Anda di halaman 1dari 21

UNIVERSITAS INDONESIA

REVIEW KULIAH UMUM


PRINCIPLE OF TRANSFER PRICING

Makalah Akhir Manajemen Pajak


Kelompok 5

Ajen Yoga Pradhana 1306462065


Chaterine Hana Maria Assa 1306398062
Muhammad Dicky 1306462046
Ria Rizki Zulfah 1306397993
Sheylla Azka Saffanah 1306398075
Tjut Naridha Selsa 1306462090

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI FISKAL
DEPOK
2016
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Awalnya transfer pricing dikenal dalam akuntansi manajemen sebagai kebijakan
harga yang diterapkan atas penyerahan barang atau jasa antar divisi/ departemen di dalam
suatu perusahaan dengan tujuan untuk mengukur kinerja dari masing-masing divisi/
departemen tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman, perusahaan multinasional yang
biasanya menerapkan desentralisasi operasi dengan cara membagi perusahaannya atas pusat-
pusat pertanggungjawaban baik itu pusat biaya maupun pusat penghasilan, telah
memanfaatkan transfer pricing sebagai alat untuk menghindari atau menggelapkan pajak
dengan cara meminimalkan beban pajak yang harus ditanggung perusahaan. Melalui praktik
transfer pricing, upaya meminimalkan beban pajak dilakukan dengan cara mengalihkan
penghasilan serta biaya suatu perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dari suatu
negara kepada perusahaan di negara lain yang tarif pajaknya berbeda.
Arti dan makna tersebut kemudian bergeser ke arah negatif dimana pergeseran
laba yang mengakibatkan kerugian di dunia perpajakan. Pergeseran ini digunakan oleh
wajib pajak sebagai salah satu cara tax planning untuk menghemat pajak dengan
menggunakan kelemahan peraturan di suatu negara biasanya tax planning ini dilakukan
oleh perusahaan multinasional yang bergerak atau yang mempunyai anak perusahaan di
berbagai negara. Menjadi momok bagi aparat pajak suatu negara jika ada yang merasa
dirugikan. Inilah awal permasalahan transfer pricing di dunia perpajakan
Masalah pengalokasian penghasilan dan biaya perusahaan multinasional ini harus
diatur dengan baik dan jelas oleh masing-masing negara yang terlibat dalam transaksi
internasional. Pengaturan yang baik dan jelas diharapkan dapat mencegah dan mendeteksi
tindakan-tindakan manipulasi pajak melalui transfer pricing yang sering dilakukan
perusahaan multinasional untuk melakukan penghindaran/ penggelapan pajak.
Menurut pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan mengisyaratkan adanya kemungkinan pendistribusian laba oleh para wajib pajak
yang memiliki hubungan istimewa. Transfer pricing merupakan instrumen yang dapat
dipakai untuk melaksanakan maksud tersebut, sehingga transaksi tersebut dapat berpengaruh
terhadap besar kecilnya pajak yang akan dibayar. Pajak penghasilan yang akan dipungut
dihitung berdasarkan laba kena pajak, yaitu laba kotor dikurangi biaya-biaya yang terdapat
dalam pasal (6) Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Untuk
menghindari maksud tersebut, maka transaksi yang memiliki hubungan istimewa perlu diteliti
secara seksama. Dengan demikian diperlukan koreksi fiskal pajak penghasilan terhadap
perusahaan yang memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain atau anak perusahaan. Hal
ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana transaksi transfer pricing yang dilakukan sesuai
dengan peraturan pajak yang berlaku, sehingga tidak ada penghindaran pajak penghasilan
yang dilakukan oleh wajib pajak.
Transfer Pricing adalah sebuah cara yang digunakan perusahan untuk kepentingan
usahanya agar semuanya dapat diawasi dengan baik tentunya karena disini kinerja semua
divisi akan terlihat. Namun, beberapa tahun belakangan ini banyak sekali ditemukan berbagai
praktek illegal dalam transfer pricing tersebut. Transfer Pricing digunakan oleh beberapa
perusahaan multinasional untuk mengecilkan pajaknya dan membuat beberapa
Negara mengalami kerugian dalam penerimaan pajak, terutama Indonesia yang memang
mengandalkan pajak dalam APBN. Untuk mengetahui berbagai hal mengenai transfer
pricing dan segala aspeknya, kami menyusun makalah ini sebagai pemenuhuan Tugas Akhir
Mata Kuliah Manajemen Pajak.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Transfer Pricing


