba kena pajak karena ada beberapa jenis pengeluaran yang sesungguhnya bukan
merupakan bagian dari kegiatan perusahaan. Di dalam Akuntansi Perpajakan perbedaan ini
disebut dengan BEDA TETAP.

Perbedaan lainnya adalah perebedaan yang diakibatkan karena bedanya SAAT PENGAKUAN
(waktu pengakuan) baik itu terhadap pendapatan maupun beban (pendapatan/beban tangguhan),
juga akibatperbedaan beban penyusutan dimana pihak Ditjend Pajak menggunakan metode
penyusutan GARIS LURUS (Straight Line Method) sementara perusahaan mungkin
menggunakan metode penyusutan yang lain, yang oleh karenanya mengakibatkan adanya
perbedaan alokasi beban penyusutan. Prakiraan Umur ekonomis atas aktiva tetap juga turut
memberi kontribusi atas perbedaan tersebut. Dalam Akuntansi Perpajakan ini disebut dengan
BEDA WAKTU.

Perbedaan-perbedaan tersebut memerlukan penyesuaian-penyesuaian agar JUMLAH PAJAK


PENGHASILAN BADAN TERHUTANG antara yang dihitung oleh perusahaan dengan
menurut Ditjend Pajak bisa sama. Penyesuaian tersebutlah yang dikenal dengan
istilah KOREKSI FISKAL.

Ada 2 (dua) macam penyesuaian fiskal, yaitu:

Penyesuaian Fiskal Positif: adalah penyesuaian yang akan mengakibatkan meningkatnya laba
kena pajak yang pada akhirnya akan membuat PPh Badan terhutangnya juga akan meningkat.

Penyesuaian Fiskal Negatif: adalah penyesuaian yang akan mengakibatkan menurunnya laba
kena pajak.

Berikut ini adalah tabel rincian jenis-jenis penyesuaian tersebut:


Bagaimana Cara Membuat Laporan Laba Rugi Fiskal?

Saya akan coba construct satu kasus:

Buku Besar PT. Royal Bali Cemerlang nampak seperti dibawah:


Jika kita susun menjadi Laporan Laba Rugi, kita akan menghasilkan laporan seperti dibawah
ini:
Apakah Laporan Laba Rugi diatas benar?

Laporan Komersial iya benar, hanya saja “Pajak Penghasilan” nya belum benar.Bukankah
seharusnya ada penyesuaian-penyesuaian?.

Okay, kita bandingkan dengan table rincian penyesuaian fiskal positif dan negative di atas.
Menurut table, ada beberapa yang harus disesuaikan, yaitu:

“Bunga Jasa Giro” telah dikenakan pajak oleh pihak bank, maka ini dimasukkan sebagai
“Pendapatan dikenakan Pajak Final”, sehingga ini tidak seharunya dikenakan pajak lagi. Kita
jadikan faktor pengurang Laba Kena Pajak.

“Pengambilan Oleh Direktur” ini adalah bukan beban perusahaan. Direktur hanya boleh
menerima Gaji dan Dividen saja. Maka kita masukkan ke dalam koreksi fiskal positif (faktor
penambah laba kena pajak).
“Makan Untuk Pegawai” ini adalah bentuk kenikmatan (natura) yang diberikan oleh
perusahaan kepada pegawai, ini tidak diakui sebagai beban perusahaan.

“Sumbangan” ini bukan beban perusahaan, tidak bisa dihubungkan dengan revenue. Sehingga
kita masukkan ini ke dalam kelompok koreksi fiskal positif.

Saya tidak menemukan koreksi fiskal negative dalam contoh kasus ini.sehingga nanti koreksi
fiskal negatifnya akan 0 (nol).

Setelah unsur koreksi fiskal kita masukkan, maka Laporan Laba Rugi akan menjadi seperti
dibawah ini:

Anda mungkin juga menyukai