Anda di halaman 1dari 3

yang berkedudukan di Malaysia.

Lalu, dari Malaysia barang tersebut dijual ke perusahaan


yang ada di Thailand, baru setelah itu perusahaan Jt Thailand menjualnya ke perusahaan di
Indonesia. Sehingga ketika sampai di Indonesia, harganya sudah naik berkali lipat, yang
berujung vada kerugian PT KLM yang berkedudukan di Indonesia karena ja harus membayar
bahan baku ponsel dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada harga pasar yang wajar.
Schingga potensi pajak yang se harusnya dapat diterima oleh negara Indonesia dari PT KLM
menjadi hilang atau berkurang karena PT KLM mencatat kerugian atau keun tungannya
mengecil karena praktik transfer pricing.

3. Dalam kasus melakukan markdown atas penghasilan yang diperoleh, pada contoh di atas, PT
KLM seharusnya bisa menjual 1.000 unit pro duk ponsel ke pasar dengan harga US$50/pes,
tetapi melakukan ma nuver transaksi dengan terlebih dahulu menjualnya ke MM Ltd. yang
merupakan grup perusahaan yang berada di negara MM di mancane gara yang mempunyai
tarif pajak yang lebih rendah (tax haven country) dengan harga US$42/pcs. Kemudian MM
Ltd. baru menjual ponsel tersebut dengan harga USD50/pes ke SS Corp.pihak independen
yang tidak mempunyai hubungan istimewa/bukan grup perusahaan MM Ltd. Ponsel itu
sendiri secara fisik dikirimkan oleh PT KLM langsung ke SS Corp. (sedangkan transaksi antara
PT KLM dan MM Ltd. hanya berupa transaksi invoice). Akibatnya potensi pajak yang se
harusnya dapat diterima oleh negara Indonesia dari PT KLM menjadi berkurang karena
keuntungan yang diperoleh oleh PT KLM mengecil schingga pajak penghasilan yang harus
dibayar oleh PT KLM ke negara Indonesia juga mengecil (lihat Gambar 1).

4. Motivasi Transfer Pricing


Pada tahun (sekitar) 1985 telah diadakan penelitian tentang transfer pricing di Indonesia
oleh tim UNTC dari PBB yang diketuai oleh Dr. Silvain Plasschaert (Belgia). Dari penelitian
tersebut, sebagaimana dikutip oleh Gunait (2007: 222), disimpulkan ada beberapa motivasi
transfer pricing di Indonesia, seperti:
a. mengurangi objek pajak (terutama pajak penghasilan);
b. melonggarkan pengaruh pembatasan kepemilikan luar negeri;
c. menurunkan pengaruh depresiasi rupiah;
d. menguatkan tuntutan kenaikan harga atau proteksi terhadap saingan impor;
e. mempertahankan sikap low profile atau konservatisme tanpa memedu likan
tingkat keuntungan usaha;
f. mengamankan perusahaan dari tuntutan atas imbalan prestasi pimpin an atau
kesejahteraan karyawan dan kepedulian lingkungan (ekologi dan masyarakat);
g. memperkecil akibat pembatasan dan ketidakpastian atas risiko kegiat an usaha
perusahaan luar negeri.

Perbedaan dalam praktik transfer pricing dengan harga yang tidak sama dengan harga
pasar dapat didorong oleh karena alasan pajak (tax motive) maupun bukan pajak (nontax
motive). Berbagai studi di Indonesia menunjukkan hal tersebut (Carson, 1979; Vaitson, 1974
dalam Caves 1996). Motivasi pajak atas praktik transfer pricing dilaksanakan dengan sedapat
mungkin memindahkan penghasilan dari negara dengan beban pa jak mahal ke negara dengan
pajak terendah atau minimal atau kalau mungkin nihil. (Gunadi, 2007: 222).

5. Tujuan Transfer Pricing


Beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh praktik transfer pricing, baik Die perusahaan
domestik maupun bagi perusahaan multinasional, antara la sebagai berikut.
a. Sebagai sarana untuk mencapai tujuan perusahaan dan tujuan peruse haan
lainnya."
b. Mengamankan posisi kompetitif anak/cabang perusahaan afiliasi dan penetrasi
pasar, dalam usaha mencapai keunggulan kompetitif.
c. Sebagai sarana mengendalikan cash flow anak/cabang perusahaan afiliasi
d. Sebagai alat untuk mengendalikan risiko nilai tukar mata uang asing
(pengendalian devisa)," dalam usaha mengurangi risiko moneter.
e. Memantau kinerja anak perusahaan asing dan sebagai cara untuk men capai
sinkronisasi tujuan antara manajer anak perusahaan dan perusahaan induk.
f. Sistem penetapan harga transfer harus memenuhi tiga tujuan: evaluasi kinerja
yang akurat (termasuk kinerja anak/cabang perusahaan afiliasi mancanegara),
kesesuaian tujuan, dan pelestarian otonomi divisiA transfer pricing system
should satisfy three objectives: acurate performance evaluation, goal
congruence, and preservation of divisional autonomy." (Joshua Ronen and
George McKinney, 1970: 100–101).
g. Untuk mentransmisikan data keuangan di antara departemen departemen atau
divisidivisi perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa
satu sama lain. (Henry Simamora, 1999: 273).
h. Untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan
divisi pembeli menuju keputusankeputusan yang sesuai dengan tujuan
perusahaan secara keseluruhan.
i. Dalam lingkup perusahaan multinasional, transfer pricing digunakan untuk
meminimalkan pajak dan bea yang mereka keluarkan di seluruh dunia"Transfer
pricing can effect overall corporate income taxes." (Hansen and Mowen, 1996:
496).
j. Sebagai cara untuk menghindari campur tangan pemerintah asing.