Ada beberapa pengertian tentang Transfer Pricing yang di kemukakan oleh para ahli,
diantaranya:
1. Gunadi
Transfer pricing merupakan jumlah harga atas penyerahan barang atau imbalan atas
penyerahan jasa yang telah di sepakati oleh kedua belah pihak dalam transaksi bisnis
finansial maupun transaksi lainnya.
2. Darussalam dan Danny Septriadi
Transfer pricing merupakan bagian dari suatu kegiatan usaha dan perpajakan yang bertujuan
untuk memastikan apakah harga yang diterapkan dalam transaksi antara perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa telah didasarkan atas prinsip harga pasar wajar (arms length
price principle).
3. Mohammad Zain
Harga transfer merupakan harga yang diperhitungkan untuk mengendalian manajemen atas
transfer barang dan jasa antar-pusat pertanggungjawaban laba atau biaya, termasuk
determinasi harga untuk barang, imbalan atas jasa, tingkat bunga pinjaman, beban atas
persewaan dan metode pembayaran serta pengiriman uang.
Dari ketiga definisi tentang transfer pricing di atas, dapat kita ambil persamaannya
bahwa transfer pricing merupakan harga yang ditimbulkan atas penyerahan barang, jasa atau
harta tak berwujud lainnya dari satu perusahaan ke perusahaan lain yang masih terikat dalam
hubungan kepemilikan. Transfer pricing dapat terjadi dalam satu grup perusahaan dan antar
perusahaan yang terikat dalam hubungan istimewa. Dalam suatu grup perusahaan, transfer
pricing sering disebut dengan istilah intracompany pricing, intercorporate pricing,
interdivisional pricing, dan internal pricing. Istilah tersebut menunjukkan bahwa pengaturan
harga tersebut tidak sebatas kepada pengaturan harga antar-perusahaan dalam satu grup
perusahaan saja, tetapi dapat pula terjadi pengaturan harga antara-divisi pada satu
perusahaan.
Pengertian transfer pricing sebagai harga yang ditimbulkan akibat penyerahan barang,
jasa dan harta tak berwujud, seperti yang telah disebutkan di atas merupakan pengertian yang
netral. Akan tetapi, istilah transfer pricing sering dikonotasikan sebagai sesuatu yang tidak
baik (abuse of transfer pricing), yaitu pengalihan atas penghasilan kena pajak (taxation
income) dari suatu perusahaan multi-nasional ke negara-negara yang tarif pajaknya rendah
dalam rangka untuk mengurangi total beban pajak dari grup perusahaan nasional tersebut.
Adapun pengertian transfer pricing manipulation sendiri diartikan sebagai suatu kegiatan
untuk memperbesar biaya atau merendahkan tagihan yang bertujuan untuk memperkecil
jumlah pajak yang terutang.
Adapun pengertian transfer pricing manipulation sendiri diartikan sebagai suatu
kegiatan untuk memperbesar biaya atau merendahkan tagihan yang bertujuan untuk
memperkecil jumlah pajak yang terutang. Dengan demikian, manipulasi transfer pricing
dapat dilakukan dengan cara memperbesar biaya atau memperkecil penjualan melalui
mekanisme harga transfer dengan tujuan untuk mengurangi pembayaran pajak. Sehingga,
manipulasi transfer pricing terjadi dengan cara menetapkan harga transfer menjadi terlalu
besar atau terlalu kecil dengan maksud untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang.
Karena dengan memperkecil jumlah pajak yang terutang, keuntungan yang diterima oleh
perusahaan multi-nasional akan semakin besar.
Jadi diambil dapat diambil kesimpulan Transfer pricing adalah mekanisme penetapan
harga yang tidak wajar atas transaksi penyediaan barang atau penyerahan jasa oleh pihak-
pihak yang memiliki hubungan istimewa (related parties). Transfer pricing biasanya
dilakukan perusahaan-perusahaan multinasional. Dengan praktik yang tidak sehat tersebut,
mengakibatkan hilangnya potensi pajak yang seharusnya diterima negara Inilah sebabnya,
kegiatan yang bersifat manipulatif ini sering dikaitkan dengan kerugian Negara.

