Co B
Co A
Co C Co D
Jika dijabarkan atas transaksi diatas dapat dilihat jika Co A mengirim mesin kepada Co B
tanpa dikenakan biaya maka terdapat transfer pricing dalam transaksi ini dikarenakan
terdapat hubungan istimewa dimana Co A mengirim mesin tanpa mengeluarkan biaya. Lalu
jika Co C membayar dividen kepada Co A hal tersebut tidak terdapat transfer pricing, karena
hanya pembahian saham. Selanjutnya atas peminjaman uang oleh Co D dari Co B, terdapat
transfer pricing dalam transaksi ini di dalam bunga atas pinjaman. Dalam hal ini, jika Co C
menyesuaikan catatan akuntansi Co D untuk mematuhi persyaratan pelaporan lokal, hal ini
tidak terdapat transfer pricing karena tidak ada transaksi.
Jika Co B memiliki merk dagang yang berharga yang digunakan oleh seluruh
perusahaan, maka terdapat transfer pricing jika Co A, Co C, dan Co D tidak membayar
royalti atas trademark yang dimiliki Co B. Jika mereka membayar royalti artinya tidak ada
transfer pricing dalam transaksi ini. Yang terakhir, jika Co C menjamin pinjaman yang Co B
lakukan dari pihak ketiga bank, maka hal ini terdapat transfer pricing jika Co C mengenakan
biaya jaminan pada Co B, jika Co C tidak mengenakan biaya jaminan kepada Co B maka
tidak ada transfer pricing. Jika Co C menjual barang kepada Co B tanpa disertai dokumentasi
transfer pricing, hal ini tergantung kebijakan negara tempat Co B dan Co C didirikan.
Dalam analisis kesebandingan, terdapat lima faktor krusial yang bisa digunakan
yaitu:
a. Kondisi ekonomi.
Hal ini menjadi penting karena berkaitan dengan analisis bisnis yang dilakukan oleh
perusahaan yang sedang diuji. Dari hasil pengujian tersebut dapat menunjukkan
adanya perbedaan dari masing-masing kondisi ekonominya. Perbedaan tersebut dapat
dilihat dari lokasi geografis, besaran pangsa pasar, kompetisi, dan lain-lain.
b. Strategi bisnis
Hal ini didasarkan atas pertimbangan antara perusahaan yang diuji dan perusahaan
pembanding belum tentu memiliki strategi bisnis yang sama. Untuk perusahaan yang
baru berdiri memiliki strategi bisnis untuk memasuki pasar, sedangkan untuk
perusahaan yang mature memiliki strategi bisnis untuk mempertahankan pasar.
c. Kontrak
Persyaratan yang tertera dalam kontrak merupakan hal yang krusial saat melakukan
analisis kesebandingan terhadap transaksi khusus seperti pembayaran royalti maupun
pendanaan internal grup. Hal ini dikarenakan dari transaksi khusus tersebut berperan
penting dalam pencarian pembanding yang sesuai.
d. Karakteristik dari barang maupun jasa
Hal ini tergantung dari barang ataupun jasa yang ingin diperbandingkan. Misalnya
dari karakteristik barang dapat dilihat dari wujud fisiknya, sedangkan jasa dilihat dari
kualitas jasa yang diberikan.
e. Analisis fungsi
Keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan akan tercermin dari sejauh mana
perusahaan tersebut melakukan fungsi-fungsi, harta yang dimiliki, hingga resiko yang
ditanggung. Semakin besar fungsi, aset, dan resiko (FAR) yang dimiliki, maka
semakin besar profit yang diharapkan. Hal ini dikarenakan analisis FAR akan
menghasilkan pengkategorian entitas yang diuji. Hasil dari pengkategorian tersebut
dapat berupa manufakturer, distributor, hingga penyedia jasa. Dari pengkategorian ini
nantinya akan berguna untuk mencari data pembanding.