Md. Nur-E-Alam Siddiquel, Alim Al Ayub Ahmed, "Congruence of Competitive vantage and
Transfer Pricing: A Study on Selected MNCS Operating in Bangladesh" am Asian Accounting and
Auditing Advancement, Volume 5, No. 2 (2015), Asian Business Consortium
http://publicationslist.org/datalahmed/ref-28/10.5.pdf.

6. Pedoman Transfer Pricing OECD


Beberapa ketentuan utama dalam Transfer Pricing Guidelines 1995 OECD (dengan
lampiran terbit tahun 1996, 1997, dan 1998) adalah sebagai berikut.
a. Menerapkan armss length principle dengan presensi pada metode transaksi
tradisional (traditional transaction based method).
b. Penerapan tingkat komparabilitas yang menekankan fungsi, risiko yang
disandang, dan aset yang dimanfaatkan.
c. Pengenalan metode laba (profit based method) nal net margin method
(TNMM).
d. Memahami pentingnya dokumentasi atas transfer pricing dan peranan disebut
transactio yang penalti dalam meningkatkan kepatuhan. (Gunadi, 2007: 240).
a. Praktik Transfer Pricing
Hubungan istimewa antara Wajib Pajak Badan dapat terjadi karena pemilikan atau
penguasaan modal saham suatu badan oleh badan lainnya sebanyak 25% atau lebih, atau antara
beberapa badan yang 25% atau lebih sahamnya dimiliki oleh suatu badan. Sedangkan untuk
Wajib Pajak Perseorangan hubungan istimewa dapat terjadi karena hubungan keluarga sedarah
atau semenda dalam garis lurus atau ke samping satu derajat. Hubungan istimewa antara Wajib
Pajak Perseorangan dianggap terjadi misalnya antara ayah, ibu, anak, saudara (kandung),
mertua, anak tiri, dan ipar. Secara universal transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai
hubungan istimewa tersebut dapat mengakibatkan kekurangwajaran harga, biaya atau imbalan
lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha yang lazim dikenal sebagai transfer pricing.
Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan pajak
dan/biaya dari suatu kewajiban pajak ke wajib pajak lainnya, yang dapat direkayasa untuk
menekan keseluruhan jumlah pajak terutang atas antar wajib pajak yang mempunyai hubungan
istimewa tersebut.
Dalam kasus transfer pricing di perusahaan multinasional, grup, konglomerasi, atau
multidivisi dapat memprediksi harga transfer dari harga wajar untuk menghemat beban pajak
total (global). Atau mungkin untuk kepentingan lain nonfiskal. Namun selama transaksi
antardivisi, yang berbeda atau anggota grup (konglomerasi) tidak berdasarkan harga wajar,
maka hal itu bisa mengakibatkan profit shifting dari satu divisi (badan) ke divisi (badan) lainnya
dalam satu perusahaan grup/konglomerasi. Imbasnya juga pada distorsi utang pajak. Karena
fiskus perlu menentukan tingkat laba kena pajak yang wajar dari perusahaan yang beroperasi
dalam wilayah yurisdiksinya, terutama apabila diperoleh petunjuk bahwa penghasilan kena
pajak yang dilaporkan kurang wajar (terlalu rendah), fiskus tersebut akan melihat kemungkinan
bahwa rendahnya laba tersebut sebagai akibat dari kebijaksanaan transfer pricing perusahaan.
Pasal 18 (3) UU PPh 1984 seba gaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 tahun 2008,
memberikan wewenang kepada otoritas pajak untuk menghitung pajak dari transaksitransaksi
pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Untuk meaksanakan ketentuan tersebut, Direktur
Jenderal Pajak telah mengeluarkan keputusan dengan SE Nomor 04/PJ.7/1993 tentang petunjuk
penanganan kasus transfer pricing, sebagaimana diuraikan di berikut.
Secara umum dalam praktik dunia usaha di mana saja, kekurangwajaran harga transfer
dalam transfer pricing dapat terjadi pada (SE04/PJ.7/1993):
1. harga penjualan;
2. harga pembelian;
3. alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost);
4. pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder
loan);
5. pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen,
imbalan atas jasa teknik, dan imbalan atas jasa lainnya;
6. pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang
mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar;
7. penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/

Anda mungkin juga menyukai