2.2 Jenis- Jenis Transfer Pricing dalam Transaksi Antar Perusahaan


Terdapat berbagai tipe transaksi antar perusahaan, yaitu barang berwujud dan barang
tidak berwujud (intangibles), penyerahan jasa, keuangan, persewaan dan leasing (sewa guna
usaha), berbagai kontrak (manufaktur/maakloon), penelitian dan pengembangan,
pemeliharaan, pemasaran dan bagi biaya (cost sharing). Dalam sistem perpajakan, secara
meluas, menghendaki agar harga yang di hitung pada tiap transaksi antar perusahaan yang
dimaksud, berdasarkan prinsip harga wajar (arms length principle). Penjelasan terhadap tipe
transaksi perusahaan itu adalah:
1. Penjualan Harta Berwujud
Harta berwujud merujuk pada semua asset fisik bisnis, yang dapat meliputi (1)
Persediaan (bahan mentah, barang setengah jadi, dan barang jadi, serta barang dagangan
lainnya) dan (2) mesin dan peralatan, Inventaris, tanah dan bangunan, barang modal dan
bidang keperluan usaha lainnya.
2. Pengalihan (Transfer) Harta Tidak Berwujud
Harta tak berwujud (intangible assets) dari aspek transfer pricing dibedakan antara
manufacturing intangibles (yang timbul karena kegiatan pabrikasi atau upaya penelitian
dan pengembangan oleh produsen), dan marketing intangibles (yang berasal dari upaya
pemasaran, distribusi, dan jasa purna jual). Model pengalihan harta tak berwujud dapat
dilakukan dengan: (1) penjualan dengan imbalan sekaligus, (2) pelepasan sekaligus tanpa
imbalan (dengan hibah), (3) lisensi dengan imbalan royalti (sekaligus atau berkala berdasar
persentase dari penjualan, per unit, atau dasar lain), (4) lisensi bebas royalti.
3. Penyerahan Jasa
Dari aspek harga transfer, penyerahan jasa kepada pihak yang mempunyai hubungan
istimewa dapat berkisar dari yang sederhana, seperti jasa akuntansi, legal atau pajak ke jasa
teknikal yang kompleks sehubungan dengan pelepasan intangibles, pada umumnya,
administrasi pajak akan meminta harga wajar dari transaksi jasa yang dimaksud. Harga wajar
pada umumnya merujuk pada biaya penyediaan jasa ditambah marjin. Namun, hanya jasa
yang memberikan manfaat pada afiliasi saja yang dapat dikurangkan sebagai biaya. Pada
dasarnya terdapat lima kelompok jasa (1) jasa rutin seperti akuntansi dan legal, (2) bantuan
teknis sehubungan dengan transfer intangibles, (3) jasa teknis (sehubungan dengan pabrikasi,
pengendalian kualitas, atau teknis pemasaran) namun bukan karena transfer intangibles antar
perusahaan, (4) pengiriman karyawan untuk mengolah fasilitas baru atau pabrik baru
(kebanyakan administrasi pajak berpendapat ada transfer intangibles) dan (5) kombinasi jasa
(1) sampai (4) tersebut.
4. Transaksi Finansial
Transaksi keuangan antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dapat
dilaksanakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan modal kerja (jangka pendek) atau
kebutuhan modal jangka panjang. Untuk kebutuhan jangka pendek dapat dipenuhi dari:
a. Utang piutang antar korporat,
b. Persekot atau uang muka modal,
c. Pinjaman yang diberikan garansi oleh pihak terkait, dan
d. Pembayaran penetrasi pasar.
Sementara itu, kebutuhan modal jangka panjang dapat dipenuhi melalui:
(1) Pinjaman hipotik;
(2) Sewa guna usaha;
(3) Modal saham;
(4) Pinjaman jangka panjang;
(5) Penerbitan saham atau obligasi dan penempatannya ke pasar modal.
5. Berbagai Bentuk Kontak Usaha
Transaksi transfer antar perusahaan dalam bentuk kontrak usaha dapat berupa kontrak
manufaktur. Selain itu, terdapat juga kontrak penyediaan jasa (contract services provides)
dalam berbagai bentuk seperti (1) kontrak penelitian dan pengembangan, (2) kontrak
pemeliharaan, dan (3) kontrak pemasaran.
Lembaga pengontrak umumnya didirikan semata-mata untuk tujuan komersial yang
dirancang dalam rangka minimalisasi beban pajak atau penempatan kepemilikan
intangibles hasil dari penelitian dan pengembangan atau pemasaran dalam tempat terpusat.
6. Cost Sharing atau Cost Contribution Arrangements
Cost sharing (andil biaya) didasarkan pada pemikiran bahwa grup perusahaan dapat
secara bersama-sama membagi pengeluaran penelitian dan pengembangan sistem yang baru
yang kemudian memperoleh hak atas hasil penelitian dan pengembangan. Secara teori, biaya
di bagi kepada para anggota berdasar manfaat yang mereka peroleh. Namun apabila tahap
kebersamaan pembiayaan terjadi, terjadi pada tahap pengembangan dari hasil penelitian,
pendatang baru untuk bersama memikul (share) biaya dapat dilakukan berdasar konsep buy
in.
Dalam konsep buy in arrangement tersebut akan timbul masalah seberapa jumlah
yang harus dibayar oleh pendatang baru tersebut dalam rangka buy in arrangement.
Selain biaya penelitian dan pengembangan, biaya bersama yang dapat di-sharing-kan
termasuk biaya akuntansi, manajemen, pemasaran, promosi, dan sebagainya.

2.3 The Importance of Transfer Pricing


a. Looking for Tax Efficiency

Harga yang timbul akibat adanya transfer pricing mempengaruhi laba


perusahaan dan pajak yang dibayarkannya, karena itulah dalam penentuan harga
barang perlu diperhatikan fungsi, aset, dan resiko serta untung atau rugi yang
kemungkinan akan timbul dari transaksi.
b. States protecting their tax base

Harga yang timbul akibat adanya transfer pricing mempengaruhi laba


perusahaan dan pajak yang dibayarkannya, karenanya Negara lebih tertarik
darimana penentuan harga ini berasal untuk memastiksn wajib pajak pajak yang
dipungut Negara memenuhi asas keadilan.
c. Real risk economic double taxation
Transfer pricing bukanlah tindakan ilegal atau tindakan kejahatan. Hal yang
membuat ilegal dan merupakan tindakan kejahatan dari transfer pricing adalah
transfer mispricing. Transfer mispricing merupakan bentuk dari fenomena umum yang
dikenal sebagai trade mispricing merupakan manipulasi atau kejahatan transfer
pricing.
Solusi dari transfer pricing adalah The Arms Length Principle, yang menurut OECD
merupakan :