Fungsi dari metode-metode tersebut adalah untuk memeriksa atau menguji margin
price atau nilai tambah dari harga apakah nilai tersebut wajar atau tidak. Penerapan metode-
metode di atas tidak secara bebas dapat dilakukan. Akan tetapi harus dilakukan secara
hirarkis. Pertama dimulai dengan menerapkan metode perbandingan harga antar pihak yang
independen (CUP) sesuai dengan kondisi yang tepat. Jika metode perbandingan harga antar
pihak yang independen (CUP) tidak tepat untuk diterapkan, wajib diterapkan metode
penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-plus (cost plus
method/CPLM) sesuai dengan kondisi yang tepat. Adapun penerapan metode tersebut dapat
dilihat dalam gambar berikut:
Metode ini membandingkan harga transaksi dari pihak yang ada hubungan istimewa tersebut
dengan harga transaksi barang sejenis dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa (pembanding independen), baik itu internal CUP maupun eksternal CUP. Metode ini
sebenarnya merupakan metode yang paling akurat, tetapi yang sering menjadi permasalahan
adalah mencari barang yang benar-benar sejenis. Metode ini digunakan terutama dimana
suatu perusahaan menjual produk yang sama dengan perusahaan terkait dan yang tidak terkait
(perbandingan internal) atau ketika perusahaan lainnya menjual produk yang sama kepada
perusahaan yang tidak terkait (perbandingan external). Transaksi yang tidak terkendalikan
seharusnya pada produk yang memiliki tipe, kualitas dan kuantitas yang sama seperti diantara
perusahaan yang terkait, dan terkait dengan transaksi yang berlangsung pada kondisi yang
sama di dalam rantai produksi/distribusi dan di dalam kondisi yang sama. Kesulitannya
adalah memperoleh bukti yang cukup dekat untuk dibandingkan.
Contoh penerapan:
Metode ini digunakan dalam hal Wajib Pajak bergerak dalam bidang usaha
perdagangan (distributor), di mana produk yang telah dibeli dari pihak yang mempunyai
hubungan istimewa dijual kembali (resale) kepada pihak lainnya (yang tidak mempunyai
hubungan istimewa). Harga yang terjadi pada penjualan kembali tersebut dikurangi dengan
laba kotor (mark up) wajar sehingga diperoleh harga beli wajar dari pihak yang mempunyai
hubungan istimewa. Dalam metode ini, penentuan harga pasar wajar didasarkan atas produk
yang dibeli dari perusahaan afiliasi lalu dijual kembali kepada perusahaan independen.
Kemudian, penentuan harga pasar wajar atas dasar metode resale price ini dihitung dengan
cara mengurangkan harga jual kembali tersebut dengan suatu margin laba kotor tertentu, di
mana margin laba kotor tersebut diambil dari margin laba kotor dari perusahaan sejenis yang
melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Metode
ini sangat tepat untuk diterapkan di perusahaan yang bergerak dalam bidang pemasaran
Contoh penerapan:
Jadi, harga jual PT A terlalu rendah dari yang seharusnya karena ada transfer pricing.
Metode ini dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh
perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi
sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa. Umumnya digunakan
pada usaha pabrikasi (manufaktur). Dalam metode ini, biaya yang terjadi oleh pemasok dari
barang atau jasa dinaikan agar memberikan marjin keuntungan yang setaraf dengan function,
assets dan risks dari entitas yang terkait. Pada umumnya digunakan di akhir mata rantai
supply. Metode Cost Plus perlu mempertimbangkan yang disebut full costs dari produksi,
yang akan menjadi sama dengan jumlah dari (i) the direct material costs, (ii) the direct
labour costs dan (iii) factory overheads associated with production. Cost plus yang dinaikan,
ditentukan dengan mengacu untuk mark up yang diperoleh oleh perusahaan yang sama dari
penjualan perusahaan ketiga (perbandingan internal) atau dengan mengacu untuk mark up
yang diperoleh oleh perusahaan yang independent dari penjualan dengan perusahaan yang
tidak terkait (perbandingan external). Berdasarkan metode cost plus, harga pasar wajar
ditentukan dengan menambahkan margin laba kotor terhadap harga pokok penjualan. Metode
ini diterapkan untuk kondisi seperti berikut (i) barang yang diperjualbelikan oleh pihak-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa adalah barang setengah jadi (semi-finished goods), (ii)
perjanjian jual beli jangka panjang, (iii) kegiatan pemberian jasa, dan (iv) perjanjian atas joint
facility.