...follow approach of treating the members of an MNE groups as operating as


separate entities rather than as inseperable parts of a single unified business.
Berbagai negara, kecuali Amerika Serikat menggunakan Arms Length Principle
sebagai solusi dari transfer pricing meski Arms Length Principle tidak selalu sempurna untuk
menyelesaikan masalah transfer pricing. Transfer Pricing dan Arms Length Principle diatur
dalam OECD article 9 tentang Associated Enterprise yang jika dapat dilihat dengan kasus
dibawah ini:

Co B

Co A

Co C Co D

Jika dijabarkan atas transaksi diatas dapat dilihat jika Co A mengirim mesin kepada Co B
tanpa dikenakan biaya maka terdapat transfer pricing dalam transaksi ini dikarenakan
terdapat hubungan istimewa dimana Co A mengirim mesin tanpa mengeluarkan biaya. Lalu
jika Co C membayar dividen kepada Co A hal tersebut tidak terdapat transfer pricing, karena
hanya pembahian saham. Selanjutnya atas peminjaman uang oleh Co D dari Co B, terdapat
transfer pricing dalam transaksi ini di dalam bunga atas pinjaman. Dalam hal ini, jika Co C
menyesuaikan catatan akuntansi Co D untuk mematuhi persyaratan pelaporan lokal, hal ini
tidak terdapat transfer pricing karena tidak ada transaksi.
Jika Co B memiliki merk dagang yang berharga yang digunakan oleh seluruh
perusahaan, maka terdapat transfer pricing jika Co A, Co C, dan Co D tidak membayar
royalti atas trademark yang dimiliki Co B. Jika mereka membayar royalti artinya tidak ada
transfer pricing dalam transaksi ini. Yang terakhir, jika Co C menjamin pinjaman yang Co B
lakukan dari pihak ketiga bank, maka hal ini terdapat transfer pricing jika Co C mengenakan
biaya jaminan pada Co B, jika Co C tidak mengenakan biaya jaminan kepada Co B maka
tidak ada transfer pricing. Jika Co C menjual barang kepada Co B tanpa disertai dokumentasi
transfer pricing, hal ini tergantung kebijakan negara tempat Co B dan Co C didirikan.

2.4 Comparability Analyses

Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arms Length Principle/ALP) merupakan


prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang
menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang
harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding.
Comparability analysis yaitu sebuah perbandingan transaksi terkendali dengan
transaksi yang tidak terkendali. Transaksi terkendali dan tidak terkendali dapat dibandingkan
jika tidak ada perbedaan antara transaksi secara material. Apabila ada perbedaan secara
material maka akan mempengaruhi faktor yang diperiksa dalam metodologi (misalnya harga
atau margin) atau dapat dilakukan penyesuaian untuk menghilangkan efek material dari setiap
perbedaan tersebut sehingga transaksi terkendali dan tidak terkendali dapat dibandingkan.
contoh dari comparability analysis yaitu contoh jika perusahaan telah menetapkan suatu
harga transfer sebesar 90 atau 100. Dalam hal menyesuaikan dengan Arms Length Principle,
hal yang harus dilakukan oleh perusahaan adalah membuat perbandingan harga transfer
dengan melihat comparable transactions pada pihak ketiga. Selanjutnya dari perbandingan
tersebut, perusahaan akan melihat apakah comparable transactions yang digunakan telah
sesuai dengan harga yang digunakan oleh pihak independent party pada comparable
transactions. Maka dari itu, baik comparability analysis maupun metode transfer pricing
merupakan suatu hal yang penting dalam menerapkan Arms Length Principle.
Dalam beberapa kasus, terdapat beberapa transaksi yang mungkin tidak dapat
diperbandingkan, sehingga agar dapat disebandingkan maka diperlukan penyesuaian atas
kedua transaksi tersebut. Penyesuaian tersebut dilakukan dengan cara transaksi yang
disebandingkan akan diuji dengan beberapa data pembanding. Terdapat empat data
peambanding yang bisa digunakan, yaitu internal comparables, external comparables,
product comparables, dan functional comparables.
a. Internal comparables, adalah transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak ketiga yang
tidak mempunyai hubungan istimewa yang dapat diperbandingkan. Internal
comparables akan menghasilkan harga pasar wajar yang lebih baik dibandingkan
dengan external comparables karena melibatkan intangibles dan intragroup services.
b. External comparables, merupakan pembanding yang dapat dicari dengan
menggunakan metode benchmarking studies.
c. Product comparables, pencarian data pembanding lebih berfokus pada produknya
dengan cara mencari produk yang serupa dengan transaksi yang diperbandingkan,
sehingga perbedaan pada sebuah produk merupakan hal yang penting untuk mencari
produk yang serupa.
d. Functional comparables, merupakan pembanding yang dilihat dari fungsi-fungsi
yang dilakukan oleh perusahaan independen dengan fungsi yang dilakukan oleh
perusahaan yang diuji. Hal yang penting dalam mencari data pembanding ini melihat
pada fungsi manufaktur dari sebuah produk. Selain melihat dari fungsi
manufakturnya, dapat dilihat dari segi karakteristik suatu produknya.

Dalam analisis kesebandingan, terdapat lima faktor krusial yang bisa digunakan
yaitu:
a. Kondisi ekonomi.
Hal ini menjadi penting karena berkaitan dengan analisis bisnis yang dilakukan oleh
perusahaan yang sedang diuji. Dari hasil pengujian tersebut dapat menunjukkan
adanya perbedaan dari masing-masing kondisi ekonominya. Perbedaan tersebut dapat
dilihat dari lokasi geografis, besaran pangsa pasar, kompetisi, dan lain-lain.
b. Strategi bisnis
Hal ini didasarkan atas pertimbangan antara perusahaan yang diuji dan perusahaan
pembanding belum tentu memiliki strategi bisnis yang sama. Untuk perusahaan yang
baru berdiri memiliki strategi bisnis untuk memasuki pasar, sedangkan untuk
perusahaan yang mature memiliki strategi bisnis untuk mempertahankan pasar.
c. Kontrak
Persyaratan yang tertera dalam kontrak merupakan hal yang krusial saat melakukan
analisis kesebandingan terhadap transaksi khusus seperti pembayaran royalti maupun
pendanaan internal grup. Hal ini dikarenakan dari transaksi khusus tersebut berperan
penting dalam pencarian pembanding yang sesuai.
d. Karakteristik dari barang maupun jasa
Hal ini tergantung dari barang ataupun jasa yang ingin diperbandingkan. Misalnya
dari karakteristik barang dapat dilihat dari wujud fisiknya, sedangkan jasa dilihat dari
kualitas jasa yang diberikan.
e. Analisis fungsi
Keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan akan tercermin dari sejauh mana
perusahaan tersebut melakukan fungsi-fungsi, harta yang dimiliki, hingga resiko yang
ditanggung. Semakin besar fungsi, aset, dan resiko (FAR) yang dimiliki, maka
semakin besar profit yang diharapkan. Hal ini dikarenakan analisis FAR akan
menghasilkan pengkategorian entitas yang diuji. Hasil dari pengkategorian tersebut
dapat berupa manufakturer, distributor, hingga penyedia jasa. Dari pengkategorian ini
nantinya akan berguna untuk mencari data pembanding.

2.5 Tujuan dan Metode Transfer Pricing


Secara umum, tujuan penetapan harga transfer adalah untuk mentransmisikan data
keuangan di antara departemen-departemen atau divisi-diisi perusahaan pada waktu mereka
saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain (Henry Simamora, 1999:273). Selain
tujuan tersebut, transfer pricing terkadang digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan
memotivasi manajer divisi penjual dan divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang
serasi dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan. Sedangkan dalam lingkup perusahaan
multinasional, transfer pricing digunakan untuk, meminimalkan pajak dan bea yang mereka
keluarkan diseluruh dunia Transfer pricing can effect overall corporate incame taxes. This is
particulary true for multinational corporations (Hansen and Mowen, 1996:496).
Peraturan tentang transfer pricing secara umum diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Pasal 18 ayat (3) UU PPh menyebutkan
bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berwenang untuk menentukan kembali besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan
Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi
oleh hubungan istimewa (arms length principle) dengan menggunakan metode perbandingan
harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus,
atau metode lainnya. Hubungan istimewa dikatakan terjadi jika (i) Wajib Pajak mempunyai
penyertaan modal langsung maupun tidak langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak
lain; (ii) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada
di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau (iii) terdapat
hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke
samping satu derajat. Aturan lebih lanjut dan detail tentang transfer pricing termuat dalam
Peraturan Dirjen Pajak Nomor 43 Tahun 2010 yang diubah dengan Peraturan Dirjen Pajak
Nomor 32 Tahun 2011. Di dalam aturan ini disebutkan pengertian arms length principle
yaitu harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut
mencerminkan harga pasar yang wajar.
Dalam Peraturan Dirjen Pajak ini juga diatur bahwa arms length principle dilakukan
dengan menggunakan langkah-langkah: (i) melakukan analisis kesebandingan dan
menentukan pembanding; (ii) menentukan metode penentuan harga transfer yang tepat; (iii)
menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha berdasarkan hasil analisis kesebandingan
dan metode penentuan harga transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara
Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa; dan (iv)
mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Terdapat beberapa jenis
metode penentuan harga transfer yang dapat dilakukan. Secara garis besar, metode-metode
tersebut terdiri dari dua jenis, yakni Traditional Transaction Method dan Transactional Profit
Method. Adapun metode-metode tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :

- Traditional Transaction Methods


1. Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable
uncontrolled price/CUP);
2. Metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-plus (
cost plus method /CPLM);

- Transactional Profit Methods


1. Metode pembagian laba (profit split method /PSM) atau
2. Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method /TNMM).