Contoh penerapan:
Dari penjualan PT Y terlihat bahwa persentase laba kotor dari biaya adalah sebesar 30 : 60 =
50 %. Dengan cost-plus method, dapat diketahui bahwa harga wajar penjualan PT A ke PT B
adalah: Rp500.000 + (50% x Rp500.000) = Rp750.000. Jadi, bisa dianggap bahwa harga beli
PT B lebih mahal dari yang seharusnya dan dapat dikoreksi biayanya oleh kantor pajak.
Metode ini dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi
yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan
menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan
pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dengan menggunakan Metode
Kontribusi (Contribution Profit Split Method) atau Metode Sisa Pembagian Laba (Residual
Profit Split Method). Metode ini digunakan ketika tidak terdapat data yang dapat
diperbandingkan. Dalam pendekatan metode profit split ini, laba dari transaksi antara pihak-
pihak yang mempunyai hubungan istimewa dapat diketahui dengan cara melakukan analisis
fungsi atas kegiatan usaha yang dilakukannya
Metode ini dilakukan dengan membandingkan persentase laba bersih operasi terhadap
biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan persentase laba bersih operasi yang
diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang
dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa lainnya. Metode ini
digunakan untuk menguji kewajaran laba bersih atas transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa. Pendekatan yang dipergunakan yaitu membandingkan laba
bersih tersebut dengan harga pokok produksi, penjualan, atau aktiva yang dipergunakan untuk
menghasilkan laba bersih tersebut. Setelah didapatkan net margin, kemudian net margin
tersebut diperbandingkan dengan net margin dari perusahaan sejenis yang melakukan
transaksi yang dapat diperbandingkan dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa.
Contoh penerapan:
Uraian (Rp)
Harga Pokok Produksi 50.000.000
Biaya operasi 15.000.000
Total biaya 65.000.000
Net mark-up (sesuai data pembanding PT XYZ 10%)
6.500.000
Harga transfer 71.500.000
2.6 Transfer Pricing Document
Sesuai Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2011 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hak dan pemenuhan Kewajiban Perpajakan, dalam hal wajib pajak atau Wajib
Pajak melakukan proses transaksi dengan pihak-pihak hubungan istimewa, Wajib pajak
tersebut wajib memiliki dokumen dan/atau informasi tambahan untuk mendukung bahwa
transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai
dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Selain itu, dalam aturan lain yaitu Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-39/PJ/2009 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Badan beserta Petunjuk Pengisiannya juga menyebutkan bahwa
Wajib Pajak Badan dalam hal memiliki transaksi dengan pihak hubungan istimewa wajib
melampirkan Lampiran Khusus 3A atau 3B pada saat menyampaikan SPT Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Badan.
Ketentuan dalam PER-39 2009 mengalami perubahan pada tahun pajak 2010, yaitu
tentang Lampiran Khusus 3A dan 3B tersebut ditambah dengan Lampiran Khusus 3A-1/3B-1
dan Lampiran Khusus 3A-2/3B-2. Sebab, pada Lampiran Khusus 3A-1/3B-1 dan Lampiran
Khusus 3A-2/3B-2 tersebut terdapat detail mengenai uraian pengungkapan transaksi dengan
pihak afiliasi. Selain itu, terdapat pula isian mengenai konfirmasi apakah Wajib Pajak telah
menyiapkan TP Doc. Pasal 3 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011
tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi Antara WP
dengan Pihak yang Memiliki Hubungan Istimewa, menyebutkan bahwa prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha dilakukan dengan mendokumentasikan setiap langkah dalam
menentukan harga wajar atau laba wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Pengecualiannya untuk kewajiban yang diatur pada pasal dalam aturan tersebut
adalah untuk nilai seluruh transaksi yang tidak melebihi Rp 10 miliar (sepuluh miliar rupiah)
dalam 1 (satu) tahun pajak untuk setiap lawan transaksi. Lebih lanjut lagi dalam hal terjadi
proses pemeriksaan, Pemeriksa Pajak akan melakukan pemeriksaan berdasarkan atas
informasi yang telah diberikan oleh Wajib Pajak, dalam hal ini adalah TP Doc yang telah
dipersiapkan. Akan tetapi, dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memberikan TP Doc tersebut,
pihak Pemeriksa Pajak dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan
penetapan berdasarkan atas fakta dan analisa dari informasi yang telah tersedia. Jika hal
tersebut memang terjadi, Wajib Pajak justru akan menanggung beban pembuktian dari proses
pemeriksaan untuk menunjukkan ketidakbenaran pendekatan yang telah dilakukan oleh DJP.