Fungsi dari metode-metode tersebut adalah untuk memeriksa atau menguji margin
price atau nilai tambah dari harga apakah nilai tersebut wajar atau tidak. Penerapan metode-
metode di atas tidak secara bebas dapat dilakukan. Akan tetapi harus dilakukan secara
hirarkis. Pertama dimulai dengan menerapkan metode perbandingan harga antar pihak yang
independen (CUP) sesuai dengan kondisi yang tepat. Jika metode perbandingan harga antar
pihak yang independen (CUP) tidak tepat untuk diterapkan, wajib diterapkan metode
penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-plus (cost plus
method/CPLM) sesuai dengan kondisi yang tepat. Adapun penerapan metode tersebut dapat
dilihat dalam gambar berikut:

Gambar 1.1 Penerapan Arms Length Principle


Sumber: IBFD (2016)

Selain digunakan secara hierarkis, penggunaan metode tersebut harus berdasarkan


kondisi dari pihak yang ingin dilakukan analisis transfer pricing. Sehingga tidak semua
metode cocok dengan semua kondisi yang ada. Disarankan untuk menggunakan metode yang
cocok dengan kondisi pihak yang ingin dilakukan analisis transfer pricing. Dalam melakukan
analisis TP, Wajib Pajak diperbolehkan menggunakan lebih dari satu metode analisis TP dan
bahkan hal ini direkomendasikan, akan tetapi dengan memperhatikan kondisi yang telah
disebutkan. Hal ini sejalan dengan yang disebutkan dalam OECD Guidelines, yang
menyebutkan:
the selection of a transfer pricing method always aims at finding the most
appropriate method for each particular case does not mean that all the transfer
pricing methods should be analyzed in depth or tested in each case in arriving at the
selection of the most appropriate method

Mengacu kepada OECD Guidelines di atas, maka dikatakan bahwa dalam


menentukan suatu metode yang paling sesuai atas suatu transaksi tidak harus melakukan
analisis terhadap seluruh metode transfer pricing. Adapun metode-metode untuk menentukan
harga transfer yang wajar yang dilakukan oleh perusahaan multinasional yang melakukan
transfer pricing, yaitu:

1. Metode perbandingan harga (Comparable Uncontrolled Price/CUP)

Metode ini membandingkan harga transaksi dari pihak yang ada hubungan istimewa tersebut
dengan harga transaksi barang sejenis dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa (pembanding independen), baik itu internal CUP maupun eksternal CUP. Metode ini
sebenarnya merupakan metode yang paling akurat, tetapi yang sering menjadi permasalahan
adalah mencari barang yang benar-benar sejenis. Metode ini digunakan terutama dimana
suatu perusahaan menjual produk yang sama dengan perusahaan terkait dan yang tidak terkait
(perbandingan internal) atau ketika perusahaan lainnya menjual produk yang sama kepada
perusahaan yang tidak terkait (perbandingan external). Transaksi yang tidak terkendalikan
seharusnya pada produk yang memiliki tipe, kualitas dan kuantitas yang sama seperti diantara
perusahaan yang terkait, dan terkait dengan transaksi yang berlangsung pada kondisi yang
sama di dalam rantai produksi/distribusi dan di dalam kondisi yang sama. Kesulitannya
adalah memperoleh bukti yang cukup dekat untuk dibandingkan.

Contoh penerapan:

PT ABC menyerahkan penjualan barang X kepada afiliasinya PT Y dengan harga franko


tujuan Rp10.000.000. Di saat yang sama PT ABC juga menjual barang X kepada pihak ketiga
PT KLM dengan harga franko pabrik Rp10.000.000 dan biaya pengangkutan dan asuransi
Rp500.000. Dengan metode CUP harga jual wajar barang X dari PT ABC kepada PT Y
adalah Rp10.000.000 + Rp500.000 = Rp10.500.000.
2. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM)

Metode ini digunakan dalam hal Wajib Pajak bergerak dalam bidang usaha
perdagangan (distributor), di mana produk yang telah dibeli dari pihak yang mempunyai
hubungan istimewa dijual kembali (resale) kepada pihak lainnya (yang tidak mempunyai
hubungan istimewa). Harga yang terjadi pada penjualan kembali tersebut dikurangi dengan
laba kotor (mark up) wajar sehingga diperoleh harga beli wajar dari pihak yang mempunyai
hubungan istimewa. Dalam metode ini, penentuan harga pasar wajar didasarkan atas produk
yang dibeli dari perusahaan afiliasi lalu dijual kembali kepada perusahaan independen.
Kemudian, penentuan harga pasar wajar atas dasar metode resale price ini dihitung dengan
cara mengurangkan harga jual kembali tersebut dengan suatu margin laba kotor tertentu, di
mana margin laba kotor tersebut diambil dari margin laba kotor dari perusahaan sejenis yang
melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Metode
ini sangat tepat untuk diterapkan di perusahaan yang bergerak dalam bidang pemasaran

Contoh penerapan:

PT A menyerahkan barang kepada afiliasinya PT B dengan harga Rp10.000.000. PT B


kemudian menyerahkan barang tersebut kepada pihak ketiga PT C (independen) dengan
harga Rp20.000.000. Diketahui ternyata ada transaksi antara pihak independen, yaitu PT Z
yang juga menyerahkan produk yang sejenis kepada PT Y dengan kenaikan harga jual (mark
up) 20%. Dengan demikian, harga jual yang wajar dari PT A kepada PT B adalah
Rp20.000.000 - (20% x Rp20.000.000) = Rp16.000.000.

Jadi, harga jual PT A terlalu rendah dari yang seharusnya karena ada transfer pricing.

3. Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method)

Metode ini dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh
perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi
sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa. Umumnya digunakan
pada usaha pabrikasi (manufaktur). Dalam metode ini, biaya yang terjadi oleh pemasok dari
barang atau jasa dinaikan agar memberikan marjin keuntungan yang setaraf dengan function,
assets dan risks dari entitas yang terkait. Pada umumnya digunakan di akhir mata rantai
supply. Metode Cost Plus perlu mempertimbangkan yang disebut full costs dari produksi,
yang akan menjadi sama dengan jumlah dari (i) the direct material costs, (ii) the direct
labour costs dan (iii) factory overheads associated with production. Cost plus yang dinaikan,
ditentukan dengan mengacu untuk mark up yang diperoleh oleh perusahaan yang sama dari
penjualan perusahaan ketiga (perbandingan internal) atau dengan mengacu untuk mark up
yang diperoleh oleh perusahaan yang independent dari penjualan dengan perusahaan yang
tidak terkait (perbandingan external). Berdasarkan metode cost plus, harga pasar wajar
ditentukan dengan menambahkan margin laba kotor terhadap harga pokok penjualan. Metode
ini diterapkan untuk kondisi seperti berikut (i) barang yang diperjualbelikan oleh pihak-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa adalah barang setengah jadi (semi-finished goods), (ii)
perjanjian jual beli jangka panjang, (iii) kegiatan pemberian jasa, dan (iv) perjanjian atas joint
facility.

Contoh penerapan:

PT A memproduksi barang dengan biaya Rp500.000 dan menyerahkan barang tersebut


kepada afiliasinya PT B dengan harga Rp900.000. PT Y juga memproduksi produk sejenis
dengan biaya sebesar Rp600.000 dan menjualnya kepada PT Z (tidak ada hubungan
istimewa) dengan harga Rp900.000.

Dari penjualan PT Y terlihat bahwa persentase laba kotor dari biaya adalah sebesar 30 : 60 =
50 %. Dengan cost-plus method, dapat diketahui bahwa harga wajar penjualan PT A ke PT B
adalah: Rp500.000 + (50% x Rp500.000) = Rp750.000. Jadi, bisa dianggap bahwa harga beli
PT B lebih mahal dari yang seharusnya dan dapat dikoreksi biayanya oleh kantor pajak.

4. Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM)

Metode ini dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi
yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan
menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan
pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dengan menggunakan Metode
Kontribusi (Contribution Profit Split Method) atau Metode Sisa Pembagian Laba (Residual
Profit Split Method). Metode ini digunakan ketika tidak terdapat data yang dapat
diperbandingkan. Dalam pendekatan metode profit split ini, laba dari transaksi antara pihak-
pihak yang mempunyai hubungan istimewa dapat diketahui dengan cara melakukan analisis
fungsi atas kegiatan usaha yang dilakukannya

5. Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM)

Metode ini dilakukan dengan membandingkan persentase laba bersih operasi terhadap
biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan persentase laba bersih operasi yang
diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang
dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa lainnya. Metode ini
digunakan untuk menguji kewajaran laba bersih atas transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa. Pendekatan yang dipergunakan yaitu membandingkan laba
bersih tersebut dengan harga pokok produksi, penjualan, atau aktiva yang dipergunakan untuk
menghasilkan laba bersih tersebut. Setelah didapatkan net margin, kemudian net margin
tersebut diperbandingkan dengan net margin dari perusahaan sejenis yang melakukan
transaksi yang dapat diperbandingkan dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa.

Contoh penerapan:

PT ABC merupakan produsen alat-alat kecantikan yang menjual ke perusahaan grup di


Malaysia (ABC Bhd) dan menggunakan merk ABC Bhd. Dalam hal ini, ABC Bhd hanya
menjual produk PT ABC. Berdasarkan analisis, diketahui juga bahwa PT XYZ yang menjual
produk serupa dan memperoleh laba operasi sebesar 10%. Untuk itu, harga transfer PT ABC
kepada ABC Bhd berdasarkan metode TNM adalah sebagai berikut

Tabel 1. Ilustrasi Penerapan Transactional Net Margin Method (TNMM)

Uraian (Rp)
Harga Pokok Produksi 50.000.000
Biaya operasi 15.000.000
Total biaya 65.000.000
Net mark-up (sesuai data pembanding PT XYZ 10%)
6.500.000
Harga transfer 71.500.000
2.6 Transfer Pricing Document
Sesuai Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2011 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hak dan pemenuhan Kewajiban Perpajakan, dalam hal wajib pajak atau Wajib
Pajak melakukan proses transaksi dengan pihak-pihak hubungan istimewa, Wajib pajak
tersebut wajib memiliki dokumen dan/atau informasi tambahan untuk mendukung bahwa
transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai
dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Selain itu, dalam aturan lain yaitu Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-39/PJ/2009 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Badan beserta Petunjuk Pengisiannya juga menyebutkan bahwa
Wajib Pajak Badan dalam hal memiliki transaksi dengan pihak hubungan istimewa wajib
melampirkan Lampiran Khusus 3A atau 3B pada saat menyampaikan SPT Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Badan.

Ketentuan dalam PER-39 2009 mengalami perubahan pada tahun pajak 2010, yaitu
tentang Lampiran Khusus 3A dan 3B tersebut ditambah dengan Lampiran Khusus 3A-1/3B-1
dan Lampiran Khusus 3A-2/3B-2. Sebab, pada Lampiran Khusus 3A-1/3B-1 dan Lampiran
Khusus 3A-2/3B-2 tersebut terdapat detail mengenai uraian pengungkapan transaksi dengan
pihak afiliasi. Selain itu, terdapat pula isian mengenai konfirmasi apakah Wajib Pajak telah
menyiapkan TP Doc. Pasal 3 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011
tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi Antara WP
dengan Pihak yang Memiliki Hubungan Istimewa, menyebutkan bahwa prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha dilakukan dengan mendokumentasikan setiap langkah dalam
menentukan harga wajar atau laba wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Pengecualiannya untuk kewajiban yang diatur pada pasal dalam aturan tersebut
adalah untuk nilai seluruh transaksi yang tidak melebihi Rp 10 miliar (sepuluh miliar rupiah)
dalam 1 (satu) tahun pajak untuk setiap lawan transaksi. Lebih lanjut lagi dalam hal terjadi
proses pemeriksaan, Pemeriksa Pajak akan melakukan pemeriksaan berdasarkan atas
informasi yang telah diberikan oleh Wajib Pajak, dalam hal ini adalah TP Doc yang telah
dipersiapkan. Akan tetapi, dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memberikan TP Doc tersebut,
pihak Pemeriksa Pajak dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan
penetapan berdasarkan atas fakta dan analisa dari informasi yang telah tersedia. Jika hal
tersebut memang terjadi, Wajib Pajak justru akan menanggung beban pembuktian dari proses
pemeriksaan untuk menunjukkan ketidakbenaran pendekatan yang telah dilakukan oleh DJP.
Oleh sebab itu, TP Doc harus dilihat sebagai sebuah kesempatan bagi Wajib Pajak untuk
mengungkapkan fakta dan kondisi Wajib Pajak yang sebenarnya dalam menerapkan prinsip
kewajaran dan kelaziman harga hubungan istimewa yang digunakan dalam proses
pemeriksaan. Selain itu juga, karena TP Doc memang mengacu pada fakta dan kondisi Wajib
Pajak pada periode yang dianalisis, maka untuk bisa mengakomodasi kemungkinan adanya
beberapa perbedaan kondisi pada tahun analisis yang memang berbeda, TP Doc memang
harus disiapkan setiap tahun guna mempertimbangkan hal tersebut.
Jadi bisa disimpulkan dari uraian diatas adalah sebaiknya memang Transfer Pricing
Document (TP Doc itu dibuat setiap tahun bagi setiap perusahaan yang bertransaksi dengan
afiliasi luar negeri.

BAB III
KESIMPULAN
Transfer pricing merupakan harga yang ditimbulkan atas penyerahan barang, jasa atau
harta tak berwujud lainnya dari satu perusahaan ke perusahaan lain yang masih terikat dalam
hubungan kepemilikan. Secara umum, tujuan penetapan harga transfer atau transfer pricing
adalah untuk mentransmisikan data keuangan di antara departemen-departemen atau divisi-
diisi perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain.
Transfer pricing dapat terjadi dalam satu grup perusahaan dan antar perusahaan yang terikat
dalam hubungan istimewa. Dalam suatu grup perusahaan, transfer pricing sering disebut
dengan istilah intracompany pricing, intercorporate pricing, interdivisional pricing, dan
internal pricing. tipe transaksi antar perusahaan, yaitu barang berwujud dan barang tidak
berwujud (intangibles), penyerahan jasa, keuangan, persewaan dan leasing (sewa guna
usaha), berbagai kontrak (manufaktur/maakloon), penelitian dan pengembangan,
pemeliharaan, pemasaran dan bagi biaya (cost sharing). Dalam sistem perpajakan, secara
meluas, menghendaki agar harga yang di hitung pada tiap transaksi antar perusahaan yang
dimaksud, berdasarkan prinsip harga wajar (arms length principle). Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha (Arms Length Principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa
apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding,
maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang
menjadi pembanding. Secara garis besar, metode-metode tersebut terdiri dari dua jenis, yakni
Traditional Transaction Method dan Transactional Profit Method.

DAFTAR PUSTAKA
Gunadi. (2007). Pajak Internasional. Jakarta : LPFEUI.

IBFD

OECD Guidelines

Salsalina, Lingga Ita (2012). Aspek Perpajakan Dalam Transfers Pricing dan Problematika
Praktik Penghindaran Pajak (Tax Avoidance. Jurnal Zenit; Vol. 1 No. 3 Desember
2012. Universitas Kristen Maranatha.

Sumber Online :

https://www.scribd.com/doc/129091236/Metode-Penentuan-Harga-Transfer

http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/2014_kajian_pprf_Transfer%20Pricing%20dan
%20Risikonya%20Terhadap%20Penerimaan%20Negara.pdf

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20355667-S-Clarissa%20G%20S.pdf

http://www.lembagapajak.com/2016/10/perusahaan-wajib-membuat-tp-doc.html
Suryana, Anandita B. (2012). Menangkal Kecurangan Transfer Pricing. http://www.
Pajak.go.id/node/4049?lang=en, 15 Agustus 2012.

Anda mungkin juga menyukai