Oleh sebab itu, TP Doc harus dilihat sebagai sebuah kesempatan bagi Wajib Pajak untuk
mengungkapkan fakta dan kondisi Wajib Pajak yang sebenarnya dalam menerapkan prinsip
kewajaran dan kelaziman harga hubungan istimewa yang digunakan dalam proses
pemeriksaan. Selain itu juga, karena TP Doc memang mengacu pada fakta dan kondisi Wajib
Pajak pada periode yang dianalisis, maka untuk bisa mengakomodasi kemungkinan adanya
beberapa perbedaan kondisi pada tahun analisis yang memang berbeda, TP Doc memang
harus disiapkan setiap tahun guna mempertimbangkan hal tersebut.
Jadi bisa disimpulkan dari uraian diatas adalah sebaiknya memang Transfer Pricing
Document (TP Doc itu dibuat setiap tahun bagi setiap perusahaan yang bertransaksi dengan
afiliasi luar negeri.
BAB III
KESIMPULAN
Transfer pricing merupakan harga yang ditimbulkan atas penyerahan barang, jasa atau
harta tak berwujud lainnya dari satu perusahaan ke perusahaan lain yang masih terikat dalam
hubungan kepemilikan. Secara umum, tujuan penetapan harga transfer atau transfer pricing
adalah untuk mentransmisikan data keuangan di antara departemen-departemen atau divisi-
diisi perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain.
Transfer pricing dapat terjadi dalam satu grup perusahaan dan antar perusahaan yang terikat
dalam hubungan istimewa. Dalam suatu grup perusahaan, transfer pricing sering disebut
dengan istilah intracompany pricing, intercorporate pricing, interdivisional pricing, dan
internal pricing. tipe transaksi antar perusahaan, yaitu barang berwujud dan barang tidak
berwujud (intangibles), penyerahan jasa, keuangan, persewaan dan leasing (sewa guna
usaha), berbagai kontrak (manufaktur/maakloon), penelitian dan pengembangan,
pemeliharaan, pemasaran dan bagi biaya (cost sharing). Dalam sistem perpajakan, secara
meluas, menghendaki agar harga yang di hitung pada tiap transaksi antar perusahaan yang
dimaksud, berdasarkan prinsip harga wajar (arms length principle). Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha (Arms Length Principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa
apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding,
maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang
menjadi pembanding. Secara garis besar, metode-metode tersebut terdiri dari dua jenis, yakni
Traditional Transaction Method dan Transactional Profit Method.
DAFTAR PUSTAKA
Gunadi. (2007). Pajak Internasional. Jakarta : LPFEUI.
IBFD
OECD Guidelines
Salsalina, Lingga Ita (2012). Aspek Perpajakan Dalam Transfers Pricing dan Problematika
Praktik Penghindaran Pajak (Tax Avoidance. Jurnal Zenit; Vol. 1 No. 3 Desember
2012. Universitas Kristen Maranatha.
Sumber Online :
https://www.scribd.com/doc/129091236/Metode-Penentuan-Harga-Transfer
http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/2014_kajian_pprf_Transfer%20Pricing%20dan
%20Risikonya%20Terhadap%20Penerimaan%20Negara.pdf
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20355667-S-Clarissa%20G%20S.pdf
http://www.lembagapajak.com/2016/10/perusahaan-wajib-membuat-tp-doc.html
Suryana, Anandita B. (2012). Menangkal Kecurangan Transfer Pricing. http://www.
Pajak.go.id/node/4049?lang=en, 15 Agustus 2012.